PENDAHULUAN
tidak dibudidayakan dengan cara budidaya masal atau komersial serta tidak berasal
usul dari ras yang dihasilkan untuk kepentingan komersial. Istilah “ayam kampung”
semula adalah kebalikan dari istilah ayam ras, dan sebutan ini mengacu pada ayam
unggul, maka saat ini dikenal pula beberapa ras unggul ayam kampung. Untuk
membedakan, kini dikenal istilah ayam buras (singkatan dari “ayam bukan ras”)
bagi ayam kampung yang telah diseleksi dan dipelihara dengan perbaikan teknik
budidaya. Peternakan ayam kampung memiliki peranan yang cukup besar dalam
tinggi terhadap lingkungan dan pemeliharaanya relatif lebih mudah. Salah satu
bahan pangan asal hewan berprotein tinggi yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia adalah daging ayam dan telur. Kedua bahan pangan ini telah
seluruh Indonesia bahkan diseluruh dunia. Telur bukan hanya sebagai bahan pangan
yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, namun telur juga berperan penting dalam
Menurut Suryani (2010), penyakit yang terjadi pada ternak ayam, umumnya
timbul bila keadaan pemeliharaan kurang baik, kondisi kandang yang tidak
1
memenuhi syarat kesehatan (sinar matahari yang kurang atau tidak masuk sama
sekali) dan disertai pemberian ransum yang kurang sempurna. Penyakit bakteri
yang sering menyerang pada ayam petelur diantaranya Pullorum (berak putih),
diarrheal disease dan terdapat di seluruh dunia. Disebut foodborne diarrheal disease
karena penyakit ini ditularkan oleh ternak carrier yang sehat ke manusia melalui
Di negara berkembang seperti Indonesia, dokter praktek dan rumah sakit sering
menerima pasien dengan diagnosa thypus atau parathypus dengan insiden yang
Salmonella baru. Ayam adalah salah satu sumber penularan penting Salmonella.
Masalahnya berawal dari peternakan, dimana anak ayam yang dipelihara dalam
lambat berkembang sehingga kalah bersaing jika ada serangan bakteri patogen
enterik. Anak ayam ini jika tidak sakit akan bertindak sebagai carrier, dan menjadi
unggas, industri pengolahan makanan) dan pasar. anak ayam yang baru menetas
dapat tertularinduknya dan terjadi dalam minggu ke 2-3 dengan angka kamatian
2
1.2 Tujuan Pemeriksaan
peternak atau pemilik ayam kampung dan segala pihak yang terlibat mengenai
Pada tanggal 5 Juli 2019 telah dilakukan euthanasia dan nekropsi pada
seekor ayam kampung betina umur ± 7 bulan, berat badan 450 gram, milik bapak
Kawit yang beralamat di Ploso Timur gang 1d No.18. Hasil anamnesa menunjukkan
pernah di vaksin, kandang terbuat dari bambu, pakan dedak campur nasi, minum
air PDAM. Gejala klinis anoreksia, lesu, diare putih sayap menggantung, dan bulu
kusam. Dengan demikian untuk mengetahui adanya agen penyebab penyakit, maka
3
II. TINJUAN PUSTAKA
ayam lokal yang ada di Indonesia yang tidak memiliki ciri atau karakteristik khusus
dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia, yang sering disebut sebagai ayam lokal
atau ayam kampung. Perkembangan ayam lokal Indonesia atau ayam kampung
dimulai semenjak proses domestikasi, sehingga dikenal sebagai ayam asli atau
native chicken. Proses domestikasi ayam lokal Indonesia sampai saat ini belum
Dunia : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Famili : Phasianidae
Genus : Gallus
Spesies : Gallus gallus
Subspesies : Gallus gallus domestikus
sendiri misalnya untuk keindahan bulu,suara kemampuan bertarung dan lain – lain.
Oleh sebab itu ayam kampung di Indonesia juga dipelihara untuk hobi atau
4
dan diberi makan ala kadarnya sehingga kurangnya perhatian terhadap kebersihan
ramping, kompak, dan padat dengan pertumbuhan daging yang relative baik. selain
itu juga dijelaskan bahwa warna bulu ayam kampung bervariasi yaitu merah, coklat,
bulunya sempurna, serta memiliki kaki panjang dengan sisik kuning, putih, maupun
hitam. Ayam kampung memiliki kelebihan pada daya adaptasi yang tinggi karena
perubahan iklim serta cuaca setempat. Selain itu daging dan telur ayam kampung
memilik rasa khas yaitu gurih yang banyak disukai oleh masyarakat dan menjadi
produktivitasnya yang rendah dan kesulitan untuk mendapatkan bibit yang baik,
unggul dan seragam, produksi ayam kampung tergolong cukup rendah yaitu rata-
rata produksi telur per tahun hanya 60 butir dengan berat rata-rata 30 gram/butir.
Berat badan ayam kampung yang sudah tua tidak lebih dari 1,9 kg sedangkan ayam
kampung betina lebih rendah yaitu 1,3 kg sampai 1,5 kg (Rasyaf, 2007).
5
2.2 Menopon gallinae
batang bulu ayam (shaft louse) disebut demikian karna kutu tersebut sering
dijumpai menempel pada batang bulu ayam dan berwarna kuning pucat. Kutu
menopon gallinae betina memiliki preferensi oviposisi pada bagian dasar bulu
inangnya. Kutu ini dianggap berbahaya bagi unggas muda, karena Infestasi kutu
pada unggas muda yang masih memiliki imunitas rendah dapat menyebabkan stres
2013).
merupakan kelompok kutu penggigit dengan ciri khas kepala lebar dan mempunyai
palpus maksila, merupakan spesies kutu yang biasa ditemukan pada ayam, menurut
kelas : Insecta
ordo : Phthiraptera
sub ordo : Mallophaga
kelompok : Amblycera
family : Menoponidae
spesies : Menopon gallinae
Gambar 2.1. Bulu ayam yang terinfeksi telur menopon gallinae ( Teresa,2005)
6
Gambar 2.2. Menopon gallinae betina kiri dan betina kanan (Palma,2017)
Menopon gallinae berukuran kecil, mempunyai panjang 1.5 – 2.5 mm, dan
berwarna kuning pucat. Kutu ini mempunyai kepala berbentuk segitiga yang
melebar dan diperluas di belakang mata. Palpus maksila berukuran kecil dan terdiri
atas empat segmen, sedangkan palpus labial biasanya hanya satu segmen dan
memiliki lima seta distal. Kutu ini mempunyai sepasang antena yang terletak dalam
lekukan/fossa di regio kepala kutu. Antena tersebut terdiri atas empat atau lima
segmen. Antena yang terdiri atas empat segmen memiliki dua sensila yang
berdekatan dengan segmen terminal, sedangkan jika ada lima segmen maka hanya
memiliki satu sensilum pada segmen keempat dan kelima. Segmen toraks kutu ini
tidak menyatu dan terpisah dari tergum satu. Mesonotum tidak memiliki tonjolan
seta. Abdomen Menopon gallinae memiliki delapan sampai sepuluh segmen yang
ditutupi oleh rambut seta. Setiap segmen abdomen di bagian dorsal hanya terdapat
sebaris rambut seta. Rambut seta berfungsi sebagai pelindung mekanik bagi kutu.
Kaki kedua dan ketiga memiliki dua tarsal claws. Kutu betina dewasa meletakkan
telur secara berkelompok di dasar tangkai bulu pada regio dada dan kaki. Telur
7
tersebut menetas menjadi nimfa yang akan melalui tiga tahap hingga menjadi
Menopon gallinae mempunyai tipe mulut penggigit dan tidak menusuk kulit
inang, tetapi dapat memakan darah pada ayam muda dan menggigit hingga ke
dalam tangkai bulu, Menopon gallinae sering ditemukan dalam jumlah banyak pada
ayam dewasa daripada ayam muda. Hal ini disebabkan pertumbuhan bulu pada
ayam muda belum sempurna seperti pada ayam dewasa. Infestasi kutu ini pada
ayam muda dalam jumlah besar dapat berakibat fatal. Ayam yang terinfestasi parah
oleh kutu ini dapat mengalami anemia hiperkromik dan penurunan bobot badan
hingga kematian. Menopon gallinae juga dapat menginfestasi kalkun dan bebek,
bulu. Telur menetas menjadi nimpa, dimana melewati tiga tahap yaitu instar 1,
instar 2, dan instar 3. sebelum berganti bulu hingga menjadi dewasa seksual. Telur
menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-18 hari, telur berwarna putih berbentuk
lonjong, dan diletakkan pada batang bulu. Perkembangan kutu dari telur hingga
menjadi dewasa memakan waktu sekitar 7-21 hari. Sifat individualnya berpindah –
pindah dan bergerak cepat ( Wall and Shearer, 2001). Siklus hidup kutu ini, mulai
telur hingga dewasa, terjadi dalam tubuh induk semang. Kutu dapat berkembang
biak dari satu kelompok generasi ke generasi berikutnya pada hewan yang sama.
8
Pada umumnya kutu – kutu tersebut tidak pernah mau meninggalkan tubuh induk
tenang sehingga stress, lesu dan kurang darah, pucat, pertumbuhannya terhambat,
dan produksinya turun, beberapa spesies kutu penggigit atau pengunyah dapat
menginfeksi unggas. Mereka menghabiskan seluruh siklus hidup mereka pada host
/ ianag dan menyebabkan iritasi sebagai akibat dari memakan kulit dan bulu unggas
( Pattison et al., 2008). Menopon gallinae bertempat tinggal pada tangkai badan
bulu ayam dan memakan bagian bulu ayam. Ini terjadi secara meluas pada bagian
paha dan dada, meskipun terjadi, hal ini jarang menyebabkan kasus pathogen. Kutu
Kejadian ektoparasit pada ayam dapat dicegah dengan cara kandang harus
harus bebas dari sarang-sarang hewan liar. Apabila unggas terjangkit maka dapat
diobati dengan cara: (a) untuk mengatasi gurem atau kutu yang menempel di sisik-
sisik kaki, atau rendam kaki dengan minyak tanah. Selain itu, cat tempat bertengger
dan dinding dengan carboleneum atau minyak anthresene, (b) cara tradisional dapat
dilakukan dengan air larutan tembakau yang dioleskan pada tempat-tempat kutu
9
atau gurem menempel, (c) olesi bulu atau tempat yang menjadi sarang kutu dengan
nicotin sulfa, dan (d) Semprot kandang dengan malaion berdosis 4-5% dan pada
Infestasi kutu secara umum dapat diobati dengan cara dibedaki, dimandikan
2.3 Salmonellosis
Salmonella pullorum. adalah salah satu bakteri batang gram negatif yang
bersifat pathogen mempunyai flagel perithrik untuk bergerak dan merupakan agen
yang paling sering menyebabkan food borne disease di dunia. Karena habitat
aslinya yang berada didalam usus manusia maupun binatang, Infeksi Salmonella
makanan atau minuman akan masuk ke dalam saluran pencernaan, dan di dalam
lambung bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam lambung, namum bakteri yang
lolos akan masuk ke dalam lumen usus, dan kemudian bakteri ini akan melakukan
penetrasi pada mukosa usus bakteri ini akan tinggal secara intraseluler dan akan
dan dianggap penting pada industri perunggasan. Penyakit pulorum tersebar luas di
10
berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Serovar Salmonella pullorum
menyebabkan infeksi yang bersifat enterik dan atau sistemik sehingga dapat
menimbulkan respon antibodi humoral dengan titer tinggi yang dapat dideteksi
dengan serum aglutinasi atau whole blood aglutinasi (Oliveira et al., 2004).
khususnya ternak unggas dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini dilaporkan
enteritidis pada ayam baik dengan serologik maupun kultural belum banyak
dari aspek kesehatan masyarakat veteriner, karena adanya transmisi bakteri secara
vertikal melalui telur. Menurut laporan dari negara-negara di Eropa dan Amerika
dalam flok dan transmisi bakteri melalui telur, Hal serupa dilaporkan juga di
Indonesia, bahwa S. enteritidis dapat diisolasi dari telur-telur yang dijual di pasar
2.3.1 Etiologi
seorang ahli patologi Amerika. Salmonella hanya memiliki dua spesies yaitu itu
Salmonella bongori dan Salmonella enterica dan mempunyai lebih dari 1800
11
serotipe yang ditemukan pada hewan dan manusia, termasuk hewan liar, reptile,
burung liar dan insekta. semuanya bersifat patogen, dimana beberapa serotipe
mempunyai induk semang spesifik dan gejala yang di timbulkan tidak khas
menyerang kuda (Dirjenak dan Keswan 2014). Salmonellosis pada unggas bisa di
gallinarum yang merupakan suatu kelompok bakteri yang tidak mempunyai host
yang spesifik. S. Pullorum penyebab utama kerugian secara ekonomi pada industry
tidak hanya menyebabkan kematian yang tinggi pada anak ayam juga dalam jangka
waktu yang panjang berada dalam limpa, saluran reproduksi, menginfeksi telur, dan
kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
kelass : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
family : Enterobacteriaceae
genus : Salmonella
species : Salmonella pullorum.
12
Gambar 2.3 Salmonella pullorum. ( CDC, 2017)
ciri yang khas, anak ayam terlihat ngantuk, berdiri pada satu kaki dengan kepala
tertunduk kebawah, mata tertutup, sayap menggantung dan bulu berdiri. Anak ayam
ayam akan lebih sering minum, diare prufus yang encer disertai oleh material
menyerupai pasta putih yang melekat di daerah kloaka dan sekitarnya. Di samping
itu terlihat juga anak ayam yang kedinginan dan cenderung untuk berkumpul di
bawah pemanas. Kadang – kadang terlihat adanya konjungtivis dan kebutaan akibat
kekeruhan pada kornea dan adanya eksudat kaseus di dalam bola mata (Dirjenak
tertentu. Infeksi akut pada ayam dara atau ayam dewasa jarang terjadi pada kondisi
alami. Gejala klinis yang terlihat pada ayam dewasa yang terinfeksi oleh
13
Salmonella typimurium, meliputi diare yang disertai oleh depresi dan kelemahan
umum, sayap menggantung dan bulu berdiri. (Dirjenak dan Keswan, 2014).
Pada ayam muda lesi mungkin tidak terlihat pada kasus yang sangat akut,
pada kasus yang kurang akut , lesi yang terlihat meliputi emasiasi, dehidrasi,
kongesti hati dan limpa dengan jalut – jalur hemoragika atau foki nekrotik, kongesti
ginjal dan pericarditis yang disertai oleh perlekatan antara perikardum dan jantung.
Jika anak ayam yang terserang, maka akan dijumpai adanya yolk sac yang belum
terserap dan berisi eksudat radang bewarna coklat kehijauan. pada pemeriksaan
antemortem Ayam yang belum mati pada fase septisemik akut akan menunjukkan
daerah nekrosis yang multifokal di dalam paru, hati dan jantung. Terlihat juga
sekitar sepertiga dari ayam yang mati karena Salmonellosis, dapat ditemukan
adanya sekum yang mengalami distensi dengan lumen yang mengandung massa
14
menyerupai pasta, yang terdiri atas jaringan nekrosis yang mengeras dan bewarna
penebalan dan peningkatan vaskularisasi pericardium dan adanya cairan yang keruh
purulenta oleh hyperplasia kornea. Lesi pada mata dapat ditemukan pada
konjungtiva, kornea dan pupil. Di dalam sudut mata anterior dapat dijumpai adanya
suatu masa berbentuk bulat berwarna kuning kelabu. (Dirjenak dan Keswan, 2014)
(a) (b)
Gambar 2.5. (a) ayam terinfeksi Salmonella pullorum. Terlihat adanya perbesaran
hati dengan focal nekrosis,(b) adanya lesi berbentuk bungkul pada usus
Sebelum di biakkan pada media SSA, sample di tanam pada media Nutrient
Broth dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37° C, kemudian ditanam pada
media Salmonella Shigella Agar (SSA) dengan teknik goresan T. Koloni terpisah
pada media SSA. (Nelma dkk., 2018) . Sample terbaik yang sering digunakan pada
15
uji Salmonella pullorum. Adalah saluran pencernaan beserta isisnya, karena infeksi
Gambar 2.6 Koloni Salmonella pullorum. pada media SSA ( Nelma dkk,2018)
Berdasarkan hasil pengamatan terdapat koloni yang hitam dan black center,
hasil ini diduga sebagai bakteri Salmonella pullorum yang menghasilkan H2S. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Zaraswati (2006), bahwa hasil uji SSA memberikan
zona kuning diantara koloni hitam dan pertumbuhan mikrobanya berwarna merah
atau hitam. Mikroba melakukan reduksi tiosulfat menjadi sulfat sehingga terlihat
ditengah koloni (black centre) sebagai hasil produksi gas H2S. Hasil pengamatan
pada media SSA ditemukan koloni berbentuk bulat, cembung dan berwarna hitam
diferensial dan selektif. Media diferensial yaitu berisi laktosa dengan indikator pH,
adalah EMB (Eosin Methylene Blue), MacConcey agar dan medium deoxycholate
16
dan dapat menghasilkan H2S. contoh media selektif yaitu Salmonella- Shigella (SS)
medium selektif. Media SSA mengandung bile salt, brilliant green dan sodium
sitrat yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan
(SSA) dilanjutkan dengan pewarnaan gram. Siapkan ose bulat, lalu panaskan ose
hingga pijar kemudian ambil NaCl steril menggunakan ose, teteskan pada kaca
objek yang sebelumnya telah diberi batas berbentuk oval di bagian bawahnya.
Panaskan kembali ose hingga pijar, diamkan hingga tidak panas, ambil koloni
bakteri yang telah tumbuh pada media dengan ose, lalu oleskan pada kaca objek
dan ratakan dengan NaCl steril yang telah diteteskan sebelumnya, lewatkan kaca
objek diatas api kecil atau diamkan hingga mongering sendiri. Letakkan kaca objek
diatas rak pewarnaan. Teteskan Kristal Karbol Ungu (KKU) atau gentian violet,
diamkan selama 5menit, bilas dengan air mengalir. Tetskan lugol, diamkan selama
1 menit, bilas dengan air mengalir. Tetskan alkohol sampai tidak ada lagi warna
ungu yang luntur. Tetskan safranin, diamkan selama 45 detik, bilas dengan air
mengalir. Lalu keringkan kaca objek dengan menggunakan tisu ( tidak digosok atau
diusap bagian atasnya) tetskan minyak emersi diatas kaca objek lalu amati dibawah
17
Identifikasi bakteri dilanjutkan dengan uji IMViC. Uji IMViC meliputi
SulfitIndol Mortiliti (SIM) dan, Triple Sugar Iron agar (TSIA). kemudian semua
tabung diinkubasikan pada suhu 370C selama 18-24 jam, Dalam indol ditambahkan
reagen kovak dan MR ditambah 5-10 tetes larutan metil red sedangkan VP ditambah
18
2.3.5 Pengobatan
maka resiko terjadinya carrier akan sangat besar. Uji sensivitas antibiotik
merupakan cara yang paling tepat untuk memilih obat yang sesuai, berbagai jenis
obat yang dpat digunakan untuk menanggulangi paratifoid antara lain adalah
dan pelaksanaan sanitasi atau desinfeksi yang ketat (Dirjenak dan Keswan, 2014)
19
III. MATERI DAN METODE
3.1 Materi
± 7 bulan dengan berat sekitar 450 gram dan bernomor protokol A-03. Bahan yang
digunakan untuk pemeriksaan patologi klinik adalah Ethylene diamine tetra acetic
(EDTA), NaCl fisiologis, reagen turk, reagen hayem, HCL, akuades, alkohol,
giemsa, methanol dan oil emersi. Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan
Shigella Agar (SSA), uji biokimia (TSIA, SCA, SIM, Urease, MR dan VP).
Pewarnaan gram ( Crystal violet, lugol, alkohol, dan safranin), akuades, reagen
kovac,reagen metil red, reagen α-naptol, KOH, H2O2, alkohol 70%. Bahan
10% untuk pengawetan dalam pembuatan preparat histopatologi dan oil emersi.
Alat yang digunakan antara lain adalah : Nampan plastik, plastik clip steril,
plastik clip biasa, tabung darah/ eppendorf, alat nekropsi ( Meja nekropsi, pisau,
gunting tulang, gunting bedah, scalpel,bleed, pinset ), timbangan, gelas ukur, gelas
beker, objek glass, cover glass, tabung sentrifus, sentrifus, mikroskop, cawan petri,
pipet mortar, stemper, gelas ukur, tabung reaksi, ose, pengaduk (stirrer)
,saringan,syrink 3cc, Bunsen, pipet thoma leukosit, pipet thoma eritrosit, waterbath,
20
3.2 Metode
pemeriksaan fisik dan pengambilan darah. Untuk pembuatan preparat apaus darah,
darah yang digunakan adalah darah segar yang diambil dari vena brachialais kanan
/ dexter menggunakan spuit steril 3cc. setelah preparat apus selesai dibuat dilakukan
pengambilan sample darah melalui vena brachialais kiri / sinister yang nantinya
insisi pada organ – organ yang dicurigai mengalai perubahan. Organ – organ
tersebut dipotong dan dimsukkan dalam pot urine yang berisi cairan formalin 10%
untuk mencari adanya telur cacing atau ookista. Pemeriksaan feses dilakukan
cawan mortir. Feses kemudian ditambah dengan air sebanyak 10 ml lalu di gerus
dengan menggunakan stemper, setelah tercampur kemudian campuran feses dan air
21
disaring dan diambil dengan menggunakan pipet untuk pemeriksaan natif 1 tetes
dan diletakkan pada objekglass, kemudian di tutup dengan coverglass dan diamti di
bawah mikroskop. Sisa campuran feses dan air kemudian dimasukkan ke dalam
dengan kecepatan 3000 rpm, supernatan kemudian dibuang sampai tersisa endapan
di dasar tabung. Larutan gula jenuh kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang
ada endapannya sampai batas ¾ tabung lalu diaduk sampai rata menggunakan
3000 rpm. Hasil sentrifus tersebut kemudian ditambah dengan gula jenuh kembali
selama 5 menit. Setelah 5 menit ambil coverglass lalu di tempelkan pada objekglass
dan dicari dengan teliti kutu pada bagian- bagian tubuh yang telah ditentukan.
alkohol 70%, kapas beralkohol ini dioleskan ke bagian tubuh ayam jika terlihat
adanya kutu yang melintas di daerah itu. Kapas beralkohol ini membuat kutu tidak
kutu dilakukan dengan hati-hati dengan pinset anatomis dan diusahakan agar tidak
sampai merusak specimen yang dikoleksi. Kemudian kutu yang berhasil dikoleksi
diproses lebih lanjut untuk pembuatan slide preparat. kutu di bunuh dengan
22
menggunakan larutan alkohol 70%, kutu yang sudah mati dimasukkan ke dalam
KOH 10% dan direndam selama 24 jam hari pada suhu kamar, Larutan KOH yang
menempel pada kutu dicuci dengan H 2O 3-4 kali menggunakan pipet, jika
keluar. Dehidrasi dengan menggunakan alkohol untuk menarik air yang masih
tertinggal pada spesimen selama 10 menit. Supaya kutu terlihat terang dan jelas
spesimen di letakkan pada gelas objek dan diamati di bawah mikroskop dengan
crop, jejunum dan ileum yang mengalami perubahan atau lesi didiagnosa terinfeksi
Salmonella pullorum. Disimpan pada media selenite broth yang berisi pepton,
laktosa, dan natrium fosfat dan diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam. Bakteri
yang tumbuh pada media Selenite Broth ditanam pada media Salmonella Shigella
Agar (SSA) yang berisi pepton, laktosa, natrium sitrat, natrium tiosulfat, fe sitrat,
brilliant green, natural red, dan bile salt dengan metode quadran strike dan
diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam. Koloni terpisah yang berbentuk bulat
berwarna transparan dengan adanya titik hitam ditengah diambil untuk dilakukan
dengan cara yaitu pengulasan biakan bakteri dengan ose pada gelas objek yang
sebelumnya telah di tetesi dengan larutan NaCl fisiologis. Kemudian fiksasi sampai
23
kering diatas api Bunsen. Tetesi carbon gentian violet ( initial strain ) diamkan
selama 2 menit. Cat dibuang dan jangan dicuci , kemudian tetesi lugol ( mordant )
biarkan selama 1 menit. Cat dibuang dan jangan dicuci, kemudian tetsi alkohol 95%
( decolorizer ) diamkan selama 1 menit, cat dibuang dan cuci dengan air kran.
Kemudian ditetesi air fushine ( counter strain ) biarkan selama 2 menit. Buang, cuci
sampai tidak keluar warna dan keringkan. Diamati dibawah mikroskop ( Erina dkk,
2017)
laktosa, sukrosa, pepton, natrium tiosulfat, dan fenol red. Dilanjutkan dengan uji
katalase dan Uji IMViC dari biakan bakteri pada media SSA yang telah
diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 370C . uji IMViC meliputi Indol, Metil Red
– Voges Proskauer (MR-VP) yang mengandung pepton, glukosa, dan buffer fosfat,
phospat dan bromthymol blue, Sulfide Indol Motiliti ( SIM) yang mengandung
pepton from casein, pepton from meat, ammonium iron citrate, sodium thiosulfate.
Kemudian semua tabung diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam, Dalam indol
ditambahkan reagen kovac dan MR ditambahkan 5-10 tetes larutan metil red
Bersihkan 2 buah objek glass, pastikan objek glass bebas dari lemak.
Tetskan darah dalam jumlah sedang sekitar 2,5 cm dari ujung kanan pada 1 objek
24
glass, sedangkan objek glass yang lain digunakan sebagai penghapus. Tempelkan
sisi objek glass penghapus pada darah, membentuk sudut 450 dengan objek glass,
harus tipis dan seragam. Tebal atau tipisnya hapusan tergantung pada seberapa
banyak darah yang diteteskan pada objek glass dan sudut objek glass dengan objek
glass penghapus. Angina – anginkan supaya kering kering dalam waktu cepat akan
Letakkan objek glass pad arak pengecatan. Fiksasi dengan methanol 2-3
menit. Buatlah larutan giemsa 10% dengan cara mencampurkan buffer giemsa 9 ml
dengan pewarna giemsa 1ml kemudian dicampurkan hingga merata. Genangi objek
glass dengan larutan giemsa 10% selama 30 menit. Buang sisa pewarnaan,
kemudian miringkan objek glass pad arak pengecatan supaya mengering, amatilah
dibawah mikroskop dengan pemebrian oil emersi. .( Yunani dan Mudji, 2018).
Darah yang telah di ambil dan dimasukkan ked lam tabung EDTA dilakukan
leukosit, kadar hemoglobin (Hb), hematokrit, atau packed cell volume (PCV), total
25
(MCH), dan mean corpuscular haemoglobin concentrasion (MCHC) dilakukan
Hariono,2010)
26
IV. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIK
27
V. PEMBAHASAN
Pada tanggal 5 juli 2019 telah dilakukan euthanasia dan nekropsi pada
seekor ayam kampung betina umur ± 7 bulan ,berat badan 450 gram , milik bapak
m2 , belum pernah di vaksin, kandang terbuat dari bambu, pakan dedak dicampur
nasi, minum berasal dari air PDAM. Lingkungan kandang yang buruk serta sanitasi
yang lemah, belum pernah diberi pengobatan, vaksin dan obat cacing. Gejala klinis
yang terlihat diantaranya anoreksia, lesu, diare putih encer sayap menggantung, dan
bulu kusam. Penampakan gejala klinis ayam buras betina seperti ditunjukkan pada
Gambar 5.7. Ayam buras dengan nomor protokol A-03. Ayam terlihat lesu,
sayap menggantung,bulu kusam,dan tampak diare putih encer.
28
5.1 Pemeriksaan Patologi Anatomi
Necrosis caseosa pada bagian crop, Enteritis hemoragika, dan hypertropi pada
bagian Ventrikulus.
adanya pembengkakan dan perubahan warna yang tidak homogen akibat hemoragi
suffusa dengan diameter lebih dari 1 cm.dan ketika dilakukan uji apung pada paru,
Gambar 5.8. Pemeriksaan patologi anatomi secara makroskopik pada organ paru-
paru ayam dengan nomor protokol A-03
mengecil (atelektasis). Pada perbesaran 40x tampak adanya sel eritrosit dan sel
29
radang heterofil, terjadinya perubahan patologi dikarenakan, tubuh memiliki respon
imunitas alami terhadap benda asing yang terhirup pada saluran pernapasan.
parabronchi yang diikuti oleh sel darah merah dan sel radang. Pada saat terinfeksi
septa parabronchus akan mengalami penyempitan dan adanya sel radang pada
Gambar 5.9. Gambaran mikroskopik organ paru-paru ayam nomor protokol A-03
dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE), perbesaran 10x dan 40x.
A-03 adalah terdapat hemoragi ptekie multifokal pada mukosa duodenum.hal ini
terjadi karena bakteri Salmonella pullorum dapat menghasilkan sitokin yang dapat
munculnya hemoragi ptekie atau perdarahan dengan diameter kurang dari 1mm
kandang telah tercemar oleh bakteri Salmonella pullorum. sebab penularan dapat
30
terjadi secara oral melalui pakan, minum atau debu dan kotoran yang tercemar oleh
dengan nomor protokol A-03 mengalami enteritis hemoragika yang ditandai dengan
31
Pemeriksaan makroskopik pada organ jejunum ayam dengan nomor
protokol A-03 adalah enteritis hemoragika ditandai dengan adanya hemoragi ptekie
multifokal pada mukosa dan adanya penebalan pada lapisan mukosa jejunum. Hal
ini terjadi pada saat tubuh ayam tidak mampu menerima cemaran bakteri dalam
jumlah maksimal batas diterima tubuh, maka tubuh akan kalah dalam menerima
cemaran bakteri, pada saat dinding usus telah dikolonisasi maka bakteri dapat
usus, sehingga pada usus bagian jejunum tidak dapat mengatasi kenaikan cemaran
bakteri.(Tabbu, 2000)
muskularis mukosa, dan tampak adanya hiperemi pada lapisan muskularis mukosa,
32
Gambar 5.13 Gambaran mikroskopik organ jejunum ayam nomor protokol A-03
Sample di ambil dari organ usus ayam, sebelumnya usus di belah terlebih
dulu menggunakan scalpel usus yang telah di belah di potong menggunakan gunting
steril, kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi yang berisi SCB (Selenite
Cystein Broth) Yang mempunyai kandungan pepton, laktosa, dan natrium fosfat
selektif, tetapi dapat menghambat bakteri lain selain bakteri Salmonella. Media
yang dipakai ialah 'Tetrathionate Broth", "Hajna GN Broth" atau "Selenith Broth".
Pada umumnya media yang sering digunakan adalah media selenith broth. Hal ini
disebabkan media selenith broth mempunyai sifat khusus yaitu dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Salmonella dan Shigelia dapat menjadi subur. Reaksi positif
33
ditunjukkan oleh perubahan warna dari kuning menjadi merah bata setelah
merupakan media selektif untuk isolasi bakteri Salmonella dan Shigella yang berisi
pepton, laktosa, natrium sitrat, natrium tiosulfat, fe sitrat, brilliant green yang
berfungsi untuk mencegah timbulnya bakteri gram positif. Laktosa dalam media
SSA sebagai karbohidrat yang dapat difermentasi oleh bakteri, dan natrium tiosulfat
sebagai sumber sulfur yang dapat direduksi oleh bakteri, natural red adalah
indikator pH dan besi sitrat bereaksi dengan H2S untuk membentuk endapan hitam.
koloni yang hitam dan black center, hasil ini diduga sebagai bakteri Salmonella
pullorum yang menghasilkan H2S. hasil pengamatan bakteri yang tumbuh pada
media SSA terdapat koloni yang hitam , hasil ini diduga sebagai bakteri Salmonella
34
pullorum yang menghasilkan H2S.Hal ini sesuai dengan pernyataan Zaraswati
(2006), bahwa hasil uji SSA memberikan zona kuning diantara koloni hitam dan
sebagai hasil produksi gas H2S. Hasil pengamatan pada media SSA ditemukan
koloni berbentuk bulat, cembung dan berwarna hitam ini diduga sebagai Salmonella
pullorum. Pada bakteri Shigella sp pada SSA, koloni tampak kecil dan halus serta
tidak berwarna.
Ciri – ciri koloni Salmonella pullorum. mirip dengan koloni Proteus sp.
sehingga diperlukan uji lanjutan. Koloni terpisah pada media SSA kemudian
bakteri tercat merah muda (gram negatif), berbentuk batang, menurut Erina dkk.
batang memiliki dinding sel yang mengandung lipid,lemak, atau substansi lipid
bilayer dengan presentase yang lebih tinggi. Bakteri gram negatif relatif lebih
kompleks dibandingkan bakteri gram positif. Bakteri gram negatif mempunyai tiga
lapisan yaitu lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah lipopolisakarida dan
berbentuk basil dan berwarna pink. Warna pink dikarenakan baktei gram negatif
memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis dan permeabilitas yang tinggi sehingga
mudah melepas zat warna kristal violet sehingga bakteri hanya meyerap warna
35
A B
Gambar 5.15 (A) pertumbuhan bakteri Salmonella pullorum. pada media SSA
(Salmonella Shigella Agar) (B) Gambaran morfologi bakteri Salmonella
pullorum. Pada pewarnaan gram.
Triple Sugar Iron Agar (TSIA) ditujukan untuk membedakan jenis bakteri
sumber energinya. Hasil positif pada medium TSIA akan ditandai dengan
Hasil uji pada media TSIA setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370
berwarna hitam (adanya produksi H2S). hasil ini sesuai dengan penelitian
Mukhtaruddin dkk. Pada tahun 2018 bahwa Salmonella pullorum. Pada uji TSIA
bagian slant berubah menjadi merah atau merah muda karena bakteri bersifat basa,
suasana basa menunjukkan glukosa telah habis di fermentasi oleh bakteri sebagai
sumber energi dan bakteri mnggunakan pepton sebagai sumber energinya. Pada
36
bagian butt terbentuknya gas H₂S ditandai dengan adanya endapan berwarna hitam.
endapan ini terbentuk karena bakteri mampu menghasilkan H₂S kemudian akan
A B
Gambar 5.16 (A) Media TSIA sebelum di tanami bakteri Salmonella (B) Media
TSIA setelah di tanami bakteri Salmonella dan di inkubasi selama 24 jam dengan
suhu 370C
Uji SIM digunakan untuk menguji motilitas dan reduksi sulfur. SIM adalah
media semi padat yang diformulasikan dengan kasein dan jaringan hewan sebagai
sumber asam amino, senyawa zat besi dan belerang dalam bentuk natrium tiosulfa.
Hasil dari uji indol diperoleh negatif, yaitu ditandai dengan tidak terbentuknya
cincin berwarna merah pada permukaan media setelah diberikan reagen kovac
sebanyak 5-10 tetes. Menurut Quinn dkk., (2002) Salmonella bersifat non motil
pada suhu 30˚C, tidak menghasilkan cincin merah pada uji indol karena tidak
Hidrolisis triptofan dalam media SIM dapat terdeteksi oleh penambahan reagen
37
benz aldehyde (DMABA) dan HCL dilarutkan dalam amyl alkohol. Ketika
beberapa tetes reagen kovac ditambahkan ke dalam tabung, mak akan membentuk
lapisan cair diatas media padat. lalu bereaksi dengan indol dan menghasilkan
tryptopanase. Jika tidak ada warna merah indol bernilai negatif (Leboffe and
Burton,2011)
Hasil uji Pada media Sulfid Indol Motility (SIM) hasil yang diperoleh
adalah positif yang ditandai dengan adanya penyebaran garis berwarna hitam pada
daerah inokulasi dan perubahan pada media dari warna bening menjadi hitam,
sesuai dengan pernyataan Aktar dkk. (2016), bahwa hasil positif motillitas terlihat
dengan adanya penyebaran pertumbuhan dari garis tusukan karena bakteria yang
motil ini pertumbuhannya menyebar pada media SIM. Pada bakteri yang non- motil
flagella.
A B
38
Gambar 5.17 (A) Media SIM sebelum di tanamai bakteri Salmonella (B) Media
SIM setelah di tanami bakteri salmonella dan diinkubasi selama 24 jam dengan
suhu 370C
Uji urease digunakan untuk mengetahui kemampuan mikroba
menghidrolisis urea menjadi amonia. Uji ini menggunakan urease broth sebagai
urease broth antara lain larutan buffer, urea, nutrient, serta indicator phenol red.
Hasil uji pada media Urease menunjukkan hasil yang negatif di tandai dengan tidak
bakteri yang tidak memiliki ensim urease sehingga memberikan reaksi yang negatif
karena tidak mampu mendegradasi nitrogen dan komponen karbon dalam ikatan
amida yang akan membentuk alkalin ammonia pada produk akhir. Hal ini
digunakan. urease menunjukkan hasil positif jika terjadi perubahan warna media
menyebabkan lingkungan menjadi basa. Hasil uji urease negatif jika tidak terjadi
A B
39
Gambar 5.18 (A) media urease sebelum di tanami bakteri Salmonella (B) media
urease setelah ditanami bakteri salmonella dan diinkubasi selama 24 jam pada
suhu 370C media tidak mengalami perubaan (Negatif)
Uji SCA Uji Simmon’s Citrate Agar bertujuan untuk menentukan
Media berisi natrium sitrat sebagai satu- satunya sumber karbon , ammonium fosfat
yang akan berwarna hijau pada pH 6,9 dan biru pada pH7,6.
hasil dari uji SCA menunjukkan hasil positif dengan terjadinya perubahan
warna media dari hijau menjadi biru, hasil ini sesuai dengan penelitian Rahmiati
(2016) hasil menunjukkan terjadinya perubahan warna media dari hijau menjadi
biru yang berarti bahwa sitrat yang ada pada media difermentasikan, sehingga pH
media berubah. Bakteri yang dapat menggunakan sitrat akan menggunakan garam
amonium dan menghasilkan amonia, sehingga asam akan dihilangkan dari medium
dan menyebabkan peningkatan pH. Peningkatan pH ini yang akan mengubah warna
A B
40
Gambar 5.19 (A) media SCA sebelum ditanami bakteri Salmonella (B) media
SCA sesudah ditanami bakteri salmonella dandiinkubasi selama 24 jam pada suhu
370C, media berubah dari hijau menjadi biru
Uji MR-VP menghasilkan perubahan warna pada media MR menjadi merah
setelah ditetesi reagen Methyl red dan pada media VP tidak ada perubahan warna
setelah ditetsi reagen KOH 10% dan alfa naphtol 1%. Salmonella pullorum. Pada
uji MR-VP , uji MR menunjukkan hasil positif yaitu pada kondisi asam, sedangkan
pada uji VP menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tidak terjadinya perubahan
warna media (Elvioleta dkk, 2015). MR-VP mengandung pepton, glukosa, dan
buffer fosfat. Pepton dan glukosa menyediakan protein dan karbohidrat yang dapat
difermentasi, dan kalium fosfat menahan perubahan pH dalam medium. Uji metil
bakteri dapat memfermentasi glukosa dan menghasilkan produk yang bersifat asam
hasil pengamatan ditemukan perubahan warna media biakan bakteri menjadi warna
merah setelah diteteskan metil red sebanyak 3-5 tetes Hal ini sesuai dengan
perubahan pH pada media biakan, metil red akan menjadi merah pada kondisi asam
dan berwarna kuning pada kondisi basa. Pada uji MR menunjukan hasil positif yaitu
pada kondisi asam. Sedangkan pada uji VP menunjukkan hasil negatif ditandai
dengan tidak terjadinya perubahan warna media biakan setelah di teteskan KOH
41
A B C D
Gambar 5.20 (A) media MR yang belum ditanami bakteri Salmonella. (B) media
MR setelah ditanami bakteri Salmonella, diinkubasi selam 24 jam pada suhu
370C, dan ditetesi reagen kovac menunjukkan hasil yang positif berubah warna
menjadi merah, (C) media VP sebelum ditanami bakteri Salmonella, (D) media
VP setelah ditanami bakteri Salmonella dan diinkubasi menunjukkan hasil
negative tidak adanya perubahan.
Hasil uji katalase menunjukkan adanya gelembung atau gas, adanya gas
menunjukkan hasil positif katalase . uji katalse bertujuan untuk mendeteksi adanya
enzim katalase yang memecah H2O2 menjadi H2O dan O2 (Erina dkk, 2017).
Gambar 5.21. Uji katalase yang menunjukkan hasil positif terbentuk gelembung
gas setelah ditetsi H2O2
42
5.3. Pemeriksaan Laboratorium Parasitologi
Pada ayam dengan kode protokol A-03 ditemukan adanya infeksi kutu
Menopon gallinae berjumlah 13 ekor pada bagian bulu bawah sayap ayam. Kutu
diperluas di belakang mata. Palpus maksila berukuran kecil dan terdiri atas empat
segmen, sedangkan palpus labial biasanya hanya satu segmen dan memiliki lima
seta distal. Kutu ini mempunyai sepasang antena yang terletak dalam lekukan/fossa
di regio kepala kutu. Antena tersebut terdiri atas empat atau lima segmen. Antena
yang terdiri atas empat segmen memiliki dua sensila yang berdekatan dengan
segmen terminal, sedangkan jika ada lima segmen maka hanya memiliki satu
sensilum pada segmen keempat dan kelima. Segmen toraks kutu ini tidak menyatu
dan terpisah dari tergum satu. Mesonotum tidak memiliki tonjolan seta. Abdomen
Menopon gallinae memiliki delapan sampai sepuluh segmen yang ditutupi oleh
rambut seta. Setiap segmen abdomen di bagian dorsal hanya terdapat sebaris rambut
seta. Rambut seta berfungsi sebagai pelindung mekanik bagi kutu. Kaki kedua dan
ketiga memiliki dua tarsal claws. Kutu betina dewasa meletakkan telur secara
berkelompok di dasar tangkai bulu pada regio dada dan kaki. Telur tersebut menetas
menjadi nimfa yang akan melalui tiga tahap hingga menjadi dewasa (Wall dan
Shearer 2001).
43
a
c
b d a
a
e
f
g
h h
Gambar 5.22 Menoppon gallinae keterangan ( a) Kepala (b) prothorax (c) palpus
maxila (d) antena (e) kaki depan (f) kaki belakang (g)abdomen (h) male terminalis
Menopon gallinae mempunyai daur hidup yang sederhana mulai dari kutu
betina dewasa meletakkan telurnya pada area di bawah bulu. Telur menetas menjadi
nimpa, dimana melewati tiga tahap sebelum menjadi dewasa seksual. Telur menetas
menjadi nimfa dalam waktu 5-18 hari, telur berwarna putih berbentuk lonjong, dan
diletakkan pada batang bulu. Perkembangan kutu dari telur hingga menjadi dewasa
memakan waktu sekitar 7-21 hari. Sifat individualnya berpindah – pindah dan
bergerak cepat ( Wall and Shearer, 2001). Siklus hidup kutu ini, mulai telur hingga
dewasa, terjadi dalam tubuh induk semang. Kutu dapat berkembang biak dari satu
kelompok generasi ke generasi berikutnya pada hewan yang sama. Pada umumnya
kutu – kutu tersebut tidak pernah mau meninggalkan tubuh induk semangnya (
Tabbu, 2002)
44
Gejala unggas yang terserang ektoparasit diantaranya ayam tidak tenang
sehingga stress, lesu dan kurang darah, pucat, pertumbuhannya terhambat, dan
menginfeksi unggas. Mereka menghabiskan seluruh siklus hidup mereka pada host
/ ianag dan menyebabkan iritasi sebagai akibat dari memakan kulit dan bulu unggas
( Pattison et al., 2008). Menopon gallinae bertempat tinggal pada tangkai badan
bulu ayam dan memakan bagian bulu ayam. Ini terjadi secara meluas pada bagian
paha dan dada, meskipun terjadi, hal ini jarang menyebabkan kasus patogen. Kutu
Kejadian ektoparasit pada ayam dapat di cegah dengan cara kandang harus
harus bebas dari sarang-sarang hewan liar. Apabila unggas terjangkit maka dapat
diobati dengan cara: (a) untuk mengatasi gurem atau kutu yang menempel di sisik-
sisik kaki, atau rendam kaki dengan minyak tanah. Selain itu, cat tempat bertengger
dan dinding dengan carboleneum atau minyak anthresene, (b) cara tradisional dapat
dilakukan dengan air larutan tembakau yang dioleskan pada tempat-tempat kutu
atau gurem menempel, (c) olesi bulu atau tempat yang menjadi sarang kutu dengan
nicotin sulfa, dan (d) Semprot kandang dengan insektisida berdosis 4-5% dan pada
Infestasi kutu secara umum dapat diobati dengan cara dibedaki, dimandikan
45
Coumaphos 0.06 %, Thoxaphene, Hexacloro Cyclo Hexane (HCH), Lindane dan
Hasil pemeriksaan patologi klinik pada ayam dengan nomor protokol A-03
46
Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran
karbondioksida dari sel tubuh, dan membantu membawa hormon yang dihasilkan
kelenjar endokrin ke seluruh bagian tubuh. Selain itu, darah juga membantu regulasi
temperature tubuh, menjaga kestabilan kosentrasi air dan elektrolit di dalam sel
Darah terdiri atas cairan berupa plasma (55%) dan padatan (45%). Bagian
padatan terdiri dari eritrosit, leukosit, trombosit. Plasma darah mengandung protein,
air, zat lain seperti ion, gas, dan sisa metabolisme. Kandungan air dalam plasma
darah sebesar 91%. Air tersebut berfungsi sebagai termoregulator dalam sirkulasi
darah (Isroli et al.,2009). Darah berfungsi sebagai alat transportasi dan alat
pertahanan tubuh. Darah merupakan salah satu parameter dari status kesehatan
hewan karena darah merupakan komponen yang mempunyai fungsi penting dalam
dari jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan jumlah leukosit (Guyton dan
Hall,2010).
sehingga darah tetap dalam kondisi cair. Ada berbagai jenis antikoagulan yang
47
hematologi seperti penetapan kadar hemoglobin, hitung jumlah lekosit, eritrosit,
EDTA untuk pemeriksaan apus darah dipilih karena merupakan antikoagulan yang
paling sering digunakan dan tidak menimbulkan efek merubah morfologi sel darah
(Gandasoebrata, 2001) .
karena MCV meningkat dan MCHC menurun. Secara umum, anemia makrositik
bersifat responding. Anemia terjadi apabila jumlah eritrosit yang fungsional dan
atau jumlah hemoglobin di bawah normal yang bisa disertai dengan penurunan
hemolysis dengan ditemukan banyaknya sel darah merah immature pada gambar
Nilai eritrosit pada ayam A-03 adalah 1,94 x 106µL yang berarti jumlah
eritrosit total ayam adalah 1,94 x 106µL jumlah ini mengalami penurunan dari
jumlah normal eritrosit. MCV (mean cell volume) adalah nilai volume rata – rata
eritrosit. Nilai MCV pada ayam A-03 adalah 144,3 fL, yang mengalami
peningkatan dari nilai normal yang berarti terjadi kelainan makrositik pada eritrosit
ayam. Nilai MCH (mean cell hemoglobin) adalah nilai hemoglobin pada eritrosit.
Nilai MCH pada ayam A-03 adalah 32,94 pg yang mengalami penurunan dari nilai
dalam 100 ml eritrosit. Nilai MCHC pada ayam A-03 adalah 22,8 % yang
mengalami penurunan dari nilai normal yang berarti dalam 100 ml eritrosit terdapat
48
Ayam dengan nomor protokol A-03 mengalami penurunan hemoglobin,
hemoglobin merupakan zat padat dalam darah yang menyebabkan warna merah dan
molekul protein pada sel darah merah. Hemoglobin merupakan bagian dari sel
kecukupan oksigen yang diangkut . kandungan oksigen dalam darah yang rendah
hemoglobin juga mengangkut CO2 dari jaringan, mengambil O2 dari paru – paru,
hemoglobin di dalam darah dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, keadaan fisik,
cuaca, tekanan udara, dan penyakit. Kadar hemoglobin berbanding lurus dengan
jumlah sel darah merah. Semakain tinggi sel darah merah maka semakain tinggi
pula kadar hemoglobin dalam sel darah merah tersebut ( Guyton dan Hall, 2010)
usus terganggu.
merupakan jumlah sel darah merah pada 100ml darah (Stockham and
Michael,2008). Nilai PCV ayam A-03 adalah 28% yang artinya dalam 100 ml
darah ayam mengandung 28% eritrosit. Faktor – faktor yang mempengaruhi nilai
hematokrit adalah jenis kelamain,spesies, dan jumlah sel darah merah. Selain itu
aktivitas dan keadaan patologis, serta ketinggian tempat juga mempengaruhi nilai
49
hematokrit, karena pada tempat yang tinggi seperti pegunungan kadar oksigen
tulang belakang memproduksi sel – sel darah merah dalam jumlah banyak
hypoproteinemia dengan nilai TPP awal 2,9 g/dL dan TPP akhir 2,2g/dL yang
sirkulasi , pada ayam A-03 mengalami anemia yaitu kehilangan darah yang terjadi
akibat banyaknya hemoragi pada organ dalam ayam sehingga darah banyak yang
terbuang sehingga protein juga ikut terbuang. Penurunan protein juga terjadi karena
protein lossing enterophaty yang terjadi di usus ayam. Ayam A-03 mengalami
enteritis hemoragi akibat infeksi Salmonella pullorum. Hal ini akan menyebabkan
malabsobsi nutrisi di usus sehingga protein yang terabsobsi akan menurun dan
dengan nilai 0,7 g/dL yang merupakan selective hiperproteinemia. Menurut Arliny
(2012). Fibrinogen adalah protein larut di aliran darah, jika perdarahan terjadi,
fibrinogen berubah menjadi protein berserat yang padat yang menjadi perancah
dimana gumpalan darah terbentuk yang dapat digunakan sebagai penanda inflamasi
H2O di dalam plasma atau terjadi inflamasi sehingga produksi fibrinogen oleh hepar
50
enterotoksin oleh Salmonella pullorum. Menyebabkan respon sekretori pada sel
epitel yang menghasilkan akumulasi cairan dalam lumen usus. enterotoksin juga
(2014) adanya peradangan usus serta penghancuran lamina propria alat pencernaan
oleh penyusupan (proliferasi) Salmonella dapat menimbulkan diare, pada kasus ini
menyebabkan keradangan.
mengalami leukositosis dengan nilai 31,70 103/µL. leukostosis pada kasus ini
merupakan proses fisiologis dari adanya infeksi atau keradangan. Menurut Tabbu
(2000), pada kasus yang melanjut karena infeksi bakteri Salmonella pullorum.
hemopoetik, meskipun leukosit merupakan sel darah, tapi fungsi leukosit lebih
aliran darah ke seluruh tubuh. Apabila terjadi peradangan pada jaringan tubuh
leukosit akan pindah menuju jaringan yang mengalami radang dengan cara
menembus dinding kapiler. Leukosit terdiri dari 2 kategori yaitu granulosit dan
agranulosit. Granulosit yaitu sel darah putih yang di dalam sitoplasmanya terdapat
terang, basophil berwarna biru dan neutrofil berwarna ungu pucat. Agranulosit
51
merupakan bagian dari sel darah putih dimana mempunyai inti sel satu lobus dan
sehingga terjadi percampuran warna asam (eosin) dan warna basa (metilen
biru),sedangkan pada granula menghasulkan warna ungu atau merah muda yang
samar. Heterofil berfungsi sebagai garis pertahanan tubuh terhadap zat asing
terutama terhadap bakteri. Bersifat fagosit dan dapat masuk ke dalam jaringan yang
terinfeksi. Sirkulasi heterofil dalam darah yaitu sekitar 10 jam dan dapat hidup
sitoplasma lebih kasar dan berwarna merah orange, warna kemerahan disebabkan
adanya senyawa protein kation (yang bersifat basa) mengikat zat warna golongan
anilin asam seperti eosin, yang terdapat pada pewarnaan Giemsa. Granulanya sama
besar dan teratur seperti gelembung dan jarang ditemukan lebih dari 2 lobus inti.
Basofil memiliki granula kasar berwarna ungu atau biru tua dan seringkali menutupi
yang berisi histamine, yaitu suatu senyawa amina biogenik yang merupakan
Monosit merupakan sel leukosit yang memiliki ukuran paling besar yaitu
sekitar 18µm, berinti padat dan melekuk seperti ginjal atau biji kacang, sitoplasma
tidak mengandung granula dengan masa hidup 20 – 40 jam dalam sirkulasi. Inti
52
biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam bentuk tapal kuda. Limfosit
memiliki morfologi dengan bentuk bulat sitoplasama sedikit karena semua bagian
sel hampir ditutupi nucleus padat dan tidak bergranula (Kiswari, 2014)
Ayam dengan nomor protokol A-03 mengalami heterofilia dengan nilai 8,87
x 103/ µL.Heterofilia pada kasus ini berhubungan dengan kebutuhan jaringan untuk
fungsi fagosit. Menurut Parinduri (2017), peningkatan nilai heterofil pada ayam
setelah terinfeksi merupakan respon tubuh terhadap infeksi bakteri, dalam kasus ini
leukosit yang akan mengalami peningkatan nilai saat terjadi infeksi bakteri.
6,34 x 103/ µL. Monositosis atau peningkatan monosit dalam darah merupakan
gambaran darah yang umum ditemukan pada kasus yang berhubugan dengan
menjadi makrofag pada sel atau jaringan yang terluka dan memakan benda asing
53
keradangan yang kronis pada beberapa jaringan akibat infeksi Salmonella
6,97 x 103/ µL. eosinophilia atau peningkatan eosinofil dalam darah biasanya terjadi
karena adanya parasit, baik parasit internal maupun ekternal (Stockham and
hospes dan parasit yang berlangsung lama akan menyebabkan timbulnya respon
karakteristik lain pada kebanyakan infeksi parasit, tetapi tidak semuanya. Biasanya
parasitologi, dan patologi klinik. Hemoraghi yang terjadi di intestine ayam dengan
menyebabkan respon sekretori pada sel epitel yang menghasilkan akumulasi cairan
dalam lumen usus yang dapat menyebabkan hemoraghi dan peradangan. Menurut
Poelongan (2014), adanya peradangan usus serta penghancuran lamira propria alat
dari tiga jenis antigen utama, yaitu antigen somatic (O), antigen kapsul (Vi) dan
54
antigen flagella (H), Salmonella pullorum. mempunyai antigen H yang dapat
menyebabkan peradangan.
menembus mukosa usus masuk ke dalam sirkulasi darah atau limfatik dan dapat
menimbulkan respon kekebalan humoral dan seluler. Bakteri dapt bertahan dalam
pulmo, ovarium, dan ginjal yang dapat menimbulkan reaksi yang sama yaitu
55
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
mikrobiologi, parasitology dan patologi klinik ayam dengan nomor protokol A-03
Menopon gallinae.
6.2 Saran
pemeliharaan dan sanitasi kandang, mengurangi faktor penyebab stres pada ayam
seperti pemberian nutrisi yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh tetap
terinfeksi parah dimusnahkan untuk menghindari adanya carrier bagi hewan lain.
antibiotik dengan dosis yang tepat dan pengendalian kutu dapat dilakukan dengan
56
VII. PATOGENESA
Faktor predisposisi :
Lingkungan kandang yang buruk, belum pernah di
vaksin, belum pernah mendapatkan pengobatan.
Infeksi Infestasi
Ayam A-03
Salmonella Menopon gallinae
pullorum.
57
DAFTAR PUSTAKA
Amri, F., S. Arman, dan Darniati. 2017. Isolasi dan identifikasi bakteri enterik
pada feses gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di pusat
konservasi gajah (PKG) Saree Aceh Besar. JIMVET. 01(3) : 305-315.
Arliny, Y., 2015, Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus Implikasi Klinis Dua
Epidemik. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 01 (1) : 15-20
Arifin, I. M. 2015. Deteksi Salmonella pullorum. pada daging sapi di pasar
tradisional dan modern di kota Makassar. Jurnal penelitian. Universitas
Hasanuddin, 4(6) : 117-122.
Aktar, N., Rabeya and M. Ilias. 2016. Isolation and Identification of Salmonella
sp. from diffrent food. International Jurnal of Biosciences. 8(2) : 16-24.
Afriyani, Darmawi, Fakhrurrazi, Z. H. Manaf, M. Abrar, dan Winaruddin. 2016.
Isolasi bakteri Salmonella pullorum pada feses anak ayam broiler di pasar
Ulee Kareng Banda Aceh. Jurnal Medika Veterinaria. 10(1) : 74-76.
Budiarso, T.Y. dan M.J.X. Belo. 2009. Deteksi cemaran Salmonella pullorum pada
daging ayam yang dijual di pasar tradisional di wilayah Kota Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional. Fakultas MIPA Universitas Negeri
Yogyakarta, Yogyakarta.
Cappucino, J.G, Sherman N., 2014,. Microbiology a laboratory manual 6th ed.
San Francisco: Benjamin Cummings, pub Co p. 280.
CDC 2017. Salmonella sp. http://www.cdc.gov/media/subtopic/library/Disease
Agents/img 18.jpg,(diakses 28 juni 2019)
Dirjenak dan Keswan, 2014. Manual penyakit Mamalia Kementrian Pertanian.
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Erina, Azmansyah, Darniati, Fakhrurrazi, Safika, dan Tongku,dan Siregar. 2019.
The Isolation And Identification Of Bacteria Salmonella pullorum On Quail
Egg Shell In Traditional Markets Ulee Kareng,. Jurnal Medika Veterinaria.
13 (1) :79-87
Erina., Mahdi A., Balqis A.S., Maryulia D., Darmawi., Darniati., dan Muttaqien
B.2017. Isolation and Identification of Salmonella pullorum in spleen of
male layer chicken in Sibreh farms. Jurnal Medika Veterinaria.13 (2) : 69-
70
Elvioleta, I.,Erina, F. Jamin, dan Darniati. 2015. Isolasi Salmonella pullorum. Pada
Burung puyuh (Coturnix- coturnix japonica) di kecamatan Darul Imarah
Aceh Besar.Jurnal Medika Veterinaria. 9 (2): 80-91
Feldman, B.F., ZinkI, J.G. and Jain, N.C.2000. Schalm’s Veterinary Hematology
5th edition. Philadelphia : Lippincott William and Wilkins.
58
Guyton, A. C. dan J. E. Hall. 2010. Buku saku Fisiologi kedokteran. (H.Muttaqim,
N. Yesdelita, Eds., & B.U.Pendit,Trans)Jakarta :ECG.
Gandasoebrata, 2001. Penuntun laboratorium klinik. Edisi 10. Jakarta. Aran
Rakyat.
Henuk,Y.L.2015.The role of family poltry production systems in developing
countries.A paper presented in the 1st Internasional Conference on Native
Chicken, February 23-25,2015. Central Hotel, Khon Kaen, Thailand.Khon
kaen Agr.J.43 Suppl. 2 : 249-253.
Isroli, S. Susanti, E. Widiastuti, T. Yudiarti, dan Sugiharto. 2009. Observasi
beberapa variabel hematologis ayam kedu pada pemeliharaan intensif.
Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan, Semarang, 20 Mei 2009. Hal.
548-557.
Khan, V., Kumar, S., Gupta, N., Ahmad, A. and Saxena, A.K.(2003). Prevalence
of phthirapteran ectoparasites on selected poultry in the district, Rampur
(U.P.). Indian VeterinaryJournal, 20 (85): 447-448
Kusumaningsih, A. 2007. Profil dan gen resistensi antimikroba Salmonella
enterica serotipe Enteritidis asal ayam, telur dan manusia. Disertasi
Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 113 hlm.
Kusumaningsih, Riana Dewi. 2011. Analisis Efisiensi Ekonomi Penggunaan
Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani Kubis di Kabupaten Karayangan.
[Skripsi].Surakarta. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. 85 hal.
Kiswari Rukman. (2014) Hematologi & Transfusi.Jakarta : Erlangga
Leboffe, M.J., dan Burton, E.P. 2011. A Photographic Atlas for the Microbiology
Laboratory 4th Ed. Morton Publishing. Colorado. Hal : 211
Mukhtaruddin, Fakhrurrazi ,dan M. Abrar.2018. Isolasi dan identifikasi bakteri
Salmonella pullorum. pada usus ayam kampung di desa lampuja kecamatan
Darussalam kabupaten Aceh Besar . Jurnal Medika Veterinaria. 8 (1) :33-
40
Nugrahayu, Erika Ributari. (2011).Penerapan Metode Balance Scorecard sebagai
Tolak Ukur Pengukuran Kinerja Kesehatan Jurnal. Ilmu dan Riset
Kesehatan. 21 (2) : 45-52
Nelma S., Erina., Mahdi A., Elia W., Fakhrurrazi., Razali D.,2018. isolasi dan
identifikasi Salmonella pullorum. Dan Shigella pada feses kuda Bendi di
Bukit Tinggi Sumatra Barat.Jurnal medika veterinaria. 3 (10) : 62-67
Natadisastra, D dan A. Ridad. 2005. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. EGC. Jakarta
59
Oliveira, G., H. DE, A. Berchieri junior, H.J. Montasiee and A.C. Fernandes. 2004.
Assesment of serological response of chickens to Salmonella gallinarum
and Salmonella pullorum, Brazilian J. Poult. Sci. 6 (2) : 111 – 115.
Putri, R.W.A. 2016. Identifikasi Bakteri Eschericia coli dan Salmonella pullorum
pada Jajanan Batagor di Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Pisangan,
Cirendeu, dan Cempaka Putih Kecamatan Ciputat Timur. Skripsi. Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Uin Syarif Hidayatullah Jakarta
Parvej, M.S.2013.Isolation, Identification And Molecular Caracterization Of
Poultry Salmonella.(Tesis).Departemen Of Microbiology And Hygiene
Bangladesh Agricultural University.
Poernomo, S. 2004. Variasi tipe antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di
Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada ternak (PO).
Wartazoa 14(4): 143 – 159.
Palma, R.L.2017. Phtiraptera (insecta) A catalogue of parasitic lice from New
Zaeland. Fauna of New Zaeland.New Zaeland
Pattison, M., McMulin, P.F.,Bradbury, J.M., and Alexander,D.J. 2008.Poultry
Diseases sixth Edition.Saunders Elsevier.Cina
Prastowo J. dan Bambang A. 2015.Pengaruh ektoparasit terhadap Gambaran
Darah dan Elektrolit Ayam Kampung (Galus galus domesticus). Jurnal
media veterinaria 2 (7) : 21-30
Poeloengan M., Komala I., Noor S.M. 2014. Bahaya Salmonella Terhadap
Kesehatan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2002. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. London (GB): Blackwell Science.
Rasyaf, M. 2007. Beternak Ayam Broiler. Jakarta: Penebar Swadaya.
Suryani, Isti, Agus Santoso, dan M.Juffrie. 2010. Penambahan Agar-Agar dan
Pengaruhnya Terhadap Kestabilan dan Daya Terima Susu Tempe pada
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Jurusan Gizi. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia Vol. 7, No. 2 hal: 85-91.
Suwandono, A.M. Destri dan C. Simanjuntak, 2005. Salmonellosis dan Surveillans
demam tifoid yang disebabkan Salmonella di Jakarta Utara. Disampaikan
dalam Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan – BPOM RI, Jakarta, 25
Januari 2005.
Shivaprasad HL, Barrow PA. 2008. Pullorum disease and fowl typhoid, p620–634.
In Saif YM, Fadley AM (ed), Diseases of poultry, 12th ed. Iowa State
University Press, Ames, IA.
60
Saif. Y. M. A.M. Fadly., J.R. Glisson., E.R.McDougald., L.K. Nolan., and D.E.
Swayne. 2008. Disease of Poultry 12th ed. Singapore : Faboulus Printers Ptc
Ltd.
Setiawan YY. 2013. Efektivitas Sipermetrin terhadap kutu Menopon gallinae
dengan metode penyemprotan pada ayam petelur [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Suprijatna, E., A,Umiyati, dan K, Ruhyat. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Stockham, S.L.,and M.A.Scott.2008. fundamentals of Veterinary Clinical
Pathology, Second Edition. Blackwell Publising. Lowa, USA.
Sugiarti. 2003. Pembangunan dalam Perspektif Gender. UMM PRES, Malang.
Todar, K. 2008. Salmonella dan Salmonellosis. http://www.textbookof
bacteriology.ne/salmonella.html. Diakses 15 juli 2019.
Teresa Y.M.2005. Common Eksternal Parasites in Poultry: Lice and Mites.
Yogyakarta.
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penyakit Asal
Parasit, Noninfeksius, dan Etiologi Kompleks Volume 2. Penerbit
Kanisius. Yoggyakarta. 3-25.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2013. Veterinary Parasitology. Ed3. London
(GB): Blackwell Science
Ulupi, N.2014.Kajian ketahanan ayam kampung terhadap Salmonella Enteriditis
menggunakan Gen Tlr4 sebagai penciri Genetik (Skripsi).Institut Petranian
Bogor.
Widianingsih, M., dan Dewi R.B. 2017. Identifikasi Salmonella pullorum. Pada
sapi perah di Dusun Judeg Desa Babadan Kediri. JAS. 7 (3) : 50-57
Wana P.W. 2001. Sebaran Kutu (Menoponidae: Menopon dan Philopteridae:
Goniodes) pada Beberapa Tubuh Bagian Ayam Kampung. [Skripsi]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary ectoparasites: biology. In: Pathology and
Control. Ed.2.London (GB): Blackwell Science. 304.
Yuswananda, N.P. 2015. Identifikasi bakteri Salmonella pullorum pada makanan
jajanan di masjid Fathullah Ciputat tahun 2015. Laporan Penelitian.
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Zaraswati, D. 2006. Mikrobiologi Farmasi. Universitas Hasanuddin, Makassar.hal
110-115
61