Anda di halaman 1dari 61

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ayam kampung adalah sebutan di Indonesia bagi ayam peliharaan yang

tidak dibudidayakan dengan cara budidaya masal atau komersial serta tidak berasal

usul dari ras yang dihasilkan untuk kepentingan komersial. Istilah “ayam kampung”

semula adalah kebalikan dari istilah ayam ras, dan sebutan ini mengacu pada ayam

yang ditemukan berkeliaran bebas disekitar perumahan. Namun demikian semenjak

dilakukan program pengembangan, pemurnian, dan pemuliaan beberapa ayam lokal

unggul, maka saat ini dikenal pula beberapa ras unggul ayam kampung. Untuk

membedakan, kini dikenal istilah ayam buras (singkatan dari “ayam bukan ras”)

bagi ayam kampung yang telah diseleksi dan dipelihara dengan perbaikan teknik

budidaya. Peternakan ayam kampung memiliki peranan yang cukup besar dalam

mendukung ekonomi masyarakat pedesaan, karena memiliki daya adaptasi yang

tinggi terhadap lingkungan dan pemeliharaanya relatif lebih mudah. Salah satu

bahan pangan asal hewan berprotein tinggi yang banyak dikonsumsi oleh

masyarakat Indonesia adalah daging ayam dan telur. Kedua bahan pangan ini telah

dikonsumsi sejak lama untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat di hampir

seluruh Indonesia bahkan diseluruh dunia. Telur bukan hanya sebagai bahan pangan

yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, namun telur juga berperan penting dalam

peningkatan kecerdasan manusia (Suryani dkk., 2010).

Menurut Suryani (2010), penyakit yang terjadi pada ternak ayam, umumnya

timbul bila keadaan pemeliharaan kurang baik, kondisi kandang yang tidak

1
memenuhi syarat kesehatan (sinar matahari yang kurang atau tidak masuk sama

sekali) dan disertai pemberian ransum yang kurang sempurna. Penyakit bakteri

yang sering menyerang pada ayam petelur diantaranya Pullorum (berak putih),

Fowl typhoid, Paratyphoid, Kolera unggas dan Coryza (pilek ayam).

Salmonellosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang disebut foodborne

diarrheal disease dan terdapat di seluruh dunia. Disebut foodborne diarrheal disease

karena penyakit ini ditularkan oleh ternak carrier yang sehat ke manusia melalui

makanan yang terkontaminasi Salmonella pullorum. dan menyebabkan enteritis.

Di negara berkembang seperti Indonesia, dokter praktek dan rumah sakit sering

menerima pasien dengan diagnosa thypus atau parathypus dengan insiden yang

cukup tinggi sepanjang tahun. Insidensi salmonellosis di negara-negara

berkembang yang menyerang manusia meningkat antara tahun 1980-1990an,

sejalan dengan semakin intensifnya budidaya ternak dan munculnya klon-klon

Salmonella baru. Ayam adalah salah satu sumber penularan penting Salmonella.

Masalahnya berawal dari peternakan, dimana anak ayam yang dipelihara dalam

kondisi komersial sangat rentan terhadap infeksi Salmonella karena mikroflorausus

lambat berkembang sehingga kalah bersaing jika ada serangan bakteri patogen

enterik. Anak ayam ini jika tidak sakit akan bertindak sebagai carrier, dan menjadi

sumber kontaminan pada rantai produksi makanan (transportasi, rumah potong

unggas, industri pengolahan makanan) dan pasar. anak ayam yang baru menetas

dapat tertularinduknya dan terjadi dalam minggu ke 2-3 dengan angka kamatian

yang tinggi yaitu sampai 85%.(Poeloengan dkk.,2014).

2
1.2 Tujuan Pemeriksaan

Tujuan dari koasistensi diagnosa laboratorik ini adalah untuk menganalisa

penyebab penyakit pada ayam dengan melakukan pemeriksaan di laboratorium.

1.3 Manfaat Pemeriksaan

Hasil dari pemeriksaan ini diharapkan dapat memberikan informasi pada

peternak atau pemilik ayam kampung dan segala pihak yang terlibat mengenai

penyakit pada ayam kampung yang dibudidayakan, sehingga dapat dilakukan

tindakan pencegahan, penanganan dan pengobatan.

1.4 Riwayat Kasus

Pada tanggal 5 Juli 2019 telah dilakukan euthanasia dan nekropsi pada

seekor ayam kampung betina umur ± 7 bulan, berat badan 450 gram, milik bapak

Kawit yang beralamat di Ploso Timur gang 1d No.18. Hasil anamnesa menunjukkan

populasi 5 ekor, sakit 2 ekor, mati 1 ekor, ukuran kandang 3 x 1 x 1 m 2 , belum

pernah di vaksin, kandang terbuat dari bambu, pakan dedak campur nasi, minum

air PDAM. Gejala klinis anoreksia, lesu, diare putih sayap menggantung, dan bulu

kusam. Dengan demikian untuk mengetahui adanya agen penyebab penyakit, maka

perlu dilakukan pemeriksaan lanjut secara laboratorik.

3
II. TINJUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Kampung

Ayam kampung merupakan salah satu dari berbagai macam keragaman

ayam lokal yang ada di Indonesia yang tidak memiliki ciri atau karakteristik khusus

dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia, yang sering disebut sebagai ayam lokal

atau ayam kampung. Perkembangan ayam lokal Indonesia atau ayam kampung

dimulai semenjak proses domestikasi, sehingga dikenal sebagai ayam asli atau

native chicken. Proses domestikasi ayam lokal Indonesia sampai saat ini belum

terdokumentasi dengan baik, meskipun demikian Ulupi (2014), telah menemukan

klasifikasi taksonomi ayam kampung di Indonesia yaitu :

Dunia : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Famili : Phasianidae
Genus : Gallus
Spesies : Gallus gallus
Subspesies : Gallus gallus domestikus

Klasifikasi ayam kampung disesuaikan dengan kemampuan ayam itu

sendiri misalnya untuk keindahan bulu,suara kemampuan bertarung dan lain – lain.

Oleh sebab itu ayam kampung di Indonesia juga dipelihara untuk hobi atau

kesenangan. Di kota maupun di pedesaan, ayam kampung ummnya hanya dilepas

4
dan diberi makan ala kadarnya sehingga kurangnya perhatian terhadap kebersihan

lingkungan dan kesehatan. Manajemen pemeliharaan dan perawatan sangat

mempengaruhi kesehatan ayam kampung. Berbagai penyakit dapat menyerang

ayam dan menyebabkan gejala klinis yang bervariasi ( Ulupi, 2014).

2.1.1. Karakteristik Ayam Kampung

ayam kampung di Indonesia mempunyai ciri-ciri yaitu bentuk tubuh

ramping, kompak, dan padat dengan pertumbuhan daging yang relative baik. selain

itu juga dijelaskan bahwa warna bulu ayam kampung bervariasi yaitu merah, coklat,

hitam, putih, kuning keemasan, lurik, maupun kombinasinya. Pertumbuhan

bulunya sempurna, serta memiliki kaki panjang dengan sisik kuning, putih, maupun

hitam. Ayam kampung memiliki kelebihan pada daya adaptasi yang tinggi karena

mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan, dan

perubahan iklim serta cuaca setempat. Selain itu daging dan telur ayam kampung

memilik rasa khas yaitu gurih yang banyak disukai oleh masyarakat dan menjadi

salah satu makanaan favorit. (Henuk., 2015).

selain itu ayam kampung juga mempunyai beberapa kelemahan seperti

produktivitasnya yang rendah dan kesulitan untuk mendapatkan bibit yang baik,

unggul dan seragam, produksi ayam kampung tergolong cukup rendah yaitu rata-

rata produksi telur per tahun hanya 60 butir dengan berat rata-rata 30 gram/butir.

Berat badan ayam kampung yang sudah tua tidak lebih dari 1,9 kg sedangkan ayam

kampung betina lebih rendah yaitu 1,3 kg sampai 1,5 kg (Rasyaf, 2007).

5
2.2 Menopon gallinae

Menopon gallinae merupakan ektoparasit yang sering dikenal sebagai kutu

batang bulu ayam (shaft louse) disebut demikian karna kutu tersebut sering

dijumpai menempel pada batang bulu ayam dan berwarna kuning pucat. Kutu

menopon gallinae betina memiliki preferensi oviposisi pada bagian dasar bulu

inangnya. Kutu ini dianggap berbahaya bagi unggas muda, karena Infestasi kutu

pada unggas muda yang masih memiliki imunitas rendah dapat menyebabkan stres

sehingga rentan terhadap infeksi penyakit serta menyebabkan kematian (Setiawan

2013).

Menopon gallinae adalah kutu yang masuk ke dalam Kelompok Amblycera,

merupakan kelompok kutu penggigit dengan ciri khas kepala lebar dan mempunyai

palpus maksila, merupakan spesies kutu yang biasa ditemukan pada ayam, menurut

Khan et al ( 2003). Kutu Menopon gallinae diklasifikasikan ke dalam :

kelas : Insecta
ordo : Phthiraptera
sub ordo : Mallophaga
kelompok : Amblycera
family : Menoponidae
spesies : Menopon gallinae

Gambar 2.1. Bulu ayam yang terinfeksi telur menopon gallinae ( Teresa,2005)

6
Gambar 2.2. Menopon gallinae betina kiri dan betina kanan (Palma,2017)

Menopon gallinae berukuran kecil, mempunyai panjang 1.5 – 2.5 mm, dan

berwarna kuning pucat. Kutu ini mempunyai kepala berbentuk segitiga yang

melebar dan diperluas di belakang mata. Palpus maksila berukuran kecil dan terdiri

atas empat segmen, sedangkan palpus labial biasanya hanya satu segmen dan

memiliki lima seta distal. Kutu ini mempunyai sepasang antena yang terletak dalam

lekukan/fossa di regio kepala kutu. Antena tersebut terdiri atas empat atau lima

segmen. Antena yang terdiri atas empat segmen memiliki dua sensila yang

berdekatan dengan segmen terminal, sedangkan jika ada lima segmen maka hanya

memiliki satu sensilum pada segmen keempat dan kelima. Segmen toraks kutu ini

tidak menyatu dan terpisah dari tergum satu. Mesonotum tidak memiliki tonjolan

seta. Abdomen Menopon gallinae memiliki delapan sampai sepuluh segmen yang

ditutupi oleh rambut seta. Setiap segmen abdomen di bagian dorsal hanya terdapat

sebaris rambut seta. Rambut seta berfungsi sebagai pelindung mekanik bagi kutu.

Kaki kedua dan ketiga memiliki dua tarsal claws. Kutu betina dewasa meletakkan

telur secara berkelompok di dasar tangkai bulu pada regio dada dan kaki. Telur

7
tersebut menetas menjadi nimfa yang akan melalui tiga tahap hingga menjadi

dewasa (Wall dan Shearer 2001).

Menopon gallinae mempunyai tipe mulut penggigit dan tidak menusuk kulit

inang, tetapi dapat memakan darah pada ayam muda dan menggigit hingga ke

dalam tangkai bulu, Menopon gallinae sering ditemukan dalam jumlah banyak pada

ayam dewasa daripada ayam muda. Hal ini disebabkan pertumbuhan bulu pada

ayam muda belum sempurna seperti pada ayam dewasa. Infestasi kutu ini pada

ayam muda dalam jumlah besar dapat berakibat fatal. Ayam yang terinfestasi parah

oleh kutu ini dapat mengalami anemia hiperkromik dan penurunan bobot badan

hingga kematian. Menopon gallinae juga dapat menginfestasi kalkun dan bebek,

khususnya jika dipelihara berdekatan dengan ayam (Taylor et al. 2013).

2.2.1 Siklus Hidup

Siklus hidupnya betina dewasa meletakkan telurnya pada area dibawah

bulu. Telur menetas menjadi nimpa, dimana melewati tiga tahap yaitu instar 1,

instar 2, dan instar 3. sebelum berganti bulu hingga menjadi dewasa seksual. Telur

menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-18 hari, telur berwarna putih berbentuk

lonjong, dan diletakkan pada batang bulu. Perkembangan kutu dari telur hingga

menjadi dewasa memakan waktu sekitar 7-21 hari. Sifat individualnya berpindah –

pindah dan bergerak cepat ( Wall and Shearer, 2001). Siklus hidup kutu ini, mulai

telur hingga dewasa, terjadi dalam tubuh induk semang. Kutu dapat berkembang

biak dari satu kelompok generasi ke generasi berikutnya pada hewan yang sama.

8
Pada umumnya kutu – kutu tersebut tidak pernah mau meninggalkan tubuh induk

semangnya ( Tabbu, 2002)

2.2.2 Gejala Klinis

Gejala unggas yang terserang ektoparasit diantaranya ayam gelisah, tidak

tenang sehingga stress, lesu dan kurang darah, pucat, pertumbuhannya terhambat,

dan produksinya turun, beberapa spesies kutu penggigit atau pengunyah dapat

menginfeksi unggas. Mereka menghabiskan seluruh siklus hidup mereka pada host

/ ianag dan menyebabkan iritasi sebagai akibat dari memakan kulit dan bulu unggas

( Pattison et al., 2008). Menopon gallinae bertempat tinggal pada tangkai badan

bulu ayam dan memakan bagian bulu ayam. Ini terjadi secara meluas pada bagian

paha dan dada, meskipun terjadi, hal ini jarang menyebabkan kasus pathogen. Kutu

merupakan ektoparasit yang penting pada burung – burung domestik, karena

diantaranya menyebabkan iritasi, gatal – gatal, menggaruk – garuk dan

merontokkan bulu pada infeksi sekunder. ( Wall and Shearer, 2001).

2.2.3 Pencegahan dan pengobatan

Kejadian ektoparasit pada ayam dapat dicegah dengan cara kandang harus

selalu dibersihkan, konstruksi kandang harus mudah dibersihkan, dan kandang

harus bebas dari sarang-sarang hewan liar. Apabila unggas terjangkit maka dapat

diobati dengan cara: (a) untuk mengatasi gurem atau kutu yang menempel di sisik-

sisik kaki, atau rendam kaki dengan minyak tanah. Selain itu, cat tempat bertengger

dan dinding dengan carboleneum atau minyak anthresene, (b) cara tradisional dapat

dilakukan dengan air larutan tembakau yang dioleskan pada tempat-tempat kutu

9
atau gurem menempel, (c) olesi bulu atau tempat yang menjadi sarang kutu dengan

nicotin sulfa, dan (d) Semprot kandang dengan malaion berdosis 4-5% dan pada

ayam dengan dosis 0.5%.(Suprijatna et al., 2005).

Infestasi kutu secara umum dapat diobati dengan cara dibedaki, dimandikan

atau disemprot dengan insektisida antara lain Sodium floride, Carbary 5 %,

Coumaphos 0.06 %, Thoxaphene, Hexacloro Cyclo Hexane (HCH), Lindane dan

Malathion 0,01 % (Oka dan Imade, 2017).

2.3 Salmonellosis

Salmonella pullorum. adalah salah satu bakteri batang gram negatif yang

bersifat pathogen mempunyai flagel perithrik untuk bergerak dan merupakan agen

yang paling sering menyebabkan food borne disease di dunia. Karena habitat

aslinya yang berada didalam usus manusia maupun binatang, Infeksi Salmonella

pullorum. pada hewan maupun manusia dapat menyebabkan Salmonellosis yang

mengganggu saluran cerna dan banyak diantaramya dapat mengakibatkan

kematian. (Suwandono et al., 2005). Salmonella pullorum. yang terbawa oleh

makanan atau minuman akan masuk ke dalam saluran pencernaan, dan di dalam

lambung bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam lambung, namum bakteri yang

lolos akan masuk ke dalam lumen usus, dan kemudian bakteri ini akan melakukan

penetrasi pada mukosa usus bakteri ini akan tinggal secara intraseluler dan akan

berproliferasi ( Widianingsih dan Dewi, 2017)

Salmonella pullorum telah diketahui menyebabkan penyakit pada unggas

dan dianggap penting pada industri perunggasan. Penyakit pulorum tersebar luas di

10
berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Serovar Salmonella pullorum

menyebabkan infeksi yang bersifat enterik dan atau sistemik sehingga dapat

menimbulkan respon antibodi humoral dengan titer tinggi yang dapat dideteksi

dengan serum aglutinasi atau whole blood aglutinasi (Oliveira et al., 2004).

Selain Salmonella pullorum Infeksi S.enteritidis pada ternak di Indonesia

khususnya ternak unggas dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini dilaporkan

cenderung meningkat berdasarkan hasil isolasi dan serotyping (Poernomo.,2004).

namun demikian data lengkap tentang prevalensi dan penyebaran infeksi S.

enteritidis pada ayam baik dengan serologik maupun kultural belum banyak

diketahui. Infeksi S. enteritidis pada industri perunggasan dipandang sangat penting

dari aspek kesehatan masyarakat veteriner, karena adanya transmisi bakteri secara

vertikal melalui telur. Menurut laporan dari negara-negara di Eropa dan Amerika

dilaporkan bahwa infeksi fowl Salmonellosis yang berkaitan dengan aspek

kesehatan masyarakat veteriner mendapat perhatian secara khusus terutama dalam

diagnosis penyakit. Keberhasilan dalam deteksi infeksi S.enteritidis pada ayam di

dalam flok dan transmisi bakteri melalui telur, Hal serupa dilaporkan juga di

Indonesia, bahwa S. enteritidis dapat diisolasi dari telur-telur yang dijual di pasar

di daerah Bogor (Kusumaningsih, 2007).

2.3.1 Etiologi

Genus Salmonella pertama kali diperkenalkan oleh Daniel Elmer Salmon

seorang ahli patologi Amerika. Salmonella hanya memiliki dua spesies yaitu itu

Salmonella bongori dan Salmonella enterica dan mempunyai lebih dari 1800

11
serotipe yang ditemukan pada hewan dan manusia, termasuk hewan liar, reptile,

burung liar dan insekta. semuanya bersifat patogen, dimana beberapa serotipe

mempunyai induk semang spesifik dan gejala yang di timbulkan tidak khas

misalnya Salmonella typimurium. Diantara serotipe yang mempunyai inang

spesifik adalah S.typhi, S.paratihy A-B dan C, S.sendai menyerang manusia,

S.gallinarum dan S.pullorum menyerang unggas, S.abortus pada babi, S.dublin

menyerang sapi, S.abortus ovis menyerang kambing, dan S.abortus equi

menyerang kuda (Dirjenak dan Keswan 2014). Salmonellosis pada unggas bisa di

sebabkan oleh Salmonella pullorum. Selain Salmonella pullorum dan Salmonella

gallinarum yang merupakan suatu kelompok bakteri yang tidak mempunyai host

yang spesifik. S. Pullorum penyebab utama kerugian secara ekonomi pada industry

perunggasan, khususnya pada Negara-negara berkembang. Sifatnya yang pathogen

tidak hanya menyebabkan kematian yang tinggi pada anak ayam juga dalam jangka

waktu yang panjang berada dalam limpa, saluran reproduksi, menginfeksi telur, dan

keturunannya (Shivaprasad dan Barrow, 2008). Menurut Todar (2008) klasifikasi

taksonomi Salmonella pullorum. Sebagai berikut :

kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
kelass : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
family : Enterobacteriaceae
genus : Salmonella
species : Salmonella pullorum.

12
Gambar 2.3 Salmonella pullorum. ( CDC, 2017)

2.3.2 Gejala Klinis

Gejala klinis penyakit Salmonellosis pada ayam kadang tidak menunjukkan

ciri yang khas, anak ayam terlihat ngantuk, berdiri pada satu kaki dengan kepala

tertunduk kebawah, mata tertutup, sayap menggantung dan bulu berdiri. Anak ayam

akan kehilangan nafsu makan (Anoreksia), tetapi konsumsi air meningkat,anak

ayam akan lebih sering minum, diare prufus yang encer disertai oleh material

menyerupai pasta putih yang melekat di daerah kloaka dan sekitarnya. Di samping

itu terlihat juga anak ayam yang kedinginan dan cenderung untuk berkumpul di

bawah pemanas. Kadang – kadang terlihat adanya konjungtivis dan kebutaan akibat

kekeruhan pada kornea dan adanya eksudat kaseus di dalam bola mata (Dirjenak

dan Keswan, 2014).

Infeksi pada ayam dewasa umumnya tidak menunjukkan gejala klinis

tertentu. Infeksi akut pada ayam dara atau ayam dewasa jarang terjadi pada kondisi

alami. Gejala klinis yang terlihat pada ayam dewasa yang terinfeksi oleh

13
Salmonella typimurium, meliputi diare yang disertai oleh depresi dan kelemahan

umum, sayap menggantung dan bulu berdiri. (Dirjenak dan Keswan, 2014).

Gambar 2.4 Ayam yang terinfeksi Salmonelosis (Dokumentasi pribadi)

2.3.3 Perubahan Patologi

Pada ayam muda lesi mungkin tidak terlihat pada kasus yang sangat akut,

pada kasus yang kurang akut , lesi yang terlihat meliputi emasiasi, dehidrasi,

kongesti hati dan limpa dengan jalut – jalur hemoragika atau foki nekrotik, kongesti

ginjal dan pericarditis yang disertai oleh perlekatan antara perikardum dan jantung.

Jika anak ayam yang terserang, maka akan dijumpai adanya yolk sac yang belum

terserap dan berisi eksudat radang bewarna coklat kehijauan. pada pemeriksaan

antemortem Ayam yang belum mati pada fase septisemik akut akan menunjukkan

daerah nekrosis yang multifokal di dalam paru, hati dan jantung. Terlihat juga

adanya perihepatitits, pericarditis, peritonitis, dan enteritis hemoragika. Pada

sekitar sepertiga dari ayam yang mati karena Salmonellosis, dapat ditemukan

adanya sekum yang mengalami distensi dengan lumen yang mengandung massa

14
menyerupai pasta, yang terdiri atas jaringan nekrosis yang mengeras dan bewarna

kelabu. (Dirjenak dan Keswan, 2014)

Pada ayam yang terinfeksi Salmonella enteriditis biasanya ditemukan lesi

yang bersifat septisemik, pericarditis dan perihepatitis. Pericarditis ditandai oleh

penebalan dan peningkatan vaskularisasi pericardium dan adanya cairan yang keruh

di dalam kantung pericardium. Kadang – kadang terlihat juga adanya penoftalmitis

purulenta oleh hyperplasia kornea. Lesi pada mata dapat ditemukan pada

konjungtiva, kornea dan pupil. Di dalam sudut mata anterior dapat dijumpai adanya

suatu masa berbentuk bulat berwarna kuning kelabu. (Dirjenak dan Keswan, 2014)

(a) (b)
Gambar 2.5. (a) ayam terinfeksi Salmonella pullorum. Terlihat adanya perbesaran

hati dengan focal nekrosis,(b) adanya lesi berbentuk bungkul pada usus

2.3.4 Isolasi dan Identifikasi

Sebelum di biakkan pada media SSA, sample di tanam pada media Nutrient

Broth dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37° C, kemudian ditanam pada

media Salmonella Shigella Agar (SSA) dengan teknik goresan T. Koloni terpisah

pada media SSA. (Nelma dkk., 2018) . Sample terbaik yang sering digunakan pada

15
uji Salmonella pullorum. Adalah saluran pencernaan beserta isisnya, karena infeksi

Salmonella hampir selalu berkolonisasi di saluran usus (Saif et al, 2008).

Gambar 2.6 Koloni Salmonella pullorum. pada media SSA ( Nelma dkk,2018)

Berdasarkan hasil pengamatan terdapat koloni yang hitam dan black center,

hasil ini diduga sebagai bakteri Salmonella pullorum yang menghasilkan H2S. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Zaraswati (2006), bahwa hasil uji SSA memberikan

zona kuning diantara koloni hitam dan pertumbuhan mikrobanya berwarna merah

atau hitam. Mikroba melakukan reduksi tiosulfat menjadi sulfat sehingga terlihat

sebagai koloni hitam. Beberapa Salmonella pullorum menghasilkan bulatan hitam

ditengah koloni (black centre) sebagai hasil produksi gas H2S. Hasil pengamatan

pada media SSA ditemukan koloni berbentuk bulat, cembung dan berwarna hitam

ini diduga sebagai Salmonella pullorum.

Salmonella pullorum. Dapat tumbuh pada berbagai macam media

diferensial dan selektif. Media diferensial yaitu berisi laktosa dengan indikator pH,

namun tidak mengandung inhibitor non Salmonella. Contoh media diferensial

adalah EMB (Eosin Methylene Blue), MacConcey agar dan medium deoxycholate

16
dan dapat menghasilkan H2S. contoh media selektif yaitu Salmonella- Shigella (SS)

agar, Hektoen enteric agar, XLD ( Xylose Lysine Deoxycholate) agar,

deoxycholate-cirate agar yang mendukung pertumbuhan Salmonella dan Shigella

atas lainnya Enterobactericeae. Media yang paling sering digunakan adalah

medium selektif. Media SSA mengandung bile salt, brilliant green dan sodium

sitrat yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan

beberapa bakteri yang memfermentasi laktosa.(Yuswananda, 2015).

Bakteri yang telah tumbuh di media spesifik Salmonella Shigella Agar

(SSA) dilanjutkan dengan pewarnaan gram. Siapkan ose bulat, lalu panaskan ose

hingga pijar kemudian ambil NaCl steril menggunakan ose, teteskan pada kaca

objek yang sebelumnya telah diberi batas berbentuk oval di bagian bawahnya.

Panaskan kembali ose hingga pijar, diamkan hingga tidak panas, ambil koloni

bakteri yang telah tumbuh pada media dengan ose, lalu oleskan pada kaca objek

dan ratakan dengan NaCl steril yang telah diteteskan sebelumnya, lewatkan kaca

objek diatas api kecil atau diamkan hingga mongering sendiri. Letakkan kaca objek

diatas rak pewarnaan. Teteskan Kristal Karbol Ungu (KKU) atau gentian violet,

diamkan selama 5menit, bilas dengan air mengalir. Tetskan lugol, diamkan selama

1 menit, bilas dengan air mengalir. Tetskan alkohol sampai tidak ada lagi warna

ungu yang luntur. Tetskan safranin, diamkan selama 45 detik, bilas dengan air

mengalir. Lalu keringkan kaca objek dengan menggunakan tisu ( tidak digosok atau

diusap bagian atasnya) tetskan minyak emersi diatas kaca objek lalu amati dibawah

mikroskop dengan perbesaran 100x ( Putri, 2016)

17
Identifikasi bakteri dilanjutkan dengan uji IMViC. Uji IMViC meliputi

Indol,Methyl Red-Voges Proskauler (MR-VP), Simmons’s Citrate Agar (Oxoid),

SulfitIndol Mortiliti (SIM) dan, Triple Sugar Iron agar (TSIA). kemudian semua

tabung diinkubasikan pada suhu 370C selama 18-24 jam, Dalam indol ditambahkan

reagen kovak dan MR ditambah 5-10 tetes larutan metil red sedangkan VP ditambah

KOH dan α naptol.( Erina dkk, 2017 )

Tabel 2.1 Perbedann Hasil Uji Biokimia Bakteri Salmonella

Test Salmonella Salmonella Salmonella Salmonella


pullorum gallinarum pullorum. typhi
Laktosa - - - -
Glukosa + + + +
Maltosa + + + +
Indol - - - -
Citrate + + + -
Urease - - - -
Methyl Red tes + + + +
Voges-Proskouer tes - - - -
Motility - - + +
( Parvej, 2013),

Tabel 2.2 Karakteristik Salmonella pullorum. Pada uji biokimia


Karakteristik Reaksi
Indol -
Methyl Red +
Voges-Proskauer -
Urease -
SIM +
Sitrat +
Triple Sugar Iron Agar ( TSIA) +
Katalase +
Glukosa +
Laktosa -
Maltosa -
Sukrosa -
Mannitol +
(Elvioleta dkk.,2015)

18
2.3.5 Pengobatan

Obat – obatan yang dapat dipergunakan untuk ayam yang terserang

Salmonellosis adalah antibiotik ataupun antibakteri. Jika kesembuhan tidak tuntas,

maka resiko terjadinya carrier akan sangat besar. Uji sensivitas antibiotik

merupakan cara yang paling tepat untuk memilih obat yang sesuai, berbagai jenis

obat yang dpat digunakan untuk menanggulangi paratifoid antara lain adalah

furazolidon, gentamisin, spektinomisin, sulfametazin, dan kelompok kuinolon

(asam nalidiksisk atau asam oksolinat, flumekuin, enrofloksasin, norfloksasin).

Pengobatan sebaiknya disertai oleh eliminasi factor pendukung terjadinya infeksi

dan pelaksanaan sanitasi atau desinfeksi yang ketat (Dirjenak dan Keswan, 2014)

19
III. MATERI DAN METODE

3.1 Materi

Sample yang digunakan merupakan seekor ayam kampung betina, berumur

± 7 bulan dengan berat sekitar 450 gram dan bernomor protokol A-03. Bahan yang

digunakan untuk pemeriksaan patologi klinik adalah Ethylene diamine tetra acetic

(EDTA), NaCl fisiologis, reagen turk, reagen hayem, HCL, akuades, alkohol,

giemsa, methanol dan oil emersi. Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan

mikrobiologi adalah media Amies (media transport), Selenite broth Salmonella

Shigella Agar (SSA), uji biokimia (TSIA, SCA, SIM, Urease, MR dan VP).

Pewarnaan gram ( Crystal violet, lugol, alkohol, dan safranin), akuades, reagen

kovac,reagen metil red, reagen α-naptol, KOH, H2O2, alkohol 70%. Bahan

pemeriksaan parasitologi adalah methanol, minyak cengkeh, larutan gula jenuh,

akuades,larutan giemsa, pemeriksaan patologi anatomi menggunakan formalin

10% untuk pengawetan dalam pembuatan preparat histopatologi dan oil emersi.

Alat yang digunakan antara lain adalah : Nampan plastik, plastik clip steril,

plastik clip biasa, tabung darah/ eppendorf, alat nekropsi ( Meja nekropsi, pisau,

gunting tulang, gunting bedah, scalpel,bleed, pinset ), timbangan, gelas ukur, gelas

beker, objek glass, cover glass, tabung sentrifus, sentrifus, mikroskop, cawan petri,

pipet mortar, stemper, gelas ukur, tabung reaksi, ose, pengaduk (stirrer)

,saringan,syrink 3cc, Bunsen, pipet thoma leukosit, pipet thoma eritrosit, waterbath,

kamar hitung, mikrohematokrit, spektofotometer dan centrifuge tabung kapiler.

20
3.2 Metode

3.2.1 Nekropsi dan Pengambilan Darah

Sebelum dilakukan eutanasi dan nekropsi, terlebih dahulu dilakukan

pemeriksaan fisik dan pengambilan darah. Untuk pembuatan preparat apaus darah,

darah yang digunakan adalah darah segar yang diambil dari vena brachialais kanan

/ dexter menggunakan spuit steril 3cc. setelah preparat apus selesai dibuat dilakukan

pengambilan sample darah melalui vena brachialais kiri / sinister yang nantinya

dicampur dengan antikoagulan EDTA dan digunakan untuk pemeriksaan darah

lebih lanjut. Eutanasia pada ayam dilakukan dengan dislokasi servikal.

Pemeriksaan makroskopis dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan

insisi pada organ – organ yang dicurigai mengalai perubahan. Organ – organ

tersebut dipotong dan dimsukkan dalam pot urine yang berisi cairan formalin 10%

serta dilakukan pemeriksaan secara makroskopis dengan pembuatan preparat

histopatologi dari organ – organ yang dicurigai mengalai perubahan.

3.2.2 Pemeriksaan Parasitologi

3.2.2.1 Pemeriksaan feses

Pemeriksaan feses yang dilakukan meliputi pemeriksaan natif dan

sentrifus.untuk pengamatan dilakukan di bawah mikroskop ( perbesaran 10 x 10 )

untuk mencari adanya telur cacing atau ookista. Pemeriksaan feses dilakukan

dengan pengambilan sample feses sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam

cawan mortir. Feses kemudian ditambah dengan air sebanyak 10 ml lalu di gerus

dengan menggunakan stemper, setelah tercampur kemudian campuran feses dan air

21
disaring dan diambil dengan menggunakan pipet untuk pemeriksaan natif 1 tetes

dan diletakkan pada objekglass, kemudian di tutup dengan coverglass dan diamti di

bawah mikroskop. Sisa campuran feses dan air kemudian dimasukkan ke dalam

tabung sentrifus sampai batas ¾ tabung campuran di sentrifus selama 5 menit

dengan kecepatan 3000 rpm, supernatan kemudian dibuang sampai tersisa endapan

di dasar tabung. Larutan gula jenuh kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang

ada endapannya sampai batas ¾ tabung lalu diaduk sampai rata menggunakan

batang pengaduk, campuran di sentrifus kembali selama 5 menit dengan kecepatan

3000 rpm. Hasil sentrifus tersebut kemudian ditambah dengan gula jenuh kembali

sampai permukaannya cembung lalu di tutup dengan coverglass dan ditunggu

selama 5 menit. Setelah 5 menit ambil coverglass lalu di tempelkan pada objekglass

dan dilakukan pengmatan di bawah mikroskop dengan ( perbesaran 10 x 10 ) untuk

melihat adanya telur atau ookista ( pemeriksaan kualitatif) ( Natadisastra, 2005)

3.2.2.2. Pembuatan preparat ektoparasit

Cara mengoleksi kutu adalah dengan menangkap ayam kemudian diperiksa

dan dicari dengan teliti kutu pada bagian- bagian tubuh yang telah ditentukan.

Untuk memudahkan pekerjaan digunakan kapas yang sedikit dibasahi dengan

alkohol 70%, kapas beralkohol ini dioleskan ke bagian tubuh ayam jika terlihat

adanya kutu yang melintas di daerah itu. Kapas beralkohol ini membuat kutu tidak

bergerak (pingsan) sehingga memudahkan dalam mengambil kutu, pengambilan

kutu dilakukan dengan hati-hati dengan pinset anatomis dan diusahakan agar tidak

sampai merusak specimen yang dikoleksi. Kemudian kutu yang berhasil dikoleksi

diproses lebih lanjut untuk pembuatan slide preparat. kutu di bunuh dengan

22
menggunakan larutan alkohol 70%, kutu yang sudah mati dimasukkan ke dalam

KOH 10% dan direndam selama 24 jam hari pada suhu kamar, Larutan KOH yang

menempel pada kutu dicuci dengan H 2O 3-4 kali menggunakan pipet, jika

abdomen menggelembung dapat ditusuk menggunakan jarum agar isi abdomen

keluar. Dehidrasi dengan menggunakan alkohol untuk menarik air yang masih

tertinggal pada spesimen selama 10 menit. Supaya kutu terlihat terang dan jelas

spesimen direndam dengan minyak cengkeh selama 15-30 menit. Kemudian

spesimen kutu dicuci dengan menggunakan aquades, kemudian dikeringkan dan

spesimen di letakkan pada gelas objek dan diamati di bawah mikroskop dengan

(perbesaran 10 x10) (Wanna Cr, 2001)

3.2.3 Pemeriksaan Mikrobiologi

Sample yang digunakan untuk pemeriksaan mikrobiologi adalah organ

crop, jejunum dan ileum yang mengalami perubahan atau lesi didiagnosa terinfeksi

Salmonella pullorum. Disimpan pada media selenite broth yang berisi pepton,

laktosa, dan natrium fosfat dan diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam. Bakteri

yang tumbuh pada media Selenite Broth ditanam pada media Salmonella Shigella

Agar (SSA) yang berisi pepton, laktosa, natrium sitrat, natrium tiosulfat, fe sitrat,

brilliant green, natural red, dan bile salt dengan metode quadran strike dan

diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam. Koloni terpisah yang berbentuk bulat

berwarna transparan dengan adanya titik hitam ditengah diambil untuk dilakukan

pemeriksaan mikroskopis yaitu pewarnaan gram. Pewarnaan gram dilakukan

dengan cara yaitu pengulasan biakan bakteri dengan ose pada gelas objek yang

sebelumnya telah di tetesi dengan larutan NaCl fisiologis. Kemudian fiksasi sampai

23
kering diatas api Bunsen. Tetesi carbon gentian violet ( initial strain ) diamkan

selama 2 menit. Cat dibuang dan jangan dicuci , kemudian tetesi lugol ( mordant )

biarkan selama 1 menit. Cat dibuang dan jangan dicuci, kemudian tetsi alkohol 95%

( decolorizer ) diamkan selama 1 menit, cat dibuang dan cuci dengan air kran.

Kemudian ditetesi air fushine ( counter strain ) biarkan selama 2 menit. Buang, cuci

sampai tidak keluar warna dan keringkan. Diamati dibawah mikroskop ( Erina dkk,

2017)

Identifikasi bakteri dilanjutkan dengan uji TSIA yang mengandung glukosa,

laktosa, sukrosa, pepton, natrium tiosulfat, dan fenol red. Dilanjutkan dengan uji

katalase dan Uji IMViC dari biakan bakteri pada media SSA yang telah

diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 370C . uji IMViC meliputi Indol, Metil Red

– Voges Proskauer (MR-VP) yang mengandung pepton, glukosa, dan buffer fosfat,

Simmons’s Citrate Agar (Oxoid) yang mengandung sodium sitrat, ammonium

phospat dan bromthymol blue, Sulfide Indol Motiliti ( SIM) yang mengandung

pepton from casein, pepton from meat, ammonium iron citrate, sodium thiosulfate.

Kemudian semua tabung diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam, Dalam indol

ditambahkan reagen kovac dan MR ditambahkan 5-10 tetes larutan metil red

sedangkan VP ditambahkan KOH dan α-naptol ( Erina dkk, 2017).

3.2.4 Pemeriksaan Patologi klinik

3.2.4.1 Pembuatan ulas darah

Bersihkan 2 buah objek glass, pastikan objek glass bebas dari lemak.

Tetskan darah dalam jumlah sedang sekitar 2,5 cm dari ujung kanan pada 1 objek

24
glass, sedangkan objek glass yang lain digunakan sebagai penghapus. Tempelkan

sisi objek glass penghapus pada darah, membentuk sudut 450 dengan objek glass,

tunggulah sampai darah menyebar di sepanjang pinggiran objek glass penghapus.

Doronglah objek glass penghapus sehingga terbentuk hapusan darah. Hapusan

harus tipis dan seragam. Tebal atau tipisnya hapusan tergantung pada seberapa

banyak darah yang diteteskan pada objek glass dan sudut objek glass dengan objek

glass penghapus. Angina – anginkan supaya kering kering dalam waktu cepat akan

menghindarkan terjadinya krenasi dan fragmentasi eritrosit. Berikan identitas pada

objek glass dan lakukan pewarnaan.( Yunani dan Mudji, 2018).

3.2.4.2 Pewarnaan ulas darah

Letakkan objek glass pad arak pengecatan. Fiksasi dengan methanol 2-3

menit. Buatlah larutan giemsa 10% dengan cara mencampurkan buffer giemsa 9 ml

dengan pewarna giemsa 1ml kemudian dicampurkan hingga merata. Genangi objek

glass dengan larutan giemsa 10% selama 30 menit. Buang sisa pewarnaan,

kemudian miringkan objek glass pad arak pengecatan supaya mengering, amatilah

dibawah mikroskop dengan pemebrian oil emersi. .( Yunani dan Mudji, 2018).

3.2.4.3 Pemeriksaan Darah

Darah yang telah di ambil dan dimasukkan ked lam tabung EDTA dilakukan

pemeriksaan lanjutan yang meliputi penghitungan total eritrosit, penghitungan total

leukosit, kadar hemoglobin (Hb), hematokrit, atau packed cell volume (PCV), total

protein plasma (TTP), fibrinogen dan perhitungan deferensial leukosit.

Penghitungan mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular haemoglobin

25
(MCH), dan mean corpuscular haemoglobin concentrasion (MCHC) dilakukan

jikanterjadi anemia untuck mengetahui klasifikasi jenis anemia (Salasia dan

Hariono,2010)

26
IV. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIK

4.1 Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi


Berdasarkan Pemeriksaan patologi anatomi diketahui bahwa ayam dengan

nomor protokol A–03 mengalami tracheitis hemoragika, Pneumonia hemoragika,

hipertropi pada bagian organ ventrikulus, dan enteritis hemoragika.

4.2 Hasil Pemeriksaan Parasitologi

Berdasarkan pemeriksaan parasitologi diketahui bahwa ayam dengan

nomor protokol A–03 terinfeksi ektoparasit Menopon gallinae.

4.3 Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi

Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi diketahui bahwa ayam dengan

nomor protokol A- 03 ditemukan bakteri Salmonella pullorum. Dari organ intestine.

4.4 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik

Berdasarkan pemeriksaan patologi klinik diketahui bahwa ayam kampung

dengan nomor protokol A–03 mengalami, anemia, makrositik, hipokromik,

hipoproteinemia, hipoproteinemia, hiperfibrinogenemia, leukositosis, heterofilia,

monositosis dan eosinophilia.

27
V. PEMBAHASAN

Pada tanggal 5 juli 2019 telah dilakukan euthanasia dan nekropsi pada

seekor ayam kampung betina umur ± 7 bulan ,berat badan 450 gram , milik bapak

Kawit yang beralamatkan di Jl.Ploso Timur gang 1d no.18. Hasil anamnesa

menunjukkan populasi 5 ekor, sakit 2 ekor, mati 1 ekor, ukuran kandang 3 x 1 x 1

m2 , belum pernah di vaksin, kandang terbuat dari bambu, pakan dedak dicampur

nasi, minum berasal dari air PDAM. Lingkungan kandang yang buruk serta sanitasi

yang lemah, belum pernah diberi pengobatan, vaksin dan obat cacing. Gejala klinis

yang terlihat diantaranya anoreksia, lesu, diare putih encer sayap menggantung, dan

bulu kusam. Penampakan gejala klinis ayam buras betina seperti ditunjukkan pada

Gambar di bawah ini.

Gambar 5.7. Ayam buras dengan nomor protokol A-03. Ayam terlihat lesu,
sayap menggantung,bulu kusam,dan tampak diare putih encer.

28
5.1 Pemeriksaan Patologi Anatomi

Berdasarakan hasil pemeriksaan patologi anatomi, ayam dengan nomor

protokol A-03 mengalami Tracheitis hemoragika, Pneumonia hemoragika,

Necrosis caseosa pada bagian crop, Enteritis hemoragika, dan hypertropi pada

bagian Ventrikulus.

Pemeriksaan makroskopis organ paru-paru ayam dengan nomor protokol A-

03 yang mengalami perubahan pneumonia hemoragika dengan memperlihatkan

adanya pembengkakan dan perubahan warna yang tidak homogen akibat hemoragi

suffusa dengan diameter lebih dari 1 cm.dan ketika dilakukan uji apung pada paru,

masih terlihat mengapung.

Gambar 5.8. Pemeriksaan patologi anatomi secara makroskopik pada organ paru-
paru ayam dengan nomor protokol A-03

Perubahan patologi anatomi secara mikroskopik pada paru-paru ayam

dengan nomor protokol A-03 adanya hemoragi pada septa parabronchus,

parabronchus yang membesar (empfisema) dan adanya parabronchus yang

mengecil (atelektasis). Pada perbesaran 40x tampak adanya sel eritrosit dan sel

29
radang heterofil, terjadinya perubahan patologi dikarenakan, tubuh memiliki respon

imunitas alami terhadap benda asing yang terhirup pada saluran pernapasan.

Adanya infeksi bakteri mengakibatkan terbentuknya cairan edema fibrosa di dalam

parabronchi yang diikuti oleh sel darah merah dan sel radang. Pada saat terinfeksi

septa parabronchus akan mengalami penyempitan dan adanya sel radang pada

parabronchus .( Mardjanis, 2007).

Gambar 5.9. Gambaran mikroskopik organ paru-paru ayam nomor protokol A-03
dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE), perbesaran 10x dan 40x.

Pemeriksaan makroskopik organ duodenum ayam dengan nomor protokol

A-03 adalah terdapat hemoragi ptekie multifokal pada mukosa duodenum.hal ini

terjadi karena bakteri Salmonella pullorum dapat menghasilkan sitokin yang dapat

menyebabkan kerusakan pada susunan lapisan mukosa dari duodenum, sehingga

munculnya hemoragi ptekie atau perdarahan dengan diameter kurang dari 1mm

pada mukosa duodenum akan meningkatkan proliferasi bakteri Salmonella

pullorum. penyebab penyakit Salmonelosis dapat dikarenakan kondisi lingkungan

kandang telah tercemar oleh bakteri Salmonella pullorum. sebab penularan dapat

30
terjadi secara oral melalui pakan, minum atau debu dan kotoran yang tercemar oleh

bakteri Salmonella pullorum. (Tabbu, 2000)

Gambar 5.10. Pemeriksaan patologi anatomi secara makroskopik pada organ


duodenum ayam dengan nomor protokol A-03
Perubahan patologi anatomi secara mikroskopik organ duodenum ayam

dengan nomor protokol A-03 mengalami enteritis hemoragika yang ditandai dengan

adanya hemoragi pada lapisan lamina propria dan lapisan sub-mukosa.

Gambar 5.11. Gambaran mikroskopik organ duodenum ayam nomor protokol A-


03 dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE), perbesaran 10x dan 40x.

31
Pemeriksaan makroskopik pada organ jejunum ayam dengan nomor

protokol A-03 adalah enteritis hemoragika ditandai dengan adanya hemoragi ptekie

multifokal pada mukosa dan adanya penebalan pada lapisan mukosa jejunum. Hal

ini terjadi pada saat tubuh ayam tidak mampu menerima cemaran bakteri dalam

jumlah maksimal batas diterima tubuh, maka tubuh akan kalah dalam menerima

cemaran bakteri, pada saat dinding usus telah dikolonisasi maka bakteri dapat

bermultiplikasi secara cepat dan selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan pada

usus, sehingga pada usus bagian jejunum tidak dapat mengatasi kenaikan cemaran

bakteri.(Tabbu, 2000)

Sedangkan pada pemeriksaan mikroskopik terdapat hemoragi pada lapisan

muskularis mukosa, dan tampak adanya hiperemi pada lapisan muskularis mukosa,

keterangan lengkap dapat dilihat pada lampiran gambar di bawah ini.

Gambar 5.12. Pemeriksaan patologi anatomi secara makroskopik pada organ


jejunum ayam dengan nomor prokokol A-03

32
Gambar 5.13 Gambaran mikroskopik organ jejunum ayam nomor protokol A-03

dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE), perbesaran 10x dan 40x.

5.2 Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi

Sample di ambil dari organ usus ayam, sebelumnya usus di belah terlebih

dulu menggunakan scalpel usus yang telah di belah di potong menggunakan gunting

steril, kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi yang berisi SCB (Selenite

Cystein Broth) Yang mempunyai kandungan pepton, laktosa, dan natrium fosfat

yang merupakan nutrisi yang dibutuhkan untuk bakteri Salmonella pullorum.

Penanaman ini dimaksudkan untuk membiakan bakteri Salmonella pada media

selektif, tetapi dapat menghambat bakteri lain selain bakteri Salmonella. Media

yang dipakai ialah 'Tetrathionate Broth", "Hajna GN Broth" atau "Selenith Broth".

Pada umumnya media yang sering digunakan adalah media selenith broth. Hal ini

disebabkan media selenith broth mempunyai sifat khusus yaitu dapat menghambat

pertumbuhan bakteri gram positif, Proteus dan Coliform, sedangkan untuk

pertumbuhan bakteri Salmonella dan Shigelia dapat menjadi subur. Reaksi positif

33
ditunjukkan oleh perubahan warna dari kuning menjadi merah bata setelah

diinkubasikan pada temperatur 37°C selama 24 jam..(Erina dkk, 2019)

Gambar 5.14 Media Selenite Broth

Deteksi bakteri Salmonella-Shigella dilakukan dengan menggunakan media

spesifik Salmonella-Shigella agar (SSA). Media SSA Salmonella Sighella Agar

merupakan media selektif untuk isolasi bakteri Salmonella dan Shigella yang berisi

pepton, laktosa, natrium sitrat, natrium tiosulfat, fe sitrat, brilliant green yang

berfungsi untuk mencegah timbulnya bakteri gram positif. Laktosa dalam media

SSA sebagai karbohidrat yang dapat difermentasi oleh bakteri, dan natrium tiosulfat

sebagai sumber sulfur yang dapat direduksi oleh bakteri, natural red adalah

indikator pH dan besi sitrat bereaksi dengan H2S untuk membentuk endapan hitam.

Sehingga mengindikasikan reduksi sulfur. Hasil pengamatan satu sampel terdapat

koloni yang hitam dan black center, hasil ini diduga sebagai bakteri Salmonella

pullorum yang menghasilkan H2S. hasil pengamatan bakteri yang tumbuh pada

media SSA terdapat koloni yang hitam , hasil ini diduga sebagai bakteri Salmonella

34
pullorum yang menghasilkan H2S.Hal ini sesuai dengan pernyataan Zaraswati

(2006), bahwa hasil uji SSA memberikan zona kuning diantara koloni hitam dan

pertumbuhan mikrobanya berwarna merah atau hitam. Mikroba melakukan reduksi

tiosulfat menjadi sulfat sehingga terlihat sebagai koloni hitam. Beberapa

Salmonella pullorum menghasilkan bulatan hitam ditengah koloni (black centre)

sebagai hasil produksi gas H2S. Hasil pengamatan pada media SSA ditemukan

koloni berbentuk bulat, cembung dan berwarna hitam ini diduga sebagai Salmonella

pullorum. Pada bakteri Shigella sp pada SSA, koloni tampak kecil dan halus serta

tidak berwarna.

Ciri – ciri koloni Salmonella pullorum. mirip dengan koloni Proteus sp.

sehingga diperlukan uji lanjutan. Koloni terpisah pada media SSA kemudian

diambil dan dilakukan pewarnaan gram. Hasil pewarnaan gram menunjukkan

bakteri tercat merah muda (gram negatif), berbentuk batang, menurut Erina dkk.

(2017), Salmonella pullorum merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk

batang memiliki dinding sel yang mengandung lipid,lemak, atau substansi lipid

bilayer dengan presentase yang lebih tinggi. Bakteri gram negatif relatif lebih

kompleks dibandingkan bakteri gram positif. Bakteri gram negatif mempunyai tiga

lapisan yaitu lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah lipopolisakarida dan

lapisan dalam berupa peptidoglikan. Bakteri gram negatif ditandai dengan

berbentuk basil dan berwarna pink. Warna pink dikarenakan baktei gram negatif

memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis dan permeabilitas yang tinggi sehingga

mudah melepas zat warna kristal violet sehingga bakteri hanya meyerap warna

safranin (Amri dkk., 2017).

35
A B

Gambar 5.15 (A) pertumbuhan bakteri Salmonella pullorum. pada media SSA
(Salmonella Shigella Agar) (B) Gambaran morfologi bakteri Salmonella
pullorum. Pada pewarnaan gram.

Triple Sugar Iron Agar (TSIA) ditujukan untuk membedakan jenis bakteri

berdasarkan kemampuannya memecah glukosa, laktosa, dan sukrosa menjadi

sumber energinya. Hasil positif pada medium TSIA akan ditandai dengan

terbentuknya warna hitam dan gas.Warna hitam yang dihasilkan merupakan

indikasi pemanfaatan sodium thiosulphate oleh bakteri Salmonella pullorum.

sebagai sumber sulfur untuk memproduksi H₂S (Budiarso dkk., 2009).

Hasil uji pada media TSIA setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370

C, diperoleh hasil bagian miring/slant merah (alkalis), media terdapat endapan

berwarna hitam (adanya produksi H2S). hasil ini sesuai dengan penelitian

Mukhtaruddin dkk. Pada tahun 2018 bahwa Salmonella pullorum. Pada uji TSIA

bagian slant berubah menjadi merah atau merah muda karena bakteri bersifat basa,

suasana basa menunjukkan glukosa telah habis di fermentasi oleh bakteri sebagai

sumber energi dan bakteri mnggunakan pepton sebagai sumber energinya. Pada

36
bagian butt terbentuknya gas H₂S ditandai dengan adanya endapan berwarna hitam.

endapan ini terbentuk karena bakteri mampu menghasilkan H₂S kemudian akan

berikatan dengan Fe yang terdapat pada media biakan sehingga menghasilkan

endapan berwarna hitam.

A B

Gambar 5.16 (A) Media TSIA sebelum di tanami bakteri Salmonella (B) Media
TSIA setelah di tanami bakteri Salmonella dan di inkubasi selama 24 jam dengan
suhu 370C
Uji SIM digunakan untuk menguji motilitas dan reduksi sulfur. SIM adalah

media semi padat yang diformulasikan dengan kasein dan jaringan hewan sebagai

sumber asam amino, senyawa zat besi dan belerang dalam bentuk natrium tiosulfa.

Hasil dari uji indol diperoleh negatif, yaitu ditandai dengan tidak terbentuknya

cincin berwarna merah pada permukaan media setelah diberikan reagen kovac

sebanyak 5-10 tetes. Menurut Quinn dkk., (2002) Salmonella bersifat non motil

pada suhu 30˚C, tidak menghasilkan cincin merah pada uji indol karena tidak

menghasilkan enzim tryptophanase yang akan memecah tryptophan menjadi indol.

Hidrolisis triptofan dalam media SIM dapat terdeteksi oleh penambahan reagen

kovacs setelah satu priode inkubasi. Pereaksi kovac mengandung dimethylamino

37
benz aldehyde (DMABA) dan HCL dilarutkan dalam amyl alkohol. Ketika

beberapa tetes reagen kovac ditambahkan ke dalam tabung, mak akan membentuk

lapisan cair diatas media padat. lalu bereaksi dengan indol dan menghasilkan

senyawa quinoidal yang mengubah lapisan reagen menjadi merah. Pembentukan

lapisan merah di lapisan reagen menunjukkan reaksi positif dan keberadaan

tryptopanase. Jika tidak ada warna merah indol bernilai negatif (Leboffe and

Burton,2011)

Hasil uji Pada media Sulfid Indol Motility (SIM) hasil yang diperoleh

adalah positif yang ditandai dengan adanya penyebaran garis berwarna hitam pada

daerah inokulasi dan perubahan pada media dari warna bening menjadi hitam,

sesuai dengan pernyataan Aktar dkk. (2016), bahwa hasil positif motillitas terlihat

dengan adanya penyebaran pertumbuhan dari garis tusukan karena bakteria yang

motil ini pertumbuhannya menyebar pada media SIM. Pada bakteri yang non- motil

tidak adanya pertumbuhan yang menyebar karena bakteri tidak mempunyai

flagella.

A B

38
Gambar 5.17 (A) Media SIM sebelum di tanamai bakteri Salmonella (B) Media
SIM setelah di tanami bakteri salmonella dan diinkubasi selama 24 jam dengan
suhu 370C
Uji urease digunakan untuk mengetahui kemampuan mikroba

menghidrolisis urea menjadi amonia. Uji ini menggunakan urease broth sebagai

media diferensial yang dapat membedakan bakteri penghasil eksoenzim yaitu

enzim yang berfungsi untuk menghidrolisa urea menjadi ammonia. Kandungan

urease broth antara lain larutan buffer, urea, nutrient, serta indicator phenol red.

Hasil uji pada media Urease menunjukkan hasil yang negatif di tandai dengan tidak

adanya perubahan warna pada media, bakteri Salmonella pullorum. Merupakan

bakteri yang tidak memiliki ensim urease sehingga memberikan reaksi yang negatif

karena tidak mampu mendegradasi nitrogen dan komponen karbon dalam ikatan

amida yang akan membentuk alkalin ammonia pada produk akhir. Hal ini

ditunjukkan dengan tidak terjadinya perubahan warna pada medium yang

digunakan. urease menunjukkan hasil positif jika terjadi perubahan warna media

dari kuning menjadi merah keunguan karena amoniak yang dihasilkan

menyebabkan lingkungan menjadi basa. Hasil uji urease negatif jika tidak terjadi

perubahan warna dari kuning menjadi merah keunguan.(Budiarso dan Belo,2009).

A B

39
Gambar 5.18 (A) media urease sebelum di tanami bakteri Salmonella (B) media
urease setelah ditanami bakteri salmonella dan diinkubasi selama 24 jam pada
suhu 370C media tidak mengalami perubaan (Negatif)
Uji SCA Uji Simmon’s Citrate Agar bertujuan untuk menentukan

kemampuan bakteri dalam menggunakan sitrat sebagai satu-satunya karbon energi.

Media berisi natrium sitrat sebagai satu- satunya sumber karbon , ammonium fosfat

sebagai satu-satunya sumber nitrogen, dan bromthymol blue sebagai indikator pH

yang akan berwarna hijau pada pH 6,9 dan biru pada pH7,6.

hasil dari uji SCA menunjukkan hasil positif dengan terjadinya perubahan

warna media dari hijau menjadi biru, hasil ini sesuai dengan penelitian Rahmiati

(2016) hasil menunjukkan terjadinya perubahan warna media dari hijau menjadi

biru yang berarti bahwa sitrat yang ada pada media difermentasikan, sehingga pH

media berubah. Bakteri yang dapat menggunakan sitrat akan menggunakan garam

amonium dan menghasilkan amonia, sehingga asam akan dihilangkan dari medium

dan menyebabkan peningkatan pH. Peningkatan pH ini yang akan mengubah warna

medium dari hijau menjadi biru (Putri, 2016).

A B

40
Gambar 5.19 (A) media SCA sebelum ditanami bakteri Salmonella (B) media
SCA sesudah ditanami bakteri salmonella dandiinkubasi selama 24 jam pada suhu
370C, media berubah dari hijau menjadi biru
Uji MR-VP menghasilkan perubahan warna pada media MR menjadi merah

setelah ditetesi reagen Methyl red dan pada media VP tidak ada perubahan warna

setelah ditetsi reagen KOH 10% dan alfa naphtol 1%. Salmonella pullorum. Pada

uji MR-VP , uji MR menunjukkan hasil positif yaitu pada kondisi asam, sedangkan

pada uji VP menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tidak terjadinya perubahan

warna media (Elvioleta dkk, 2015). MR-VP mengandung pepton, glukosa, dan

buffer fosfat. Pepton dan glukosa menyediakan protein dan karbohidrat yang dapat

difermentasi, dan kalium fosfat menahan perubahan pH dalam medium. Uji metil

red digunakan untuk menentukan adanya fermentasi asam campuran, dimana

bakteri dapat memfermentasi glukosa dan menghasilkan produk yang bersifat asam

sehingga akan menurunkan pH media pertumbuhan menjadi lebih rendah. Pada

hasil pengamatan ditemukan perubahan warna media biakan bakteri menjadi warna

merah setelah diteteskan metil red sebanyak 3-5 tetes Hal ini sesuai dengan

pernyataan Hadietomo (1985), Penambahan indikator metil red dapat menunjukkan

perubahan pH pada media biakan, metil red akan menjadi merah pada kondisi asam

dan berwarna kuning pada kondisi basa. Pada uji MR menunjukan hasil positif yaitu

pada kondisi asam. Sedangkan pada uji VP menunjukkan hasil negatif ditandai

dengan tidak terjadinya perubahan warna media biakan setelah di teteskan KOH

40% sebanyak 3-5 tetes.(Erina dkk,2017)

41
A B C D

Gambar 5.20 (A) media MR yang belum ditanami bakteri Salmonella. (B) media
MR setelah ditanami bakteri Salmonella, diinkubasi selam 24 jam pada suhu
370C, dan ditetesi reagen kovac menunjukkan hasil yang positif berubah warna
menjadi merah, (C) media VP sebelum ditanami bakteri Salmonella, (D) media
VP setelah ditanami bakteri Salmonella dan diinkubasi menunjukkan hasil
negative tidak adanya perubahan.

Hasil uji katalase menunjukkan adanya gelembung atau gas, adanya gas

menunjukkan hasil positif katalase . uji katalse bertujuan untuk mendeteksi adanya

enzim katalase yang memecah H2O2 menjadi H2O dan O2 (Erina dkk, 2017).

Gambar 5.21. Uji katalase yang menunjukkan hasil positif terbentuk gelembung
gas setelah ditetsi H2O2

42
5.3. Pemeriksaan Laboratorium Parasitologi

Pada ayam dengan kode protokol A-03 ditemukan adanya infeksi kutu

Menopon gallinae berjumlah 13 ekor pada bagian bulu bawah sayap ayam. Kutu

Menopon gallinae mempunyai kepala berbentuk segitiga yang melebar dan

diperluas di belakang mata. Palpus maksila berukuran kecil dan terdiri atas empat

segmen, sedangkan palpus labial biasanya hanya satu segmen dan memiliki lima

seta distal. Kutu ini mempunyai sepasang antena yang terletak dalam lekukan/fossa

di regio kepala kutu. Antena tersebut terdiri atas empat atau lima segmen. Antena

yang terdiri atas empat segmen memiliki dua sensila yang berdekatan dengan

segmen terminal, sedangkan jika ada lima segmen maka hanya memiliki satu

sensilum pada segmen keempat dan kelima. Segmen toraks kutu ini tidak menyatu

dan terpisah dari tergum satu. Mesonotum tidak memiliki tonjolan seta. Abdomen

Menopon gallinae memiliki delapan sampai sepuluh segmen yang ditutupi oleh

rambut seta. Setiap segmen abdomen di bagian dorsal hanya terdapat sebaris rambut

seta. Rambut seta berfungsi sebagai pelindung mekanik bagi kutu. Kaki kedua dan

ketiga memiliki dua tarsal claws. Kutu betina dewasa meletakkan telur secara

berkelompok di dasar tangkai bulu pada regio dada dan kaki. Telur tersebut menetas

menjadi nimfa yang akan melalui tiga tahap hingga menjadi dewasa (Wall dan

Shearer 2001).

43
a
c
b d a
a
e

f
g

h h

Gambar 5.22 Menoppon gallinae keterangan ( a) Kepala (b) prothorax (c) palpus

maxila (d) antena (e) kaki depan (f) kaki belakang (g)abdomen (h) male terminalis

Menopon gallinae mempunyai daur hidup yang sederhana mulai dari kutu

betina dewasa meletakkan telurnya pada area di bawah bulu. Telur menetas menjadi

nimpa, dimana melewati tiga tahap sebelum menjadi dewasa seksual. Telur menetas

menjadi nimfa dalam waktu 5-18 hari, telur berwarna putih berbentuk lonjong, dan

diletakkan pada batang bulu. Perkembangan kutu dari telur hingga menjadi dewasa

memakan waktu sekitar 7-21 hari. Sifat individualnya berpindah – pindah dan

bergerak cepat ( Wall and Shearer, 2001). Siklus hidup kutu ini, mulai telur hingga

dewasa, terjadi dalam tubuh induk semang. Kutu dapat berkembang biak dari satu

kelompok generasi ke generasi berikutnya pada hewan yang sama. Pada umumnya

kutu – kutu tersebut tidak pernah mau meninggalkan tubuh induk semangnya (

Tabbu, 2002)

44
Gejala unggas yang terserang ektoparasit diantaranya ayam tidak tenang

sehingga stress, lesu dan kurang darah, pucat, pertumbuhannya terhambat, dan

produksinya turun, beberapa spesies kutu pengigit atau pengunyah dapat

menginfeksi unggas. Mereka menghabiskan seluruh siklus hidup mereka pada host

/ ianag dan menyebabkan iritasi sebagai akibat dari memakan kulit dan bulu unggas

( Pattison et al., 2008). Menopon gallinae bertempat tinggal pada tangkai badan

bulu ayam dan memakan bagian bulu ayam. Ini terjadi secara meluas pada bagian

paha dan dada, meskipun terjadi, hal ini jarang menyebabkan kasus patogen. Kutu

merupakan ektoparasit yang penting pada burung – burung domestik, karena

diantaranya menyebabkan iritasi, gatal – gatal, menggaruk – garuk dan

merontokkan bulu. ( Wall and Shearer, 2001).

Kejadian ektoparasit pada ayam dapat di cegah dengan cara kandang harus

selalu dibersihkan, konstruksi kandang harus mudah dibersihkan, dan kandang

harus bebas dari sarang-sarang hewan liar. Apabila unggas terjangkit maka dapat

diobati dengan cara: (a) untuk mengatasi gurem atau kutu yang menempel di sisik-

sisik kaki, atau rendam kaki dengan minyak tanah. Selain itu, cat tempat bertengger

dan dinding dengan carboleneum atau minyak anthresene, (b) cara tradisional dapat

dilakukan dengan air larutan tembakau yang dioleskan pada tempat-tempat kutu

atau gurem menempel, (c) olesi bulu atau tempat yang menjadi sarang kutu dengan

nicotin sulfa, dan (d) Semprot kandang dengan insektisida berdosis 4-5% dan pada

ayam dengan dosis 0.5%.(Suprijatna et al., 2005).

Infestasi kutu secara umum dapat diobati dengan cara dibedaki, dimandikan

atau disemprot dengan insektisida antara lain Sodium floride, Carbary 5 %,

45
Coumaphos 0.06 %, Thoxaphene, Hexacloro Cyclo Hexane (HCH), Lindane dan

Malathion 0,01 % (Oka dan Imade, 2017).

5.4. Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik

Hasil pemeriksaan patologi klinik pada ayam dengan nomor protokol A-03

menunjukkan adanya anemia makrositik hipokromik, hipoproteinemia,

hiperfibrinogenimia, leukositosis, heterofilia, monositosis, dan eosinophilia, data

hasil pemeriksaan hematologi dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5.3 hasil pemeriksaan hematologi

Pemeriksaan Unit Hasil Standar Keterangan Interpretasi


Normal
Eritrosit 106/µL 1,94 2,5 – 3,5 Turun Anemia
Hb g/dL 6,4 7 - 13 Turun thalassemia
PCV % 28 22 – 35 Normal Normal
MCV fL 144,3 100- 140 Naik Makrositik
MCH Pg 32,94 33 – 47 Turun
MCHC % 22,8 26 - 35 Turun Hipokromik
TPP awal g/dL 2,9 3–6 Turun Hipoproteinemia
TPP akhir g/dL 2,2 3–6 Turun Hipoproteinemia
Fibrinogen g/dL 0,7 0,1 – 0,4 Naik Hiperfibrinogenemia
Leukosit 103/µL 31,70 12 – 30 Naik Leukositosis
Heterofil R % 28 15 – 50
A 3
10 / µL 8,87 3–6 Naik Heterofilia
Limfosit R % 30 29 – 84
A 3
10 / µL 9,51 7 – 17,5 Normal Normal
Monosit R % 20 0–7
A 3
10 / µL 6,34 1,5 – 2 Naik Monositosis
Eosinofil R % 22 0 – 16
A 3
10 / µL 6,97 0–1 Naik Eosinofilia
Basofil R % 0 0–8
3
A 10 / µL 0 Jarang Normal

46
Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran

pencernaan ke jaringan tubuh, membawa kembali produk sisa metabolisme ke

organ eksternal, mengalirkan oksigen ke dalam sel tubuh dan mengeluarkan

karbondioksida dari sel tubuh, dan membantu membawa hormon yang dihasilkan

kelenjar endokrin ke seluruh bagian tubuh. Selain itu, darah juga membantu regulasi

temperature tubuh, menjaga kestabilan kosentrasi air dan elektrolit di dalam sel

tubuh, membantu regulasi kosentrasi ion hydrogen, dan mempertahankan tubuh

dari mikroorganisme ( Isroli et al.,2009)

Darah terdiri atas cairan berupa plasma (55%) dan padatan (45%). Bagian

padatan terdiri dari eritrosit, leukosit, trombosit. Plasma darah mengandung protein,

air, zat lain seperti ion, gas, dan sisa metabolisme. Kandungan air dalam plasma

darah sebesar 91%. Air tersebut berfungsi sebagai termoregulator dalam sirkulasi

darah (Isroli et al.,2009). Darah berfungsi sebagai alat transportasi dan alat

pertahanan tubuh. Darah merupakan salah satu parameter dari status kesehatan

hewan karena darah merupakan komponen yang mempunyai fungsi penting dalam

pengaturan fisilogis tubuh. Gambaran darah akan mengalami perubahan seiring

dengan perubahan fisiologisnya. Perubahan dalam gambaran darah dapat terlihat

dari jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan jumlah leukosit (Guyton dan

Hall,2010).

Antikoagulan digunakan untuk mencegah terjadinya pembekuan darah,

sehingga darah tetap dalam kondisi cair. Ada berbagai jenis antikoagulan yang

digunakan dalam pemeriksaan hematologi, diantaranya EDTA (Ethylen Diamine

Tetra Acetic Acid). EDTA digunakan dalam beberapa macam pemeriksaan

47
hematologi seperti penetapan kadar hemoglobin, hitung jumlah lekosit, eritrosit,

trombosit, retikulosit, hematokrit, dan penetapan Laju endap darah, penggunaan

EDTA untuk pemeriksaan apus darah dipilih karena merupakan antikoagulan yang

paling sering digunakan dan tidak menimbulkan efek merubah morfologi sel darah

(Gandasoebrata, 2001) .

Ayam dengan kode protokol A-03 megalami anemia makrositik hipokromik

karena MCV meningkat dan MCHC menurun. Secara umum, anemia makrositik

bersifat responding. Anemia terjadi apabila jumlah eritrosit yang fungsional dan

atau jumlah hemoglobin di bawah normal yang bisa disertai dengan penurunan

hematokrit. Anemia makrositik hipokromik dapat terjadi karena perdarahan atau

hemolysis dengan ditemukan banyaknya sel darah merah immature pada gambar

darah (stochman and Michael , 2008).

Nilai eritrosit pada ayam A-03 adalah 1,94 x 106µL yang berarti jumlah

eritrosit total ayam adalah 1,94 x 106µL jumlah ini mengalami penurunan dari

jumlah normal eritrosit. MCV (mean cell volume) adalah nilai volume rata – rata

eritrosit. Nilai MCV pada ayam A-03 adalah 144,3 fL, yang mengalami

peningkatan dari nilai normal yang berarti terjadi kelainan makrositik pada eritrosit

ayam. Nilai MCH (mean cell hemoglobin) adalah nilai hemoglobin pada eritrosit.

Nilai MCH pada ayam A-03 adalah 32,94 pg yang mengalami penurunan dari nilai

normal. MCHC (mean cell hemoglobin concertation) adalah nilai hemoglobin

dalam 100 ml eritrosit. Nilai MCHC pada ayam A-03 adalah 22,8 % yang

mengalami penurunan dari nilai normal yang berarti dalam 100 ml eritrosit terdapat

22,8 % hemoglobin (Stockham and Michael, 2008)

48
Ayam dengan nomor protokol A-03 mengalami penurunan hemoglobin,

hemoglobin merupakan zat padat dalam darah yang menyebabkan warna merah dan

molekul protein pada sel darah merah. Hemoglobin merupakan bagian dari sel

darah merah yang mengangkut oksigen. Hemoglobin merupakan petunjuk

kecukupan oksigen yang diangkut . kandungan oksigen dalam darah yang rendah

menyebabkan peningkatan produksi hemoglobin dan jumlah eritrosit. Fungsi dari

hemoglobin juga mengangkut CO2 dari jaringan, mengambil O2 dari paru – paru,

memelihara keseimbangan asam- basa, dan merupakan sumber bilirubin. Jumlah

hemoglobin di dalam darah dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, keadaan fisik,

cuaca, tekanan udara, dan penyakit. Kadar hemoglobin berbanding lurus dengan

jumlah sel darah merah. Semakain tinggi sel darah merah maka semakain tinggi

pula kadar hemoglobin dalam sel darah merah tersebut ( Guyton dan Hall, 2010)

Kejadian anemia pada kasus ini disebabkan infeksi bakteri Salmonella

pullorum. Menurut kusumaningsih (2011), infeksi Salmonella pada hewan dan

manusia dapat mengakibatkan penyakit dengan gangguan pada saluran pencernaan

dengan gejala utama gastroenteritis, sehingga mengakibatkan proses absorbsi pada

usus terganggu.

Nilai hematokrit pada ayam A-03 bernilai normal. Nilai hematokrit

merupakan jumlah sel darah merah pada 100ml darah (Stockham and

Michael,2008). Nilai PCV ayam A-03 adalah 28% yang artinya dalam 100 ml

darah ayam mengandung 28% eritrosit. Faktor – faktor yang mempengaruhi nilai

hematokrit adalah jenis kelamain,spesies, dan jumlah sel darah merah. Selain itu

aktivitas dan keadaan patologis, serta ketinggian tempat juga mempengaruhi nilai

49
hematokrit, karena pada tempat yang tinggi seperti pegunungan kadar oksigen

dalam udara berkurang, sehingga untuk menjaga keseimbangan maka sumsum

tulang belakang memproduksi sel – sel darah merah dalam jumlah banyak

(Prastowo dan Bambang, 2015).

Total protein plasma pada ayam A-03 mengalami penurunan atau

hypoproteinemia dengan nilai TPP awal 2,9 g/dL dan TPP akhir 2,2g/dL yang

merupakan nonselektif hipoproteinemia. Menurut Stockhm and Michael (2008)

penurunan protein dapat terjadi karena peningkatan kehilangan protein pada

sirkulasi , pada ayam A-03 mengalami anemia yaitu kehilangan darah yang terjadi

akibat banyaknya hemoragi pada organ dalam ayam sehingga darah banyak yang

terbuang sehingga protein juga ikut terbuang. Penurunan protein juga terjadi karena

protein lossing enterophaty yang terjadi di usus ayam. Ayam A-03 mengalami

enteritis hemoragi akibat infeksi Salmonella pullorum. Hal ini akan menyebabkan

malabsobsi nutrisi di usus sehingga protein yang terabsobsi akan menurun dan

terbuang bersama feses.

Ayam dengan nomor protokol A-03 mengalami hyperfibrinogenemia

dengan nilai 0,7 g/dL yang merupakan selective hiperproteinemia. Menurut Arliny

(2012). Fibrinogen adalah protein larut di aliran darah, jika perdarahan terjadi,

fibrinogen berubah menjadi protein berserat yang padat yang menjadi perancah

dimana gumpalan darah terbentuk yang dapat digunakan sebagai penanda inflamasi

sistemik dan sindrom metabolik. Hiperfibrinogenemia terjadi karena berkurangnya

H2O di dalam plasma atau terjadi inflamasi sehingga produksi fibrinogen oleh hepar

meningkat (Stockham and Michael, 2008), menurut Sugiarti (2003), aktivitas

50
enterotoksin oleh Salmonella pullorum. Menyebabkan respon sekretori pada sel

epitel yang menghasilkan akumulasi cairan dalam lumen usus. enterotoksin juga

mengaktifkan adenil siklase yang mengakibatkan diare. Menurut Poeloengan

(2014) adanya peradangan usus serta penghancuran lamina propria alat pencernaan

oleh penyusupan (proliferasi) Salmonella dapat menimbulkan diare, pada kasus ini

hiperfibrinogenemia disebabkan karena adanya infeksi Salmonella pullorum. Yang

menyebabkan keradangan.

Ayam dengan nomor protokol A-03 megalami heterofilia, monositosis dan

eosinofilia, pemeriksaan total leukosit, ayam dengan nomor protokol A-03

mengalami leukositosis dengan nilai 31,70 103/µL. leukostosis pada kasus ini

merupakan proses fisiologis dari adanya infeksi atau keradangan. Menurut Tabbu

(2000), pada kasus yang melanjut karena infeksi bakteri Salmonella pullorum.

Dapat ditemukan adanya anemia dan leukositosis.

Leukosit merupakan sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan

hemopoetik, meskipun leukosit merupakan sel darah, tapi fungsi leukosit lebih

banyak dilakukan di dalam jaringan. Leukosit hanya bersifat sementara mengikuti

aliran darah ke seluruh tubuh. Apabila terjadi peradangan pada jaringan tubuh

leukosit akan pindah menuju jaringan yang mengalami radang dengan cara

menembus dinding kapiler. Leukosit terdiri dari 2 kategori yaitu granulosit dan

agranulosit. Granulosit yaitu sel darah putih yang di dalam sitoplasmanya terdapat

granula – granula. Granula – granula ini mempunyai perbedaan kemampuan

mengikat warna misalnya pada eosinophil mempunyai granula berwarna merah

terang, basophil berwarna biru dan neutrofil berwarna ungu pucat. Agranulosit

51
merupakan bagian dari sel darah putih dimana mempunyai inti sel satu lobus dan

sitoplasmanya tidak bergranula. Leukosit yang termasuk agranulosit adalah limfosit

dan monosit (Kiswari,2014).

Heterofil granulanya berbentuk butiran halus tipis dengan sifat netral

sehingga terjadi percampuran warna asam (eosin) dan warna basa (metilen

biru),sedangkan pada granula menghasulkan warna ungu atau merah muda yang

samar. Heterofil berfungsi sebagai garis pertahanan tubuh terhadap zat asing

terutama terhadap bakteri. Bersifat fagosit dan dapat masuk ke dalam jaringan yang

terinfeksi. Sirkulasi heterofil dalam darah yaitu sekitar 10 jam dan dapat hidup

selama 1- 4 hari pada saat keadaan dalam jaringan ekstravaskuler (Kiswari,2014).

Eosinofil hampir sama dengan neutrofil tapi pada eosinophil, granula

sitoplasma lebih kasar dan berwarna merah orange, warna kemerahan disebabkan

adanya senyawa protein kation (yang bersifat basa) mengikat zat warna golongan

anilin asam seperti eosin, yang terdapat pada pewarnaan Giemsa. Granulanya sama

besar dan teratur seperti gelembung dan jarang ditemukan lebih dari 2 lobus inti.

Basofil memiliki granula kasar berwarna ungu atau biru tua dan seringkali menutupi

inti sel, dan bersegmen.warna kebiruan disebabkan karena banyyaknya granula

yang berisi histamine, yaitu suatu senyawa amina biogenik yang merupakan

metabolit dari asam amino histidin ( Kiswari,2014)

Monosit merupakan sel leukosit yang memiliki ukuran paling besar yaitu

sekitar 18µm, berinti padat dan melekuk seperti ginjal atau biji kacang, sitoplasma

tidak mengandung granula dengan masa hidup 20 – 40 jam dalam sirkulasi. Inti

52
biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam bentuk tapal kuda. Limfosit

memiliki morfologi dengan bentuk bulat sitoplasama sedikit karena semua bagian

sel hampir ditutupi nucleus padat dan tidak bergranula (Kiswari, 2014)

Ayam dengan nomor protokol A-03 mengalami heterofilia dengan nilai 8,87

x 103/ µL.Heterofilia pada kasus ini berhubungan dengan kebutuhan jaringan untuk

fungsi fagosit. Menurut Parinduri (2017), peningkatan nilai heterofil pada ayam

setelah terinfeksi merupakan respon tubuh terhadap infeksi bakteri, dalam kasus ini

adalah adanya infeksi dari bakteri Salmonella pullorum. Heterofil merupakan

leukosit yang akan mengalami peningkatan nilai saat terjadi infeksi bakteri.

Heterofil adalah pertahanan pertama dalam melawan mikroorganisme yang masuk

ke dalam tubuh. Ketika ada serangan mikroorganisme patogen, mekanisme

pertahanan ditandai oleh peningkatan jumlah heterofil dalam pembuluh darah

periferal dan bermigrasi ke bagian yang terinfeksi untuk memfagositasi

mikroorganisme peyebab infeksi (Nugrahayu, 2011)

Ayam dengan nomor protokol A-03 mengalami monositosis dengan nilai

6,34 x 103/ µL. Monositosis atau peningkatan monosit dalam darah merupakan

indikasi bahwa penyakit sudah berjalan cukup lama. Monositosis merupakan

gambaran darah yang umum ditemukan pada kasus yang berhubugan dengan

nekrosis, suppurasi, bakterimia, hemoragi internal, dan trauma (Feldman et

al,2000). Monosit berperan untuk proses fagositosis. Monosit dapat berdiferensiasi

menjadi makrofag pada sel atau jaringan yang terluka dan memakan benda asing

yang menyebabkan infeksi (Nugrahayu,2011). Ayam pada kasus ini mengalami

53
keradangan yang kronis pada beberapa jaringan akibat infeksi Salmonella

pullorum. Monositosis juga terjadi akibat infeksi bakteri Salmonella pullorum.

Ayam dengan nomor protokol A-03 mengalami eosinophilia dengan nilai

6,97 x 103/ µL. eosinophilia atau peningkatan eosinofil dalam darah biasanya terjadi

karena adanya parasit, baik parasit internal maupun ekternal (Stockham and

Michael,2008). Menurut Feldman et al.(2000), terjadi kontak antara jaringan

hospes dan parasit yang berlangsung lama akan menyebabkan timbulnya respon

sensitiasi sehingga merangsang terjadinya eosinophilia. Eosinifilia merupakan

karakteristik lain pada kebanyakan infeksi parasit, tetapi tidak semuanya. Biasanya

eosinofil tidak bersangkutan dengan stadium – stadium peradangan yang lanjut.

Penyebab terjadinya eosinofilia masih belum jelas, kebanyakan teori melibatkan

histamine, tetapi antigen-antibodi kompleks barangkali ikut terlibat. Eosinofilia

mungkin terlibat dalam peristiwa hipersensitivitas.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium patologi anatomi, mikrobiologi,

parasitologi, dan patologi klinik. Hemoraghi yang terjadi di intestine ayam dengan

nomor protokol A-03 disebabakan oleh infeksi bakteri Salmonella pullorum.

menurut Sugiarti (2003), aktivitas enterotoksin oleh bakteri Salmonella pullorum.

menyebabkan respon sekretori pada sel epitel yang menghasilkan akumulasi cairan

dalam lumen usus yang dapat menyebabkan hemoraghi dan peradangan. Menurut

Poelongan (2014), adanya peradangan usus serta penghancuran lamira propria alat

pencernaan disebabkan oleh penyusupan (proliferasi) Salmonella untuk

berkembangbiak. Menurut Ariyanti dan Supar (2008), antigen Salmonella terdiri

dari tiga jenis antigen utama, yaitu antigen somatic (O), antigen kapsul (Vi) dan

54
antigen flagella (H), Salmonella pullorum. mempunyai antigen H yang dapat

menyebabkan peradangan.

Bakteri Salmonella pullorum dapat mengkolonisasi di mukosa usus dan

menembus mukosa usus masuk ke dalam sirkulasi darah atau limfatik dan dapat

menimbulkan respon kekebalan humoral dan seluler. Bakteri dapt bertahan dalam

jaringan limfoglandula, dan menyebar ke organ lain termasuk hepar, jantung,

pulmo, ovarium, dan ginjal yang dapat menimbulkan reaksi yang sama yaitu

perdangan dan perdarahan (Aryanti dan Supar,2008).

55
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi,

mikrobiologi, parasitology dan patologi klinik ayam dengan nomor protokol A-03

didiagnosa menderita infeksi bakteri Salmonella pullorum, dan infestasi ektoparasit

Menopon gallinae.

6.2 Saran

Tindakan perbaikan manajmen pemeliharaan perlu dilakukan untuk

menghindari faktor- faktor predisposisi penyakit, meliputi perbaikan manajemen

pemeliharaan dan sanitasi kandang, mengurangi faktor penyebab stres pada ayam

seperti pemberian nutrisi yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh tetap

baik,dan menjaga kebersihan pakan. Sebaiknya ayam yang sudah terlanjur

terinfeksi parah dimusnahkan untuk menghindari adanya carrier bagi hewan lain.

Penanggulangan secara kausatif dapat dilakukan dengan pemberian

antibiotik dengan dosis yang tepat dan pengendalian kutu dapat dilakukan dengan

pemberian insektisida yang aman.

56
VII. PATOGENESA

Faktor predisposisi :
Lingkungan kandang yang buruk, belum pernah di
vaksin, belum pernah mendapatkan pengobatan.

Infeksi Infestasi
Ayam A-03
Salmonella Menopon gallinae
pullorum.

Gejala klinis : Anoreksia,lemas,bulu


kusam,sayap menggantung,feses cair
berwarna putih

Enteritis Hemoragika Pneumonis Hemoragika

Anemia makrositik hipokromik,


hipoproteinemia,hiperfibrinogenemia,
leukositosis, heterofilia,monositosis , eosinifilia.

57
DAFTAR PUSTAKA

Amri, F., S. Arman, dan Darniati. 2017. Isolasi dan identifikasi bakteri enterik
pada feses gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di pusat
konservasi gajah (PKG) Saree Aceh Besar. JIMVET. 01(3) : 305-315.

Arliny, Y., 2015, Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus Implikasi Klinis Dua
Epidemik. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 01 (1) : 15-20
Arifin, I. M. 2015. Deteksi Salmonella pullorum. pada daging sapi di pasar
tradisional dan modern di kota Makassar. Jurnal penelitian. Universitas
Hasanuddin, 4(6) : 117-122.
Aktar, N., Rabeya and M. Ilias. 2016. Isolation and Identification of Salmonella
sp. from diffrent food. International Jurnal of Biosciences. 8(2) : 16-24.
Afriyani, Darmawi, Fakhrurrazi, Z. H. Manaf, M. Abrar, dan Winaruddin. 2016.
Isolasi bakteri Salmonella pullorum pada feses anak ayam broiler di pasar
Ulee Kareng Banda Aceh. Jurnal Medika Veterinaria. 10(1) : 74-76.
Budiarso, T.Y. dan M.J.X. Belo. 2009. Deteksi cemaran Salmonella pullorum pada
daging ayam yang dijual di pasar tradisional di wilayah Kota Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional. Fakultas MIPA Universitas Negeri
Yogyakarta, Yogyakarta.
Cappucino, J.G, Sherman N., 2014,. Microbiology a laboratory manual 6th ed.
San Francisco: Benjamin Cummings, pub Co p. 280.
CDC 2017. Salmonella sp. http://www.cdc.gov/media/subtopic/library/Disease
Agents/img 18.jpg,(diakses 28 juni 2019)
Dirjenak dan Keswan, 2014. Manual penyakit Mamalia Kementrian Pertanian.
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Erina, Azmansyah, Darniati, Fakhrurrazi, Safika, dan Tongku,dan Siregar. 2019.
The Isolation And Identification Of Bacteria Salmonella pullorum On Quail
Egg Shell In Traditional Markets Ulee Kareng,. Jurnal Medika Veterinaria.
13 (1) :79-87
Erina., Mahdi A., Balqis A.S., Maryulia D., Darmawi., Darniati., dan Muttaqien
B.2017. Isolation and Identification of Salmonella pullorum in spleen of
male layer chicken in Sibreh farms. Jurnal Medika Veterinaria.13 (2) : 69-
70
Elvioleta, I.,Erina, F. Jamin, dan Darniati. 2015. Isolasi Salmonella pullorum. Pada
Burung puyuh (Coturnix- coturnix japonica) di kecamatan Darul Imarah
Aceh Besar.Jurnal Medika Veterinaria. 9 (2): 80-91
Feldman, B.F., ZinkI, J.G. and Jain, N.C.2000. Schalm’s Veterinary Hematology
5th edition. Philadelphia : Lippincott William and Wilkins.

58
Guyton, A. C. dan J. E. Hall. 2010. Buku saku Fisiologi kedokteran. (H.Muttaqim,
N. Yesdelita, Eds., & B.U.Pendit,Trans)Jakarta :ECG.
Gandasoebrata, 2001. Penuntun laboratorium klinik. Edisi 10. Jakarta. Aran
Rakyat.
Henuk,Y.L.2015.The role of family poltry production systems in developing
countries.A paper presented in the 1st Internasional Conference on Native
Chicken, February 23-25,2015. Central Hotel, Khon Kaen, Thailand.Khon
kaen Agr.J.43 Suppl. 2 : 249-253.
Isroli, S. Susanti, E. Widiastuti, T. Yudiarti, dan Sugiharto. 2009. Observasi
beberapa variabel hematologis ayam kedu pada pemeliharaan intensif.
Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan, Semarang, 20 Mei 2009. Hal.
548-557.
Khan, V., Kumar, S., Gupta, N., Ahmad, A. and Saxena, A.K.(2003). Prevalence
of phthirapteran ectoparasites on selected poultry in the district, Rampur
(U.P.). Indian VeterinaryJournal, 20 (85): 447-448
Kusumaningsih, A. 2007. Profil dan gen resistensi antimikroba Salmonella
enterica serotipe Enteritidis asal ayam, telur dan manusia. Disertasi
Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 113 hlm.
Kusumaningsih, Riana Dewi. 2011. Analisis Efisiensi Ekonomi Penggunaan
Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani Kubis di Kabupaten Karayangan.
[Skripsi].Surakarta. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. 85 hal.
Kiswari Rukman. (2014) Hematologi & Transfusi.Jakarta : Erlangga
Leboffe, M.J., dan Burton, E.P. 2011. A Photographic Atlas for the Microbiology
Laboratory 4th Ed. Morton Publishing. Colorado. Hal : 211
Mukhtaruddin, Fakhrurrazi ,dan M. Abrar.2018. Isolasi dan identifikasi bakteri
Salmonella pullorum. pada usus ayam kampung di desa lampuja kecamatan
Darussalam kabupaten Aceh Besar . Jurnal Medika Veterinaria. 8 (1) :33-
40
Nugrahayu, Erika Ributari. (2011).Penerapan Metode Balance Scorecard sebagai
Tolak Ukur Pengukuran Kinerja Kesehatan Jurnal. Ilmu dan Riset
Kesehatan. 21 (2) : 45-52
Nelma S., Erina., Mahdi A., Elia W., Fakhrurrazi., Razali D.,2018. isolasi dan
identifikasi Salmonella pullorum. Dan Shigella pada feses kuda Bendi di
Bukit Tinggi Sumatra Barat.Jurnal medika veterinaria. 3 (10) : 62-67
Natadisastra, D dan A. Ridad. 2005. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. EGC. Jakarta

59
Oliveira, G., H. DE, A. Berchieri junior, H.J. Montasiee and A.C. Fernandes. 2004.
Assesment of serological response of chickens to Salmonella gallinarum
and Salmonella pullorum, Brazilian J. Poult. Sci. 6 (2) : 111 – 115.
Putri, R.W.A. 2016. Identifikasi Bakteri Eschericia coli dan Salmonella pullorum
pada Jajanan Batagor di Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Pisangan,
Cirendeu, dan Cempaka Putih Kecamatan Ciputat Timur. Skripsi. Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Uin Syarif Hidayatullah Jakarta
Parvej, M.S.2013.Isolation, Identification And Molecular Caracterization Of
Poultry Salmonella.(Tesis).Departemen Of Microbiology And Hygiene
Bangladesh Agricultural University.
Poernomo, S. 2004. Variasi tipe antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di
Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada ternak (PO).
Wartazoa 14(4): 143 – 159.
Palma, R.L.2017. Phtiraptera (insecta) A catalogue of parasitic lice from New
Zaeland. Fauna of New Zaeland.New Zaeland
Pattison, M., McMulin, P.F.,Bradbury, J.M., and Alexander,D.J. 2008.Poultry
Diseases sixth Edition.Saunders Elsevier.Cina
Prastowo J. dan Bambang A. 2015.Pengaruh ektoparasit terhadap Gambaran
Darah dan Elektrolit Ayam Kampung (Galus galus domesticus). Jurnal
media veterinaria 2 (7) : 21-30
Poeloengan M., Komala I., Noor S.M. 2014. Bahaya Salmonella Terhadap
Kesehatan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2002. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. London (GB): Blackwell Science.
Rasyaf, M. 2007. Beternak Ayam Broiler. Jakarta: Penebar Swadaya.
Suryani, Isti, Agus Santoso, dan M.Juffrie. 2010. Penambahan Agar-Agar dan
Pengaruhnya Terhadap Kestabilan dan Daya Terima Susu Tempe pada
Mahasiswa Politeknik Kesehatan Jurusan Gizi. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia Vol. 7, No. 2 hal: 85-91.
Suwandono, A.M. Destri dan C. Simanjuntak, 2005. Salmonellosis dan Surveillans
demam tifoid yang disebabkan Salmonella di Jakarta Utara. Disampaikan
dalam Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan – BPOM RI, Jakarta, 25
Januari 2005.
Shivaprasad HL, Barrow PA. 2008. Pullorum disease and fowl typhoid, p620–634.
In Saif YM, Fadley AM (ed), Diseases of poultry, 12th ed. Iowa State
University Press, Ames, IA.

60
Saif. Y. M. A.M. Fadly., J.R. Glisson., E.R.McDougald., L.K. Nolan., and D.E.
Swayne. 2008. Disease of Poultry 12th ed. Singapore : Faboulus Printers Ptc
Ltd.
Setiawan YY. 2013. Efektivitas Sipermetrin terhadap kutu Menopon gallinae
dengan metode penyemprotan pada ayam petelur [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Suprijatna, E., A,Umiyati, dan K, Ruhyat. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Stockham, S.L.,and M.A.Scott.2008. fundamentals of Veterinary Clinical
Pathology, Second Edition. Blackwell Publising. Lowa, USA.
Sugiarti. 2003. Pembangunan dalam Perspektif Gender. UMM PRES, Malang.
Todar, K. 2008. Salmonella dan Salmonellosis. http://www.textbookof
bacteriology.ne/salmonella.html. Diakses 15 juli 2019.
Teresa Y.M.2005. Common Eksternal Parasites in Poultry: Lice and Mites.
Yogyakarta.
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penyakit Asal
Parasit, Noninfeksius, dan Etiologi Kompleks Volume 2. Penerbit
Kanisius. Yoggyakarta. 3-25.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2013. Veterinary Parasitology. Ed3. London
(GB): Blackwell Science
Ulupi, N.2014.Kajian ketahanan ayam kampung terhadap Salmonella Enteriditis
menggunakan Gen Tlr4 sebagai penciri Genetik (Skripsi).Institut Petranian
Bogor.
Widianingsih, M., dan Dewi R.B. 2017. Identifikasi Salmonella pullorum. Pada
sapi perah di Dusun Judeg Desa Babadan Kediri. JAS. 7 (3) : 50-57
Wana P.W. 2001. Sebaran Kutu (Menoponidae: Menopon dan Philopteridae:
Goniodes) pada Beberapa Tubuh Bagian Ayam Kampung. [Skripsi]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary ectoparasites: biology. In: Pathology and
Control. Ed.2.London (GB): Blackwell Science. 304.
Yuswananda, N.P. 2015. Identifikasi bakteri Salmonella pullorum pada makanan
jajanan di masjid Fathullah Ciputat tahun 2015. Laporan Penelitian.
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Zaraswati, D. 2006. Mikrobiologi Farmasi. Universitas Hasanuddin, Makassar.hal
110-115

61

Anda mungkin juga menyukai