Anda di halaman 1dari 12

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kambing
1. Deskripsi Kambing
Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang.
Tanduk pada kambing jantan lebih besar dibandingkan betina. Umumnya
kambing mempunyai jenggot, dahi cembung, ekor agak ke atas dan
kebanyakan berbulu lurus dan kasar. Panjang tubuh kambing liar adalah 1,3-
1,4 m. Bobot kambing betina kg, sedangkan jantan dapat mencapai 120 kg.
Kambing liar menyebar dari Spanyol ke arah timur sampai India dan dari
India ke utara sampai Mongolia dan Siberia. Habitat yang disukai adalah
daerah pegunungan yang berbatu-batu. Kambing sudah dibudidayakan
manusia sekitar tahun yang lalu. Kambing hidup berkelompok 5-20 ekor di
habitat aslinya (Batubara, 2007).
Kambing merupakan jenis ternak yang sudah lama dibudidayakan.
Memelihara kambing tidak sulit karena pakannya cukup beragam. Berbagai
jenis hijauan dapat dimakannya. Jenis daun-daunan yang cukup digemari
oleh kambing antara lain daun turi, lamtoro dan nangka. Delapan bangsa
kambing di Indonesia adalah kambing Merica, Samosir, Muara, Kosta,
Gembrong, Benggala, Kacang dan etawah (Pamungkas et al. 2009).
Klasifkasi Kambing Kambing diklasifikasikan ke dalam kerajaan
Animalia; filum Chordata; subfilum Vertebrata; kelas Mammalia; ordo
Artiodactyla; sub-ordo Ruminantia; familia Bovidae; sub-familia Caprinae,
genus Capra dan spesies Capra hircus (Myers et al., 2012). Kambing (Capra
aegagrus hircus) adalah sub-spesies kambing liar yang secara alami tersebar
di Asia Barat Daya dan Eropa (Batubara, 2007).

4
2. Macam-macam Kambing Potong
Berikut merupakan bangsa-bangsa kambing potong yang terdapat di
Indonesia.
a. Kambing Boerawa
Para peternak di Lampung sangat berminat untuk memelihara kambing
Boerawa karena beberapa keunggulannya. Selain sosoknya yang lebih
besar, kambing ini juga memiliki tingkat produksi dan mutu daging yang lebih
baik dibandingkan dengan kambing Etawa atau Peranakan Etawa. Kadar
kolesterol daging ini rendah, empuk, dan enak. Tingkat pertumbuhannya juga
lebih cepat, sementara pemeliharaan dan perawatannya tidak begitu berbeda
dengan kambing lokal. Saat lahir bobot rata-rata kambing Boerawa mencapai
2,5 - 3,5 kg, sedangkan kambing PE 2,4 - 2,6 kg. Bobot sapih kambing
Boerawa juga lebih tinggi, yaitu mencapai 14 - 20 kg, sedangkan kambing PE
9 - 11 kg, bobot badan kambing Boerawa umur 8 bulan mencapai 40 kg
(Direktorat Jenderal Bina Produksi dan Pengembangan Ternak, 2004).
b. Kambing Kacang
Susilawati (2008) lebih lanjut menjelaskan bahwa kambing Kacang yang
mempunyai berat badan 20 - 30 kg ini mempunyai fertilitas tinggi sehingga
anak yang dilahirkan berkisar 1 - 4 ekor per kelahiran, merupakan tipe
pedaging dan mampu beradaptasi dilingkungan yang jelek. Kambing Kacang
yang memiliki potensi genetik yang baik ini, dapat ditingkatkan
produktivitasnya dengan beberapa jenis kambing pedaging unggul lainnya.
c. Kambing Boer
Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang
terregistrasi selama lebih dari 65 tahun. Kata "Boer" artinya petani. Kambing
Boer merupakan satu-satunya kambing pedaging yang sesungguhnya, yang
ada di dunia karena pertumbuhannya yang cepat. Kambing ini dapat
mencapai berat dipasarkan 35 - 45 kg pada umur lima hingga enam bulan,
dengan rataan pertambahan berat tubuh antara 0,02 - 0,04 kg per hari.

5
Keragaman ini tergantung pada banyaknya susu dari induk dan ransum
pakan sehari-harinya. Dibandingkan dengan kambing perah lokal, persentase
daging pada karkas kambing Boer jauh lebih tinggi dan mencapai 40% - 50%
dari berat tubuhnya (Shipley, 2005).
d. Kambing PE (Peranakan Etawa)
Kambing PE merupakan hasil persilangan pejantan Ettawah dengan
kambing Kacang sebagai upaya peningkatan produktivitas ternak lokal.
Susilawati (2008) juga menjelaskan bahwa kambing PE di Indonesia nenek
moyangnya berasal dari india yaitu kambing ettawah. Kambing ini merupakan
jenis kambing perah dan dapat pula menghasilkan daging. Kambing PE
termasuk kambing yang prolifik (subur) dengan menghasilkan anak 1 - 3 ekor
per kelahiran, dengan berat badan antara 35 - 45 kg pada betina, sedangkan
pada kambing jantan berkisar antara 40 - 60 kg tergantung dari kualitas bibit
dan manajemen pemeliharaannya.
e. Kambing Merica
Kambing Marica yang terdapat di propinsi Sulawesi Selatan merupakan
salah satu genotipe kambing asli Indonesia yang menurut laporan FAO
sudah termasuk kategori langka dan hampir punah (endangered). Daerah
populasi kambing Marica dijumpai di sekitar Kabupaten Maros, Kabupaten
Jeneponto, Kabupaten Soppeng dan daerah Makassar di Propinsi Sulawesi
Selatan (Pamungkas dkk., 2009).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, keragaman karakteristik
morfologik kambing Marica ini hampir mirip dengan kambing Kacang, namun
ada perbedaan yaitu penampilan tubuh lebih kecil dibanding kacang, telinga
berdiri menghadap samping arah ke depan, tanduk relatif kecil dan pendek.
Kambing Marica punya potensi genetik yang mampu beradaptasi baik di
daerahagro-ekosistem lahan kering, dimana curah hujan sepanjang tahun
sangat rendah. Kambing Marica dapat bertahan hidup pada musim kemarau

6
walau hanya memakan rumput-rumput kering di daerah tanah berbatu-batu
(Pamungkas dkk., 2009).
f. Kambing Gembrong
Kambing Gembrong merupakan kambing lokal yang dikembangkan di
Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Sifat kualitatif : a. Warna bulu :
dominasi warna putih, sebagian cokelat muda dan hitam. b. Bentuk : 1)
Kepala : ringan dengan profil muka lurus agak cekung. 2) Telinga : sedang,
dan terkulai. 3) Tanduk : jantan dan betina bertanduk. 4) Punggung : datar
sampai melengkung, dan arah ke belakang meninggi. 5) Bulu : panjang, dan
khusus jantan rambut di bagian kepala menutup muka dan telinga. Sifat
kuantitatif : a. Ukuran tubuh: 1. Tinggi pundak : jantan : 65,6 ± 8,9 cm. betina :
54,8 ± 7,1 cm. 2. Panjang badan : jantan : 64,6 ± 9,1 cm. betina : 50,0 ± 6,3
cm. 3. Lingkar dada : jantan : 75,7 ± 8,1 cm. betina : 64,1 ± 3,4 cm. 4. Bobot
badan : jantan : 40,7 ± 6,3 kg. betina : 20,1 ± 1,5 kg. b. Umur dewasa kelamin
: 18 ± 3 bulan. c. Umur beranak pertama : 24 ± 5 bulan. d. Lama bunting : 5 ±
0,3 bulan. e. Lama berahi : 18 ± 6 jam. f. Berahi setelah beranak : 63 ± 6 hari.
g. Jumlah anak sekelahiran : 1-2 ekor. (Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, 2013).

7
B. Cacing Saluran pencernaan

Salah satu penyakit parasitik yang sering menjadi permasalahan pada


ternak kambing adalah penyakit cacingan yang disebabkan oleh cacing
saluran pencernaan. Cacing saluran pencernaan sering dijumpai pada ternak
yang dapat mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan dan kesehatan.
Sebagian zat makanan di dalam tubuh ternak dikonsumsi oleh cacing,
sehingga menyebabkan kerusakan jaringan pada hewan. Keadaan ini juga
dapat menyebabkan ternak menjadi lebih peka terhadap berbagai penyakit
yang mematikan (Abidin, 2002).
Adanya infestasi tunggal, ganda, dan campuran pada satu ekor
kambing yang disebabkan oleh infestasi cacing tidak menyebabkan kematian
terhadap inang namun hanya menyebabkan penurunan sistem imun inang
sehingga memungkinkan terjadinya infestasi sekunder oleh jenis cacing
lainnya (Akhira dkk., 2013). Penularan cacing dapat terjadi melalui pakan
dan minum yang tercemar oleh tinja ternak yang terinfestasi cacing (Pratiwi,
2010).
C. Haemounchus contortus
Menurut Levine (1994) cacing Haemonchus contortus sering
menginfestasi ruminansia terutama sapi, domba, dan kambing. Cacing ini
biasanya ditemukan pada abomasum tubuh hospes yang berada di daerah
beriklim tropis dan lembab (Bowman dan Georgi, 2009).
Klasifikasi cacing Haemunchus Contortus menurut (Nobleand Noble,
1989) adalah sebagai berikut.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Ordo : Strongylida
Family : Trichostrongylidae

8
Genus : Haemonchus
Species : H. contortus
Siklus hidup Haemonchus contortus dan Nematoda lain pada
ruminansia bersifat langsung, tidak membutuhkan hospes intermediet.
Cacing dewasa hidup di abomasum, memproduksi telur. Telur dikeluarkan
oleh ternak bersama-sama pengeluaran feses. Di luar tubuh hospes, pada
kondisi yang sesuai, telur menetas dan menjadi larva. Larva stadium L1
berkembang menjadi L2 dan selanjutnya menjadi L3, yang merupakan
stadium infektif. Larva infektif menempel pada rumput-rumputan dan
teringesti oleh domba. Selanjutnya larva akan dewasa di abomasum.

Gambar 1. Siklus Hidup Haemonchus spp (Whittier, et al., 2003)


Kerugian Haemonchus contortus adalah cacing penghisap darah yang
rakus, setiap ekor per hari menghabiskan 0,049 ml darah, sehingga
menyebabkan anemia. Anemia berlangsung melalui 3 tahap, yaitu tahap I, 3
minggu setelah infeksi ternak akan kehilangan darah dalam jumlah besar, hal
ini merupakan tahap akut, tahap II, antara 3 – 8 minggu setelah infeksi,
kehilangan darah dan zat besi ternak berlangsung terus tetapi masih
diimbangi oleh kegiatan eritropoetik, dan tahap III, terjadi kelelahan sitem
eritropoetik yang disebabkan oleh kekurangan besi dan protein, dan hal ini
merupakan tahap kronis.

9
Anemia merupakan gejala utama dari infeksi Haemonchus contortus
bersamaan dengan kehilangan darah dan kerusakan usus. Terlihat busung di
bawah rahang , diare, tapi kadang-kadang kambing sudah mati sebelum
diare muncul. Gejala lain yang menonjol, yaitu: penurunan berat badan,
pertumbuhan yang jelek dan penurunan produksi susu.
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah jangan
menggembalakan ternak terlalu pagi, pemotongan rumput sebaiknya
dilakukan siang hari, pengobatan secara teratur dan mengurangi
pencemaran tinja terhadap pakan dan air minum.
C. Penanganan Penyakit Infeksi Cacing

Gejala umum dari hewan yang terinfestasi cacing antara lain badan
lemah dan bulu kusam, gangguan pertumbuhan yang berlangsung lama. Jika
infestasi sudah lanjut diikuti dengan anemia, diare, dan badannya menjadi
kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian. Kehadiran parasit cacing
bisa diketahui melalui pemeriksaan feses untuk mengetahui telur cacing.
Perubahan populasi cacing dapat diketahui dengan menghitung total telur per
gram feses (EPG) secara rutin (Subronto dan Tjhajati, 2001).
Pengendalian infeksi oleh parasit cacing dapat dilakukan dengan cara
mengurangi kontaminasi oleh parasit serta memberikan pengobatan dengan
anthelmentik (obat cacing) yang telah teruji efikasinya untuk mengeluarkan
parasit dari tubuh ternak, tetapi pada kondisi krisis seperti sekarang ini harga
obat cacing semakin mahal dan mungkin tidak terjangkau oleh peternak di
pedesaan karena biaya penggunaan obat cacaing dapat mencapai 50% dari
seluruh total anggaran biaya pengobatan.
Maingi et al. (1996) mengatakan bahwa penanggulangan infeksi cacing
nematoda dengan menggunakan antelmintik mempunyai kendala karena
dapat menyebabkan berkembangnya resistensi. Menurut Waller (1990),
Waller et al. (1995) ternak yang sering diberi antelmintik dari jenis yang sama

10
secara terus menerus selama beberapa tahun akan menyebabkan terjadinya
resistensi yang tinggi. Galur cacing yang tahan terhadap obat cacing ini akan
berkembang menjadi suatu populasi cacing yang akan terus menginfeksi
ternak lain (Borgsteede et al., 1996).
Sayangnya pemberian obat cacing harus dilakukan berulang kali,
sehingga akan timbul galur cacing yang resistensi terhadap obat (Prichard,
1990; Waller, 1987, 1994; Waller et al., 1996) dan akumulasi residu dalam
jaringan tubuh.
Pengendalian penyakit cacing dengan memberikan pengobatan
anthementik buatan pabrik pada ternak dikhawatirkan berdampak negatif
seperti menimbulkan resintesi terhadap obat tersebut di samping mahalnya
harga obat sehingga tidak terjangkau oleh peternak. Kondisi seperti itu dapat
disiasati dengan pemberian obat tradisional. Pengobatan tradisional sebagai
alternatiif pengobatan infestasi cacing yaitu dengan menggunakan tanaman
(herbal). Tanaman herbal yang dapat digunakan sebagai anthemeltik pada
ternak diantaranya adalah biji pinang , pepaya dan bawang putih (Iqbal et al.,
2003).
Obat tradisional dari tumbuhan alami seperti biji pinang, daun tembakau
dan yang lainnya telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia untuk mencegah, meringankan dan menyembuhkan penyakit
(Meiyanto et al., 1997). Penanggulangan terhadap infeksi cacing yang sering
dilakukan orang pada saat ini adalah dengan memberi obat cacing
(antelmintik) (Beriajaya, 1986)

11
D. Pinang (Areca catechu)
1. Deskripsi Umum pinang
Pinang merupakan tanaman yang sekeluarga dengan kelapa. Salah
satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman. Secara rinci,
sistematika pinang diuraikan sebagai berikut (Syamsuhidayat and Hutapea,
1991):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyte
Sub divisi : Angiospermae
Class : Monocotyledonae
Ordo : Arecales
Family : Arecaceae/palmae
Genus : Areca
Spesies : Areca catechu L.
Pinang (Areca catechu L.) merupakan tanaman family Arecaceae yang
dapat mencapai tinggi 15 - 20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah
15 cm. Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian
mempunyai jambul daun-daun kecil yang belum terbuka. Pembentukan
batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada umur 5-8 tahun
tergantung keadaan tanah (Depkes RI, 1989).
Bagian-bagian dari tanaman pinang antara lain: (a) Akar: berakar
serabut, putih kotor. (b). Batang: tegak lurus dengan tinggi 10-30 meter,
bergaris tengah 15 cm, tidak bercabang dengan bekas daun yang lepas. (c)
Daun: majemuk menyirip tumbuh berkumpul di ujung batang membentuk
roset batang. (d) Bunga: tongkol bunga dengan seludang panjang yang
mudah

12
rontok, keluar dari bawah roset daun, panjang sekitar 75 cm, dengan
tangkai pendek bercabang rangkap. (f) Biji: biji satu, bentuknya seperti
kerucut pendek dengan ujung membulat, pangkal agak datar dengan suatu
lekukan dangkal, panjang 15 - 30 mm, permukaan luar berwarna kecoklatan
sampe coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk menyerupai jala dengan
warna yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna
coklat tua dengan lipatan tidak beraturan (Depkes RI, 1989).
2. Kandungan Pinang
Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat,
polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004).
Biji pinang mengandung catechin, tanin (15%), asam galat, gum dan alkaloid
seperti arekolin (0.07%), arekain (1%). Arekaidin and guvakolin, guvasin and
choline ada dalam jumlah sedikit. Dari kesemua kandungannya, arekolin
merupakan alkaloid yang paling penting (Reena et al., 2009 dalam Joshi et
al., 2012).
Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2),
arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine (Wang et al.,
1996). Jenis alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan
yang kemungkinannya mempunyai efek antelmintik adalah arekolin (Suryati
dan Suprapto, 1988). Arekolin bersifat racun bagi beberapa jenis cacing
(Lutony, 1993; Suharsono, 1994) dan menyebabkan paralisis sementara
(Firgorita, 1991). Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah pinang
mengandung proantosianidin, yaitu suatu tanin terkondensasi yang termasuk
dalam golongan flavonoid.
Senyawa tanin diduga memiliki kemampuan daya antelmintik yang
mampu menghambat enzim dan merusak membran (Shahidi dan Naczk,
1995). Terhambatnya kerja enzim dapat menyebabkan proses metabolisme
pencernaan terganggu sehingga cacing akan kekurangan nutrisi pada
akhirnya cacing akan mati karena kekurangan tenaga. Membran cacing yang

13
rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Tanin
umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk
mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang tidak larut
dalam air (Harborne, 1987).
Tanin juga memiliki aktivitas ovasidal, yang dapat mengikat telur cacing
yang lapisan luarnya terdiri atas protein sehingga pembelahan sel didalam
telur tidak akan berlangsung pada akhirnya larva tidak terbentuk (Tiwow et
al., 2013). Pada pengobatan hewan, ekstrak biji pinang digunakan untuk
pengobatan cacing pada anjing dan ternak, dan untuk mengobati masalah
pencernaan pada kuda (Hannan et al., 2012).
3. Manfaat
Biji pinang digunakan oleh masyarakat Desa Semayang, Kalimantan
Timur, digunakan untuk mengatasi penyakit seperti hidung berdarah, bisul,
koreng, kudis, cacingan, diare, dan disentri. Biji pinang yang aromatis
memiliki efek antioksidan dan antimutagenik, serta bersifat memabukkan,
sehingga telah lama digunakan sebagai taeniafuge untuk mengobati
cacingan selain itu pinang digunakan juga untuk mengatasi bengkak karna
retensi cairan (edema), luka, batuk berdahak, terlambat menstruasi,
keputihan, beri-beri, malaria, dan memperkecil pupil mata (Kristina dan
Syahid, 2007).
E. Hipotesis
Pemberian Infusa biji pinang mempunyai pengaruh yang nyata terhadap
tingkat mortalitas cacing Haemonchus contortus pada ternak kambing.

14
15

Anda mungkin juga menyukai