Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAU PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Ternak Kerbau

2.1.1. Asal Usul Ternak Kerbau

Kerbau merupakan ternak ruminansia yang penting sesudah sapi di daerah

tropis, karena menghasilkan susu dan daging. Kerbau terdapat di daerah tropis dan

sub tropis antara garis 30o Lintang Utara dan garis 30o Lintang Selatan yaitu Asia,

Afrika, (Mesir, Tunisia), Eropa (Yunani, Italia, Hungaria, Rumania, Bulgaria,

Yugoslavia, dan Albania), Amerika Latin (Trinidad, Brazilia, Peru, Equador), dan

Australia bagian utara.

Domestikasi kerbau di India dimulai 5000 tahun yang lalu di lembah

Sungai Indus dan di Cina kira-kira 1000 tahun kemudian kerbau telah dijinakkan

termasuk anggota sub-famili Bovinae di dalam genus Bubalus yang dibagi dalam

4 sub genus yaitu :

a. Bubalus caffer (kerbau Afrika)

b. Bubalus bubalis (Kerbau Asia)

c. Bubalus mindorensis (kerbau Mindora)

d. Bubalus depressicornis (kerbau mini Sulawesi = anoa)

Kerbau asia terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau

domestik. Kerbau domestik terdiri atas dua tipe yaitu kerbau rawa (swamp

buffalo) dan kerbau sungai ( river buffalo ).

6
Klasifikasi ternak kerbau (storer et al,1917) sebagai berikut :

 Kingdom : Animalia

 Kelas : Mamalia

 Sub-Kelas : Ungulata

 Ordo : Artiodactyla

 Sub-ordo : Ruminansia

 Famili : Bovidae

 Genus : Bubalus

 Spesie : Bubalus bubalis linn

Gambar 1. : Kerbau lumpur (Bubalus bubalis ) betina

Bangsa-bangsa kerbau yang sekarang terdapat di Indonesia berasal dari

kerbau liar (Bubalus ami) yang terdapat di bagian timur laut India dan Cina

selatan. Kerbau yang terdapat sekarang dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu

kerbau sungai (river buda) dan kerbau rawa (Swamp buffalo).

Kerbau Sungai (tipe perah) didapatkan di tanah-tanah kering terutama di

India, misalnya Murrain, Surti, Nili/Ravi, Mehsana, Nagpuri, dan Jafarabadi.

Secara genetik, kerbau sungai mempunyai jumlah kromosom 50, sedangkan sapi

jumlah kromosomnya 60. Kerbau sungai terdapat juga di Mesir dan Eropa. Warna

7
kulit umumnya hitam atau keabu kehitam-hitaman, tanduk sedikit melingkar atau

tergantung lurus. Kerbau Mediterrania (Yunani dan Italia) termasuk tipe sungai

berbentuk gemuk pendek dan dapat berproduksi susu tinggi. Kerbau tipe sungai

disebut pula tipe perah, karena berproduksi susu yang tinggi dibandingkan dengan

tipe rawa.

2.1.2. Ternak Kerbau di Indonesia

Ada dua bangsa kerbau yang diternakkan di dunia yaitu kerbau lumpur

(swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Kerbau lumpur memiliki 48

pasang kromosom dan kerbau sungai memiliki 50 pasang kromosom, perkawinan

keduanya menurunkan keturunan yang fertil baik pada ternak jantan maupun

betina, hanya diduga bahwa daya reproduksi crossbred tersebut lebih rendah dari

masing-masing tetuanya (Talib, 2008).

Kerbau dikenal dua tipe yakni kerbau lumpur sebagai penghasil daging

dan kerbau sungai sebagai penghasil susu, namun menurut Dhana (2006)

perbedaan topografi membuat beragam kerbau liar masih ditemukan di Indonesia.

Di Indonesia sebagian besar kerbau yang dipelihara adalah kerbau lumpur (95%),

namun telah muncul berbagai spesifikasi mengikuti agroekosistemnya (Siregar,

dkk, 1997), sedangkan sekitar 5% adalah kerbau sungai seperti kerbau murrah di

Medan, kerbau tedong bonga di Toraja, kerbau kalang di Kalimantan Selatan,

kerbau binangan di Tapanuli Selatan dan kerbau moa di Maluku, disamping itu

ada kerbau liar di Taman Nasional Baluran.

2.1.2. Kerbau Lumpur

Kerbau lumpur selain ada di Indonesia, juga di Vietnam, Laos, Kamboja,

Thailand dan Malaysia. Di Malaysia Barat, kerbau ini mempunyai habitat atau

8
daerah hidup asli di daerah berlumpur atau berawa-rawa. Kerbau ini disebut

kerbau lumpur untuk membedakan dengan kerbau sungai (kerbau murrah) yang

berasal dari India (Subiyanto, 2010).

Pada saat ini kerbau lumpur terdapat diseluruh wilayah Indonesia, dengan

distribusi populasi masing-masing dari yang terbanyak dapat dilihat pada tabel 1

dibawah ini :

Tabel 1. Jumlah populasi kerbau lumpur terbanyak di wilayah Indonesia

Wilayah Jumlah Populasi (ekor) (%)


Aceh 280.662 ekor 14,54%
Sumatera Barat 196.854 ekor 10,20%
NTB 161.450 ekor 8,36%
Sumatera Utara 155.341 ekor 8,04%
Banten 153.004 ekor 7,92%
NTT 148.772 ekor 7,70%
Jawa Barat 145.847 ekor 7,55%
Sulawesi Selatan 130.109 ekor 6,74%
Jawa Tengah 102.591 ekor 5,68%
Sumber : (Statistik Peternakan Dirjen 2009).

2.2. Reproduksi Ternak Kerbau

Reproduksi merupakan suatu proses biologik yang menyangkut semua

aspek reproduksi atau perkembangbiakan hewan. Toelihere (1993) menyatakan

bahwa prestasi reproduksi sangat penting dan perlu diperhatikan dalam upaya

meningkatkan populasi ternak dan secara langsung akan dipengaruhi oleh faktor

genetik dan juga lingkungan, penyakit dan tata laksana.

Pubertas atau dewasa kelamin adalah suatu periode dalam kehidupan

makluk jantan atau betina dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi yang

ditandai oleh kemampuan untuk pertama kalinya mendapatkan benih (Anggorodi,

1979 dan Partodiharjo,1992). Pubertas terjadi karena di pengaruhi oleh faktor

9
hewan nya antaranya, yaitu : bobot badan, umur, genetik dan ras. Beberapa faktor

yang sangat berpengaruh ialah faktor lingkungan yaitu suhu musim dan iklim.

Pubertas lebih awal akan menguntungkan karena dapat mengurangi masa

tidak produktif dan memperpanjang masa hidup produktif ternak. Peningkatan

genetik dapat terjadi lebih cepat karena interval generasi berkurang, bila dilakukan

seleksi dengan baik dan program seleksi yang efektif (Tomaszewska et al.,1991).

2.2.1. Angka Kelahiran

Angka kelahiran adalah jumlah anak yang lahir selama 1 tahun di bagi

dengan jumlah induk dewasa dalam 1 tahun yang sama, dinyatakan dalam persen

(Newman dan Snapp, 1969., Martojo et al., 1978). Metode untuk mengukur angka

kelahiran banyak macamnya tetapi yang sering digunakan menurut Newman dan

Snapp, (1969)., Martojo et al., (1978) ada metode utama yaitu:

1. Jumlah anak yang lahir dibandingkan dengan jumlah induk yang di

kawinkan.

2. Jumlah anak yang siap dipasarkan atau yang telah diberi cap dibandingkan

dengan jumlah induk yang dikawinkan.

3. Jumlah anak yang mencapai umur sapih dibandingkan dengan jumlah

induk yang dikawinkan.

Selanjutnya Newman dan Snapp, (1969) menyatakan bahwa persentase

angka kelahiran sering bervariasi secara luas antar kelompok yang berbeda dan

dalam kelompok yang sama dalam tahun berbeda (Ensminger, 1969 dikutip

Mila., 1993).

Namun lazimnya ternak besar yang dipelihara dengan cara digembalakan

di padang pengembalaan umur ideal dengan ternak kerbau saat dikawinkan

10
pertama kali yaitu 2,5-3 tahun pada saat ternak mulai mencapai dewasa kelamin

dan dewasa tubuh dengan lama kebuntingan 310 hari (Sosroamidjojo, 1984). Hal

ini dipertegas oleh Bhanasari (1975) yang dikutip oleh Toelihere (1993)

menyatakan bahwa dengan tatalaksana dan makanan yang baik untuk kerbau

dapat melahirkan untuk 12 bulan dan masa produksi 20 tahun.

2.2.2. Angka Kematian

Kegagalan reproduksi turut merugikan peternak serta membahayakan

kehidupan indiividu ternak, misalnya rendahnya produksi dan langkanya anak

sebagai ternak bibit serta menghambat perkembangan pemeliharan ternak yang

direncanakan (Ginting, 1977). Lebih lanjut dikatakan bahwa kegagalan reproduksi

disebabkan kesalahan pemeliharan antara lain kegagalan mengenal tanda-tanda

berahi hingga tidak dikawinkan atau perkawinan tidak tepat waktu, terlalu cepat

dikawinkan pada umur muda, terlalu cepat mengawinkan setelah melahirkan serta

kurang cermat memeriksa kebuntingan.

Penyakit adalah penyebab kerugian yang paling banyak pada ternak dan

merupakan salah satu faktor pembatas yang cukup berpengaruh terhadap

perkembangan ternak di daerah tropik. Fahimuddin (1975), menyatakan bahwa

penyakit yang menyerang ternak terjadi akibat interaksi beberapa faktor seperti

iklim dan kekurangan pakan terutama di daerah beriklim tropis.

2.2.3. Carving Interval

Calving Interval/Jarak Beranak adalah jumlah hari/bulan antara kelahiran

yang satu dengan kelahiran berikutnya. Panjang pendeknya selang beranak

merupakan pencerminan dari fertilitas ternak, selang beranak dapat diukur dengan

masa laktasi ditambah masa kering atau waktu kosong ditambah masa

11
kebuntingan. Selang beranak yang lebih pendek menyebabkan produksi susu

perhari menjadi lebih tinggi dan jumlah anak yang dilahirkan pada periode

produktif menjadi lebih banyak, selang beranak yang ideal pada kerbau perah

adalah 12 bulan termasuk selang antara beranak dengan perkawinan pertama

setelah beranak (Sudono, 1983).

Selang beranak merupakan kunci sukses dalam usaha peternakan kerbau

semakin panjang selang beranak, semakin turun pendapatan petani peternak,

karena jumlah anak yang dihasilkan akan berkurang selama masa produktif.

Meningkatkan produksi dan reproduktifitas ternak dengan memperpendek selang

beranak (calving interval) dengan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dan

seleksi bibit ternak (sudono, 1983),

Calving interval di pengaruhi oleh daya reproduksi dan ditentukan oleh

lamanya masa kosong serta angka perkawinan per kebuntingan. Siklus reproduksi

akan di ulang kembali sampai pada kebuntingan berikutnya serta kerbau

mengalami berahi kembali dan melahirkan. Panjang carving interval sangat

bervariasi pada kerbau lumpur bergantung ada semua karaterisktik reproduksi.

Menurut Guzman ( 1980), serang kelahiran kerbau lumpur berkisar antara 1-3

tahun atau rata-rata 1,5 tahun. Carving interval ditentukan oleh lama kebuntingan

atau lama waktu kosong (days open), jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah

12 bulan yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui sedangkan efisisensi

reproduksi dikatakan baik apabila seekor induk kerbau dapat menghasilkan satu

pedet dalam satu bulan (Anggorodi, R. 1979). Carving interval lebih banyak di

atur oleh faktor non genatik yaitu ada kesempatan menurunkannya dengan

12
efisiensi menajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang tepat ( fahimuddin

,1975 ).

2.2.4. Service Periode

Service Periode ( Periode service ) sering di sebut juga dengan lama

kosong atau days open dimana induk harus mengalami perbaikan kondisi alat /

organ reproduksinya sebelum dipergunakan untuk bunting lagi , dapat juga di

pahami sebagai suatu periode dimana seekor induk bisa di kawini. Lama kosong

ini di tentukan oleh post partum marting dan service perconception (

Kasman,2006) .

Masa kosong (days open) yang di hitung mulai saat kerbau melahirkan

sampai terjadinya bunting kembali, untuk meningkatkan efisiensi reproduksi days

open yang baik adalah 80 sampai 85 hari setelah beranak (Affandi,2003). Days

open di pengaruhi oleh nutrisi selama kebuntingan dan setelah melahirkan atau

beranak, nutrisi yang jelak atau buruk dapat menyebabkan lambatnya berahi

kembali sehingga days open semakin panjang.

2.2.5. Siklus Berahi

Siklus Birahi dikenal juga dengan siklus estrus (heat) yang merupakan

suatu periode secara psikologis maupun fisiologis pada hewan betina yang

bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Sedangkan siklus estrus dibagi

menjadi beberapa fase yang dapat dibedakan jelas yang disebut proestrus, estrus,

metestrus dan diestrus (Frandson, 1996). Berahi itu sendiri adalah saat dimana

hewan betina bersedia menerima penjantan untuk kopulasi. Kopulasi dapat

menghasilkan kebuntingan dan selanjutnya dapat menghsilakan anak, rata-rata

dewasa kelamin kerbau betina mencapai umur 3 tahun. Di Jawa estrus pertama

13
terlihat pada kerbau lumpur pada umur antara 3 sampai 5 tahun. Kerbau betina

adalah ternak produktif selama hidupnya, yang dapat menghasilkan 20 ekor anak

dalam waktu 25 tahun.

Kerbau betina memperlihatkan siklus birahi yang normal selama kurang

lebih 3 minggu, di Indonesia siklus birahi pada kerbau lumpur berkisar antara 17

dan 29 hari,rata-rata 23,53 hari (Yendraliza, 2010) Birahi berlangsung lebih lama

pada kerbau dari pada sapi, mencapai 24 sampai 36 jam. Pada penelitian lain

dicatat lama birahi rata-rata 17,65 jam, dari hasil survey di Sumatera, Tanah

Toraja di Sulawesi Selatan dan Bali pada tahun 1975 terbukti bahwa tanda-tanda

birahi dan keinginan kelamin jelas terlihat di siang hari terutama pada waktu pagi

sebelum kerbau dikeluarkan dari kandang dan pada sore hari sesudah kembali di

kandang dari padang gembalaan. Tanda-tanda birahi yang terlihat adalah diam

dinaiki kawannya dan keluar lendir transparan dari vulva. Lendir transparan ini

jelas terlihat di sore hari pada waktu hewan istirahat dan berbaring untuk

memamah biak di mana perutnya bertumpu di tanah dan tertekan sehingga saluran

kelamin ikut tertekan dan terdesak untuk mengeluarkan lendir birahi. Keadaan

birahi tersebut berlangsung antara 12 sampai 96 jam,dengan rata-rata 41,84 jam.

2.2.6. Umur Beranak Pertama

Umur beranak pertama atau age at first calving untuk ternak potong yang

kurang baik pertumbuhannya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18

sampai 24 bulan. Sehingga sudah dapat melahirkan anak pertama kali umur 27

bulan dan selambat-lambatnya pada umur 33 bulan (Zen, Z. 1984). Menunda

perkawinan terlalu lama tidak baik, sebab selain kemungkinan terjadinya

penimbunan lemak di sekeliling ovarium dan oviduct, sehingga mengganggu

14
proses pembentukan sel telur dan ovulasi, di samping itu juga merugikan

ekonomi.

Terlalu tua umur pertama kali kerbau di kawinkan, maka terlalu tua pula

umur induk kerbau melahirkan anak pertama, sehingga produktivitas sebagai

kerbau bibit menjadi rendah, atau dengan kata lain efisiensi reproduksinya tidak

optimal (Fattah, S. 1998). Menurut Toelihere (1981) dengan makanan dan

manajemen yang baik seekor kerbau dara dapat di kawinkan pada umur 10 sampai

15 bulan.

2.2.7. Lama Bunting

Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi

sampai terjadi kelahiran normal. Pada ternak periode kebuntingan umumnya di

hitung dari mulai perkawinan pertama sampai terjadinya kelhiran normal. Tanda-

tanda umum terjadinya kebuntingan pada ternak adalah berahi berikutnya tidak

timbul lagi, ternak lebih tenang, tidak suka dekat dengan pejantan, dan nafsu

makan agak meningkat.

Lama bunting pada kerbau berkisar antara 320 – 340 hari, involusi uteri

terjadi selama 30 hari (Mathias, 1983). Umur kebuntingan pada kerbau sangat

bervariasi, secara umum umur kebuntingan kerbau di Indonesia berkisar antara 9

– 13 bulan. Menurut Guzman (1980), kerbau rawa memiliki lama bunting berkisar

antara 320 - 340 hari. Mongkopunya (1980) menyatakan bahwa lama bunting

kerbau lumpur adalah 336 hari, dan menurut Toelihere (1981), rata-rata periode

kebuntingan adalah 310- 315 hari dan selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan

lama kebuntingan bisa disebabkan oleh manajemen, pakan dan iklim lingkungan..

Sedangkan menurut Keman (2006) lama bunting pada kerbau bervariasi dari 300

15
– 334 hari (rata-rata 310 hari) atau secara kasar 10 bulan 10 hari. Menurut

Landhanie (2005) di Desa Sapala, Kecamatan Danau Panggang lama bunting

kerbau lumpur mencapai 1 tahun.

Deteksi kebuntingan dapat dilakukan dengan cara palpasi rektal setelah 60

hari sejak dikainkan untuk menyakinkan bahwa ternak benar-benar bunting.

Pemeriksaan palpasi rektal dilakukan oleh petugas pemeriksaan kebuntingan

(PKB) yang di tunjuk oleh dinas peternakn setempat. Untuk mengetahui

keberhasilan perkawinan perlu di lakukan pengamatan berahi kembali pada induk

setelah 21 hari atau hari ke 18-23 dari perkawinan atau IB.

16

Anda mungkin juga menyukai