Anda di halaman 1dari 31

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Nagari Anduring dan Keadaan Umum Peternakan di Anduring

4.1.1. Profil Nagari Anduring

Nagari Anduring adalah salah satu Nagari yang terdapat di Kecamatan 2 X

11 Kayutanam kabupaten Padang Pariaman yang berada diantara wilayah

bertemperatur sejuk sampai sedang dengan suhu minimum 220 C dan suhu

maksimum 300C dengan ketinggian tempat mulai dari 780 m sampai 1500 m di

atas permukaan laut yang terletak di kawasan pergunungan Bukit Barisan.

Kecamatan 2 x 11 Kayutanam terdiri atas 4 Nagari yaitu : Nagari

Kayutanam, Nagari Guguk, Nagari Anduring dan Nagari Kepala Hilalang, yang

mana Nagari Anduring merupakan nagari terluas di Kecamatan 2 x 11 Kayutanam

kab Padang Pariaman yang luas nya 134.87 km2 Nagari Anduring terdiri atas 7

Kampung atau Korong yaitu Korong Lubuk Napa, Korong Lubuk Aur, Korong

Kampung Tangah, Korong Balah Aie, Korong Sipisang Sipinang, Korong Rimbo

Kalam, dan Korong Asam Pulau. Batas-batas wilayah Nagari Anduring Kecamatn

2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Nagari Guguk dan Kab. Tanah Datar

 Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Lubuk alung,

 Sebelah Barat berbatasan dengan Nagari Kayutanam dan Kecamatan 2 x

11 Enam lingkung

 Sebelah Timur berbatasan dengan Pergunungan Bukit Barisan dan

Kabupaten Tanah Datar

( Kantor wali nagari Anduring , 2014.)


Topografi Nagari Anduring kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten

Padang Pariaman bervariasi antara dataran, bergelombang dan berbukit-bukit.

Secara klimatologi, daerah Nagari Anduring beriklim tropis yang ditandai dengan

dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Tingkat curah hujan

mencapai 2.377 mm dengan 6 bulan hujan (Nagari Anduring dalam Angka, 2014).

4.1.2. Keadaan Umum Peternakan kerbau di Nagari Anduring

Ternak kerbau yang terdapat di lokasi penelitian merupakan jenis kerbau

lumpur (Bubalis bubalus). Populasi dan penyebaran ternak besar dalam wilayah

Nagari Anduring kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman

sebagai tempat penelitian bervariasi untuk setiap Korong atau kampung.

4.2. Peranan Ternak Kerbau dan Fungsi Ternak Kerbau

4.2.1. Peranan Ternak Kerbau

Ternak kerbau memegang peranan yang sangat penting bagi status sosial

dan budaya masyarakat Nagari Anduring Kecamatn 2 x 11 Kayutanam Kabupaten

Padang Pariaman pada umumnya. Sejak dahulu, masyarakat berpendapat bahwa

apabila seseorang memiliki ternak kerbau maka dianggap sebagai orang yang

memiliki harta banyak dan berderajat tinggi. Sehingga ternak kerbau

dimanfaatkan pada acara-acara tertentu sebagai simbol kebesaran seperti acara

pengangkatan datuk (penghulu) yang dikenal dengan sebutan “Batagak

Penghulu”, yang dilaksanakan secara adat setempat. Dapat dikatakan bahwa

ternak kerbau merupakan hewan yang mempunyai nilai penting dalam kehidupan

masyarakat dari dulu hingga kini.

Peranan kerbau dalam kegiatan pertanian dapat dikaitkan dengan

perkembangan sistem pertaniannya. Sistem pertanian yang dikenal semula pada


masa prasejarah adalah pertanian lahan kering (perladangan), kemudian

dikembangkan sistem pertanian lahan basah (persawahan). Dengan demikian

diperkirakan kerbau telah dimanfaatkan untuk membantu kegiatan pertaniannya.

Kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering dikaitkan dengan

kehidupan masyarakat bermata pencarian di bidang pertanian. Kerbau digunakan

sebagai sarana transportasi (kendaraan), untuk membantu mengolah lahan

pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan pupuk. Domestikasi kerbau dikaitkan

dengan kebutuhan hewan itu dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan

masyarakatnya seperti tersebut di atas, juga dikonsumsi atau digunakan sebagai

hewan kurban pada upacara adat seperti acara batagak penghulu dan

pengangkatan gelar kebesaran Adat yakni gelar Datuk.

Tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak diketahui masih

dilakukan hingga kini oleh sebagian masyarakat di Nagari Anduring Kecamatn 2

x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman pada umumnya, yaitu dengan

menggiring kerbau (sekitar 1–4 ekor) berkeliling pada lahan persawahan secara

berulang-ulang. Banyaknya kerbau yang digunakan menggambarkan banyaknya

populasi kerbau yang diternakkan oleh satu keluarga inti di tempat tersebut. Hal

ini disebabkan banyaknya kegunaan kerbau sebagai hewan kurban yang

menyertai upacara adat yang diselenggarakan masyarakatnya.

Selain untuk mengolah persawahan ternak kerbau di Nagari Anduring

Kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman juga banyak di

gunakan dalam pengolahan industri batu bata atau pembuatan batu bata, seperti di

Korong Rimbo Kalam yang mana di Korong ini merupakan penghasil batu bata

terbesar di Kecamatan 2 x 11 Kayutanam, hampir setiap keluarga memiliki


Gudang batu bata dan menggunakan kerbau sebagai tenaga untuk mengolah tanah

atau menghancurkan tanah untuk di jadikan bahan pembuat batu bata.

Di Korong Asam Pulau yang memiliki Jumlah hutan yang terluas di

kecamatan 2 x 11 kayutanam, tenaga kerbau juga digunakan untuk membantu

masyarakat membawa hasil hutan ke desa seperti membawa kayu yang sudah di

olah di dalam hutan untuk di bawa ke kampung untuk di jual.

4.2.2. Fungsi Ternak Kerbau

Ternak kerbau bagi masyarakat Nagari Anduring Kecamatn 2 x 11 Kayutanam

Kabupaten Padang Pariaman memiliki banyak fungsi di antaranya dapat kita lihat

pada tabel 4 sebagai berikut :

Tabel 4. Fungsi Ternak kerbau bagi masyarakat Nagari Anduring Kecamatn 2


x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman

Jumlah
No Uraian Persentase(%)
(n)
1 Tenaga kerja untuk mengolah sawah 29 38,20
2 Tenaga kerja untuk industry pembuatan batu bata 9 11,85
3 Menghasilkan pupuk 4 5,30
4 Tabungan jangka panjang. 34 44,65
Sumber : Data primer diolah

a. Sebagai penghasil tenaga kerja untuk mengolah sawah.

Berdasarkan tabel 4 Kerbau umumnya dipelihara oleh masyarakat Nagari

Anduring Kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman digunakan

sebagai hewan yang digunakan tenaganya untuk mengolah sawah, hal ini telah

berlangsung sejak dulu kala. Hal ini dapat dilihat yang mana sebanyak 29

peternak (38,20%) menggunakan kerbau sebagai penghasil tenaga kerja untuk

mengolah sawah. Sebelum ada traktor, kerbau memiliki fungsi amat besar dalam
produksi padi. Meskipun ada mekanisasi pertanian menggunakan traktor,

penggunaan kerbau masih diperlukan untuk sawah karena menghemat biaya

dalam pengolahan lahan persawahan dan hasil nya lebih bagus.

b. Sebagai penghasil tenaga kerja untuk industry pembuatan batu bata

Kerbau selain penghasil daging juga memiliki keunggulan di bandingkan

hewan ternak ruminansia lainnya yakni di bidang tenaga, dengan badan yang

besar kerbau mimiliki tenaga yang kuat hal inilah yang di manfaakan oleh

masyarakat di nagari Anduring tertutama di Korong Rimbo Kalam yang mana

tenaga kerbau di gunakan dalam industry pembuatan batu bata dan memiliki

fungsi amat besar dalam produksi batu bata, yang mana sebanyak 9 peternak

(11,85%) menggunakan kerbau sebagai tenaga kerja untuk industry pembuatan

batu bata. Walaupun sudah ada mesin atau teknologi, masyarakat enggan

menggunakan mesin di karenakan baiya produksi yang mahal, untuk itulah

masyarakat lebih memilih menggunakan tenaga kerbau ketimbang mesin Karena

dapat menhemat biaya produksi

c. Sebagai ternak yang bisa menghasilkan pupuk.

Kotoran kerbau dapat digunakan sebagai pupuk untuk lahan pertanian dan

perkebunan sehingga dapat mengurai biaya dalam bertani dan berkebun, juga

menghasilkan nilai tambah pendapatan bagi masyarakat kalau kotoran nya di jual.

Peternak yang menfaatkan kegunaan kerbau sebagai penghasil pupuk kompos

sebanyak 4 orang (5,30%).

d. Sebagai tabungan jangka panjang.

Di Nagari Anduring Kecamatn 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang

Pariaman, kerbau juga digunakan untuk alat menabung. Petani menyimpan


uangnya dengan membeli kerbau, lalu menjual kerbaunya jika sedang

membutuhkan uangnya. Hal ini dapat di lihat ada sebanyak 34 peternak (44,65%)

yang menjadikan kerbau sebagai tabungan jangka panjang

Fungsi yang banyak tersebut merupakan salah satu faktor yang membuat

masyarakat untuk memelihara ternak kerbau di karenakan pemeliharaan nya yang

mudah di bandingkan dengan sapi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel

3 berikut.

Tabel 5. Data ternak kerbau di Nagari Anduring Kecamatan 2 x 11


Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman.

No Kampung / Korong Jumlah Ternak (ekor)

2013 2014 2015

1 Lubuk Aur 49 52 43

2 Lubuk Napa 47 46 51

3 Sipisang Sipinang 36 42 39

4 Balah Aie 61 56 44

5 Kampung Tangah 58 44 46

6 Rimbo Kalam 52 58 47

7 Asam Pulau 71 64 58

Total 431 389 328

Sumber*: Kantor Wali Nagari Anduring dalam Angka.(2015)

Berdasarkan tabel diatas yakni tabel 5 dapat di lihat bahwa korong Asam

Pulau memiliki populasi ternak kerbau yang banyak di bandingkan dengan korong

lainnya yang berada di Nagari Anduring Kecamatan 2 x 11 Kayutanam

Kabupaten Padang Pariaman. Populasi kerbau di Nagari Anduring Kecamatn 2 x


11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman dari tahun ke tahun mengalami

penurunan jumlah populasi ternak kerbau. Hal ini dapat dikaitan dengan

rendahnya produktifitas ternak kerbau dan aspek reproduksinya, di antaranya

lambatnya persentase kelahiran (calving rate), siklus berahi, lama kebuntingan,

calving interval, service periode, lamanya umur beranak pertama dan tingginya

persentase kematin (mortalitas).

Hal ini juga dapat dikaitkan dengan manajemen pemeliharan yang tidak

baik dan benar, juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan

turunnya populasi kerbau, yang mana masyarakat banyak mengembalakan kerbau

di lapangan dan kurangnya pemberian pakan tambahan seperti kosentrat.

4.3. Profil Responden

4.3.1. Identitas Responden

Karekteristik Responden peternak di tujuh Korong atau kampung yang

terdapat di Nagari Anduring Kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang

Pariaman dapat kita kategorikan mulai dari : Umur peternak, Jenis kelamin

peternak, pendidikan peternak, jumlah ternak kerbau yang di pelihara atau di

miliki oleh responden , mata pencarian peternak atau responden, pengalaman

peternak dalam memelihara atau beternak kerbau lumpur dan tujuan responden

beternak kerbau, jumlah resbonden yang di gunakan dalam penelitian ini

sebanyak 76 orang yang memelihara minimal 2 (dua) ekor kerbau dan

pengalaman beternak kerbau minimal 2 tahun untuk lebih jelasnya dapat kita lihat

pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik Peternak kerbau di Nagari Anduring Kecamatn 2 x
11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman

No Uraian Jumlah (n) Persentase (%)

1 Umur Peternak
a. < 34 7 9,22
b. 35 – 49 28 36,93
c. > 50 41 53,85

2 Jenis kelamin
a. Laki-laki 44 58
b. Perempuan 32 42

3 Pendidikan
a. Tidak Sekolah - -
b. SD 7 9,20
c. SMP 30 39,38
d. SMA 36 47,48
e. S1 3 3,94
4 Pengalaman Beternak
a. 1 – 15 39 51,33
b. 16 – 30 25 32,92
c. > 31 12 15,75
5 Jumlah Ternak yang dipelihara
a. 1 - 5 46 60,55
b. 5 – 10 30 39,45
6 Mata Pencaharian
a. Petani/Peternak 43 56,68
b. Wirausaha 23 30,27
c. PNS 4 5,205
d. Swasta 4 5,205
e. Buruh/Tukang 2 2,64
7 Tujuan Beternak Kerbau
a. Penghasilan Utama 7 9,25
b. Tambahan Pendapatan 17 22,38
c. Tabungan 47 61,95
d. Tenaga kerja 5 6,78
e. Hobi / kesenangan - -
Sumber : Data Primer diolah

Hasil penelitian berdasarkan tabel 6 dapat di kemukakan bahwa umur

peternak (responden) yang memelihara ternak kerbau bekisar antara umur 25-80

tahun, yang mana peternak berumur 25-34 tahun sebanyak 7 orang (9,22%),

sedangkan peternak yang berumur 35-49 tahun sebanyak 28 orang (36,93%), dan
peternak yang berumur 50 tahun keatas sebanyak 41 orang (53,85%) dari 76

peternak atau responden yang di pilih. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil

penelitian Lita, M. (2009) yang melaporkan bahwa dari 70 orang peternak kerbau

pada 4 kecamatan yang ada di Kabupaten Kutai Kertanegara provinsi Kalimantan

Timur, menunjukan bahwa peternak yang berumur diatas 50 tahun sebanyak 48

orang (63,33%) sedang peternak usia dibawah 50 tahun hanya 22 orang (36,67%),

hal ini memperlihatkan bahwa peternak yang memelihara kerbau banyak

dilakukan oleh generasi tua atau kurang produktif lagi. Menurut Muthalib, H.A.

(2005) menyatakan bahwa faktor umur merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi kemampuan kerja dan produktifitas seseorang. Selanjutnya

menyatakan bahwa. faktor umur mempunyai pengaruh terhadap masukan-

masukan inovasi teknologi yang dapat diberikan dan diterapkan oleh peternak.

Jenis kelamin peternak (responden) yang memelihara ternak kerbau

kebanyak laki-laki itu dapat kita lihat pada tabel 6, yang mana peternak laki-laki

sebanyak 44 orang (58%) dan peternak perempuan sebanyak 32 orang (42%). Hal

menunjukkan bahwa peternak laki-laki lebih banyak memelihara ternak kerbau.

Jenis kelamin adalah salah satu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap

kemampuan bekerja dan produktifitas seseorang dalam bekerja (Siregar 2007)

Tingkat pendidikian peternak (responden) di Nagari Anduring Kecamatan

2 x 11 Kayutanama cukup beragam mulai dari tidak pernah sekolah, SD, SMP,

SMA dan ada yang menempuh pendidikan Sarjan (S1). Pada table 6 menunjukan

jumlah peternak yang tamat SD berkisar 7 orang (9,20%), tamat SMP sebanyak

30 orang (39,28%), tamat SMA sebanyak 36 orang (47,48%), dan tamatan S1 ada

3 orang (3,98%). Berdasarkan gambaran ini maka dapat disimpulkan bahwa


tingkat pendidikan formal responden di daerah penelitian cukup tinggi.

Pendidikan merupakan salah satu faktor penggerak dalam menerima atau

mengadopsi informasi-informasi maupun teknologi-teknologi tentang ilmu

peternakan untuk meningkatkan produktifitas ternak. Semakin tinggi tingkat

pendidikan peternak maka akan semakin tinggi kualitas sumberdaya manusia dan

semakin tinggi pula produktifitas kerja yang dilakukanya. Menurut Hernanto

(1996) pendidikan berkaitan dengan pembentukan kerangka berpikir seseorang

dalam menerima dan memahami cara-cara baru dalam satu usaha peternakan.

Pada umumnya peternak telah memiliki pengalaman dalam beternak

kerbau selama 1-15 tahun yaitu sebanyak 39 orang (51,33%), 16-30 tahun

sebanyak 25 orang ( 32,92%) dan pengalama beternak kerbau di atas 31 tahun

sebanyak 12 orang (15,75%). Pengalaman erat hubungannya dengan umur dan

pendidikan, karena peternak muda memiliki fisik yang lebih besar dan

pengalaman yang lebih tinggi di banding peternak dewasa serta didukang oleh

perkembangan teknologi. Selain itu menurut Mubyarto (1994) menyatakan bahwa

pengalaman usaha dapat mempengaruhi seseorang dalam menjalankan usaha dan

secara tidak langsung mempengaruhi hasil yang diperolehnya. Pengalaman usaha

sangat berperan dalam hal memilih dan menentukan hal-hal apa saja yang perlu

diterapkan dalam menjalankan suatu usaha sehingga dapat memberikan

keuntungan yang maksimal. Hal itu disebabkan karena pengalaman dijadikan

suatu pedoman dan pen yesuaian terhadap suatu permasalahan yang terkadang

dihadapi oleh peternak dimasa yang akan datang.

Berdasarkan Tabel 6 jumlah ternak yang di pelihara peternak 1 – 5 ekor

sebanyak 46 peternak (60,55%), 5 – 10 ekor sebanyak 30 orang (39,45%).


Jumlah kepemilikan yang terbanyak adalah 1 – 5 ekor, hal ini disebabkan bahwa

usaha ternak kerbau merupakan usaha sampingan dan tabungan dari peternak

karena sebagian besar peternak pekerjaan utamanya adalah bertani. Pada

umumnya pekerjaan utama peternak adalah petani atau berkebun sebanyak 32

orang (56,68%), wirausaha sebanyak 23 orang (30,27%), PNS sebanyak 4 orang

(05,205%), dan bekerja di bidang swasta sebanyak 4 orang (5,205%), sedangkan

peternak yang bekerja sebagai tukang atau buruh sebanyak 2 orang (2,64%).

Pada dasarnya tujuan peternak memelihara ternak kerbau di daerah Nagari

Anduring Kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupten Padang Pariaman berdasarkan

tabel 4 dapat kita lihat yakni sebagai tabungan sebanyak 47 orang (61,95%),

sebagai tambahan pendapatan 7 orang (17,45%), dan sebagai penghasilan utama

22 orang (5,42%), dan tujan beternak kerbau sebagai tenaga kerjasebanyak 5

orang (6,78%). Sebagian besar tujuan masyrakan beternak kerbau adalah untuk

tabungan Sesuai dengan pendapat Ancong, (2011). Hal ini menunjukan bahwa

tujuan pemeliharaan ternak kerbau sesuai dengan jumlah ternak yang dipelihara

dan mata pencaharian peternak yaitu hanya sebagai usaha sampingan bukan

sebagai pekerjaan utama, guna untuk tabungan keluarga dan di kembangbiakan

guna memperoleh tambahan pendapatandan dapat di gunakan atau di jual ketika

dibutuhkan, tidak ada peternak yang memilih tujuan beternak sebagai usaha

pokok disebabkan oleh terkendala modal dan masih jarangnya peternak yang

berfokus pada usaha ternak kerbau. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil

penelitian Lita, M. (2009) yang telah di lakukan di Kabupaten Kutai Kertanegara

Provinsi Kalimantan Timur yaitu tujuan sebagai tabungan yaitu sebesar 22,58%,

bertujuan untuk tambahan pendapatan sebanyak 25,81%, sebagai tenaga kerja


sebanyak 22,58%, untuk dikembangbiakan sebanyak 22,58%, dan hanya 6,45%

yang bertujuan sebagai ternak potong. Hal ini sesuai dengan tujuan beternak

kerbau sebagai tabungan. Adanya pertambahan jumlah ternak kerbau melalui

kelahiran, maka bertambah jumlah tabungan keluarga untuk masa yang akan

datang.

4.3.2. Manajemen Pengelolaan Ternak kerbau

Manajemen pengelolaan ternak kerbau di Nagari anduring Kecamatan 2 x

11 Kayutanam kabupaten padang pariaman dapat kita lihat pada tabel 7.

Tabel.7. Manajemen pengelolaan ternak kerbau di Nagari anduring


Kecamatan 2 x 11 Kayutanam kabupaten padang pariaman

No Uraian Jumlah (n) Persentase (%)


1 Sistim Pemeliharaan
a. Semi intensif 35 46,06
b. Ekstensif 38 50
c. Intensif 3 3,94
2 Jenis Pakan
a. Pakan Hijaun 48 63,16
b. Pakan Hijaun dan Konsentrat 28 36,84
Sumber *: Data primer Diolah

4.3.2.1. Sistem Pemeliharaan

Berdasarkan tabel 7 Pola beternak kerbau di Nagari Anduring Kecamatan 2 x

11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman Terdiri 3 sistem yaitu : Sistem

pemeliharaan Semi Insentif sebanyak 35 orang (46,06%), pemeliharaan secara

ekstensif sebanyak 38 orang (50%) dan system pemeliharan Insentif sebanyak 3

orang (3,94%). Pemeliharaan secara ekstensif di lakukan dengan cara ternak

dilepas bebaskan dan sewaktu-waktu diikat dan tidak mempunyai kandang,

pemeliharaan secara semi intensif di lakukan peternak dengan cara pada pagi hari

ternak kerbau di gembalakan di padang pengembalaan atau sawah dan padang


rumput sampai sore hari kemudian pada malam hari ternak kerbau dimasukkan

dalam kandang koloni. Sistem pemeliharan secara insentif ternak pada umumnya

dikandangkan dari pagi sampai malam, biasa di lakukan untuk usaha

penggemukan. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Dania dkk (2013)

bahwa ternak kerbau yang dikandangkan secara semi intensif 41,4%, dan ternak

yang di lepas bebas atau secara ekstensif sebanyak 56,7%.

Beberapa peternak kerbau di Nagari Anduring Kecamatan 2 x 11

kayutanam Kabupaten Padang pariaman biasanya telah menyediakan fasilitas

kandang, dan akan tetapi kandang yang digunakan dalam pemeliharaan ternak

kerbau rata-rata kandang semi permanen yang atapnya hanya terbuat dari terpal

dan ada juga yang tidak memiliki atap hanya memiliki dinding yang terbuat dari

kayu dan bambu, hal ini sesuai dengan pendapat Pawarti dan Herianti (2009)

bahwa dalam penelitian di Kabupaten Banyumas dalam kultur budaya

masyarakat, kerbau tidak dikandangkan, melainkan hanya ditempatkan di sekitar

rumah tanpa atap, biasanya di bawah pepohonan. Bila hujan kondisi tanahnya

menjadi becek sekaligus dimanfaatkan sebagai tempat berkubang. Dengan

demikian telah terpenuhi kebutuhan kerbau berkaitan dengan sifat hidupnya

mengingat kerbau merupakan hewan yang tidak tahan terhadap cekaman panas

sehingga memerlukan waktu untuk berkubang, selanjutnya dikemukakan oleh

Zulbardi (2002) bahwa memberikan waktu berkubang selama ± 30 menit telah

memberikan efek penambahan bobot hidup lebih baik dibandingkan dengan

ternak kerbau yang tidak diberi kesempatan berkubang.

Sistem pemeliharaan ternak kerbau yang dilakukan peternak adalah

sistem pengembalaan (pasture fattening), dimana pengembalaan dilakukan di


padang rumput, lapangan bola , dan sawah-sawah serta dekat sungai . Biasanya di

lakukan di daerah yang mempuyai tempat pengembalaan yang cukup luas. Sesuai

dengan pendapat Peter (2012), menyebutkan bahwa sistem pemeliharaan kerbau

ada tiga macam yaitu pengembalaan (pasture fattening), kereman (dry lot

fattening) dan kombinasi keduanya. Pengembalaan dilakukan di padang rumput,

biasanya dilakukan di daerah yang mempunyai tempat pengembalaan yang cukup

luas.

4.3.2.2. Cara Pemberian Pakan Dan Air Minum

Cara pemberian pakan pada ternak kerbau di daerah penelitian dilakukan

dengan menggembalakan ternak kerbau di padang rumput maupun ladang yang

telah diberokan. Dengan demikian pakan hijaun yang diberikan pada ternak

kerbau adalah rumput lapangan yang diperoleh sendiri oleh ternak saat merumput.

Serta pemberian pakan hijuan juga di lakukan pada sore hari saat ternak kerbau

berada di kendang, Peternak yang memberikan hijaun kepada ternak kerbau

sebanyak 48 orang (63,16%). Sedangkan hijauan golongan leguminosa berupa

lamtoro, daun pisang dan daun jagung kadang-kadang diberikan dan sistem

pemberiannya dilakukan dengan memotong atau memangkas bagian tanaman

tersebut pada saat ternak kerbau digembalakan.

Selain hijauan, konsentrat juga diberikan. Peternak yang menggunakan

konsentrat buatan dari pabrik. Ada juga peternak yang memberikan campuran

bungkil kelapa, bungkil kedelai, ampas tahu, garam, urea, kulit kacang hijau, dan

cacahan singkong. Dari macam-macam bahan diatas biasanya peternak

mempertimbangkan bahannya yang mudah didapat serta harganya terjangkau.

Peternak yang menggunakan pakan tambahan konsentrat tidak terlalu banyak


sekitar 28 orang peternak (36,48%) disebabkan pendapatan masyarakat dengan

hanya pemberian jerami dan rumput lapangan sudah menghasilkan performans

yang bagus.

Air minum diberikan pada ternak kerbau dengan menggiring ternak ke

sungai dan rawa, sedangkan untuk ternak kerbau yang di kandangkan biasanya

peternak membuat tempat minum untuk ternak atau menyediakan ember yang

besar sebagai penampung air untuk air minum ternak kerbau. Pemberian air

minum untuk ternak yang di kandangkan biasanya pada pagi dan sore hari bahkan

ada tiga kali sehari tergantung ketersedian air di tempat penampungan atau ember

yang ada di kandang.

4.3.2.3. Manajemen Pengandalian Penyakit

Untuk menunjang kesehatan kerbau, disamping peternak harus

memberikan pakan yang cukup dan bermutu, peternak juga harus mengikuti

pelaksanaan program kesehatan secara baik, sebab hanya kerbau yang sehat dan

bisa memperoleh makanan yang cukup yang mampu meningkatkan produksi

(Situmorang, 2005).

Berdasarkan data dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten

Padang Pariaman Penyakit yang menyerang ternak kerbau di kabupaten Padang

Pariaman biasanya adalah penyakit cacingan dan penyakit scabies. Tetapi pada

umumnya peternak memelihara ternaknya dengan baik sehingga jarang penyakit-

penyakit ternak dijumpai. Kerbau memiliki daya kekebalan dan daya tahan tubuh

yang baik, sehingga penyakit tidak mampu menyerang ternak kerbau. Umumnya

ternak kerbau yang di pelihara di daerah penelitian jarang terserang penyakit.

Sedangkan ternak yang terserang harus segera ditangani sehingga tidak


menimbukan kerugian yang besar bagi peternak. Selain itu rendahnya tingkat

pengawasan dalam menjaga kesehatan ternaknya dengan melakukan penanganan

kesehatan ternak. Sesuai dengan pendapat Sugeng dan Bambang (2003), bahwa

untuk menjaga kesehatan ternak setiap peternak mempunyai cara yang berbeda.

Selain tindakan pencegahan yang dilakukan oleh peternak itu sendiri,

pemerintah melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Padang

pariaman telah melakukan suatu program sebagai wujud untuk membantu para

peternak khusunya ternak kerbau dan sapi untuk melakukan penganggulangan

penyakit ternak yaitu dengan melakukan penyuluhan, pemerikasaan dan vaksinasi

yang dilaksankan oleh tenaga medis atau petugas lapangan dari Dinas Peternakan

yang di laksanakan setahun sekali (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kabupaten Padang Pariaman, 2016). Sebagian kecil peternak memilih untuk

melapor kepada petugas untuk mengobati ternak yang sakit. Pengobatan ternak

melalui petugas menurut peternak dapat mengurangi resiko kematian. Tetapi

masih banyak peternak yang memilih mengobati ternaknya sendiri, namun tidak

sedikit pula peternak yang menggunakan obat pabrik atau obat alami.

4.3.2.4. Sistem Perkawinan

Berdasarkan sistem perkawinan ternak yang dilakukan responden untuk

ternak-ternaknya hanya ada dua metode yaitu dengan kawin alam dengan bantuan

peternak dan penggunaan teknologi peternakan seperti Inseminasi Buatan.

Peternak kerbau di lokasi penelitian mengawinkan ternaknya dengan kawin alam

kawin alam dengan bantuan peternak dengan alasan tidak mau repot untuk

mengawinkan ternaknya, sedangkan peternak yang mengawinkan ternaknya


dengan cara Inseminasi Buatan dengan alasan salah satu usaha untuk menjadikan

kerbau sebagi pendapatan utama dan perbaikan keturunan.

Dari data yang diperoleh di lokasi penelitian peternak yang mengawinkan

ternaknya dengan cara kawin alam mereka hanya mengawinkan 1 - 3 kali kali

ternak mereka dikawinkan kemudian bunting, sedangkan peternak yang

mengawinkan ternaknya dengan cara Inseminasi Buatan ( IB ) kebanyakan 2 kali

dikawinkan lalu bunting bahkan ada juga yang sampai 3 kali, setelah

mengawinkan ternak dengan perkawinan insimasi buatan peternak juga ada

melepaskan kerbaunya kelapangan atau padang gembala yang memungkin kan

untuk terjadi nya kawin alam. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

misalnya deteksi berahi yang kurang tepat. Adapun proporsi sistem perkawinan

ternak kerbau responden dapat dilihat pada Gambar 2.

14.50%

Kawin Alam
Kawin Ib

85.5%

Gambar 2. Proporsi Sistem Perkawinan Ternak Kerbau di Nagari


Anduring Kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang
Pariaman
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa dari 76 responden penelitian hanya

sebanyak 85,5% yaitu sebanyak 65 orang responden mengawinkan ternak

kerbaunya secara kawin alam dengan campur tangan peternak dan hanya 14,50%

dari sebanyak 11 orang peternak responden tersebut mengawinkan ternak

kerbaunya dengan perkawinan yang menggunakan Inseminasi Buatan (IB), yakni

sebanyak di korong 5 korong yaitu Asam Pulau sebanyak 4 orang peternak,

Korong Kampung Tangah sebanyak 2 orang peternak, korong Lubuk Napa

sebanyak 2 orang peternak, Korong Balah aie sebanyak 1 orang peternak dan

Korong Rimbo kalam sebanyak 2 orang peternak dan 2 korong lagi yaitu Sipisang

Sipinang dan Lubuk Aur umunya mengawinkan ternaknya dengan kawin alam. ini

menandakan bahwa penerapan teknologi-teknologi reproduksi di Nagari Anduring

Kecamatan 2 x 11 kayutanam kabupaten Padang Pariaman masih rendah.

Menurut Wijaya (2008), manajemen perkawinan ternak yang baik juga

merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan efisiensi reproduksi

termasuk perbaikan keturunan. Demikian halnya dengan pendapat Basyir (2009),

yang mengatakan bahwa dengan manajemen reproduksi yang baik peternak dapat

meningkatkan efisiensi reproduksi termasuk perbaikan keturunannya, dan salah

satu cara untuk meningkatkan efisiensi reproduksi adalah dengan memanfaatkan

teknologi-teknologi reproduksi.

4.4. Perfomans Reproduksi Ternak Kerbau Lumpur Responden

Keberhasilan usaha perkembang biakan sangat terkait dengan performans

reproduksi, apabila pengelolan reproduksi ternak dilakukan dengan tepat maka

akan menghasilkan performans reproduksi yang baik. Permasalahan yang masih

sering di jumpai pada peternakan rakyat hingga saat ini adalah performans
reproduksi yang rendah. Hal ini di tandai dengan masih terjadi kawin berulang,

rendahnya angka kebuntingan dan panjangnya jarak beranak, yang mana hal ini

berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi ternak dan pendapatan

pertenak (Toelihere,1981). Untuk meningkatkan performans reproduksi ternak di

perlukan manajemen reproduksi yang tepat. Sehingga di harapkan jumlah

kelahiran pedet dan jumlah induk berkualitas miningkat yang akhirnya berdampak

pada meningkatnya pendapatan peternak atau petani dari ternak yang di milikinya

( Toelihere,1981).

Siklus reproduksi ialah rangkaian semua kejadian biologic kelamin yang

berlangsung secara sambung menyambung hingga terlahir generasi baru dari

suatu makhluk hidup. Reproduksi merupakan suatu proses biologi yang

menyangkut semua aspek reproduksi atau perkembangbiakan hewan.

Perkembangbiakan kerbau lumpur dilokasi penelitian tergolong rendah, itu dapat

di lihat dari jumlah populasi kerbau yang turun tiap tahunnya. Secara umum

kerbau tingkat kesuburan dan daya reproduksi kerbau masih tergolong tinggi di

bandingkan ternak lainnya. Proses biologi yang di maksud dalam melengkapi arti

dari siklus reproduksi meliputi proses reproduksi dalam tubuh makhluk hidup

jantan dan betina, sejak makhluk hidup tersebut lahir sampai dapat melahirkan

lagi. Reproduksi merupakan suatu proses biologik yang menyangkut semua aspek

reproduksi atau perkembangbiakan hewan. Toelihere (1981) menyatakan bahwa

reproduksi sangat penting dan perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan

populasi ternak dan secara langsung akan dipengaruhi oleh faktor genetik dan

juga lingkungan, penyakit dan tata laksana.


Pubertas atau dewasa kelamin adalah suatu periode dalam kehidupan

makluk jantan atau betina dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi yang

ditandai oleh kemampuan untuk pertama kalinya mendapatkan benih ( Anggorodi,

1979 dan Partodiharjo,1987).

Pada Tabel 8. dapat dilihat performans reproduksi kerbau lumpur di tujuh kampung
atau Korong pengamatan di Nagari Anduring Kecamatan 2 x11
kayutanam kabupaten padang pariaman.

Nama Korong atau Kampung di Nagari Anduring


Indikator
No Rata-Rata
Reproduksi LA LN SS BA KT RK AP
n=10 n=12 n=10 n=10 n=12 n=10 n=12
1 Kematian anak kerbau 0.33±
0.17±0 0.2±0. 0.1±0. 0.12±0.36
(Mortalitas) 0±0 0±0 0±0
.39 42 32 0.65
2 Kelahiran (Calving 0.92±
0.3±0. 0.83±1 0.3±0. 0.5±0. 0.33± 0.7±0. 0.41±0.52
Rate)
48 .83 48 71 0.49 95 1.00
3 Siklus Birahi ( hari ) 24.75 23.92
23.5± 23.35± 24.8± 24.5± 23.9± 24.08±2.83
3.03 2.83 2.70 2.88 ±3.36 2.77 ±2.57
4 Umur Beranak 32.25 31.75
30.9± 29.83± 29.1± 32.2± 30.8± 31±4.12
Pertama (bulan)
3.28 3.71 3.35 3.85 ±4.73 4.08 ±5.24
5 Calving Interval 14.75 15.33
14.8± 14.58± 15.5± 16.5± 15.4± 15.24±1.73
(bulan)
1.81 1.83 1.84 1.78 ±1.60 1.58 ±1.37
6 Service Periode (hari) 84.92 84±2.
84.7± 83.92± 84.5± 84.7± 84.1± 84.39±2.09
2.06 2.47 1.78 2.31 ±1.68 2.28 30
7 Lama Bunting ( hari ) 331.25 331.84±6.1
331±5 333±6. 335±6 332±6 330±5 331±7
.54 30 .23 .21 .15 .13 ±6.63 2
Sumber : Data primer Diolah

Ket : LA : Lubuk Aur RK : Rimbo Kalam


LN : Lubuk Napa BA : Balah Aie
SS : Sipisang Sipinang AP : Asam Pulau
KT : Kampung Tangah
4.4.1. Kematian Anak kerbau

Menurut Ginting (1977) yang dikutip oleh Kosi (2002) menyatakan bahwa

kegagalan reproduksi turut merugikan peternak serta membahayakan kehidupan

individu ternak, misalnya rendahnya reproduksi dan langkanya anak sebagai

ternak bibit serta menghambat pemeliharaan ternak yang direncanakan. Tingkat

kematian merupakan salah satu indikator perfomans atau tampilan reproduksi

ternak. Apabila ternak memiliki tingkat kematian yang tinggi maka perfomans

reproduksi ternak tersebut menjadi rendah atau tidak baik. Sebaliknya apabila

ternak dengan persentase atau tingkat kematian yang rendah maka perfomans

reproduksi ternak tersebut baik.

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa tingkat kematian anak kerbau di

Nagari Anduring Kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman

tahun 2015 sampai 2016 rata-rata 0.12±0.36 yakni sebanyak 9 ekor (11.85%) .

Persentase kematian anak kerbau di daerah penelitian ini masing tergolong tinggi.

Namun kematian anak kerbau di daerah penelitian ini masing lebih rendah apabila

dibandingkan dengan hasil penelitian Kosi tahun 2002 dengan persentase

kematian anak kerbau di Kecamatan Katikutana Kabupaten Sumba Barat yang

mencapai 29,65%. Adanya perbedaan angka atau persentase kematian anak

kerbau ini disebabkan karena penyebaran ternak di setiap Korong atau kampung

berbeda dan sangat berhubungan erat dengan ketersediaan lahan sebagai area

padang penggembalaan dan iklim yang berbeda serta daya adaptasi anak ternak

kerbau terhadap iklim wilayah bersangkutan.

Menurut Tafal yang dikutip oleh Fattah (1998) menyatakan bahwa angka

kematian yang ideal untuk ternak besar seperti kerbau dan sapi adalah ≤ 5%.
Tingginya persentase atau angka kematian anak kerbau di lokasi penelitian

terutama disebabkan oleh penyakit, karena sakit dan di biarkan oleh peternak

tanpa diobati dan percaya bahwa ternak itu akan sembuh sendiri. Menurut

Tatipikalawan dan Hehanussa (2006) tingginya kematian umumnya disebabkan

karena kurangnya pengawasan dari peternak sehingga ternak yang baru lahir

dengan kondisi anak yang lemah saat dilahirkan serta kurangnya penanganan

khusus dari peternak terhadap induk-induk bunting menjelang kelahiran maupun

anak yang baru lahir

Menurut dinas peternakan penyakit yang banyak menyerang ternak kerbau

adalah jenis penyakit cacingan, penyakit scabies dan penyakit Surra yang

menyebabkan kematian terutama pada anak kerbau. Fenomena ini sesuai dengan

hasil penelitian Suda (2013) di Kecamatan Wewewa Selatan Kabupaten Sumba

Barat Daya yang menyatakan bahwa penyakit Surra (Tripanosomiasis)

merupakan penyakit yang paling umum menyerang ternak kerbau dengan gejala

ternak kerbau berputar, laju pulsus meningkat, diare, badan menjadi kurus dan

mati secara tiba-tiba.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Suda (2013) bahwa penanganan kesehatan

ternak kerbau sangat penting untuk diperhatikan dapat dilakukan dalam dua

tindakan pengendalian yaitu pencegahan (preventive) dan pengobatan (curative).

Tindakan pencegahan (preventive) dapat dilakukan dengan vaksinasi terhadap

anak kerbau untuk mencegah penyakit. Sedangkan tindakan pengobatan

(curative) dapat dilakukan dengan mengobati anak kerbau yang sakit sesuai

dengan gejala yang muncul.


Penyakit merupakan penyebab kerugian yang paling banyak pada ternak

dan merupakan salah satu faktor pembatas yang cukup berpengaruh terhadap

perkembangan ternak di daerah tropik. Menurut Fahimuddin (1975) yang dikutip

oleh Kosi (2002) menyatakan bahwa penyakit yang menyerang ternak terjadi

akibat interaksi antara beberapa faktor seperti iklim dan kekurangan pakan

terutama terjadi di daerah beriklim tropis.

4.4.2. Persentase Kelahiran ( Calving Rate)

Terdapat berbagai jenis faktor yang mempengaruhi persentase kalahiran anak

kerbau. Toelihere (1979) dalam Kosi (2002) menyatakan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi tingkat kelahiran anak kerbau adalah 1) Tingkat fertilitas

induk dan pejantan; 2) Pengaturan teknik perkawinan; dan 3) Ketersediaan pakan .

Faktor-faktor ini belum mendapatkan perhatian yang serius dari para peternak di

daerah penelitian

Berdasarkan Tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata angka kelahiran

anak kerbau di Nagari Anduring Kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten

Padang Pariaman selama tahun 2015 sampai 2016 adalah 0.41±0.52 yakni

sebanyak 31 ekor (40.80%). Hasil penelitian ini ternyata memiliki persentase

kelahiran ternak kerbau yang sama dibandingkan dengan hasil penelitian Kosi

(2002) di Kecamatan Katikutana Kabupaten Sumba Barat yaitu 39,85%. Angka

kelahiran anak kerbau di Nagari Anduring Kecamatan 2 x 11 Kayutanam

Kabupaten Padang Pariaman ini masih tergolong normal. Hal ini disebabkan

karena sebagai besar peternak lebih beroreantasi pemanfaatan ternak kerbau

sebagai tenaga kerja di lahan pertanian serta sistem pemeliharaan ternak kerbau

yang terjadi secara ektensif tradisional dimana manajemen pakan, manajemen


kesehatan, manajemen perkandangan dan manajemen perkawinan masih belum

optimal dalam artian tidak ada perhatian dan campur tangan peternak secara

khusus.

Tingginya angka kelahiran dapat mempengaruhi perkembangan populasi ternak

kerbau di masa yang akan datang dan dipengaruhi oleh ketersediaan betina

dewasa produktif (Situmorang, 2005). Pada dasarnya keadaan di lapangan

menunjukan bahwa terdapat betina dewasa yang cukup banyak dan ketersediaan

pejantan sebagai pemacek juga mempengaruhi tingkat kelahiran ternak tersebut.

Dari Tabel 8 di atas juga dapat diketahui bahwa banyak induk produktif yang

dimiliki oleh responden belum melahirkan anak dalam dua tahun terakhir yaitu

2015 dan 2016. Induk yang beranak hanya 31 ekor dengan rata-rata 4,28 ekor.

Oleh karena itu, masih terdapat induk kerbau yang belum beranak sehingga

dibutuhkan suatu upaya dan perhatian yang serius agar induk yang dimiliki oleh

responden dapat bunting dan beranak melalui penerapan teknologi. Dengan

demikian dapat meningkatkan angka kelahiran ternak kerbau di lokasi penelitian.

4.4.3. Siklus Berahi ( Hari )

Adapun gambaran siklus berahi pada semua kerbau lumpur selama

penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, maka diketahui bahwa

siklus berahi kerbau lumpur di Nagari Anduring Kecamatan 2 x 11 Kayutanam

kabupaten Padang Pariaman berlangsung selama siklus rata-rata 24.08±2.83 hari .

Siklus berahi berdasarkan informasi yang diketahui oleh peternak, bila ternak

jantan di padang pengembalaan saling menanduk, dan berbunyi, serta kerbau

betina mengeluarkan suara memanggil kerbau jantan tanda ini terjadi maka ada

betina kerbau lumpur yang akan kawin. Secara umum siklus berahi pada ternak
kerbau lumpur yang terjadi di lokasi penelitian tidak jauh berbeda dengan hasil

penelitian Guzman (1980) bahwa kerbau lumpur di Thailand memiliki siklus

berahi 23 hari, sedang kerbau lumpur di Philipina siklus berahi selama 21 hari.

Secara keseluruhan bahwa siklus berahi ini sangat ditentukan oleh efektivitas

kerja hormon reproduksi (FSH, LH, Estrogen, Progresteron), dan peran dari

hormone prostaglandin dalam melisis korpus luteum, sehingga menormalkan

kembali kerja hypothalamus dan pytuitary anterior mensekresikan FSH untuk

merespon follikulogenesis, selanjutnya LH untuk proses ovulasi dalam satu siklus

berahi

Hal ini di dukung dengan pendapat Partodiharjho (1987) yang menyatakan

bahwa Kerbau betina memperlihatkan siklus birahi yang normal selama kurang

lebih 3 minggu, berahi berlangsung selama 17-24 jam dengan siklus 18-22 hari

dengan ovulasi pada kerbau terjadi 15- 18 jam setelah gejala berahi berakhir dan

waktu IB atau di kawinkan 6-12 jam setelah gejal estrus muncul. Hal ini

memperlihatkan bahwa ternak kerbau yang di pelihara oleh peternak di Nagari

Anduring kecamatan 2 x 11 Kayutanam Kabupaten Padang Pariaman mengalami

waktu siklus berahi yang berlangsung lama, yang mana ideal nya untuk waktu

siklus berahi pada ternak kerbau berlangsung selama 17 – 24 jam dengan siklus

18-22 hari. Menurut Hardjopranjoto ( 1995 ) bahwa lamanya siklus berahi di

pengaruhi oleh system pemeliharaan, faktor heraditas dan nutrisional.

Pengamatan berahi merupakan faktor yang sangat penting, karena jika

gejala berahi telah terlihat maka waktu perkawinan yang tepat dapat dilakukan.

Pengamatan dapat dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari dengan

melihat gejala berahi secara langsung. Menurut Jainuddeen dan Hafez (1980)
menyatakan tanda estrus pada kerbau kurang intense dibandingkan sapi, lebih-

lebih selama bulan-bulan musim panas ( silent heat ) sehingga lebih sukar di

deteksi dibandingkan sapi apalagi jika tidak ada kerbau jantan, ketersedian

menerima penjantan adalah tanda estrus yang paling dapat di percaya pada

kerbau. Bila pubertas telah tercapai dan berahi pertama telah selesai, maka hewan

betina pada umumnya melanjutkan hidupnya denga tugas menghasilkan anak.

Jika berahi pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka berahi yang pertama

itu akan di susul oleh berahi yang kedua, yang ketiga dan seterusnya sampai

betina itu menjadi bunting. Satu siklus berahi adalah jarak antara berahi yang

satu sampai berahi selanjutnya, sedangkan berahi itu sendiri adalah saat dimana

hewan betina bersedia menerima panjantan untuk kopulasi. Kopilasi dapat

menghasilakn kebuntingan dan selanjutnya dapat menghasilkan anak. (Dr.

Soebadi Partoditharjo, 1987)

4.4.4. Umur Beranak Pertama ( Bulan )

Berdasarkan kerbau lumpur di Asia Tenggara umumnya mengalami

kelahiran pertama lebih lambat dari ternak lainnya. Hal ini disebabkan oleh faktor

manajemen dan pakan yang masih rendah. Berdasarkan tabel 8 hasil penelitian

menunjukkan umur beranak pertama pada kerbau di nagari Anduring rata-rata

31±4.12 bulan. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian

Chantalakhana (1981) yang menyatakan umur beranak pertama kerbau di

Indonesia berkisar 2,9 – 3,7 tahun, sedangkan pada pemeliharaan intensif atau

terkontrol umur beranak pertama ternak kerbau adalah 24 – 36 bulan, dan lebih

cepat dengan rata-rata umur beranak pertama kerbau lumpur di Filipina yaitu 3,6

Tahun (Usri,1994). Hal ini menunjukkan umur beranak pertama pada kerbau
lumpur dapat dikatakan normal. Penelitian ini tidak berbeda jauh dengan

pernyataan Toelihere ( 1981 ) menyatakan dengan makanan dan manajemen yang

baik seekor kerbau dara dapat di kawinkan pada umur 10-15 bulan, kerbau yang

kurang baik pertumbuhannya baru dapat di kawinkan sesudah mencapai umur 18

sampai 24 bulan sehingga sudah dapat melahirkan anak pertama kali umur 27

bulan dan selambat-lambatnya 33 bulan. Hal ini juga membuktikan bahwa umur

beranak kerbau lumpur di nagari Anduring masih normal.

Menunda perkawinan perkawinan terlalu lama tidak baik, sebab selain

kemungkinan terjadinya penimbunan lemak di sekeliling ovarium dan oviduck,

sehingga mengganggu proses pembentukan sel telur dan ovulasi, di samping itu

juga meugikan secara ekonomi. Terlalu tua umur pertama kali di kawinkan, maka

terlalu tua pula umur induk kerbau melahirkan anak pertama, sehingga

produktivitasnya sebagaibibit menjadi rendah atau dengan kata lain efisiesi

reproduksinya tidak optimal ( Usri, N. 1994 ).

4.4.5. Carving Interval ( Bulan )

Hasil penelitian menunjukkan bahwa carving interval kerbau lumpur di

lokasi penelitian rata-rata 15.24±1.73 bulan. Hasil penelitian ini tidak jauh

berbeda dengan hasil penelitian Kosi (2002) di Kecamatan Katikutana Kabupaten

Sumba Barat dimana rata-rata Carving interval ternak kerbau sebesar 16,42 ± 1,99

bulan dengan variasi 10,80%. Carving interval merupakan salah satu indikator

produktivitas seekor ternak. Sosroamidjojo (1984) menyatakan bahwa seekor

induk kerbau dikatakan baik jika dapat beranak kembali setiap 15 bulan.

Hadid an Nyak ilham ( 2004 ) menyatakan jarak waktu beranak ( CI ) yang

ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui. Berdasarkan
tabel 8, penelitian yang telah di lakukan menunjuk kan bahwa calving interval

kerbau lumpur di nagari Anduring memiliki jarak yang lama. Hal ini dapat di lihat

dari jumlah kerbau lumpur yang carving intrerval jarak yang lama dalam

penelitian ini menunjukkan efisiensi reproduksi ternak kerbau tidak baik.

Ball dan Petter ( 2004 ) menyatakan bahwa efisiensi reproduksi di katakan

baik apabila seekor induk kerbau atau sapi dapat menghasilakan satu pedet atau

anak dalam satu tahun. Carving interval dipengaruhi oleh berahi pertama setelah

melahirkan dan lama bunting. Semakin lama muncul berahi setelah melahirkan

maka jarak beranak akan semakin lama. Secara ekonomis jarak beranak yang

pendek akan menguntungkan peternak karena dalam satu tahun ternak mereka

akan selalu menghasilkan anak ( Affandi, 2003 ).

Carving Interval ternak kerbau yang cukup panjang dalam penelitian ini

disinyalir karena sistem pemeliharan yang terjadi secara tradisional dan tidak

adanya campur tangan manusia dalam mengatur perkawinan sehingga sistem

perkawinan yang terjadi adalah secara alamiah (nature mating). Menurut Suda

(2013), dalam hasil penelitiannya di Kabupaten Sumba Barat Daya menyatakan

bahwa ternak kerbau dengan sistem pemeliharaan ektensif tradisional dimana

ternak kerbau digembalakan di padang penggembalaan pada pagi sampai sore hari

dan pada malam hari dimasukkan dalam kandang kelompok akan menyebabkan

terjadinya sistem perkawinan secara alamiah atau nature mating. Hal ini

menunjukkan perlu adanya perbaikan di bidang manajemen dan peningkatan

kualitas individu peternak agar usaha peternakan lebih efisien baik dari segi

produksi dan reproduksi. Jarak waktu beranak yang lama merupakan kendala

inefisiensi produktivitas ternak potong di Indonesia.


4.4.6. Service Periode ( Hari )

Service Periode ( Periode service ) sering di sebut juga dengan lama

kosong atau days open dimana induk harus mengalami perbaikan kondisi alat /

organ reproduksinya sebelum dipergunakan untuk bunting lagi , dapat juga di

pahami sebagai suatu periode dimana seekor induk bisa di kawini. Lama kosong

ini di tentukan oleh post partum marting dan service perconception (

Kasman,2006)

Berdasarkan tabel 8 masa kosong ( days open ) ternak kerbau lumpur di

nagari Anduring rata-rata 84.39±2.09 hari. Menurut Harjopranyoto (1995) masa

kosong yang baik adalah sekitar 60-90 hari dan tidak boleh lebih dari 120 hari.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerbau lumpur di Nagari Anduring

mempunyai jarak masa kosong ( Days open ) yang normal, yang mana Affandi (

2003 ) menyatakan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi masa kosong ( days

open ) yang baik adalah 80 – 85 hari. Days open di pengaruhi oleh nutrisi selama

kebuntingan dan setelah melahirkan, nutrisi yang jelek menyebabkan lambatnya

berahi kembali sehingga masa kosong ( days open ) semakin panjang. Panjangnya

days open disebabkan oleh banyak hal. Hal yang paling mendasar adalah terjadi

kesalahan dalam mendeteksi birahi karena pada umumnya, birahi yang terjadi

post partus susah dideteksi bahkan terjadi silent heat. Pirlo et al. (2000)

menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan penundaan umur kawin

pertama adalah birahi yang terlambat, kesalahan dalam deteksi birahi, kurangnya

bobot badan, dan faktor lingkungan.

Setelah beranak, induk kerbau akan kembali birahi dalam waktu yang

beragam. Sebagian besar kerbau birahi kembali antara 21 - 85 hari sesudah


beranak. Perbaikan nutrisi sebelum dan sesudah beranak menurutnya dapat

mempercepat saat estrus post partum. Sebagian besar peternak mengaku tidak

banyak memberikan pakan tambahan pada induk setelah kelahiran, hanya

disesuaikan dengan persediaan pakan.

Keterlambatan birahi pertama setelah beranak (estrus post partum) juga

dapat mempengaruhi masa kosng ( days open ) pada ternak, Karena dipengaruhi

oleh banyak faktor. Schillo (1992) menyatakan bahwa kondisi induk kerbau yang

kurang gizi/cadangan energi tubuh rendah, menyebabkan estrus post partum lebih

lama, namun belum diketahui secara akurat berapa cadangan energi yang ideal

agar estrus post partum kembali normal. Pedet yang masih menyusu juga

berpengaruh dalam menekan fungsi hypothalamus merangsang hormon LH

(hormon yang berfungsi merangsang pertumbuhan folikel/mengaktifkan

ovarium), sehingga selama pedet belum disapih maka birahi tidak muncul.

Semakin lama pedet dibiarkan menyusu, maka semakin lama birahi muncul.

Menurut Winugroho (2002), untuk mencapai estrus post partum yang ideal,

diperlukan pakan tambahan yang cukup pada induk kerbau dan sebaiknya

diberikan 2 bulan sebelum dan 2 bulan setelah beranak.

4.4.7 Lama Bunting ( hari )

Lama bunting adalah banyaknya hari antara hari perkawianan yang

terakhir jadi sampai dengan hari saat kelahiran. Lama kebuntingan ternak kerbau

lumpur di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, rata-

rata kebuntingan ternak kerbau lumpur berlangsung selama 331.84±6.12 bulan,

yang mana lama bunting kerbau lumpur di lokasi penelitian masih normal. Hasil
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Suryana (2007) bahwa

lama bunting kerbau lumpur di Kalimantan Selatan yaitu 11 –12 bulan.

Hasil penelitian ini juga tidak jauh berbeda dengan pendapat Toelihere

(1985) Masa bunting ternak kerbau lumpur di Asia Tenggara lama buntingnya

mencapai 11,30 bulan. Bila dilihat dari perkembangan dan reproduksinya kerbau

lumpur yang dipelihara secara berkelompok di padang penggembalaan tingkat

kebuntingannya lebih tinggi, dibanding ternak kerbau lumpur yang dipelihara

tidak berkelompok. Hal itu di sebabkan kerbau lumpur betina (induk) selalu

berkumpul dengan kerbau lumpur jantan di padang pengembalaan. Lamanya

kebuntingan di pengaruhi oleh jenis sapi/kerbau, jenis kelamin dan jumlah anak

yang dikandung dan fakto lain seperti umur induk, musim, sifat genetic dan letak

geografik (Jainudden dan hafez, 2000).

Anda mungkin juga menyukai