9.1. Pendahuluan
Keragaman genetik didefinisikan sebagai “variabilitas genetik yang ada dalam spesies.”
Keanekaragaman genetik adalah produk rekombinasi materi genetik dalam proses pewarisan. Ia
berubah seiring waktu dan ruang. Reproduksi seksual penting dalam menjaga keragaman genetik
karena memberikan keturunan yang unik dengan menggabungkan gen orang tua. Mutasi gen,
pergeseran genetik dan aliran gen juga bertanggung jawab atas keragaman genetik.
Pentingnya Keanekaragaman Genetik, bahwa keragaman genetik menimbulkan atribut fisik
yang berbeda untuk individu dan kapasitas untuk beradaptasi dengan stres, penyakit dan kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan. Perubahan lingkungan yang alami atau karena campur
tangan manusia, mengarah pada seleksi alam dan survival of the fittest. Oleh karena itu, karena
keragaman genetik, varietas yang rentan mati dan yang dapat beradaptasi dengan perubahan
akan bertahan hidup.
Keragaman genetik penting untuk populasi yang sehat dengan mempertahankan varietas
gen yang berbeda yang mungkin tahan terhadap hama, penyakit, atau kondisi lain. Varietas
tanaman baru dapat ditanam dengan mengawinkan silang varian genetik yang berbeda dan
menghasilkan tanaman dengan sifat yang diinginkan seperti ketahanan terhadap penyakit,
peningkatan toleransi terhadap stres.
Keragaman genetik mengurangi terulangnya sifat-sifat warisan yang tidak diinginkan.
Keragaman genetik juga memastikan bahwa setidaknya ada beberapa spesies yang tersisa.
Contoh keanekaragaman genetic adalah pada ras anjing yang berbeda. Anjing dibiakkan secara
selektif untuk mendapatkan sifat yang diinginkan. Berbagai varietas bunga mawar, gandum, dll.
Ada lebih dari 50.000 varietas padi dan lebih dari seribu varietas mangga ditemukan di India.
Varietas yang berbeda dari tanaman obat Rauvolfia vomitoria hadir dalam rentang Himalaya yang
berbeda berbeda dalam jumlah reserpin kimia yang dihasilkan oleh mereka.
Kegiatan konservasi keanekaragaman genetic seperti kegiatan seleksi khusus untuk
pemanenan, perusakan habitat alami menyebabkan hilangnya keanekaragaman. Gen yang
hilang mungkin memiliki banyak manfaat, sehingga penting untuk melestarikan keanekaragaman
untuk kesejahteraan manusia dan untuk melindungi suatu spesies dari kepunahan. Dalam kasus
kekeringan atau wabah penyakit yang tiba-tiba ketika seluruh tanaman dihancurkan,
dimungkinkan untuk menumbuhkan spesies yang beragam secara genetik dan tahan penyakit
dengan melestarikan keragaman.
Ada berbagai cara untuk melestarikan keanekaragaman hayati:
1. Konservasi in-situ: Tidak mungkin untuk melestarikan seluruh keanekaragaman hayati,
sehingga “titik api” tertentu diidentifikasi dan dilestarikan untuk melindungi spesies yang
endemik di habitat tertentu dan terancam, terancam punah atau berisiko tinggi punah.
Misalnya. suaka margasatwa, taman nasional.
2. Konservasi ex-situ: Tumbuhan dan hewan yang terancam diambil dari habitat aslinya dan
disimpan di tempat khusus untuk memberi mereka perawatan dan perlindungan khusus.
Misalnya. kebun raya, kebun binatang, safari satwa liar dll.
Menggunakan teknik kriopreservasi, gamet dari spesies yang terancam diawetkan dalam
kondisi yang layak dan subur untuk jangka waktu yang lebih lama. Telur dapat dibuahi secara in-
vitro dan tanaman dapat diperbanyak melalui kultur jaringan. Perpustakaan genom adalah
kemajuan terbaru untuk melestarikan keragaman genetik.
Konservasi Sumber Daya Genetik Hewan (SDGH) sangat penting untuk mempertahankan
dan meningkatkan kualitas kehidupan di bumi, baik di masa sekarang maupun di masa depan.
Namun, sayangnya peningkatan kehilangan SDGH hanya diamati untuk spesies hewan yang
sebagian besar digunakan untuk pertanian, terutama sumber daya genetik unggas, yang
dianggap termasuk yang paling terancam punah (Zanon dan Sabbioni, 2001; Weigend et al.,
2004; Bianchi et al., 2011). Selama 50 tahun terakhir, produksi daging dan telur unggas dari
individu unggas dalam kelompok komersial ayam pedaging dan petelur telah meningkat pesat,
sebagian besar disebabkan adanya seleksi genetik dalam kelompok pemuliaan inti pada
perusahaan-perusahaan breeding (perbibitan) unggas dan proses transfer yang cepat kelebihan
ini ke persilangan ayam komersial. Di sisi lain, strategi pemuliaan unggas komersial saat ini
berkonsentrasi pada jalur produksi khusus, yang berasal dari seleksi intensif beberapa breed dan
populasi yang sangat besar dengan keseragaman genetik yang besar dari sifat-sifat yang sedang
diseleksi. Hal ini mengakibatkan erosi genetik untuk breed lokal yang tidak diseleksi, yang
biasanya kurang produktif dibandingkan breed hibrida sintetik (Notter, 1999; Besbes et al., 2008).
Populasi unggas pedesaan di sebagian besar negara mencapai lebih dari 60% dari total
populasi unggas nasional (Mogesse, 2007). Namun, perhatian tidak memadai, baik pada evaluasi
sumber daya unggas ini maupun penetapan tujuan pemuliaan yang realistis dan optimal untuk
peningkatannya. Akibatnya, banyak breed dengan produktivitas rendah berada pada risiko tinggi
kepunahan di bawah sistem produksi pedesaan (FAO, 2011; Hoffmann, 2011). Selain itu, ada
banyak breed ayam lokal yang bercirikan performa sedang atau rendah dan dipelihara dalam
populasi kecil (Gueye, 1997). Breed lokal ini menghadapi erosi genetik, yang dapat menyebabkan
hilangnya variabilitas genetik yang berharga dalam karakteristik tertentu (Romanov et al., 1996).
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah meminta
perhatian terhadap tren yang mengkhawatirkan hilangnya sejumlah besar breed ternak lokal, dan
juga memperkirakan 40 breed ayam telah punah (FAO, 2010a, 2010b). Menurut FAO (2007,
2011), sekitar 25% breed ayam menjadi subyek program konservasi; namun, informasi tentang
sifat atau efisiensi program ini masih diperdebatkan (Hoffmann, 2009, 2011; Pym, 2010). Sejalan
dengan itu, berdasarkan laporan yang dibuat oleh negara-negara kepada FAO, hanya 15%
negara (separonya adalah negara berkembang) yang memiliki program konservasi unggas,
mencakup 63% breed lokal dan 11% populasi nasional breed lintas negara (Singh dan Fotsa,
2011). Bank data global menunjukkan bahwa 195 spesies unggas dan breed (dimana 77% adalah
ayam, 9% itik, 9% angsa dan 3% kalkun) tunduk pada program konservasi, tetapi beberapa dari
data ini sudah kadaluarsa karena kurang di-update (Hoffmann, 2009; Pim, 2010). Untuk 70%
breed ini, maka angka populasi yang dikumpulkan adalah sebelum tahun 2000, sehingga
diperlukan sensus populasi baru lagi untuk memperbarui data ini (Hoffman, 2009).
Menjaga keanekaragaman hayati unggas adalah tujuan utama di setiap negara maju,
termasuk Italia, yang menempatkannya sebagai kepentingan utama. Namun, dalam seratus
tahun terakhir, jumlah breed lokal yang terancam punah telah meningkat secara dramatis,
menyebabkan hilangnya sumber daya genetik yang tidak dapat dipulihkan (Zanon dan Sabbioni,
2001). Alasan untuk tren negatif ini terutama terletak pada kenyataan bahwa hanya beberapa
breed yang dipilih untuk memaksimalkan hasil dan bahwa breed persilangan khusus untuk
berbagai output produksi dibuat (Bianchi et al., 2011). Konsekuensi dari hilangnya keragaman
genetik ini adalah bahwa empat puluh breed unggas tradisional yang dipelihara di Italia sampai
saat ini telah punah (Zanon dan Sabbioni, 2001). Saat ini, konservasi sumber daya genetik
unggas merupakan bagian dari kegiatan kelembagaan di banyak universitas di Italia dan dana
publik ditujukan juga untuk menghadapi ancaman kepunahan breed lokal ini.
Di negara berkembang, efek kehilangan genetik jauh lebih parah daripada di negara maju.
Seperti contoh di Turki, dengan meningkatnya urbanisasi, kontribusi breed komersial untuk
konsumsi daging unggas dan telur secara keseluruhan tumbuh semakin pesat (FAO, 2004b). Hal
ini telah memicu penggunaan hibrida komersial dan menyebabkan hilangnya genetik pada
spesies dan breed unggas lokal Turki. Tidak seperti Italia, strategi konservasi sumber daya
unggas Turki masih diperdebatkan dan kurang diperhatikan. Berdasarkan model Italia yang telah
terbukti menjadi contoh sukses konservasi unggas, maka strategi konservasi untuk breed unggas
dapat mencontoh strategi dari Italia. Penerima manfaat masa depan dari program konservasi
cenderung semakin menyebar ke seluruh dunia. Oleh karena itu, program konservasi harus
dianggap sebagai tanggung jawab internasional (Spalona et al., 2007).
Di Indonesia, ayam lokal atau kampung sering disebut “ayam buras” (buras). Istilah ini
bertujuan untuk membedakan antara ayam lokal dengan breed ayam komersial yang dihasilkan
dari persilangan yang terprogram secara sistematis, seperti strain Cobb, Hisex, Hubbard, Hybro,
Hyline dan Isa, yang telah dikenal dengan luas. Ayam lokal secara historis merupakan hasil
domestikasi empat jenis ayam hutan selama bertahun-tahun: ayam hutan merah (Gallus gallus),
ayam hutan hijau (Gallus varius), ayam hutan abu-abu India (Gallus soneratti) dan ayam hutan
jingga Ceylon (Gallus lavayetti). (Muladno, 2008).
Saat ini, setidaknya ada 32 jenis ayam lokal di Indonesia, yaitu: Ayunai, Balenggek, Banten,
Bangkok, Burgo, Bekisar, Cangehgar (atau Cukir atau Alas), Cemani, Ciparage, Gaok, Jepun,
Kampung, Kasintu, Kedu (Kedu Hitam Putih), Pelung, Lamba, Maleo, Melayu, Merawang,
Nagrak, Nunukan, Nusa Penida, Olagan, Rintit atau Walik, Sedayu, Sentul, Siem, Sumatera,
Tolaki, Tukung dan Wareng (Nataamijaya, 2000). Ayam kampung adalah yang paling populer
dan dipelihara hampir di seluruh pelosok tanah air. Secara klasifikasi ilmiah, maka ayam dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia;
Filum : Chordata;
Kelas : Aves;
Ordo : Galliformes;
Familia : Phasianidae;
Genus : Gallus; dan
Species : Gallus gallus; Gallus various; Gallus soneratti; Gallus lavayetti
Ayam mempunyai jengger (comb) di atas kepala dan dua gelambir (wattles) di bawah
dagu. Dalam bahasa Latin, gallus artinya comb (jengger), jadi ayam hasil domestikasi dinamakan
Gallus gallus domesticus
Temuan menarik pada ayam lokal dilaporkan oleh Sulandari et al., (2007b) yang
menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu pusat utama domestikasi ayam di dunia.
Kerjasama penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
Lembaga Penelitian Peternakan Internasional (International Livestock Research Institute / ILRI)
menggunakan DNA mitokondria pada daerah D-loop Hypervariable 1 (HV1) ayam sebagai
penanda DNA. Rantai molekul DNA dengan 397 pasangan basa dari 15 ayam lokal Indonesia
(total sampel DNA diperoleh dari 484 individu ayam) diurutkan dan dianalisis. Sebanyak 69
haplotipe diidentifikasi. Data DNA ayam lokal Indonesia HV1 D-Loop bersama dengan data
serupa dari ILRI menunjukkan tiga pusat geografis utama asal usul ayam domestik saat ini, yaitu
anak benua India, Republik Rakyat Cina dan Indonesia. Indikasi ini berdasarkan data yang
menunjukkan bahwa sebagian besar ayam lokal Indonesia berada pada kelompok II, sebagian
besar ayam Cina berada pada kelompok IIIc dan IIId, dan sebagian besar ayam sub kontinen
India berada pada kelompok IV. Kelompok lainnya diwakili oleh sejumlah kecil haplotipe ayam
yang berasal dari berbagai negara.
a. b. c. d.
e. f. g. h.
Gambar 2. Beberapa contoh ayam lokal Indonesia yang cukup popular, diantaranya: a.
Ayam Kedu Hitam (ada yang menyebut ayam Cemani jika warna hitamnya sempurna; dari daerah
Temanggung, Jawa Tengah); b. Ayam Pelung (khas dari daerah Cianjur, Jawa Barat); c. Ayam
Nunukan (khas dari daerah Tarakan, Kalimantan Timur); d. Ayam Hitam Sumatra (Black Sumatra)
(berkembang di daerah Sumatra Barat); e. Ayam Kokok Balenggek (dari Sumatra Barat); f. Ayam
Merawang (dari Merawang, Pulau Bangka); g. Ayam Tolaki (dari daerah Konawe, Sulawesi
Tenggara); h. Ayam Bekisar (asal Jawa Timur).
Tujuan utama konservasi SDG Ternak adalah memelihara akses potensi genetik adaptif
masing-masing spesies dan selanjutnya untuk mempertahankan koleksi sumber penelitian yang
berharga saat ini (Notter, 1999). Manajemen pelestarian keragaman jangka panjang harus
didasarkan pada prinsip-prinsip seperti: (i) pemeliharaan populasi heterozigositas; (ii) konservasi
alel; dan (iii) konservasi kombinasi alel. Penerapan prinsip ini dan strategi pengembangan
konservasi unggas berbeda untuk variasi sumber genetik yang berbeda sesuai dengan tujuan
pemeliharaannya. Konservasi penting dilakukan untuk mempertahankan sumber genetik ternak
unggas. Alasan dari mempertahankan keragaman genetik adalah bahwa variasi genetik
mendukung perubahan evolusioner adaptasi dan seleksi buatan, meningkatkan mutu genetik dan
adaptasi terhadap faktor dan lingkungan yang memungkinkan. Reservoir genetik saat ini adalah
dasar bagi peningkatan nilai ekonomi, ilmiah dan sosiokultural di masa depan. (Delany, 2003).
Keberadaan keanekaragaman hayati (biodiversity) sangat terkait dengan konservasi sumberdaya
genetik ternak. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang berlimpah, di antaranya adalah
berbagai rumpun ayam, baik ayam lokal asli Indonesia maupun ayam lokal introduksi yang telah
lama beradaptasi di Indonesia. Beberapa rumpun ayam dan itik Indonesia merupakan
sumberdaya genetik yang masih perlu digali potensinya baik sebagai penghasil daging, telur
ataupun hobi (mewah). (Ismoyowati 2017).
Aktivitas awal untuk program konservasi adalah diskripsi sumber daya genetik yang
relevan, kedua pengembangan termasuk penilaian variasi genetik di dalam dan di antara
populasi. Untuk tujuan ini, FAO mengusulkan sebuah proyek yang berjudul “Measurement of
Domestic Animal Diversity' (MoDAD). Tujuan MoDAD adalah untuk mempromosikan deskripsi
molekuler komparatif, menggabungkan penanda molekuler standar untuk menilai
bangsa/galur/rumpun dan perbedaan genetik populasi; misalnya, satu set penanda genetik
mikrosatelit pada ayam antara lain: ADL158, 171, 176, 210, 267 dan MCW1, 4, 73 (Wimmers &
Weigend 2003). Sayangnya, banyak populasi menghilang bahkan sebelumnya dilakukan
inventarisasi/ karakterisasi fenotip dan analisis molekuler. Kegiatan ketiga adalah
memprioritaskan unit genetik untuk konservasi dan kegiatan akhirnya adalah menerapkan
strategi konservasi yang tepat. Kriteria dalam memilih breed dan populasi untuk konservasi: (i)
tingkat bahaya; (ii) spesies dalam bangsa; (iii) adaptasi terhadap lingkungan tertentu; (iv) nilai
ekonomi saat ini atau masa depan; (v) memiliki sifat unik yang mungkin menarik perhatian ilmiah;
(vi) nilai budaya atau sejarah; dan (vii) keunikan genetik (Ruane, 1999). Pada saat ini, konsep
keunikan genetik besar didasarkan pada perhitungan jarak genetik dengan menggunakan
penilaian molekuler. Penelitian Keragaman berfokus pada pengembangan Keragaman alel,
heterozigositas dan jarak genetik. Validitas data genetik yang dikumpulkan (dengan menghitung
frekuensi gen, heterozigositas dan nilai jarak genetik) untuk menggambarkan secara akurat
keragaman genetik sangat bergantung pada ukuran sampel, jumlah lokus dan representasi
genomnya, validitas populasi dan ukuran populasi (Ruane, 1999). FAO merekomendasikan
panduan untuk menilai keragaman genetik berbasis mikrosatelit.Strategi konservasi harus
didasarkan pada satu atau lebih dari prinsip genetik yaitu: 1). Menjaga alel (melestarikan semua
alel); 2). Pertahankan heterozigositas (pertahankan alel dalam keadaan heterozigot untuk
populasi hidup jangka panjang); dan 3). Pertahankan kombinasi allel (seperti pada breed, dan
kombinasi inilah yang mendefinisikan fenotip unik).
Ringkasan
Bahwa konservasi atau perlindungan terhadap kekayaan genetik adalah suatu hal yang
penting dikarenakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan di bumi, baik
di masa sekarang maupun di masa depan. Namun, sayangnya peningkatan kehilangan SDGH
hanya diamati untuk spesies hewan yang sebagian besar digunakan untuk pertanian, terutama
sumber daya genetik unggas, yang dianggap termasuk yang paling terancam punah. Di sisi lain,
strategi pemuliaan unggas komersial saat ini berkonsentrasi pada jalur produksi khusus, yang
berasal dari seleksi intensif beberapa breed dan populasi yang sangat besar dengan
keseragaman genetik yang besar dari sifat-sifat yang sedang diseleksi. Hal ini mengakibatkan
erosi genetik untuk breed lokal yang tidak diseleksi, yang biasanya kurang produktif dibandingkan
breed hibrida sintetik.
Ada berbagai cara untuk melestarikan (konservasi) keanekaragaman hayati (genetic):
1. Konservasi in-situ: Tidak mungkin untuk melestarikan seluruh keanekaragaman hayati,
sehingga “titik api” tertentu diidentifikasi dan dilestarikan untuk melindungi spesies yang
endemik di habitat tertentu dan terancam, terancam punah atau berisiko tinggi punah.
Misalnya. suaka margasatwa, taman nasional.
2. Konservasi ex-situ: Tumbuhan dan hewan yang terancam diambil dari habitat aslinya dan
disimpan di tempat khusus untuk memberi mereka perawatan dan perlindungan khusus.
Misalnya. kebun raya, kebun binatang, safari satwa liar dll.
Saat ini, setidaknya ada 32 jenis ayam lokal di Indonesia, yaitu: Ayunai, Balenggek, Banten,
Bangkok, Burgo, Bekisar, Cangehgar (atau Cukir atau Alas), Cemani, Ciparage, Gaok, Jepun,
Kampung, Kasintu, Kedu (Kedu Hitam Putih), Pelung, Lamba, Maleo, Melayu, Merawang,
Nagrak, Nunukan, Nusa Penida, Olagan, Rintit atau Walik, Sedayu, Sentul, Siem, Sumatera,
Tolaki, Tukung dan Wareng (Nataamijaya, 2000). Ayam kampung adalah yang paling populer
dan dipelihara hampir di seluruh pelosok tanah air. Oleh karenanya, pemerintah dan masyrakat
harus sadar dan bahu membahu untuk dapat melestarikan kekayaan hayati ayam local Indonesia
ini agar potensi hayati ini bisa tetap dimanfaatkan untuk generasi yang akan dating.
Soal Latihan:
1. Apa yang dimaksud dengan Konservasi Genetik atau kekayaan hayati ?
2. Ada berapa teknik dalam konservasi genetik dan jelaskan dengan singkat masing-masing
teknik tersebut !
3. Jelaskan hubungan kedua teknik tersebut agar berhasil dalam konservasi genetik !
4. Untuk ayam lokal Indonesia sangat penting untuk dilestarikan. Mengapa, jelaskan dengan
singkat !
5. Jelaskan mengapa strategi konservasi genetik ayam lokal di Italia cukup berhasil
dibandingkan dengan Turki !
Daftar Pustaka
Besbes B., Tixier-Boichard M., Hoffmann I., and Jain G.L. 2008. Future trends for poultry genetic
resources. Proc. Int. Conf. Poultry Twenty first Cent.: avian influenza and beyond, Bangkok,
Thailand. Avaialble from ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/011/i0323e/i0323e.pd
Bianchi M., Ceccobelli S., Landi V., Di Lorenzo P., Lasagna E., Ciocchetti M., ahin E., Mugnai C.,
Panella F., and Sarti F.M. 2011. Microsatellites-based survey on the genetic structure of two
Italian local chicken breeds. Ital. J. Anim. Sci. 10:205-211.
CBD [Convention on Biological Diversity] 1992. Convention on Biological Diversity Article 2. Use
of Terms. Secretariat of the Convention on Biological Diversity, Montreal, Canada.
FAO, 2004b. Turkey country report on farm animal genetic resources. FAO ed., Roma, Italy.
Available from: ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/010/a1250e/annexes/CountryReports/Turkey.pdf
FAO, 2007. The state of the world’s animal genetic resources for food and agriculture, Rome,
Italy. FAO ed., Roma, Italy. Available from: www.fao.org/docrep/010/a1250e/a1250e00.htm
FAO, 2009. Poultry policies, legislation and strategies in Uganda. FAO ed., Roma, Italy. Available
from: http://www.fao.org/docrep/013/al691e/al691e00.pdf
FAO, 2010a. Adding value to livestock diversity. Marketing to promote local breeds and improve
livelihoods. Available from: http://www.fao.org/docrep/012/i1283e/i1283e00.htm
FAO, 2010b. Breeding strategies for sustainable management of animal genetic resources. FAO
animal production and health guidelines no. 3. FAO ed., Roma, Italy. Available from:
http://www.fao.org/docrep/012/i1103e/i1103e.pdf
FAO, 2011. Developing the institutional framework for the management of animal genetic
resources. FAO animal production and health guidelines no. 6. FAO ed., Roma, Italy.
Available from: http://www.fao.org/docrep/014/ba0054e/ba0054e00.pdf
Gueye, E.F. 1997. Diseases in village chickens: control through ethno-veterinary medicine. ILEIA
Newsletter 13:20-21.
Hoffmann, I. 2009. The global plan of action for animal genetic resources and the conservation of
poultry genetic resources. World Poultry Sci. J. 65:286-297.
Hoffmann, I. 2011. The global plan of action for animal genetic resources. pp 1-4 in Proc. 8th
Global Conf. RBI on Conserv. Animal Gen. Res., Tekirda, Turkey.
Ismoyowati. 2017. Keragaman genetik dan konservasi unggas lokal. Prosiding Seminar
Teknologi Agribisnis Peternakan (STAP) Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal
Soedirman, 5, 12 - 22. http://jnp.fapet.unsoed.ac.id/index.php/psv/article/view/12.
IUCN .2002. Technical Guidelines on the Management of Ex-situ populations for Conservation.
International Union for the Conservation of Nature, Gland, Switzerland.
Maunder M and Byers O. 2005. The IUCN Technical Guidelines on the Management of Ex Situ
Populations for Conservation: reflecting major changes in the application of ex situ
conservation. Oryx 39:95–98.
Mogesse, H.H. 2007. Phenotypic and genetic characterization of indigenous chicken populations
in northwest Ethiopia. Degree Diss., University of the Free State, Bloemfontein, South Africa.
Muladno. 2008. Local chicken genetic resources and production systems in Indonesia.
http://www.fao.org/3/al695e/al695e00.pdf. Diakses 20 Agustus 2021.
Newmark WD (2008) Isolation of African protected areas. Front Ecol Environ 6: 321–328.
Notter, D. 1999. The importance of genetic diversity in livestock populations of the future. J. Anim.
Sci. 77:61-69.
Primack RB (2012) Conservation Outside Protected Areas. In: Primack RB (ed) A Prim. Conserv.
Biol., 5th ed. Sinauer Associates, Massachusetts, USA, pp 256–281
Pym, R. 2010. Poultry genetics and breeding in developing countries: genetic diversity and
conservation of genetic resources. FAO Publ., Roma, Italy. Available from:
http://www.fao.org/docrep/013/al728e/al728e00.pdf
Romanov, M.N. Wezyk S. Cywa-Benko K. Sakhatsky N.İ. 1996. Poultry genetic resources in the
countries of Eastern Europe: history and current state. Poult. Avian Biol. Rev. 7:1-29.
Ruane, J. 1999. A critical review of the value of genetic distance studies in conservation of animal
genetic resources. Journal of Animal Breeding and Genetics 116, 317–323.
Singh D.P. and Fotsa J.C. 2011. Opportunities of poultry breeding programmes for family
production in developing countries: the bird for the poor. FAO Publ., Roma, Italy.
Spalona A., Ranvig H., Cywa-Benko K., Zanon A., Sabbioni A., Szalay I., Benková J.,
Baumgartner J., and Szwaczkowski T. 2007. Population size in conservation of local chicken
breeds in chosen European countries. Arch. Geflügelkd. 71:49-55.
Weigend S., Romanov M.N., and Rath D. 2004. Methodologies to identify evaluate and conserve
poultry genetic resources. Available from:
http://infpd.net/filemanager/upload/research/as1340428969ht.pdf
Zanon A. and Sabbioni A. 2001. Identificazione e salvaguardia genetica delle razze avicole
Italiane. Annali della Facoltà di Medicina Veterinaria di Parma 21:117-134.