Anda di halaman 1dari 16

BAB 9.

KONSERVASI GENETIK AYAM LOKAL INDONESIA

9.1. Pendahuluan
Keragaman genetik didefinisikan sebagai “variabilitas genetik yang ada dalam spesies.”
Keanekaragaman genetik adalah produk rekombinasi materi genetik dalam proses pewarisan. Ia
berubah seiring waktu dan ruang. Reproduksi seksual penting dalam menjaga keragaman genetik
karena memberikan keturunan yang unik dengan menggabungkan gen orang tua. Mutasi gen,
pergeseran genetik dan aliran gen juga bertanggung jawab atas keragaman genetik.
Pentingnya Keanekaragaman Genetik, bahwa keragaman genetik menimbulkan atribut fisik
yang berbeda untuk individu dan kapasitas untuk beradaptasi dengan stres, penyakit dan kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan. Perubahan lingkungan yang alami atau karena campur
tangan manusia, mengarah pada seleksi alam dan survival of the fittest. Oleh karena itu, karena
keragaman genetik, varietas yang rentan mati dan yang dapat beradaptasi dengan perubahan
akan bertahan hidup.
Keragaman genetik penting untuk populasi yang sehat dengan mempertahankan varietas
gen yang berbeda yang mungkin tahan terhadap hama, penyakit, atau kondisi lain. Varietas
tanaman baru dapat ditanam dengan mengawinkan silang varian genetik yang berbeda dan
menghasilkan tanaman dengan sifat yang diinginkan seperti ketahanan terhadap penyakit,
peningkatan toleransi terhadap stres.
Keragaman genetik mengurangi terulangnya sifat-sifat warisan yang tidak diinginkan.
Keragaman genetik juga memastikan bahwa setidaknya ada beberapa spesies yang tersisa.
Contoh keanekaragaman genetic adalah pada ras anjing yang berbeda. Anjing dibiakkan secara
selektif untuk mendapatkan sifat yang diinginkan. Berbagai varietas bunga mawar, gandum, dll.
Ada lebih dari 50.000 varietas padi dan lebih dari seribu varietas mangga ditemukan di India.
Varietas yang berbeda dari tanaman obat Rauvolfia vomitoria hadir dalam rentang Himalaya yang
berbeda berbeda dalam jumlah reserpin kimia yang dihasilkan oleh mereka.
Kegiatan konservasi keanekaragaman genetic seperti kegiatan seleksi khusus untuk
pemanenan, perusakan habitat alami menyebabkan hilangnya keanekaragaman. Gen yang
hilang mungkin memiliki banyak manfaat, sehingga penting untuk melestarikan keanekaragaman
untuk kesejahteraan manusia dan untuk melindungi suatu spesies dari kepunahan. Dalam kasus
kekeringan atau wabah penyakit yang tiba-tiba ketika seluruh tanaman dihancurkan,
dimungkinkan untuk menumbuhkan spesies yang beragam secara genetik dan tahan penyakit
dengan melestarikan keragaman.
Ada berbagai cara untuk melestarikan keanekaragaman hayati:
1. Konservasi in-situ: Tidak mungkin untuk melestarikan seluruh keanekaragaman hayati,
sehingga “titik api” tertentu diidentifikasi dan dilestarikan untuk melindungi spesies yang
endemik di habitat tertentu dan terancam, terancam punah atau berisiko tinggi punah.
Misalnya. suaka margasatwa, taman nasional.
2. Konservasi ex-situ: Tumbuhan dan hewan yang terancam diambil dari habitat aslinya dan
disimpan di tempat khusus untuk memberi mereka perawatan dan perlindungan khusus.
Misalnya. kebun raya, kebun binatang, safari satwa liar dll.
Menggunakan teknik kriopreservasi, gamet dari spesies yang terancam diawetkan dalam
kondisi yang layak dan subur untuk jangka waktu yang lebih lama. Telur dapat dibuahi secara in-
vitro dan tanaman dapat diperbanyak melalui kultur jaringan. Perpustakaan genom adalah
kemajuan terbaru untuk melestarikan keragaman genetik.
Konservasi Sumber Daya Genetik Hewan (SDGH) sangat penting untuk mempertahankan
dan meningkatkan kualitas kehidupan di bumi, baik di masa sekarang maupun di masa depan.
Namun, sayangnya peningkatan kehilangan SDGH hanya diamati untuk spesies hewan yang
sebagian besar digunakan untuk pertanian, terutama sumber daya genetik unggas, yang
dianggap termasuk yang paling terancam punah (Zanon dan Sabbioni, 2001; Weigend et al.,
2004; Bianchi et al., 2011). Selama 50 tahun terakhir, produksi daging dan telur unggas dari
individu unggas dalam kelompok komersial ayam pedaging dan petelur telah meningkat pesat,
sebagian besar disebabkan adanya seleksi genetik dalam kelompok pemuliaan inti pada
perusahaan-perusahaan breeding (perbibitan) unggas dan proses transfer yang cepat kelebihan
ini ke persilangan ayam komersial. Di sisi lain, strategi pemuliaan unggas komersial saat ini
berkonsentrasi pada jalur produksi khusus, yang berasal dari seleksi intensif beberapa breed dan
populasi yang sangat besar dengan keseragaman genetik yang besar dari sifat-sifat yang sedang
diseleksi. Hal ini mengakibatkan erosi genetik untuk breed lokal yang tidak diseleksi, yang
biasanya kurang produktif dibandingkan breed hibrida sintetik (Notter, 1999; Besbes et al., 2008).
Populasi unggas pedesaan di sebagian besar negara mencapai lebih dari 60% dari total
populasi unggas nasional (Mogesse, 2007). Namun, perhatian tidak memadai, baik pada evaluasi
sumber daya unggas ini maupun penetapan tujuan pemuliaan yang realistis dan optimal untuk
peningkatannya. Akibatnya, banyak breed dengan produktivitas rendah berada pada risiko tinggi
kepunahan di bawah sistem produksi pedesaan (FAO, 2011; Hoffmann, 2011). Selain itu, ada
banyak breed ayam lokal yang bercirikan performa sedang atau rendah dan dipelihara dalam
populasi kecil (Gueye, 1997). Breed lokal ini menghadapi erosi genetik, yang dapat menyebabkan
hilangnya variabilitas genetik yang berharga dalam karakteristik tertentu (Romanov et al., 1996).
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah meminta
perhatian terhadap tren yang mengkhawatirkan hilangnya sejumlah besar breed ternak lokal, dan
juga memperkirakan 40 breed ayam telah punah (FAO, 2010a, 2010b). Menurut FAO (2007,
2011), sekitar 25% breed ayam menjadi subyek program konservasi; namun, informasi tentang
sifat atau efisiensi program ini masih diperdebatkan (Hoffmann, 2009, 2011; Pym, 2010). Sejalan
dengan itu, berdasarkan laporan yang dibuat oleh negara-negara kepada FAO, hanya 15%
negara (separonya adalah negara berkembang) yang memiliki program konservasi unggas,
mencakup 63% breed lokal dan 11% populasi nasional breed lintas negara (Singh dan Fotsa,
2011). Bank data global menunjukkan bahwa 195 spesies unggas dan breed (dimana 77% adalah
ayam, 9% itik, 9% angsa dan 3% kalkun) tunduk pada program konservasi, tetapi beberapa dari
data ini sudah kadaluarsa karena kurang di-update (Hoffmann, 2009; Pim, 2010). Untuk 70%
breed ini, maka angka populasi yang dikumpulkan adalah sebelum tahun 2000, sehingga
diperlukan sensus populasi baru lagi untuk memperbarui data ini (Hoffman, 2009).
Menjaga keanekaragaman hayati unggas adalah tujuan utama di setiap negara maju,
termasuk Italia, yang menempatkannya sebagai kepentingan utama. Namun, dalam seratus
tahun terakhir, jumlah breed lokal yang terancam punah telah meningkat secara dramatis,
menyebabkan hilangnya sumber daya genetik yang tidak dapat dipulihkan (Zanon dan Sabbioni,
2001). Alasan untuk tren negatif ini terutama terletak pada kenyataan bahwa hanya beberapa
breed yang dipilih untuk memaksimalkan hasil dan bahwa breed persilangan khusus untuk
berbagai output produksi dibuat (Bianchi et al., 2011). Konsekuensi dari hilangnya keragaman
genetik ini adalah bahwa empat puluh breed unggas tradisional yang dipelihara di Italia sampai
saat ini telah punah (Zanon dan Sabbioni, 2001). Saat ini, konservasi sumber daya genetik
unggas merupakan bagian dari kegiatan kelembagaan di banyak universitas di Italia dan dana
publik ditujukan juga untuk menghadapi ancaman kepunahan breed lokal ini.
Di negara berkembang, efek kehilangan genetik jauh lebih parah daripada di negara maju.
Seperti contoh di Turki, dengan meningkatnya urbanisasi, kontribusi breed komersial untuk
konsumsi daging unggas dan telur secara keseluruhan tumbuh semakin pesat (FAO, 2004b). Hal
ini telah memicu penggunaan hibrida komersial dan menyebabkan hilangnya genetik pada
spesies dan breed unggas lokal Turki. Tidak seperti Italia, strategi konservasi sumber daya
unggas Turki masih diperdebatkan dan kurang diperhatikan. Berdasarkan model Italia yang telah
terbukti menjadi contoh sukses konservasi unggas, maka strategi konservasi untuk breed unggas
dapat mencontoh strategi dari Italia. Penerima manfaat masa depan dari program konservasi
cenderung semakin menyebar ke seluruh dunia. Oleh karena itu, program konservasi harus
dianggap sebagai tanggung jawab internasional (Spalona et al., 2007).
Di Indonesia, ayam lokal atau kampung sering disebut “ayam buras” (buras). Istilah ini
bertujuan untuk membedakan antara ayam lokal dengan breed ayam komersial yang dihasilkan
dari persilangan yang terprogram secara sistematis, seperti strain Cobb, Hisex, Hubbard, Hybro,
Hyline dan Isa, yang telah dikenal dengan luas. Ayam lokal secara historis merupakan hasil
domestikasi empat jenis ayam hutan selama bertahun-tahun: ayam hutan merah (Gallus gallus),
ayam hutan hijau (Gallus varius), ayam hutan abu-abu India (Gallus soneratti) dan ayam hutan
jingga Ceylon (Gallus lavayetti). (Muladno, 2008).

Gambar 1a. Ayam hutan merah (Gallus gallus) (Sumber:


https://www.thainationalparks.com/species/red-junglefowl)

Gambar 1b. Ayam hutan hijau (Gallus varius) (Sumber : https://www.domesticforest.com/green-


junglefowl/)
Gambar 1c. Ayam hutan abu-abu (Gallus soneratti) (Sumber : https://birdsoftheworld.org/bow/
species/grejun2/cur/introduction)

Gambar 1d. Ayam hutan jingga Ceylon (Gallus lafayetti) (Sumber:


https://birdsoftheworld.org/bow/ species/grejun2/cur/introduction)

Saat ini, setidaknya ada 32 jenis ayam lokal di Indonesia, yaitu: Ayunai, Balenggek, Banten,
Bangkok, Burgo, Bekisar, Cangehgar (atau Cukir atau Alas), Cemani, Ciparage, Gaok, Jepun,
Kampung, Kasintu, Kedu (Kedu Hitam Putih), Pelung, Lamba, Maleo, Melayu, Merawang,
Nagrak, Nunukan, Nusa Penida, Olagan, Rintit atau Walik, Sedayu, Sentul, Siem, Sumatera,
Tolaki, Tukung dan Wareng (Nataamijaya, 2000). Ayam kampung adalah yang paling populer
dan dipelihara hampir di seluruh pelosok tanah air. Secara klasifikasi ilmiah, maka ayam dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia;
Filum : Chordata;
Kelas : Aves;
Ordo : Galliformes;
Familia : Phasianidae;
Genus : Gallus; dan
Species : Gallus gallus; Gallus various; Gallus soneratti; Gallus lavayetti

Ayam mempunyai jengger (comb) di atas kepala dan dua gelambir (wattles) di bawah
dagu. Dalam bahasa Latin, gallus artinya comb (jengger), jadi ayam hasil domestikasi dinamakan
Gallus gallus domesticus
Temuan menarik pada ayam lokal dilaporkan oleh Sulandari et al., (2007b) yang
menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu pusat utama domestikasi ayam di dunia.
Kerjasama penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
Lembaga Penelitian Peternakan Internasional (International Livestock Research Institute / ILRI)
menggunakan DNA mitokondria pada daerah D-loop Hypervariable 1 (HV1) ayam sebagai
penanda DNA. Rantai molekul DNA dengan 397 pasangan basa dari 15 ayam lokal Indonesia
(total sampel DNA diperoleh dari 484 individu ayam) diurutkan dan dianalisis. Sebanyak 69
haplotipe diidentifikasi. Data DNA ayam lokal Indonesia HV1 D-Loop bersama dengan data
serupa dari ILRI menunjukkan tiga pusat geografis utama asal usul ayam domestik saat ini, yaitu
anak benua India, Republik Rakyat Cina dan Indonesia. Indikasi ini berdasarkan data yang
menunjukkan bahwa sebagian besar ayam lokal Indonesia berada pada kelompok II, sebagian
besar ayam Cina berada pada kelompok IIIc dan IIId, dan sebagian besar ayam sub kontinen
India berada pada kelompok IV. Kelompok lainnya diwakili oleh sejumlah kecil haplotipe ayam
yang berasal dari berbagai negara.

a. b. c. d.
e. f. g. h.

Gambar 2. Beberapa contoh ayam lokal Indonesia yang cukup popular, diantaranya: a.
Ayam Kedu Hitam (ada yang menyebut ayam Cemani jika warna hitamnya sempurna; dari daerah
Temanggung, Jawa Tengah); b. Ayam Pelung (khas dari daerah Cianjur, Jawa Barat); c. Ayam
Nunukan (khas dari daerah Tarakan, Kalimantan Timur); d. Ayam Hitam Sumatra (Black Sumatra)
(berkembang di daerah Sumatra Barat); e. Ayam Kokok Balenggek (dari Sumatra Barat); f. Ayam
Merawang (dari Merawang, Pulau Bangka); g. Ayam Tolaki (dari daerah Konawe, Sulawesi
Tenggara); h. Ayam Bekisar (asal Jawa Timur).

Tujuan utama konservasi SDG Ternak adalah memelihara akses potensi genetik adaptif
masing-masing spesies dan selanjutnya untuk mempertahankan koleksi sumber penelitian yang
berharga saat ini (Notter, 1999). Manajemen pelestarian keragaman jangka panjang harus
didasarkan pada prinsip-prinsip seperti: (i) pemeliharaan populasi heterozigositas; (ii) konservasi
alel; dan (iii) konservasi kombinasi alel. Penerapan prinsip ini dan strategi pengembangan
konservasi unggas berbeda untuk variasi sumber genetik yang berbeda sesuai dengan tujuan
pemeliharaannya. Konservasi penting dilakukan untuk mempertahankan sumber genetik ternak
unggas. Alasan dari mempertahankan keragaman genetik adalah bahwa variasi genetik
mendukung perubahan evolusioner adaptasi dan seleksi buatan, meningkatkan mutu genetik dan
adaptasi terhadap faktor dan lingkungan yang memungkinkan. Reservoir genetik saat ini adalah
dasar bagi peningkatan nilai ekonomi, ilmiah dan sosiokultural di masa depan. (Delany, 2003).
Keberadaan keanekaragaman hayati (biodiversity) sangat terkait dengan konservasi sumberdaya
genetik ternak. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang berlimpah, di antaranya adalah
berbagai rumpun ayam, baik ayam lokal asli Indonesia maupun ayam lokal introduksi yang telah
lama beradaptasi di Indonesia. Beberapa rumpun ayam dan itik Indonesia merupakan
sumberdaya genetik yang masih perlu digali potensinya baik sebagai penghasil daging, telur
ataupun hobi (mewah). (Ismoyowati 2017).
Aktivitas awal untuk program konservasi adalah diskripsi sumber daya genetik yang
relevan, kedua pengembangan termasuk penilaian variasi genetik di dalam dan di antara
populasi. Untuk tujuan ini, FAO mengusulkan sebuah proyek yang berjudul “Measurement of
Domestic Animal Diversity' (MoDAD). Tujuan MoDAD adalah untuk mempromosikan deskripsi
molekuler komparatif, menggabungkan penanda molekuler standar untuk menilai
bangsa/galur/rumpun dan perbedaan genetik populasi; misalnya, satu set penanda genetik
mikrosatelit pada ayam antara lain: ADL158, 171, 176, 210, 267 dan MCW1, 4, 73 (Wimmers &
Weigend 2003). Sayangnya, banyak populasi menghilang bahkan sebelumnya dilakukan
inventarisasi/ karakterisasi fenotip dan analisis molekuler. Kegiatan ketiga adalah
memprioritaskan unit genetik untuk konservasi dan kegiatan akhirnya adalah menerapkan
strategi konservasi yang tepat. Kriteria dalam memilih breed dan populasi untuk konservasi: (i)
tingkat bahaya; (ii) spesies dalam bangsa; (iii) adaptasi terhadap lingkungan tertentu; (iv) nilai
ekonomi saat ini atau masa depan; (v) memiliki sifat unik yang mungkin menarik perhatian ilmiah;
(vi) nilai budaya atau sejarah; dan (vii) keunikan genetik (Ruane, 1999). Pada saat ini, konsep
keunikan genetik besar didasarkan pada perhitungan jarak genetik dengan menggunakan
penilaian molekuler. Penelitian Keragaman berfokus pada pengembangan Keragaman alel,
heterozigositas dan jarak genetik. Validitas data genetik yang dikumpulkan (dengan menghitung
frekuensi gen, heterozigositas dan nilai jarak genetik) untuk menggambarkan secara akurat
keragaman genetik sangat bergantung pada ukuran sampel, jumlah lokus dan representasi
genomnya, validitas populasi dan ukuran populasi (Ruane, 1999). FAO merekomendasikan
panduan untuk menilai keragaman genetik berbasis mikrosatelit.Strategi konservasi harus
didasarkan pada satu atau lebih dari prinsip genetik yaitu: 1). Menjaga alel (melestarikan semua
alel); 2). Pertahankan heterozigositas (pertahankan alel dalam keadaan heterozigot untuk
populasi hidup jangka panjang); dan 3). Pertahankan kombinasi allel (seperti pada breed, dan
kombinasi inilah yang mendefinisikan fenotip unik).

9.2. Konservasi In-situ


Definisi: “In situ conservation is the conservation of ecosystems and natural habitats and the
maintenance and recovery of viable populations of species in their natural surroundings and, in
the case of domesticated or cultivated species, in the surroundings where they have developed
their distinctive properties”. (Convention on Biological Diversity (CBD), 1992).
Konservasi in-situ adalah salah satu dari dua strategi konservasi dasar, di samping
konservasi ex-situ. Pasal 8 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) menetapkan konservasi in-
situ sebagai strategi konservasi utama, dan menyatakan bahwa tindakan ex-situ harus
memainkan peran yang mendukung untuk mencapai target konservasi. Konservasi in-situ
bertujuan untuk memungkinkan keanekaragaman hayati untuk mempertahankan dirinya dalam
konteks ekosistem dimana dia ditemukan.
Pendekatan pengelolaan in-situ dapat ditargetkan pada populasi spesies tertentu (berpusat
pada spesies) atau seluruh ekosistem (berbasis ekosistem). Secara tradisional, kawasan lindung
telah dilihat sebagai landasan konservasi in-situ. Pendekatan konservasi yang lebih
memungkinkan beradaptasi dengan situasi individu dan dapat diterapkan di luar kawasan
lindung, maka akan semakin mudah diterapkan.
Konservasi in-situ ('di lokasi'; 'di tempat') adalah seperangkat teknik konservasi yang
melibatkan penunjukan, pengelolaan, dan pemantauan keanekaragaman hayati di wilayah yang
sama dimana dia ditemukan. Konsep in-situ paling baik dipahami dibandingkan dengan
konservasi ex-situ. Teknik konservasi ex-situ ('off site') dilaksanakan jauh dari habitat alami target
konservasi. Kemudian, identifikasi inisiatif ex-situ menyisakan sedikit ruang untuk ambiguitas
(ragu-ragu) (misalnya kebun binatang, bank benih, penangkaran), sedangkan gagasan
konservasi in-situ mencakup spektrum (lingkup) situasi yang lebih luas, mulai dari penetapan
kawasan lindung hingga desain strategi pengelolaan berkelanjutan untuk habitat tertentu.
Pendekatan pengelolaan in-situ dapat ditargetkan pada populasi spesies tertentu
(pendekatan yang berpusat pada spesies), atau seluruh ekosistem (pendekatan berbasis
ekosistem). Kedua pendekatan tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu: untuk memungkinkan
keanekaragaman hayati mempertahankan dirinya sendiri dalam konteks ekosistem dimana
individu tertentu telah ditemukan, yaitu untuk memungkinkan suatu populasi spesies mereplikasi
(memperbanyak) diri dan mempertahankan potensinya untuk melanjutkan evolusi. Hal ini
memerlukan konservasi komponen sistem alam (populasi, spesies, komunitas, dan sistem
biofisik) serta proses ekologi dan evolusi yang terjadi di dalam sistem tersebut. Tindakan
konservasi ditujukan pada lingkungan dimana spesies target mengembangkan sifat khasnya. Ini
bisa menjadi habitat alami, atau lingkungan yang banyak dimodifikasi oleh aktivitas manusia.
Misalnya, spesies pertanian atau domestik mungkin telah mengembangkan sifat-sifat
karakteristik di lingkungan yang didominasi manusia. Oleh karena itu, konservasi
keanekaragaman hayati pertanian memerlukan konservasi agroekosistem oleh petani, umumnya
menggunakan praktik pertanian tradisional.
Contoh inisiatif konservasi in-situ, yakni Kawasan lindung adalah landasan konservasi in-
situ, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 8 CBD. Jaringan kawasan lindung dapat berkontribusi
pada target konservasi melalui pemeliharaan spesies target dan habitatnya, serta konservasi
ekosistem alami atau semi-alami. Namun, ada kesadaran yang tumbuh tentang pentingnya
memperluas konservasi in-situ di luar kawasan lindung (Newmark 2008; Primack 2012). Konteks
sosial ekonomi dan politik di sekitar habitat yang terancam dapat mencegah pembentukan atau
keberhasilan kawasan lindung, dan pengembangan alternatif in-situ pendekatan pengelolaan
konservasi mungkin terbukti lebih berguna dalam situasi ini. Misalnya, terlihat bahwa
perlindungan terumbu karang Indonesia dapat ditingkatkan melalui penerapan rencana
pengelolaan yang mencakup siklus pengambilan sumber daya terumbu secara terbuka dan
tertutup di lokasi yang ditentukan 7. Inisiatif in-situ di luar kawasan lindung dapat mencakup
(Heywood & Dulloo, 2005; Newmark 2008):
1. Restorasi habitat, pemulihan atau rehabilitasi;
2. Strategi pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hayati secara berkelanjutan;
3. Program pemulihan untuk spesies liar yang terancam atau hampir punah secara nasional
atau sub-nasional;
4. Konservasi keanekaragaman hayati pertanian pertanian yang ditargetkan pada varietas
tanaman tradisional dan kerabat liar tanaman
5. Konservasi cadangan genetik, mis. pemantauan keragaman genetik pada populasi alam
liar di dalam kawasan yang didelineasi (dikenal sebagai suaka genetik atau zona
pengelolaan gen)
6. Pengendalian ancaman terhadap keanekaragaman hayati seperti spesies asing invasif,
organisme hasil modifikasi atau eksploitasi berlebihan;
7. Pelestarian dan pemeliharaan pengetahuan dan praktik tradisional; dan
8. Implementasi peraturan, perundang-undangan, pengelolaan atau kerangka kerja lain
yang diperlukan untuk memberikan perlindungan spesies atau habitat.
Hubungan konservasi in-situ dan ex-situ secara historis, konservasi in-situ adalah
pendekatan konservasi keanekaragaman hayati yang lebih disukai daripada konservasi ex-situ.
Tindakan in-situ dianggap lebih holistik dalam pendekatan konservasi dan memungkinkan
konservasi proses atau habitat yang tidak dapat dilindungi melalui tindakan ex-situ (misalnya
proses mikroba tanah, proses evolusi, ekosistem tertentu seperti terumbu karang atau spesies
dengan kebutuhan yang sangat khusus). Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) mengakui
peran saling melengkapi dari kedua strategi konservasi (in-situ dan ex-situ) tersebut. Pasal 8 dan
9 CBD, masing-masing mengatur pedoman untuk penggunaan tindakan in-situ dan ex-situ.
Secara khusus, CBD menetapkan bahwa fasilitas dan teknik ex-situ sebagian besar harus
diterapkan untuk tujuan melengkapi dan mendukung tindakan in-situ.

9.3. Konservasi Ex-situ


Definisi: “The conservation of components of biological diversity outside their natural
habitats”. (Convention on Biological Diversity (CBD), 1992).
Konservasi ex-situ ('off site') adalah seperangkat teknik konservasi yang melibatkan
pemindahan spesies target dari habitat aslinya. Ini adalah salah satu dari dua strategi konservasi
dasar, di samping konservasi in-situ. Teknik ex-situ dapat meliputi: penyimpanan benih,
penangkaran, penyimpanan pertumbuhan lambat, dan penyimpanan DNA.
Tujuan utama dari koleksi ex-situ adalah penyelamatan dan pelestarian materi genetik yang
terancam dan pemuliaan spesies untuk reintroduksi dalam kasus di mana kelangsungan hidup
spesies di habitat aslinya terancam. Konservasi ex-situ menjadi dasar dari Pasal 9 Konvensi
Keanekaragaman Hayati (CBD), yang menggarisbawahi bahwa hal itu harus selalu dilaksanakan
sebagai pendekatan pelengkap (dan bukan sebagai alternatif) untuk konservasi in-situ.
Tindakan ex-situ sebaiknya diterapkan di negara asal spesies.
Konservasi ex-situ ('di luar lokasi', 'tidak pada tempatnya') adalah serangkaian teknik
konservasi yang melibatkan pemindahan spesies target dari habitat aslinya ke tempat yang
aman, seperti kebun binatang, kebun raya, atau benih. bank. Tujuan utamanya adalah untuk
mendukung konservasi dengan memastikan kelangsungan hidup spesies yang terancam dan
pemeliharaan keragaman genetik terkait. Untuk melakukannya, lembaga ex-situ melestarikan
materi genetik atau reproduksi spesies target, atau merawat spesies target hidup untuk tujuan
reintroduksi. Dalam bentuknya yang disederhanakan, konsep ini disamakan dengan bahtera Nuh,
dimana spesies dipelihara di tempat yang aman sampai faktor-faktor yang mengancam
keberadaan mereka di alam liar telah disingkirkan dan kemungkinan pelepasliaran kembali akan
berhasil.
Teknik konservasi ex-situ menargetkan populasi tumbuhan dan hewan. Teknik bervariasi
sesuai dengan karakteristik spesies yang akan diawetkan, yang menentukan jenis bahan yang
akan diawetkan (misalnya hewan utuh, serbuk sari, biji). Koleksi tanaman ex-situ dilakukan
dengan menyimpan benih, melestarikan serbuk sari dan melalui penyimpanan pucuk tanaman
dalam kondisi pertumbuhan lambat atau tersuspensi (konservasi in vitro). Teknik ex-situ yang
berlaku untuk populasi hewan meliputi penyimpanan embrio, semen/ovule/DNA, atau
penangkaran melalui pendirian bank gen lapangan dan taman ternak. Perdebatan yang
berkembang seputar teknik ex-situ, adalah tentang banyak pertimbangan kapan tindakan ex-situ
tepat dan dibenarkan. Khususnya program penangkaran dan reintroduksi yang telah memicu
kontroversi karena, antara lain: kesulitan dalam membangun populasi penangkaran mandiri,
biaya tinggi yang terlibat dalam program penangkaran, keberhasilan upaya reintroduksi yang
buruk dan efek genetik negatif domestikasi pada tingkat reproduksi. Namun, beberapa spesies
lebih rentan terhadap program penangkaran daripada yang lain. Misalnya, hilangnya spesies
amfibi secara global terutama ditangani melalui penangkaran karena ukuran tubuh yang kecil,
persyaratan pemeliharaan yang rendah, pembiakan berulang dan fekunditas katak yang tinggi
memungkinkan peningkatan populasi penangkaran yang cepat.
Teknik ex-situ diimplementasikan dalam situasi yang terdefinisi dengan baik agar:
1. Dapat melindungi populasi atau individu yang berada dalam bahaya kehancuran fisik
ketika perlindungan in-situ tidak memungkinkan;
2. Untuk melindungi populasi yang berada dalam bahaya kerusakan genetik;
3. Untuk memastikan ketersediaan bahan reproduktif yang terus menerus tersedia, baik
dengan menciptakan sumber produksi atau melalui penyimpanan;
4. Untuk memungkinkan perbaikan komersial suatu spesies melalui kegiatan pemuliaan dan
pasokan materi reproduksi yang ditingkatkan secara genetik.
Beberapa studi kasus terkenal telah menunjukkan bahwa tindakan konservasi ex-situ
dapat memainkan peran penting dalam mencegah kepunahan spesies, misal pengenalan
kembali kijang Arab ke Arab Saudi. Penciptaan 'koloni jaminan' dan 'populasi jaring pengaman'
untuk spesies yang terancam punah dan sangat terancam punah, telah menyebabkan
tindakan ex-situ disamakan dengan polis asuransi terhadap kepunahan. Strategi seperti itu,
misalnya, digunakan untuk mengatasi krisis kepunahan kura-kura global.
Lembaga ex-situ dan kontribusi mereka terhadap konservasi in-situ.
Biorepositori seperti bank gen secara eksplisit memiliki mandat ex-situ. Institusi lain seperti
kebun binatang dan kebun raya semakin berperan sebagai reservoir (cadangan) genetik terhadap
kepunahan dan penangkaran untuk program re-introduksi di masa depan. Institusi memanfaatkan
koleksi ex-situ mereka secara maksimal dengan menggunakannya dalam spektrum kegiatan
konservasi yang lebih luas, yaitu: melalui produksi dan asimilasi bahan untuk penelitian,
pendidikan konservasi dan peningkatan kapasitas. Penggunaan konservasi ex-situ
direkomendasikan jika konservasi in-situ, alternatif konservasi yang lebih baik, tidak tersedia atau
tidak berfungsi untuk waktu dekat kelangsungan hidup suatu spesies. Konservasi in-situ (“on
site”) mengacu pada teknik konservasi yang diterapkan di area yang sama di mana target
konservasi (spesies, ekosistem, populasi) ditemui. Meskipun konservasi ex-situ dan in-situ
secara historis diperlakukan sebagai strategi konservasi yang berbeda, kedua metode tersebut
dilaksanakan secara kooperatif dalam rencana konservasi regional untuk mencapai tujuan
konservasi keanekaragaman hayati secara lebih efektif. Langkah-langkah in-situ adalah
pendekatan konservasi utama karena mereka memberikan strategi yang lebih holistik untuk
konservasi, dengan memungkinkan konservasi lebih mudah dari sejumlah besar proses ekologi
dan evolusi.
Konvensi dan pedoman utama
Pasal 9 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) menyatakan bahwa tindakan ex-situ
sebagian besar harus dilaksanakan untuk tujuan melengkapi tindakan in-situ, seperti sistem
kawasan lindung. Pedoman teknis dan strategi dalam penggunaan teknik ex-situ telah
dikembangkan oleh lembaga konservasi terkemuka seperti International Union for the
Conservation of Nature (IUCN 2002, Maunder and Byers 2005), Botanic Gardens Conservation
Initiative, Center for Plant Conservation dan World Zoo Conservation Strategy. Panduan
tambahan disediakan oleh Pasal 9 CBD. Pedoman ini bertujuan untuk:
1. Mengklarifikasi kapan inisiatif ex-situ diperlukan untuk melengkapi tindakan konservasi in-
situ; dan
2. Memperjelas peran tindakan ex-situ yang harus dimainkan dalam rencana aksi global
spesies yang terancam punah atau sangat terancam punah.

Ringkasan
Bahwa konservasi atau perlindungan terhadap kekayaan genetik adalah suatu hal yang
penting dikarenakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan di bumi, baik
di masa sekarang maupun di masa depan. Namun, sayangnya peningkatan kehilangan SDGH
hanya diamati untuk spesies hewan yang sebagian besar digunakan untuk pertanian, terutama
sumber daya genetik unggas, yang dianggap termasuk yang paling terancam punah. Di sisi lain,
strategi pemuliaan unggas komersial saat ini berkonsentrasi pada jalur produksi khusus, yang
berasal dari seleksi intensif beberapa breed dan populasi yang sangat besar dengan
keseragaman genetik yang besar dari sifat-sifat yang sedang diseleksi. Hal ini mengakibatkan
erosi genetik untuk breed lokal yang tidak diseleksi, yang biasanya kurang produktif dibandingkan
breed hibrida sintetik.
Ada berbagai cara untuk melestarikan (konservasi) keanekaragaman hayati (genetic):
1. Konservasi in-situ: Tidak mungkin untuk melestarikan seluruh keanekaragaman hayati,
sehingga “titik api” tertentu diidentifikasi dan dilestarikan untuk melindungi spesies yang
endemik di habitat tertentu dan terancam, terancam punah atau berisiko tinggi punah.
Misalnya. suaka margasatwa, taman nasional.
2. Konservasi ex-situ: Tumbuhan dan hewan yang terancam diambil dari habitat aslinya dan
disimpan di tempat khusus untuk memberi mereka perawatan dan perlindungan khusus.
Misalnya. kebun raya, kebun binatang, safari satwa liar dll.
Saat ini, setidaknya ada 32 jenis ayam lokal di Indonesia, yaitu: Ayunai, Balenggek, Banten,
Bangkok, Burgo, Bekisar, Cangehgar (atau Cukir atau Alas), Cemani, Ciparage, Gaok, Jepun,
Kampung, Kasintu, Kedu (Kedu Hitam Putih), Pelung, Lamba, Maleo, Melayu, Merawang,
Nagrak, Nunukan, Nusa Penida, Olagan, Rintit atau Walik, Sedayu, Sentul, Siem, Sumatera,
Tolaki, Tukung dan Wareng (Nataamijaya, 2000). Ayam kampung adalah yang paling populer
dan dipelihara hampir di seluruh pelosok tanah air. Oleh karenanya, pemerintah dan masyrakat
harus sadar dan bahu membahu untuk dapat melestarikan kekayaan hayati ayam local Indonesia
ini agar potensi hayati ini bisa tetap dimanfaatkan untuk generasi yang akan dating.

Soal Latihan:
1. Apa yang dimaksud dengan Konservasi Genetik atau kekayaan hayati ?
2. Ada berapa teknik dalam konservasi genetik dan jelaskan dengan singkat masing-masing
teknik tersebut !
3. Jelaskan hubungan kedua teknik tersebut agar berhasil dalam konservasi genetik !
4. Untuk ayam lokal Indonesia sangat penting untuk dilestarikan. Mengapa, jelaskan dengan
singkat !
5. Jelaskan mengapa strategi konservasi genetik ayam lokal di Italia cukup berhasil
dibandingkan dengan Turki !

Daftar Pustaka
Besbes B., Tixier-Boichard M., Hoffmann I., and Jain G.L. 2008. Future trends for poultry genetic
resources. Proc. Int. Conf. Poultry Twenty first Cent.: avian influenza and beyond, Bangkok,
Thailand. Avaialble from ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/011/i0323e/i0323e.pd
Bianchi M., Ceccobelli S., Landi V., Di Lorenzo P., Lasagna E., Ciocchetti M., ahin E., Mugnai C.,
Panella F., and Sarti F.M. 2011. Microsatellites-based survey on the genetic structure of two
Italian local chicken breeds. Ital. J. Anim. Sci. 10:205-211.
CBD [Convention on Biological Diversity] 1992. Convention on Biological Diversity Article 2. Use
of Terms. Secretariat of the Convention on Biological Diversity, Montreal, Canada.
FAO, 2004b. Turkey country report on farm animal genetic resources. FAO ed., Roma, Italy.
Available from: ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/010/a1250e/annexes/CountryReports/Turkey.pdf
FAO, 2007. The state of the world’s animal genetic resources for food and agriculture, Rome,
Italy. FAO ed., Roma, Italy. Available from: www.fao.org/docrep/010/a1250e/a1250e00.htm
FAO, 2009. Poultry policies, legislation and strategies in Uganda. FAO ed., Roma, Italy. Available
from: http://www.fao.org/docrep/013/al691e/al691e00.pdf
FAO, 2010a. Adding value to livestock diversity. Marketing to promote local breeds and improve
livelihoods. Available from: http://www.fao.org/docrep/012/i1283e/i1283e00.htm
FAO, 2010b. Breeding strategies for sustainable management of animal genetic resources. FAO
animal production and health guidelines no. 3. FAO ed., Roma, Italy. Available from:
http://www.fao.org/docrep/012/i1103e/i1103e.pdf
FAO, 2011. Developing the institutional framework for the management of animal genetic
resources. FAO animal production and health guidelines no. 6. FAO ed., Roma, Italy.
Available from: http://www.fao.org/docrep/014/ba0054e/ba0054e00.pdf
Gueye, E.F. 1997. Diseases in village chickens: control through ethno-veterinary medicine. ILEIA
Newsletter 13:20-21.
Hoffmann, I. 2009. The global plan of action for animal genetic resources and the conservation of
poultry genetic resources. World Poultry Sci. J. 65:286-297.
Hoffmann, I. 2011. The global plan of action for animal genetic resources. pp 1-4 in Proc. 8th
Global Conf. RBI on Conserv. Animal Gen. Res., Tekirda, Turkey.
Ismoyowati. 2017. Keragaman genetik dan konservasi unggas lokal. Prosiding Seminar
Teknologi Agribisnis Peternakan (STAP) Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal
Soedirman, 5, 12 - 22. http://jnp.fapet.unsoed.ac.id/index.php/psv/article/view/12.
IUCN .2002. Technical Guidelines on the Management of Ex-situ populations for Conservation.
International Union for the Conservation of Nature, Gland, Switzerland.
Maunder M and Byers O. 2005. The IUCN Technical Guidelines on the Management of Ex Situ
Populations for Conservation: reflecting major changes in the application of ex situ
conservation. Oryx 39:95–98.
Mogesse, H.H. 2007. Phenotypic and genetic characterization of indigenous chicken populations
in northwest Ethiopia. Degree Diss., University of the Free State, Bloemfontein, South Africa.
Muladno. 2008. Local chicken genetic resources and production systems in Indonesia.
http://www.fao.org/3/al695e/al695e00.pdf. Diakses 20 Agustus 2021.
Newmark WD (2008) Isolation of African protected areas. Front Ecol Environ 6: 321–328.
Notter, D. 1999. The importance of genetic diversity in livestock populations of the future. J. Anim.
Sci. 77:61-69.
Primack RB (2012) Conservation Outside Protected Areas. In: Primack RB (ed) A Prim. Conserv.
Biol., 5th ed. Sinauer Associates, Massachusetts, USA, pp 256–281
Pym, R. 2010. Poultry genetics and breeding in developing countries: genetic diversity and
conservation of genetic resources. FAO Publ., Roma, Italy. Available from:
http://www.fao.org/docrep/013/al728e/al728e00.pdf
Romanov, M.N. Wezyk S. Cywa-Benko K. Sakhatsky N.İ. 1996. Poultry genetic resources in the
countries of Eastern Europe: history and current state. Poult. Avian Biol. Rev. 7:1-29.
Ruane, J. 1999. A critical review of the value of genetic distance studies in conservation of animal
genetic resources. Journal of Animal Breeding and Genetics 116, 317–323.
Singh D.P. and Fotsa J.C. 2011. Opportunities of poultry breeding programmes for family
production in developing countries: the bird for the poor. FAO Publ., Roma, Italy.
Spalona A., Ranvig H., Cywa-Benko K., Zanon A., Sabbioni A., Szalay I., Benková J.,
Baumgartner J., and Szwaczkowski T. 2007. Population size in conservation of local chicken
breeds in chosen European countries. Arch. Geflügelkd. 71:49-55.
Weigend S., Romanov M.N., and Rath D. 2004. Methodologies to identify evaluate and conserve
poultry genetic resources. Available from:
http://infpd.net/filemanager/upload/research/as1340428969ht.pdf
Zanon A. and Sabbioni A. 2001. Identificazione e salvaguardia genetica delle razze avicole
Italiane. Annali della Facoltà di Medicina Veterinaria di Parma 21:117-134.

Anda mungkin juga menyukai