PENDAHULUAN
1
Senyawa aflatoksi yang dihasikan oleh jamur A. flavus memiliki sifat yang tahan
panas atau tidak rusak pada saat dipanaskan. Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) yang ditetapkan pada tahun 2009 untuk jenis dan batas
maksimum kandungan mikotoksin dalam makanan produk olahan bahan baku
jagung, yaitu 20 ppb (BPOM, 2009). Cemaran senyawa aflatoksin pada biji
jagung mengakibatkan terjadinya kerugian pada petani jagung dan gangguan
kesehatan pada hewan dan manusia, sehingga perlu adanya upaya pengendalian
dalam mencegah dan menghambat pertumbuhan A. flavus.
Senyawa aflatoksin merupakan senyawa bifuran, non polar dan tahan
terhadap panas (Watson, 1993; Janssen et al., 1997). Upaya pengendalian secara
fisik diantaranya adalah dengan pemanasan betekanan tinggi (Novia, 1994).
Sedangkan secara kimia dengan memberikan perlakuan bahan-bahan kimia,
seperti natrium kalsium alumuniumsilikat, kombinasi asam propionat dan nisin
(Paster et al., 1999). Pencegahan secara fisik dan kimia ini disamping
memerlukan biaya yang mahal, diduga juga dapat meninggalkan residu senyawa
kimia yang mungkin berbahaya bagi kesehatan hewan dan manusia (Stanley, et
al., 1993).
Upaya pencegahan kontaminasi senyawa aflatoksin pada bahan pangan
dan pakan lebih efektif dilakukan untuk mencegah pertumbuhan A. flavus
pencegahan secara fisik dapat dilakukan dengan penurunan kadar air pada bahan,
penurunan suhu dan modifikasi ruang simpan, sedangkan secara kimia dengan
pemberian desinfektan, zat asam dan basa. Pengendalian secara kimia
memerlukan biaya yang tidak sedikit, karena mahalnya zat-zat kimia yang
diperlukan. Selain itu ditingkat petani sulit untuk dilakukan, sehingga perlu
dilakukan pengendalian secara biologi.
Pengendalian A. flavus secara biologi, yaitu dengan menggunakan salah
satu jamur antagonis yang mampu menghambat pertumbuhan A. flavus. Menurut
Roostita (2002) pencegahan secara biologi lebih efektif, dibandingkan secara fisik
dan kimia, karena secara biologi diasumsikan biaya yang diperlukan cukup
murah. Mengingat pertumbuhan mikroba relative cepat dengan waktu generasi
yang singkat sehingga mampu diproduksi skala besar.
2
Rhizopus sp. merupakan jamur yang tidak bersifat patogen, jamur ini
sering digunakan untuk proses fermentasi bahan pangan menjadi produk yang
memiliki nilai gizi tinggi, seperti kedelai yang difermentasi menggunakan ragi
Rhizopus sp. menjadi tempe. Nursadin dan Supriyanto (2012) melaporkan bahwa
hasil isolasi jamur yang bersifat antagonis pada jamur patogen adalah Rhizopus
sp., dimana jamur ini memiliki kemampuan berkompetisi yang tinggi dan mampu
menghambat pertumbuhan jamur patogen. Hasil penelitian menunjukkan
Rhizopus sp. mampu menghambat Fusarium oxysporum sebesar 60%, sehingga
Rhizopus sp. ini dapat dijadikan biokompetitor bagi Aspergillus flavus dan dapat
mencegah kontaminasi aflatoksin.
Penelitian ini mencoba untuk menggali potensi dari Rhizopus sp. dalam
mengendalikan pertumbuhan A. flavus penyebab kontaminasi senyawa aflatoksin
pada pipilan jagung sebagai bahan rujukan untuk petani agar kualitas jagung yang
dihasilkan tetap memenuhi persyaratan mutu pangan.
3
3. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi kultur filtral Rhizopus sp.
terhadap populasi A. flavus FNCC6109 pada pipilan jagung.
1.4. Manfaat Penelitian
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
5
aflatoksin dan mengalami perubahan warna pada biji jagung seperti disajikan pada
gambar 2.1.
Jenis jamur A. flavus merupakan salah satu kelompok jamur yang dapat
mengkontaminasi senyawa aflatoksin pada biji-bijian. Jenis jamur ini
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Myceteae
Divisi : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Eurotiales
Famili : Trichocomaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus flavus L.
Koloni A. flavus secara makrokopis berwarna hijau kekuningan dan
umumnya memiliki diameter 3-6 m (Fassatiova, 1986). Secara mikrokopis
perbedaan yang mendasar dengan jenis Aspergillus lainnya adalah pada bentuk
vesikel.
6
a
7
2.3. Aflatoksin
8
Beberapa pengaruh efek yang berbeda pada manusia dan hewan apabila
mengkonsumsi senyawa aflatoksin, yaitu tergantung pada jenis kelamin, dosis
aflatoksin yang termakan, spesies yang terkena aflatoksin dan lamanya jenis
makanan yang terpapar oleh aflatoksin (Krausz, 2001). Senyawa aflatoksin yang
dihasilkan oleh A. flavus terhadap makanan disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu kelembaban, suhu, pH, kadar air, dan subtrat. A. flavus umumnya
memproduksi senyawa aflatoksin B dan G (Heathcote, 1984). A. flavus
memproduksi senyawa aflatoksin pada suhu optimum 24-28o C (Jay, 1996).
Permasalahan kontaminasi aflatoksin pada biji-bijian, bahan pangan dan pakan ini
telah dilakukan berbagai cara untuk mengurangi kandungan senyawa aflatoksin,
baik secara fisik, kimia dan biologi. Secara fisik untuk menghilangkan senyawa
aflatoksin dengan melakukan radiasi dan pemanasan. Secara kimia dengan
perlakuan asam, basa dan bisulfir, sedangkan secara biologi dengan cara
mengendalikan pertumbuhan A. flavus menggunakan mikroba antagonis
(Heathcote, 1984).
Aflatoksin tidak dapat diproduski oleh A. flavus, apabila aktivitas air (aw)
yaitu 0,83 - 0,87, namun pertumbuhan A. flavus dapat tumbuh pada aw yang lebih
rendah dari 0.83 (Bullermen, et al., 1984). Aflatoksin memiliki sifat yang berbeda
dengan toksik yang diproduksi oleh bakteri. Toksik yang diproduksi oleh jamur
relatif lebih stabil apabila diberi perlakuan pemanasan (Tabel 2.1.).
Tabel 2.1. Beberapa sifat fisik aflatoksin B1 dan aflatoksin B2.
(Sumber : (Heathcote, 1984).
Aflatoksin RM BM Titik Cair (oC)
B1 C17H12O6 312 268-269
B2 C17H14O6 314 286-289
9
jagung dari petani, pengumpul dan pedagang terdeteksi cemaran senyawa
aflatoksin yang bervariasi, yaitu dari 115 sampel yang digunakan diantaranya
adalah 27 sampel (23%) tidak terdeteksi aflatoksin, sedang 48 sampel (42%)
dengan cemaran aflatoksin < 20 ppb, 26 sampel (23%) dengan cemaran 20 – 100
ppb, dan 14 sampel (12%) dengan cemaran >100 ppb. Hasil uji diperoleh bahwa 6
sampel memiliki cemaran aflatoksin > 300 ppb, dengan cemaran tertinggi adalah
sekitar 350 ppb.
Akibat efek yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia dan hewan,
suatu lembaga Food and Drug Administration (FDA) yang bertanggungjawab
terhadap keamanan makanan, obat dan kosmetik mengeluarkan kadar maksimum
senyawa aflatoksin yang dizinkan adalah sebesar 20 ppb (Shanhan and Brown,
2001), Sedangkan suatu lembaga di Indonesia, yaitu Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) RI mengeluarkan kadar aflatoksin pada jagung dan produk
olahan jagung seperti tabel 2.2.
Tabel 2.2 Batas maksimum aflatoksin pada produk jagung dan olahan jagung
(BPOM RI, 2009).
No Jenis Pangan Batas Aflatoksin
Jenis (ppb) Total
1 Lemak, Minyak dan Emulsi Minyak :
-Minyak Jagung B1 20 35
2 Sereal dan Produk Sereal Termasuk
Tepung dan Pati dari Akar-akaran dan
Umbi-umbian, Kacang-kacangan dan
Polong-polongan :
- Biji Jagung] B1 20 35
- Tepung Jagung] B1 20 35
- Pati Jagung B1 20 35
- Makanan Cereal B1 20 35
3 Makanan Ringan Siap Makan :
-Pop corn B1 20 35
4 Lain-lain:
- Pangan Olahan Lain yang
Mengandung Jagung B1 20 35
10
2.4 Rhizopus sp.
a
b
\
b
11
digunakan. Uji aktivitas aktioksidan pada tempe kedelai hitam dari tiga inokulum
memiliki hasil aktivitas antioksidan yang berbeda (Nurrahman, 2012).
Jamur Rhizopus sp. memiliki kemampuan berkompetisi dengan
mikroorganisme lain. Nursadin et al. (2012) melaporkan bahwa hasil isolasi jamur
yang bersifat antagonis pada jamur pathogen adalah Rhizopus sp., dimana jamur
ini memiliki kemampuan berkompetisi yang tinggi dan mampu menghambat
pertumbuhan pathogen. Hasil uji daya hambat terhadap Fusarium oxysporum
bahwa Rhizopus sp. mampu menghambat pertumbuhannya, namun daya hambat
yang dihasilkan kurang dari 60%. Hal yang sama dilaporkan Kusumaningtyas et
al., (2009) Rhizopus sp. mampu menurunkan kadar senyawa aflatoksin B1.
Aflatoksin B1 merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh A.
flavus. Penurunan senyawa aflatoksin B1 juga diperngaruhi oleh lama inkubasi.
12
memenangkan nutrisi, jamur antagonis juga melakukan antibisosis. Antibiosis
merupakan antagonisme melibatkan metabolit, seperti enzim, lisis, toksin dan
senyawa folatil dan non folatil. Metabolit yang dihasilkan ini berperan penting
dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen (Chet, et al., 2005).
13
III. METODE PENELITIAN
Rhizopus sp. diperoleh dari sampel tempe merk tempe super yang diambil
secara aseptik di pedagang tempe di Pasar Tradisional Badung.. Sampel diambil
sebanyak 1 Kg lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik steril dan diletakkan
dalam cool box, selanjutnya dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan tahap
isolasi.
3.3. Isolasi Rhizopus sp. pada Sampel pada Tempe
14
Hocking 1997. Jamur yang menunjukkan ciri-ciri Rhziopus sp. selanjutnya re-
isolasi sampai mendapatkan kultur murni.
3.4. Identifikasi Rhizopus sp.
15
3.6. Uji Daya Hambat Rhizopus sp. terhadap Pertumbuhan A. flavus
FNCC6109.
Uji daya hambat Rhizopus sp. secara in vitro dilakukan dengan metode
dual culture. Perlakuan uji daya hambat dilakukan dengan ulangan sebanyak 4
kali. Adapun cara kerja dari metode dual culture adalah biakan Rhizopus sp. dan
A. flavus FNCC 6109 diambil dengan cork borer diameter 5 mm dan jarum enten.
Kedua koloni ditumbuhkan berdampingan dengan jarak 3 cm dalam satu cawan
Petri yang berisi media PDA, kemudian diinkubasi pada suhu 28oC dan diukur
diameter koloni selama 4 hari. Setelah itu dibuat kontrol dengan cara yang sama,
namun hanya ditumbuhkan satu jenis jamur saja. Pengaruh antagonisme Rhizopus
sp. terhadap A. flavus FNCC6109 dapat diketahui dengan perhitungan PIRG
(Percentage Inhibition of Radial Growth). (Singh and Vijay, 2011) :
3.7. Uji Daya. Hambat Kultur Filtrat Rhizopus sp. terhadap Pertumbuhan
A. flavus FNCC 6109
Disiapkan botol yang berisi 100 mL media PDB (Potato Dextorsa Broth)
lalu diinokulasi dengan Rhizopus sp. yang memiliki potensi dalam menghambat
pertumbuhan A. flavus FNCC 6109, kemudian diinkubasi selama 3, 4 dan 5 hari
pada suhu 28oC. Setelah masa inkubasi berakhir kultur filtrat Rhizopus sp. di
ujikan secara in vitro dalam menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109. Uji
ini diawali dari persiapan kulur filtrat Rhizopus sp. kemudian diambil suspensi
kultur filtrat Rhizopus sp. sebanyak 1 mL pada cawan Petri, lalu tuangkan media
PDA, dibiarkan hingga memadat. Selanjutnya diambil koloni A. flavus
FNCC6109 dengan menggunakan cork borer diameter 5 mm dan diinkubasi
16
selama 4 hari. Setelah itu dibuat kontrol dengan cara ditumbuhkannya koloni A.
flavus FNCC6109 pada media PDA tanpa diberikan kultur filtrate Rhizopus
Pengaruh kultur filtrat dapat diketahui dengan mengukur luas koloni A. flavus
FNCC6109 menggunakan rumus :
Disiapkan cawan Petri steril yang telah berisi media PDA padat, tepat
ditengah cawan Petri ditanam koloni jamur A. flavus dengan diameter 5 mm,
selanjutnya di inkubasi pada suhu kamar selama 3 - 4 hari. Koloni yang tumbuh
ditetesi air steril sebanyak 5 mL, lalu diusap-usapkan dipermukaan koloni dengan
menggunakan Spatula. Cairan yang telah berisi spora selanjutnya diambil dengan
menggunakan pipet Pasteur lalu ditampung ke dalam botol steril. Untuk
mengetahui kerapatan spora pada suspense dilakukan perhitungan dengan
menggunakan Hemasitometer. Adapun cara kerjanya adalah disiapkan suspensi
spora, kemudian ditetesi sedikit pada petak hitung Hemasitometer dan ditutup
dengan cover glass selanjutnya diamati secara mikrokopis dan dihitung
menggunakan konter. Kerapatan spora dapat dihitung dengan rumus (Sriyanti et
al., 2015) :
17
3.8.2. Prosedur pemberian kultur filtrat Rhizopus sp. pada pipilan jagung
18
yang yang tumbuh, kemudian dikalikan faktor pengenceran. Sehinnga diperoleh
jumlah populasi A. falvus FNCC6109 dengan satuan CFU/g (Colony Forming
Unit per Gram).
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
20
Sn
Sn
R
A B R
Gambar 4.1. A. Morfologi koloni Rhizopus sp. pada media PDA dengan masa
inkubasi 3 hari dengan suhu 28ºC.
B. Struktur mikroskopis Rhizopus sp. dibawah mikroskop binokuler
pada pembesaran 400x, Tanda S = Sporangium; SP =
Sprongiofor; Sn = Stolon; R = Rhizoid
Tabel 4.1. Hasil pengamatan makroskopik dan mikroskopik Rhizopus sp. masa
inkubasi 4 hari pada medium PDA.
Karakter Morfologi Keterangan
Makroskopik
a. Warna koloni Putih keabun
b. Warna sebalik koloni Putih
c. Tekstur koloni Cattony
d. Garis radial Tidak ada
e. Growing zone Ada
f. Zonasi Tidak ada
Mikroskopik
a. Jenis hifa Tidak bersepta
b. Stolon Ada
c. Sporangium Bulat
d. Rhizoid Ada
e. Stolon Ada
4.2. Pengamatan Morfologi Aspergillus flavus FNCC6109
21
morfologi koloni A. flavus FNCC6109 yang telah ditumbuhkan selama 5 hari
pada media PDA diperoleh koloni berwarna hijau, diameter koloni 5 cm, koloni
bertekstur granular, terdapat growing zone, exudaote drops, tidak terdapat radial
dan terdapat zonasi pada koloni. Sedangkan untuk pengamatan secara
mikroskopik melalui pembesaran 40×10, Aspergillus flavus FNCC6109
memperlihatkan konidia berbentuk bulat, terdapat fialed, memiliki vesikel
berbentuk bulat, berukuran 24,53µm, konidiofor tunggal, dengan panjang
116,99µm dan memiliki sel kaki yang berukuran 14,16µm, dan memiliki konidia
yang berukuran 4,02µm. Jenis hifa Aspergillus flavus FNCC6109 adalah hifa
berseptat (Gambar 4.2. dan Tabel 4.2.). Hal ini sesuai dengan pernyataan Gandjar
dkk. (1999), Pitt and Hocking (1998),dan Hedayati dkk. (2007) bahwa A. flavus
secara makroskopik dan mikroskopik memiliki karakter koloni berwarna hijau,
diameter 3-5 cm dalam waktu inkubasi 5-7 hari, sebalik koloni hialin, konidia
berbentuk bulat, hifa bersepta, memiliki fialed, vesikel yang berbentuk bulat,
konidiofor tunggal dan memiliki konidia yang berbentuk bulat.
Aspergillus flavus mampu tumbuh pada kondisi yang tidak
menguntungkan dan mudah ditemukan pada biji-bijian dan kacang-kacangan,
seperti jagung, kacang tanah dan biji-bijian yang memiliki kandungan karbohidrat
tinggi. Hal ini sesuai hasil penelitian Antriana (2016) yang mengisolasi dan
identifikasi jamur pada 3 sampel kacang tanah yang diperoleh pascapanen positif
ditumbuhi Aspergillus flavus dan dapat menyebabkan kerusakan pada biji kacang
tanah. Hal serupa juga dilaporkan oleh Amanah (2016) bahwa isolasi jamur
kontaminan pada biji kacang tanah juga ditemukan A. flavus. Selain pada kacang
tanah A. flavus dapat mudah ditemukan pada biji jagung. Menurut Arizal (2014)
bahwa pada sampel biji jagung yang diperoleh dari pasar tradisional ditemukan
jamur A. flavus. Wangge et al., (2012) dan Humairoh (2017) Jamur A. flavus juga
mampu tumbuh pada biji kakao dan biji kedelai.
22
V
S
K
A B
Gambar 4.2. A. Morfologi koloni Aspergillus flavus FNCC6109 pada media PDA
dengan masa inkubasi 4 hari dengan suhu 28ºC.
B. Struktur mikroskopis Aspergillus flavus FNCC6109 dibawah
mikroskop binokuler pada pembesaran 400×, K = Konidiofor, V=
Vesikel, S= Konidia
Tabel 4.2. Hasil pengamatan makroskopik dan mikroskopik Aspergillus flavus
FNCC6109 yang diinkubasi selama 5 hari pada media PDA.
23
flavus FNCC6109 tanpa Rhizopus sp. (kontrol) dengan masa inkubasi selama 4
hari adalah sebesar sebesar 13,00±1,154 cm2. Sedangkan rata-rata luas koloni
perlakuan inkubasi selama 4 hari sebesar 5,77±0,773 cm2 dengan rata-rata
persentase daya hambat sebesar 56,08±10,103 (Tabel 4.3.dan Gambar 4.3.)
Tabel 4.3. Daya hambat Rhizopus sp. terhadap pertumbuhan A. flavus FNCC6109
a
R
a
R
K
b
R
A B
R
Gambar 4.3. Uji daya hambat Rhizopus sp. terhadap A. flavus FNCC6109 pada
media PDA masa inkubasi 4 hari dengan suhu 28ºC (A = Kontrol; a
= A. flavus FNCC6109 B = Perlakuan, a= A. flavus FNCC6109 b =
Rhizopus sp.)
24
pada media pertumbuhan terhadap koloni A. flavus FNCC6109. Adanya tekanan
dari Rhizopus sp. sebagai antagonis, sehingga pertumbuhan A. flavus FNCC6109
terhambat dan tidak tumbuh secara maksimal. Penelitian tentang daya hambat
Rhizopus sp. terhadap pertumbuhan jamur pernah dilaporkan oleh Nursadin dan
Supriyanto (2012) bahwa Rhizopus sp. mampu menghambat pertumbuhan
Fusarium oxysporum dengan daya hambat mencapai 60%. Rhizopus sp. dapat
dijadikan biokompetitor kerana memiliki kemampuan berkompetisi yang sangat
tinggi dan pertumbuhan yang sangat cepat. Anuragi dan Sharma (2016)
menyatakan bahwa Rhizopus sp. dapat dijadikan agen biokontrol karena
kemampuannya menghambat pertumbuhan Fusarium oxysporum dengan
persentase daya hambat 56,76%. Kemampuan Rhizopus sp. dalam menghambat
jamur lain juga dilaporkan oleh Adebola dan Amadi (2010) yaitu Rhizopus sp.
mampu menghambat pertumbuhan patogen Phytophthora palmivora dengan
persentase daya hambat mencapai 76% dengan masa inkubasi 7 hari.
Mekanisme penghambatan Rhizopus sp. terhadap pertumbuhan A. flavus
FNCC6109 selain memiliki pertumbuhan yang cepat juga diduga Rhizopus sp.
menghasilkan metabolit yang mampu menghambat pertumbuhan A. flavus
FNCC6109. Metabolit yang dihasilkan Rhizopus sp. adalah enzim dan senyawa
bioaktif yang berfungsi sebagai antimikroba dan antifungal. Hasil penelitian
Virgianti (2015) melaporkan Rhizopus sp yang diisolasi dari tempe lokal mampu
menghasilkan senyawa bioaktif antimikroba. Senyawa bioaktif yang dihasilkan
mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen enterik dengan menghasilkan
zona hambat yang berbeda-beda, yaitu sebesar 28 mm terhadap Escherichia coli
ATCC 25922, 26 mm terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan 39,5
mm terhadap Shigella flexneri ATCC 12022. Kobayasi et al. (1992) melaporkan
bahwa Rhizopus sp. dapat menghasilkan senyawa bioaktif dan antibiotik yang
mampu melawan pertumbuhan dari bakteri Bacillus subtillis, Staphylococcus
aureus dan Streptococcus cremoris.
25
4.4. Uji Kultur Filtrat Rhizopus sp. terhadap Pertumbuhan Aspergillus
flavus FNCC6109 secara in Vitro
b
aa a
AA B
Gambar 4.4. Uji kultur filtrat Rhizopus sp. dalam terhadap pertumbuhan
Aspergillus flavus FNCC6109 secara in vitro pada media PDA
dengan masa inkubasi 4 hari dengan suhu 28ºC (Keterangan pada
gambar A = Kontrol; B = Perlakuan Kultur filtrat Rhizopus sp. a =
Aspergillus flavus FNCC6109b= Kultur Filtrat Rhizopus sp.
26
Tabel 4.4. Persentase daya hambatan kultur filtrat Rhizopus sp. terhadap A. flavus
FNCC6109 pada masa inkubasi 4 hari di media PDA dengan suhu
28ºC
Isolat Kultur Filtrat Rata-rata luas koloni A. Daya hambat
flavus FNCC6109 masa (%)
inkubasi selama 4 hari (cm)
Kontrol 5 0
Rhizopus sp . inkubasi 1,94 61,2±5,13
selama 3 hari
Rhizopus sp . inkubasi 1,80 64,0±7,05
selama 4 hari
Rhizopus sp . inkubasi 1,64 67,2±2,70
selama 5 hari
27
(2011) bahwa enzim β-glucanase mampu mempengaruhi pertumbuhan hifa,
dimana hifa mengalami pembengkakan dan neukrosis atau kerusakan hifa pada
jamur patogen. Antifungal yang dihasilkan dapat bereaksi dengan dua tipe dalam
mikoparasitisme, yaitu kerusakan jaringan (nekrosis) dan terjadi reaksi lisis pada
ujung hifa (Lo et al. 1998).
a a
b
A B
28
Jumlah rata-rata populasi A. flavus pada pipilan jagung yang tidak
diberikan perlakuan kultur filtrat Rhizopus sp. (kontrol) sesudah inkubasi (T15)
adalah 44,7×104±0,068. Sedangkan pemberian perlakuan konsentrasi kultur filtrat
Rhizopus sp. secara nyata mampu menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109
pada pipilan jagung sesudah inkubasi. Pada masa sebelum inkubasi pada
konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% jumlah populasi A. flavus FNCC6109
masing-masing berturut-turut sebesar 14×104, 11×104, 9×104, 6×104 dan 5×104
dan mengalami laju peningkatan selama masa inkubasi 15 hari yaitu masing-
masing berturut-turut sebesar 44,7x104 CFU/g, 18x104 CFU/g, 13,7x104 CFU/g,
10,3x104 CFU/g, 6,7x104 CFU/g, 5,3x104 CFU/g. Pemberian perlakuan
konsentrasi kultur filtrat Rhizopus sp. dari konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40% dan
50% pada pipilan jagung dapat menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109
dengan daya hambat masing-masing yaitu 59,7, 69,3, 76,9, 85,0 dan 88,1 Tabel
4.5.).
Tabel 4.5. Jumlah popolasi koloni A. flavus FNCC6109 pada pipilan jagung yang
ditambahkan kultur filtrat Rhizopus sp. sebelum dan sesudah masa
inkubasi
Perlakuan Jumlah Populasi A. flavus FNCC6109 Daya Daya
Konsentrasi (%) (CFU/g) Hambat Hambat
Sebelum Sesudah
Inkubasi Inkubasi
(%) (%)
Populasi Populasi Sesudah
Sebelum Inkubasi (T15)
Inkubasi 15
hari (T0)
0 21×104 44,7×104b* ±0,068 0 0
10 14×104 18×104c±0,062 33,3 59,7
20 11×104 13,7×104cd ±0,051 47,6 69,3
30 9×104 10,3×104de±0,134 57,1 76,9
40 6×104 6,7××104ef±0,127 71,4 85,0
50 5×104 5,3×104f±0,196 76,2 88,1
29
Jumlah rata-rata populasi A. flavus pada pipilan jagung yang tidak
dibberikan perlakuan kultur filtrat Rhizopus sp. (kontrol) sesudah inkubasi (T15)
adalah 44,7×104±0,068. Sedangkan pemberian perlakuan konsentrasi kultur filtrat
Rhizopus sp. secara nyata mampu menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109
pada pipilan jagung sesudah inkubasi. Pada masa sebelum inkubasi pada
konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% jumlah populasi A. flavus FNCC6109
masing-masing berturut-turut sebesar 14×104, 11×104, 9×104, 6×104 dan 5×104
dan mengalami laju peningkatan selama masa inkubasi 15 hari yaitu masing-
masing berturut-turut sebesar 44,7x104 CFU/g, 18x104 CFU/g, 13,7x104 CFU/g,
10,3x104 CFU/g, 6,7x104 CFU/g, 5,3x104 CFU/g. Pemberian perlakuan
konsentrasi kultur filtrat Rhizopus sp. dari konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40% dan
50% pada pipilan jagung dapat menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109
dengan daya hambat masing-masing yaitu 59,7, 69,3, 76,9, 85,0 dan 88,1 Tabel
4.5.).
Pemberian perlakuan konsentrasi kultur filtrat Rhizopus sp. pada pipilan
jagung dapat menurunkan jumlah populasi A. flavus FNCC6109, hal ini diduga
pada kultur filtrat Rhizopus sp. mengandung metabolit yang berperan dalam
merusak komponen dinding spora A. flavus FNCC6109, sehingga spora A. flavus
FNCC6109 tidak mampu tumbuh secara baik. Rhziopus sp. mampu menghasilkan
senyawa volatile yang diduga berperan dalam menghambat pertumbuhan A. flavus
FNCC6109. Seperti yang dilaporkan oleh Lanciotti and Guerzoni (1993) bahwa
Rhizopus sp. mampu menghasil senyawa volatile seperti etanol, isobutil alcohol
dan 3 metil butanol, dimana senyawa-senyawa tersebut diduga mampu
menghambat pertumbuhan A. flavus. Feng et al. (2007) menyatakan bahwa
Rhizopus sp. menghasilkan senyawa volatile. Hasil isolasi senyawa volatile
Rhizopus sp. pada kedelai dan jelai yang telah difermentasi diperoleh senyawa
volatile, yaitu etanol, aseton etil asetat, 2-butanon, 2-metil-1-butanol.
Senyawa etil asetat yang dihasilkan oleh Rhizopus sp. dapat dijadikan
sebagai antifungi. Hal ini dilaporkan oleh Bajpai, et al. (2010) yang menyatakan
bahwa hasil isolasi dan ekstraksi senyawa etil asetat dari Rhizopus oligosporus
yang diujiakan secara sigifikan mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen
30
Colletotrichum spp. pada buah apel. Taechowisan et al. (2009) juga melaporkan
bahwa senyawa etil asetat berpotensi memberikan efek antagonistik terhadap
jamur Colletotrichum spp., hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa
miselium Colletotrichum spp. mengalami abnormal, lisis dan mengkerut. Kim et
al. (2014) juga melaporkan bahwa senyawa etil asetat menunjukkan aktivitas
antifungi terhadap pertumbuhan Candida spp.
Berdasarkan dugaan kinerja senyawa aktif yang dihasilkan oleh Rhizopus
sp. dapat diupayakan bahwa Rhizopus sp. dapat digunakan sebagai agen
biokontrol dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen. Selain menghambat
pertumbuhan A. flavus FNCC6109 Rhizopus sp. diduga juga mampu
mendegradasi senyawa aflatoksin B1 yang dihasilkan oleh A. flavus FNCC6109.
Menurut Nout (1989) bahwa kultur Rhizopus spp. yang ditumbuhkan bersama-
sama dengan A. flavus dan A. parasiticus pada ekstrak kacang diketahui mampu
menghambat pertumbuhan A. flavus dan A. parasiticus serta mampu
mendegdrasai senyawa aflatoksin B1 yang dihasilkan A. flavus dan A.
parasiticus. Mekanisme penghambatan Rhizopus spp. terhadap A. flavus dan A.
parasiticus dengan cara mengikat unsur C (Karbon) yang terdapat pada kacang,
sehingga menyebabkan A. flavus dan A. parasiticus kalah dalam berkompetisi dan
tidak dapat tumbuh dengan baik. Dipertegas lagi oleh Mitchell, et. Al. (1999)
bahwa Rhizopus oligosporus mampu merusak senyawa aflatoksin sebesar 60%
dan bersifat menghambat terhadap pertumuhan A. flavus yang terdapat pada
subtrat.
Pemanfaatan kultur filtrat Rhizopus sp. telah banyak dilakukan dibidang
industri dan dapat dijadikan sebagai agen probiotik, selain kemampuannya
sebagai biokontrol dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen serta
mendegradasi senyawa mikotoksik, Rhizopus sp. diduga dapat meningkatkan
kualitas mutu pangan. Rhizopus sp. memiliki kemampuan dalam menghasilkan
enzim hidrolitik. Khan et al. (2009) melaporkan bahwa Rhizopus oligosporus
mampu meningkat kandungan protein pada limbah buah-buahan dengan proses
fermentasi sebagai bahan pakan ternak. Maryana, et al. (2016) yang menyatakan
bahwa kultur Rhizopus oryzae dapat meningkatkan kandungan protein pada
31
limbah cair tahu. Hasil yang diperoleh pada fermentasi selama 48 jam dapat
meningkatkan kandungan protein sebesar 0,47%. Prasetiawan (2009) dan
Mardiastuti ( 2004) juga melaporkan bahwa penggunanaan Rhizopus oligosporus
pada pakan konsentrat dengan proses fermetasi mampu menambah berat bobot
dan menurunkan kadar asam fitat pada kelinci. Asam fitat merupakan senyawa
fosfor yang mampu mengikat komponen minelar seperti besi, kalsium dan seng,
sehingga tidak dapat diserap secara langsung oleh tubuh. Pemberian kultur filtrat
Rhizopus oligosporus pada pakan konsentrat diduga mampu menghasilkan enzim
fitase yang berperan dalam mengurai asam fitat.
Berdasarkan kemampuan kultur filtrat Rhizopus sp. yang diujikan pada
pipilan jagung secara umum memiliki kolerasi yang positif baik secara in vitro
maupun in vivo dalam menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109. Sehingga
dapat diketahui bahwa kultur filtrat Rhizopus sp. berpotensi dalam menghambat
pertumbuhan A. flavus FNCC6109 pada pipilan jagung dengan adanya penurunan
jumlah populasi A. flavus FNCC6109 pada pipilan jagung setelah masa inkubasi
selama 15 hari.
32
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diambil kesimpulan dari penilitian ini
adalah :
1. Rhizopus sp. mampu menghambat Aspergillus flavus FNCC6109 dengan
persentase hambatan tertinggi yaitu 61,92% dan terendah sebesar 44,42%
secara in vitro.
2. Kultur filtrat Rhizopus sp. yang inkubasi selama 3, 4 dan 5 hari mampu
menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109 masing-masing sebesar
61,2±5,13%, 64,0±7,05 dan 67,2±2,70%.
3. Kultur filtrat Rhizopus sp. secara nyata mampu menghambat jumlah
populasi A. flavus FNCC6109 pada pipilan jagung. Konsentratsi kultur
filtrat Rhizopus sp. 50% mampu menekan pertumbuhan A. flavus
FNCC6109 dengan jumlah rata-rata populasi paling rendah yaitu sebesar
5,3×104±0,196 dan daya hambat sebesar 88,1% setelah pipilan jagung
disimpan selama 15 hari.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai enzim dan senyawa aktif
yang dihasilkan oleh Rhizopus sp. serta dilakukan pengujian penurunan
kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh A. flavus FNCC6109 pada pipilan
jagung.
33
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, H.K., R.D.Cartwright, W. Xie. and T.W. Shier. 2006. Aflatoxin and
Fumonisin Contamination of Com (Maize, Zae mays) Hybrids in Arkansas.
Crop Prot. 25(1):1-9.
Adebola, M. O., and J.E. Amadi. 2010. Antagonistic activities of Paecilomyces
and Rhizopus Spesies Againt The Cocoa Black Pod Pathogen
(Phytophthora palmivora). African Scientist, 11(4):235-239.
Amanah, S. U. 2016. Antagonisme Trichoderma viride terhadap Aspergillus spp.
Kontaminan Biji Kacang Tanah (Arachis hypogea L.) Secara In Vitro.
Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember.
Amusa, N.A., O.A. Ashya and M.O. Oladapo. 2005. Microbiological Quality of
Ogi and Soy-ogi (a Nigerian Fermented Cereal Porridge) Widely Consumed
and Notable Weaning Food in Southern Nigeria. J. Food Agric Environ,
3:81-83.
Antriana, N. 2016. Kadar Air Kualitas Fisik Biji dan Serangan Cendawan
Pascapanen pada Kacang Tanah yang diperoleh dari Pasar Tradisional
Ciampea Bogor. Jurnal Biology Science and Education, 5(2):45-56.
Anuragi, M and T.K. Sharma. 2016. Biocontrol of Chickpea Wilt Disease by
Fusarium oxysporus F.Sp. Ciceri with Rhizosphere Mycoflora. Journal
Flora and Fauna. 22(2):201-209.
Arizal, E.H. 2014. Isolasi dan Identifikasi Kapang pada Biji Jagung dari Ruang
Penyimpanan Tradisional Tuban. Tesis, Program Pascasarjana Universitas
Airlangga.
Badan POM. 2009. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia No. HK. 00.06.1.52.4011. Jakarta. Hal. 6.
Badan Pusat Statistik. 2014. Bali dalam Angka. BPS Provinsi Bali.
Bajpai, V.K., S.W. Chou and S.C. Kang. 2010. Antifungal Properties of Rhizopus
oligosporus Against Apple Anthracnose Fungi. Korean Journal of
Environmental Agriculture, 29(1):86-91.
Baker, K.F. and R. J. Cook. 1982. Biological Control of Plant Pathogens. The
American Phytopathology Society. Minnessota Fravel.
34
Betina, V. 1989. Mycotoxins : Chemical, Biological and Environment Aspects.
Elsevier, New York.
Bullerman, L.B., L.L. Schroeder and K.Y. Park. 1984. Formation and Control of
Mycotoxin in Food. Journal Food Protection, 47 : 637-646.
Celestino, K.R.S., R.B. Cunha and C.R. Felix. 2006. Characterization of a β-
glucanase Produced by Rhizopus microspores var. microspores, and its
Potential for Application in The Brewing Industry. Journal BMC
Biochemistry. 7 (23) : 1-9.
Chet, I., N. Benhamao, and S. Haran. 2005. Mycoparasitism and Lytic Enzymes.
In Harman, G. E. and C. P. Kubicek (Eds), Trichoderma and Gliocladium
Enzymes Biological Control and Commercial Applications. Volume 2.
Taylor and Francis. London.
Cotty. P.J., Bayman, P., Eget, D. S. and Elias, K.S. 1994. Agriulture aflatoxin and
Aspergillus. In : Powell K.A., Renwick A., Poberdy, J.F., eds. The genus
Aspergillus, Plenum Press New York. N.Y. 1-27.
35
Firmansyah, R. 2007. Isolasi, Identifikasi dan Produksi Miselia Rhizopus sp.
Berkadar Asam Nukleat Rendah. Skripsi. Departemen Biologi, FMIPA
Institut Pertanian Bogor.
Gandjar, I., R.A. Samson, K.V.D.T. Vermeluen, A. Oetari and I. Santoso. 1999.
Pengenalan Kapang Tropik Umum, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Heathcote, J.G. 1984. Aflatoxin and Related Toxins. Di dalam Betina, V., (ed).
Mycotoxins: Production, Isolation, Separation, and Putification. Elsevier
Science Publisher. Amsterdam.
Hedayati, M.T., A.C. Pascualotto, P.A. Warn, P. Bowyer and D.W. Denning.
2007. Aspergillus flavus: Human Pahtogen, Allergen and Mycotoxin
Producer. Microbiology, 153:1677–1692.
Hjeljord, L. and A. Tronsmo. 1998. Trichoderma and Gliocladium in biological
control: an overview. In G.E. Harman and C.P. Kubicek (Eds.),
Trichoderma and Gliocladium Vol. 2. London: Taylor and Francis.
Hubert, J., M. Berger, F. Nepveu, F. Paul, and J. Dayde. 2008. Effects of
Fermentation on The Phytochemical Composition and Antioxidant
Properties of Soy Germ. Journal of Food Chemestry, 109:709-721.
Humairoh, D. 2017. Identifikasi Kapang pada Kecap Manis Produksi Lokal
Kediri dengan Metode Pengenceran. Jurnal Sains dan Teknologi, 6(1):1120.
Istikoroni, Y., 2002. Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Hayati yang
Ekologis dan Berkelanjutan. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Janssen, M. M. T., H.M.C. Put, and M. J. R. Nout. 1997. Natural Toxins. P. 8-36.
In. De Vries, J. (Ed) CRC Press, New York.
Jay, J. M. 1996. Modern Food Microbiology. 5th edition. Chapman and Hall, New
York.
Jennsen, M.M.T., H.M. Put and C. Nout (1997). Natural toxins. Dalam; de Vries,
J. (ed). Food Safety and Toxicity. CRC Press, Boca Raton.
Kim, K.Y., S.H. Eom, H.J. Kim, D.S. Lee, O. Nshimiyumukiza, D. Kim, Y. M.
Kim and M.S. Lee. 2014. Antifungal and Synergistic Effect of an Ethyl
Acetate Extract of the Edible Brown Seaweed Eisenia bicyclis against
Candida Spesies. Fish. Aquat. Sci., 17(2):209-214.
Kobayasi, S.Y., N. Okazaki and T. Koseki. 1992. Purification and
Characterization of an Antibiotic Substance Producred from Rhizopus
oligosporus IFO 8631. Journal Biosci. Biotech, Biochem, 56(1):94-98.
Krausz. J.P. 2001. Aflatoxin in Texas. URL. http :/Plant pathology. Tamu.
Edu/aflatoxin/effects.htm. 4 Maret 2008.
36
Kusumaningtyas, E., R. Widiastuti dan R. Maryam. 2006. Reduction of Aflatoxin
B1 in Chicken Feed By Using Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus
oligosporus and Their Combination. Mycopathologia, 162:307-311.
Lanciotti, R., and M.E. Guerzoni. 1993. Competitive Inhibition of Aspergillus
flavus by Volatile Metabolites of Rhizopus arrhizus. Journal Food
Microbiology, 10 (5):367-377.
Lo, C.T., E.B. Nelson, C.K. Hayes, and G.E. Harman. 1998. Ecological Studies of
Transformed Trichoderma harzianum Strain 1295-22 in The Rhizosphere
on The Phylloplane of Creeping Benggrass. Journal Phytopathology, 88:
129-135.
Lorito, M., C.K. Hayes, A.D. Pietro, S.L. Woo, and G.E. Harman. 1994.
Purification, characterization and synergistic activity of a glucan 1,3-β-
glucosidase and N-acetyl- β-glucosamidinase from Trichoderma harzianum.
Journal Phytopathology, 84:398-405.
Muthomi, J. W., Mureithi, B.K. Chemining, G.N. Gathumbi, J.K. and Mutut,
E.W. 2012. Aspergillus Species and aflatoxin B1 in Soil, Maize Grain and
Flour Sampels From Semi-arid and Humid Regions of Kenya. Int. Journal
Agritech. Science, 2(1):22-34.
Nout, M.J. R. 1989. Effect of Rhizopus and Neuspora spp. On Growh of
Aspergillus flavus and A. parasiticus and Accumulation of Aflatoxin B1 in
Groundnut. Mycological Research, 93 (4):518-523.
37
Nursadin, I. S. dan Supriyanto. 2012. Penapisan Jamur Antagonis Asidofilik
Lignoselulolitik dan Tanah Gambut terhadap Penyakit Layu Fusarium. Jurnal
Perkebunan dan Lahan Tropika, 2(1):27 – 34.
Pitt, J.I and A.D. Hocking. 1997. Fungi and Food Spoilage. Printed in Great
Britain at the University Prees, Cambridge.
Prasetiawan, J. I. 2009. Penggunaan Wheat Pollard Fermentasi dalam Konsentrat
terhadap Performa Kelinci Ketururan Vlaamse Reus Jantan. Skripsi,
Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Pujiati, A. Sulistyarsi, dan M. W. Ardhi. 2017. Analisa Kadar Protein Crude
Enzim Selulase dari Kapang Rhizopus sp. pada Subtrat Ampas Tebu Hasil
Isolasi dari Kebun Cengkeh, Kare, Madiun. Jurnal Biota, 3(1):26-30.
38
Salem, M. H., K.I. Kamel, M.I. Yousef, G.A. Hassan and F.D. El-Nouty. 2001.
Protective Role of Ascorbic Acid to Enbance Semen Quality of Rabbits
Treated with Sublethal Doses of Aflatoxin B1. Journla Toxicology,
162(3).209-218.
Shandi, P.A. 2005. Kemampuan Rhizopus oligosporus MK-1 menurunkan
Aflatoxin B1. Tesis, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Situngkir, R. U. 2005. Aplikasi Kultur Bakteri Asam Laktat dengan Garam untuk
Mereduksi A. flavus di Aflatoksin pada Proses Pengolahan Kacang Asin.
Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
39
Watson, D. H. 1993. Toxicants Occuring Naturally in Food, Hlm. 76-94. Dalam
Watson, D. H. (ed). Ellis Horwood. New York.
Yuliansih, R.R. 2007. Pengaruh Suhu Pengeringan Kedelai Asam terhadap
Kualitas Tempe yang Disiapkan sebagai Tempe Kit. Skripsi, FTP. UGM.
Yogyakarta.
40
Lampiran 1.
Pembuatan media dan Sterilisasi Alat dan Bahan
a. Pembuatan media PDA (Potato Dextrosa Agar)
41
Lampiran 2.
Gambar, Bahan, Alat dan Aktivitas Penelitian
Pipilan jagung yang sudah dikeringkan Kultul Filtrat yang sudah diinkubasi
selama 3, 4 dan 5 hari
42
Kultur Filtrat Rhizopus sp. dengan Inkubasi Pipilan Jagung yang sudah
berbagai konsentrasi diberikan berbagai perlakuan
konsentrasi kultur filtrat Rhizopus sp.
43
Lampiran 3.
Analisis Statistik Total Populasi A. flavus FNCC6109 pada Pipilan Jagung
setelah masa inkubasi 15 hari.
44
b
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
b. Total A. flavus FNCC6109 is constant when Perlakuan = PERLAKUAN A. It has been omitted.
3.740 6 14 .020
ANOVA
Total 68.514 20
45
Berdasarkan uji One Way Anova diatas diperoleh hasil uji beda nyata secara
keseluruhan. Pada table diatas diperoleh nilai F hitung sebesar 946,985, dengan
nilai Sig. = 0,000.
F hitung = 946,985
46
Untuk mengetahui masing-masing perbedaan setiap perlakuan peru dilanjutkan uji
Duncan.
Uji Duncan
Homogeneous Subsets
Perlakuan N 1 2 3 4 5 6
a
Duncan PERLAKUAN A 3 .0000
PERLAKUAN G 3 4.7033
PERLAKUAN C 3 5.2500
PERLAKUAN B 3 5.6433
47