Anda di halaman 1dari 47

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jagung merupakan bahan pangan yang memiliki sumber karbohidrat


tertinggi kedua setelah beras di Indonesia dan ketiga di dunia setelah gandum.
Jagung digunakan sebagai bahan baku industri dan sebagai pakan ternak.
Kebutuhan jagung di Indonesia meningkat sebesar 1,11% pertahun pada tahun
2010-2014. Peningkatan kebutuhan jagung diakibatkan adanya produktivitas
sekitar 2,87% pada tahun 2014 (Direktorat Pangan dan Pertanian, 2014). Berita
resmi statistik provinsi Bali melaporkan berdasarkan angka sementara pada tahun
2014 terjadi penurunan produksi jagung dibandingkan dengan tahun 2013, yaitu
dengan produksi 40.613 ton pipilan kering. Terjadinya penurunan diakibatkan
oleh beberapa faktor, yaitu berkurangnya lahan tanah, beralihnya petani pada
tanaman hortikultura dan kurangnya pasokan air (Badan Pusat Statistik, 2014).
Penggunaan jagung sebagai bahan pangan dan pakan harus memiliki
kualitas dan mutu yang baik. Permasalahan yang sering terjadi pada masyarakat
petani jagung adalah adanya kontaminasi senyawa aflatoksin yang dihasilkan oleh
Aspergillus flavus (Rachamawati, 2004). Jamur ini dapat mudah untuk tumbuh di
daerah tropis seperti di Indonesia. Indonesia merupakan negara tropis yang sangat
beresiko akan terjadinya kontaminasi senyawa aflatoksin, mengingat negara
Indonesia ini memilki tingkat kelembaban, curah hujan dan suhu yang optimum
untuk pertumbuhan A. flavus. Kontaminasi senyawa aflatoksin yang sering terjadi
adalah pada biji-bijian, seperti jagung, kacang tanah dan pa. Penyebab
kontaminasi jamur A. flavus pada biji-bijian disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu cara penanganan saat paska panen, penyimpanan hasil panen dan
pengolahan produk industri yang berbahan baku seperti jagung. Faktor-faktor ini
merupakan hal yang sering terjadi pada petani jagung dan perusahaan yang
menggunakan bahan baku jagung (Rahayu et al., 2010).
Meningkatnya penggunaan jagung sebagai bahan baku pangan dan pakan pada
suatu produk, perlu adanya penangan yang baik, apabila terjadi kontaminasi jamur
A. flavus pada produk akan menjadi resiko bagi kesehatan hewan dan manusia.

1
Senyawa aflatoksi yang dihasikan oleh jamur A. flavus memiliki sifat yang tahan
panas atau tidak rusak pada saat dipanaskan. Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) yang ditetapkan pada tahun 2009 untuk jenis dan batas
maksimum kandungan mikotoksin dalam makanan produk olahan bahan baku
jagung, yaitu 20 ppb (BPOM, 2009). Cemaran senyawa aflatoksin pada biji
jagung mengakibatkan terjadinya kerugian pada petani jagung dan gangguan
kesehatan pada hewan dan manusia, sehingga perlu adanya upaya pengendalian
dalam mencegah dan menghambat pertumbuhan A. flavus.
Senyawa aflatoksin merupakan senyawa bifuran, non polar dan tahan
terhadap panas (Watson, 1993; Janssen et al., 1997). Upaya pengendalian secara
fisik diantaranya adalah dengan pemanasan betekanan tinggi (Novia, 1994).
Sedangkan secara kimia dengan memberikan perlakuan bahan-bahan kimia,
seperti natrium kalsium alumuniumsilikat, kombinasi asam propionat dan nisin
(Paster et al., 1999). Pencegahan secara fisik dan kimia ini disamping
memerlukan biaya yang mahal, diduga juga dapat meninggalkan residu senyawa
kimia yang mungkin berbahaya bagi kesehatan hewan dan manusia (Stanley, et
al., 1993).
Upaya pencegahan kontaminasi senyawa aflatoksin pada bahan pangan
dan pakan lebih efektif dilakukan untuk mencegah pertumbuhan A. flavus
pencegahan secara fisik dapat dilakukan dengan penurunan kadar air pada bahan,
penurunan suhu dan modifikasi ruang simpan, sedangkan secara kimia dengan
pemberian desinfektan, zat asam dan basa. Pengendalian secara kimia
memerlukan biaya yang tidak sedikit, karena mahalnya zat-zat kimia yang
diperlukan. Selain itu ditingkat petani sulit untuk dilakukan, sehingga perlu
dilakukan pengendalian secara biologi.
Pengendalian A. flavus secara biologi, yaitu dengan menggunakan salah
satu jamur antagonis yang mampu menghambat pertumbuhan A. flavus. Menurut
Roostita (2002) pencegahan secara biologi lebih efektif, dibandingkan secara fisik
dan kimia, karena secara biologi diasumsikan biaya yang diperlukan cukup
murah. Mengingat pertumbuhan mikroba relative cepat dengan waktu generasi
yang singkat sehingga mampu diproduksi skala besar.

2
Rhizopus sp. merupakan jamur yang tidak bersifat patogen, jamur ini
sering digunakan untuk proses fermentasi bahan pangan menjadi produk yang
memiliki nilai gizi tinggi, seperti kedelai yang difermentasi menggunakan ragi
Rhizopus sp. menjadi tempe. Nursadin dan Supriyanto (2012) melaporkan bahwa
hasil isolasi jamur yang bersifat antagonis pada jamur patogen adalah Rhizopus
sp., dimana jamur ini memiliki kemampuan berkompetisi yang tinggi dan mampu
menghambat pertumbuhan jamur patogen. Hasil penelitian menunjukkan
Rhizopus sp. mampu menghambat Fusarium oxysporum sebesar 60%, sehingga
Rhizopus sp. ini dapat dijadikan biokompetitor bagi Aspergillus flavus dan dapat
mencegah kontaminasi aflatoksin.
Penelitian ini mencoba untuk menggali potensi dari Rhizopus sp. dalam
mengendalikan pertumbuhan A. flavus penyebab kontaminasi senyawa aflatoksin
pada pipilan jagung sebagai bahan rujukan untuk petani agar kualitas jagung yang
dihasilkan tetap memenuhi persyaratan mutu pangan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, sehingga diperoleh rumusan masalah


sebagai berikut :
1. Apakah Rhizopus sp. mampu menghambat pertumbuhan A. flavus
FNCC6109 secara in vitro?
2. Apakah kultur filtrat Rhizopus sp. yang diinkubasi selama 3, 4 dan 5 hari
mampu menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109 secara in vitro ?
3. Bagaimanakah pengaruh kultur filtrat Rhizopus sp. terhadap populasi A.
flavus FNCC6109 pada pipilan jagung ?
1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kemampuan Rhizopus sp. dalam menghambat


pertumbuhan A. flavus FNCC6109 secara in vitro.
2. Untuk mengetahui kemampuan kultur filtrat Rhizopus sp. yang diinkubasi
selama 3, 4 dan 5 hari dalam menghambat pertumbuhan A. flavus
FNCC6109 secara in vitro.

3
3. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi kultur filtral Rhizopus sp.
terhadap populasi A. flavus FNCC6109 pada pipilan jagung.
1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai


pencegahan pertumbuhan A. flavus FNCC 6109 dengan menggunakan kultur
filtrat Rhizopus sp. sehingga dapat menjadikan rujukan bagi petani jagung atau
industri pembuat pakan yang menggunakan bahan baku jagung untuk
memanfaatkan kultur filtrat Rhizopus sp. dengan demikian kualitas jagung dapat
ditingkatkan.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pipilan Jagung (Zae mays) L.

Jagung merupakan sumber karbohidrat kedua setelah padi. Kandungan


karbohidrat yang tinggi, jagung digunakan sebagai bahan baku produk olahan,
seperti baby corn, pop corn, dan pakan ternak. Penggunaan jagung sebagai bahan
baku industri dan makanan ringan dapat meningkatkan produksi jagung, sehingga
jagung memiliki potensi yang sangat besar untuk terus dikembangkan (Imron,
2007). Pemanfaatan jagung yang digunakan sebagai bahan baku industri dan
pakan ternak berupa pipilan jagung yang diperoleh dari pengumpul.
Pipilan jagung merupakan biji yang sudah terlepas dari tongkol jagung.
Mengingat meningkatnya penggunaan jagung perlu memperhatikan kualitas mutu
jagung. Sampai saat ini kualitas mutu jagung atau produk dengan bahan baku
jagung pada tingkat petani kurang dari perhatian pemerintah, sehingga kurang
memenuhi persyaratan kriteria mutu jagung yang baik. Salah satu faktor penyebab
dari kualitas mutu jagung adalah proses penyimpanan. Permasalahan yang sering
terjadi pada saat penyimpanan oleh masyarakat adalah terjadinya serangan
serangga, tikus dan jamur.
Penyimpan jagung hasil panen sangat mudah ditumbuhi oleh jamur, hal ini
dikarenakan iklim tropis di Indonesia dengan suhu, curah hujan dan kelembaban
yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan jamur. Kontaminasi jamur
mengakibatkan kualitas jagung menurun dan juga dapat membahayakan kesehatan
hewan dan manusia. Penyimpanan jagung yang baik untuk negara-negara beriklim
tropis harus memiliki kadar air yang ideal, yaitu berkisar antara 7-9% (Kasno,
2004).
Permasalahan yang sering terjadi pada masyarakat petani jagung adalah
terjadinya serangan jamur. Jagung di Indonesia berpeluang cukup besar terserang
jamur, melihat secara geografis Indonesia merupakan negara tropis, dimana
tempat yang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Pipilan jagung hasil paska panen
sering terserang oleh jamur Aspergillus flavus (Situngkir, 2005). Aspergillus
flavus dapat mengkontaminasi biji jagung dengan memproduksi senyawa

5
aflatoksin dan mengalami perubahan warna pada biji jagung seperti disajikan pada
gambar 2.1.

Gambar 2.1. (a) Pipilan Jagung yang Terkontaminasi A. flavus berwarna


kehijauan
(Utami, 2008)

2.2. Aspergillus flavus

Jenis jamur A. flavus merupakan salah satu kelompok jamur yang dapat
mengkontaminasi senyawa aflatoksin pada biji-bijian. Jenis jamur ini
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Myceteae
Divisi : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Eurotiales
Famili : Trichocomaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus flavus L.
Koloni A. flavus secara makrokopis berwarna hijau kekuningan dan
umumnya memiliki diameter 3-6 m (Fassatiova, 1986). Secara mikrokopis
perbedaan yang mendasar dengan jenis Aspergillus lainnya adalah pada bentuk
vesikel.

6
a

Gambar 2.2. (a) Koloni A. flavus (b) Struktur mikroskopis A. flavus


(Utami, 2008)
Jamur Aspergillus flavus yang mampu menghasilkan senyawa aflatoksin
tersebar luas dilingkungan, umumnya dapat ditemukan pada lahan pertanian dan
mampu membentuk koloni pada tanaman jagung dan kapas (Horn, 2003).
Senyawa aflatoksin dan senyawa metabolit lainnya yang dihasilkan oleh A. flavus
sangat bervariasi, tergantung adanya subtrat yang digunakan (Cotty et al., 1994).
Jenis jamur A. flavus menyebabkan kerugian dalam bidang industri
pertanian dan masalah kesehatan pada hewan dan manusia, hal ini dikarenakan
jamur ini mampu menghasilkan senyawa aflatoksin yang bersifat toksikogenik
dan karsinogenik (Makfoeld, 1993). Rodriguez-Amaya and Sabino (2002)
melaporkan terdapat beberapa komoditas pertanian yang terkontamiasi senyawa
aflatoksin, salah satunya adalah jagung. Hasil studi di Brazil mengenai
kontaminasi senyawa aflatoksin pada jagung yang baru dipanen terdeteksi sekitar
31% dari hasil panen (Rodriguez-Amaya and Sabino, 2002). A. flavus
mengahasilkan senyawa aflatoksin dipengaruhi oleh beberapa kondisi lingkungan,
seperti subtrat, kelembaban, suhu dan pH (Jay, 1996). A. flavus dalam
memproduksi senyawa aflatoksin pada suhu berkisar 12 – 40oC, aw 0,86 dan pH 3-
8 (Pitt and Hocking, 1997). Curah hujan yang sangat rendah dan kondisi kering
merupakan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan A. flavus (Abbas, et al., 2006
and Muthomi, et al., 2012).

7
2.3. Aflatoksin

Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dapat dihasilkan oleh


Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Senyawa ini diketahui bersifat
toksik, hepatoksik, hepatocarcinogenic dan teratogenik pada manusia dan hewan,
salah satu penyebab kontaminasi senyewa aflatoksin terhadap manusia adalah
penyakit pada hati (Oguz, et al., 2003 and Liu, et al., 2010). Aflatoksin dihasilkan
umumnya pada biji-bijian seperti jagung pada saat pertumbuhan, penyimpanan
paska panen dan proses pengiriman (Salem, et al., 2001). Senyawa aflatoksin ini
terbentuk setelah fase logaritmik atau pada saat fase stasioner, pada fase ini
pertumbuhan A. flavus menurun. Penurunan pertumbuhan disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu kehabisan nutrisi atau ancaman disekitar lingkungannya,
sehingga akan menyebabkan jamur menghasilkan senyawa metabolit sekunder
(Heathcote, 1984).
Menurut Bogley (1997) senyawa aflatoksin tidak rusak terhadap
pemanasan, memiliki titik cair relative tinggi, tidak larut dalam air, tetapi larut
dalam pelarut organik. Pemberian nama aflatoksin disesuaikan dengan fluoresensi
hasil uji kromatografi, apabila fluoresensinya bewarna biru maka diberi kode B,
dan apabia fluoresensinya berwarna hijau diberi kode G (Betina, 1989).Hasil uji
kromatografi dengan silika gel yang disinari dengan sinar ultraviolet pada panjang
gelombang 365 nm menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pada fluoresensinya.
Fluoresensi merupakan terpancarnya sinar oleh suatu zat yang telah menyerap
sinar atau radiasi elektromagnet lain.
Aflatoksin bersifat hepapatoksik, mutagenik, teratogenik dan
imunosupresif. Kasus aflatoksin pada manusia banyak dilaporkan di beberapa
negara tropis, yang sebagian besar terjadi di daerah pedesaan dan makanan
pokoknya terdiri dari jagung (Raharjanti, 2006). Organ target utama dari senyawa
aflatoksin adalah hati, sehingga sering menimbulkan hepatokarsinogenik. Hasil
penelitian membuktikan bahwa berdasarkan analisis gen p53, dimana telah terjadi
mutasi sebesar 55% pada penderita hepatokarsinoma yang mengkonsumsi pangan
tercemar aflatoksin B1 (AFB1) (Pitt et al. 2000).

8
Beberapa pengaruh efek yang berbeda pada manusia dan hewan apabila
mengkonsumsi senyawa aflatoksin, yaitu tergantung pada jenis kelamin, dosis
aflatoksin yang termakan, spesies yang terkena aflatoksin dan lamanya jenis
makanan yang terpapar oleh aflatoksin (Krausz, 2001). Senyawa aflatoksin yang
dihasilkan oleh A. flavus terhadap makanan disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu kelembaban, suhu, pH, kadar air, dan subtrat. A. flavus umumnya
memproduksi senyawa aflatoksin B dan G (Heathcote, 1984). A. flavus
memproduksi senyawa aflatoksin pada suhu optimum 24-28o C (Jay, 1996).
Permasalahan kontaminasi aflatoksin pada biji-bijian, bahan pangan dan pakan ini
telah dilakukan berbagai cara untuk mengurangi kandungan senyawa aflatoksin,
baik secara fisik, kimia dan biologi. Secara fisik untuk menghilangkan senyawa
aflatoksin dengan melakukan radiasi dan pemanasan. Secara kimia dengan
perlakuan asam, basa dan bisulfir, sedangkan secara biologi dengan cara
mengendalikan pertumbuhan A. flavus menggunakan mikroba antagonis
(Heathcote, 1984).
Aflatoksin tidak dapat diproduski oleh A. flavus, apabila aktivitas air (aw)
yaitu 0,83 - 0,87, namun pertumbuhan A. flavus dapat tumbuh pada aw yang lebih
rendah dari 0.83 (Bullermen, et al., 1984). Aflatoksin memiliki sifat yang berbeda
dengan toksik yang diproduksi oleh bakteri. Toksik yang diproduksi oleh jamur
relatif lebih stabil apabila diberi perlakuan pemanasan (Tabel 2.1.).
Tabel 2.1. Beberapa sifat fisik aflatoksin B1 dan aflatoksin B2.
(Sumber : (Heathcote, 1984).
Aflatoksin RM BM Titik Cair (oC)
B1 C17H12O6 312 268-269
B2 C17H14O6 314 286-289

Kontaminasi senyawa aflatoksin di Indonesia sangat beresiko tinggi,


karena masyarakat Indonesia sebagian besar memiliki komoditi-komoditi pangan
seperti jagung dan kacang tanah. Jagung dan kacang tanah merupakan tanaman
komoditi yang sering terkontaminasi senyawa aflatoksin (Situngkir, 2005).
Kontaminasi senyawa aflatoksin disebabkan teknologi yang digunakan dalam
paska panen. Salah satu hasil penelitian Rahayu et al. (2010) cemaran aflatoksin
pada produksi jagung di Daerah Jawa Timur menyebutkan bahwa produksi biji

9
jagung dari petani, pengumpul dan pedagang terdeteksi cemaran senyawa
aflatoksin yang bervariasi, yaitu dari 115 sampel yang digunakan diantaranya
adalah 27 sampel (23%) tidak terdeteksi aflatoksin, sedang 48 sampel (42%)
dengan cemaran aflatoksin < 20 ppb, 26 sampel (23%) dengan cemaran 20 – 100
ppb, dan 14 sampel (12%) dengan cemaran >100 ppb. Hasil uji diperoleh bahwa 6
sampel memiliki cemaran aflatoksin > 300 ppb, dengan cemaran tertinggi adalah
sekitar 350 ppb.
Akibat efek yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia dan hewan,
suatu lembaga Food and Drug Administration (FDA) yang bertanggungjawab
terhadap keamanan makanan, obat dan kosmetik mengeluarkan kadar maksimum
senyawa aflatoksin yang dizinkan adalah sebesar 20 ppb (Shanhan and Brown,
2001), Sedangkan suatu lembaga di Indonesia, yaitu Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) RI mengeluarkan kadar aflatoksin pada jagung dan produk
olahan jagung seperti tabel 2.2.
Tabel 2.2 Batas maksimum aflatoksin pada produk jagung dan olahan jagung
(BPOM RI, 2009).
No Jenis Pangan Batas Aflatoksin
Jenis (ppb) Total
1 Lemak, Minyak dan Emulsi Minyak :
-Minyak Jagung B1 20 35
2 Sereal dan Produk Sereal Termasuk
Tepung dan Pati dari Akar-akaran dan
Umbi-umbian, Kacang-kacangan dan
Polong-polongan :
- Biji Jagung] B1 20 35
- Tepung Jagung] B1 20 35
- Pati Jagung B1 20 35
- Makanan Cereal B1 20 35
3 Makanan Ringan Siap Makan :
-Pop corn B1 20 35
4 Lain-lain:
- Pangan Olahan Lain yang
Mengandung Jagung B1 20 35

10
2.4 Rhizopus sp.

Rhizopus sp. merupakan jamur yang umum dimanfaatkan dalam pembuatan


produk industri, jamur ini berperan dalam fermentasi bahan pangan, seperti
kedelai menjadi tempe dan kecap. Rhizopus sp. secara makrokopis dan
mikrokopis memiliki ciri-ciri, yaitu koloni berwarna putih abu-abu, rhizoid, hifa
tidak bersekat dan memiliki spora yang bulat seperti pada gambar 2.3 (Dewi et al.,
2014). Pertumbuhan Rhizopus sp. dipengaruhi oleh faktor suhu, suhu optimum
untuk pertumbuhan Rhizopus sp. yaitu 28-35oC.

a
b
\
b

Gambar 2.3. (a) Koloni Rhizopus sp dan (b)Struktur Rhizopus sp.


(Sitepu et al., 2011)

Beberapa spesies yang umum ditemukan dalam produk pangan, yaitu


Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae dan Rhizopus stolonifera. Menurut
Pawiroharsono (1997) ada tiga spesies yang berperan penting dalam fermentasi
produk pangan, yaitu Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae dan Rhizopus
stolonifera. Ketiga jenis jamur ini mampu menghasilkan senyawa aktif pada
produk pangan yang bersifat sebagai antioksidan. (Hubert et al., 2008) hasil
fermentasi pada kedelai menjadi tempe menggunakan Rhizopus sp. terdapat
senyawa aktif atau isoflavon. Isoflavon merupakan komponen fenolik yang
bersifat antioksidan. seperti genestein, daidzen dan glycitein (Pawiroharsono,
1997). Aktivitas senyawa aktif yang dihasilkan oleh Genus Rhizopus dipengaruhi
oleh masing-masing spesies Rhizopus dan lama inkubasi. Menurut Siregar dan
Pawiroharsono kandungan isofalvon pada tempe dipengaruhi inokulum yang

11
digunakan. Uji aktivitas aktioksidan pada tempe kedelai hitam dari tiga inokulum
memiliki hasil aktivitas antioksidan yang berbeda (Nurrahman, 2012).
Jamur Rhizopus sp. memiliki kemampuan berkompetisi dengan
mikroorganisme lain. Nursadin et al. (2012) melaporkan bahwa hasil isolasi jamur
yang bersifat antagonis pada jamur pathogen adalah Rhizopus sp., dimana jamur
ini memiliki kemampuan berkompetisi yang tinggi dan mampu menghambat
pertumbuhan pathogen. Hasil uji daya hambat terhadap Fusarium oxysporum
bahwa Rhizopus sp. mampu menghambat pertumbuhannya, namun daya hambat
yang dihasilkan kurang dari 60%. Hal yang sama dilaporkan Kusumaningtyas et
al., (2009) Rhizopus sp. mampu menurunkan kadar senyawa aflatoksin B1.
Aflatoksin B1 merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh A.
flavus. Penurunan senyawa aflatoksin B1 juga diperngaruhi oleh lama inkubasi.

2.4. Mekanisme Mikroba Antagonis

Mikroba antagonis merupakan jasad renik yang mempengaruhi dan


memiliki kemampuan untuk menekan, mengendalikan dan menghambat
pertumbuhan mikrooganisme lainnya. Mikrooganisme antagonis dapat berupa
bakteri, jamur dan actinomycetes. Antagonisme yang dilakukan oleh
mikroorganisme meliputi, kompetisi nutrsi, antibiosis sebagai produksi senyawa
aktif atau antibiotika, mikroparasitisme, predasi dan hiperparasitisme (Istikorini,
2002).
Secara mikoparasitik, kompetitif nutrisi,dan antibiosis dalam pengendalian
dengan jamur antagonis dipengaruhi oleh faktor lamanya waktu berhubungan
antara jamur antagonis dan patogen. Jamur antagonis memerlukan nutrisi untuk
bertahan hidup pada tempat yang baru dan mampu menjalankan fungsinya sebagai
antagonis apabila terjadi cekaman (Baker and Cook, 1982, Sumartini dan
Hardaningsih, 1995).
Kematian mikroorganisme patogen umumnya disebabkan kekurangan
nutrisi, sehingga banyak digunakan jamur antagonis sebagai agen hayati untuk
menekan pertumbuhan patogen, yang bertujuan untuk memenangkan kompetisi
dalam memperoleh nutrisi (Berlian et al., 2013). Selain berkompetisi untuk

12
memenangkan nutrisi, jamur antagonis juga melakukan antibisosis. Antibiosis
merupakan antagonisme melibatkan metabolit, seperti enzim, lisis, toksin dan
senyawa folatil dan non folatil. Metabolit yang dihasilkan ini berperan penting
dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen (Chet, et al., 2005).

13
III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian uji potensi filtrat Rhizopus sp. dalam mengendalikan


pertumbuhan A. flavus FNCC6109 dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi,
Program Studi Biologi, F.MIPA, Universitas Udayana. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Desember 2016 sampai Maret 2017.
3.2. Teknik Pengambilan Sampel

Rhizopus sp. diperoleh dari sampel tempe merk tempe super yang diambil
secara aseptik di pedagang tempe di Pasar Tradisional Badung.. Sampel diambil
sebanyak 1 Kg lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik steril dan diletakkan
dalam cool box, selanjutnya dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan tahap
isolasi.
3.3. Isolasi Rhizopus sp. pada Sampel pada Tempe

Isolasi Rhizopus sp. pada tempe dilakukan dengan menggunakan metode


pengenceran (Platting method) dengan cara seri pengenceran mulai dari
pengenceran 10-1 sampai pengenceran 10-4. Untuk mendapatkan pengenceran 10-1
dilakukan dengan menimbang secara aseptik 10 gr sampel tempe lalu dimasukkan
ke dalam botol yang telah berisi air steril 90 mL dan diaduk sampai homogen.
Pengenceran 10-2 diperoleh dengan cara mengambil 1 mL pengenceran 10-1
kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 mL air steril dan
dihomogenkan dengan vortex. Begitu seterusnya dilakukan sampai mendapatkan
pengenceran 10-3 dan 104. Dari masing-masing pengenceran selanjutnya diambil
sebanyak 1 mL lalu dimasukkan ke dalam cawan Petri steril kemudian dituang
sebanyak 15 mL media PDA dan kloramfinikol pada suhu 40oC dan digoyang
secara simultan kekiri dan kekanan dengan tujuan untuk mendapatkan
pertumbuhan jamur yang merata di cawan Petri. Selanjutnya cawan Petri
diinkubasi pada suhu 28oC selam 3-4 hari. Pertumbuhan koloni jamur Rhizopus
sp. pada cawan Petri diamati dengan berpedoman pada buku identifikasi Pitt and

14
Hocking 1997. Jamur yang menunjukkan ciri-ciri Rhziopus sp. selanjutnya re-
isolasi sampai mendapatkan kultur murni.
3.4. Identifikasi Rhizopus sp.

Identifikasi Rhizopus sp. dilakukan dengan menyiapkan cawan Petri steril


yang telah berisi media PDA dan ditambahkan klorafinikol. Tepat ditengah cawan
Petri diimplantasi potongan hifa yang diambil dari jamur yang telah dimurnikan
saat diisolasi. Selanjutnya cawan Petri tersebut diinkubasi selama 3-4 hari pada
suhu 28oC. setelah masa inkubasi berakhir pertumbuhan jamur pada cawan Petri
diamati secara makroskopik meliputi bentuk koloni, tepian koloni, elevasi dan
warna koloni. Sedangkan secara mikroskopis dilakukan dengan menggunakan
mikroskop dengan cara menyiapkan objek glass yang bersih, lalu tepat ditengah
objek glass ditetersi lactofenol, kemudian dengan menggunakan jarum diambil
sedikit serpihan hifa pada jamur yang tumbuh di cawan Petri selanjutnya struktur
sel jamur diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x. pengamatan
mikroskop mengacu pada buku identifikasi Pitt dan Hocking (1997) meliputi hifa,
ada tidaknya sekat pada hifa, rhizoid, stolon, sporangiofor, sporangium dan spora.

3.5. Penyegaran Aspergillus flavus FNCC6109

Isolat A. flavus FNCC6109 diperoleh dari stok kultur Laboratorium


Mikrobiologi, Program Studi Biologi F. MIPA Universitas Udayana. Stok kultur
diremajakan dengan mengambil serpihan hifa pada stok kultur dengan
menggunakan jarum kemudian diimplantasikan tepat ditengah cawan Petri yang
telah berisi media PDA selanjutnya diinkubasi pada suhu 28oC selama 3-4 hari.
Setelah masa inkubasi berakhir koloni jamur diamati secara makroskopik dan
mikroskopis mengacu pada buku identifikasi Pitt and Hocking 1997 dengan
prosedur sesuai pada sub bab 3.3. isolat A. flavus FNCC6109 juga dire-isolasi
pada media miring untuk digunakan pada tahap Penelitian berikutnya.

15
3.6. Uji Daya Hambat Rhizopus sp. terhadap Pertumbuhan A. flavus
FNCC6109.

Uji daya hambat Rhizopus sp. secara in vitro dilakukan dengan metode
dual culture. Perlakuan uji daya hambat dilakukan dengan ulangan sebanyak 4
kali. Adapun cara kerja dari metode dual culture adalah biakan Rhizopus sp. dan
A. flavus FNCC 6109 diambil dengan cork borer diameter 5 mm dan jarum enten.
Kedua koloni ditumbuhkan berdampingan dengan jarak 3 cm dalam satu cawan
Petri yang berisi media PDA, kemudian diinkubasi pada suhu 28oC dan diukur
diameter koloni selama 4 hari. Setelah itu dibuat kontrol dengan cara yang sama,
namun hanya ditumbuhkan satu jenis jamur saja. Pengaruh antagonisme Rhizopus
sp. terhadap A. flavus FNCC6109 dapat diketahui dengan perhitungan PIRG
(Percentage Inhibition of Radial Growth). (Singh and Vijay, 2011) :

Keterangan : PIRG : Percentage Inhibition of Radial Growth


R1 : Luas koloni A. flavus FNCC6109 tanpa antagonis
(kontrol)
R2 : Luas A. flavus FNCC6109 dengan antagonis (dual
culture).

3.7. Uji Daya. Hambat Kultur Filtrat Rhizopus sp. terhadap Pertumbuhan
A. flavus FNCC 6109

Disiapkan botol yang berisi 100 mL media PDB (Potato Dextorsa Broth)
lalu diinokulasi dengan Rhizopus sp. yang memiliki potensi dalam menghambat
pertumbuhan A. flavus FNCC 6109, kemudian diinkubasi selama 3, 4 dan 5 hari
pada suhu 28oC. Setelah masa inkubasi berakhir kultur filtrat Rhizopus sp. di
ujikan secara in vitro dalam menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109. Uji
ini diawali dari persiapan kulur filtrat Rhizopus sp. kemudian diambil suspensi
kultur filtrat Rhizopus sp. sebanyak 1 mL pada cawan Petri, lalu tuangkan media
PDA, dibiarkan hingga memadat. Selanjutnya diambil koloni A. flavus
FNCC6109 dengan menggunakan cork borer diameter 5 mm dan diinkubasi

16
selama 4 hari. Setelah itu dibuat kontrol dengan cara ditumbuhkannya koloni A.
flavus FNCC6109 pada media PDA tanpa diberikan kultur filtrate Rhizopus
Pengaruh kultur filtrat dapat diketahui dengan mengukur luas koloni A. flavus
FNCC6109 menggunakan rumus :

L1 : Luas koloni A. flavus FNCC6109 tanpa antagonis (kontrol)


L2 : Luas A. flavus FNCC6109 dengan perlakuan.).
Uji daya hambat kultur filtrat dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan masing-
masing setiap perlakuan.

3.8. Pengaruh Pemberian Kultur Filtrat Rhizopus sp. terhadap Jumlah


Populasi A. flavus FNCC6109 pada Pipilan Jagung.

3.8.1. Pembuatan suspensi spora A. flavus FNCC6109

Disiapkan cawan Petri steril yang telah berisi media PDA padat, tepat
ditengah cawan Petri ditanam koloni jamur A. flavus dengan diameter 5 mm,
selanjutnya di inkubasi pada suhu kamar selama 3 - 4 hari. Koloni yang tumbuh
ditetesi air steril sebanyak 5 mL, lalu diusap-usapkan dipermukaan koloni dengan
menggunakan Spatula. Cairan yang telah berisi spora selanjutnya diambil dengan
menggunakan pipet Pasteur lalu ditampung ke dalam botol steril. Untuk
mengetahui kerapatan spora pada suspense dilakukan perhitungan dengan
menggunakan Hemasitometer. Adapun cara kerjanya adalah disiapkan suspensi
spora, kemudian ditetesi sedikit pada petak hitung Hemasitometer dan ditutup
dengan cover glass selanjutnya diamati secara mikrokopis dan dihitung
menggunakan konter. Kerapatan spora dapat dihitung dengan rumus (Sriyanti et
al., 2015) :

17
3.8.2. Prosedur pemberian kultur filtrat Rhizopus sp. pada pipilan jagung

Untuk mengetahui pengaruh jumlah populasi Aspergillus falvus FNCC


6109 pada pipilan jagung dengan cara memberikan beberapa perlakuan seperti
pada Tabel 3.
Tabel 3.1 Perlakuan pemberian filtrat Rhizopus sp. pada pipilan jagung
Perlakuan Keterangan
A Pipilan jagung tanpa kultur filtrat
Rhizopus sp dan A. flavus FNCC 6109
(Kontrol -)
B Pipilan jagung dengan suspensi A.
flavus sebanyak 5 mL (Kontrol +)
C Pipilan jagung dengan A. flavus dan
kultur filtrat Rhizopus sp. konsentrasi
10%
D Pipilan jagung dengan A. flavus dan
kultur filtrat Rhizopus sp. konsentrasi
20%
E Pipilan jagung dengan A. flavus dan
kultur filtrat Rhizopus sp. konsentrasi
30%
F Pipilan jagung dengan A. flavus dan
filtrat Rhizopus sp. konsentrasi 40%
G Pipilan jagung dengan A. flavus dan
kultur filtrat Rhizopus sp. konsentrasi
50%

Cara yang dilakukan dalam pemberian perlakuan pada pipilan jagung,


yaitu disiapkan bahan (pipilan jagung) kemudian di sterilisasi dengan
menggunakan air panas untuk menghindari kontaminasi mikroba dari lingkungan.
Disiapkan 8 wadah steril, kemudian masing-masing wadah diisi pipilan jagung
sebanyak 100 gr. Setiap wadah diberi perlakuan sesuai Tabel 3. Pemberian kultur
filtrat Rhizopus sp. pada pipilan jagung dengan cara disemprotkan sebanyak 15
mL, kemudian ditambahkan dengan spora A. flavus FNCC6109 sebanyak 5 mL.
Setelah diberikan perlakuan kemudian disimpan selama 15 hari masa inkubasi
pada suhu 28oC, kemudian setelah masa inkubasi berakhir dilakukan perhitungan
jumlah populasi A. flavus FNCC6109 dengan uji Angka Lempeng Total (ALT).
Prinsip kerja dari uji ALT adalah dengan menggunakan metode seri pengenceran.
Hasil pengenceran kemudian diambil 1 mL lalu ditanam pada media PDA. Koloni

18
yang yang tumbuh, kemudian dikalikan faktor pengenceran. Sehinnga diperoleh
jumlah populasi A. falvus FNCC6109 dengan satuan CFU/g (Colony Forming
Unit per Gram).

3.9. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu variabel terikat


meliputi, kemampuan isolat Rhizopus sp. dan kultur filtrat Rhizopus sp. dalam
menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC1609 baik secara in vitro maupu in
vivo. Sedangkan variabel bebas meliputi konsentrasi kultur filtrat Rhizopus sp.
pada pipilan jagung.

3.10. Analisis Data

Metode pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah


dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif. Data deskriptif ditampilkan dalam
bentuk gambar dan tabel. Sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan
menganalisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pada program
SPSS 15. Data yang diperoleh dianalisis ragam (ANOVA), apabila data yang
diperoleh memiliki beda nyata pada taraf uji 5% (P≤0,05) maka analisis data
dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan.

19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Isolasi dan Identifikasi Rhizopus sp.

Hasil pengamatan karakter makroskopik Rhizopus sp. yang diisolasi dari


sampel tempe, diperoleh diameter koloni sebesar 4 cm pada inkubasi selama 3
hari, warna koloni putih ke abuan, tekstur koloni menyerupai kapas, zonasi tidak
ada, tidak terdapat radial dan growing zone. Sedangkan pada pengamatan secara
mikroskopik melalui pembesaran 40×10 pada Rhizopus sp. menampilkan
sporangium berbentuk bulat atau elips, berukuran 50,91µm, tidak memiliki septat
pada hifa, terdapat stolon yang menghubungkan dua sporangifor dan memiliki
rhizoid, berukuran 77,47µm (Gambar 4.1.). Ciri-ciri ini sesuai dengan deskripsi
yang disampaikan oleh Gandjar dkk. (1999), Pitt and Hocking (1998), dan
Yutiansih (2007) bahwa Rhizopus sp. secara makroskopik dan mikroskopik
memiliki koloni berwarna putih ke abuan, memiliki rhizoid, hifa tidak bersekat,
sporangiofor tunggal, sporangium berbentuk bulat atau elips dan memiliki stolon.
Perbedaan Genus Rhizopus dengan jamur lainnya adalah hifa tidak bersekat
memiliki rhizoid dan memiliki bentuk sporangium yang khas. Hasil pengamatan
Rhizopus sp. secara makroskopik dan mikroskopik dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Firmansyah (2007) juga pernah mengisolasi dan mengidentifikasi
Rhizopus spp. pada beberapa sampel tempe. Hasil penelitiannya diperoleh 3
spesies Rhizopus , yaitu Rhizopus oligosporus, Rhizopus stolonifer dan Rhizopus
oryzae. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Virgianti (2015), bahwa
Rhizopus sp. yang diisolasi dari tempe, secara makroskopis memiliki ciri-ciri
koloni berwarna putih keabuan dan tumbuh seperti kapas. Selain pada tempe
Rhizopus sp. juga pernah ditemukan pada tepung jagung. Rahmawati et al. (2013)
melaporkan bahwa hasil isolasi dan identifikasi jamur pada sampel jagung
ditemukan jamur Rhizopus oryzae dan Rhizopus stolonifer. Penelitian yang sama
oleh Amusa, et al. (2005) menyatakan keberadaan Rhizopus sp. pada tepung
jagung berperan dalam menghasilkan aktivitas enzim cellulose, xylanase dan
protease.

20
Sn

Sn

R
A B R

Gambar 4.1. A. Morfologi koloni Rhizopus sp. pada media PDA dengan masa
inkubasi 3 hari dengan suhu 28ºC.
B. Struktur mikroskopis Rhizopus sp. dibawah mikroskop binokuler
pada pembesaran 400x, Tanda S = Sporangium; SP =
Sprongiofor; Sn = Stolon; R = Rhizoid
Tabel 4.1. Hasil pengamatan makroskopik dan mikroskopik Rhizopus sp. masa
inkubasi 4 hari pada medium PDA.
Karakter Morfologi Keterangan
Makroskopik
a. Warna koloni Putih keabun
b. Warna sebalik koloni Putih
c. Tekstur koloni Cattony
d. Garis radial Tidak ada
e. Growing zone Ada
f. Zonasi Tidak ada
Mikroskopik
a. Jenis hifa Tidak bersepta
b. Stolon Ada
c. Sporangium Bulat
d. Rhizoid Ada
e. Stolon Ada
4.2. Pengamatan Morfologi Aspergillus flavus FNCC6109

Jamur Jenis Aspergillus flavus FNCC6109 yang digunakan sebagai jamur


uji dalam penelitian ini berasal dari stok kultur Laboratorium Mikrobiologi
Program Studi Biologi FMIPA Universitas Udayana. Dari hasil pengamatan

21
morfologi koloni A. flavus FNCC6109 yang telah ditumbuhkan selama 5 hari
pada media PDA diperoleh koloni berwarna hijau, diameter koloni 5 cm, koloni
bertekstur granular, terdapat growing zone, exudaote drops, tidak terdapat radial
dan terdapat zonasi pada koloni. Sedangkan untuk pengamatan secara
mikroskopik melalui pembesaran 40×10, Aspergillus flavus FNCC6109
memperlihatkan konidia berbentuk bulat, terdapat fialed, memiliki vesikel
berbentuk bulat, berukuran 24,53µm, konidiofor tunggal, dengan panjang
116,99µm dan memiliki sel kaki yang berukuran 14,16µm, dan memiliki konidia
yang berukuran 4,02µm. Jenis hifa Aspergillus flavus FNCC6109 adalah hifa
berseptat (Gambar 4.2. dan Tabel 4.2.). Hal ini sesuai dengan pernyataan Gandjar
dkk. (1999), Pitt and Hocking (1998),dan Hedayati dkk. (2007) bahwa A. flavus
secara makroskopik dan mikroskopik memiliki karakter koloni berwarna hijau,
diameter 3-5 cm dalam waktu inkubasi 5-7 hari, sebalik koloni hialin, konidia
berbentuk bulat, hifa bersepta, memiliki fialed, vesikel yang berbentuk bulat,
konidiofor tunggal dan memiliki konidia yang berbentuk bulat.
Aspergillus flavus mampu tumbuh pada kondisi yang tidak
menguntungkan dan mudah ditemukan pada biji-bijian dan kacang-kacangan,
seperti jagung, kacang tanah dan biji-bijian yang memiliki kandungan karbohidrat
tinggi. Hal ini sesuai hasil penelitian Antriana (2016) yang mengisolasi dan
identifikasi jamur pada 3 sampel kacang tanah yang diperoleh pascapanen positif
ditumbuhi Aspergillus flavus dan dapat menyebabkan kerusakan pada biji kacang
tanah. Hal serupa juga dilaporkan oleh Amanah (2016) bahwa isolasi jamur
kontaminan pada biji kacang tanah juga ditemukan A. flavus. Selain pada kacang
tanah A. flavus dapat mudah ditemukan pada biji jagung. Menurut Arizal (2014)
bahwa pada sampel biji jagung yang diperoleh dari pasar tradisional ditemukan
jamur A. flavus. Wangge et al., (2012) dan Humairoh (2017) Jamur A. flavus juga
mampu tumbuh pada biji kakao dan biji kedelai.

22
V

S
K
A B

Gambar 4.2. A. Morfologi koloni Aspergillus flavus FNCC6109 pada media PDA
dengan masa inkubasi 4 hari dengan suhu 28ºC.
B. Struktur mikroskopis Aspergillus flavus FNCC6109 dibawah
mikroskop binokuler pada pembesaran 400×, K = Konidiofor, V=
Vesikel, S= Konidia
Tabel 4.2. Hasil pengamatan makroskopik dan mikroskopik Aspergillus flavus
FNCC6109 yang diinkubasi selama 5 hari pada media PDA.

Karakter Morfologi Keterangan


Makroskopik
a. Warna koloni Hijau Kekuningan
b. Warna sebalik koloni Kuning
c Tekstur koloni Granular
d Garis radial Tidak ada
e Growing zone Ada
f Zonasi Ada
Mikroskopis
a Jenis hifa Bersekat
b Lebar hifa 9,08
c Bentuk Vesikel Semibulat
d Lebar vesikel 24,53-51,36
f Sel kaki Ada
g Konidiofor Tunggal

4.3. Daya Hambat Rhizopus sp. terhadap Aspergillus flavus FNCC6109


secara In Vitro

Uji daya hambat Rhizopus sp. terhadap Aspergillus flavus FNCC6109


dengan menggunakan metode dual culture diperoleh hasil rata-rata luas koloni A.

23
flavus FNCC6109 tanpa Rhizopus sp. (kontrol) dengan masa inkubasi selama 4
hari adalah sebesar sebesar 13,00±1,154 cm2. Sedangkan rata-rata luas koloni
perlakuan inkubasi selama 4 hari sebesar 5,77±0,773 cm2 dengan rata-rata
persentase daya hambat sebesar 56,08±10,103 (Tabel 4.3.dan Gambar 4.3.)

Tabel 4.3. Daya hambat Rhizopus sp. terhadap pertumbuhan A. flavus FNCC6109

Perlakuan Luas koloni A. flavus FNCC6109 setelah inkubasi Jumlah Rata-rata


(cm2)
(cm2) (cm2)
1 2 3 4
Kontrol 12,00 14,00 14,00 12,00 52,00 13,00±1,154
Rhizopus 6,67 5,33 5,33 5,33 22,66 5,77±0,773
sp.
Hambatan 44,42 61,92 61,92 55,58 223,84 56,08±10,103
(%)

a
R

a
R

K
b
R

A B
R

Gambar 4.3. Uji daya hambat Rhizopus sp. terhadap A. flavus FNCC6109 pada
media PDA masa inkubasi 4 hari dengan suhu 28ºC (A = Kontrol; a
= A. flavus FNCC6109 B = Perlakuan, a= A. flavus FNCC6109 b =
Rhizopus sp.)

Kemampuan daya hambat Rhizopus sp. terhadap A. flavus FNCC6109


disebabkan adanya mekanisme penghambatan dari Rhizopus sp. terhadap koloni
A. flavus FNCC6109 dari Rhizopus sp. Hal ini menunjukkan bahwa Rhizopus sp.
memiliki kemampuan yang besar dalam berkompetisi untuk mendapatkan nutrient

24
pada media pertumbuhan terhadap koloni A. flavus FNCC6109. Adanya tekanan
dari Rhizopus sp. sebagai antagonis, sehingga pertumbuhan A. flavus FNCC6109
terhambat dan tidak tumbuh secara maksimal. Penelitian tentang daya hambat
Rhizopus sp. terhadap pertumbuhan jamur pernah dilaporkan oleh Nursadin dan
Supriyanto (2012) bahwa Rhizopus sp. mampu menghambat pertumbuhan
Fusarium oxysporum dengan daya hambat mencapai 60%. Rhizopus sp. dapat
dijadikan biokompetitor kerana memiliki kemampuan berkompetisi yang sangat
tinggi dan pertumbuhan yang sangat cepat. Anuragi dan Sharma (2016)
menyatakan bahwa Rhizopus sp. dapat dijadikan agen biokontrol karena
kemampuannya menghambat pertumbuhan Fusarium oxysporum dengan
persentase daya hambat 56,76%. Kemampuan Rhizopus sp. dalam menghambat
jamur lain juga dilaporkan oleh Adebola dan Amadi (2010) yaitu Rhizopus sp.
mampu menghambat pertumbuhan patogen Phytophthora palmivora dengan
persentase daya hambat mencapai 76% dengan masa inkubasi 7 hari.
Mekanisme penghambatan Rhizopus sp. terhadap pertumbuhan A. flavus
FNCC6109 selain memiliki pertumbuhan yang cepat juga diduga Rhizopus sp.
menghasilkan metabolit yang mampu menghambat pertumbuhan A. flavus
FNCC6109. Metabolit yang dihasilkan Rhizopus sp. adalah enzim dan senyawa
bioaktif yang berfungsi sebagai antimikroba dan antifungal. Hasil penelitian
Virgianti (2015) melaporkan Rhizopus sp yang diisolasi dari tempe lokal mampu
menghasilkan senyawa bioaktif antimikroba. Senyawa bioaktif yang dihasilkan
mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen enterik dengan menghasilkan
zona hambat yang berbeda-beda, yaitu sebesar 28 mm terhadap Escherichia coli
ATCC 25922, 26 mm terhadap Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan 39,5
mm terhadap Shigella flexneri ATCC 12022. Kobayasi et al. (1992) melaporkan
bahwa Rhizopus sp. dapat menghasilkan senyawa bioaktif dan antibiotik yang
mampu melawan pertumbuhan dari bakteri Bacillus subtillis, Staphylococcus
aureus dan Streptococcus cremoris.

25
4.4. Uji Kultur Filtrat Rhizopus sp. terhadap Pertumbuhan Aspergillus
flavus FNCC6109 secara in Vitro

Hasil uji kultur filtrat Rhizopus sp. terhadap pertumbuhan koloni


Aspergillus flavus FNCC6109 secara in vitro adalah pada kontrol luas koloni A.
flavus FNCC6109 tanpa diberikan perlakuan kultur filtrat Rhizopus sp. sebesar 5
cm dengan masa inkubasi selama 4 hari. Sedangkan luas koloni A. flavus yang
diberikan perlakuan dengan kultur filtrat Rhizopus sp. rata-rata sebesar 1,8 cm
dengan masa inkubasi selama 4 hari. Hal ini menandakan bahwa perlakuan kultur
filtrat Rhizopus sp. dapat menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109 (Gambar
4.4.).
Hasil perhitungan uji daya hambat kultur filtrat Rhizopus sp. terhadap
pertumbuhan A. flavus FNNCC6109 yang diinkubasi selama 4 hari menunjukkan
adanya aktivitas penghambatan. Perlakuan kultur filtrat Rhizopus sp. yang
diinkubasi selama 3, 4 dan 5 hari masing-masing memiliki kemampuan daya
hambat sebesar 61,2±5,13% dan 64,07±7,04% dan 67,27±2,70% (Tabel 4.4.).

b
aa a

AA B

Gambar 4.4. Uji kultur filtrat Rhizopus sp. dalam terhadap pertumbuhan
Aspergillus flavus FNCC6109 secara in vitro pada media PDA
dengan masa inkubasi 4 hari dengan suhu 28ºC (Keterangan pada
gambar A = Kontrol; B = Perlakuan Kultur filtrat Rhizopus sp. a =
Aspergillus flavus FNCC6109b= Kultur Filtrat Rhizopus sp.

26
Tabel 4.4. Persentase daya hambatan kultur filtrat Rhizopus sp. terhadap A. flavus
FNCC6109 pada masa inkubasi 4 hari di media PDA dengan suhu
28ºC
Isolat Kultur Filtrat Rata-rata luas koloni A. Daya hambat
flavus FNCC6109 masa (%)
inkubasi selama 4 hari (cm)
Kontrol 5 0
Rhizopus sp . inkubasi 1,94 61,2±5,13
selama 3 hari
Rhizopus sp . inkubasi 1,80 64,0±7,05
selama 4 hari
Rhizopus sp . inkubasi 1,64 67,2±2,70
selama 5 hari

Adanya daya hambat kultur filtrat Rhizopus sp. terhadap pertumbuhan A.


flavus FNCC6109 diduga disebabkan oleh filtrat mengandung spora Rhizopus sp.
yang dapat tumbuh dengan cepat dibandingkan dengan pertumbuhan A. flavus
FNCC6109. Disamping itu ada kemungkinan pada filtrat mengandung enzim yang
berpotensi dalam menekan pertumbuhan jamur yang diujikan.
Rhizopus sp. mampu menghasilkan enzim β-glucanase. Enzim β-
glucanase merupakan enzim ekstraseluler yang mampu menghidrolisis
karbohidrat golongan glukan. Hal ini sesuai hasil penelitian Celestino et al. (2006)
bahwa Rhizopus sp. mampu menghasilkan enzim β-glucanase. Glukan merupakan
salah satu komponen penting dalam penyusun dinding sel jamur pada umumnya.
Glukan dapat dihidrolisis oleh enzim β-glucanase yang dihasilkan oleh beberapa
jenis jamur, yaitu Rhizopus sp. dan Trichoderma sp. Enzim β-glucanase yang
dihasilkan juga memiliki peranan penting dalam mekanisme pertahanan diri
terhadap serangan jamur patogen. Hasil penelitian Lorito et al. 1994 menyatakan
bahwa enzim β-glucanase menunjukkan aktivitas antifungal yang signifikan
terhadap pertumbuhan jamur patogen. Pernyataan serupa oleh Hjeljord et al.
(1998) menyatakan bahwa β-glucanase menunjukkan aktivitas antifungal dengan
cara menghidrolisis struktur glukan yang terdapat pada dinding sel jamur patogen.
Struktur glukan diketahui paling banyak terdapat pada ujung hifa, sehingga hifa
jamur patogen tidak mampu tumbuh dengan baik dengan adanya enzim β-
glucanase. Selanjutnya dipertegas lagi oleh pernyataan Budiarti dan Widyastuti

27
(2011) bahwa enzim β-glucanase mampu mempengaruhi pertumbuhan hifa,
dimana hifa mengalami pembengkakan dan neukrosis atau kerusakan hifa pada
jamur patogen. Antifungal yang dihasilkan dapat bereaksi dengan dua tipe dalam
mikoparasitisme, yaitu kerusakan jaringan (nekrosis) dan terjadi reaksi lisis pada
ujung hifa (Lo et al. 1998).

4.5. Pengaruh Kultur Filtrat Rhizopus sp. terhadap Pertumbuhan Populasi


Aspergillus flavus FNCC6109 pada Pipilan Jagung.

Kultur filtrat Rhizopus sp. terhadap pertumbuhan A. flavus FNCC6109 pada


pipilan jagung yang diinkubasi selama 15 hari menunjukkan hasil positif dalam
arti kultur filtrat secara konsisten mampu menghambat pertumbuhan A. flavus
FNCC6109. Hasil perhitungan jumlah populasi A. flavus FNCC6109 dengan
metode pengenceran setelah diinkubasi selama 4 hari pada media PDA terlihat
hasil yang berbeda-beda. Pipilan jagung yang diberikan perlakuan konsentrasi
kultur filtrat Rhizopus sp. tampak mengandung populasi koloni A. flavus
FNCC6109 lebih sedikit jika dibandingkan dengan pipilan jagung yang tanpa
diberikan kultur filtrate (Gambar 4.5.)

a a
b

A B

Gambar 4.5.Jumlah populasi koloni A. flavus FNCC6109 pada pipilan jagung


dengan masa inkubasi selama 4 hari di media PDA (Keterang pada
gambar A= Kontrol, a = koloni A. flavus FNCC6109, B= Perlakuan
Kultur filtrat Rhizopus sp. a= koloni A. flavus FNCC6109 dan b =
Rhizopus sp.

28
Jumlah rata-rata populasi A. flavus pada pipilan jagung yang tidak
diberikan perlakuan kultur filtrat Rhizopus sp. (kontrol) sesudah inkubasi (T15)
adalah 44,7×104±0,068. Sedangkan pemberian perlakuan konsentrasi kultur filtrat
Rhizopus sp. secara nyata mampu menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109
pada pipilan jagung sesudah inkubasi. Pada masa sebelum inkubasi pada
konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% jumlah populasi A. flavus FNCC6109
masing-masing berturut-turut sebesar 14×104, 11×104, 9×104, 6×104 dan 5×104
dan mengalami laju peningkatan selama masa inkubasi 15 hari yaitu masing-
masing berturut-turut sebesar 44,7x104 CFU/g, 18x104 CFU/g, 13,7x104 CFU/g,
10,3x104 CFU/g, 6,7x104 CFU/g, 5,3x104 CFU/g. Pemberian perlakuan
konsentrasi kultur filtrat Rhizopus sp. dari konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40% dan
50% pada pipilan jagung dapat menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109
dengan daya hambat masing-masing yaitu 59,7, 69,3, 76,9, 85,0 dan 88,1 Tabel
4.5.).
Tabel 4.5. Jumlah popolasi koloni A. flavus FNCC6109 pada pipilan jagung yang
ditambahkan kultur filtrat Rhizopus sp. sebelum dan sesudah masa
inkubasi
Perlakuan Jumlah Populasi A. flavus FNCC6109 Daya Daya
Konsentrasi (%) (CFU/g) Hambat Hambat
Sebelum Sesudah
Inkubasi Inkubasi
(%) (%)
Populasi Populasi Sesudah
Sebelum Inkubasi (T15)
Inkubasi 15
hari (T0)
0 21×104 44,7×104b* ±0,068 0 0
10 14×104 18×104c±0,062 33,3 59,7
20 11×104 13,7×104cd ±0,051 47,6 69,3
30 9×104 10,3×104de±0,134 57,1 76,9
40 6×104 6,7××104ef±0,127 71,4 85,0
50 5×104 5,3×104f±0,196 76,2 88,1

Keterangan : Pada T15 merupakan nilai rata-rata dengan 3 kali ulangan.


*Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
nilai rata-rata yang berbeda nyata (P≤0,05) berdasarkan uji
Duncan setelah dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA)
(Lampiran 3)

29
Jumlah rata-rata populasi A. flavus pada pipilan jagung yang tidak
dibberikan perlakuan kultur filtrat Rhizopus sp. (kontrol) sesudah inkubasi (T15)
adalah 44,7×104±0,068. Sedangkan pemberian perlakuan konsentrasi kultur filtrat
Rhizopus sp. secara nyata mampu menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109
pada pipilan jagung sesudah inkubasi. Pada masa sebelum inkubasi pada
konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% jumlah populasi A. flavus FNCC6109
masing-masing berturut-turut sebesar 14×104, 11×104, 9×104, 6×104 dan 5×104
dan mengalami laju peningkatan selama masa inkubasi 15 hari yaitu masing-
masing berturut-turut sebesar 44,7x104 CFU/g, 18x104 CFU/g, 13,7x104 CFU/g,
10,3x104 CFU/g, 6,7x104 CFU/g, 5,3x104 CFU/g. Pemberian perlakuan
konsentrasi kultur filtrat Rhizopus sp. dari konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40% dan
50% pada pipilan jagung dapat menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109
dengan daya hambat masing-masing yaitu 59,7, 69,3, 76,9, 85,0 dan 88,1 Tabel
4.5.).
Pemberian perlakuan konsentrasi kultur filtrat Rhizopus sp. pada pipilan
jagung dapat menurunkan jumlah populasi A. flavus FNCC6109, hal ini diduga
pada kultur filtrat Rhizopus sp. mengandung metabolit yang berperan dalam
merusak komponen dinding spora A. flavus FNCC6109, sehingga spora A. flavus
FNCC6109 tidak mampu tumbuh secara baik. Rhziopus sp. mampu menghasilkan
senyawa volatile yang diduga berperan dalam menghambat pertumbuhan A. flavus
FNCC6109. Seperti yang dilaporkan oleh Lanciotti and Guerzoni (1993) bahwa
Rhizopus sp. mampu menghasil senyawa volatile seperti etanol, isobutil alcohol
dan 3 metil butanol, dimana senyawa-senyawa tersebut diduga mampu
menghambat pertumbuhan A. flavus. Feng et al. (2007) menyatakan bahwa
Rhizopus sp. menghasilkan senyawa volatile. Hasil isolasi senyawa volatile
Rhizopus sp. pada kedelai dan jelai yang telah difermentasi diperoleh senyawa
volatile, yaitu etanol, aseton etil asetat, 2-butanon, 2-metil-1-butanol.
Senyawa etil asetat yang dihasilkan oleh Rhizopus sp. dapat dijadikan
sebagai antifungi. Hal ini dilaporkan oleh Bajpai, et al. (2010) yang menyatakan
bahwa hasil isolasi dan ekstraksi senyawa etil asetat dari Rhizopus oligosporus
yang diujiakan secara sigifikan mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen

30
Colletotrichum spp. pada buah apel. Taechowisan et al. (2009) juga melaporkan
bahwa senyawa etil asetat berpotensi memberikan efek antagonistik terhadap
jamur Colletotrichum spp., hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa
miselium Colletotrichum spp. mengalami abnormal, lisis dan mengkerut. Kim et
al. (2014) juga melaporkan bahwa senyawa etil asetat menunjukkan aktivitas
antifungi terhadap pertumbuhan Candida spp.
Berdasarkan dugaan kinerja senyawa aktif yang dihasilkan oleh Rhizopus
sp. dapat diupayakan bahwa Rhizopus sp. dapat digunakan sebagai agen
biokontrol dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen. Selain menghambat
pertumbuhan A. flavus FNCC6109 Rhizopus sp. diduga juga mampu
mendegradasi senyawa aflatoksin B1 yang dihasilkan oleh A. flavus FNCC6109.
Menurut Nout (1989) bahwa kultur Rhizopus spp. yang ditumbuhkan bersama-
sama dengan A. flavus dan A. parasiticus pada ekstrak kacang diketahui mampu
menghambat pertumbuhan A. flavus dan A. parasiticus serta mampu
mendegdrasai senyawa aflatoksin B1 yang dihasilkan A. flavus dan A.
parasiticus. Mekanisme penghambatan Rhizopus spp. terhadap A. flavus dan A.
parasiticus dengan cara mengikat unsur C (Karbon) yang terdapat pada kacang,
sehingga menyebabkan A. flavus dan A. parasiticus kalah dalam berkompetisi dan
tidak dapat tumbuh dengan baik. Dipertegas lagi oleh Mitchell, et. Al. (1999)
bahwa Rhizopus oligosporus mampu merusak senyawa aflatoksin sebesar 60%
dan bersifat menghambat terhadap pertumuhan A. flavus yang terdapat pada
subtrat.
Pemanfaatan kultur filtrat Rhizopus sp. telah banyak dilakukan dibidang
industri dan dapat dijadikan sebagai agen probiotik, selain kemampuannya
sebagai biokontrol dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen serta
mendegradasi senyawa mikotoksik, Rhizopus sp. diduga dapat meningkatkan
kualitas mutu pangan. Rhizopus sp. memiliki kemampuan dalam menghasilkan
enzim hidrolitik. Khan et al. (2009) melaporkan bahwa Rhizopus oligosporus
mampu meningkat kandungan protein pada limbah buah-buahan dengan proses
fermentasi sebagai bahan pakan ternak. Maryana, et al. (2016) yang menyatakan
bahwa kultur Rhizopus oryzae dapat meningkatkan kandungan protein pada

31
limbah cair tahu. Hasil yang diperoleh pada fermentasi selama 48 jam dapat
meningkatkan kandungan protein sebesar 0,47%. Prasetiawan (2009) dan
Mardiastuti ( 2004) juga melaporkan bahwa penggunanaan Rhizopus oligosporus
pada pakan konsentrat dengan proses fermetasi mampu menambah berat bobot
dan menurunkan kadar asam fitat pada kelinci. Asam fitat merupakan senyawa
fosfor yang mampu mengikat komponen minelar seperti besi, kalsium dan seng,
sehingga tidak dapat diserap secara langsung oleh tubuh. Pemberian kultur filtrat
Rhizopus oligosporus pada pakan konsentrat diduga mampu menghasilkan enzim
fitase yang berperan dalam mengurai asam fitat.
Berdasarkan kemampuan kultur filtrat Rhizopus sp. yang diujikan pada
pipilan jagung secara umum memiliki kolerasi yang positif baik secara in vitro
maupun in vivo dalam menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109. Sehingga
dapat diketahui bahwa kultur filtrat Rhizopus sp. berpotensi dalam menghambat
pertumbuhan A. flavus FNCC6109 pada pipilan jagung dengan adanya penurunan
jumlah populasi A. flavus FNCC6109 pada pipilan jagung setelah masa inkubasi
selama 15 hari.

32
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diambil kesimpulan dari penilitian ini
adalah :
1. Rhizopus sp. mampu menghambat Aspergillus flavus FNCC6109 dengan
persentase hambatan tertinggi yaitu 61,92% dan terendah sebesar 44,42%
secara in vitro.
2. Kultur filtrat Rhizopus sp. yang inkubasi selama 3, 4 dan 5 hari mampu
menghambat pertumbuhan A. flavus FNCC6109 masing-masing sebesar
61,2±5,13%, 64,0±7,05 dan 67,2±2,70%.
3. Kultur filtrat Rhizopus sp. secara nyata mampu menghambat jumlah
populasi A. flavus FNCC6109 pada pipilan jagung. Konsentratsi kultur
filtrat Rhizopus sp. 50% mampu menekan pertumbuhan A. flavus
FNCC6109 dengan jumlah rata-rata populasi paling rendah yaitu sebesar
5,3×104±0,196 dan daya hambat sebesar 88,1% setelah pipilan jagung
disimpan selama 15 hari.
5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai enzim dan senyawa aktif
yang dihasilkan oleh Rhizopus sp. serta dilakukan pengujian penurunan
kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh A. flavus FNCC6109 pada pipilan
jagung.

33
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, H.K., R.D.Cartwright, W. Xie. and T.W. Shier. 2006. Aflatoxin and
Fumonisin Contamination of Com (Maize, Zae mays) Hybrids in Arkansas.
Crop Prot. 25(1):1-9.
Adebola, M. O., and J.E. Amadi. 2010. Antagonistic activities of Paecilomyces
and Rhizopus Spesies Againt The Cocoa Black Pod Pathogen
(Phytophthora palmivora). African Scientist, 11(4):235-239.
Amanah, S. U. 2016. Antagonisme Trichoderma viride terhadap Aspergillus spp.
Kontaminan Biji Kacang Tanah (Arachis hypogea L.) Secara In Vitro.
Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember.
Amusa, N.A., O.A. Ashya and M.O. Oladapo. 2005. Microbiological Quality of
Ogi and Soy-ogi (a Nigerian Fermented Cereal Porridge) Widely Consumed
and Notable Weaning Food in Southern Nigeria. J. Food Agric Environ,
3:81-83.
Antriana, N. 2016. Kadar Air Kualitas Fisik Biji dan Serangan Cendawan
Pascapanen pada Kacang Tanah yang diperoleh dari Pasar Tradisional
Ciampea Bogor. Jurnal Biology Science and Education, 5(2):45-56.
Anuragi, M and T.K. Sharma. 2016. Biocontrol of Chickpea Wilt Disease by
Fusarium oxysporus F.Sp. Ciceri with Rhizosphere Mycoflora. Journal
Flora and Fauna. 22(2):201-209.
Arizal, E.H. 2014. Isolasi dan Identifikasi Kapang pada Biji Jagung dari Ruang
Penyimpanan Tradisional Tuban. Tesis, Program Pascasarjana Universitas
Airlangga.

Badan POM. 2009. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia No. HK. 00.06.1.52.4011. Jakarta. Hal. 6.

Badan Pusat Statistik. 2014. Bali dalam Angka. BPS Provinsi Bali.
Bajpai, V.K., S.W. Chou and S.C. Kang. 2010. Antifungal Properties of Rhizopus
oligosporus Against Apple Anthracnose Fungi. Korean Journal of
Environmental Agriculture, 29(1):86-91.

Baker, K.F. and R. J. Cook. 1982. Biological Control of Plant Pathogens. The
American Phytopathology Society. Minnessota Fravel.

Berlian, I., B. Setyawan, dan H. Hadi. 2013. Mekanisme Antagonisme


Trichoderma spp.terhadap Beberapa Patogen Tular Tanah. Warta
Peternakan. 32 (2) : 72-84.

34
Betina, V. 1989. Mycotoxins : Chemical, Biological and Environment Aspects.
Elsevier, New York.

Bogley, C. V. 1997. Aflatoxins. http:www. Mycotoxin. Com. Br/bulletin 11. html.


5 Oktober 2016.
Buckle, K.A. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Budiarti, S. W. dan S.M. Widyastuti. 2011. Aktivitas Antifungal β-1,3-Glukanase
Trichoderma reesei pada Fungi Akar Ganoderma philippii. Jurnal
Widyariset, 14 (2) : 455 - 460.

Bullerman, L.B., L.L. Schroeder and K.Y. Park. 1984. Formation and Control of
Mycotoxin in Food. Journal Food Protection, 47 : 637-646.
Celestino, K.R.S., R.B. Cunha and C.R. Felix. 2006. Characterization of a β-
glucanase Produced by Rhizopus microspores var. microspores, and its
Potential for Application in The Brewing Industry. Journal BMC
Biochemistry. 7 (23) : 1-9.

Chet, I., N. Benhamao, and S. Haran. 2005. Mycoparasitism and Lytic Enzymes.
In Harman, G. E. and C. P. Kubicek (Eds), Trichoderma and Gliocladium
Enzymes Biological Control and Commercial Applications. Volume 2.
Taylor and Francis. London.

Cotty. P.J., Bayman, P., Eget, D. S. and Elias, K.S. 1994. Agriulture aflatoxin and
Aspergillus. In : Powell K.A., Renwick A., Poberdy, J.F., eds. The genus
Aspergillus, Plenum Press New York. N.Y. 1-27.

Dewi, A. K., C. S. Utama dan S. Mukodiningsih. 2014. Kandungan Total Fungi


Serta Jenis Kapang dan Khamir pada Limbah Pabrik Pakan yang
Difermentasi dengan Berbagai Aras Starter ‘Starfung’, Agripet. 14(2):102-
106.
Dewi, R.S. and Azis S. 2011. Isolasi Rhizopus oligosporus pada Beberapa
Inokulum Tempe di Kabupaten Banyumas. Jurnal Molekul, 6(2):93-104.

Direktorat Pangan dan Pertania, 2014. Rencanan Pembangunan Jangka


Menengah Nasional Bidang Pangan dan Pertanian. 2015-2019. Bappenas.
Jakarta Pusat

Fassatiova, O. 1986. Moulds and Filamentous Fungi in Technical Mikrobiology.


Elsevier Scientific Publishing Company, New York.
Feng, X.M., T.O. Larsen and J. Schnurer. 2007 Production of Volatile
Compounds by Rhizopus oligosporus During Soybean and Barley tempeh
Fermentation. Journal Food Microbiol,13(2):133-41.

35
Firmansyah, R. 2007. Isolasi, Identifikasi dan Produksi Miselia Rhizopus sp.
Berkadar Asam Nukleat Rendah. Skripsi. Departemen Biologi, FMIPA
Institut Pertanian Bogor.
Gandjar, I., R.A. Samson, K.V.D.T. Vermeluen, A. Oetari and I. Santoso. 1999.
Pengenalan Kapang Tropik Umum, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Heathcote, J.G. 1984. Aflatoxin and Related Toxins. Di dalam Betina, V., (ed).
Mycotoxins: Production, Isolation, Separation, and Putification. Elsevier
Science Publisher. Amsterdam.
Hedayati, M.T., A.C. Pascualotto, P.A. Warn, P. Bowyer and D.W. Denning.
2007. Aspergillus flavus: Human Pahtogen, Allergen and Mycotoxin
Producer. Microbiology, 153:1677–1692.
Hjeljord, L. and A. Tronsmo. 1998. Trichoderma and Gliocladium in biological
control: an overview. In G.E. Harman and C.P. Kubicek (Eds.),
Trichoderma and Gliocladium Vol. 2. London: Taylor and Francis.
Hubert, J., M. Berger, F. Nepveu, F. Paul, and J. Dayde. 2008. Effects of
Fermentation on The Phytochemical Composition and Antioxidant
Properties of Soy Germ. Journal of Food Chemestry, 109:709-721.
Humairoh, D. 2017. Identifikasi Kapang pada Kecap Manis Produksi Lokal
Kediri dengan Metode Pengenceran. Jurnal Sains dan Teknologi, 6(1):1120.
Istikoroni, Y., 2002. Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Hayati yang
Ekologis dan Berkelanjutan. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Janssen, M. M. T., H.M.C. Put, and M. J. R. Nout. 1997. Natural Toxins. P. 8-36.
In. De Vries, J. (Ed) CRC Press, New York.

Jay, J. M. 1996. Modern Food Microbiology. 5th edition. Chapman and Hall, New
York.
Jennsen, M.M.T., H.M. Put and C. Nout (1997). Natural toxins. Dalam; de Vries,
J. (ed). Food Safety and Toxicity. CRC Press, Boca Raton.
Kim, K.Y., S.H. Eom, H.J. Kim, D.S. Lee, O. Nshimiyumukiza, D. Kim, Y. M.
Kim and M.S. Lee. 2014. Antifungal and Synergistic Effect of an Ethyl
Acetate Extract of the Edible Brown Seaweed Eisenia bicyclis against
Candida Spesies. Fish. Aquat. Sci., 17(2):209-214.
Kobayasi, S.Y., N. Okazaki and T. Koseki. 1992. Purification and
Characterization of an Antibiotic Substance Producred from Rhizopus
oligosporus IFO 8631. Journal Biosci. Biotech, Biochem, 56(1):94-98.

Krausz. J.P. 2001. Aflatoxin in Texas. URL. http :/Plant pathology. Tamu.
Edu/aflatoxin/effects.htm. 4 Maret 2008.

36
Kusumaningtyas, E., R. Widiastuti dan R. Maryam. 2006. Reduction of Aflatoxin
B1 in Chicken Feed By Using Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus
oligosporus and Their Combination. Mycopathologia, 162:307-311.
Lanciotti, R., and M.E. Guerzoni. 1993. Competitive Inhibition of Aspergillus
flavus by Volatile Metabolites of Rhizopus arrhizus. Journal Food
Microbiology, 10 (5):367-377.
Lo, C.T., E.B. Nelson, C.K. Hayes, and G.E. Harman. 1998. Ecological Studies of
Transformed Trichoderma harzianum Strain 1295-22 in The Rhizosphere
on The Phylloplane of Creeping Benggrass. Journal Phytopathology, 88:
129-135.
Lorito, M., C.K. Hayes, A.D. Pietro, S.L. Woo, and G.E. Harman. 1994.
Purification, characterization and synergistic activity of a glucan 1,3-β-
glucosidase and N-acetyl- β-glucosamidinase from Trichoderma harzianum.
Journal Phytopathology, 84:398-405.

Makfoeld, D. 1993. Mikotoksin Pangan. Kanisius, Yogyakarta.


Mardiastuti, 2004. Pengaruh Penggunaan Dedak Gandum (Wheat Pollard)
Terfermentasi terhadap Kualitas Telur Ayam Arab. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Maryana, L., S. Anam and A.W. Nugrahani. 2016. Produksi Protein Sel Tunggal
dari Kultur Rhizopus oryzae dengan Medium Limbah Cair Tahu. Journal of
Pharmacy, 2(2):132-137.
Mitchell, D.A., H.W. Doelle, and P.F. Greenfield. 1999. Agar Plat Growh of
Rhizopus oligosporus and Aspergillus oryzae to Determine Their Suitability
for Aflatoxin. Applied Micobiol. Biotechnol, 28:598-602.

Muthomi, J. W., Mureithi, B.K. Chemining, G.N. Gathumbi, J.K. and Mutut,
E.W. 2012. Aspergillus Species and aflatoxin B1 in Soil, Maize Grain and
Flour Sampels From Semi-arid and Humid Regions of Kenya. Int. Journal
Agritech. Science, 2(1):22-34.
Nout, M.J. R. 1989. Effect of Rhizopus and Neuspora spp. On Growh of
Aspergillus flavus and A. parasiticus and Accumulation of Aflatoxin B1 in
Groundnut. Mycological Research, 93 (4):518-523.

Novia, N. 1994. Pengaruh Kondisi Pemanasan Basah terhadap Penurunan Kadar


Aflatoksin. Skripsi, FaTETA. IPB. Bogor.
Nurrahman, M. Astuti, Suparmo dan M. H. Soesatyo. 2012. Pertumbuhan Jamur,
Sifat Organoleptik dan Aktivitas Antioksidan Tempe Kedelai Hitam yang
Diproduksi dengan Berbagai Jenis Inokulum. Agritech, 32(1):60-65.

37
Nursadin, I. S. dan Supriyanto. 2012. Penapisan Jamur Antagonis Asidofilik
Lignoselulolitik dan Tanah Gambut terhadap Penyakit Layu Fusarium. Jurnal
Perkebunan dan Lahan Tropika, 2(1):27 – 34.

Ogus, H., H. H. Hadimili, V. Kurtoglu and O. Erganis. 2003. Evaluation of


Humoral Immunity of Broilers During Chronic Aflatoxin (50 and 100 ppb)
and Clinoptilolite Exposure. Revuede Medicene Veterinaire, 157(7):436-
483.
Pawiroharsono, S. (1997). Prospect of Tempe as Functional Food. Dalam:
Sudarmadji, S., Suparmo dan Raharjo, S. Reiventing the Hidden Miracle of
Tempe, Proceding International Tempe Symposiu, Bali, hal 101-103.
Indonesia Tempe Foundation, Jakarta.
Pitt J. I., J. C. Basilico, M. L. Abarca and C. Lopez. 2000. Mycotoxin and
Toxigenic Fungi. Medical Mycology, 38(1):41-46.

Pitt, J.I and A.D. Hocking. 1997. Fungi and Food Spoilage. Printed in Great
Britain at the University Prees, Cambridge.
Prasetiawan, J. I. 2009. Penggunaan Wheat Pollard Fermentasi dalam Konsentrat
terhadap Performa Kelinci Ketururan Vlaamse Reus Jantan. Skripsi,
Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Pujiati, A. Sulistyarsi, dan M. W. Ardhi. 2017. Analisa Kadar Protein Crude
Enzim Selulase dari Kapang Rhizopus sp. pada Subtrat Ampas Tebu Hasil
Isolasi dari Kebun Cengkeh, Kare, Madiun. Jurnal Biota, 3(1):26-30.

Rahayu, E. S., S. Raharjo dan A. A. Rahmianna. 2010. Cemaran Aflatoksin pada


Produksi Jagung di Daerah Jawa Timur. Jurnal Teknologi Pertanian, 8 : 1-
16.
Rahjati, D. S. 2006. Penghambatan Pertumbuhan Aspergillus parasiticus dan
Reduksi Aflatoksin oleh Kapang dan Khamir Ragi Tempe. Tesis. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahmawati, R. D. Hariyadi, P. Hariyadi, D. Fardiaz and N. Richana. 2013.
Isolation and Identification of Microorganisms During Spontaneous
Fermentaion of Maize. J. Teknologi dan Industri Pangan, 24(1):33-39.

Rodriguez-Amaya, D. B., and Sabino, M. 2002. Mycotoxin research in Brazil: the


last decade in review. Brazilian Journal of Microbiology, 33:1-11.

Roostita, L. B. 2002. Biokontrol terhadap Racun Jamur. Dimuat pada Harian


Pikiran Rakyat Edisi 2002. http://www.aflatoksin.id.com. Diakses 27
Oktober 2016
Rubak, Y. T., E.S. Rahayu, dan Sardjono. 2008. Pengaruh Aflatoxin B1 (AFB1)
dengan Proses Fermentasi Menggunakan Rhizopus oligosporus MK-1 pada
Pembuatan Bumbu Pecel. Agritec,. 28(4):157 – 161.

38
Salem, M. H., K.I. Kamel, M.I. Yousef, G.A. Hassan and F.D. El-Nouty. 2001.
Protective Role of Ascorbic Acid to Enbance Semen Quality of Rabbits
Treated with Sublethal Doses of Aflatoxin B1. Journla Toxicology,
162(3).209-218.
Shandi, P.A. 2005. Kemampuan Rhizopus oligosporus MK-1 menurunkan
Aflatoxin B1. Tesis, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Singh, P. K. and V. Kumar. 2011. Biological Control of Fusarium with of


Chrysanthemum with Trichoderma and Botanicals. Journal of Agricultural
Technology, 7(6):1603-1613.

Sitepu, H., U. Suryanti, dan S. Purwantisari. 2011. Eksplorasi Jamur Antagonis


Spesifik Lokal untuk Pengendalikan Jamur Patogen Penyebab Busuk Daun
dan Umbi Tanaman Kentang. Jurnal Biologi. 29 (1) : 50-57.

Situngkir, R. U. 2005. Aplikasi Kultur Bakteri Asam Laktat dengan Garam untuk
Mereduksi A. flavus di Aflatoksin pada Proses Pengolahan Kacang Asin.
Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sriyanti, N. L. G., D. N. Suprapta dan I. K. Suada. 2015. Uji Keefektifan


Rizobakteri dalam menghambat Pertumbuhan Jamur Colletotrichum spp.
Penyebab Antraknosa pada Cabai Merah (Capsicum annum L.). Jurnal
Agroekoteknologi Tropika, 4(1):53-65.

Stanley, V. G., R. Ojo., S. Woldesenbet, D. Hutchinson and L. F. Kubena. 1993.


The Use of Saccharomyces sereviseae to Supress the Effects of
Aflatoxicosisin Broiler Chicks. Poilt. Sci., 72:1867-1872.
Sumartini dan S. Hardaningsih. 1995. Penyakit-penyakit Jagung dan
Pengendaliannya, Pengenalan Hama dan Penyakit Tanaman Jagung Serta
Pengendaliannya. Jurnal Monografi Ballitan, 13:17-40.
Taechowisan, T., N. Chuaychot, S. Chanaphat, A. Wanbanjob, and P.
Tantiwacgwutikul. 2009. Antagonistic effect of Streptomyces sp. SRM1 on
Collectotrichum musae. Biotechnol., 8:86-92.

Utami, A. S. 2008. Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan Aflatoxin


Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung. Skripsi, Fakultas Teknologi
Pertanian. Institus Pertanian Bogor. Bogor.

Virgianti, D. A. 2015. Uji Antagonis Jamur Tempe (Rhizopus sp.) terhadap


Bakteri Parogen Enterik. Jurnal Biosfera, 32(3):163-168.
Wangge, E. S. A., D. N. Suprapta and G.N.A.S. Wirya. 2012. Isolasi dan
Identifikasi Jamur Penghasil Mikotoksin pada Biji Kakao Kering yang
Dihasilkan Di Flores. Jurnal Agric. Sci. and Biotechnol., 1(1):39-47.

39
Watson, D. H. 1993. Toxicants Occuring Naturally in Food, Hlm. 76-94. Dalam
Watson, D. H. (ed). Ellis Horwood. New York.
Yuliansih, R.R. 2007. Pengaruh Suhu Pengeringan Kedelai Asam terhadap
Kualitas Tempe yang Disiapkan sebagai Tempe Kit. Skripsi, FTP. UGM.
Yogyakarta.

40
Lampiran 1.
Pembuatan media dan Sterilisasi Alat dan Bahan
a. Pembuatan media PDA (Potato Dextrosa Agar)

Untuk membuat 1L media PDA ditimbang sebanyak 200gr kentang yang


telah dipotong dadu, kemudian direbus dengan aquades sebanyak 800ml. Air
rebusan tersebut kemudian disaring agar kotoran maupun sisa kentang hilang.
Ditambahkan dengan larutan 20gr dextrosa dan 15gr agar, kemudian semua bahan
yang telah dicampurkan dipanaskan sampai larut dan homogen. Setelah itu
disterilisasi dengan autoclave. Disterilisasi di dalam autoclave selama 15 menit
dengan tekanan 15 lbs dan pada temperature 1210C.
b. Pembuatan media PDB (Potato Dextrosa Broth)

Untuk membuat 1L media PDB ditimbang sebanyak 200gr kentang yang


telah dipotong dadu, kemudian direbus dengan aquades sebanyak 800ml. Air
rebusan tersebut kemudian disaring agar kotoran maupun sisa kentang hilang.
Ditambahkan dengan larutan 20gr dextrosa, kemudian semua bahan yang telah
dicampurkan dipanaskan sampai larut dan homogen. Setelah itu disterilisasi
dengan autoclave. Disterilisasi di dalam autoclave selama 15 menit dengan
tekanan 15 lbs dan pada temperature 1210C.
c. Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini disterilisasi dengan
menggunakan autoclave pada suhu 121oC dengan tekanan 15 lbs dan disimpan
pada oven. Sedangkan alat dan bahan yang tidak tahan terhadap suhu tinggi
disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70%.

41
Lampiran 2.
Gambar, Bahan, Alat dan Aktivitas Penelitian

Suspensi Spora Aspergillus flavus Survei Tempat Pembelian Pipilan


FNCC6109 Jagung di Pengepul Jagung Desa
Padang Galak, Sanur

Pipilan jagung yang sudah dikeringkan Kultul Filtrat yang sudah diinkubasi
selama 3, 4 dan 5 hari

42
Kultur Filtrat Rhizopus sp. dengan Inkubasi Pipilan Jagung yang sudah
berbagai konsentrasi diberikan berbagai perlakuan
konsentrasi kultur filtrat Rhizopus sp.

Media Potato Dextrosa Agar Media Potato Dextros Broth

43
Lampiran 3.
Analisis Statistik Total Populasi A. flavus FNCC6109 pada Pipilan Jagung
setelah masa inkubasi 15 hari.

No Perlakuan Ulangan Total Populasi koloni A. Total A. flavus


flavus FNCC6109 (CFU/g) FNCC6109 (Log
10)
1 A 1 0 0
2 0 0
3 0 0
Rata-rata 0 0
2 B 1 39×104 5,59
2 53×104 5,67
3 42×104 5,62
Rata-rata 44,7×104 5,65
3 C 1 17×104 5,23
2 16×104 5,20
3 21×104 5,32
Rata-rata 18×104 5,26
4 D 1 12×104 5,08
2 15×104 5,18
3 14×104 5,15
Rata-rata 13,7×104 5,13
5 E 1 7×104 4.85
2 13×104 5,11
3 11×104 5.04
Rata-rata 10,3×104 5,01
6 F 1 9×104 4,90
2 6×104 4,78
3 5×104 4,70
Rata-rata 6,7×104 4,83
7 G 1 6×104 4,78
2 3×104 4.48
3 7×104 4.85
Rata-rata 5,3×104 4,72

44
b
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Perlakuan Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Total A. flavus FNCC6109 PERLAKUAN B .301 3 . .912 3 .424

PERLAKUAN C .292 3 . .923 3 .463

PERLAKUAN D .269 3 . .949 3 .567

PERLAKUAN E .284 3 . .934 3 .503

PERLAKUAN F .260 3 . .959 3 .609

PERLAKUAN G .227 3 . .983 3 .747

a. Lilliefors Significance Correction

b. Total A. flavus FNCC6109 is constant when Perlakuan = PERLAKUAN A. It has been omitted.

Hasil Uji N Par Test dengan metode Shapiro-Wilk pengaruh pemberian


konsentrasi kultur filtrat Rhizopus sp. Pipilan jagung menunjukkan distribusi data
normal yang dapat dilihat pada nilai Sig. Apabila nilah Sig. ≥ 0,05, maka data
diasumsikan normal. Sehingga data dapat diuji lebih lanjut ke analisis Varian.

Test of Homogeneity of Variances

Total A. flavus FNCC6109

Levene Statistic df1 df2 Sig.

3.740 6 14 .020

One Way ANOVA

ANOVA

Total A. flavus FNCC6109

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 68.345 6 11.391 946.985 .000

Within Groups .168 14 .012

Total 68.514 20

45
Berdasarkan uji One Way Anova diatas diperoleh hasil uji beda nyata secara
keseluruhan. Pada table diatas diperoleh nilai F hitung sebesar 946,985, dengan
nilai Sig. = 0,000.

F hitung = 946,985

 α = 5%, df 1 (Jumlah Variabel – 1 ) = 6


df 2 = (n-4)
= 14
Hasil yang diperoleh dari nilai F table sebesar 2,848

Berdasarkan hasil perhitungan diatas diperoleh bahwa nilai F hitung ≥ F tabel


(946,985≥2,848), sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara
konsentrasi kultur filtrat Rhizopusi sp., yaitu 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%.

46
Untuk mengetahui masing-masing perbedaan setiap perlakuan peru dilanjutkan uji
Duncan.

Uji Duncan

Homogeneous Subsets

Total A. flavus FNCC6109

Subset for alpha = 0.05

Perlakuan N 1 2 3 4 5 6
a
Duncan PERLAKUAN A 3 .0000

PERLAKUAN G 3 4.7033

PERLAKUAN F 3 4.8100 4.8100

PERLAKUAN E 3 5.0000 5.0000

PERLAKUAN D 3 5.1367 5.1367

PERLAKUAN C 3 5.2500

PERLAKUAN B 3 5.6433

Sig. 1.000 .253 .052 .149 .226 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.


Berdasarkan Hasil Uji Duncan menyatakan bahwa perlakuan B
mempunyai pengaruh yang berbeda dengan perlakuan lainnya, Perlakuan C dan D
pengaruhnya tidak berbeda, tetapi beda denganA, B, E, F, dan. Perlakuan D dan E
pengaruhnya tidak berbeda, tetapi beda dengan perlakuan A, B, dan G. Perlakuan
E dan F pengaruhnya tidak berbeda, namun beda dengan A,B,C dan G. Perlakuan
F dan G pengaruhnya tidak berbeda namun berbeda dengan perlakuan A, B, C dan
D.

47

Anda mungkin juga menyukai