Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Broiler


Ayam broiler atau ayam pedaging merupakan hasil genetik yang
memiliki karakteristik ekonomis, pertumbuhan yang cepat sebagai penghasil
daging, konversi pakan rendah, periode cepat karena pertumbuhannya yang
cepat, dan sebagai penghasil daging dengan serat lunak. Ayam broiler adalah
galur ayam hasil rekayasa genetik yang memiliki karakteristik ekonomis
dengan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, masa panen
pendek dan menghasilkan daging berserat lunak, timbunan daging baik, dada
lebih besar dan kulit licin. Meskipun ayam ini memiliki banyak kelebihan,
tetap saja pemeliharaannya harus tepat agar hasil yang diinginkan dapat
tercapai (Sari dkk., 2014).
Ayam ras pedaging disebut juga broiler merupakan jenis ayam ras
unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam dengan daya
produktivitas tinggi, terutama dalam produksi daging. Ayam broiler baru
dikenal menjelang periode 1980-an, sekalipun galur murninya sudah
diketahui pada tahun 1960-an ketika peternak mulai memeliharanya. Ayam
broiler baru populer di Indonesia pada tahun 1980-an dimana pemerintah
mencanangkan panggalakan konsumsi daging ruminansia yang saat itu
semakin sulit keberadaannya. Dari sinilah ayam broiler mulai dikenal dan
secara perlahan diterima oleh masyarakat (Rasyaf, 2007).
Saat ini telah banyak beredar berbagai macam strain ayam ras pedaging
di pasaran sehingga peternak dapat memilih sesuai keinginan, sebab semua
jenis strain tersebut memiliki daya produktifitas yang relatif sama. Artinya
bahwa seandainya terdapat perbedaan, maka tidak tidak terlalu signifikan.
Peternak dapat meminta daftar produktifitas atau prestasi bibit yang dijual di
Poultry Shop dalam menentukan pilihan strain apa yang akan dipelihara.
Adapun jenis strain ayam ras pedaging yang banyak beredar di pasaran
adalah: Super 77, Tegel 70, ISA, Kim cross, Lohman 202, Hyline, Vdett,

5
Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch, Yabro, Goto, Arbor arcres,
Tatum, Indian river, Hybro, Cornish, Brahma, Langshans, Hypeco-Broiler,
Ross, Cobb, Marshal l ”m”, Euribrid, A.A 70, H&N, Sussex, Bromo, CP 707
(Suprijatna dkk., 2005)
Ayam broiler memiliki karakteristik antara lain; ukuran badan besar,
padat, kompak, volume otot penuh, pergerakan lambat, bertemperamen
tenang, serta beberapa janis diantaranya masih mempunyai bulu kaki dan
masih suka mengeram (Rahayu dkk., 2011). Perkembangan ayam broiler
mulai dari Great grand parents stock, Grand parents stock, Parent stock dan
Final stock. Great grand parent stock (GGPS) adalah jenis ayam yang berasal
dari persilangan dan seleksi dari berbagai kelas, bangsa, atau varietas ayam
galur murni (pure line) yang dilakukan oleh pembibit, dan merupakan galur
untuk menghasilkan Grand parent stock. Grand parent stock (GPS) adalah
galur ayam yang khusus dipelihara untuk menghasilkan Parent stock (PS).
Parent stock adalah galur ayam yang dipelihara untuk menghasilkan Final
stock. Final stock (FS) atau ayam komersial adalah ayam yang khusus
dipelihara untuk memproduksi telur atau daging yang telah melalui berbagai
persilangan dan seleksi. Ayam galur Final stock ini tidak boleh dikawinkan
atau disilangkan lagi karena keturunan yang dihasilkan hanya memiliki
tingkat produktivitas sebesar 50% dari induknya (Tamailudin, 2014).

2.2 CRD (Chronic Respiratory Disease)


2.2.1 Etiologi dan Karakteristik Bakteri
Infeksi bakteri Mycoplasma gallisepticum pertama kali diketahui
terjadi pada kalkun di awal abad ke-20. Beberapa tahun kemudian
diketahui bahwa penyakit ini tidak hanya menyerang kalkun tetapi juga
pada ayam, hingga pada tahun 1950-an organisme penyebab penyakit
dengan nama lain "pleuropneumonia-like" ini berhasil diisolasi. Infeksi
bakteri M. gallisepticum tidak hanya menyebabkan sinusitis pada kalkun,
tetapi apabila diikuti infeksi sekunder maka akan menyebabkan Chronic
Respiratory Disease (CRD) pada ayam (Ministry of Agriculture, 2012).

6
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum
yang tergolong famili Mycoplasmataceae, genus Mycoplasma.
Organisme ini menunjukkan adanya variasi virulensi pada berbagai
strain, misalnya strain S6, A 5969, F dan R. Strain R merupakan galur
yang banyak digunakan untuk memproduksi vaksin inaktif (killed),
sedangkan strain S6 merupakan strain yang paling sering menyebabkan
penyakit pada unggas peliharaan. Bakteri M. gallisepticum dapat
menyebabkan pembentukan antibodi yang tidak sempurna, sehingga
unggas yang telah sembuh dari gejala klinis akan bersifat sebagai
pembawa atau carrier dan beresiko menjadi sumber penularan
(Ditjennak, 2014; Tabbu, 2015).
Bakteri M. gallisepticum adalah organisme berbentuk coccoid
dengan ukuran 0,25 – 0,5 µm, memiliki 3 lapis membran plasma yang
elastis, bersifat gram negatif. Bakteri MG dapat diisolasi pada media
perbenihan buatan yang diperkaya (enrichment media) dengan kadar
serum 10% - 20%. Bakteri MG juga dapat diinokulasikan pada yolk atau
allantois telur ayam berembrio (TAB), serta dapat bertahan hidup dalam
waktu relatif lama pada cairan yolk atau allanto amnion yang dibekukan
(Saif et al., 2008; Tabbu, 2015).

2.2.2 Sifat Kepekaan Bakteri


Bakteri M. gallisepticum dapat didesinfeksi dengan larutan
desinfektan jenis fenol, formalin, beta-propiolakton, dan mertiolat serta
akan mati apabila terpapar sinar matahari langsung. Menurut
Huvepharma (2012), bakteri MG juga dapat didesinfeksi dengan larutan
cresylic acid, hipoklorit dan glutaraldehid 0,1%. Bakteri ini mampu
bertahan terhadap paparan antiobiotik golongan penisilin (1000 IU/ml)
dan thalium acetate dengan kadar 1:4000 (Saif et al., 2008). Bakteri MG
dapat bertahan pada feses selama 1 – 3 hari dengan suhu 20ºC; dapat juga
bertahan pada yolk selama 18 minggu dengan suhu 37ºC atau selama 6
minggu dengan suhu 20ºC. Pada cairan allantois, bakteri MG tetap

7
bersifat infektif selama 4 hari jika disimpan di dalam inkubator (37°C); 6
hari pada suhu kamar; dan 32-60 hari di dalam lemari es (4°C). Pada
perbenihan cair bakteri MG mampu bertahan selama 2-4 tahun pada
penyimpanan dengan suhu -30°C, sedangkan jika dikeringbekukan
(lyophilized) dapat bertahan selama 7 tahun dengan suhu 4°C (Ditjennak,
2014).
Bakteri M. gallisepticum akan mengalami inaktivasi di dalam telur
tetas yang terinfeksi apabila telur tersebut dipanaskan pada temperatur
45,6ºC selama 12-14 jam (Saif et al., 2008). Bakteri MG yang
diinokulasikan pada yolk telur ayam berembrio (TAB) biasanya akan
bersifat lebih infektif dibandingkan dengan yang diinokulasikan pada
media perbenihan kaldu (Tabbu, 2015).

2.2.3 Epidemiologi
1. Spesies Rentan
Ayam dan kalkun secara alami rentan terhadap infeksi M.
gallisepticum. Hewan lainnya seperti burung dara, ayam hutan, dan
beberapa burung liar juga memiliki resiko terinfeksi bakteri tersebut.
Pada umumnya ayam berumur muda lebih rentan terhadap infeksi
terutama ayam jenis pedaging atau broiler. Tanpa adanya komplikasi
atau infeksi sekunder, ayam lebih tahan terhadap infeksi M.
gallisepticum daripada kalkun (Ditjennak, 2014)

2. Mortalitas dan Morbiditas Penyakit


Prevalensi kejadian CRD pada ayam relatif sedang dengan angka
morbiditas dan mortalitas masing-masing hingga mencapai 25% dan
20%. Meskipun angka mortalitasnya tidak terlalu besar akan tetapi
kerugian ekonomi yang ditimbulkan cukup signifikan, selain terjadi
penurunan kualitas maupun kuantitas karkas yang diproduksi, juga
berupa biaya pengobatan dan kematian ayam. Apabila CRD diikuti
infeksi sekunder dari penyakit lain, maka mortalitas dapat mencapai

8
30%. (Rahminiwati dkk., 2010). Penularan secara vertikal dapat terjadi
melalui telur yang berasal dari induk ayam yang bersifat carrier.
Derajat penularan pada saat induk ayam baru terinfeksi dapat mencapai
35% dan bertahap mengalami penurunan menjadi 1% setelah 2-4 bulan
(Ditjennak, 2014).

3. Distribusi Penyakit
Distribusi CRD (Chronic Respiratory Disease) dilaporkan terjadi
hampir di seluruh dunia, sedangkan kejadian di Indonesia untuk
pertama kali dilaporkan oleh Richey dan Dirdjosoebroto pada tahun
1965, bahwa ayam ras yang menunjukkan gejala gangguan respirasi di
Jawa Barat menunjukkan hasil serologis positif dengan persentase 90%.
Pada data tahun 1974 hasil pemeriksaan serum ayam di beberapa daerah
di Indonesia, diketahui bahwa CRD telah menyebar luas di Jakarta,
Bogor, Bandung, Semarang, Tegal, Yogyakarta, Surabaya, Malang,
Bali, Ujung Pandang, Palembang, dan Medan. Reaktor tidak hanya
terdapat pada ayam ras tetapi juga pada ayam kampung. Ayam yang
berasal dari Bogor, Jawa Tengah, Sukabumi, dan Priangan
menunjukkan angka 80% ayam jantan dan 92% ayam betina positif
serologis, sedangkan ayam kampung di Bali 80% reaktor. Data tersebut
menunjukkan fluktuasi jumlah reaktor tahun demi tahun masih tetap
dalam batas persentase yang tinggi. Hingga kini kasus CRD telah
menyebar luas dimana-mana, namun tidak dilaporkan (Soeripto, 2009;
Tarmudji, 2005).
Kejadian kasus CRD di Indonesia pada tahun 1981 dilaporkan
terjadi di Sumatra Utara, Jambi, Lampung, Sumara Selatan, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur; 1982 di Sumatra
Utara, DI. Aceh, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa
Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat; 1983 di DI.
Aceh, Sumatra Utara, Jambi, Lampung, Riau, Sumatra Selatan, Jawa
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara

9
Timur, DI.Yogyakarta, Jawa Timur, dan Maluku; 1986 di Sumatra
Utara, DI. Aceh, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Sampai saat ini kejadian kasus
CRD terus dilaporkan terjadi di berbagai provinsi di Indonesia,
termasuk Indonesia bagian timur, barat, dan tengah (Ditjennak, 2014).

2.2.4 Cara Penularan


Penularan dapat terjadi secara horizontal melalui kontak langsung
antara ayam sakit atau carrier dengan ayam sehat yang peka. Penularan
dapat juga terjadi secara tidak langsung melalui udara yang tercemar oleh
debu atau leleran dari tubuh yang mengandung bakteri M. gallisepticum,
pakan/air minum, perlengkapan kandang, alat transportasi dan pekerja
yang tercemar oleh bakteri tersebut. Penularan melalui udara biasanya
terjadi pada kandang-kandang dengan perbedaan umur ayam yang
signifikan berada pada lokasi yang berdekatan (Ahmad and Rabbani,
2012; Tabbu, 2015).
Penularan CRD dapat juga terjadi secara vertikal (melalui ovarium,
transovarial), yaitu penularan dari induk ke anak saluran reproduksi.
Peneliti melaporkan bahwa bakteri ini dapat diisolasi dari oviduk ataupun
semen ayam yang terinfeksi. Derajat penularan tertinggi pada waktu
induk baru terpapar infeksi yaitu mencapai 35% dan terus mengalami
penurunan hingga menjadi 1% setelah 2-4 bulan dari waktu awal infeksi
(Ditjennak, 2014).

2.2.5 Patogenesis
Organisme penyebab CRD akan masuk ke dalam tubuh ayam
melalui saluran pernapasan atau melalui embrio yang terinfeksi,
kemudian menyebar melalui darah dan dapat merusak berbagai sel,
terutama sel epitelium saluran pernapasan (Tabbu, 2015). Bakteri M.
gallisepticum melekat pada reseptor yang terdapat di membran sel-sel

10
epitel yang disebut sialoglycoprotein (Patron recognition reseptors sites)
yang dimediasi oleh adhesin dan protein yang disebut bleb (Pathogen
associate molecular patrons) yang terletak pada ujung organ sel
mikoplasma (Soeripto, 2009). Menurut Szathmary dan Stipkovitis
(2006), infeksi terjadi ketika bakteri MG melakukan penetrasi dan
merusak sel-sel epitel di lapisan mukosa akibat proses multiplikasi.
Adanya perantara gerakan silia sel epitel dan bleb menyebabkan bakteri
MG dapat terbawa menuju kantong hawa abdominal (airsac abdominal).
Mekanisme infeksi vertikal bakteri M. gallisepticum hingga masuk ke
indung telur dan oviduk masih belum diketahui secara jelas hingga saat
ini.
Kerusakan yang terjadi pada jaringan epitel bukanlah akibat dari
toksin bakteri M. gallisepticum tetapi lebih disebabkan akibat respon
imunitas dari hospes barupa reaksi peradangan atau inflamasi (Soeripto,
2009). Inflamasi menyebabkan terhambatnya perkembangan sel T helper
1 (Th1 cell) sehingga sel T sitotoksik (killer cytotoxic T cell) menjadi
tidak aktif yang mengakibatkan infeksi bakteri MG menjadi persisten.
Akibat lain dari infeksi bakteri MG yang bersifat persisten yaitu terjadi
peningkatan produksi Tumor Necrosis Factor-α (TNFα) yang
mengakibatkan respon sel T helper 2 menurun, sehingga respon antibodi
terhadap infeksi bakteri atau virus lain juga menurun drastis. Kondisi ini
menjelaskan mengapa infeksi bakteri M. gallisepticum menyebabkan
imunosupresif atau tertekannya sistem imunitas hospes (Szathmary dan
Stipkovitis, 2006).

2.2.6 Gejala Klinis


Gejala klinis yang menjadi ciri khusus CRD pada flok ayam
dewasa adalah adanya suara pernapasan trakea, nasal discharges, dan
batuk. Gejala utama yang peling jelas terlihat adalah pembengkakan area
sinus, sehingga penyakit tersebut diduga merupakan infectious sinusitis
(Ministry of Agriculture, 2012). Meski hewan yang terinfeksi MG tidak

11
menunjukkan adanya gejala klinis (subklinis), secara serologis telah
terjadi perubahan yang jelas pasca infeksi, khususnya pada infeksi di
umur muda dan sembuh parsial (Saif et al., 2008).
Pada kondisi percobaan, masa inkubasi penyakit ini berkisar antara
6 – 21 hari (Huvepharma, 2012; Ministry of Agriculture, 2012). Pada
kondisi Lapang, sangat sulit untuk menentukan masa inkubasi CRD
secara tepat karena sulit untuk menentukan saat terjadi kontak pertama
kali dengan bakteri MG dan gejala klinis yang terlihat dapat dipengaruhi
oleh banyak faktor, misalnya adanya penyakit lain dan hewan mengalami
stres lingkungan. Sejumlah kasus yang ditemukan pada ayam menjelang
produksi telur menunjukkan adanya infeksi ringan yang diduga telah
berlangsung lama dan muncul saat mengalami stres. Masa inkubasi yang
cenderung panjang biasanya ditemukan pada anak ayam yang berasal
dari telur terinfeksi bakteri MG, yang telah dicelupkan ke dalam
antibiotik untuk mengurangi resiko CRD (Tabbu, 2015).
Gejala klinis bervariasi dari subklinis hingga kesulitan bernafas
tergantung dari derajat keparahan infeksi. Gejala klinis awal adalah
keluarnya leleran cairan eksudat bening (catarrhal) dari rongga hidung,
bersin-bersin, ngorok basah akibat penumpukan cairan di trakea,
konjungtivitis dan batuk (Saif et al., 2008; Soeripto, 2009). Pada mata
terlihat adanya eksudat berbuih dan terkadang terdapat pembengkakan
pada sinus periorbitalis. Bulu pada sayap sering terlihat kotor karena
ayam berusaha untuk menggosokkan hidung dan mata yang
mengeluarkan eksudat. Apabila lesi hanya terjadi pada kantung hawa
(airsac), maka gejala klinis spesifik jarang muncul (Tabbu, 2015)
Konsumsi pakan biasanya mengalami penurunan sehingga berat
badan ayam cenderung tetap atau bahkan menurun akibat gangguan
pertumbuhan. Penurunan produksi telur biasanya akan bertahan pada
tingkat yang rendah (Ministry of Agriculture, 2012). Pada uji serologis,
sejumah ayam dapat menunjukkan adanya respon antibodi positif
terhadap M. gallisepticum tanpa menunjukkan gejala klinis tertentu. Hal

12
ini dapat ditemukan terutama pada ayam yang terinfeksi pada umur
muda, kemudian mengalami kesembuhan secara alami namun bersifat
parsial. Penyakit ini biasanya menjadi lebih parah pada saat pergantian
musim, musim kemarau panjang, atau pada saat perbedaan temperatur
dan kelembapan antara siang dan malam sangat signifikan. Unggas
jantan bisanya menunjukkan gejala yang lebih parah dibandingkan
dengan Unggas betina. Pada ayam pedaging kejadian penyakit CRD
paling banyak terjadi pada sekitar umur 4-6 minggu, walaupun demikian
sering kali ditemukan lebih awal pada umur sekitar 2 minggu (Saif et al.,
2008; Tabbu, 2015).
Gejala klinis biasanya lebih parah pada ayam berumur muda
dibandingkan dengan ayam yang berumur tua. Infeksi biasanya mengenai
hampir semua ayam dalam flok, walaupun bervariasi dalam derajat
keparahan dan lamanya proses penyakit. Persentase morbiditas biasanya
tergantung pada adanya infeksi sekunder agen patogen lain. Pada grower
atau ayam pedaging mortalitas biasanya rendah pada kasus yang tidak
mengalami komplikasi atau disertai infeksi sekunder. Sebaliknya pada
kasus yang mengalami komplikasi maka mortalitas dapat mencapai 30%
terutama pada kondisi temperatur yang tidak stabil (Saif et al., 2008).
Ayam yang sembuh dari gejala klinis akibat infeksi M.
gallisepticum akan mempunyai kekebalan terhadap penyakit CRD.
Kelompok ayam yang demikian akan bersifat carrier dan berpotensi
menularkan penyakit tersebut kepada ayam lain yang peka secara kontak
langsung maupun melalui udara, bahkan hingga menginfeksi telur yang
dihasilkannya akibat infeksi vertikal (Butcher, 2015). Di Indonesia,
penyakit CRD sering kali disertai dengan komplikasi penyakit lain
seperti kolibasilosis, gumboro, Swollen Head Symdrome (SHS),
infectious coryza dan Infectious Bronchitis (Tabbu, 2015).
Kalkun lebih peka terhadap CRD daripada ayam, oleh sebeb itu
muncul lebih banyak gejala klinis meliputi sinusitis, gangguan respirasi,
depresi, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Ministry of

13
Agriculture, 2012). Proses inokulasi melalui rute tetes mata, intranasal,
atau intratrakea sering menghasilkan sedikit lesi ringan daripada melalui
intrasinus atau intra-airsac. Kalkun terkadang tidak memunculkan gejala
sinusitis kecuali bakteri MG diinjeksikan langsung ke dalam sinus.
Seperti yang terjadi pada ayam, banyak terjadi wabah dengan angka
mortalitas dan morbiditas tinggi dengan melibatkan faktor komplikasi
seperti kolibasilosis atau stres dari lingkungan (Saif et al., 2008).
Leleran hidung (nasal discharges) dengan sekresi air mata berbusa
seringkali muncul terlebih dahulu, merupakan awal terjadinya
pembengkakan sinus paranasal (infraorbital). Pembengkakan tersebut
mengakibatkan tertutupnya mata secara parsial hingga total. Konsumsi
pakan cenderung mendekati normal selama hewan masih mampu melihat
untuk makan. Seiring dengan berkembangnya penyakit, hewan terinfeksi
dapat mengalami hambatan pertumbuhan berat badan hingga terjadi
penurunan. Suara pernapasan berat pada trakea, batuk, dan kesulitan
bernapas dapat menjadi jelas apabila terjadi tracheitis atau airsacculitis.
Bentuk ensefalitis dari infeksi MG dapat terjadi pada kalkun pedaging
komersial berumur 12-16 minggu dan menunjukkan terjadinya torticollis
dan ophisthotonus. Pada flok breeding, dapat terjadi penurunan produksi
telur atau setidaknya efisiensi produksi menurun (Saif et al., 2008).

2.2.7 Perubahan Patologi Anatomi


Perubahan yang terlihat terutama meliputi pembentukan eksudat
mukus, catarrhal, hingga kaseus di dalam cavum nasalis dan
paranasalis, trakea, bronki dan kantong hawa atau airsac, serta sering
ditemukan juga adanya sinusitis. Akumulasi cairan eksudat di area kepala
mengakibatkan pembengkakan pada infraorbitalis bilateral/unilateral dan
sinus periorbitalis, ditunjukkan oleh Gambar 2.1 dan Gambar 2.2
(Ivanov, 2007).Trakea dan kantong hawa abdominal khususnyajuga
mengalami peradangan. Kantong hawa biasanya mengandung eksudat
kaseus yang berwarna kuning terang hingga berbentuk padat,

14
walauterdang hanya terlihat keruh saja, oleh karena itu penyakit ini
disebut juga dengan Airsac disease, ditunjukkan oleh Gambar 2.3
(Ivanov, 2007; Saif et al., 2008). Pada kasus yang berat hingga disertai
komplikasi Escherichia coli akan terlihat adanya perihepatitis dan
perikarditis fibrinus sampai fibrinopurulen (dikenal sebagai poliserositis),
dan terkadang terlihat juga adanya pneumonia (Tabbu, 2015).

Gambar 2.1 Pembengkakan bagian kepala unilateral


Pembengkakan terjadi akibat akumulasi cairan atau oedema

Gambar 2.2 Pembengkakan daerah sinus periorbitalis


Terjadi pembengkakan pada jaringan di area periorbital

Gambar 2.3 Eksudat kaseus pada kantung hawa


Akumulasi eksudat kaseus di dalam kantung hawa abdominal

15
2.2.8 Peneguhan Diagnosis Melalui Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis CRD umumnya sulit dilakukan karena gejala klinis yang
muncul memiliki kemiripan dengan penyakit-penyakit saluran
pernapasan lainnya dan perubahan patologis yang terjadi biasanya
merupakan bentuk campuran dari berbagai penyakit lain sehingga
membentuk suatu komplikasi. Meskipun demikian, diagnosis infeksi
bakteri M. gallisepticum dapat dilakukan berdasarkan pada riwayat
penyakit, gejala klinis, perubahan patologis, hasil isolasi dan kultur
bakteri, morfologi, sifat biokimiawi, uji serologis, dan teknik molekuler
(Ahmad and Rabbani, 2012).
Diagnosis CRD dapat juga dilakukan dengan metode pemeriksaan
serologis, meliputi rapid plate agglutination test (RPAT), enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA), standard tube agglutination test,
standard hemagglutination (HI) test. Uji RPAT merupakan uji seroligis
yang paling sering digunakan di lapang daripada uji-uji lainnya karena
bersifat praktis dan ekonomis. Uji RPAT memberikan informasi tentang
adanya pembentukan antibodi terhadap bakteri M. gallisepticum pada
ayam dalam satu flok. Uji PCR (Polymerase Chain Reaction) juga dapat
dilakukan sebagai metode diagnosis infeksi CRD dengan mengetahui
keberadaan DNA bakteri tersebut (Huvepharma, 2012; Tabbu, 2015).
Diagnosis akhir CRD harus didasarkan pada isolasi sampel dan
identifikasi bakteri MG. Kekurangan metode ini adalah waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan isolasi dan identifikasi M. gallisepticum
cukup lama (3-4 minggu), sehingga pada kondisi lapang aspek praktisnya
menjadi berkurang (Tabbu, 2015).

2.2.9 Diagnosis Pembeda


Penyakit CRD yang terjadi di peternakan ayam harus dibedakan
terhadap penyakit lain yang menyerang sistem respirasi. Bakteri M.
gallisepticum dianggap sebagai penyebab primer CRD, meski demikian
organisme lain dapat menyebabkan komplikasi. Infeksi yang berat pada

16
kantong hawa atau airsac biasanya disebut sebagai CRD kompleks
(penyakit kantong hawa), merupakan suatu bentuk CRD yang paling
banyak ditemukan di lapang. Infeksi sekunder yang umum terjadi pada
CRD adalah kolibasilosis (Escherichia coli), Haemophilus
paragallinarum, Coronavirus (penyebab Infectious Bronchitis),
Paramyxovirus (penyebab Newcastle Disease), Pneumovirus (penyebab
Swollen Head Syndrome), Herpesvirus grup A sebagai penyebab
Infectious Laryngotracheitis (ILT), Infectious coryza (Avibacterium
paragallinarum), dan fowl cholera (Pasteurella multocida). Penyakit ND
dan IB yang menyerang ayam pengidap CRD dapat diketahui dengan
mengidentifikasi antigen atau antibodi spesifik melalui uji serologis,
sedangkan untuk penyakit infectious coryza dan fowl cholera dapat
diidentifikasi melalui kultur bakteri (Huvepharma, 2012; Saif et al.,
2008; Tabbu, 2015).

2.2.10 Pengobatan
Pengobatan terhadap CRD sudah sering dilakukan tetapi hingga
saat ini penyaki tersebut masih tersebar di seluruh dunia. Bakteri M.
gallisepticum diketahui tidak memiliki dinding sel sehingga pengobatan
tidak dapat dilakukan dengan menggunakan antibotik penisilin atau
derivatnya karena memiliki aktivitas menghambat sintesis dinding sel
bakteri (Soeripto, 2009).
Menurut Tabbu (2015), bakteri M. gallisepticum sensitif terhadap
beberapa antibiotik seperti spiramisin, tilosin, linkomisin, spektinomisin,
eritromisin, dan beberapa antibiotik golongan kuinolon. Menurut Saif et
al. (2008), bakteri MG menunjukkan adanya sensitivitas secara in vitro
dan in vivo terhadap antibiotik golongan makrolida, tetrasiklin,
fluorokuionolon, tetapi resisten terhadap penisilin dan antibiotik lain
yang bekerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Tidak disarankan
untuk melakukan pengobatan secara terus-menerus dengan obat yang

17
sama, karena beresiko menyebabkan resistensi dan meninggalkan residu
yang berbahaya bagi konsumen produk ayam.

2.2.11 Pencegahan
1. Biosekuriti
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah munculnya
penyakit tersebut adalah dengan melaksanakan program peningkatan
sistem biosekuriti yang meliputi pengawasan ketat terhadap lalu lintas
ternak, produk ternak, pekerja, peralatan, dan kendaraan yang masuk ke
dalam kawasan peternakan (The Center for Food Security and Public
Health, 2007). Biosekuriti adalah upaya agar agen penyakit tidak
masuk/keluar peternakan/kawasan Program biosekuriti harus diterapkan
secara konsisten untuk memutus rantai bibit CRD yang masuk ke dalam
peternakan. Program desinfeksi terhadap kandang, peralatan, pakaian
pekerja, kendaraan serta orang yang masuk ke dalam wilayah
peternakan harus diterapkan dengan ketat. Fumigasi terhadap kandang-
kandang yang telah dipakai harus dilakukan dan dibiarkan selama 4 – 6
minggu sebelum digunakan kembali. Pembakaran dan penguburan
bangkai ayam, telur, kotoran ternak serta pakaian yang terkontaminasi
agen infeksi harus dilakukan. Inti dari pencegahan dan pengendalian
penyakit secara praktis adalah menerapkan biosekuriti, vaksinasi,
pengobatan, stamping out/culling, didukung sosialisasi penyakit kepada
masyarakat/peternak/petugas secara intensif. Biosekuiti didukung oleh
komponen sarana fisik dan prosedur. Sarana fisik berupa batas kawasan
peternakan (pagar luar), dinding kandang, bentuk kandang/panggung,
pintu masuk, ruang isolasi (karantina) bagi hewan sakit. Prosedur
seperti pengelolaan kandang oleh petugas khusus (satu kandang satu
petugas); alur masuk kandang; alur keluar kandang; desinfeksi saat
masuk, desinfeksi saat keluar; dan berganti pakaian/perlengkapan kerja
(Adjid dkk., 2007).

18
Pengamanan biologis secara ketat dan pelaksanaan aspek
manajemen lainnya secara maksimal perlu dilakukan untuk
menghilangkan faktor pendukung sumber infeksi CRD, seperti tidak
maksimalnya sirkulasi udara di dalam kandang, kadar amonia yang
tinggi, kepadatan kandang yang terlalu tinggi, adanya faktor penyebab
stres, adanya penyakit imunosupresif atau penyakit pernapasan lainnya.
Area kandang dan lingkungan sekitarnya perlu didesinfeksi untuk
menghilangkan sumber penyakit, demikian juga dengan ayam yang
terserang CRD perlu diberikan pengobatan yang bersifat suportif untuk
mempercepat proses kesembuhan. Pemeliharaan ayam dari berbagai
umur pada satu lokasi perlu diatur secara baik agar kandang
DOC/grower terpisah dari kandang ayam yang telah bereproduksi atau
perbedaan umur antara kandang satu dengan yang lainnya tidak terlalu
signifikan untuk menghindari kemungkinan penularan CRD dari ayam
yang lebih tua ke ayam muda atau sebaliknya (Tabbu, 2015).
Uji Serologis merupakan prosedur pengujian yang harus
dilakukan secara berkala terhadap generasi parent stock maupun telur
ayam broiler untuk mendapatkan informasi tentang status infeksi M.
gallisepticum, sehingga generasi berikutnya dapat terbebas dari potensi
infeksi CRD (Saif et al., 2008). Infeksi bakteri M. gallisepticum dapat
ditularkan secara vertikal, oleh karena itu untuk mendapatkan ayam
yang bebas dari infeksi kualitas anak ayam harus berasal dari induk
yang bebas dari infeksi bakteri MG. Kondisi ini sulit dipenuhi di
Indonesia karena pada umumnya peternakan ayam pembibit atau
Breeding Farm tidak ada yang bebas dari CRD (BPPH, 2007;
Romindo, 2007).

2. Vaksinasi
Vaksinasi merupakan tindakan pencegahan penyakit melalui
stimulasi sistem kekebalan tubuh spesifik secara aktif. Vaksinasi
dilakukan secara teratur sesuai rekomendasi disertai monitoring

19
antibodi setelah vaksinasi (Adjid et al., 2007). Vaksinasi merupakan
salah satu metode pencegahan infeksi CDR yang patut dipertimbangkan
pada situasi dimana paparan oleh agen infeksius tersebut tidak dapat
terhindarkan. Sejumlah peternakan ayam pembibit atau Breeding Farm
telah melakukan vaksinasi CRD menggunakan vaksin inaktif dengan
hasil yang cukup bervariatif. Perlu adanya usaha lebih lanjut untuk
mengembangkan jenis vaksin CRD yang efektif dan menguntungkan
dari segi cost-benefit. Tingkat keberhasilan vaksinasi erat hubungannya
dengan kondisi manajemen suatu petenakan (Tabbu, 2015).
Terdapat dua jenis vaksin untuk mengontrol infeksi CRD, yaitu
strain bervirulensi ringan (avirulent) yang digunakan pada vaksin aktif
atau live vaccine, dan emulsi bakterin inaktif (killed vaccine). Meski
terdapat banyak variasi strain dari bakteri M. gallisepticum, program
vaksinasi dengan menggunakan satu jenis strain saja dirasa telah
memberikan hasil yang cukup baik (OIE, 2008):
a. Vaksin Inaktif (Killed Vaccine)
Generasi awal program vaksinasi dimulai dengan
pengembangan vaksin bakterin atau killed vaccine. Vaksin ini
mampu mencegah terjadinya airsacculitis dan penurunan produksi
telur dengan hasil bervariasi. Kelebihan vaksin bakterin adalah tidak
memiliki resiko penyebaran infeksi, tetapi memiliki efikasi yang
rendah dan tidak bertahan jangka panjang sehingga diperlukan
vaksin ulang (booster). Adjuvant diperlukan untuk meningkatkan
potensi efektifitas vaksin bakterin. Vaksin M. gallisepticum bakterin
asal strain R yang diimpor dari Amerika telah beredar di Indonesia
(Soeripto, 2009). Tingginya kandungan antigen adalah hal yang
esensial pada vaksin jenis ini untuk dapat berfungsi secara maksimal.
Vaksin bakterin biasanya digunakan pada anak ayam berjenis
kelamin betina atau pullet untuk memberikan perlindungan terhadap
penurunan produksi telur setelah terpapar bakteri MG di lokasi
pemeliharaan dengan umur unggas yang berbeda-beda. Vaksin

20
tersebut juga digunakan untuk menekan angka penularan CRD
melalui telur pada anak ayam betina pembibit. Penggunaan vaksin
bakterin pada ayam broiler dibatasi karena terdapat temuan fakta
bahwa ayam yang tervaksinasi sebelum berumur 1-2 minggu tidak
akan terlindungi. Flok yang telah tervaksinasi dengan vaksin
bakterin dapat dengan mudah terinfeksi kembali oleh bakteri MG,
meskipun vaksin tersebut mampu melawan gejala gangguan
respirasi, airsacculitis, dan penurunan produksi telur. Durasi
imunitas yang dibentuk oleh vaksin bakterin masih belum diketahui
secara pasti, tetapi kebanyakan flok akan terinfeksi kembli oleh
bakteri MG dalam 1-2 bulan pasca vaksinasi. Pemberian vaksin
bakterin dilakukan melalui rute injeksi intramuskuler atau subkutan
dengan dosis 0,5 ml per ekor. Pada rute intramuskuler terdapat
resiko terjadinya reaksi persisten pada lokasi injeksi vaksin, sehingga
dibutuhkan pemotongan karkas di lokasi tersebut. Pemberian melalui
rute subkutan pada bagian dorsal leher menjadi rute pemberian yang
paling umum digunakan. Pemberian 2 dosis langsung lebih
dianjurkan, tetapi mengingat akan terjadi peningkatan biaya yang
dikeluarkan dan tenaga kerja yang dibutuhkan sehingga paling sering
hanya diberikan 1 kali dosis saja, dan dilakukan antara umur 16 - 18
minggu. Syringe multidosis dapat digunakan dalam proses vaksinasi
untuk efesiensi waktu. Semua peralatan harus dibersihkan dan
disterilkan saat akan berpindah flok dengan umur berbeda dan tenaga
vaksinator harus diberikan bekal pelatihan mengenai metode
biosekuriti ketika berpindah antar flok. Vaksin bakterin harus
disimpan pada suhu 2-8oC dan juga tidak boleh dibekukan atau
terpapar cahaya langsung (OIE, 2008).
b. Vaksin Aktif (Live Vaccine)
Penggunaan vaksin aktif atau live vaccine memiliki arti bahwa
hewan dibuat terinfeksi secara terkontrol. Penggunaan vaksin
tersebut bertujuan untuk menginfeksi flok dengan strain MG yang

21
bersifat imunogenik ringan (mild immunogenic) pada umur ternak
tertentu dengan resiko efek samping yang minimal. Vaksinasi akan
memberikan hasil yang bersifat persisten melawan infeksi bakteri M.
gallisepticum. Vaksinasi dikatakan berhasil apabila hewan dapat
bertahan dan memiliki sistem imunitas spesifik terhadap penyakit
respirasi, airsacculitis, dan penurunan produksi telur akibat infeksi
CRD. Vaksinasi juga cukup memberikan hasil yang positif pada
penurunan penularan MG melalui telur atau penularan secara
vertikal pada unggas pembibit. Vaksin aktif harus segera
diinjeksikan ke ternak dalam waktu 1-2 jam setelah dilakukan
rekondisional. Vaksin yang dibekukeringkan (lyophilised) harus
disimpan pada suhu 4oC. Beberapa pabrikan menyuplai vaksin beku
dan harus disimpan dalam ruang tertutup berisi nitrogen cair, es
kering, dengan suhu -70oC atau lebih rendah. Vaksin aktif M.
gallisepticum akan menjadi tidak stabil apabila disimpan dalam
lemari es biasa dalam jangka waktu panjang dan penyimpanan dalam
waktu lebih dari beberapa hari (jangka pendek) pada suhu -20oC
harus dihindari (OIE, 2008).
Bakteri M. gallisepticum strain F diketahui telah menjadi strain
yang paling sering digunakan untuk produksi vaksin CRD karena
memiliki tingkat virulensi rendah dan menimbulkan gejala klinis
yang minimal. Apabila bakteri MG strain F dipaparkan melalui
aerosol dapat menimbulkan resiko terserang Newcastle Disease atau
infectious bronchitis, gejala gangguan respirasi, dan airsacculitis.
Penggunaan dosis tunggal telah memberikan hasil yang efektif.
Strain bakteri MG ts-11 dan 6/85 merupakan strain yang bersifat
tidak virulen dan tersebar pada ternak yang tidak tervaksinasi atau
hanya menginfeksi sebagian kecil populasi dalam lingkup wilayah
sempit (Saif et al. 2008).
Vaksinasi penting dilakukan sebelum flok ayam terinfeksi
secara alami dan menunjukkan gejala klinis. Vaksinasi dapat

22
dilakukan pada ayam umur 2-4 minggu pada kondisi ternak memiliki
resiko tinggi terserang CRD. Vaksin M. gallisepticum strain F
cenderung dilakukan melalui rute intranasal atau tetes mata. Apabila
dilakukan secara aerosol akan membutuhkan waktu 5-7 hari untuk
dapat bereaksi dengan ternak. Flok yang telah tervaksinasi harus
dilakukan uji aglutinasi dalam waktu 3-4 minggu pasca vaksinasi
untuk memastikan bahwa seluruh populasi telah tervaksinasi dengan
baik. Pada vaksi strain ts-11 harus diberikan melalui tetes mata, dan
strain 6-85 diberikan secara spray atau semprot merata. Vaksinasi
dengan strain ts-11 menghasilkan respon serologis yang jelas tetapi
rendah pada pengujian serum plate agglutination, HI, dan ELISA,
serta untuk vaksinasi dengan strain 6-85 biasanya tidak
menunjukkan adanya respon serologis. Tidak ada reaksi pasca
vaksinasi yang perlu diobservasi pada penggunaan vaksin strain 6/85
atau ts-11. Flok yang tervaksinasi dengan strain F atau ts-11
memberikan hasil positif bagi ketahanan kesehatan terhadap CRD
pada populasi ternak ayam di dalamnya, tetapi untuk ayam yang
divaksin dengan strain 6/85 memiliki kelemahan yaitu lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk tubuh kembali sehat total pasca
vaksinasi, hingga melebihi 4 - 6 minggu (OIE, 2008).
Vaksin M. gallisepticum strain 6/85 dan ts-11 bersifat lebih
aman daripada strain F, meskipun tingkat perlindungan vaksin
tersebut lebih rendah daripada srain F dan dapat berguna sebagai
vaksin primer pada area flok dengan perbedaan umur yang signifikan
atau sebagai vaksin generasi kedua pada area yang sebelumnya telah
menggunakan vaksin strain F. Kedua jenis strain vaksin tersebut juga
cenderung digunakan pada kondisi apabila terdapat resiko infeksi
CRD berasal dari peternakan unggas lain di sekitarnya. Strain F lebih
efisien dalam menggantikan strain bakteri MG dia lapang daripada
strain ts-11 maupun strain 6/85, tetapi strain ts-11 telah digunakan
untuk mengeradikasi bakteri MG strain F pada ayam dengan umur

23
berbeda. Pada area pemeliharaan dengan umur ternak yang berbeda,
dimana strain 6/85 secara konsisten digunakan sering menunjukkan
hasil negatif pada pengujian hasil vaksinasi (Saif et al., 2008).

24

Anda mungkin juga menyukai