Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KOASISTENSI BAKTERIOLOGI

“CAMPYLOBACTERIOSIS”

OLEH :

NOVIE HELLEN MANONGGA, S.KH

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan pangan asal temak susu, daging, dan telur merupakan sumber protein yang

kebutuban setiap tahunnya meningkat. Saat ini tuntutan masyarakat terhadap kualitas bahan

pangan yang dikonsumsi juga semakin meningkat. Bahan pangan asal ternak yang banyak

mengandung protein merupakan bahan yang mudah rusak dan mudah terkontaminasi oleh

cemaran mikroba baik yang bersifat patogen maupun nonpatogen. Kontaminasi oleh mikroba

pada bahan pangan menyebabkan penurunan kualitas bahan pangan. Usaha meningkatkan

kualitas dan keamanan pangan terutama produk peternakan seperti susu, daging, dan telur periu

dilakukan untuk mengurangi kejadian faadbarne disease. Salah satu usaha meningkatkan kualitas

dan keamanan pangan adalah dengan melakukan uji keberadaan mikroba patogen seperti

Campylabaeter spp. pada bahan pangan asal temak (Andriani et al., 2013).

Campylobacter spp. merupakan salah satu bakteri patogen penyebab emerging foodborne

zoonoses, selain bakteri Salmonella spp. dan Escherichia coli O157 (Trevejo et al., 2005).

Bakteria ini menyebabkan penyakit yang disebut dengan campylobacteriosis (Angeliya dan

Kurdiwa, 2013). Saat ini genus Campylobacter terdiri dari 17 spesies, adapun spesies lain yang

mampu menyebabkan penyakit pada manusia antara lain C. fetus, C. jejuni, C. coli, C. sputorum,

C. concisus, C. curvus dan C. rectus (Debruyne et al., 2008), di mana C. jejuni dan C. coli

merupakan spesies yang penting dan paling banyak dilaporkan menginfeksi manusia dan hewan

(Andriani et al., 2013; Blaser dan Engberg, 2008; Lastovica dan Allos, 2008). Hal ini juga sesuai

dengan pernyataan Jan et al. (2001) dan Lan et al. (2003), dari semua jenis Campylobacter, C.

jejuni diduga 80-90% sebagai penyebab utama infeksi Campylobacteriosis. Kejadian infeksi
Campylabacter sp. pada hewan sangat bervariasi, meskipun infeksi yang terjadi pada petemakan

ayam memegang peranan penting dalam penyebaran atau kontaminasi C. Jejuni. Hasil studi

kasus pada manusia melaporkan bahwa sumber utama infeksi disebabkan karena mengonsumsi

daging ayam, daging sapi, dan susu yang terkontaminasi (Andriani et al., 2013). Berdasarkan

uraian diatas penting dilakukannya penulisan studi literatur mengenai Campylobacteriosis.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penulisan studi literatur ini adalah:

1. Bagaimana teknik pengambilan sampel Campylobacteri sp. pada hewan?

2. Media apa saja yang digunakan dalam teknik diagnosa Campylobacteri sp.?

3. Apa saja uji biokimia yang digunakan dalam teknik diagnosa Campylobacteri

sp.?

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan studi literatur ini adalah untuk mengetahui:

1. Untuk mengetahui teknik pengambilan sampel Campylobacteri sp. pada hewan.

2. Untuk mengetahui media yang digunakan dalam teknik diagnosa Campylobacteri

sp.

3. Untuk mengetahui uji biokimia yang digunakan dalam teknik diagnosa

Campylobacteri sp.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Etiologi

Campylobacteriosis bersifat zoonosis yaitu dapat menular dari hewan ke manusia.

Hampir semua jenis Campylobacter sp. tergolong katalase positif yang dapat menyebabkan

infeksi pada manusia maupun hewan ternak (Tjampakasari dan Kusmaryeni, 2021). Taksonomi

genus Campylobacter saat ini yaitu dari Family: Campylobacteriaceae, yang mencakup tiga

genus berbeda: Campylobacter, Arcobacter dan Helicobacter (Fitzgerald dan Nachamkin, dalam

Facciolà et al., 2017). Genus Campylobacter mencakup 22 spesies, adapun semua jenis

Campylobacter, C. jejuni diduga 80-90% sebagai penyebab utama infeksi Campylobacteriosis

(Jan et al., 2001; Lan et al., 2003; Fitzgerald dan Nachamkin, dalam Facciolà et al., 2017).

Genus ini mempunyai spesies yang menyebabkan infeksi genital dan usus penting pada hewan,

serta spesies saprofit (Carter dan Cole, 1990). Semua spesies ini biasanya mengkolonisasi

peralatan yang berbeda dari hewan domestik atau liar dan dapat ditemukan di banyak makanan

yang berasal dari hewan (Man, 2011). Genus Campylobacter terdiri dari mikroorganisme gram

negatif, tidak membentuk spora dan dengan ukuran yang bervariasi, dengan panjang antara 0,5

dan 5 µm dan lebar antara 0,2 hingga 0,9 µm (Vandamme et al., 2005). Sebagian motil dan

dicirikan oleh gerakan spiral yang disebabkan oleh flagel kutub yang ada di salah satu atau kedua

ujung sel. Satu-satunya pengecualian adalah Campylobacter gracilis, yang tidak bergerak, dan

Campylobacter showae yang memiliki banyak flagela (Debruyne et al. 2008, dalam Facciolà et

al., 2017).
DNA sekitar 1,6-1,7 Mbps dan kaya akan adenin dan timin; Rasio GC sekitar 30% Owen

dan Leaper, 1981). Dari sudut pandang metabolisme, bakteri ini merupakan mikro-aerofilik yang

oleh karena itu bertahan dan tumbuh paling baik di lingkungan yang ditandai dengan tekanan

oksigen yang rendah (5% O2, 10% CO2, dan 85% N2) (Fitzgerald dan Nachamkin, dalam

Facciolà et al., 2017; Garénaux et al., 2008). Semua spesies, kecuali C. gracilis, mensintesis

enzim oksidase. Spesies Campylobacter mampu tumbuh pada pH antara 6,5 dan 7,5 dan pada

suhu antara 37° dan 42°C. Untuk alasan ini, oleh beberapa penulis, didefinisikan sebagai

termofilik namun menurut Levin (2007), mengusulkan bahwa mikroorganisme ini lebih tepat

disebut sebagai termotoleran dimana bakteri ini tidak menunjukkan termofilik nyata, karena

tidak dapat tumbuh pada suhu yang sama dengan atau di atas 55°C. Mereka juga tidak dapat

tumbuh pada suhu di bawah 30°C, karena tidak adanya gen yang mengkode heat-shock-protein

yang berperan dalam adaptasi terhadap suhu rendah (Facciolà et al., 2017).

 Campylobacter Fetus

1. Klasifikasi dan Patogenisitas

Taksonomi yang direkomendasikan dalam Approved List of Bacterial Names adalah

bahwa C. fetus dibagi menjadi 2 subspesies, C. fetus subsp. venerealis dan C. fetus subsp. fetus.

Organisme sebelumnya ditemukan di kulit khatan sapi jantan pembawa dan saluran genital sapi

yang terinfeksi dan merupakan penyebab penting infertilitas menular dan aborsi sporadis.

Untuk memungkinkan isolasi agen penyebab, semen, cairan preputial, isi perut fetus, atau

cairan mukus serviks harus mencapai laboratorium di bawah pendingin dalam waktu 5 jam

setelah pengumpulan.

 Campylobacter jejuni
Campylobacter jejuni menyerang berbagai jenis hewan diantaranya kucing, anjing, sapi,

kambing, ferret, mink, unggas, hewan laboratorium dan manusia. Pada karkas ayam,

Campylobacter dapat bertahan hidup namun tidak mampu bereplikasi. C. jejuni dapat bertahan

hidup 2-4 minggu dalam kondisi lembab dan kondisi sedikit oksigen dengan suhu 4°C. Bakteri

ini juga bisa bertahan 2-5 bulan pada suhu -20°C tetapi hanya beberapa hari pada suhu kamar.

Tekanan lingkungan, seperti paparan udara, pengeringan, pH rendah, pemanasan, pembekuan,

dan penyimpanan berkepanjangan akan merusak sel dan menghambat pemulihan untuk tingkat

yang lebih besar daripada kebanyakan bakteri (BAM, 2001).

2.2 Epidemiologi

Pada tahun 1996, CDC melaporkan sebanyak 46% kasus campylobacteriosis (Altekruse

et al., 1999). Kejadian campylobacteriosis di Denmark pada 2003 mencapai 66 per 100.000. Di

Belgia, infeksi microorganisme patogen Campylobacter sp. merupakan penyebab utama penyakit

yang ditularkan melalui makanan jumlah kasus sekitar 65 per 100.000 manusia (Andriani et al.,

2012). Menurut Vandeplas et al. (2008), penyakit diare yang disebabkan oleh infeksi

Campylobacter spp. dapat menimbulkan dampak yang penting dalam bidang sosial ekonomi.

Penularan Campylobacter spp. secara vertikal pada ayam di peternakan ayam petelur,

sangat jarang terjadi atau bahkan tidak mungkin terjadi. Hasil penelitian Sahin (2003)

menunjukkan bahwa pada peternakan ayam petelur dan hatchery tidak ditemukan keberadaan

Campylobacter spp., karena C. jejuni tidak dapat melewati eggshell. Infeksi pada ayam petelur

menunjukkan keberadaan bakteri C. jejuni pada feses tapi negatif pada telur yang dihasilkan

(Shane et al.,1986; Sahin et al., 2003). Sumber utama infeksi pada manusia disebabkan karena

mengkonsumsi daging ayam, daging sapi dan susu yang telah terkontaminasi (Yogasundram et
al., 1989). Daging ayam dan daging sapi dapat berperan sebagai reservoir C. jejuni sedangkan C.

coli banyak ditemukan pada babi (Boes et al., 2005).

2.3 Gejala Klinis

Campylobacter jejuni pada ayam terdapat di dalam sel epitelia dan sel monokulear dari

lamina propria yang dapat menyebabkan jejenum dan ileum rusak parah. Pada umumnya

Campylobacter pada unggas (ayam, kalkun) menyebabkan gejala subklinis, ditandai dengan

turunnya produksi telur secara drastis, kurus, kering, layu (shriveled), pial bersisik (scaly combs),

tidak berdaya dan menyendiri (Neil et al., 1984; Lam et al., 1992). Pada pemeriksaan

histopatologis ditemukan perdarahan dan daerah-daerah nekrotik dalam jaringan hati, ascites dan

hydropericardium, ginjal pucat dan membesar (Welkos, 1984). Campylobacter jejuni tidak

menyebabkan penyakit klinis pada hewan dewasa kecuali untuk kasus-kasus sporadis abortus di

ruminansia dan kasus yang sangat jarang terjadi hepatitis di burung unta (OIE, 2008). Andriani et

al. (2013), juga mengatakan infeksi Campylabaeter sp. juga dapat menyebabkan enteritis dan

keguguran pada sapi.

2.4 Patogenesis

Mekanisme patogenik Camphylobacteriosis belum sepenuhnya dipahami, namun

beberapa faktor virulensi C. jejuni berperan penting dalam proses infeksi, diantaranya

kemampuan motilitas, kemotaksis dan produksi toksin. Kemampuan motilitas memiliki peran

yang sangat penting dalam virulensi karena diperlukan untuk menembus lapisan dinding usus.

Ketika kemampuan motilitas bakteri hilang, maka infeksi yang terjadi juga hilang (James &

Chad, 2020). C. jejuni mampu memproduksi beberapa toksin, utamanya enterotoksin dan

sitotoksin akan tetapi peran toksin tersebut dalam menimbulkan penyakit belum dapat dipahami

(Masniari et al., 2005). Sedangkan menurut Doyle et al. (2007), Toksin yang dihasilkan oleh C.
jejuni adalah Cytolethal Distending Toksin (CDT). CDT termasuk ke dalam tipe eksotoksin,

yaitu toksin yang diproduksi di dalam sel bakteri sebagai bagian dari proses pertumbuhan dan

metabolisme serta disekresikan oleh bakteri tersebut ke dalam media tempat bakteri tersebut

tumbuh (Zhang, 2008). CDT yang dihasilkan oleh C. jejuni menyebabkan tidak aktifnya CDC2

atau Cdk1 sehingga tidak dapat berikatan dengan CycA dan tidak dapat membentuk kompleks

Cdk1- CycA akibatnya siklus sel terhenti di fase G2. Oleh karena itu terjadi kematian sel dan

kerusakan sel pada bagian sel epitel di mukosa usus. Kerusakan mukosa usus ini menyebabkan

gangguan absorpsi dan sekresi abnormal (Doyle dan Beuchat, 2007).

2.5 Diagnosa

2.5.1 Sampling dan Persiapan Sampel

 C. Fetus

Semen, cairan preputial, isi perut fetus, atau cairan mukus serviks harus mencapai

laboratorium di bawah pendingin dalam waktu 5 jam setelah pengumpulan.

 Feses segar yang di ambil secara per-rektal

Sampel tinja 50 g dikumpulkan dalam tabung centrifuge berbentuk kerucut 50 ml dan

disimpan dalam coolbox. Hari berikutnya (dalam waktu 36 jam setelah pengumpulan) kira-kira 1

g feses diencerkan (10% berat/vol) dalam air pepton buffer (9 ml).

 Sampel Karkas

Sampel karkas ayam dimasukkan kedalam plastik steril yang telah disiapkan untuk

mencegah terjadinya kontaminasi mikroba dari lingkungan. Sampel kemudian dibawa

menggunakan coolbox menuju laboratorium untuk dianalisis. Sebanyak 25 gr bagian karkas

ayam ditimbang, dimasukkan kedalam plastik steril dan ditambahkan 10 ml nutrient broth dan

dihaluskan menggunakan stomacher selama 1 menit.


2.5.2 Persiapan Media

Media yang digunakan untuk isolasi bakteri Campylobacter jejuni yaitu Campylobacter

Agar Base, Nutrien Broth, darah domba lisis 5%, 1 vial Preston Campylobacter Growth

Supplement dan 1 vial Preston Campylobacter Selective Supplement yang sebelumnya dilarutkan

dengan 2 ml campuran aceton dan aquadest steril dengan perbandingan 1 : 1.

Media dibuat dengan cara melarutkan 18,5 gr Campylobacter Agar Base kedalam 475 ml

aquadest (Preston campylobacter selective agar) dan 12,5 gr Nutrient Broth No. 2 kedalam 475

ml aqudest (Preston campylobacter selective broth). Untuk membantu proses pelarutan media,

dilakukan pemanasan diatas hot plate sambil dilakukan pengadukan. Setelah media larut dalam

aquadest, kemudian dilakukan proses sterilisasi media menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC

selama 15 menit. Setelah itu dilakukan plating pada cawan petri steril untuk media agar dan botol

kecil steril yang tertutup untuk media broth. Proses plating dapat dilakukan setelah suhu media

turun mencapai suhu ± 50ºC dengan sebelumnya ditambahkan dengan 5% darah domba lisis, 1

vial Preston Campylobacter Growth Supplement dan 1 vial Preston Campylobacter Selective

Supplement (Supartono, 2001).

2.5.3 Isolasi Campylobacter jejuni

Karkas ayam yang telah dihaluskan kemudian diambil cairannya sebanyak 2-3 ml dan

disuspensikan kedalam botol berisi 5 ml Preston Campylobacter selektif broth. Setelah itu,

dilakukan inkubasi pada suhu 42ºC selama 48 jam dibawah kondisi mikroaerofilik. Kondisi

mikroaerofilik dapat dicapai dengan menggunakan bantuan gas generating kits. Dari cairan hasil

inkubasi kemudian dilakukan penggoresan pada media Preston Campylobacter selektif agar.

Penggoresan dilakukan dengan teknik gores kuadran. Teknik gores kuadran bertujuan untuk

mendapatkan koloni Campylobacter jejuni yang terpisah, sehingga memberi kemudahan saat
proses identifikasi. Setelah itu, media yang sudah digores diinkubasi pada temperatur 42ºC

selama 24 jam sampai dengan 48 jam dalam kondisi mikroaerofilik.

Kultur bakteri dilakukan dengan menggunakan media Preston Campylobacter Agar.

Media selektif dari Preston ini diperkaya oleh penyubur dan antibiotik sebagai suplemen

tambahan. Kandungan antibiotiknya terdiri dari polymixin B, Rifampicin, Trimethoprim lactate

dan cycloheximide. Adanya antibiotik tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain

seperti Bacillus sp. dan Proteus sp. sehingga memudahkan untuk isolasi Campylobacter jejuni.

Selain itu didalam media ini juga ditambahkan darah domba lisis, penambahan darah lisis ini

bertujuan untuk menetralisasi produk racun yang mungkin terbentuk akibat media terpapar oleh

cahaya maupun udara. Campylobacter jejuni sangat sensitif terhadap keberadaan senyawa

peroksida dan superoksida yang merupakan produk yang terbentuk dari media akibat reaksi

kimia yang dikatalisis oleh cahaya (Bolton dan Robertson, 1982). Darah lisis yang mengandung

ion Fe dapat meningkatkan sifat aerotolerant Campylobacter jejuni (Stern dan Kazmi, 1989).

Gambaran karakteristik koloni bakteri yang tumbuh pada media spesifik ini terlihat berwarna

putih keabu-abuan, cembung, mengkilat, halus, berbentuk bulat dan non hemolitik (Gambar 1).

Gambar 1. Koloni Campylobacter jejuni pada media spesifik Preston Campylobacter Agar
(Marsani, 2015).

2.5.4 Identifikasi Campylobacter jejuni

1. Pewarnaan Gram
Pewarnaan bakteri dilakukan untuk membantu pengamatan terhadap morfologi bakteri

yang ada pada koloni yang diduga Campylobacter jejuni. Pewarnaan dilakukan dengan teknik

pewarnaan gram menggunakan crystal violet, lugols iodine, iodine acetone, dan safranin. Pada

pengecatan Gram Campylobacter sp. berbentuk spiral atau melengkung dan termasuk gram

negatif (BSN, 2008).

Gambar 2. Morfologi Campylobacter jejuni dengan pewarnaan gram (pembesaran 1000x)


(Marsani, 2015).

Dari hasil pengamatan dibawah mikroskop, terlihat morfologi bakteri berbentuk batang

melengkung atau spiral, seperti huruf S dan termasuk bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif

kehilangan crystal violet ketika dicuci dengan iodine acetone dan ketika diberi larutan pemucat

safranin, sel akan menyerap zat pewarna ini sehingga sel tampak bewarna merah, sedangkan

bakteri gram positif mempertahankan zat pewarna ungu kristal sehingga sel berwarna ungu tua.

Terjadi perbedaan warna sel ini dapat disebabkan oleh perbedaan dalam struktur kimiawi

permukaan sel bakteri (Pelczar dan Chan, 2007).

2. Uji Katalase dan Oxidase

Uji katalase dilakukan pada koloni yang diduga Campylobacter jejuni. Pada uji katalase,

sebanyak 1-2 loop koloni yang diduga Campylobacter jejuni dipindahkan kedalam gelas

preparat. Kemudian kedalam gelas preparat diteteskan larutan H2O2 tepat diatas koloni. Setelah
diteteskan larutan H2O2, koloni yang positif Campylobacter jejuni akan kelihatan muncul

gelembung gas (O2) yang menunjukkan bakteri positif terhadap uji katalase.

Uji ini dilakukan dengan menggunakan strip oxidase dengan cara mengambil koloni yang

diduga Campylobacter jejuni kemudian diusapkan pada strip oxidase. Jika bekas usapan pada

strip berubah menjadi ungu, maka kultur positif uji oxidase. Campylobacter jejuni positif pada

uji oxidase.

Gambar 3. Uji Katalase dan Uji Oxidase (Marsani, 2015).

Uji katalase dilakukan dengan meneteskan H2O2 pada koloni yang diduga Campylobacter

jejuni dan hasil yang ditunjukkan, terbentuk gelembung gas saat ditetsi H 2O2. Hal ini karena

Campylobacter jejuni merupakan bakteri katalase positif, artinya bakteri ini mampu

memproduksi enzim katalase yang dapat mengkatalisis reaksi pemecahan H2O2 menjadi gas

oksigen dan air. Hidrogen peroksida (H2O2) dan superoksida biasanya dihasilkan oleh beberapa

bakteri dari reaksi reduksi senyawa oksigen. Kedua molekul tersebut merupakan racun bagi

Campylobacter jejuni (Khoiruddin, 2008). Pada uji oksidase koloni yang dicurigai kemudian

diusap pada strip oxidase dan menunjukkan hasil positif dengan adanya perubahan warna

menjadi ungu pada bekas usapan di strip oksidase. Campylobacter jejuni positif pada uji katalase

dan oksidase (BSN, 2008). Hampir semua jenis Campylobacter sp. yang tergolong katalase

positif dapat menyebabkan penyakit pada manusia maupun pada hewan ternak (BAM, 2001).
3. Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Glukosa, Sulfur Indol Motility (SIM), dan

Urease.

Inokulasikan pada media TSIA dari kultur broth dengan cara menusuk kebagian tegak

dan menggoreskan pada bagian yang miring. Setelah itu diinkubasi pada suhu 37ºC selama 5 hari

dalam kondisi mikroaerofilik. Campylobacter jejuni pada media TSIA bagian tegak dan miring

berwarna merah (basa) dengan tidak memproduksi H2S (BSN, 2008).

Biakan bakteri diambil menggunakan jarum ose secara aseptis. Bakteri ditumbuhkan

pada medium glukosa yang ada dalam tabung reaksi. Tabung reaksi ditutup dengan kapas

kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 4 hari dalam kondisi mikroaerofilik.

Campylobacter spp. tidak menggunakan glukosa atau gula lainnya, ditandai dengan tidak adanya

perubahan media pada tabung (BSN, 2008).

Medium SIM ditusuk dengan jarum ose yang telah dicelupkan kedalam kultur isolate

Campylobacter jejuni, kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam dan diamati tipe

pertumbuhan yang terjadi sepanjang garis tususkan. Mikroba yang motil akan tumbuh secara

difusi menjauhi garis tusukan tersebut.

Bakteri diinokulasikan dengan menggunakan ose kedalam media urea kemudian

diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam. Hasil positif menunjukkan perubahan warna media

menjadi merah muda. Bakteri Campylobacter jejuni menunjukkan hasil negatif.


Gambar 4. Uji TSIA, Uji Glukosa, Uji Urease, Uji SIM (urutan dari bagian kiri)

Campylobacter jejuni pada media TSIA bagian tegak dan miring berwarna merah (basa)

dengan tidak memproduksi H2S. Pada uji glukosa, Campylobacter jejuni tidak dapat

memfermentasi karbohidrat sehingga memperlihatkan hasil negatif ditandai dengan tidak adanya

perubahan media pada tabung, sedangakan pada uji urease menunjukkan hasil negatif dengan

tidak terjadinya perubahan warna pada media dan pada uji SIM memperlihatkan hasil sulfur

negatif, indol negatif dan motilitas positif. Campylobacter jejuni umumnya motil dan 20 %

Campylobacter jejuni adalah tidak motil. Sel yang sudah tua dan cedera (injured) akan

mengalami penurunan motilitas (BSN, 2008).

4. Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

Penelitian Andriani et al. (2013), Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi

kontaminasi Campylobacter sp. termofilik, terutama C. jejuni dan C. coli pada karkas ayam asal

pasar tradisional dan swalayan. Sampel karkas ayam dalam suspensi media Nut Broth No 2 yang

telah diinkubasikan diambil sebanyak 1 ml, kemudian disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm

pada suhu 4°C selama 10 menit. Pelet yang diperoleh ditambah 1 ml akuades dan disentrifus

kembali dengan kecepatan dan waktu yang sama seperti sebelumnya (Alexandrino et al., 2004).

Selanjutnya dilakukan purifikasi DNA dalam akuades seperti cara di atas. Primer yang
digunakan tercantum seperti pada Tabel 1. adalah untuk mengidentifikasi gen hippuricase

(HipO) dan serine hydroxymethyl transferase (GlyA)

Tabel 1. Pasangan primer untuk mengidentifikasi C. jejuni dan C. coli


Spesies Target Squen Basa Gen Target Ukuran Target
(bp)
C. jejuni ACT TCT TTA TTG CTT HipO 323
GCT GC
GCC ACA ACA AGT AAA
GAA GC
C. coli GTA AAA CCA AAG CTT GlyA 126
ATC GTG
TCC AGC AAT GTG TGC
AAT G

Amplifikasi DNA dilakukan pada mesin PCR dengan 35 cycle pada suhu initial

denaturation 95°C selama 6 menit, denaturation 95°C selama 30 detik, annealing 59°C selama

30 detik, extension 72°C selama 30 detik dan final extension 72°C selama 7 menit. Produk PCR

kemudian diperiksa dengan electrophoresis gel agarose. Agarose gel (Invitrogen, New Zealand)

1% dengan 1 x TBE/Tris Boric EDTA (Invitrogen, New Zealand) ditambah 5µl ethidium

bromide (Sigma, Germany). Dilanjutkan dengan electrophoresis pada tegangan 150 volt selama

30 menit.

Gambar 5. Produk PCR menggunakan primer HipO dan GlyA yang diseparasi dalam agarose
1% dari dari sampel (sumur 1-17) yang diuji. Sebagai kontrol positif digunakan isolat ATCC C.
jejuni (323 bp) pada sumur 19 dan ATCC C. coli (126 bp) pada sumur 18. M adalah marker
DNA (Andriani et al., 2013).
Gambar 1 memperlihatkan bahwa sampel pada sumur 1 sampai 17 yang diuji secara PCR

menggunakan primer HipO menunjukkan hasil positif untuk spesies C. jejuni pada sumur 5, 6,

12, dan 14, sedangkan primer GlyA menunjukkan hasil positif untuk C. coli pada sumur 2-4, 9,

dan 15-17 (Andriani et al., 2013).

2.6 Pengobatan dan Pencegahan

Untuk mengurangi jumlah kontaminasi dari bahan pangan asal hewan, perlu dilakukan

upaya untuk menekan jumlah Campylobacter jejuni pada bahan pangan asal hewan sesuai

dengan SNI (2009) dimana untuk susu segar syarat minimal adanya Campylobacter adalah

negatif/25ml, daging ayam segar, beku dan cincang minimal negatif/25 mg, dan daging segar,

beku dan cincang minimal negatif/25mg. Hal ini dapat dilakukan dengan manajemen kesehatan

ternak yang baik di peternakan, rumah pemotongan, dan penanganan pengolahan bahan pangan

asal hewan yang higienis dan sehat.

Menurut Altekruse et al. (1999), upaya kontrol kontaminasi Campylobacter jejuni di

peternakan ayam dapat mengurangi resiko terkontaminasinya karkas ayam. Studi epidemiologis

mengindikasikan bahwa penerapan higiene yang ketat dapat mengurangi jumlah mikroba

patogen usus pada hewan.

Dalam penelitian Marsani (2015), tidak ditemukan isolat Campylobacter jejuni yang

resisten terhadap eritromisin, siprofloksasin, klorampenikol, dan doksisiklin. Hal ini

menunjukkan bahwa keempat antibiotik tersebut masih efektitf untuk menanggulangi

Campylobacteriosis pada hewan dan manusia. Namun meski demikian pengawasan terhadap

penggunaan antibiotik tersebut tetap perlu dilakukan, karena pemberian antibiotik yang tidak

tepat dapat mengakibatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik dan mengubah flora normal

penderita sehingga meningkatkan kejadian infeksi.


BAB III

PENUTUP

4.1 Simpulan

4.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai