Oleh:
inkubasi 1-3 hari. Pada Sekelompok ayam penyakit ini dapat berlangsung antara 1-3 bulan.
Angka kematian umumnya rendah, yaitu antara 1-5% walau pernah ada laporan sampai
30%, tetapi angka kesakitan dapat mencapai 80-100%. Penyebaran penyakit ini hampir
ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah yang beriklim tropis. Wabah penyakit
sering terjadi pada musim peralihan dari penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya.
Ayam yang sembuh dari sakit tahan terhadap reinfeksi sekurang-kurangnya untuk satu
tahun. Penularan penyakit dapat terjadi melalui kontak langsung dengan ayam sakit atau
ayam karier, tetapi dapat pula terjadi secara tidak langsung melalui air minum, pakan, dan
peralatan yang terkontaminasi. Infeksius coryza dapat menyerang ayam semua umur, tetapi
yang paling peka adalah ayam umur 18-23 minggu atau menjelang bertelur. Jika terinfeksi,
kelompok ayam ini akan sangat terlambat berproduksinya. Pada ayam yang sedang
bertelur, penurunan produksi dapat mencapai 10-40%, sedangkan pada ayam dara
pengafkirannya (culling rate) dapat mencapai 20% (Kusumaningsih dan Poernomo, 2000).
Gejala klinis yang terlihat berupa keluarnya eksudat atau lendir dari sinus hidung
dan mulut, kepala bagian depan bengkak, nafsu makan turun (anorexia) dan diare. Pada
ayam layer dapat menurunkan produksi telur antara 10 – 40% (Droual et al., 1990; Miao et
al., 2000) sehingga penyakit ini dapat mengakibatkan kerugian ekonomi baik pada
peternak kecil maupun industri perunggasan. Dari beberapa negara (Argentina, India,
Maroko dan Thailand) dilaporkan bahwa, wabah infectious coryza disertai dengan tanda-
tanda arthritis atau septikemia yang diikuti infeksi sekunder oleh bakteri Mycoplasma
gallisepticum, M. synoviae, Pasteurella spp., Salmonella spp. bahkan dapat diikuti
komplikasi infectious bronchitis, baik pada ayam layer maupun broiler. Dilaporkan juga
terdapat wabah coryza, dengan gejala yang menyerupai swollen head –like syndrome
(Sandoval et al., 1994). Dalam kondisi infeksi campuran, HPG sulit diisolasi dari organ
saluran pernafasan bagian atas, tapi kadang-kadang dapat ditemukan pada hati, ginjal dan
kaki. Infeksi HPG pada ayam kampung dapat terjadi pada umur kurang dari 2 bulan atau
lebih dan dapat menyebabkan kematian dengan prevalensi tinggi. Bila disertai infeksi
sekunder oleh penyakit lain seperti New Castle Disease virus (ND) dan pasteurellosis
maka dapat menyebabkan kematian yang lebih tinggi (Ariyanti & Supar, 2007).
Gejala-gejala klinis dari penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat dari hidung
yang mula-mula berwarna kuning dan encer (sereous), tetapi lama-lama berubah menjadi
kental dan bernanah dengan bau yang khas (mucopurulent). Bagian paruh di sekitar hidung
tampak kotor atau berkerak oleh sisa pakan yang menempel pada eksudat. Sinus
infraorbitalis membengkak, yang ditandai dengan pembengkakan sekitar mata dan muka.
Kadang-kadang suara ngorok terdengar dan ayam penderita agak sulit bernafas. Penurunan
nafsu makan dan diare sering terjadi, sehingga pertumbuhan ayam menjadi terhambat dan
kerdil (Kusumaningsih dan Poernomo, 2000).
Pengendalian untuk mengurangi kejadian penyakit yaitu melakukan pencegahan
dengan vaksinasi yang teratur, sehingga dapat mengurangi pemakaian antibiotika yang
terus menerus dan berlebihan yang mengakibatkan terjadinya resistensi kuman dan
akumulasi residu antibiotika pada bahan pangan asal ternak (Kusumaningsih dan
Poernomo, 2000). Penggunaan obat dalam bentuk kombinasi yang bersifat sinergistik atau
obat golongan flumekuin maupun kuinolon lebih menjanjikan. Disamping pemberian obat,
maka diperlukan juga rehabilitasi pada jaringan yang rusak dengan pemberian
Gram dari bakteri. Hasil pengujian ini, menunjukkan bahwa bakteri Av.
paragallinarum merupakan bakteri Gram negatif, karena pada uji KOH 10% tampak
berlendir dan seperti benang ketika ditarik menggunakan ose. Bakteri Gram negatif
akan tampak berlendir dan kental ketika ditambahkan KOH 10% sedangkan pada
bakteri gram positif tidak kental dan berlendir (Soekirno, 2008 cit Hardiansyah et al.,
2020). Hal ini dikarenenakan KOH 10% dapat meluruhkan lemak (lipid bilayer)
sehingga membuat sel Gram negatif menjadi pecah, kemudian sel yang pecah akan
mengeluarkan materi DNA. Molekul DNA dari bakteri sangat panjang dan bersifat
sticky strings (menyerupai lendir, getah dan lengket), sehingga ketika diangkat
menggunakan ose maka akan tampak seperti berlendir (Edwin, 2011 cit Hardiansyah
et al., 2020).
Reaksi sulfid negatif ditunjukkan oleh media yang tidak berubah warna
menjadi hitam. Hal ini menandakan bahwa bakteri tersebut tidak memproduksi
Hidrogen Sulfida (H2S). Media SIM juga digunakan untuk uji indol menggunakan
reagen Kovach. Hasil uji memberikan reaksi negatif yang ditandai dengan tidak
adanya perubahan warna merah pada permukaan medium. Sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Tangkonda et al. (2019) yang melaporkan bahwa sifat biokimia
Av. Paragallinarum yaitu tidak memproduksi indol. Hal ini menunjukkan bahwa
bakteri Av. Paragallinarum tidak memiliki enzim triptonase yang dapat menghidrolisis
asam amino triptofan. Selain itu, uji SIM juga digunakan untuk melihat daya gerak
(motilitas) bakteri. Pada hasil uji ini menunjukkan bahwa bakteri bersifat non motil
yang ditunjukkan dengan pertumbuhan bakteri yang tidak menyebar atau hanya
tumbuh disekitar area inokulum. Hal ini sesuai dengan pendapat Blackall et al. (1997)
yang menyatakan bahwa bakteri Av. Paragallinarum merupakan bakteri yang bersifat
non motil.
4.3.2 Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA) merupakan metode yang digunakan untuk
melihat kemampuan mikroorganisme dalam memfermentasikan gula. Medium TSIA
mengandung 3 macam gula, yaitu glukosa, laktosa dan sukrosa. Pada media ini
terdapat indikator fenol red serta FeSO4 untuk memperlihatkan pembentukan H2S.
Media TSIA yang digunakan memiliki dua bagian yaitu slant (miring) dan butt (tusuk)
(Sari, 2012).
Berdasarkan hasil pengujian TSIA yang dilakukan, terjadi perubahan warna
media TSIA menjadi kuning, baik pada bagian miring maupun tegak pada media, tidak
terbentuknya endapan hitam pada media, dan terdapat sedikit keretakan pada media
yang mengindikasikan adanya gas disebabkan oleh adanya reaksi fermentasi
karbohidrat (Suarjana et al., 2017; Lay, 1994) (Gambar 5). Perubahan warna media
menjadi kuning disebabkan oleh bakteri yang tumbuh dapat memfermentasi laktosa,
sukrosa dan glukosa yang terkandung dalam media TSIA. Bakteri Av. paragallinarum
dapat memfermentasi gula yang dapat menurunkan pH, sehingga ketika bereaksi
dengan indikator fenol red pada media dapat menghasilkan warna kuning. Tidak
terbentuknya endapan hitam pada media menunjukkan bahwa bakteri tidak bereaksi
dengan besi sulfat pada media sehingga tidak menghasilkan gas H2S (berwarna hitam)
(Markey et al., 2013). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tangkonda et
al. (2019) yang menyatakan bahwa sifat biokimia Av. paragallinarum yaitu dapat
memfermentasi glukosa, laktosa, manitol, sukrosa, dan sorbitol.
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi terhadap isolat pada sampel swab sinus
infraorbital ayam, ditemukan isolat bakteri yang tumbuh pada media Agar Coklat yaitu
koloni yang berukuran kecil, bulat, transparan dengan permukaan dan tepi koloni halus dan
tampak seperti tetesan embun. Selain itu, pada pewarnaan Gram dan uji KOH, ditemukan
bakteri berbentuk kokobasil dan bersifat Gram negatif. Uji biokimia yang dilakukan
menunjukkan bakteri bersifat non motil, hasil negatif terhadap uji indol, tidak
memproduksi sulfid dan H2S, katalase negatif, oksidase negatif serta dapat memfermentasi
glukosa, laktosa dan sukrosa. Sesuai hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa diduga
bakteri yang tumbuh merupakan bakteri Av. paragallinarum.
DAFTAR PUSTAKA
Ariyanti, T; Supar. 2007. Pengendalian Coryza Infeksius Pada Ayam. Wartazoa. 17 No( 4).
Akter S, Ali M, Das M, Hossain MM. 2013. Isolation and identification of avibacterium
paragallinarum, the causal agent of infectious coryza (ic) from layer chickens in
Bangladesh. Journal of Bangladesh Agricultural University. 11(1): 87-96.
Bisset. K.A. 1962. Bacteria. 2th ed. E dan S. Living Stone. LTD. Edin Burgh, New York.
Blackall, P.J., M. Matsumoto, And R. Yamamoto. 1997. Infectious coryza. In: Diseases of
Poultry. 10th. Ed Calnek, B.W. et al. (ed). The Iowa State University Press. Iowa.
USA.
Blackall PJ, Soriano EV. 2008. Infectious Disease of Poultry. London (UK): Blackwell
Publishing.
Gupte. S.M.D. 1990. Mikrobiologi Dasar. Diterjemahkan oleh: Julius. E.S. Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti. Binarupa Aksara, Jakarta.
Hardiansyah, M.Y., Musa, Y. dan Jaya, A.M. 2020. Identifikasi Plant Growth
Rhizobacteria pada rizosfer bamboo duri dengan Gram KOH 3%.Agrotechnology
Research Journal, 4(1): 41-46.
Holt, J.G., Krieg, N.R., Sneath, P.H.A., Staley, J.T., Williams, S.T., 2000, Bergey’s
Manual Determinative BacteriologyI, 9th edition, Lippincott Williams and Wilkins
Company, USA, pp. 93, 184, 186-187.
Sandoval, V.E., H.R. Terzolo And P.J. Blackall. 1994. Complicated coryza infection in
Agentina. Avian Dis. 38: 672 – 678.
Samosir, M. F., D. Suryanto, dan Desrita. 2017. Isolasi dan identifikasi bakteri potensial
probiotik pada saluran pencernaan ikan mas (Cyprinus carpio). Jurnal Biologi.
6(2):24.
Sari, D.A.P. 2012.Isolasi dan Identifikasi Salmonella enteridis pada telur Saluran,
Pencernaan dan Feses Ayam Ras dari Peternakan di Gunung Sindur Bogor.Skripsi.
Fakultas Peternakan, Intitut Pertanian Bogor.
Sari, NI. 2014. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Tanah di Kecamatan Pattallassang
Kabupaten Gowa. Skripsi: Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Alauddin
Makassar.
Suarjana IGK, Besung INK, Mahatmi H, Tono K. 2017. Isolasi dan Identifikasi Bakteri.
Fakultas Kedokteran Hewan. Bali: Udayana.
Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penaggulangannya.Penyakit Bakterial, Mikal, dan
Viral.Kanisius, Yogyakarta.
Wahyuni AETH, Tabbu CR, Arnanto S, Ariyani T, Prakasita VC. 2018. Characterization
of Avibacterium paragallinarum Caused Infectious coryza/Snot: Satelite Colony
Phenomenon. Proc. Of the 20th fava congress & 15th kivnas pdhi. Bali Nov 1-3.
Yusuf, R.W.N. 2009.Isolasi dan identifikasi bakteri gram negatif pada luka ikan maskoki
(carassius auratus) akibat infestasi ektoparasit Argulus sp. Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya.
LAMPIRAN
(Terdapat leleran encer dari hidung, terjadi kebengkakan pada daerah muka,
diare, dan ngorok)
Dokumentasi Pengambilan Sampel