Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS MANDIRI

KOASISTENSI BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI

“Isolasi dan Identifikasi Bakteri Avibacterium paragallinarum


pada Saluran Pernapasan Ayam”

Oleh:

MARIA SKOLASTIKA PENI, S.K.H


NIM. 2209022015
KELOMPOK 3B/2022

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ayam broiler merupakan ras unggulan hasil budidaya teknologi genetika yang
memiliki daya produktivitas tinggi terutama dalam memproduksi daging, memiliki laju
pertumbuhan yang cepat bernilai ekonomis sehingga banyak orang yang tertarik pada
budidaya ayam broiler. Salah satu faktor yang menjadi penghambat dalam budidaya ayam
broiler adalah mudahnya terserang penyakit pada Ayam Broiler. Ketidaktahuan orang
awam terhadap gejala dan diagnosa penyakit ayam membuat ayam mudah terkena
penyakit dan dapat berakibat kematian pada ayam tersebut. Salah satu penyakit infeksi
bakteri pada ayam adalah Infectious coryza (snot).
Infectious coryza (snot) merupakan penyakit pernafasan bagian atas pada ayam
yang disebabkan oleh bakteri haemophilus paragalinarum atau yang sekarang dikenal
dengan nama Avibacterium paragallinarum (Av. paragallinarum) (Tabbu, 2000). Penyakit
ini dapat menyerang semua jenis ayam, baik ayam kampung, ayam petelur, dan ayam
broiler. Penyakit berlangsung secara akut sampai kronis dengan tingkat morbiditas tinggi,
tetapi mortalitas rendah (Kusumaningsih & Poernomo, 2000).
Penyebaran penyakit coryza dalam suatu populasi kandang sangat cepat baik secara
kontak langsung dengan ayam yang sakit maupun secara tidak langsung melalui air
minum, udara, dan peralatan yang tercemar. Coryza dapat menimbulkan kerugian ekomoni
yang besar karena bila menyerang ayam petelur maka produksi telur dapat menurun 10 –
40% dan jika menyerang ayam broiler pada stadium grower maka dapat menyebabkan
pertumbuhan ayam menjadi terhambat atau kerdil (Miao et al., 2000).
Salah satu cara dalam menentukan diagnosa suatu kejadian penyakit yaitu dengan
pemeriksaan secara mikrobiologis. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk melihat
keberadaan serta menentukan jenis suatu agen mikrobiologi patogen penyebab penyakit.
Oleh karena itu, dalam kasus mandiri ini dilakukan pemeriksaan mikrobiologi yang
meliputi isolasi dan identifikasi bakteri Avibacterium paragallinarum penyebab Infectious
coryza pada saluran pernafasan ayam.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah utama yang akan
dijawab dalam laporan ini yatu Bagaimana cara melakukan isolasi dan identifikasi bakteri
Avibacterium paragallinarum pada saluran pernafasan ayam yang diduga menyebabkan
kejadian penyakit pada ayam ?
1.3 Tujuan
Tujuan dilakukan praktikum dan penulisan laporan kasus mandiri ini yaitu isolasi
dan identifikasi bakteri Avibacterium paragallinarum pada saluran pernafasan ayam yang
diduga menyebabkan kejadian penyakit pada ayam, serta dapat menjadi data pendukung
dalam meneguhkan diagnosa kejadian penyakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakteri Avibacterium paragallinarum


Avibacterium paragallinarum adalah salah satu jenis bakteri gram negatif yang
berbentuk batang pendek atau coccobacilli dengan ukuran (1,5μm x 0,3μm, non motil,
tidak membentuk spora, pleomorfik, tercat polar, bersifat mikroaerofilik dan fakultatif
anaerob. Untuk pertumbuhannya bakteri ini membutuhkan faktor V (Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NAD)) yang terdapat dalam darah yang juga dikenal sebagai koenzim I atau
faktor-V yang termolabil (Moenek, 2016).
Penyebab penyakit Infeksius coryza pertama kali ditemukan oleh seorang Belanda
De Blieck pada tahun 1931- 1932, yang diberi nama Bacillus Haemoglobinophilus coryza
gallinarum. Atas usul para peneliti dari Amerika, maka nama bakteri tersebut diganti
menjadi Haemophilus gallinarum (Eliot & Lewis dalam Kumaningsih & Poernomo, 2000).
Pada awalnya bakteri ini diduga memerlukan hemin (faktor X) dan Nocotinamide Adenine
Denucleotide/NAD (faktorV) untuk pertumbuhannya. Kemudian Page (1962)
membuktikan bahwa Haemophilus penyebab Infeksius coryza pada unggas hanya
memerlukan faktor V (NAD) dan tidak faktor X (hemin). Pada tahun 1969, Biberstein dan
White menemukan penyebab Infeksius coryza khusus pada ayam yaitu H. paragallinarum,
dan bakteri ini hanya memerlukan faktor V untuk pertumbuhan in vitro. Sementara itu,
Haemophilus penyebab Infeksius coryza pada unggas selain ayam, yang memerlukan NAD
dan hemin untuk pertumbuhan in vitro dinamakan H. avium (Reid dan Blackall dalam
Kumaningsih & Poernomo, 2000). Faktor X yaitu haematin porfirin besi yang tahan panas,
sedangkan faktor V terdapat pada sel darah merah dan sel-sel hewan yang tidak tahan
panas. Bakteri ini tumbuh sangat baik pada suhu 37 oC dan pH 7,8 (Gupte, 1990). Untuk
pertumbuhan optimal bakteri ini membutuhkan media yang diperkaya dan ditambah 10%
darah domba yang bebas fibrin (Bisset, 1962).
Av, paragallinarum merupakan organisme yang mudah mati atau mengalami
inaktivasi secara cepat di luar tubuh hospes. Eksudat infeksius yang dicampur dengan air
ledeng akan mengalami inaktivasi dalam waktu 4 jam pada temperatur yang berfluktuatif.
Eksudat atau jaringan yang mengandung kuman ini akan tetap infeksius selama 24 jam
pada temperatur 37ºC, bahkan kadang-kadang dapat bertahan selama 48 jam. Pada
temperatur 4 ºC eksudat infeksius dapat bertahan selama beberapa hari. Pada temperatur
45ºC - 55ºC, kultur Av paragallinarum dapat diinaktivasi dalam waktu 2 – 10 menit
(Moenek, 2016).
Av. paragallinarum memiliki strain dengan antigenisitas yang berbeda, dan sampai
saat ini terdapat tiga serotipe yang telah dikarakterisasi, yaitu serotipe A, B dan C. Serotipe
A dan serotipe C dikenal sebagai serotipe yang virulen, tetapi sekarang ditemukan bahwa
Serotipe B juga memiliki peranan dalam kejadian penyakit snot namun tidak menunjukkan
gejala klinis yang signifikan (Yamaguchi; Tabbu dalam Tangkonda et al., 2019).
Av. paragallinarum merupakan bakteri penyebab snot pada ayam yang menyerang
pernafasan bagian atas. Biasanya penyakit ini merupakan komplikasi dengan penyakit lain,
seperti Fowl pox, Mycoplasma (CRD), New castle disease (ND), Infectious bronchitis (IB),
Infectious laryngotracheitis (ILT) dan lain-lain. Gejala klinis penyakit ini ditandai dengan
keluarnya eksudat dari hidung, muka bengkak karena edema di bawah kulit, konjungtivitis,
anoreksia, dan kadang-kadang sulit bernapas (Kusumaningsih & Poernomo, 2000).
2.2 Isolasi Bakteri Avibacterium paragallinarum
Media yang digunakan untuk isolasi bakteri Av. paragallinarum dari eksudat ayam
yang menderita snot yaitu agar darah dengan Staphylococcus hycus sebagai feeder culture.
Selain itu dapat juga dengan Staphylococcus aureus dan ditambahkan nicotinamide
adenine dinucleotide (NAD) (Akter et al., 2013). Av. paragallinarum dapat bergantung
pada NAD atau tidak bergantung pada NAD. Karakteristik koloni yang tidak bergantung
pada NAD adalah ukurannya yang lebih besar (1-2 mm) dibandingkan dengan koloni yang
bergantung dengan NAD dan tidak menunjukkan koloni satelit (Wahyuni et al., 2018).
Koloni satelit dilakukan dengan kultur bakteri Av. paragallinarum menggunakan metode
S-streak pada media blood agar dan dilanjutkan dengan cross streak dengan bacterial
feeder yang tegak lurus kegoresan awal bakteri (Blackall & Soriano, 2008).
Biakan pada medium cair (TM/SN tanpa agar) disimpan secara aerobik, sedangkan
medium padatnya (agar) disimpan dengan kondisi CO yang dinaikkan ± 5%. Hasil isolasi
Av. paragallinarum setelah diinkubasi selama 24 jam menunjukkan koloni pada agar darah
berwarna coklat, bersifat non-hemolisis dan tidak ditemukan adanya pertumbuhan koloni
pada media McConkey. Selain pada media tersebut bakteri juga biasanya dikultur pada
agar coklat secara aseptis dengan metode T-streak. Media diinkubasi didalam Candle jar
pada suhu 37 oC selama 18-24 jam. Pertumbuhan dan morfologi koloni diamati setelah 24
jam. Karakteristik koloni bakteri Av. paragallinarum adalah koloni yang berukuran kecil,
bulat, transparan dengan permukaan dan tepi koloni halus dan tampak seperti tetesan
embun (Priya et al., 2012).
2.3 Identifikasi Bakteri Avibacterium paragallinarum
2.3.1 Uji diferensial bakteri
Bakteri diidentifkasi dengan mengamati karakter sel bakteri melalui pewarnaan
Gram. Pewarnaan Gram berfungsi untuk membedakan bakteri Gram positif dan Gram
negatif yang ditunjukkan dengan warna pada bakteri. Bakteri Gram positif akan
berwarna ungu, sedangkan bakteri gram negatif akan berwarna merah. Pewarnaan
Gram dilakukan dengan cara membuat preparat ulas terlebih dahulu. Pada pewarnaan
ini digunakan pewarma Kristal violet sebagai zat warna pertama, lugol, larutan
pemucat, dan safranin sebagai zat warna kedua. Morfologi Av. Paragallinarum
berdasarkan pewarnaan Gram menunjukkan gambaran bakteri yang berwarna merah
dan tampak seperti tetesan embun, bersifat gram negatif dan berbentuk kokobasil
(Blackall dan Soriano, 2008). Menurut penelitian kerala (2012), pewarnaan Gram
menunjukkan Av. Paragallinarum merupakan bakteri gram negatif, coccobacil dan
tidak membentuk spora.
2.3.2 Uji biokimia
Pengujian sifat biokimiawi bakteri adalah cara untuk menentukan dan
mengidentifikasi sifat murni bakteri hasil isolasi melalui sifat-sifat fisiologis bakteri
tersebut. Proses biokimiawi berkaitan dengan metabolism sel. Reaksi kimiawi oleh sel,
menunjukkan hasil yang memanfaatkan energi dan menghasilkan energi untuk sintesis
komponen-komponen sel dan untuk kegiatan seluler. Bakteri tidak dapat diidentifikasi
hanya berdasarkan sifat morfologinya saja, tetapi perlu diteliti lebih lanjut sifat-sifat
biokimiawi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya (Blackall, 1989).
Uji biokimia yang dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri Av. paragallinarim antara
lain uji katalase, uji oksidasi, uji indol, uji urease, dan uji fermentasi karbohidrat.
Penelitian yang dilakukan oleh Tangkonda et al. (2019) didapatkan hasil identifikasi
Av. paragallinarum dengan uji biokimia yaitu bersifat katalase negatif, oksidasi
negatif, tidak memproduksi indol, urease negatif, dan memfermentasi glukosa, laktosa,
manitol, sukrosa dan sorbitol.
 Uji Sulphide Indole Motility (SIM)
Sulphide Indole Motility (SIM) merupakan media semisolid yang
bertujuan untuk mengetahui sifat bakteri dalam memproduksi H 2S, indol dan
motilitas. Media yang digunakan komposisi pada media SIM berupa Ferrous
ammonium sulphate, Peptone, Tryptone, Sodium thiosulphate, Nutrient agar.
Kandungan Ferrous ammonium sulphate dan Sodium thiosulphate digunakan
untuk uji sulfur, kandungan Nutrient agar digunakan untuk uji motilitas
sedangkan uji Indol perlu penambahan reagen kovacs (Shields, 2013; Suarjana
et al., 2017).
Uji sulfur bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam
menguraikan asam amino menjadi sulfur. Sulfur dihasilkan oleh beberapa jenis
mikroba melalui pemecahan asam amino yang mengandung unsur belerang.
Hasil positif apabila H2S bereaksi dengan senyawa-senyawa pada media SIM
yang ditandai dengan terbentuknya logam sulfit yang berwarna hitam. Hasil
negatif tidak terbentuk logam sulfit yang berwarna hitam karena bakteri yang
berada dalam medium tidak mampu menghidrolisis logam-logam berat yang
terkandung dalam medium (Nugraheni, 2010).
Uji indol adalah produksi indol dari triptofan yang merupakan salah
satu tes diagnostik untuk mengidentifikasi bakteri enterik. Uji indol dilakukan
dengan menambahkan reagen kovacks yang ditambahkan setelah pengamatan
moitilitas sehingga tidak mengganggu pengamatan motilitas pada media uji.
Reagen kovacks terdiri dari amyl alcohol, para-dimethylminobenzaldehyde,
dan concentrated hydrochloric acid. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya
cincin merah pada permukaan media. Uji motilitas digunakan untuk
mengidentifikasi bakteri berdasarkan penyebaran koloni. Adanya kandungan
Nutrient agar semisolid dalam media SIM memungkinakan bakteri yang
memiliki flagel melakukan pergerakan dalam media. Motilitas dapat dilihat
pada bekas tusukan atau menyebar pada media (Holt et al., 2000).
 Uji urease
Uji urease digunakan untuk melihat bakteri yang mampu menghasilkan
enzim urease. Beberapa mikroorganisme mampu menghasilkan enzim urease
yang menguraikan mikromolekul urea ((NH2)2 CO) menjadi karbondioksida
(CO2) dan ammonia (NH3). Ammonia yang dihasilkan akan meningkatkan pH
media menjadi basa dan akan terjadi perubahan media dari orange menjadi
merah (Sari, 2014).
 Uji katalase
Uji ini mendeteksi kemampuan bakteri memproduksi enzim katalase
yang mengubah hidrogen peroksida H2O2 menjadi air dan gas oksigen. Pada uji
katalase diindikasikan dengan terbentuknya gelembung pada media yang
disebabkan adanya gas oksigen dari penguraian H2O2 (Sari, 2014).
 Uji oksidasi
Uji oksidase bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang
mengandung enzim sitokrom c oksidase yang sangat beperan dalam proses
transpor elektron selama respirasi aerobik. Hasil uji positif ditunjukkan oleh
perubahan warna strip oksidase menjadi ungu gelap (ungu kebiruan)
dikarenakan sitokrom c oksidase mengoksidasi reagen yang terdapat pada strip
(Sari, 2014).
 Uji fermentasi karbohidrat
Uji fermentasi karbohidrat atau uji gula-gula bertujuan untuk
mengetahui kemampuan bakteri dalam memfermentasi gula. Uji gula-gula
yang dapat digunakan yaitu glukosa, laktosa, maltose, dan sukrose. Secara
umum bakteri memfermentasi beberapa karbohidrat tertentu dan penting
dilakukan untuk mengetahui karakteristik bakteri. Pada pembuatan media gula-
gula biasanya dilengkapi dengan tabung Durham kedalam media untuk
mengetahui adanya produksi gas sebagai hasil dari proses fermentasi. Hasil
positif ditandai dengan adanya perubahan warna dari merah menjadi kuning
dan disertai ada tidaknya gas pada tabung durham (Suarjana et al., 2017).
2.4 Penyakit Infectious corysa (Snot)
Penyakit infectious coryza atau sering disebut sebagai penyakit snot menular,
merupakan penyakit saluran pernafasan ayam bagian atas yang disebabkan oleh bakteri
Avibacterium paragallinarum. Infeksi Av. paragallinarum dapat terjadi pada ayam semua
umur yang sedang dalam pertumbuhan (Ariyanti & Supar, 2007).
Penyakit ini dapat menyerang semua jenis ayam, baik ayam Kampung, ayam
petelur, dan ayam potong/pedaging. Penyakit berjalan akut sampai kronis, dengan masa

inkubasi 1-3 hari. Pada Sekelompok ayam penyakit ini dapat berlangsung antara 1-3 bulan.
Angka kematian umumnya rendah, yaitu antara 1-5% walau pernah ada laporan sampai
30%, tetapi angka kesakitan dapat mencapai 80-100%. Penyebaran penyakit ini hampir
ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah yang beriklim tropis. Wabah penyakit
sering terjadi pada musim peralihan dari penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya.
Ayam yang sembuh dari sakit tahan terhadap reinfeksi sekurang-kurangnya untuk satu
tahun. Penularan penyakit dapat terjadi melalui kontak langsung dengan ayam sakit atau
ayam karier, tetapi dapat pula terjadi secara tidak langsung melalui air minum, pakan, dan
peralatan yang terkontaminasi. Infeksius coryza dapat menyerang ayam semua umur, tetapi
yang paling peka adalah ayam umur 18-23 minggu atau menjelang bertelur. Jika terinfeksi,
kelompok ayam ini akan sangat terlambat berproduksinya. Pada ayam yang sedang
bertelur, penurunan produksi dapat mencapai 10-40%, sedangkan pada ayam dara
pengafkirannya (culling rate) dapat mencapai 20% (Kusumaningsih dan Poernomo, 2000).
Gejala klinis yang terlihat berupa keluarnya eksudat atau lendir dari sinus hidung
dan mulut, kepala bagian depan bengkak, nafsu makan turun (anorexia) dan diare. Pada
ayam layer dapat menurunkan produksi telur antara 10 – 40% (Droual et al., 1990; Miao et
al., 2000) sehingga penyakit ini dapat mengakibatkan kerugian ekonomi baik pada
peternak kecil maupun industri perunggasan. Dari beberapa negara (Argentina, India,
Maroko dan Thailand) dilaporkan bahwa, wabah infectious coryza disertai dengan tanda-
tanda arthritis atau septikemia yang diikuti infeksi sekunder oleh bakteri Mycoplasma
gallisepticum, M. synoviae, Pasteurella spp., Salmonella spp. bahkan dapat diikuti
komplikasi infectious bronchitis, baik pada ayam layer maupun broiler. Dilaporkan juga
terdapat wabah coryza, dengan gejala yang menyerupai swollen head –like syndrome
(Sandoval et al., 1994). Dalam kondisi infeksi campuran, HPG sulit diisolasi dari organ
saluran pernafasan bagian atas, tapi kadang-kadang dapat ditemukan pada hati, ginjal dan
kaki. Infeksi HPG pada ayam kampung dapat terjadi pada umur kurang dari 2 bulan atau
lebih dan dapat menyebabkan kematian dengan prevalensi tinggi. Bila disertai infeksi
sekunder oleh penyakit lain seperti New Castle Disease virus (ND) dan pasteurellosis
maka dapat menyebabkan kematian yang lebih tinggi (Ariyanti & Supar, 2007).
Gejala-gejala klinis dari penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat dari hidung
yang mula-mula berwarna kuning dan encer (sereous), tetapi lama-lama berubah menjadi
kental dan bernanah dengan bau yang khas (mucopurulent). Bagian paruh di sekitar hidung
tampak kotor atau berkerak oleh sisa pakan yang menempel pada eksudat. Sinus
infraorbitalis membengkak, yang ditandai dengan pembengkakan sekitar mata dan muka.
Kadang-kadang suara ngorok terdengar dan ayam penderita agak sulit bernafas. Penurunan
nafsu makan dan diare sering terjadi, sehingga pertumbuhan ayam menjadi terhambat dan
kerdil (Kusumaningsih dan Poernomo, 2000).
Pengendalian untuk mengurangi kejadian penyakit yaitu melakukan pencegahan

dengan vaksinasi yang teratur, sehingga dapat mengurangi pemakaian antibiotika yang

terus menerus dan berlebihan yang mengakibatkan terjadinya resistensi kuman dan

akumulasi residu antibiotika pada bahan pangan asal ternak (Kusumaningsih dan
Poernomo, 2000). Penggunaan obat dalam bentuk kombinasi yang bersifat sinergistik atau

obat golongan flumekuin maupun kuinolon lebih menjanjikan. Disamping pemberian obat,

maka diperlukan juga rehabilitasi pada jaringan yang rusak dengan pemberian

multivitamin ataupun peningkatan nilai nutrient dari pakan; menghilangkan faktor

pendukung terjadinya snot dan tindakan sanitasi/desinfeksi untuk menghilangkan sumber


infeksi (Moenek, 2016).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Isolasi dan identifikasi Av. paragalinarum dilaksanakan pada tanggal 9 Mei sampai
13Mei 2022 dengan lokasi pengambilan sampel di kandang ayam Fapet Undana dan
pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Nusa Cendana.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam isolasi dan identifikasi bakteri Av. paragalinarum
adalah cotton swab steril, cawan petri, tabung reaksi, pipet, bunsen, timbangan,
inkubator, autoklaf, tabung durhan, rak tabung, kertas label, venoject, tabung EDTA,
kertas HVS, pensil, kulkas, sarung tangan, mikroskop, kaca objek, batang ose, jarum
inokulasi, microwave, gelas ukur, termometer, water bath, dan botol Duran.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam isolasi dan identifikasi bakteri Av.
paragalinarum adalah hasil swab sinus infraorbital ayam, Agar coklat (BA), Triple
Sugar Iron Agar (TSIA), Sulfide Indole Motility (SIM), H2O2, strip oksidasi,
aluminium foil, alkohol, darah domba, kapas, kristal violet, lugol, safranin, aseton
alkohol, KOH 10%, spritus, aquades, dan NaCL.
3.3 Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan disterilisasi menggunakan autoklaf selama 15
menit pada suhu 121oC.
3.4 Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan untuk identifikasi bakteri Av. paragallinarum adalah
eksudat dalam sinus infraorbital atau eksudat dalam rongga nasal. Sampel diambil secara
aseptis dengan swab dan disimpan didalam media transport (tabung swab yang berisi
larutan NaCl) dan disimpan lagi dalam coolbox, kemudian dibawa ke laboratorium Klinik
Hewan Undana.
3.5 Pembuatan Media dan kultur Isolat Av. paragalinarum
3.5.1 Media Agar Coklat
1) Mencampurkan blood agar base sebanyak 6 gram dan 150 ml aquades kedalam
botol duran dan kemudian dihomogenkan.
2) Media dipanaskan menggunakan microwave selama 30 detik hingga homogen.
3) Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.
4) Media dalam botol duran direndam dalam water bath hingga suhu mencapai
80 0C.
5) Menambahkan 7 ml darah domba kedalam media dan dihomogenkan hingga
berubah warna menjadi coklat.
6) Menuangkan media kedalam cawan petri sebanyak 20 ml.
7) Media dibiarkan memadat kemudian dimasukkan kedalam kulkas dan diinkubasi
selama 1 jam sebelum digunakan.
3.6 Identifikasi bakteri Av. paragalinarum
3.6.1 Pewarnaan Gram
1) Isolat bakteri dari media agar coklat dibuat preparat apus secara aseptis dengan
menggunakan ose steril dan dicampurkan dengan NaCl steril yang telah
diteteskan terlebih dahulu pada gelas objek dan dihomogenkan, setelah difiksasi
di atas api bunsen dan dikeringkan.
2) Meneteskan larutan kristal violet pada preparat dibiarkan selama 2 menit dan
kemudian preparat dicuci menggunakan aquades steril.
3) Preparat ditetesi lugol dan dibiarkan selama 1 menit, kemudian dibilas
menggunakan aquades steril
4) Preparat ditetesi aseton-alkohol dan dibiarkan 30 detik
5) Preparat ditetesi safranin dan dibiarkan meresap selama 2 menit, kemudian
preparat dicuci menggunakan aquades dan dikeringkan.
6) Preparat ditetesi dengan minyak imersi dan diamati menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 100x.
3.6.2 Uji Gram menggunakan KOH 10%
Uji ini dilakukan dengan cara mengambil koloni bakteri dari media Agar Coklat
dengan ose steril kemudian dioleskan pada objek glass yang kemudian diitetesi KOH
10%. Setelah itu, dibuat gerakkan menarik ke atas dan mengamati apakah terdapat
benang atau lendir yang terangkat.
3.7 Uji Biokimia
3.7.1 Media SIM
1. Mencampurkan 1,7 gram bubuk SIM dengan 56 ml aquades ke dalam
botol duran, kemudian dihomogenkan dengan cara menggoyangkan botol
hingga bubuk SIM larut.
2. Larutan media tersebut dihomogenkan lagi dengan pemanasan di
microwave selama 30 detik untuk memastikan bubuk media terlarut
sempurna.
3. Media yang sudah homogen selanjutnya disterilisasi menggunakan
autoklaf dengan suhu 121 oC selama 15 menit (dengan melonggarkan tutup
botol).
4. Media yang telah homogen dituangkan ke dalam tabung durham sebanyak
6 mL dan disimpan secara tegak hingga mengeras.
5. Media dimasukkan ke dalam kulkas dan diinkubasi selama seatu jam
sebelum digunakan.
6. Melakukan inokulasi koloni bakteri yang tumbuh pada media Agar Coklat
dengan cara membuat tusukan menggunakan jarum inokulasi pada media
SIM yang telah dibuat.
7. Biakan bakteri hasil inokulasi diinkubasikan dalam inkubator dengan suhu
37 oC selama 24 jam.
8. Uji indol dilekukan dengan menteeteskan reagen Kovach pada media SIM.

3.7.2 Media TSIA


1. Mencampurkan 4,5 gram bubuk TSIA dengan 70 ml aquades ke dalam
botol duran, kemudian dihomogenkan dengan cara menggoyangkan botol
hingga bubuk SIM larut.
2. Larutan media tersebut dihomogenkan lagi dengan pemanasan di
microwave selama 30 detik untuk memastikan bubuk media terlarut
sempurna.
3. Media yang sudah homogen selanjutnya disterilisasi menggunakan
autoklaf dengan suhu 121 oC selama 15 menit (dengan melonggarkan tutup
botol).
4. Media yang telah homogen dituangkan ke dalam tabung durham sebanyak
8 mL dan disimpan secara miring hingga mengeras.
5. Melakukan inokulasi koloni bakteri yang tumbuh pada media Agar Coklat
dengan cara membuat tusukan dan goresan menggunakan jarum inokulasi
pada media TSIA yang telah dibuat.
6. Biakan bakteri hasil inokulasi diinkubasikan dalam inkubator dengan suhu
37 oC selama 24 jam.
7. Selanjutnya melakukan pengamatan.

3.7.3 Uji Katalase


Uji katalase dilakukan dengan mengambil isolat yang diduga Av.
paragalinarum pada media Agar Coklat dan diletakan pada kaca objek yang telah
ditetesi H2O2. Selanjutnya diamati apakah terdapat gelembung.
3.7.4 Uji oksidase
Uji oksidase dilakukan dengan menggunakan oksidase strip yang dilakukan
dengan mengambil isolat yang diduga Av. paragalinarum pada media Agar Coklat
menggunakan ose steril, lalu diletakkan pada permukaan oksidase strip. Reaksi positif
ditandai dengan perubahan warna pada oksidase strip menjadi ungu kebiruan dalam
waktu sekitar 1-2 menit.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi Bakteri


Hasil kultur bakteri dari swab sinus infraorbital ayam pada media Agar Coklat,
menunjukkan bahwa adanya koloni bakteri yang tumbuh. Karakter morfologi pada media
Agar Coklat yang diinkubasikan pada suhu 37 ᴼC selama 18-24 jam, terlihat pertumbuhan
koloni bakteri berbentuk bulat, berukuran kecil, berwarna putih bening dengan pinggiran
rata, permukaan cembung dan tampak seperti tetesan embun (Gambar 1). Hal ini sesuai
dengan hasil yang ditemukan oleh Tangkonda et al. (2019) yaitu ditemukan karakter
morfologik Av. paragallinarum yaitu koloni yang berukuran kecil, bulat, transparan
dengan permukaan dan tepi koloni halus dan tampak seperti tetesan embun.

Gambar 1. Pertumbuhan koloni Av. paragallinarum pada media Agar Coklat

4.2 Pengujian Gram


4.2.1 Pewarnaan Gram
Isolat bakteri yang berasal dari media Agar Coklat kemudian diambil untuk
dilakukan pewarnaan Gram yang bertujuan untuk menentukan sifat dan morfologi dari
bakteri Av. paragallinarum. Hasil pewarnaan Gram menunjukkan bakteri bersifat
Gram negatif yang berbentuk coccobacili dan berwarna merah muda. Hal ini sesuai
dengan pendapat Gupte (1990) dan Poernomo (1997) yang menyatakan bahwa bakteri
Av. paragallinarum bersifat gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak berspora
dan pleomorfik. Sama juga dengan hasil yang ditemukan oleh peneliti sebelumnya
yang menyatakan bahwa isolat dugaan Av. paragallinarum bersifat Gram negatif
dengan sel bakteri berbentuk kokobasil (Priya et al., 2012).
Bakteri Gram negatif dibedakan dari gram positif karena komposisi dinding sel
yang berbeda. Dinding sel bakteri Gram negatif lebih kompleks dibanding bakteri
Gram positif. Terdapat dua lapisan pada dinding sel bakteri Gram negatif, berupa
lapisan luar yang tersusun oleh lipopolisakarida serta protein dan lapisan bagian dalam
yang tersusun oleh peptidoglikan yang lebih tipis dibandingkan dengan peptidoglikan
bakteri Gram positif. Sifat dari peptidoglikan yang tipis dan permeabilitas yang tinggi
menyebabkan dinding sel mudah melepaskan zat warna kristal violet ketika dilakukan
pewarnaan pertama dan akan menyerap warna dari safranin yang merupakan pewarna
kedua. Oleh karena itu pada saat pengamatan mikroskopik bakteri Av. paragallinarum
yang merupakan bakteri Gram negatif akan berwarna merah muda (Suarjana et al.,
2017).

Gambar 2. Hasil pewarnaan Gram dugaan bakteri Av. paragallinarum


4.2.2 Uji KOH 10%
Uji KOH 10% merupakan salah satu pengujian Gram untuk menentukan sifat

Gram dari bakteri. Hasil pengujian ini, menunjukkan bahwa bakteri Av.

paragallinarum merupakan bakteri Gram negatif, karena pada uji KOH 10% tampak

berlendir dan seperti benang ketika ditarik menggunakan ose. Bakteri Gram negatif

akan tampak berlendir dan kental ketika ditambahkan KOH 10% sedangkan pada

bakteri gram positif tidak kental dan berlendir (Soekirno, 2008 cit Hardiansyah et al.,

2020). Hal ini dikarenenakan KOH 10% dapat meluruhkan lemak (lipid bilayer)

sehingga membuat sel Gram negatif menjadi pecah, kemudian sel yang pecah akan

mengeluarkan materi DNA. Molekul DNA dari bakteri sangat panjang dan bersifat

sticky strings (menyerupai lendir, getah dan lengket), sehingga ketika diangkat

menggunakan ose maka akan tampak seperti berlendir (Edwin, 2011 cit Hardiansyah

et al., 2020).

Gambar 3. Hasil uji KOH positif


4.3 Uji Biokimia
4.3.1 Uji Sulphide Indole Motility (SIM)
Pengujian pada media SIM yang dilakukan menunjukkan hasil yaitu bakteri
Av. Paragallinarum tidak memproduksi hydrogen sulfida, menghasilkan reaksi indole
negatif dan bakteri bersifat non motil (Gambar 4).
Gambar 4. Uji biokimia pada media SIM. Kiri: bakteri tidak memproduksi gas
dan non motil, kanan: bakteri menghasilkan reaksi indol negatif.

Reaksi sulfid negatif ditunjukkan oleh media yang tidak berubah warna
menjadi hitam. Hal ini menandakan bahwa bakteri tersebut tidak memproduksi
Hidrogen Sulfida (H2S). Media SIM juga digunakan untuk uji indol menggunakan
reagen Kovach. Hasil uji memberikan reaksi negatif yang ditandai dengan tidak
adanya perubahan warna merah pada permukaan medium. Sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Tangkonda et al. (2019) yang melaporkan bahwa sifat biokimia
Av. Paragallinarum yaitu tidak memproduksi indol. Hal ini menunjukkan bahwa
bakteri Av. Paragallinarum tidak memiliki enzim triptonase yang dapat menghidrolisis
asam amino triptofan. Selain itu, uji SIM juga digunakan untuk melihat daya gerak
(motilitas) bakteri. Pada hasil uji ini menunjukkan bahwa bakteri bersifat non motil
yang ditunjukkan dengan pertumbuhan bakteri yang tidak menyebar atau hanya
tumbuh disekitar area inokulum. Hal ini sesuai dengan pendapat Blackall et al. (1997)
yang menyatakan bahwa bakteri Av. Paragallinarum merupakan bakteri yang bersifat
non motil.
4.3.2 Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA) merupakan metode yang digunakan untuk
melihat kemampuan mikroorganisme dalam memfermentasikan gula. Medium TSIA
mengandung 3 macam gula, yaitu glukosa, laktosa dan sukrosa. Pada media ini
terdapat indikator fenol red serta FeSO4 untuk memperlihatkan pembentukan H2S.
Media TSIA yang digunakan memiliki dua bagian yaitu slant (miring) dan butt (tusuk)
(Sari, 2012).
Berdasarkan hasil pengujian TSIA yang dilakukan, terjadi perubahan warna
media TSIA menjadi kuning, baik pada bagian miring maupun tegak pada media, tidak
terbentuknya endapan hitam pada media, dan terdapat sedikit keretakan pada media
yang mengindikasikan adanya gas disebabkan oleh adanya reaksi fermentasi
karbohidrat (Suarjana et al., 2017; Lay, 1994) (Gambar 5). Perubahan warna media
menjadi kuning disebabkan oleh bakteri yang tumbuh dapat memfermentasi laktosa,
sukrosa dan glukosa yang terkandung dalam media TSIA. Bakteri Av. paragallinarum
dapat memfermentasi gula yang dapat menurunkan pH, sehingga ketika bereaksi
dengan indikator fenol red pada media dapat menghasilkan warna kuning. Tidak
terbentuknya endapan hitam pada media menunjukkan bahwa bakteri tidak bereaksi
dengan besi sulfat pada media sehingga tidak menghasilkan gas H2S (berwarna hitam)
(Markey et al., 2013). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tangkonda et
al. (2019) yang menyatakan bahwa sifat biokimia Av. paragallinarum yaitu dapat
memfermentasi glukosa, laktosa, manitol, sukrosa, dan sorbitol.

Gambar 5. Hasil uji TSIA


4.3.3 Uji katalase
Uji katalase terhadap isolat dugaan bakteri Av. Paragallinarum menunjukkan
hasil negatif yaitu tidak terbentuknya gelembung gas pada kaca objek (Gambar 6). Hal
ini menunjukkan bahwa bakteri Av. Paragallinarum tidak menghasilkan enzim
katalase. Hal ini sesuai dengan pendapat Quinn, dkk (2002) yang menyatakan bahwa
bakteri Av. pargallinarum hanya membutuhkan faktor V (Nikotinamid Adenin
Dinoklotid/NAD) dan tidak membutuhkan faktor X (haemin) untuk pertumbuhannya.
Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tangkonda et al. (2019)
yang melaporkan bahwa sifat biokimia Av. Paragallinarum yaitu bersifat katalase
negatif.

Gambar 6. Hasil uji katalase (reaksi negatif)

4.3.4 Uji oksidase


Uji oksidase terhadap isolat dugaan bakteri Av. Paragallinarum memberikan
reaksi negatif yaitu tidak adanya perubahan warna pada strip oksidase (Gambar 7). Uji
oksidase bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya enzim oksidase pada bakteri
dengan menggunakan paper oksidase yang dapat dilihat dengan perubahan warna pada
strip oksidase (Yusuf, 2009). Reaksi positif oksidase ditandai dengan perubahan warna
menjadi biru violet dan reaksi negatif ditandai dengan tidak adanya perubahan warna
pada strip oksidase (Samosir et al, 2017). Hasil uji oksidase terhadap isolat bakteri Av.
Paragallinarum menunjukkan reaksi negatif, dikarenakan setelah bakteri
dinokulasikan pada strip oksidase, tidak terjadi perubahan warna strip menjadi ungu
gelap. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tangkonda et al.
(2019) yang melaporkan bahwa sifat biokimia Av. Paragallinarum yaitu bersifat
oksidase negatif.
Gambar 7. Hasil uji oksidase (reaksi negatif)
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi terhadap isolat pada sampel swab sinus
infraorbital ayam, ditemukan isolat bakteri yang tumbuh pada media Agar Coklat yaitu
koloni yang berukuran kecil, bulat, transparan dengan permukaan dan tepi koloni halus dan
tampak seperti tetesan embun. Selain itu, pada pewarnaan Gram dan uji KOH, ditemukan
bakteri berbentuk kokobasil dan bersifat Gram negatif. Uji biokimia yang dilakukan
menunjukkan bakteri bersifat non motil, hasil negatif terhadap uji indol, tidak
memproduksi sulfid dan H2S, katalase negatif, oksidase negatif serta dapat memfermentasi
glukosa, laktosa dan sukrosa. Sesuai hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa diduga
bakteri yang tumbuh merupakan bakteri Av. paragallinarum.
DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti, T; Supar. 2007. Pengendalian Coryza Infeksius Pada Ayam. Wartazoa. 17 No( 4).
Akter S, Ali M, Das M, Hossain MM. 2013. Isolation and identification of avibacterium
paragallinarum, the causal agent of infectious coryza (ic) from layer chickens in
Bangladesh. Journal of Bangladesh Agricultural University. 11(1): 87-96.
Bisset. K.A. 1962. Bacteria. 2th ed. E dan S. Living Stone. LTD. Edin Burgh, New York.
Blackall, P.J., M. Matsumoto, And R. Yamamoto. 1997. Infectious coryza. In: Diseases of
Poultry. 10th. Ed Calnek, B.W. et al. (ed). The Iowa State University Press. Iowa.
USA.
Blackall PJ, Soriano EV. 2008. Infectious Disease of Poultry. London (UK): Blackwell
Publishing.
Gupte. S.M.D. 1990. Mikrobiologi Dasar. Diterjemahkan oleh: Julius. E.S. Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti. Binarupa Aksara, Jakarta.
Hardiansyah, M.Y., Musa, Y. dan Jaya, A.M. 2020. Identifikasi Plant Growth
Rhizobacteria pada rizosfer bamboo duri dengan Gram KOH 3%.Agrotechnology
Research Journal, 4(1): 41-46.

Holt, J.G., Krieg, N.R., Sneath, P.H.A., Staley, J.T., Williams, S.T., 2000, Bergey’s
Manual Determinative BacteriologyI, 9th edition, Lippincott Williams and Wilkins
Company, USA, pp. 93, 184, 186-187.

Kerala. 2012. Isolation and identification of avibacterium paragallinarum from ornamental


birds in trissur. Journal of Sciences. 01.03: 87-88.
Kusumaningsih, A; Poernomo, S. Infeksius Coryza (Snot) pada Ayam di Indonesia.
Wartazoa. Vol 10. Balai Besar penelitian Veteriner, Bogor. Hlm. 72-76.
Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Raja Grafindo Dermaga, Jakarta.
Miao, D., P. Zhang, Y. Gong, T. Yamaguci, Y. Iritani, and P.J. Blackall. 2000. The
Development and Application of Blocking ELISA Kit for the Diagnosis of
Infectious Coryza. Avian Pathol. 29: 219 – 225.
Moenek, D.Y.J.A. 2016. Manajemen Penyakit Infectious Coryza (Snot). Partner, Tahun 15
Nomor 2, Halaman 238 – 245.
Tangkonda E, Tabbu CR, Wahyuni AETH. Isolasi, Identifikasi, dan Serotyping
Avibacterium paragallinarum dari Ayam Petelur Komersial yang Menunjukkan
Gejala Snot. Jurnal Sain Veteriner. 37(1): 27-33.
Page, L.A. 1962. Haemophilus infection in chicken. I. Characteristic of 12 Haemophilus
isolates recovered from diseases chickens. Am. J. Vet. Res. 85-95.
Poernomo, S., Sutarma Dan Y. Nazarudin. 1997. Haemophilus paragallinarum pada ayam
di Indonesia. II. Sifat-sifat fisiologik dan biokimiawi isolat Haemophilus spp. dari
ayam sakit. JITV 2(4): 263 – 269.
Priya, P. M., S. V. Krishna, V. Dineskhumar, and M. Mini. (2012). Isolation and
Charaecterization of Avibacterium paragallinarum from Ornamental Birds in
Thrissur, Kerala. Int. J. Life. Sci. 1(3):87-88.
Quinn, P. J. B. J. Markey, M.E. Carter, W.J. Donnelly, and F.C. Leonard. 2002. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Garsinton Road, Oxford, United Kingdom:
Blackwell Publishing Company.

Sandoval, V.E., H.R. Terzolo And P.J. Blackall. 1994. Complicated coryza infection in
Agentina. Avian Dis. 38: 672 – 678.
Samosir, M. F., D. Suryanto, dan Desrita. 2017. Isolasi dan identifikasi bakteri potensial
probiotik pada saluran pencernaan ikan mas (Cyprinus carpio). Jurnal Biologi.
6(2):24.

Sari, D.A.P. 2012.Isolasi dan Identifikasi Salmonella enteridis pada telur Saluran,
Pencernaan dan Feses Ayam Ras dari Peternakan di Gunung Sindur Bogor.Skripsi.
Fakultas Peternakan, Intitut Pertanian Bogor.
Sari, NI. 2014. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Tanah di Kecamatan Pattallassang
Kabupaten Gowa. Skripsi: Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Alauddin
Makassar.
Suarjana IGK, Besung INK, Mahatmi H, Tono K. 2017. Isolasi dan Identifikasi Bakteri.
Fakultas Kedokteran Hewan. Bali: Udayana.
Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penaggulangannya.Penyakit Bakterial, Mikal, dan
Viral.Kanisius, Yogyakarta.

Wahyuni AETH, Tabbu CR, Arnanto S, Ariyani T, Prakasita VC. 2018. Characterization
of Avibacterium paragallinarum Caused Infectious coryza/Snot: Satelite Colony
Phenomenon. Proc. Of the 20th fava congress & 15th kivnas pdhi. Bali Nov 1-3.
Yusuf, R.W.N. 2009.Isolasi dan identifikasi bakteri gram negatif pada luka ikan maskoki
(carassius auratus) akibat infestasi ektoparasit Argulus sp. Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya.
LAMPIRAN

Dokumentasi ayam kasus (Suspek Snot)

(Terdapat leleran encer dari hidung, terjadi kebengkakan pada daerah muka,
diare, dan ngorok)
Dokumentasi Pengambilan Sampel

Dokumentasi Pembuatan Media


Dokumentasi sterilisasi alat dan bahan

Dokumentasi isolasi dan identifikasi ‘

Anda mungkin juga menyukai