Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KOASISTENSI PATOLOGI VETERINER

NEKROPSI PADA MAMALIA (ANJING)

OLEH

KELOMPOK KOAS 1D

Kelompok 2

Praiselia D.A Tafui, S.KH 2009020003

Theresia Omelensiana Bara, S.KH 2009020005

Debora I. Weki, S.KH 2009020021

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nekropsi atau bedah bangkai adalah teknik lanjutan dari diagnosa klinik untuk

mengukuhkan atau meyakinkan hasil diagnosa klinik. Pada prinsipnya, bedah bangkai

adalah mengeluarkan organ-organ yang dihinggapi penyakit-penyakit tertentu. Bedah

bangkai hendaknya dilakukan secepat mungkin setelah hewan mati. Untuk daerah

tropis seperti Indonesia, sebaiknya bedah bangkai dilakukan tidak lebih dari 6 jam

setelah hewan mati. Hewan yang gemuk atau tertutup bulu lebih cepat. Bila

pelaksanaan bedah bangkai akan ditunda, bangkai dapat disimpan pada refrigerator

agar tidak membusuk. Bedah bangkai dapat dilakukan pada hewan hidup atau pada

hewan mati. Jika menggunakan hewan hidup, maka hewan harus dibunuh dahulu,

terdapat beberapa cara membunuh hewan sebelum dinekropsi, yaitu disembelih,

euthanasia dengan chloroform yang dihirupkan pada anjing, emboli, pemutusan

persendian atlanto-occipital, electrocution (penyetruman), atau dengan pembiusan

eter yang berlebih (Situmorang et al., 2018).

Adapun prinsip dalam melakukan nekropsi ialah dengan cara inspeksi

(pengamatan), palpasi (perabaan), dan insisi (penyayatan). Cara tersebut harus

dilakukan secara berurutan Selain itu, prinsip nekropsi lainnya yaitu pemeriksaan

jaringan yang dilakukan dengan membuka bangkai hewan yang sudah mati dan

mengamati perubahan anatomis, kelainan yang terjadi terkadang bersifat spesifik

(patognomonis) pada kasus tertentu. Nekropsi merupakan teknik yang sangat penting

dalam menegaskan diagnosa penyakit agar mengetahui sebab penyakit dan sebab

kematian dari hewan tersebut (Situmorang et al., 2018).


Anjing adalah mamalia karnivora yang mempunyai kedekatan baik dengan

manusia, karena mudah dilatih, diajak bermain, tinggal bersama, bersosialiasi serta

naluri alami yaitu berkelompok. Pemilik anjing sangat menghargai nilai kesetiaan dan

pengabdian anjing sehingga menganggap sebagai keluarga (Budiana, 2007). Anjing

merupakan jenis hewan yang didomestikasi sebagai hewan kesayangan dan

membantu manusia untuk melaksanakan berbagai pekerjaan seperti penjaga, pelacak,

atau penggembala ternak. Tingkat kedekatan yang sangat tinggi dengan manusia

memungkinkan penularan berbagai penyakit parasit yang dibawa oleh anjing kepada

manusia (Dharmojono, 2003).

1.2. Tujuan

Tujuan dilakukan praktikum ini adalah untuk mengetahui cara nekropsi pada

anjing dan mengamati perubahan patologi anatomis pada hewan yang mengalami

penyakit tertentu.
BAB II

MATERI DAN METODE

2.1. Waktu Praktikum

Nekropsi pada anjing dilakukan di Klinik Hewan Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Nusa Cendana Kupang, pada hari kamis, tanggal 20 Mei 2021, pukul 10:15-

selesai.

2.2. Alat dan Bahan

2.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu minor set, spuit 3 ml, karung dan

nampan.

2.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu kloroform, air, kapas, sarung tangan

dan masker.

2.3. Metodologi

2.3.1. Nekropsi Mamalia

1. Mempersiapkan ruangan, alat serta bahan yang akan digunakan untuk prosedur

nekropsi.

2. Melakukan pemeriksaan kinis serta mencatat perubahan ataupun kelainan yang

ditemukan pada saat pemeriksaan.

3. Melakukan restrain pada anjing dan melakukan pengambilan darah pada vena

chepalica antebrachi dengan menggunakan spuit dan disimpan dalam tabung

EDTA.
4. Melakukan euthanasi pada anjing dengan menghirupkan chloroform, tetapi jika

anjing belum kehiangan kesadaran maka dilakukan emboli pada jantung dengan

memasukkan udara mengggunakan spuit pada jantung.

5. Meletakkan anjing pada meja nekropsi dengan posisi lateral recumbency.

6. Membuat sayatan pada bagian medial persendian regio humerus dan regio

femoralis yang selanjutnya dikuakkan ke bagian lateral. Tujuan dari langkah

tersebut adalah mempermudah dalam melakukan pembukaan rongga thoraks dan

abdomen.

7. Membukan kulit regio thorako-abdominis dan menguakkan ke bagian lateral

tubuh dengan melakukan penyayatan secara sinambung hingga lapisan subkutan.

Tujuannya adalah memisahkan perlekatan antara kulit dari muskulus. Sejalan

dengan hal tersebut dapat dilakukan penilaian terhadap bentuk, warna, ukuran dan

letak. Kemudian lakukan penyayatan pada muskulus daerah leher sampai bertemu

dengan sayatan kulit pertama. Kemudian lakukan penguakan kulit kearah lateral

tubuh.

8. Membuka daerah abdomen dengan penyayatan muskulus sepanjang linea alba

(peritoneum ditusuk), iris menyamping mulai dari ujung procesus xiphoideus

mengikuti tulang rusuk terakhir sampai mendekati os vertebrae. Buat irisan tegak

lurus terhadap irisan memanjang yang pertama, diantara tulang rusuk terakhir dan

tubercoxae sampai inguinal. Kemudian lakukan pemeriksaan rongga thoraks

terhadap tekanan negatif dengan cara membuat luka sayatan kecil menggunakan

ujung scalpel sampai terlihat adanya udara yang masuk kedalam pembungkus

pulmo. Kemudian lakukan pembukaan daerah thoraks dengan memotong tulang

rusuk menggunakan gunting tumpul tajam. Setelah itu, kuakkan tulang rusuk ke
bagian lateral serta lakukan pengamatan pada dinding thoraks dan organ

didalamnya.

9. Tahap selanjutnya adalah mengeluarkan organ dari rongga dada dan abdomen

hingga anus. Selanjutnya lakukan pemeriksaan persistema, amati dan lakukan

penilaian terhadap setiap organ.


BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

1. Data Pemilik

 Nama Pemilik : Ibu Indri

 Alamat Pemilik : Desa Oemasi Kec. Nekamese, Kabupaten Kupang

2. Signalemen

 Jenis Hewan : Anjing

 Nama Hewan : Manis

 Ras: Lokal

 Jenis kelamin: betina

 Umur: 5 tahun

 Warna: Putih

 Tanggal Pemeriksaan : Kamis, 20 Mei 2021

3. Anamnesa:

Anjing belum pernah divaksinasi dan belum ada pemberian obat cacing ataupun

pengobatan lain oleh pemiliknya, anjing ini mengalami muntah terus menerus, nafsu

makan menurun dan kurang minum air, anjing tampak sangat kekurusan, lesu, rambut

kusam, batuk dan adanya caplak pada punggung tubuh dan lesi pada kulit. Pada

awalnya tubuh anjing gemuk, namun mulai berat badannya semakin menurun setelah

mengalami sakit sejak Januari 2021.

4. Pemeriksaan Fisik:

Anjing menunjukan gejala lemah, lesu, anoreksia, mukosa mulut tampak pucat,

cermin hidung kering, ada leleran pada hidung, ada kotoran didaerah mata dan pada
pemeriksaan CRT > 2 detik. Pada pemeriksaan turgor kulit tingkat elastisitas sangat

rendah >2 detik. Adanya infeksi ektoparasit berupa caplak serta terdapat kotoran pada

mata. Frekuensi jantung 100x per menit dan frekuensi nafas 52x per menit. Anjing

tersebut menarik nafas dalam.

Tabel 1. Perubahan patologi pada organ tubuh Manis

No. Gambar Keterangan

1.
Anjing bernama Manis
dengan BCS 2 (gambar
kiri). Cermin hidung kering
dan ada leleran pada bagian
dalam hidung (gambar
kanan)

Gambar 1. Kondisi anjing sebelum dinekropsi

Organ respirasi :
Paru-paru
 Inspeksi :
Warna : normal
Bentuk : normal
Ukuran : normal
Terdapat nodul pada lobus
3. bagian kiri
 Palpasi :
Konsistensi : kenyal
Gambar 3. Paru-paru normal pada anjing (kiri)
Sumber Zachary, 2017. Terdapat lesi pada paru-
Diagnosa : Pneumonia
paru anjing (tanda panah pada gambar kanan)
embolik dan pneumonia
dokumentasi pribadi.
eosinofilik

Gambar 4. Paru-paru mengalami hemoragi (gambar


kiri) dan terdapat massa pada salah satu lobus
(gambar kanan)
4.
Organ kardiovaskular:
Jantung
 Inspeksi :
Warna : merah kehitaman
Bentuk : jantung terlihat
membundar dan bagian
apex menumpul
Ukuran : normal
 Palpasi :
Konsistensi : kenyal

Diagnosa: kongesti akibat


emboli jantung
Gambar 5. Adanya hemoragi pada ventrikel kiri
(lingkaran merah) dan apex tumpul dan kongesti
pada ventrikel kanan (tanda panah)

5.
Sistem digesti :
Esofagus
 Inspeksi :
Warna : tidak normal
Bentuk : normal
Gambar 6. Ditemukan dua nodul besar pada Terdapat nodul besar pada
esofagus pada gambar kiri sebelum disayat (anak esophagus
panah). Pada gambar kanan setelah nodul tersebut Terdapat cacing S. lupi
disyat terdapat cacing S. lupi berbentuk spiral  Palpasi :
(lingkaran merah) Konsistensi : kenyal
Diagnosa : Fibrosarcoma
Esofagus yang
diakibatkan oleh Spirocerca
lupi

Sistem digesti:
Lambung
 Inspeksi :
6. Warna : tidak normal
Bentuk : normal
Ukuran : agak tebal
Terjadi hemoragi
 Palpasi :
Konsistensi : kenyal dan ada
yang keras
Diagnosa : Gastritis

Gambar 7. Adanya hemoragi pada lambung


(lingkaran merah)

7. Sistem digesti :
Usus halus (duodenum,
jejenum, ileum)
 Inspeksi :
Warna : agak sedikit pucat
Bentuk : tidak normal
Ukuran : ada yang ukuran
normal dan ada yang
berukuran agak besar
Gambar 8. Adanya hemoragi pada jejenum (kiri,
 Palpasi :
tanda panah) dan ileum (kanan, lingkaran merah)
Konsistensi : tebal, kenyal
dan terjadi penebalan pada dinding usus halus
dan ada yang keras
Terdapat cacing D. caninum
pada jejenum dan ileum

Diagnosa : Enteritis dan


helmintiasis

Gambar 9. Terdapat cacing D. caninum dewasa


pada usus halus

8. Sistem digesti :
Usus besar (sekum, kolon)
 Inspeksi :
Warna : agak sedikit pucat
Bentuk : tidak normal
Ukuran : ada yang ukuran
normal dan ada yang
berukuran agak besar
Gambar 10. Pada sekum dan kolon terdapat cacing  Palpasi :
D. caninum dewasa (gambar kiri dan kanan). Serta Konsistensi : tebal, kenyal
terdapat eksudat pada sekum (gambar kanan) dan dan ada yang keras
dinding usus tebal. Terdapat cacing D. caninum

Diagnosa : Enteritis dan


helmintiasis

9. Organ aksesoris Sistem


pencernaan:
Hati
 Inspeksi :
Warna : merah tua (normal)
Ukuran : agak sedikit besar

 Palpasi :
Konsistensi : agak keras

Diagnosa: hepatitis

Gambar 11. Pada saat pengamatan makroskopik


bagian tepi dari organ hati masih tetap tipis, tetapi
bagian tengah hati mengalami pembesaran dan
konsistensi agak keras (gambar kiri). Setelah disayat
warna hati normal gambar kanan.

10. Organ aksesoris


pencernaan :
Pankreas
 Inspeksi :
Warna : agak merah
Ukuran : agak besar

Gambar 12. Terjadi perubahan warna lebih gelap  Palpasi :


pada pankreas (lingkaran merah) Konsistensi : kenyal
Diagnosa; Pankreatitis
11.
Sistem limfatik :
Limpa
 Inspeksi :
Warna : merah kehitaman
tidak merata, lebih gelap
pada ujung limpa
Bentuk : bagian tepi dari
limpa mengalami penebalan
Ukuran : tebal
Gambar 13. Terjadi perubahan warna yang tidak
merata pada limpa. Pada ujung limpa terjadi  Palpasi :
kongesti (lingkaran merah) Konsistensi : kenyal

12. Sistem ekskresi :


Ginjal
 Inspeksi :
Warna : pucat
Bentuk : normal
Ukuran : normal

 Palpasi :
Konsistensi : kenyal agak
keras

Gambar 14. Ginjal berwarna merah pucat (gambar


kiri). Setelah disayat, pada bagian medulla berwarna
pucat (gambar kanan, tanda panah)

3.2. Pembahasan

Berdasarkan pemeriksaan klinis terdapat lesi pada kulit anjing dan terdapat

ektoparasit, kondisi anjing kurus dan nafsu makan berkurang. Akibat dari infestasi

ektoparasit ini, dapat menyebabkan anjing mengalami anemia, dan kurangnya nafsu makan.

Hal ini dikuatkan dengan kondisi fisik anjing yang mengalami kekurusan.

Kondisi kekurusan merupakan suatu kondisi yang menggambarkan keadaan

penurunan bobot badan yang parah. Umumnya pada kondisi kekurusan bobot badan lebih
rendah 15 sampai 40% dari bobot badan normal. Selain itu, kondisi kekurusan juga

dikaitkan dengan persediaan cadangan lemak dalam tubuh. Cadangan lemak pada hewan

yang kurus lebih sedikit dari hewan normal. Umumnya hewan yang menderita kekurusan

yang berat tidak hanya mengalami kekurangan energi tapi biasanya diikut oleh stress,

cedera atau penyakit yang mempercepat terjadinya penurunan bobot badan.

Pada hewan yang menderita kekurusan akan mengalami kerusakan protein otot terjadi

lebih lambat dari perubahan protein tubuh lainnya. Apabila gejala klinis sudah

menunjukkan hilangnya otot dalam jumlah yang besar maka dimungkinkan kondisi tersebut

sudah berada pada kondisi yang berat dan kronis (Watson dan Dunn, 2000). Kemudian

hilangnya nafsu makan pada anjing dapat diindikasikan adanya infeksi agen patogen

penyebab penyakit seperti virus, bakteri, dan parasit mengingat anjing ini tidak pernah di

berikan vaksin maupun obat cacing apapun.

Menurut Widodo et al (2011) pada hewan yang bergizi buruk, beberapa bagian dari

kerangkanya akan menonjol ke luar yang dapat diamati pada tulang iga atau costae, tuber

coxae, tulang punggung bagian spinosusnya tampak menyeruak, fossa supraorbitale

cekung, rambutnya menjadi kusam dan kering, elastisitas kulit berkurang/menurun atau

dengan kata lain turgor kulit dikatakan jelek dan selaput lendirnya pucat. Kondisi ini

sejalan dengan hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan pada anjing dimana kulit dan

rambutnya tampak kusam, turgor elastisitas kulit berkurang, dan cermin hidungnya yang

sedikit kering. Pemeriksaan organ dilakukan dimulai dari pemeriksaan regio kepala, sistem

respiratori, sistem pencernaan, sistem urinalis, sistem reproduksi dan sistem saraf. Hasil

pengamatan menunjukkan adanya perubahan pada organ-organ sistem respirasi, sistem

digesti, dan sistem urinaria.

Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik anjing adalah nutrisi. Pada

kasus ini anjing yang mengalami defisiensi nutrisi dan tidak terawat oleh pemilik
merupakan kondisi umum pada anjing yang dipelihara secara dilepas. Anjing tersebut

diberi makan oleh pemilik seadanya, bahkan mencari makan sendiri dihutan. Kekurangan

gizi yang serius akan mengganggu respons imun dan produksi antibodi (Dibia et al., 2015).

Defisiensi nutrisi yaitu menyebabkan kerontokan rambut, bahkan mengalami

kekurusan sehingga terganggunya pertumbuhan. Selain itu defisiensi zat besi ketika salah

asupan makanan tidak memenuhi kebutuhan tubuh atau ketika ada faktor eksternal (non-

resorptive) seperti kehilangan darah. Penyebab kehilangan darah termasuk ektoparasit,

endoparasit, hematuria, epistaksis, patologi kulit hemoragik, koagulopati, trombositopenia,

dan perdarahan gastrointestinal.

3.2.1. Hidung dan Mukosa Mulut

Pada pemeriksaan mulut ditemukan mukosa yang terlihat sangat pucat serta

CRT lebih dari 2 detik dan ada leleran bening pada hidung. Pemeriksaan inspeksi

pada anjing tersebut ditemukan mukosa mulut pucat. Hal ini diduga akibat kondisi

anemia yang dialami oleh anjing tersebut. Anemia adalah kondisi ketika tubuh

makhluk hidup kekurangan sel darah yang mengandung hemoglobin untuk

menyebarkan oksigen ke seluruh organ tubuh. Anemia ini dapat terjadi dalam jangka

waktu pendek maupun panjang, dengan tingkat keparahan ringan sampai berat.

Dengan kondisi tersebut, hewan biasanya lemas dan enggan beraktifitas secara

optimal seperti pada kondisi anjing yang ditemukan pada kasus ini. Kondisi pucat

pada mukosa dapat disebabkan karena adanya anemia yang terjadi akibat defesiensi

Fe, asam folat, B12 dan banyak kehilangan darah (Masrizal, 2007). Selain itu

penyebab kehilangan darah lainnya adalah adanya ektoparasit, endoparasi, hematuria,

epistaksis, patologi kulit hemoragik, koagulopati, trombositopenia, trombositopenia,

dan perdarahan gastrointestinal.


Pada kasus ini juga, anjing tersebut mengalami dehidrasi karena anjing tidak

mau makan dan minum sehingga menyebabkan cairan tubuh menurun. Warna

membran mukosa dapat menggambarkan kondisi oksigenasi dan perfusi pada

pembuluh darah yang menurun di jaringan karena adanya infestasi parasit eksternal

maupun internal (Soulsby, 1982). Defisiensi zat besi atau kekurangan zat besi dapat

menyebabkan anjing tersebut mengalami anemia. Selain itu juga akibat kondisi

anemia dimana terjadi perubahan warna menjadi pucat pada mukosa

mulut akibat kurangnya oksigen bahkan suplai darah ke daerah tersebut sehingga

mempengaruhi kerusakan pada paru-paru akibat transport oksigen yang mengalami

penghambatan hal inilah yang menyebabkan seluruh tubuh menjadi terganggu pada

beberapa organ seperti lidah, ginjal yang terjadi perubahan warna menjadi pucat.

3.2.2. Sistem Respirasi

Perubahan yang terjadi pada kasus anjing ini dimana terdapat leleran atau

cairan bening pada hidung. Hal ini diduga disebabkan respon tubuh karena agen

patogen. Leleran pada hidung tersebut akibat respon dari tubuh untuk mengeluarkan

cairan atau leleran. Pada temuan patologi anatomi ditemukan adanya hemoragi, nodul

dan massa berwarna putih pada paru-paru hal ini yang menjadi adanya kaitan bahwa

terjadi leleran pada hidung. Leleran bening pada hidung yang terjadi akibat respon

tubuh dimana adanya kompensasi tubuh dengan mengeluarkan agen patogen pada

saluran pernafasan.
Gambar 15. Terlihat adanya infiltrasi sel radang daerah lumen pembuluh darah (A),
emfisema (B), sel radang (C), hemoragi (D) HE pembesaran 100x (Bakri
et al., 2020)

Pemeriksaan pada sistem respirasi anjing menunjukan bahwa sebagian besar

berada dalam keadaan normal, kecuali paru-paru. Permukaan organ paru-paru

menunjukan perubahan yang signifikan berupa hemoragi dan warna yang pucat. Uji

apung yang dilakukan pada paru-paru anjing menujukkan bahwa paru-paru melayang.

Hal ini menunjukkan bahwa adanya massa pada paru-paru. Kemungkinan anjing

tersebut mengalami pneumonia akibat agen hematogenus yang menyebabkan pada

paru-paru mengalami hemoragi lokal hal ini terjadi karena anjing tersebut sebelumnya

dilakukan tindakan emboli jantung yang berulang-ulang sehingga terjadi kerusakan

pembuluh darah. Pembuluh darah di jantung yang mengalirkan darah ke paru-paru

mengalami ruptur dan menyebabkan terjadinya hemoragi lokal.

Selain pneumonia, ditemukan massa berwarna putih yang menonjol pada paru-

paru anjing tersebut. Massa yang menonjol pada paru-paru ini termasuk pneumonia

eosinofilik, bronkopneumopati eosinofilik, dan eosinophilic pulmonary

granulomatosis (EPG) pada anjing (Caswell dan Williams, 2016). Ciri-ciri EPG yaitu

adanya nodul pada paru-paru dan massa yang terdiri dari eosinofil, makrofag,

kombinasi limfosit, sel plasma, neutrofil, dan sel mast dalam jaringan fibrosa

(Reinero, 2019). Untuk kasus EPG, tidak ada predileksi jenis kelamin pada anjing.

Anjing yang terinfeksi EPG berkisar antara 1 sampai 8 tahun. Usia ini penting

mengingat bahwa neoplasia adalah diagnosis banding untuk anjing yang mengalami

batuk dan sesak napas yang ditemukan nodul dan massa pada paru-paru. Namun,

anjing dengan kanker primer paru-paru rata-rata berusia 10-11 tahun pada saat

diagnosis, dan jarang <6 tahun (Abbot dan Allen, 2020).


Gambar 16. (Kiri) Eosinophilic Pulmonary Granulomatosis (EPG) pada anjing.
Potongan permukaan massa besar, padat dan pucat pada paru-paru
kanan (Abbott dan Allen, 2020). (Kanan) Massa padat dan pucat pada
paru-paru kanan (dokumentasi pribadi)

Pada kasus ini, terdapat massa padat, multinodular, berwarna putih (pucat) dan

terdapat bercak merah. Hal ini sama dengan penelitian Abbott dan Allen (2020)

dengan ciri-ciri tersebut serta permukaan potongan massa padat dan pucat, dengan

area kemerahan dan coklat, dan terdapat fokus nekrosis (Gambar 16).

Secara histologis, massa terdiri dari sel polimorfonuklear yang sedang hingga

besar serta bentuk yang bervariasi. Selain itu, massa juga terbentuk dari sel

mononuklear dengan inti sedang hingga besar dan berbentuk bulat hingga oval yang

diitrepretasikan sebagai makrofag dan sejumlah kecil neutrofil, limfosit, dan sel

plasma yang dipisahkan dan dikelilingi oleh kolagen pendek, sedang, dan panjang,

dengan ketebalan bervariasi (Gambar 17). Terdapat juga fibroblast seperti beberapa

sel yang mengalami degenerasi dan nekrotik, foci sel nekrosis yang besar, dan foci

nekrosis koagulatif dengan batas yang jelas. Di beberapa area, jaringan fibrosa lebih

menonjol daripada sel radang (Abbott dan Allen, 2020).


Gambar 17. Eosinophilic Pulmonary Granulomatosis (EPG) pada anjing. (A) Histopatologi
massa pada paru-paru. Banyak sel polimorfonuklear, sel inflamasi serta kolagen.
(HE 10x). (B) Histopatologi massa pada paru-paru. Terdapat kolagen yang sangat
banyak. (Masson trichrome 10x) (C) Fotomikrograf massa yang menunjukkan
banyak eosinofil. (Duffy 100x) (Abbott dan Allen, 2020).

3.2.3. Sistem Kardiovaskuler

Pemeriksaan yang dilakukan pada sistem kardiovaskuler yaitu pemeriksaan

klinis denyut jantung sebelum anjing di nekropsi yaitu 100x/menit (normal). Pada saat

di nekropsi dilakukan inspeksi pada jantung ditemukan gumpalan darah dalam rongga

jantung. Gumpalan darah ini akibat dari tindakan emboli jantung saat euthansia anjing

tersebut dimana ketika jantung mengalami cedera akibat luka tusuk maka pembuluh

darah akan merusak daerah yang mengalami cedera akibatnya terjadi pembekuan

darah didaerah tersebut.

Saat diincisi tidak ditemukan adanya perubahan pada jantung. Pada kasus

anjing tersebut hasil palpasi bagian jantung terlihat membundar dan bagian apex

menumpul hal ini disebabkan karena terjadi dilatasi akibat penurunan aliran darah

maka akan disertai kongesti. Kongesti yang terjadi akibat adanya reaksi radang

sehingga reaksi radang tersebut akan membuat dinding pembuluh darah berdilatasi

dan terisi oleh akumulasi sel-sel radang dan terkadang bermigrasi keluar pembuluh

darah hal ini terjadi akibat radang yang terjadi paru-paru sehingga darah kembali ke

ventrikel kanan.
Gambar 18. Gambaran struktur histologi otot jantung (HE: 400 kali). Terlihat adanya
inflamasi (panah hitam), nekrosis (panah hijau), kongesti (panah kuning)
(Muhsi et al., 2020).

3.2.4. Sistem Digesti

a. Esofagus dan Lambung

Pada saat dilakukan nekropsi pada organ digesti, yaitu esofagus terdapat nodul

halus dengan diameter mencapai 4-5 cm. Konsistensi nodul adalah elastis dan

cenderung keras dengan warna nodul sama dengan warna organ sekitarnya.

Permukaan nodul terdapat fistula yang merupakan tempat keluarnya cacing berwarna

merah muda dan berbentuk spiral (Pandarangga dan Winarso, 2016). Permukaan

sayatan terlihat terdapat cacing yang berwarna merah muda yang dikelilingi oleh

jaringan ikat. Cacing tersebut adalah Spirocerca lupi.

Spirocerca lupi adalah cacing yang hidup pada esophagus golongan anjing

(Canidae) dan menyebabkan spirocercosis. Hal ini menjadi masalah kesehatan pada

anjing domestic. Cacing Spirocerca disebut juga dengan cacing benjol karena tempat

perlekatannya pada mukosa esophagus mengakibatkan bentukan benjolan atau nodul.

Kelainan lumen esophagus akibat nodul spirocercosis menyebabkan gejala klinis

anoreksia (Van der Merwe et al. 2008), gangguan menelan (dysphagia), regurgitasi

dan/atau muntah (Lefkaditis 2002, dan Aroch et al. 2011) serta hematemesis
(Lefkaditis 2002). Spirocerca lupi sering dikaitkan dengan kejadian sarkoma pada

esofagus dan aorta (Anderson, 2000). Sementara itu migrasi cacing pradewasa

mengakibatkan kerusakan dinding aorta yang berakhir pada kondisi aneurisma

(Pandarangga dan Winarso, 2016). Spirocercosis tidak melibatkan faktor predileksi

sex dan umur, meskipun infeksi pada anak anjing dibawah umur 6 bulan tidak

menunjukkan gejala gangguan esofagus dan gejala klinis klasik. Faktor ras diduga

berpengaruh pada risiko infeksi, contohnya anjing hound dan ras besar memiliki

insidensi yang lebih tinggi dibandingkan ras lainnya (Van der Merwe et al., 2008).

Nodul matang berisi cacing-cacing dewasa dapat ditemukan dalam 3-9 bulan.

Cacing dewasa berbentuk spiral dan berwarna merah muda. Cacing dapat dibedakan

antara jantan dan betina. Cacing jantan berukuran 54 mm dan betina berukuran hingga

80 mm. Cacing dapat hidup di dalam nodul hingga 2 tahun, dan setiap harinya cacing

betina mampu memproduksi telur hingga 3 juta telur (Van der Merwe et al., 2008).

Nodul yang merupakan hasil infeksi dari cacing S. lupi dapat berupa non-neoplastic

atau neoplastic (Dvir et al., 2010). Nodul yang bersifat neoplastik salah satunya

adalah fibrosarcoma yang ditandai dengan adanya proliferasi sel yang berbentuk

seperti kumparan dengan sel berbentuk oval atau lonjong (Da Fonseca et al., 2012).

Cacing Spirocerca dewasa hidup di dalam nodul berkapsul pada dinding

esophagus dan menghasilkan telur berisi larva stadium I (L1). Telur cacing

dikeluarkan melalui fistula menuju lumen esophagus keluar bersama vomitus. Rute

lainnya adalah mengikuti isi saluran gastrointestinal dan kemudian keluar ke

lingkungan bersama feses (Lefkaditis 2002, dan Van der Merwe et al. 2008).

Berbagai jenis kumbang koprofagus (pemakan tinja) berperan sebagai inang antara

(Anderson 2000, Lefkaditis 2002, Van der Merwe et al. 2008, dan Du Toit et al.

2008). Telur cacing yang tertelan kumbang akan menetas dan berkembang menjadi
larva infektif (L3) dalam waktu sekitar 2 bulan (Van der Merwe et al. 2008). Larva

tinggal di dalam kapsul halus di dalam hemocoel kumbang (Anderson 2000). Larva

infektif jantan berukuran 1.7 mm dan larva infektif betina berukuran 2.3 mm

(Anderson 2000). Bila kumbang dimakan inang paratenik, L3 akan berkista di

beberapa organ dan siap menginfeksi apabila inang paratenik dimakan oleh anjing

(Lefkaditis 2008). Inang paratenik Spirocerca lupi antara lain ayam, bebek, burung,

katak, kadal, marmot, rodentia, dan kelinci (Anderson 2000, Van der Merwe et al.

2008). Setelah mencapai lambung, larva infektif terbebas dari kistanya dan kemudian

menembus dinding mukosa lambung 2 jam pasca ingesti dan menyebabkan

hemorrhagi serta peradangan (Van der Merwe et al., 2008). Larva bermigrasi menuju

arteri gastroepiploik dan vena porta, kemudian melewati kapiler paru dan menuju

jantung kiri dan sistem arterial (Anderson 2000). Larva ditemukan terenkapsulasi

pada jaringan subkutan, tunika eksterna lambung, mesenterium dan permukaan hati

(Anderson 2000).

Hasil pemeriksaan pada lambung menunjukkan terjadinya hemoragi. Hal ini

kemungkinan akibat larva infektif S. lupi yang terbebas dari kistanya yang kemudian

menembus dinding mukosa lambung dan menyebabkan hemoragi serta peradangan.


Gambar 19. Nodul dengan permukaan halus di bagian distal esofagus (tanda panah
hitam) (A); gambaran histopatologi potongan melintang cacing S. lupi
(B); Kumpulan sel-sel fibroblast yang berproliferasi dan membentuk
aliran (C); Karakteristik sel adalah pleomorfik yaitu mulai dari bentuk
bulat hingga oval (D); sel fibroblast mengalami mitosis yang ditunjukkan
dengan tanda panah biru (E); Infiltrasi sel radang yaitu eosinofil dan
beberapa sel plasma dan juga terlihat sel debris (F) (Pandarangga dan
Winarso, 2016).

Dari kasus yang dilaporkan oleh Pandarangga dan Winarso (2016), hal-hal

yang terlihat pada pemeriksaan histopatologi adalah infiltrasi parasit dengan ciri-ciri

yaitu lateral cords, otot coelomyarian, pseudocoelom yang mengandung material

berwarna merah dan usus besar yang berkembang dengan epitel silindris bersilia

(Gambar 19.B). Ciri-ciri ini konsisten dengan ciri cacing spirurid. Paramater yang
digunakan untuk mengukur derajat keparahan fibroplasia pada nodul adalah derajat

diferensiasi sel tumor, indeks mitosis, infiltrasi sel radang dan bagian yang mengalami

nekrosis (Dvir et al., 2010). Pola dari kumpulan sel yang berbentuk seperti kumparan

dengan bentuk yang sangat bervariasi adalah membentuk seperti aliran yang memadat

(Gambar 19.C). Karakterisitik sel-sel ini adalah mempunyai bentuk yang sangat

bervariasi (pleomorfik) yaitu dari bentuk oval hingga ke bentuk seperti kumparan

dimana antara satu sel yang satu dengan yang lainnya tidak jelas batasnya (Gambar

19.D). Bentuk inti sel adalah oval atau memanjang dengan kromatinnya seperti titik-

titik dan ukurannya lebih besar dari ukuran sitoplasma. Beberapa sel mengalami

mitosis, ditemukan 12 mitosis pada 10 lapang pandang (Gambar 19.E) sehingga

dikategorikan dalam level 2. Cacing dikelilingi oleh kumpulan degenerasi netrofil

yang bercampur dengan sel debris, beberapa sel plasma dan eosinofil dalam jaringan

ikat yang sangat tebal (Gambar 19.F). Oleh karena itu, level infiltrasi sel radang

adalah 2. Hal ini merupakan karakteristik dari sel fibrosarcoma (Pandarangga dan

Winarso, 2016).

b. Usus Halus dan Usus Besar

Hasil pemeriksaan pada usus halus hingga usus besar terjadi hemoragi disertai

eksudat. Pada usus halus dan usus besar juga ditemukan adanya investasi cacing pita

(Dipylidium caninum) Hemoragi yang disertai eksudat yang terdapat pada saluran

pencernaan menunjukkan terjadinya peradangan saluran cerna akut. Eksudat pada

usus merupakan suatu pertahanan tubuh dalam melawan agen infeksius (investasi

cacing pita). Selain adanya hemoragi, juga mengalami penebalan akibat adanya

infeksi endoparasit ini (Subronto, 2006).

Infestasi parasit intestinal yang disebabkan Dipylidium caninum disebut

dipylidiasis. Cacing ini dikenal juga dengan nama lain flea tapeworm, double-pored
tapeworm, cucumber seed tapeworm atau common dog tapeworm. Penyakit ini

disebabkan oleh cacing pita yang umumnya termasuk dalam golongan Dipylidium

(Rahmadani, 2015).

Cacing dewasa dari Dipylidium caninum yang predeleksinya pada usus halus

ini panjangnya berkisar antara 15 sampai 70 cm dan mempunyai sekitar 60 sampai

175 proglotid. Infeksi cacing Dipylidium caninum dimulai saat telur yang berisi

embrio akan termakan oleh larva pinjal anjing (Ctenocephalides canis). Kapsul

tersebut pecah sehingga onkosfer menetas dan membebaskan embrio di dinding usus

larva pinjal yang selanjutnya berkembang menjadi sistiserkoid di dalam jaringan

tubuh larva. Saat pinjal menyelesaikan metamorfosisnya dan menjadi dewasa,

sistiserkoid menjadi infektif. Anjing yang tanpa sengaja memakan pinjal akan

terinfeksi oleh cacing Dipylidium sp. Di dalam usus Dipylidium caninum akan

mengalami evaginasi, skoleks akan melekat diantara villi usus halus dan lama-lama

akan berkembang sebagai cacing dewasa setelah kurun waktu sekitar 20 hari.

(Soulsby, 1982; Brown, 1975; Subronto, 2006). Pada kasus, adanya agen infeksius

akan direspon oleh sel goblet dengan mengeluarkan eksudat mukous dan jika agen

mampu melewati eksudat mukous, maka vili-vili usus akan merespon dengan

mengeluarkan sel-sel radang sehingga menyebabkan adanya eksudat.

Gejala klinisnya, cacing dapat mengakibatkan enteritis kronis, muntah dan

gangguan syaraf. Diare merupakan gejala umum terjadinya gangguan pada saluran

pencernaan anjing akibat infestasi parasit tersebut. (Subronto, 2006). Dehidrasi

disertai lemah dan lesu juga merupakan gejala non-spesifik dalam kasus infeksi

cacing.

Diagnosis dipylidiasis dilakukan dengan gejala klinis, seperti rasa gatal di

daerah anus yang diperlihatkan dengan mengosok-gosokan bagian yang gatal tersebut
serta berjalan dengan tubuh yang tegak. Petunjuk yang lain yaitu terdapat segmen

cacing di feses atau muntahan. Pemeriksaan laboratorium dilakukan menggunakan

mikroskop untuk melihat keberadaan telur atau larva cacing pita D.Caninum pada

feses anjing yang diduga terinfeksi (Foreyt, 2001).

Hasil pemeriksaan histopatologi pada organ usus ditemukan adanya perubahan

seperti adanya infiltrasi sel-sel radang dan perdarahan. Pemeriksaan mikroskopis pada

organ usus ditemukan sel-sel radang tersebar dari mukosa sampai di submukosa dan

terlihat adanya perdarahan di submukosa. Nekrosis juga ditemukan pada kriptus

liberkhun di daerah mukosa (Purnamasari et al., 2015).

Gambar 20. Terjadi perdarahan serta peradangan pada vili usus (enteritis hemoragi).
Hemoragi (tanda panah putih), sel radang (tanda panah hitam). (HE
200x)

Gambar 21. Enteritis hemoragika et nekrotikan. Terjadi perdarahan dan nekrosis pada
villi usus. Hemoragi (tanda panah putih), nekrosis (tanda panah hitam)
(HE 200x).
Hasil evaluasi gambaran umum histopatologi berupa hemoragi dan

peradangan pada organ usus perbesaran 200x terlihat adanya hemoragi pada dinding

usus, adanya infiltrasi sel radang pada vili usus, yang disertai nekrosis. Vili usus

memendek dan menyebabkan lapisan mukosa usus menghilang sehingga lapisan

submukosa usus terangkat keluar pada daerah lumen usus (Dharmojono, 2001).

c. Hati dan Pankreas

Pada pemeriksaan hati, ditemukan bahwa hati anjing tersebut mengalami

pembesaran, perubahan warna dan konsistensi agak keras. Berdasarkan penelitian

Budiman et al (2015) bahwa kerusakan pada hati disebabkan oleh penyakit

mengakibatkan perubahan fisik seperti perubahan ukuran, pembengkakan, serta

perubahan warna pada salah satu lobus.

Gejala klinis gangguan pada jaringan hati tidak selalu teramati karena kemampuan

regenerasi jaringan tinggi. Perubahan ukuran hati dapat disebabkan oleh respon hati

terhadap rangsangan luar yang bersifat merusak (Nabib, 1987). Sementara pada hasil

inspeksi dan palpasi pada hati anjing tersebut terjadi perubahan warna serta

konsistensinya sedikit keras. Hal ini diduga agen patogen menganggu organ

aksesorius dengan merusak sistem pertahanan pada hepar sehingga terjadi penurunan

fungsi pada pada hepar akibat tidak terjadi metabolisme secara baik pada hati baik itu

karbohidrat maupun protein. Hal ini sesuai dengan gejala klinis yang timbul pada

anjing tersebut mengalami malnutrisi yang cukup lama sehingga juga menganggu

fungsi dari hati.


Gambar 22. Histopatologi hati. Hepatoseluler nekrosis (panah hitam) dan hemoragi
(panah kuning) HE 100x (Giannitti et al. 2012).

Selain itu, faktor yang menyebabkan anjing mengalami malnutrisi dalam waktu

cukup lama juga menyebabkan perubahan pada hati akibat tidak terjadinya proses

pemecahan glikogen menjadi glukosa yang terutama terjadi hati. Apabila tubuh dalam

keadaan lapar, dan tidak ada asupan makanan, maka kadar glukosa dalam darah akan

menurun. Glukosa diperoleh dengan memecah glikogen menjadi glukosa yang

kemudian digunakan untuk memproduksi energi. Akibat ketidakseimbangan

metabolisme di hati maka terjadi penurunan fungsi hati sehingga terjadi anomali pada

hati yang merupakan efek metabolik akibat gangguan sirkulasi di hati dalam hal ini

hasil nekropsi hati anjing tersebut mengalami perubahan warna dari warna normalnya

merah kecoklatan serta konsistensinya sedikit keras.

Pada kasus ini, juga terjadi penebalan pada pankreas. Penebelan pada pankreas

dapat diakibatkan karena terjadinya peradangan, dan juga kerusakan pada daerah

lambung hingga usus halus, sehingga terjadi pelepasan enzim aktif yang dapat

merusak pankreas dan jaringan disekitarnya dan mengakibatkan terjadinya inflamasi

(pankreatitis). Pada kasus ini, gejala pankreatitis ditunjukan dengan nafsu makan

menurun, kelesuhan, dehidrasi dan penurunan berat badan pada anjing.


Pankreatitis akut adalah peradangan akut, non-bakterial pada organ pankreas

(Cahyono, 2014). Pankreatitis terjadi akibat autodigesti enzim pankreas yang

teraktivasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya edema, kerusakan vaskuler, perdarahan,

dan nekrosis organ pankreas. Ekspresi yang berlebihan dari sitokin inflamasi seperti

interleukin (IL)-1,IL-6, IL-8, dan tumor necrosis factor (TNF)-α dapat dengan serius

merusak sistem mikrosirkulasi endotelium dan meningkatkan permeabilitas kapiler.

Inflamasi yang persisten dapat menyebabkan hipoksia dan systemic inflammatory

response syndrome (SIRS) yang dapat meningkatkan mortalitas dan menjadi

pankreatitis akut berat (Badiu et al., 2016; Sporek et al., 2016).

3.2.5. Sistem Limfatik

Pengamatan makroskopik pada organ limpa menunjukkan perubahan warna

yaitu dari merah sampai ke hitam serta perubahan konsistensi dari kenyal hingga ke

agak keras. Hal ini disebabkan karena tindakan nekropsi menyebabkan kematian pada

hewan sehingga akan terjadi perubahan-perubahan tertentu pada organ yang

dinamakan perubahan postmortem.

Terdapat banyak cara sel mengalami cedera atau mati. Salah satu faktor yang

paling sering dapat mencederai sel ialah berkurangnya pasokan oksigen maupun

bahan zat makanan. Sel-sel khususnya bergantung pada pasokan oksigen yang

kontinyu sebab energi dari reaksi-reaksi kimia oksidatif yang menggerakan sel dan

mempertahankan integritas berbagai komponen sel. Tanpa oksigen berbagai aktivitas

pemeliharaan dan sintesis sel berhenti dengan cepat. Jika cedera pada sel cukup hebat

atau berlangsung cukup lama, maka sel tersebut akan mencapai titik di mana sel tidak

lagi dapat mengompensasi dan melangsungkan metabolisme. Proses-proses tersebut

menjadi ireversibel dan sel akan mati dan secara morfologik tidak dapat diidentifikasi.

Jika sekelompok sel sudah mencapai keadaan ini masih tetap berada dalam host yang
hidup selama beberapa jam saja, maka terjadi hal-hal tambahan yang memungkinkan

untuk dapat diidentifikasi apakah sel-sel atau jaringan tersebut sudah mati (Guyton,

1997).

Umumnya sel memiliki berbagai jenis enzim. Dalam keadaan hidup, enzim-

enzim ini tidak menimbulkan kerusakan sel, tetapi enzim-enzim ini akan dilepaskan

pada saat kematian sel dan mulai mencerna berbagai unsur sel. Selain itu, pada saat

sel mati terjadi perubahan kimiawi, dan jaringan hidup di sekitarnya berespon

terhadap perubahan-perubahan itu antara lain berupa reaksi radang akut dimana

terjadi migrasi banyak leukosit yang membantu proses digesti di dalam sel-sel yang

mati. Karena enzim-enzim pencernaan tersebut atau sebagai akibat proses radang,

maka sel-sel yang sudah mencapai titik puncak tidak dapat kembali lagi dan mulai

mengalami perubahan morfologik yang dapat dilihat yaitu berupa tanda-tanda

nekrosis (kematian sel) (Price dan Wilson, 1994).

Setelah kematian terjadi perubahan-perubahan tertentu yang dinamakan

perubahan postmortem. Tanda-tanda pasti kematian ialah antara lain rigor mortis,

algor motris, livor mortis, dan putrefaksi. Enzim-enzim dikeluarkan secara lokal dan

mulai terjadi reaksi lisis, yang disebut autolisis postmortem yang sangat mirip dengan

perubahan-perubahan yang terlihat pada jaringan nekrotik, tetapi tidak disertai dengan

reaksi radang. Bakteri-bakteri akan tumbuh subur dan akan mempercepat terjadinya

pembusukan. Kecepatan mulai timbulnya perubahan postmortem berbeda-beda

tergantung pada individu dan lingkungan sekitarnya (Price dan Wilson, 1994).

Organ limpa yang normal berwarna merah tua sampai biru kehitaman dengan

tepi yang berbentuk lancip atau seperti bulan sabit. Organ limpa yang mengalami

kerusakan akan mengalami pembengkakan, berwarna coklat tua atau hampir hitam,

dengan tepi yang berbentuk cenderung tumpul atau membulat (Nurhaini et al., 2015).
Berdasarkan penelitian Goni et al., (2017) organ limpa mengalami perubahan warna

merah tua pada 0-1 jam, merah hitam 2-4 jam, coklat hitam 5-9 jam, dan hitam pekat

12-48 jam postmortem. Konsistensi organ limpa kenyal pada 0-1 jam, permukaan

mulai kering dan konsistensi kenyal 2-15 jam, bagian tepi mengerut tetapi bagian

tengah limpa tetap kenyal 18-24 jam disertai bercak-bercak pucat di bagian tengah

organ yang semakin bertambah pada jam-jam terakhir 30-48 jam postmortem.

Panjang organ limpa juga diukur dan diperoleh 15 cm pada 0-4 jam dan perubahan

panjang limpa menjadi 14,5 cm dimulai pada 5 jam postmortem. Hal ini menunjukkan

bahwa terjadi perubahan warna, konsistensi, dan panjang organ limpa setelah

kematian hewan terjadi (postmortem).

Gambar 2. (A) Limpa hewan coba 0 jam postmortem. Struktur korpus Malpighi, arteri
sentralis dan trabekula dapat diidentifikasi. (400x). (B) Limpa hewan coba
5 jam postmortem. Korpus Malpighi mulai mengalami kongesti dengan
batas tidak jelas. (400x) (Goni et al., 2017).

Gambar 2. (C) Limpa hewan coba 24 jam postmortem. Kongesti korpus Malpighi,
sebagian besar limfosit dalam korpus Malpihgi dengan inti piknotik
(400x). (D) Limpa hewan coba 48 jam postmortem. Struktur korpus
Malpighi sulit diidentifikasi, limfosit korpus dengan karioreksis dan
kariolisis, serta struktur lapisan dinding arteri sentralis tidak jelas.
Trabekula masih dapat diidentifikasi. (400x) (Goni et al., 2017).

Gambaran mikroskopik limpa normal, yaitu pulpa merah (pulpa rubra) yang

terdiri dari sel-sel makrofag, sel plasma, dan elemen darah; dan pulpa putih (pulpa

alba) yang terdiri dari limfosit tersusun padat di dalamnya dan arteri sentralis pada

bagian tengahnya (Mescher, 2013). Perubahan dimulai pada 5 jam postmortem

ditandai dengan kongesti korpus Malpighi, terdapat celah-celah yang makin melebar

di dalam korpus, dan pada 24 jam postmortem terlihat limfosit dalam korpus Malpighi

dengan inti piknotik (Goni et al., 2017).

3.2.6. Sistem Urinaria

Pada hasil pemeriksaan sistem urinaria yaitu ginjal masih dalam ukuran yang

normal namun ditemukan abnormalitas saat di insisi dimana mengalami perubahan

warna yaitu pada medula yang berwarna pucat. Pada organ ginjal bagian korteks

normalnya memiliki warna merah kecoklatan. Medula tampak lebih cerah dari pada

korteks, epitel yang terdapat pada bagian medula adalah epitel kuboid simplek serta

terdapat tubulus kolektivus dan loop henle.Tampak adanya jalur-jalur yang

disebabkan oleh buluh-buluh kemih yang lurus dan pembuluh darahnya (Dellman dan

Brown, 1987).

Pada kasus ini, pemeriksaan melalui insisi ditemukan perubahan warna

menjadi kecoklatan pada korteks dan pucat pada medula, hal ini diduga terjadi karena

kerusakan ginjal dan kekurangan aliran darah menuju ginjal sehingga organ terlihat

pucat (anemia). Kerusakan ginjal dapat disebabkan sel-selnya mengalami degenerasi

dan nekrosis sedangkan kurangnya aliran darah menuju ginjal terjadi akibat

penurunan fungsi dari ginjal sehingga ginjal mengalami kekurangan eritropoetin


dimana eritropoetin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel-sel ginjal yang

berperan dalam pembentukan eritrosit. Akibat kekurangan eritropoetin inilah yang

menyebabkan sel-sel ginjal sangat sensitif dengan kondisi oksigen yang rendah

didalam darah yang mengalir melalui ginjal. Ketika tingkat oksigen rendah maka sel-

sel ginjal akan melepaskan eritropoetin sehingga hal ini membuat sejumlah sel darah

merah akan berkurang hingga menyebabkan anemia atau bahkan tingkat oksigen yang

rendah juga yang mengindikasikan anemia.

Kondisi organ ginjal pada anjing tersebut juga bisa diakibatkan terjadi

ketidakseimbangan cairan tubuh sehingga anjing mengalami dehidrasi yang berat

dimana tampak turgor kulit yang lambat serta mengalami muntah. Dehidrasi pada

anjing tersebut diduga karena terjadi penurunan jumlah cairan yang dikonsumsi juga

disebabkan akibat adanya gangguan reabsorpsi (air dan elektrolit yang masih

dibutuhkan tubuh terbuang) hal ini lah merupakan kondisi awal kerusakan pada ginjal.

Ginjal memiliki fungsi mengatur keseimbangan cairan tubuh dengan cara membuang

sisa metabolisme dan menahan zat – zat yang diperlukan oleh tubuh. Akibat

ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh maka anjing maka anjing juga akan

mengalami mual dan muntah bahkan juga terjadi anoreksia. Temuan lainnya pada saat

mencium atau membaui tercium halitosis pada daerah mulut anjing tersebut dari hal

ini diduga akibat akumulasi ureum disekitar mulut yang menyebabkan bakteri pada

mulut aktif sehingga menghasilkan amonia. Selain itu Cachexia (kekurusan) pada

anjing ini diduga disebabkan oleh fungsi filtrasi dan reabsorpsi pada ginjal yang tidak

maksimal karena protein, elektrolit dan nutrisi lain tidak terserap maksimal keseluruh

tubuh (Dellman dan Brown, 1987).


3.3. Diagnosa

Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis, nekropsi dan analisis yang dilakukan maka

diagnosa sementara pada kasus anjing mengalami pneumonia dan Eosinophilic Pulmonary

Granulomatosis (EPG), Fibrosarcoma esofagus yang diakibatkan oleh Spirocerca lupi

(spirocercosis), dipylidiasis, dan anemia. Diagnosa banding pada anjing tersebut adalah

neoplasia
BAB IV

PENUTUP

4.1. Simpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis, nekropsi dan analisis yang dilakukan maka

diagnosa sementara pada kasus anjing mengalami pneumonia dan Eosinophilic Pulmonary

Granulomatosis (EPG), Fibrosarcoma esofagus yang diakibatkan oleh Spirocerca lupi

(spirocercosis), dipylidiasis, enteritis, pakreatitis dan anemia. Diagnosa banding yaitu

anjing mengalami malnutrisi atau defisiensi nutrisi akibat kekurangan vitamin dan gagal

ginjal. Diagnosa

4.2. Saran

Dari hasil praktikum ini, disarankan:

 Melakukan pemeriksaan laboratorium dengan melihat perubahan organ secara

histologi untuk memperkuat diagnosa.

 Pemilik hewan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan hewan secara rutin dan

melakukan vaksinasi sebagai pencegahan penyakit serta pengobatan terhadap suatu

penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Abbott, DEE., dan Allen, AL. (2020). Canine Eosinophilic Pulmonary Granulomatosis: Case
Report and Literature Review. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation, 32(2),
329–335.

Anderson RC. 2000. Nematode Parasites of Vertebrates, Their Development and


Transmission. 2nd ed. CABI Publishing, Wallingford Oxon (GB).

Aroch I, Harrus S, Amit T, Bark H, Markovics A, Hagag A, Aizenberg Z, Lavy E. 2011.


Clinicopathologic findings in an experimental Spirocerca lupi infection in dogs.
Israel J Vet Med; 66(1):19-25.

Badiu, P., Rusu, OC., Grigorean, VT., Neagu, SI., Strugaru, CR. 2016. Mortality prognostic
factors in acute pancreatitis. J Med Life; 9(4): 413-418

Bakri, M., Balqis, U., Tuzzahra, R. (2018). Gambaran Histopatologi Paru-Paru Babi Hutan
(Sus scrofa) yang Terinfeksi Parasit Internal Di Kawasan Lhoknga Aceh Besar.
JIMVET, 2(4), 564-575.

Budiana, NS. 2007. Anjing. Jakarta: Penebar Swadya

Budiman, H., Ferasyi, T. R., Tapielaniari, Salim, M. N., Balqis, U., Hambal, M. (2015).
Pengamatan Lesi Makroskopis Pada Hati Ayam Broiler yang Dijual Di Pasar
Lambaro Aceh Besar dan Hubungannya dengan Keberadaan Mikroba. Jurnal Medika
Veterinaria, 9(1), 51-53.

Brown HW, 1975. Basic Clinical Parasitology.Appleton Century Crofts.

Cahyono, SB. 2014. Tata Laksana Terkini Pankreatitis Akut. Medicinus; 27(2):44-50

Caswell JL, Williams KJ. 2016. Respiratory system. In: Maxie MG, ed. Jubb, Kennedy, and
Palmer’s Pathology of Domestic Animals. 6th ed. Vol. 2. St. Louis, MO: Elsevier,

Da Fonseca EJ. et al. 2012. Fatal esophageal fibrosarcoma associated to paratism by spirurid
nematode Spirocerca lupi in a dog: a case report. J. Parasit Dis 36 (2): 273-276.

Dharmojono, H. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Hewan Veteriner (Hewan Kecil). Pustaka
Populer Obor. Jakarta.

Dharmojono. 2003. Anjing Permasalahan dan Pemecahan. Jakarta (ID). Penebar Swadaya.

Dibia IN, Sumiarto B, SusetyaH, Putra AAG, Scott-OrrH. 2015. Faktor-Faktor Risiko Rabies
pada Anjing di Bali. Jurnal Veteriner (3):389-398.

Du Toit CA, Scholtz CH, Hyman WB. 2008. Prevalence of the dog nematode Spirocerca lupi
in populations of its intermediate dung beetle host in the Pretoria Metropole, South
Africa. Onderstepoort J Vet Res; 75:315–321.
Dvir E, Clift S. J, Williams M. C. 2010. Proposed histological Progression of the Sprirocerca
lupi-induced Oesapgahal lesion in dogs. Veterinarary Parasitology 168: 71-77

Foreyt JW. 2001. Veterinary Parasitology: Reference Manual. USA: IOWA State University
Press

Goni, LR, Wongkar, D., dan Wangko, S. (2017). Gambaran makroskopik dan mikroskopik
limpa pada hewan coba postmortem. Jurnal e-Biomedik, 5(1).

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (9th ed). Jakarta: EGC

Lefkaditis MA.2002. An important clinical case of Spirocerca lupi in dog, and the way of
treatment with the use of ivermectin. Presentation of the nematodes parasite
Spirocerca lupi and also the drug, ivermectin. Scientia Parasitologica; 2: 102-106.

Masrizal. 2007. Anemia defisiensi besi. J Kes Mas. II(1): 140-152

Mescher AL. 2013. Junquera’s Basic Histology Text and Atlas (13th ed). Singapore:
McGraw Hill

Muhsi, AMA., Samsuri, Setiasih, NLE., Berata, IK. (2020). Kerusakan Secara Histopatologi
Otot Jantung Tikus Putih Akibat Pemberian Tambahan Ragi Tape dalam Pakan.
Indonesia Medicus Veterinus, 9(6), 920-929.

Nabib, R. 1987. Patologi Khusus Veteriner. Cetakan ke-3. Bagian Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan. Institut Peternakan Bogor. Bogor.

Nurhaini R, Rahmawati F, Sunyoto. 2015. Gambaran histopatologik limpa tikus betina galur
Sprague dawley yang diberi ekstrak etanol akar pasak bumi (Eurycoma longifolia
Jack) dan diinduksi 7,12-dimetil benz(a)antrazen. Cerata Journal of Pharmacy
Science; 2(1):70.

Pandarangga, P., dan Winarso, A. (2016). Fibrosarcoma Esophagus Pada Anjing Lokal Di
Kabupaten Kupang Yang Diakibatkan Oleh Spirocerca lupi (Spiruridae). Jurnal
Kajian Veteriner, 4, 17-23.

Price SA, Wilson LM. 1994. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit (4th ed).
Jakarta: EGC

Purnamasari, IAA., Berata, IK., dan Kardena, M. (2015). Studi Histopatologi Organ Usus dan
Jantung Anjing Terinfeksi Virus Parvo. Buletin Veteriner Udayana, 7(2), 99-104.

Rahmadani, S. (2015). Evaluasi Helmintiasis Pada Anjing Penderita Diare Di Klinik Hewan
Makassar. Universitas Hasanuddin Makassar.

Reinero C. 2019. Interstitial lung diseases in dogs and cats, part II: known cause and other
discrete forms. Vet J; 243:55–64.
Situmorang GTA, Situmorang GR, Saputra R, Fauzianti SA, Kristina AD, Rizki AF dan
Inayati E. 2018. Teknik Nekropsi Anjing. Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Soulsby, EJL. 1982, Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. New
York: Academic Press.

Sporek, M., Dumnicka, P., Bladzinzka, AG., Ceranovitz, P. 2016. Angiopoetin-2 is an Early
Indicator of Acute Pancreatic-Renal Syndrome in Patients with Acute Pancreatitis.
Mediators Inflamm;1: 1-7

Subronto. 2006. Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Van der Merwe LL, Kirberger RM, Clift S, Williams M. Keller N, Naidoo V. 2008.
Spirocerca lupi infection in the dog: A review. Vet J; 176(3): 294-309.

Widodo S, Sajuthi D, Choliq C, Wijaya A, Wulansari R, Lelana RPA. 2011. Diagnostik


Klinik Hewan Kecil. Bogor: IPB Press

Anda mungkin juga menyukai