OLEH
KELOMPOK KOAS 1D
Kelompok 2
KUPANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Nekropsi atau bedah bangkai adalah teknik lanjutan dari diagnosa klinik untuk
mengukuhkan atau meyakinkan hasil diagnosa klinik. Pada prinsipnya, bedah bangkai
bangkai hendaknya dilakukan secepat mungkin setelah hewan mati. Untuk daerah
tropis seperti Indonesia, sebaiknya bedah bangkai dilakukan tidak lebih dari 6 jam
setelah hewan mati. Hewan yang gemuk atau tertutup bulu lebih cepat. Bila
pelaksanaan bedah bangkai akan ditunda, bangkai dapat disimpan pada refrigerator
agar tidak membusuk. Bedah bangkai dapat dilakukan pada hewan hidup atau pada
hewan mati. Jika menggunakan hewan hidup, maka hewan harus dibunuh dahulu,
dilakukan secara berurutan Selain itu, prinsip nekropsi lainnya yaitu pemeriksaan
jaringan yang dilakukan dengan membuka bangkai hewan yang sudah mati dan
(patognomonis) pada kasus tertentu. Nekropsi merupakan teknik yang sangat penting
dalam menegaskan diagnosa penyakit agar mengetahui sebab penyakit dan sebab
manusia, karena mudah dilatih, diajak bermain, tinggal bersama, bersosialiasi serta
naluri alami yaitu berkelompok. Pemilik anjing sangat menghargai nilai kesetiaan dan
atau penggembala ternak. Tingkat kedekatan yang sangat tinggi dengan manusia
memungkinkan penularan berbagai penyakit parasit yang dibawa oleh anjing kepada
1.2. Tujuan
Tujuan dilakukan praktikum ini adalah untuk mengetahui cara nekropsi pada
anjing dan mengamati perubahan patologi anatomis pada hewan yang mengalami
penyakit tertentu.
BAB II
Universitas Nusa Cendana Kupang, pada hari kamis, tanggal 20 Mei 2021, pukul 10:15-
selesai.
2.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu minor set, spuit 3 ml, karung dan
nampan.
2.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu kloroform, air, kapas, sarung tangan
dan masker.
2.3. Metodologi
1. Mempersiapkan ruangan, alat serta bahan yang akan digunakan untuk prosedur
nekropsi.
3. Melakukan restrain pada anjing dan melakukan pengambilan darah pada vena
EDTA.
4. Melakukan euthanasi pada anjing dengan menghirupkan chloroform, tetapi jika
anjing belum kehiangan kesadaran maka dilakukan emboli pada jantung dengan
6. Membuat sayatan pada bagian medial persendian regio humerus dan regio
abdomen.
dengan hal tersebut dapat dilakukan penilaian terhadap bentuk, warna, ukuran dan
letak. Kemudian lakukan penyayatan pada muskulus daerah leher sampai bertemu
dengan sayatan kulit pertama. Kemudian lakukan penguakan kulit kearah lateral
tubuh.
mengikuti tulang rusuk terakhir sampai mendekati os vertebrae. Buat irisan tegak
lurus terhadap irisan memanjang yang pertama, diantara tulang rusuk terakhir dan
terhadap tekanan negatif dengan cara membuat luka sayatan kecil menggunakan
ujung scalpel sampai terlihat adanya udara yang masuk kedalam pembungkus
rusuk menggunakan gunting tumpul tajam. Setelah itu, kuakkan tulang rusuk ke
bagian lateral serta lakukan pengamatan pada dinding thoraks dan organ
didalamnya.
9. Tahap selanjutnya adalah mengeluarkan organ dari rongga dada dan abdomen
3.1. Hasil
1. Data Pemilik
2. Signalemen
Ras: Lokal
Umur: 5 tahun
Warna: Putih
3. Anamnesa:
Anjing belum pernah divaksinasi dan belum ada pemberian obat cacing ataupun
pengobatan lain oleh pemiliknya, anjing ini mengalami muntah terus menerus, nafsu
makan menurun dan kurang minum air, anjing tampak sangat kekurusan, lesu, rambut
kusam, batuk dan adanya caplak pada punggung tubuh dan lesi pada kulit. Pada
awalnya tubuh anjing gemuk, namun mulai berat badannya semakin menurun setelah
4. Pemeriksaan Fisik:
Anjing menunjukan gejala lemah, lesu, anoreksia, mukosa mulut tampak pucat,
cermin hidung kering, ada leleran pada hidung, ada kotoran didaerah mata dan pada
pemeriksaan CRT > 2 detik. Pada pemeriksaan turgor kulit tingkat elastisitas sangat
rendah >2 detik. Adanya infeksi ektoparasit berupa caplak serta terdapat kotoran pada
mata. Frekuensi jantung 100x per menit dan frekuensi nafas 52x per menit. Anjing
1.
Anjing bernama Manis
dengan BCS 2 (gambar
kiri). Cermin hidung kering
dan ada leleran pada bagian
dalam hidung (gambar
kanan)
Organ respirasi :
Paru-paru
Inspeksi :
Warna : normal
Bentuk : normal
Ukuran : normal
Terdapat nodul pada lobus
3. bagian kiri
Palpasi :
Konsistensi : kenyal
Gambar 3. Paru-paru normal pada anjing (kiri)
Sumber Zachary, 2017. Terdapat lesi pada paru-
Diagnosa : Pneumonia
paru anjing (tanda panah pada gambar kanan)
embolik dan pneumonia
dokumentasi pribadi.
eosinofilik
5.
Sistem digesti :
Esofagus
Inspeksi :
Warna : tidak normal
Bentuk : normal
Gambar 6. Ditemukan dua nodul besar pada Terdapat nodul besar pada
esofagus pada gambar kiri sebelum disayat (anak esophagus
panah). Pada gambar kanan setelah nodul tersebut Terdapat cacing S. lupi
disyat terdapat cacing S. lupi berbentuk spiral Palpasi :
(lingkaran merah) Konsistensi : kenyal
Diagnosa : Fibrosarcoma
Esofagus yang
diakibatkan oleh Spirocerca
lupi
Sistem digesti:
Lambung
Inspeksi :
6. Warna : tidak normal
Bentuk : normal
Ukuran : agak tebal
Terjadi hemoragi
Palpasi :
Konsistensi : kenyal dan ada
yang keras
Diagnosa : Gastritis
7. Sistem digesti :
Usus halus (duodenum,
jejenum, ileum)
Inspeksi :
Warna : agak sedikit pucat
Bentuk : tidak normal
Ukuran : ada yang ukuran
normal dan ada yang
berukuran agak besar
Gambar 8. Adanya hemoragi pada jejenum (kiri,
Palpasi :
tanda panah) dan ileum (kanan, lingkaran merah)
Konsistensi : tebal, kenyal
dan terjadi penebalan pada dinding usus halus
dan ada yang keras
Terdapat cacing D. caninum
pada jejenum dan ileum
8. Sistem digesti :
Usus besar (sekum, kolon)
Inspeksi :
Warna : agak sedikit pucat
Bentuk : tidak normal
Ukuran : ada yang ukuran
normal dan ada yang
berukuran agak besar
Gambar 10. Pada sekum dan kolon terdapat cacing Palpasi :
D. caninum dewasa (gambar kiri dan kanan). Serta Konsistensi : tebal, kenyal
terdapat eksudat pada sekum (gambar kanan) dan dan ada yang keras
dinding usus tebal. Terdapat cacing D. caninum
Palpasi :
Konsistensi : agak keras
Diagnosa: hepatitis
Palpasi :
Konsistensi : kenyal agak
keras
3.2. Pembahasan
Berdasarkan pemeriksaan klinis terdapat lesi pada kulit anjing dan terdapat
ektoparasit, kondisi anjing kurus dan nafsu makan berkurang. Akibat dari infestasi
ektoparasit ini, dapat menyebabkan anjing mengalami anemia, dan kurangnya nafsu makan.
Hal ini dikuatkan dengan kondisi fisik anjing yang mengalami kekurusan.
penurunan bobot badan yang parah. Umumnya pada kondisi kekurusan bobot badan lebih
rendah 15 sampai 40% dari bobot badan normal. Selain itu, kondisi kekurusan juga
dikaitkan dengan persediaan cadangan lemak dalam tubuh. Cadangan lemak pada hewan
yang kurus lebih sedikit dari hewan normal. Umumnya hewan yang menderita kekurusan
yang berat tidak hanya mengalami kekurangan energi tapi biasanya diikut oleh stress,
Pada hewan yang menderita kekurusan akan mengalami kerusakan protein otot terjadi
lebih lambat dari perubahan protein tubuh lainnya. Apabila gejala klinis sudah
menunjukkan hilangnya otot dalam jumlah yang besar maka dimungkinkan kondisi tersebut
sudah berada pada kondisi yang berat dan kronis (Watson dan Dunn, 2000). Kemudian
hilangnya nafsu makan pada anjing dapat diindikasikan adanya infeksi agen patogen
penyebab penyakit seperti virus, bakteri, dan parasit mengingat anjing ini tidak pernah di
Menurut Widodo et al (2011) pada hewan yang bergizi buruk, beberapa bagian dari
kerangkanya akan menonjol ke luar yang dapat diamati pada tulang iga atau costae, tuber
cekung, rambutnya menjadi kusam dan kering, elastisitas kulit berkurang/menurun atau
dengan kata lain turgor kulit dikatakan jelek dan selaput lendirnya pucat. Kondisi ini
sejalan dengan hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan pada anjing dimana kulit dan
rambutnya tampak kusam, turgor elastisitas kulit berkurang, dan cermin hidungnya yang
sedikit kering. Pemeriksaan organ dilakukan dimulai dari pemeriksaan regio kepala, sistem
respiratori, sistem pencernaan, sistem urinalis, sistem reproduksi dan sistem saraf. Hasil
Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik anjing adalah nutrisi. Pada
kasus ini anjing yang mengalami defisiensi nutrisi dan tidak terawat oleh pemilik
merupakan kondisi umum pada anjing yang dipelihara secara dilepas. Anjing tersebut
diberi makan oleh pemilik seadanya, bahkan mencari makan sendiri dihutan. Kekurangan
gizi yang serius akan mengganggu respons imun dan produksi antibodi (Dibia et al., 2015).
kekurusan sehingga terganggunya pertumbuhan. Selain itu defisiensi zat besi ketika salah
asupan makanan tidak memenuhi kebutuhan tubuh atau ketika ada faktor eksternal (non-
Pada pemeriksaan mulut ditemukan mukosa yang terlihat sangat pucat serta
CRT lebih dari 2 detik dan ada leleran bening pada hidung. Pemeriksaan inspeksi
pada anjing tersebut ditemukan mukosa mulut pucat. Hal ini diduga akibat kondisi
anemia yang dialami oleh anjing tersebut. Anemia adalah kondisi ketika tubuh
menyebarkan oksigen ke seluruh organ tubuh. Anemia ini dapat terjadi dalam jangka
waktu pendek maupun panjang, dengan tingkat keparahan ringan sampai berat.
Dengan kondisi tersebut, hewan biasanya lemas dan enggan beraktifitas secara
optimal seperti pada kondisi anjing yang ditemukan pada kasus ini. Kondisi pucat
pada mukosa dapat disebabkan karena adanya anemia yang terjadi akibat defesiensi
Fe, asam folat, B12 dan banyak kehilangan darah (Masrizal, 2007). Selain itu
mau makan dan minum sehingga menyebabkan cairan tubuh menurun. Warna
pembuluh darah yang menurun di jaringan karena adanya infestasi parasit eksternal
maupun internal (Soulsby, 1982). Defisiensi zat besi atau kekurangan zat besi dapat
menyebabkan anjing tersebut mengalami anemia. Selain itu juga akibat kondisi
mulut akibat kurangnya oksigen bahkan suplai darah ke daerah tersebut sehingga
penghambatan hal inilah yang menyebabkan seluruh tubuh menjadi terganggu pada
beberapa organ seperti lidah, ginjal yang terjadi perubahan warna menjadi pucat.
Perubahan yang terjadi pada kasus anjing ini dimana terdapat leleran atau
cairan bening pada hidung. Hal ini diduga disebabkan respon tubuh karena agen
patogen. Leleran pada hidung tersebut akibat respon dari tubuh untuk mengeluarkan
cairan atau leleran. Pada temuan patologi anatomi ditemukan adanya hemoragi, nodul
dan massa berwarna putih pada paru-paru hal ini yang menjadi adanya kaitan bahwa
terjadi leleran pada hidung. Leleran bening pada hidung yang terjadi akibat respon
tubuh dimana adanya kompensasi tubuh dengan mengeluarkan agen patogen pada
saluran pernafasan.
Gambar 15. Terlihat adanya infiltrasi sel radang daerah lumen pembuluh darah (A),
emfisema (B), sel radang (C), hemoragi (D) HE pembesaran 100x (Bakri
et al., 2020)
menunjukan perubahan yang signifikan berupa hemoragi dan warna yang pucat. Uji
apung yang dilakukan pada paru-paru anjing menujukkan bahwa paru-paru melayang.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya massa pada paru-paru. Kemungkinan anjing
paru-paru mengalami hemoragi lokal hal ini terjadi karena anjing tersebut sebelumnya
Selain pneumonia, ditemukan massa berwarna putih yang menonjol pada paru-
paru anjing tersebut. Massa yang menonjol pada paru-paru ini termasuk pneumonia
granulomatosis (EPG) pada anjing (Caswell dan Williams, 2016). Ciri-ciri EPG yaitu
adanya nodul pada paru-paru dan massa yang terdiri dari eosinofil, makrofag,
kombinasi limfosit, sel plasma, neutrofil, dan sel mast dalam jaringan fibrosa
(Reinero, 2019). Untuk kasus EPG, tidak ada predileksi jenis kelamin pada anjing.
Anjing yang terinfeksi EPG berkisar antara 1 sampai 8 tahun. Usia ini penting
mengingat bahwa neoplasia adalah diagnosis banding untuk anjing yang mengalami
batuk dan sesak napas yang ditemukan nodul dan massa pada paru-paru. Namun,
anjing dengan kanker primer paru-paru rata-rata berusia 10-11 tahun pada saat
Pada kasus ini, terdapat massa padat, multinodular, berwarna putih (pucat) dan
terdapat bercak merah. Hal ini sama dengan penelitian Abbott dan Allen (2020)
dengan ciri-ciri tersebut serta permukaan potongan massa padat dan pucat, dengan
area kemerahan dan coklat, dan terdapat fokus nekrosis (Gambar 16).
Secara histologis, massa terdiri dari sel polimorfonuklear yang sedang hingga
besar serta bentuk yang bervariasi. Selain itu, massa juga terbentuk dari sel
mononuklear dengan inti sedang hingga besar dan berbentuk bulat hingga oval yang
diitrepretasikan sebagai makrofag dan sejumlah kecil neutrofil, limfosit, dan sel
plasma yang dipisahkan dan dikelilingi oleh kolagen pendek, sedang, dan panjang,
dengan ketebalan bervariasi (Gambar 17). Terdapat juga fibroblast seperti beberapa
sel yang mengalami degenerasi dan nekrotik, foci sel nekrosis yang besar, dan foci
nekrosis koagulatif dengan batas yang jelas. Di beberapa area, jaringan fibrosa lebih
klinis denyut jantung sebelum anjing di nekropsi yaitu 100x/menit (normal). Pada saat
di nekropsi dilakukan inspeksi pada jantung ditemukan gumpalan darah dalam rongga
jantung. Gumpalan darah ini akibat dari tindakan emboli jantung saat euthansia anjing
tersebut dimana ketika jantung mengalami cedera akibat luka tusuk maka pembuluh
darah akan merusak daerah yang mengalami cedera akibatnya terjadi pembekuan
Saat diincisi tidak ditemukan adanya perubahan pada jantung. Pada kasus
anjing tersebut hasil palpasi bagian jantung terlihat membundar dan bagian apex
menumpul hal ini disebabkan karena terjadi dilatasi akibat penurunan aliran darah
maka akan disertai kongesti. Kongesti yang terjadi akibat adanya reaksi radang
sehingga reaksi radang tersebut akan membuat dinding pembuluh darah berdilatasi
dan terisi oleh akumulasi sel-sel radang dan terkadang bermigrasi keluar pembuluh
darah hal ini terjadi akibat radang yang terjadi paru-paru sehingga darah kembali ke
ventrikel kanan.
Gambar 18. Gambaran struktur histologi otot jantung (HE: 400 kali). Terlihat adanya
inflamasi (panah hitam), nekrosis (panah hijau), kongesti (panah kuning)
(Muhsi et al., 2020).
Pada saat dilakukan nekropsi pada organ digesti, yaitu esofagus terdapat nodul
halus dengan diameter mencapai 4-5 cm. Konsistensi nodul adalah elastis dan
cenderung keras dengan warna nodul sama dengan warna organ sekitarnya.
Permukaan nodul terdapat fistula yang merupakan tempat keluarnya cacing berwarna
merah muda dan berbentuk spiral (Pandarangga dan Winarso, 2016). Permukaan
sayatan terlihat terdapat cacing yang berwarna merah muda yang dikelilingi oleh
Spirocerca lupi adalah cacing yang hidup pada esophagus golongan anjing
(Canidae) dan menyebabkan spirocercosis. Hal ini menjadi masalah kesehatan pada
anjing domestic. Cacing Spirocerca disebut juga dengan cacing benjol karena tempat
anoreksia (Van der Merwe et al. 2008), gangguan menelan (dysphagia), regurgitasi
dan/atau muntah (Lefkaditis 2002, dan Aroch et al. 2011) serta hematemesis
(Lefkaditis 2002). Spirocerca lupi sering dikaitkan dengan kejadian sarkoma pada
esofagus dan aorta (Anderson, 2000). Sementara itu migrasi cacing pradewasa
sex dan umur, meskipun infeksi pada anak anjing dibawah umur 6 bulan tidak
menunjukkan gejala gangguan esofagus dan gejala klinis klasik. Faktor ras diduga
berpengaruh pada risiko infeksi, contohnya anjing hound dan ras besar memiliki
insidensi yang lebih tinggi dibandingkan ras lainnya (Van der Merwe et al., 2008).
Nodul matang berisi cacing-cacing dewasa dapat ditemukan dalam 3-9 bulan.
Cacing dewasa berbentuk spiral dan berwarna merah muda. Cacing dapat dibedakan
antara jantan dan betina. Cacing jantan berukuran 54 mm dan betina berukuran hingga
80 mm. Cacing dapat hidup di dalam nodul hingga 2 tahun, dan setiap harinya cacing
betina mampu memproduksi telur hingga 3 juta telur (Van der Merwe et al., 2008).
Nodul yang merupakan hasil infeksi dari cacing S. lupi dapat berupa non-neoplastic
atau neoplastic (Dvir et al., 2010). Nodul yang bersifat neoplastik salah satunya
adalah fibrosarcoma yang ditandai dengan adanya proliferasi sel yang berbentuk
seperti kumparan dengan sel berbentuk oval atau lonjong (Da Fonseca et al., 2012).
esophagus dan menghasilkan telur berisi larva stadium I (L1). Telur cacing
dikeluarkan melalui fistula menuju lumen esophagus keluar bersama vomitus. Rute
lingkungan bersama feses (Lefkaditis 2002, dan Van der Merwe et al. 2008).
Berbagai jenis kumbang koprofagus (pemakan tinja) berperan sebagai inang antara
(Anderson 2000, Lefkaditis 2002, Van der Merwe et al. 2008, dan Du Toit et al.
2008). Telur cacing yang tertelan kumbang akan menetas dan berkembang menjadi
larva infektif (L3) dalam waktu sekitar 2 bulan (Van der Merwe et al. 2008). Larva
tinggal di dalam kapsul halus di dalam hemocoel kumbang (Anderson 2000). Larva
infektif jantan berukuran 1.7 mm dan larva infektif betina berukuran 2.3 mm
beberapa organ dan siap menginfeksi apabila inang paratenik dimakan oleh anjing
(Lefkaditis 2008). Inang paratenik Spirocerca lupi antara lain ayam, bebek, burung,
katak, kadal, marmot, rodentia, dan kelinci (Anderson 2000, Van der Merwe et al.
2008). Setelah mencapai lambung, larva infektif terbebas dari kistanya dan kemudian
hemorrhagi serta peradangan (Van der Merwe et al., 2008). Larva bermigrasi menuju
arteri gastroepiploik dan vena porta, kemudian melewati kapiler paru dan menuju
jantung kiri dan sistem arterial (Anderson 2000). Larva ditemukan terenkapsulasi
pada jaringan subkutan, tunika eksterna lambung, mesenterium dan permukaan hati
(Anderson 2000).
kemungkinan akibat larva infektif S. lupi yang terbebas dari kistanya yang kemudian
Dari kasus yang dilaporkan oleh Pandarangga dan Winarso (2016), hal-hal
yang terlihat pada pemeriksaan histopatologi adalah infiltrasi parasit dengan ciri-ciri
berwarna merah dan usus besar yang berkembang dengan epitel silindris bersilia
(Gambar 19.B). Ciri-ciri ini konsisten dengan ciri cacing spirurid. Paramater yang
digunakan untuk mengukur derajat keparahan fibroplasia pada nodul adalah derajat
diferensiasi sel tumor, indeks mitosis, infiltrasi sel radang dan bagian yang mengalami
nekrosis (Dvir et al., 2010). Pola dari kumpulan sel yang berbentuk seperti kumparan
dengan bentuk yang sangat bervariasi adalah membentuk seperti aliran yang memadat
(Gambar 19.C). Karakterisitik sel-sel ini adalah mempunyai bentuk yang sangat
bervariasi (pleomorfik) yaitu dari bentuk oval hingga ke bentuk seperti kumparan
dimana antara satu sel yang satu dengan yang lainnya tidak jelas batasnya (Gambar
19.D). Bentuk inti sel adalah oval atau memanjang dengan kromatinnya seperti titik-
titik dan ukurannya lebih besar dari ukuran sitoplasma. Beberapa sel mengalami
yang bercampur dengan sel debris, beberapa sel plasma dan eosinofil dalam jaringan
ikat yang sangat tebal (Gambar 19.F). Oleh karena itu, level infiltrasi sel radang
adalah 2. Hal ini merupakan karakteristik dari sel fibrosarcoma (Pandarangga dan
Winarso, 2016).
Hasil pemeriksaan pada usus halus hingga usus besar terjadi hemoragi disertai
eksudat. Pada usus halus dan usus besar juga ditemukan adanya investasi cacing pita
(Dipylidium caninum) Hemoragi yang disertai eksudat yang terdapat pada saluran
usus merupakan suatu pertahanan tubuh dalam melawan agen infeksius (investasi
cacing pita). Selain adanya hemoragi, juga mengalami penebalan akibat adanya
dipylidiasis. Cacing ini dikenal juga dengan nama lain flea tapeworm, double-pored
tapeworm, cucumber seed tapeworm atau common dog tapeworm. Penyakit ini
disebabkan oleh cacing pita yang umumnya termasuk dalam golongan Dipylidium
(Rahmadani, 2015).
Cacing dewasa dari Dipylidium caninum yang predeleksinya pada usus halus
175 proglotid. Infeksi cacing Dipylidium caninum dimulai saat telur yang berisi
embrio akan termakan oleh larva pinjal anjing (Ctenocephalides canis). Kapsul
tersebut pecah sehingga onkosfer menetas dan membebaskan embrio di dinding usus
sistiserkoid menjadi infektif. Anjing yang tanpa sengaja memakan pinjal akan
terinfeksi oleh cacing Dipylidium sp. Di dalam usus Dipylidium caninum akan
mengalami evaginasi, skoleks akan melekat diantara villi usus halus dan lama-lama
akan berkembang sebagai cacing dewasa setelah kurun waktu sekitar 20 hari.
(Soulsby, 1982; Brown, 1975; Subronto, 2006). Pada kasus, adanya agen infeksius
akan direspon oleh sel goblet dengan mengeluarkan eksudat mukous dan jika agen
mampu melewati eksudat mukous, maka vili-vili usus akan merespon dengan
gangguan syaraf. Diare merupakan gejala umum terjadinya gangguan pada saluran
disertai lemah dan lesu juga merupakan gejala non-spesifik dalam kasus infeksi
cacing.
daerah anus yang diperlihatkan dengan mengosok-gosokan bagian yang gatal tersebut
serta berjalan dengan tubuh yang tegak. Petunjuk yang lain yaitu terdapat segmen
mikroskop untuk melihat keberadaan telur atau larva cacing pita D.Caninum pada
seperti adanya infiltrasi sel-sel radang dan perdarahan. Pemeriksaan mikroskopis pada
organ usus ditemukan sel-sel radang tersebar dari mukosa sampai di submukosa dan
Gambar 20. Terjadi perdarahan serta peradangan pada vili usus (enteritis hemoragi).
Hemoragi (tanda panah putih), sel radang (tanda panah hitam). (HE
200x)
Gambar 21. Enteritis hemoragika et nekrotikan. Terjadi perdarahan dan nekrosis pada
villi usus. Hemoragi (tanda panah putih), nekrosis (tanda panah hitam)
(HE 200x).
Hasil evaluasi gambaran umum histopatologi berupa hemoragi dan
peradangan pada organ usus perbesaran 200x terlihat adanya hemoragi pada dinding
usus, adanya infiltrasi sel radang pada vili usus, yang disertai nekrosis. Vili usus
submukosa usus terangkat keluar pada daerah lumen usus (Dharmojono, 2001).
Gejala klinis gangguan pada jaringan hati tidak selalu teramati karena kemampuan
regenerasi jaringan tinggi. Perubahan ukuran hati dapat disebabkan oleh respon hati
terhadap rangsangan luar yang bersifat merusak (Nabib, 1987). Sementara pada hasil
inspeksi dan palpasi pada hati anjing tersebut terjadi perubahan warna serta
konsistensinya sedikit keras. Hal ini diduga agen patogen menganggu organ
aksesorius dengan merusak sistem pertahanan pada hepar sehingga terjadi penurunan
fungsi pada pada hepar akibat tidak terjadi metabolisme secara baik pada hati baik itu
karbohidrat maupun protein. Hal ini sesuai dengan gejala klinis yang timbul pada
anjing tersebut mengalami malnutrisi yang cukup lama sehingga juga menganggu
Selain itu, faktor yang menyebabkan anjing mengalami malnutrisi dalam waktu
cukup lama juga menyebabkan perubahan pada hati akibat tidak terjadinya proses
pemecahan glikogen menjadi glukosa yang terutama terjadi hati. Apabila tubuh dalam
keadaan lapar, dan tidak ada asupan makanan, maka kadar glukosa dalam darah akan
metabolisme di hati maka terjadi penurunan fungsi hati sehingga terjadi anomali pada
hati yang merupakan efek metabolik akibat gangguan sirkulasi di hati dalam hal ini
hasil nekropsi hati anjing tersebut mengalami perubahan warna dari warna normalnya
Pada kasus ini, juga terjadi penebalan pada pankreas. Penebelan pada pankreas
dapat diakibatkan karena terjadinya peradangan, dan juga kerusakan pada daerah
lambung hingga usus halus, sehingga terjadi pelepasan enzim aktif yang dapat
(pankreatitis). Pada kasus ini, gejala pankreatitis ditunjukan dengan nafsu makan
dan nekrosis organ pankreas. Ekspresi yang berlebihan dari sitokin inflamasi seperti
interleukin (IL)-1,IL-6, IL-8, dan tumor necrosis factor (TNF)-α dapat dengan serius
yaitu dari merah sampai ke hitam serta perubahan konsistensi dari kenyal hingga ke
agak keras. Hal ini disebabkan karena tindakan nekropsi menyebabkan kematian pada
Terdapat banyak cara sel mengalami cedera atau mati. Salah satu faktor yang
paling sering dapat mencederai sel ialah berkurangnya pasokan oksigen maupun
bahan zat makanan. Sel-sel khususnya bergantung pada pasokan oksigen yang
kontinyu sebab energi dari reaksi-reaksi kimia oksidatif yang menggerakan sel dan
pemeliharaan dan sintesis sel berhenti dengan cepat. Jika cedera pada sel cukup hebat
atau berlangsung cukup lama, maka sel tersebut akan mencapai titik di mana sel tidak
menjadi ireversibel dan sel akan mati dan secara morfologik tidak dapat diidentifikasi.
Jika sekelompok sel sudah mencapai keadaan ini masih tetap berada dalam host yang
hidup selama beberapa jam saja, maka terjadi hal-hal tambahan yang memungkinkan
untuk dapat diidentifikasi apakah sel-sel atau jaringan tersebut sudah mati (Guyton,
1997).
Umumnya sel memiliki berbagai jenis enzim. Dalam keadaan hidup, enzim-
enzim ini tidak menimbulkan kerusakan sel, tetapi enzim-enzim ini akan dilepaskan
pada saat kematian sel dan mulai mencerna berbagai unsur sel. Selain itu, pada saat
sel mati terjadi perubahan kimiawi, dan jaringan hidup di sekitarnya berespon
terhadap perubahan-perubahan itu antara lain berupa reaksi radang akut dimana
terjadi migrasi banyak leukosit yang membantu proses digesti di dalam sel-sel yang
mati. Karena enzim-enzim pencernaan tersebut atau sebagai akibat proses radang,
maka sel-sel yang sudah mencapai titik puncak tidak dapat kembali lagi dan mulai
perubahan postmortem. Tanda-tanda pasti kematian ialah antara lain rigor mortis,
algor motris, livor mortis, dan putrefaksi. Enzim-enzim dikeluarkan secara lokal dan
mulai terjadi reaksi lisis, yang disebut autolisis postmortem yang sangat mirip dengan
perubahan-perubahan yang terlihat pada jaringan nekrotik, tetapi tidak disertai dengan
reaksi radang. Bakteri-bakteri akan tumbuh subur dan akan mempercepat terjadinya
tergantung pada individu dan lingkungan sekitarnya (Price dan Wilson, 1994).
Organ limpa yang normal berwarna merah tua sampai biru kehitaman dengan
tepi yang berbentuk lancip atau seperti bulan sabit. Organ limpa yang mengalami
kerusakan akan mengalami pembengkakan, berwarna coklat tua atau hampir hitam,
dengan tepi yang berbentuk cenderung tumpul atau membulat (Nurhaini et al., 2015).
Berdasarkan penelitian Goni et al., (2017) organ limpa mengalami perubahan warna
merah tua pada 0-1 jam, merah hitam 2-4 jam, coklat hitam 5-9 jam, dan hitam pekat
12-48 jam postmortem. Konsistensi organ limpa kenyal pada 0-1 jam, permukaan
mulai kering dan konsistensi kenyal 2-15 jam, bagian tepi mengerut tetapi bagian
tengah limpa tetap kenyal 18-24 jam disertai bercak-bercak pucat di bagian tengah
organ yang semakin bertambah pada jam-jam terakhir 30-48 jam postmortem.
Panjang organ limpa juga diukur dan diperoleh 15 cm pada 0-4 jam dan perubahan
panjang limpa menjadi 14,5 cm dimulai pada 5 jam postmortem. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi perubahan warna, konsistensi, dan panjang organ limpa setelah
Gambar 2. (A) Limpa hewan coba 0 jam postmortem. Struktur korpus Malpighi, arteri
sentralis dan trabekula dapat diidentifikasi. (400x). (B) Limpa hewan coba
5 jam postmortem. Korpus Malpighi mulai mengalami kongesti dengan
batas tidak jelas. (400x) (Goni et al., 2017).
Gambar 2. (C) Limpa hewan coba 24 jam postmortem. Kongesti korpus Malpighi,
sebagian besar limfosit dalam korpus Malpihgi dengan inti piknotik
(400x). (D) Limpa hewan coba 48 jam postmortem. Struktur korpus
Malpighi sulit diidentifikasi, limfosit korpus dengan karioreksis dan
kariolisis, serta struktur lapisan dinding arteri sentralis tidak jelas.
Trabekula masih dapat diidentifikasi. (400x) (Goni et al., 2017).
Gambaran mikroskopik limpa normal, yaitu pulpa merah (pulpa rubra) yang
terdiri dari sel-sel makrofag, sel plasma, dan elemen darah; dan pulpa putih (pulpa
alba) yang terdiri dari limfosit tersusun padat di dalamnya dan arteri sentralis pada
ditandai dengan kongesti korpus Malpighi, terdapat celah-celah yang makin melebar
di dalam korpus, dan pada 24 jam postmortem terlihat limfosit dalam korpus Malpighi
Pada hasil pemeriksaan sistem urinaria yaitu ginjal masih dalam ukuran yang
warna yaitu pada medula yang berwarna pucat. Pada organ ginjal bagian korteks
normalnya memiliki warna merah kecoklatan. Medula tampak lebih cerah dari pada
korteks, epitel yang terdapat pada bagian medula adalah epitel kuboid simplek serta
disebabkan oleh buluh-buluh kemih yang lurus dan pembuluh darahnya (Dellman dan
Brown, 1987).
menjadi kecoklatan pada korteks dan pucat pada medula, hal ini diduga terjadi karena
kerusakan ginjal dan kekurangan aliran darah menuju ginjal sehingga organ terlihat
dan nekrosis sedangkan kurangnya aliran darah menuju ginjal terjadi akibat
menyebabkan sel-sel ginjal sangat sensitif dengan kondisi oksigen yang rendah
didalam darah yang mengalir melalui ginjal. Ketika tingkat oksigen rendah maka sel-
sel ginjal akan melepaskan eritropoetin sehingga hal ini membuat sejumlah sel darah
merah akan berkurang hingga menyebabkan anemia atau bahkan tingkat oksigen yang
Kondisi organ ginjal pada anjing tersebut juga bisa diakibatkan terjadi
dimana tampak turgor kulit yang lambat serta mengalami muntah. Dehidrasi pada
anjing tersebut diduga karena terjadi penurunan jumlah cairan yang dikonsumsi juga
disebabkan akibat adanya gangguan reabsorpsi (air dan elektrolit yang masih
dibutuhkan tubuh terbuang) hal ini lah merupakan kondisi awal kerusakan pada ginjal.
Ginjal memiliki fungsi mengatur keseimbangan cairan tubuh dengan cara membuang
sisa metabolisme dan menahan zat – zat yang diperlukan oleh tubuh. Akibat
ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh maka anjing maka anjing juga akan
mengalami mual dan muntah bahkan juga terjadi anoreksia. Temuan lainnya pada saat
mencium atau membaui tercium halitosis pada daerah mulut anjing tersebut dari hal
ini diduga akibat akumulasi ureum disekitar mulut yang menyebabkan bakteri pada
mulut aktif sehingga menghasilkan amonia. Selain itu Cachexia (kekurusan) pada
anjing ini diduga disebabkan oleh fungsi filtrasi dan reabsorpsi pada ginjal yang tidak
maksimal karena protein, elektrolit dan nutrisi lain tidak terserap maksimal keseluruh
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis, nekropsi dan analisis yang dilakukan maka
diagnosa sementara pada kasus anjing mengalami pneumonia dan Eosinophilic Pulmonary
(spirocercosis), dipylidiasis, dan anemia. Diagnosa banding pada anjing tersebut adalah
neoplasia
BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis, nekropsi dan analisis yang dilakukan maka
diagnosa sementara pada kasus anjing mengalami pneumonia dan Eosinophilic Pulmonary
anjing mengalami malnutrisi atau defisiensi nutrisi akibat kekurangan vitamin dan gagal
ginjal. Diagnosa
4.2. Saran
Pemilik hewan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan hewan secara rutin dan
penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, DEE., dan Allen, AL. (2020). Canine Eosinophilic Pulmonary Granulomatosis: Case
Report and Literature Review. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation, 32(2),
329–335.
Badiu, P., Rusu, OC., Grigorean, VT., Neagu, SI., Strugaru, CR. 2016. Mortality prognostic
factors in acute pancreatitis. J Med Life; 9(4): 413-418
Bakri, M., Balqis, U., Tuzzahra, R. (2018). Gambaran Histopatologi Paru-Paru Babi Hutan
(Sus scrofa) yang Terinfeksi Parasit Internal Di Kawasan Lhoknga Aceh Besar.
JIMVET, 2(4), 564-575.
Budiman, H., Ferasyi, T. R., Tapielaniari, Salim, M. N., Balqis, U., Hambal, M. (2015).
Pengamatan Lesi Makroskopis Pada Hati Ayam Broiler yang Dijual Di Pasar
Lambaro Aceh Besar dan Hubungannya dengan Keberadaan Mikroba. Jurnal Medika
Veterinaria, 9(1), 51-53.
Cahyono, SB. 2014. Tata Laksana Terkini Pankreatitis Akut. Medicinus; 27(2):44-50
Caswell JL, Williams KJ. 2016. Respiratory system. In: Maxie MG, ed. Jubb, Kennedy, and
Palmer’s Pathology of Domestic Animals. 6th ed. Vol. 2. St. Louis, MO: Elsevier,
Da Fonseca EJ. et al. 2012. Fatal esophageal fibrosarcoma associated to paratism by spirurid
nematode Spirocerca lupi in a dog: a case report. J. Parasit Dis 36 (2): 273-276.
Dharmojono, H. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Hewan Veteriner (Hewan Kecil). Pustaka
Populer Obor. Jakarta.
Dharmojono. 2003. Anjing Permasalahan dan Pemecahan. Jakarta (ID). Penebar Swadaya.
Dibia IN, Sumiarto B, SusetyaH, Putra AAG, Scott-OrrH. 2015. Faktor-Faktor Risiko Rabies
pada Anjing di Bali. Jurnal Veteriner (3):389-398.
Du Toit CA, Scholtz CH, Hyman WB. 2008. Prevalence of the dog nematode Spirocerca lupi
in populations of its intermediate dung beetle host in the Pretoria Metropole, South
Africa. Onderstepoort J Vet Res; 75:315–321.
Dvir E, Clift S. J, Williams M. C. 2010. Proposed histological Progression of the Sprirocerca
lupi-induced Oesapgahal lesion in dogs. Veterinarary Parasitology 168: 71-77
Foreyt JW. 2001. Veterinary Parasitology: Reference Manual. USA: IOWA State University
Press
Goni, LR, Wongkar, D., dan Wangko, S. (2017). Gambaran makroskopik dan mikroskopik
limpa pada hewan coba postmortem. Jurnal e-Biomedik, 5(1).
Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (9th ed). Jakarta: EGC
Lefkaditis MA.2002. An important clinical case of Spirocerca lupi in dog, and the way of
treatment with the use of ivermectin. Presentation of the nematodes parasite
Spirocerca lupi and also the drug, ivermectin. Scientia Parasitologica; 2: 102-106.
Mescher AL. 2013. Junquera’s Basic Histology Text and Atlas (13th ed). Singapore:
McGraw Hill
Muhsi, AMA., Samsuri, Setiasih, NLE., Berata, IK. (2020). Kerusakan Secara Histopatologi
Otot Jantung Tikus Putih Akibat Pemberian Tambahan Ragi Tape dalam Pakan.
Indonesia Medicus Veterinus, 9(6), 920-929.
Nabib, R. 1987. Patologi Khusus Veteriner. Cetakan ke-3. Bagian Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan. Institut Peternakan Bogor. Bogor.
Nurhaini R, Rahmawati F, Sunyoto. 2015. Gambaran histopatologik limpa tikus betina galur
Sprague dawley yang diberi ekstrak etanol akar pasak bumi (Eurycoma longifolia
Jack) dan diinduksi 7,12-dimetil benz(a)antrazen. Cerata Journal of Pharmacy
Science; 2(1):70.
Pandarangga, P., dan Winarso, A. (2016). Fibrosarcoma Esophagus Pada Anjing Lokal Di
Kabupaten Kupang Yang Diakibatkan Oleh Spirocerca lupi (Spiruridae). Jurnal
Kajian Veteriner, 4, 17-23.
Price SA, Wilson LM. 1994. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit (4th ed).
Jakarta: EGC
Purnamasari, IAA., Berata, IK., dan Kardena, M. (2015). Studi Histopatologi Organ Usus dan
Jantung Anjing Terinfeksi Virus Parvo. Buletin Veteriner Udayana, 7(2), 99-104.
Rahmadani, S. (2015). Evaluasi Helmintiasis Pada Anjing Penderita Diare Di Klinik Hewan
Makassar. Universitas Hasanuddin Makassar.
Reinero C. 2019. Interstitial lung diseases in dogs and cats, part II: known cause and other
discrete forms. Vet J; 243:55–64.
Situmorang GTA, Situmorang GR, Saputra R, Fauzianti SA, Kristina AD, Rizki AF dan
Inayati E. 2018. Teknik Nekropsi Anjing. Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Soulsby, EJL. 1982, Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. New
York: Academic Press.
Sporek, M., Dumnicka, P., Bladzinzka, AG., Ceranovitz, P. 2016. Angiopoetin-2 is an Early
Indicator of Acute Pancreatic-Renal Syndrome in Patients with Acute Pancreatitis.
Mediators Inflamm;1: 1-7
Subronto. 2006. Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Van der Merwe LL, Kirberger RM, Clift S, Williams M. Keller N, Naidoo V. 2008.
Spirocerca lupi infection in the dog: A review. Vet J; 176(3): 294-309.