Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INDIVIDU

DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI

INFEKSIUS CORYZA (SNOT)

DISUSUN OLEH :

RICKY EKA SUCITA


061913143136

KELOMPOK 8A PPDH GELOMBANG XXXIII

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020
BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Infeksius coryza (Snot) merupakan penyakit pernafasan bagian atas pada unggas,
yang bersifat akut. Penyakit ini bersifat menular pada unggas, terutama ayam, yang
disebabkan oleh Haemophilus paragallinarum (HPG), bakteri gram negatif, tidak bergerak,
bersifat mikroaerofilik dan memerlukan nicotinamide adenine dinucleotide (NAD) untuk
pertumbuhannya. Penyakit tersebut sangat penting pada industri peternakan ayam, baik di
negara-negara maju maupun sedang berkembang, termasuk Indonesia. Kejadiannya sering
pada musim dingin atau udara jelek. Penyebaran penyakit dalam kandang sangat cepat, baik
secara kontak langsung dengan ayam-ayam sakit, maupun tidak langsung melalui air minum,
udara, dan peralatan yang tercemar (HINZ, 1981).
Snot menular sangat komplek bila terjadi infeksi sekunder, sehingga masalah penyakit
yang ditimbulkan lebih parah dan mengakibatkan kerugian ekonomi yang lebih besar. Bila
terjadi wabah pada ayam petelur, produksi telur turun hingga 10 – 40% dan jika menyerang
ayam pada stadium grower dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan (MIAO et al.,
2000). Biasanya penyakit ini merupakan komplikasi dengan penyakit lain, seperti Fowl pox,
Mycoplasma (CRD), New castle disease (ND), Infectious bronchitis (IB), Infectious
laryngotracheitis (ILT) dan lain-lain (POERNOMO, 1975; GORDON dan JORDAN, 1982).
Di Indonesia, penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Veeartsenijkundig Institut
(VI) Bogor, yang sekarang dikenal sebagai Balai Penelitian Veteriner, Balitvet. Berdasarkan
laporan tahunannya, lembaga ini mencatat bahwa dari 319 sampel unggas yang diperiksa
selama tahun 1930, ternyata 17 diantaranya didiagnosa sebagai Coryza infeksiosa (ANONIM,
1932). Keberadaan infeksi sekunder menjadi lebih sulit didiagnosis secara laboratorik karena
agen etiologi yang ditemukan bersifat sangat komplek. Infeksi HPG pada ayam di Indonesia
diketahui sejak tahun 1974 dan terdiri dari 3 serovar yaitu A, B dan C (POERNOMO, 1975;
POERNOMO et al. 1997; 2000).
BAB II PEMBAHASAN

2.1 ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh Haemophilus paragallinarum, yang merupakan bakteri
gram-negatif, berbentuk batang pendek atau coccobacilli, tercat polar, non-motil, tidak
membentuk spora, fakultatif anaerobe dan membutuhkan faktor-faktor pertumbuhan yang
terdapat di dalam darah, yaitu NAD (nicotinamide adenine dinucleotide) yang juga dikenal
sebagai koenzim I atau faktor-V yang termolabil.
Haemophilus paragallinarum merupakan organisme yang mudah mati atau
mengalami inaktivasi secara cepat di luar tubuh hospes. Eksudat infeksius yang dicampur
dengan air ledeng akan mengalami inaktivasi dalam waktu 4 jam pada temperatur yang
berfluktuatif. Eksudat atau jaringan yang mengandung kuman ini akan tetap infeksius selama
24 jam pada temperatur 37ºC, bahkan kadang-kadang dapat bertahan selama 48 jam. Pada
temperatur 4ºC eksudat infeksius dapat bertahan selama beberapa hari.
Pada temperatur 45ºC - 55ºC, kultur Haemophilus paragallinarum dapat diinaktivasi
dalam waktu 2 – 10 menit. Haemophilus paragallinarum terdiri atas sejumlah strain dengan
antigenisitas yang berbeda dan paling sedikit 3 serotipe, yaitu A, B dan C telah
dikarakterisasi secara terperinci. Walaupun serotype A dan C dikenal seagai serotype yang
paling virulen, hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa serotype B juga mempunyai
peranan pada kejadian infectious coryza.

2.2 PATOGENESA
Di samping ayam, penyakit ini juga telah ditularkan pada burung merak, ayam
mutiara, dan burung puyuh. Penularan hanya terjadi secara horizontal; ayam yang menderita
infeksi kronis atau carrier merupakan sumber utama penularan penyakit. Infectious coryza
terutama ditemukan pada saat pergantian musim atau berhubungan dengan adanya berbagai
jenis stress, misalnya akibat cuaca, lingkungan kandang, nutrisi, perlakuan vaksinasi dan
penyakit imunosupresif.
Penyakit ini dapat menular secara cepat dari ayam satu ke ayam lainnya dalam satu
flok atau dari flok satu ke flok lainnya. Penularan secara langsung dapat terjadi melalui
kontak antara ayam sakit atau carrier dengan ayam lain yang peka. Penularan dapat juga
terjadi secara tidak langsung melalui kontak dengan pakan atau berbagai bahan lain,
alat/perlengkapan peternakan ataupun pekerja yang tercemar bakteri penyebab Infectious
coryza (misalnya leleran tubuh/ayam sakit).
Penularan melalui udara dapat juga terjadi, jika kandang ayam letaknya berdekatan
sehingga udara yang tercemar debu atau kotoran yang mengandung kuman Haemophilus
paragallinarum dihirup oleh ayam yang peka.

2.3 GEJALA KLINIS


Infeksi H. paragallinarum dapat terjadi pada ayam semua umur yang sedang dalam
pertumbuhan, baik pada ayam pedaging atau ayam petelur. Gejala klinis yang terlihat berupa
keluarnya eksudat atau lendir dari sinus hidung dan mulut, kepala bagian depan bengkak,
nafsu makan turun (anorexia) dan diare. Pada ayam layer dapat menurunkan produksi telur
antara 10 – 40% (DROUAL et al., 1990; MIAO et al., 2000) sehingga penyakit ini dapat
mengakibatkan kerugian ekonomi baik pada peternak kecil maupun industri perunggasan.
Jika saluran pernapasan bagian bawah terkena, maka akan terdenganr suara ngorok
yang “halus”, yang biasanya hanya terdengar pada malam hari. Ayam yang terserang snot
akan mengalami gangguan nafsu makan dan minum yang dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan, peningkatan jumlah ayam yang diafkir atapun penurunan produksi telur. Ayam
yang terserang penyakit ini kerapkali akan mengalami diare. Jika proses penyakit
berlangsung kronis, maka dapat terjadi komplikasi dengan bakteri lain ataupun virus.

Gambar : Infeksi Coryza


(Sumber : http://oldvet.com/tag/infectious-coryza/)

Infectious coryza dapat ditemukan pada ayam semua umur, sejak umur 3 minggu
sampai masa produksi. Ayam dewasa cenderung bereaksi lebih parah dibandingkan dengan
ayam muda. Penyakit ini tersifat oleh masa inkubasi yang pendek, antara 24 – 46 jam,
kadang-kadang sampai 72 jam, dengan proses penyakit yang dapat berlangsung 6 – 14 hari,
tetapi dapat juga berlangsung beberapa bulan (2 – 3 bulan). Pada ayam dewasa, masa
inkubasi biasanya lebih pendek, tetapi proses penyakitnya cenderung lebih lama.
Infectious coryza biasanya menyebabkan morbiditas tinggi, tetapi mortalitas rendah.
Walaupun demikian, beberapa strain Haemophilus paragallinarum yang sangat virulen telah
dilaporkan menyebabkan mortalitas yang tinggi. Berbagai faktor tertentu, misalnya sistem
perkandangan yang kurang memadai, infestasi parasit dan keadaan nutrisi yang kurang baik
akan meningkatkan derajat keparahan dan lamanya proses penyakit.
Dari beberapa negara (Argentina, India, Maroko dan Thailand) dilaporkan bahwa,
wabah infectious coryza disertai dengan tanda-tanda arthritis atau septikemia yang diikuti
infeksi sekunder oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum, M. synoviae, Pasteurella spp.,
Salmonella spp. bahkan dapat diikuti komplikasi infectious bronchitis, baik pada ayam layer
maupun broiler. Dilaporkan juga terdapat wabah coryza, dengan gejala yang menyerupai
swollen head – like syndrome (SANDOVAL et al., 1994).

2.4 DIAGNOSA

2.4.1 DIAGNOSA KONVENSIONAL


Diagnosis penyakit coryza dilakukan secara konvensional dengan teknik isolasi
dan identifikasi untuk menentukan agen penyebab utama. Pada koloni bakteri yang
dicurigai HPG, dilakukan karakterisasi secara biologis dengan reaksi-reaksi biokimiawi.
Diagnosis ini mempunyai banyak kendala yaitu perlu waktu lama, bahan media mahal
dan kondisi laboratorium maupun sumber daya harus yang memadai (BLACKALL et al.,
1997). Di samping itu, faktor mikroorganisme komensal lain cepat tumbuh sehingga
akan menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang akan dicari. Pada metode isolasi
dan identifikasi, HPG membutuhkan media spesifik yang mahal dan suplemen faktor
tumbuh NAD. Bahan media untuk isolasi HPG relatif mahal bagi negara yang sedang
berkembang. Biasanya setelah diperoleh koloni yang dicurigai HPG selanjutnya
dilakukan uji konfirmasi berupa ujiuji: katalase, ornithin dekarboxilase, galaktosidase,
dilanjutkan dengan uji fermentasi dan terbentuknya asam dari galaktosa, manitol,
sorbitol, sukrosa dan trehalosa. Semua uji tersebut masih harus ditambah dengan
suplemen NAD (BLACKALL, 1999).
2.4.2 DIAGNOSA UJI SEROLOGIK haemaglutination inhibition (HI)
Hingga saat ini banyak uji serologik yang dipakai untuk peneguhan diagnosis
infeksi HPG, akan tetapi yang paling popular dipakai ialah haemaglutination inhibitioN
(HI) test (BLACKALL dan YAMAMOTO, 1998), terdiri atas: simple, extracted dan
treated tests. Uji HI yang paling sederhana didasarkan pada penggunaan sel utuh H.
paragallinarum serovar A dan sel eritrosit ayam (IRITANI et al., 1977). Teknik ini hanya
dapat mendeteksi antibodi pada ayam hasil vaksinasi atau yang pernah terinfeksi/terpapar
oleh HPG serovar A. Metode extracted HI didasarkan pada potassium thiocyanate
(KSCN) - ekstraksi dari sel HPG yang disonikasi dan eritrosit ayam yang difiksasi
dengan glutaraldehid (SAWATA et al., 1982). Uji ini dapat membedakan antibodi
spesifik serovar C pada darah ayam yang terinfeksi atau divaksinasi dengan HPG serovar
C. Kelemahan dari uji extracted HI, yaitu ayam yang terinfeksi secara alamiah akan
bereaksi negatif.

2.4.3 DIAGNOSA UJI SEROLOGIK enzyme-linked Nimmunosorben assay (ELISA)


Teknik antibodi monoklonal blocking ELISA telah dikembangkan untuk uji
serologik penyakit coryza (ZHANG et al., 1999). Dari penelitian tersebut dilaporkan,
walaupun teknik ini menunjukkan spesifisitas maupun sensitivitas yang baik, namun
masih terdapat kelemahan. Selama ini hanya ada 2 macam antibodi monoklonal yaitu
serovar A dan C, teknik ini hanya dapat membedakan dua jenis serovar tersebut.
Antibodi monoklonal serovar A dan C tersebut tidak tersedia secara komersial
sehingga hal ini sangat membatasi akses pengujian coryza. Disamping itu, ada beberapa
isolat yang tidak dapat dideteksi dengan teknik ELISA (BLACKALL et al., 1994;
TERZOLO et al., 1993). Mengingat sensitivitas antibody monoklonal blocking ELISA
belum distandarisasi dan dievaluasi secara menyeluruh, tidak terdapat data korelasi
antara titer ELISA dan daya proteksi, serta adanya penurunan sensitivitas dari ELISA
untuk deteksi serovar C di lapang, teknik ELISA tersebut hanya cocok untuk menguji
antibodi terhadap HPG pada sekelompok ayam atau flok.

2.5 DIAGNOSA BANDING


Telah lama diketahui bahwa berbagai macam bakteri dapat menginfeksi saluran
pernafasan bagian atas, oleh karena itu diagnosis coryza pada ayam sangat sulit ditentukan
karena tidak patognomonik gejala klinisnya. Sejak awal tahun 1990-an telah diketahui bahwa
berbagai strain bakteri menyerang ayam terutama pada ayam broiler di Afrika Selatan dengan
gejala – gejala gangguan pernafasan. Pada tahun 1994 bakteri tersebut diidentifikasi sebagai
Ornithobacterium rhinotracheale (VANDAMME et al., 1994). Bakteri ini menyerang ayam
pedaging di negara-negara Eropa, dan USA (De ROSA et al., 1996; ODOR et al., 1997).
Pada awalnya terjadi perdebatan pengaruh bakteri tersebut terhadap penurunan pertambahan
bobot badan. Selanjutnya dibuktikan melalui inokulasi bakteri O. rhinotracheale secara intra
airsacculitis pada ayam percobaan dan kalkun. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
bakteri tersebut menyebabkan pertumbuhan terhambat dengan gejala klinis airsacculitis dan
pneumonia (ODOR et al., 1997).

2.6 PENGOBATAN
Berbagai jenis antibiotik dan antibakteri telah dipakai untuk mengobati snot, namun
banyak diantara obat tersebut yang hanya mengurangi derajat keparahan dan lamanya proses
penyakit tanpa mengatasi penyakit ini secar tuntas. Hal ini kerapkali mengakibatkan adanya
sejumlah ayam yang menjadi carrier. Penyakit ini cenderung kambuh lagi, jika pengobatan
dihentikan; jika pengobatan dilakukan secara berulang, maka kemungkinan akan timbul
resistensi terhadap obat tertentu. Penggunaan obat dalam bentuk kombinasi yang bersifat
sinergistik atau obat golongan flumekuin maupun kuinolon lebih menjanjikan.
Disamping pemberian obat, maka diperlukan juga rehabilitasi pada jaringan yang
rusak dengan pemberian multivitamin ataupun peningkatan nilai nutrient dari pakan;
menghilangkan faktor pendukung terjadinya snot dan tindakan sanitasi/desinfeksi untuk
menghilangkan sumber infeksi.

2.7 PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN

2.7.1 PENGENDALIAN
Sehubungan dengan kenyataan bahwa ayam carrier merupakan sumber infeksi, maka
perlu dihindari untuk membawa pullet atau ayam lain yang mungkin terinfeksi/membawa
kuman Haemophilus paragallinarum ke dalam lokasi peternakan yang tidak terinfeksi.
Jumlah kelompok umur dalam suatu lokasi peternakan sebaiknya dikurangi untuk
menghindari penularan penyakit dari ayam tua ke ayam muda (memutuskan siklus penularan
kuman penyebab snot). Praktek pengamanan biologis yang ketat perlu dipertahankan,
misalnya sanitasi/desinfeksi yang ketat, sistem perkandangan yang memadai dan istirahat
kandang yang cukup (sekitar 2 minggu).
2.7.2 PENCEGAHAN
Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian vaksin inaktif sekitar umur 8 – 11
minggu dan 3 – 4 minggu sebelum produksi (sekitar umur 17 minggu). Pemberian vaksin
inaktif sebelum perkiraan timbulnya kasus dan sebelum produksi telur, yang didukung oleh
praktek manajemen yang ketat kerapkali memberikan hasil yang menjanjikan. Pada keadaan
ini, walaupun kejadian snot tidak dapat diatasi secara tuntas, namun derajat keparahan kasus
yang timbul biasanya lebih rendah. Kasus demikian pada umumnya akan bereaksi baik
terhadap pengobatan.
Sehubungan dengan kenyataan bahwa vaksin snot hanya memberikan kekebalan silang yang
minimal di antara/antara berbagai serotype Haemophilus paragallinarum, maka vaksin yang
terbaik seharusnya yang bersifat otogenus atau homolog dengan kuman penyebab snot yang
terdapat di lapangan. Namun, pada kondisi lapangan, hal ini sulit dikerjakan dan
membutuhkan biaya yang tinggi.
BAB III KESIMPULAN

Infeksius coryza (Snot) merupakan penyakit pernafasan bagian atas pada unggas,
yang bersifat akut. Penyakit ini bersifat menular pada unggas, terutama ayam, yang
disebabkan oleh Haemophilus paragallinarum (HPG). Masalah penyakit yang ditimbulkan
dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang lebih besar. Bila terjadi wabah pada ayam
petelur, produksi telur turun hingga 10 – 40% dan jika menyerang ayam pada stadium grower
dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan.
Infectious coryza dapat ditemukan pada ayam semua umur, sejak umur 3 minggu
sampai masa produksi. Ayam dewasa cenderung bereaksi lebih parah dibandingkan dengan
ayam muda. Penyakit ini tersifat oleh masa inkubasi yang pendek, antara 24 – 46 jam,
kadang-kadang sampai 72 jam, dengan proses penyakit yang dapat berlangsung 6 – 14 hari,
tetapi dapat juga berlangsung beberapa bulan (2 – 3 bulan). Pada ayam dewasa, masa
inkubasi biasanya lebih pendek, tetapi proses penyakitnya cenderung lebih lama.
Gejala paling awal adalah bersin, yang diikuti oleh adanya eksudat seru sampai
mukoid dari rongga hidung ataupun mata. Jika proses penyakit berlanjut, maka eksudat yang
bening dan encer tersebut akan menjadi kental (mukopurulen sampai purulen) dan berbau
busuk/tidak sedap dan bercampur dengan kotoran /sisa pakan. Kumpulan eksudat tersebut
akan menyebabkan pembengkakan di daerah fasial dan sekitar mata. Jika daerah yang
membengkak ditekan dengan jari, maka akan terasa empuk. Pada sejumlah kasus, dapat
dijumpai adanya pembengkakan pada pial, terutama pada ayam bibit jantan (parent stock).
Kelopak mata biasanya terlhat kemerahan, yang kerapkali menyebabkan mata menjadi
tertutup.
Pemeriksaan laboratorium untuk memperkuat diagnosa penyakit Coryza dapat dengan
cara isolasi dan identifikasi secara biologis dengan reaksi-reaksi biokimia. Dapat juga
diagnose dengan cara uji serologic haemaglutination inhibition (HI) dan enzyme-linked
Nimmunosorben assay (ELISA). Infeksi Coryza dapat dicegah dengan dengan pemberian
vaksin inaktif sekitar umur 8 – 11 minggu dan 3 – 4 minggu sebelum produksi (sekitar umur
17 minggu), dan dapat diobati dengan berbagai jenis antibiotik dan antibakteri. Disamping
pemberian obat, maka diperlukan juga rehabilitasi pada jaringan yang rusak dengan
pemberian multivitamin ataupun peningkatan nilai nutrient dari pakan; menghilangkan faktor
pendukung terjadinya snot dan tindakan sanitasi/desinfeksi untuk menghilangkan sumber
infeksi.
REFERENSI

Ariyanti, T., dan Supar. 2007. Pengendalian Coryza Infeksius Pada Ayam. Balai Besar
Penelitian Veteriner. Bogor. WARTAZOA Vol. 17 No. 4 Th. 2007.

Kementerian Pertanian. 2014. Manual Penyakit Unggas. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Hal: 126-130.

Kusumanigsih, A., dan S. Poernomo. 2000. Infeksius Coryza (Snot) Pada Ayam Di
Indonesia. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. WARTAZOA Vol. 10 No. 2 Th. 2000.

Moenek, D.Y.J.A. 2016. Manajemen Penyakit Infectious Coryza (Snot). Program Studi
Kesehatan Hewan Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Partner, Tahun 15 Nomor 2,
Halaman 238 – 245.

Anda mungkin juga menyukai