Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN PADA TERNAK SAPI

DI DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN


KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN
Tanggal 10 – 24 Januari 2023

DISUSUN OLEH:

Maria Melanny Overa, S.K.H (2109020008)


Novie Hellen Manongga, S.K.H (2109020009)
Fresensi Anggraini Date Meze, S.K.H (2109020010)
Erni Paremadjangga, S.K.H (2109020011)
Satria Mira Bio Ndolu, S.K.H (2109020012)
Juan Baslio Alcosoni Alle, S.K.H (2109020014)

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CEDANA
KUPANG
2023
BIODATA ANGGOTA KELOMPOK KOASISTENSI 2B

1. Nama : Maria Melanny Overa, S.K.H


Nim : 2109020008
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Putuga, 2 Februari 1999
Alamat : Oesapa
Nomor Telpon : 081246521560
Alamat Email : overamelanny@gmail.com

2. Nama : Novie Hellen Manongga, S.K.H


Nim : 2109020009
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Kawende, 09 November 1998
Alamat : Maulafa
Nomor Telpon : 082359472441
Alamat Email : noviemanongga@gmail.com

3. Nama : Fresensi Anggraini Date Meze, S.K.H


Nim : 2109020010
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Rote, 27 April 1998
Alamat : RSS Oesapa
Nomor Telpon : 082247720548
Alamat Email : ensileon27@gmail.com

4. Nama : Erni Paremadjangga, S.K.H


Nim : 2109020011
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Waingapu, 28 Mei 1999
Alamat : Lasiana
Nomor Telpon : 082247790045
Alamat Email : erniparemadjangga@gmail.com

5 Nama : Satria Mira Bio Ndolu, S.K.H


Nim : 2109020012
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir : Kupang, 24 Mei 1998
Alamat : BTN Kolhua
Nomor Telpon : 082237010416
Alamat Email : satriandolu24@gmail.com

6. Nama : Juan Baslio Alcosoni Alle, S.K.H


Nim : 2109020014
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir : Soe, 05 Juni 1999
Alamat : Liliba
Nomor Telpon : 081246962717
Alamat Email : juan.all3d@gmail.com
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan Praktek Kerja Lapangan (PKL) sapi di Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Timor Tengah Selatan dengan baik serta dapat menyelesaikan
penulisan laporan ini. Laporan ini merupakan pertanggung jawaban tertulis atas
pelaksanaan PKL sapi di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Timor Tengah
Selatan yang telah dilaksanakan pada tanggal 10 – 24 Januari 2023.

Pelaksanaan PKL sapi di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Timor


Tengah Selatan ini dapat terlaksana dengan baik dan berjalan dengan lancar
berkat bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang telah memberikan
bimbingan, perhatian, dan pengarahan dalam pelaksanaannya. Pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. drh. Putri Pandarangga, MS, Ph. D selaku dosen pembimbim PKL


2. Dr. drh. Novalino H.G. Kallau, M.Si selaku ketua Prodi PPDH
3. drh. Dianar A. S. Ati selaku Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan
4. Patris Th. B. Halla, S.Pi, M.Ling Selaku Kepala Bidang Kesehatan
Hewan, Kesmavet, Pengolahan dan Pemasaran.

Penulis menyadari bahwa laporan ini sangatlah jauh dari kesempurnaan.


Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan senang
hati untuk perbaikan lebih lanjut.

Kupang, Januari 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ternak sapi merupakan salah satu komoditas peternakan bernilai ekonomi
tinggi, sekaligus komoditas pangan yang memberikan andil dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Sejalan dengan meningkatnya jumlah
penduduk, kebutuhan akan konsumsi daging di Indonesia terus meningkat setiap
tahun. Namun, produksi peternakan sapi dalam negeri belum mencapai maksimal
sehingga ketersediaan daging sapi nasional masih mengalami kekurangan yang
ditutup melalui impor (Cahyo dan Purwaningsih, 2022). Oleh karena itu,
pemerintah membuat kebijakan, yang salah satunya Program Swasembada
Daging Sapi 2014 (PSDS-2014) untuk mengembangkan potensi sektor
peternakan dalam negeri sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap
impor.
Salah satu faktor yang dapat menghambat terwujudnya produksi ternak
sapi yang optimal ialah ancaman penyakit. Penyakit yang bersifat menular sering
mendapat perhatian serius yang penanganannya harus dilakukan secara cepat dan
tepat. Oleh karena itu, mahasiswa pendidikan profesi dokter hewan perlu
memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang baik mengenai budi
daya ternak sapi dan berbagai manajemen pemeliharaannya, khususnya
manajemen penanganan kesehatan hewan. Kurangnya media pembelajaran
mengenai hal tersebut menjadi dasar bagi mahasiswa dalam melakukan kegiatan
PKL di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS).
Salah satu tugas dinas peternakan dan kesehatan hewan ialah melakukan
pelayanan kesehatan hewan terpadu untuk mewujudkan kesehatan dan produksi
ternak sapi yang optimal serta produk hewan yang ASUH. Oleh karena itu,
pelaksanaan PKL di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab. TTS
diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa
melalui pengalaman kerja di lapangan yang kelak dapat dipergunakan sebagai
bahan pertimbangan untuk melaksanakan tindakan medis veteriner pada ternak
sapi.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan kegiatan PKL ini adalah:
1. Mahasiswa/i dapat meningkatkan pemahaman tentang pembangunan
peternakan, upaya-upaya pencegahan, penanganan, dan pengendalian
penyakit strategis dan zoonosis.
2. Mahasiswa/i dapat melakukan diagnosa, pengobatan, pencegahan
penyakit berdasarkan teori-teori yang telah diperoleh saat masa
perkuliahan dengan baik.
3. Mahasiswa/i dapat mempelajari manajemen reproduksi ternak sapi.

1.3 Manfaat
Manfaat dari pelaksanaan PKL ini ialah mahasiswa/i dapat meningkatkan
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan dalam manajemen penanganan
kesehatan hewan dan reproduksi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan


Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh ralgrat Indonesia. Salah satu bentuk perlindungan tersebut dilakukan
melalui penyelenggaraan peternakan dan Kesehatan Hewan dalam kerangka
mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan. Dalam penyelenggaraan
peternakan dan kesehatan hewan sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, tetapi belum
mencapai hasil yang optimal, sehingga sebagaimana telah diubah beberapa kali
menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
dan terakhir kali diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Secara umum perubahan UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan mencakup pemasukan benih, bibit, bakalan, pakan, pengaturan
mengenai pemasukan ternak, ruminansia indukan dan produk hewan, kemitraan
usaha peternakan, rumah potong hewan, pelayanan dan tenaga kesehatan hewan
(UU No. 11 Tahun 2020).
Tujuan utama Peternakan dan Kesehatan Hewan yaitu penambahan
produksi untuk meningkatkan taraf hidup peternak Indonesia dan untuk dapat
memenuhi keperluan bahan makanan yang berasal dari ternak bagi seluruh rakyat
Indonesia secara adil merata dan cukup (UU Nomor 6 Tahun 1967). Sedangkan
asas dari penyelenggaraan Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah kemanfaatan
dan keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan,
keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan (UU
No. 11 Tahun 2020).
2.2 Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis di Provinsi NTT
Kementerian Pertanian telah menetapkan 25 (dua puluh lima) penyakit
masuk pada PHMS (Penyakit Hewan Menular Strategis) sesuai dengan Kajian
yang telah dilakukan Ditkeswan. Penyakit Hewan Menular Strategis adalah
Penyakit Hewan yang dapat menimbulkan angka kematian dan/atau angka
kesakitan yang tinggi pada Hewan, dampak kerugian ekonomi, keresahan
masyarakat, dan/atau bersifat zoonotik (UU Nomor 14 Tahun 2014). Daftar
PHMS yaitu Antraks, Rabies, Penyakit Mulut dan Kuku, Bovine Spongiform
Encephalopathy, Salmonellosis, Rift Valley Fever, Bruselosis (Brucella abortus),
Highly Pathogenic Avian Influenza dan Low Pathogenic Avian Influenza, Porcine
Reproductive and Respiratory Syndrome, Helminthiasis, Haemorrhagic
Septicaemia/Septicaemia Epizootica, Nipah Virus Encephalitis, Infectious Bovine
Rhinotracheitis, Bovine tuberculosis, Leptospirosis, Brucellosis (Brucella suis),
Jembrana, Surra, Paratuberculosis, Toksoplasmosis, Classical Swine Fever, Swine
Influenza Novel (H1N1), Campylobacteriosis, Sistiserkosis, Q-Fever (Dirkeswan,
2012).
Penyakit hewan menular strategis yang telah dilaporkan di Provinsi NTT
yaitu rabies khususnya di Pulau Flores, Adonara, Solor, dan Lembata merupakan
daerah endemis rabies sejak tahun 1997 (Windiyaningsih et al., 2004). Kasus
antraks terjadi tahun 1953, 1957 dan tahun 1984 di pulau Flores, di pulau Timor
terjadi tahun 1980 dan wabah antraks menyerang hewan di Kabupaten Sumba
Timur (Willa, 2013). Kasus Brucellosis dilaporkan pertama kali tahun 1986 di
Pulau Timor (Lake et al., 2010), sedangkan kasus septicaemia epizootica pertama
kali dilaporkan pada tahun 1884 di Nusa Tenggara Timur (Direktorat Kesehatan
Hewan, 1997).
Kasus helminthiasis yang pernah dilaporkan oleh Winarso et al. (2021),
seperti cacing trematodosis pada sapi bali di Kupang diantaranya menderita
fasciolosis dan amphistome. Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur
melaporkan bahwa kasus Surra di Pulau Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur
terjadi pada tahun 2010 – 2011 (Wuri et al., 2020). Berdasarkan hasil penelitian
terbukti bahwa infeksi T. gondii terjadi di wilayah Kupang, kasus Clasical Swine
Fever merupakan masalah yang sangat serius bagi pemerintah dan penyakit ini
menyebar ke seluruh wilayah Indonesia termasuk NTT (Bulu et al., 2019).

2.3 Pemeriksaan Kebuntingan


Menurut Illawati (2009), kebuntingan merupakan suatu proses dimana
bakal anak sedang berkembang di dalam uterus seekor hewan betina. Eksplorasi
rektal merupakan salah satu metode diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan
pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi (Romano et al, 2006). Prosedur
palpasi per-rektal adalah palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba
pembesaran yang terjadi selama kebuntingan, keberadaan fetus atau membran
fetus. Teknik ini dikenal cukup akurat, cepat, dan juga relatif murah tetapi dalam
pelaksanaan eksplorasi rektal sangat dibutuhkan kepekaan dan kebiasaan untuk
mengenali organ-organ yang dipalpasi. Berikut adalah indikasi kebuntingan
dengan pemeriksaan per rektal pada usia 1-9 bulan kebuntingan.

Tabel 1. Indikasi kebuntingan dengan pemeriksaan per-rektal (Tophianong et al,


2021)
Usia Posisi Uterus Struktur yang di palpasi
Kebuntingan
(Bulan)
1 Lantai pelvis Uterus asimetris/ membran slip/
vesikel amnion.
2 Lantai pelvis Uterus asimetris/ membran slip/
vesikel amnion/ plasentom
berukuran kecil.
3 Pelvis/ depan Plasentom (diameter 1-1,5 cm),
symphisis pubis teraba fetus, fremitus ipsilateral
(teraba hanya salah satu a.
Mediana yang berdesir) .
4 Menurun ke abdomen Plasentom (diameter 1.5-2.5 cm),
teraba fetus, fremitus ipsilateral.
5 Lantai Abdomen Plasentom (diameter 2.5-4 cm),
fetus kadang sulit teraba, cervix
tertarik ke cranio ventral, fremitus
kontralateral.
6 Abdomen Plasentom (diameter 4-5 cm), fetus
kembali teraba, fremitus
kontralateral.
7 Mulai naik kearah Plasentom (diameter 5-7.5 cm),
dorsal pada posisi anterior kepala dan
tracak kaki depan mulai mengarah
ke pelvis, fremitus kontralatera.
8 Naik hampir sejajar Plasentom (diameter 6-8 cm), pada
dengan pelvis posisi anterior, kepala dan tracak
kaki depan teraba sejajar dengan
lantai pelvis, fremitus kontralateral.
9 Sejajar dengan pelvis Plasentom (diameter 7-8.5 cm),
pada posisi anterior kepala dan
tracak kaki depan berada pada
ruang pelvis, fremitus kontralateral.
BAB III

METODE PELAKSANAAN

3.1 Lokasi dan Waktu Kegiatan


Kegiatan PKL Sapi dilaksanakan di Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Waktu pelaksanaan kegiatan PKL yaitu
pada tanggal 10 – 24 Januari 2023.
3.2 Bentuk Kegiatan
1. Perkenalan
Kegiatan ini adalah bentuk perkenalan diri secara langsung dari peserta
PKL Pendidikan Profesi Dokter Hewan Fakultas Kedokteran dan
Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana dengan pihak Dinas
Peternakan dan Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2. Pembekalan materi
Kegiatan ini meliputi penjelasan dari Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Kabupaten Timor Tengah Selatan kepada peserta kegiatan PKL
mengenai segala bentuk kegiatan yang akan dilakukan.
3. Praktik di lapangan
Kegiatan ini adalah praktik kerja secara langsung di lapangan yang
dimulai dengan melakukan pengamatan, wawancara dan ikut serta dalam
pelayanan yang dilakukan oleh dinas. Sasaran kegiatan ini ialah:
a. Manajemen kesehatan hewan yang meliputi vaksinasi, pemberian
obat cacing, pemberian vitamin dan penanganan penyakit sesuai
kasus yang ditemukan di lapangan.
b. Manajemen reproduksi sapi yang meliputi inseminasi buatan dan
pemeriksaan kebuntingan.
c. Kegiatan yang dilakukan oleh dinas yang membidangi peternakan
dan kesehatan hewan, khususnya ternak sapi.
d. Proses oleh dinas dalam mengidentifikasi masalah, menentukan
kebijakan, mengkordinasi pelaksana kebijakan, sampai dengan
teknis operasional di lapangam berkaitan dengan peternakan dan
kesehatan hewan.
4. Peserta
Peserta PKL merupakan mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter
Hewan Kelompok 2B Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana. Jumlah peserta kegiatan PKL adalah sebanyak 6
orang.
Waktu Mahasiswa
9 – 20 Januari 2023 1. Maria Melanny Overa, S.K.H
2. Novie Hellen Manongga, S.K.H
3. Erni Paremadjangga, S.K.H
4. Fresensi Anggraini Date Meze, S.K.H
5. Satria Mira Bio Ndolu, S.K.H
6. Juan Baslio Alcosoni Alle, S.K.H

3.3 Pemeriksaan Kesehatan Hewan


3.3.1 Pemeriksaan kesehatan sapi yang sakit
a. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan
kesehatan ternak sapi yaitu alat tulis, termometer, stetoskop, spuit
mika, supit mika, dan obat-obatan.
b. Metode
1. Mencatat sinyalemen ternak yang diperiksa. Sinyalemen
meliputi:
 Nama hewan
 Jenis hewan
 Bangsa
 Jenis kelamin
 Umur
 Warna rambut
 Berat badan
 Ciri khusus
2. Melakukan anamnesis pada pemilik ternak sapi.
3. Melakukan pemeriksaan fisik mulai dari kepala hingga ekor
(head to tail). Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi:
 Keadaan umum
 Frekuensi nafas
 Pulsus
 Suhu
 Kulit & rambut
 Selaput lendir
 Sistem respirasi
 Sistem kardiovaskular
 Kelamin dan perkencingan
 Alat gerak
4. Melakukan diagnosa terhadap ternak sapi yang sakit.
5. Melakukan terapi pada ternak sapi yang sakit.
6. Apabila diperlukan maka dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk peneguhan diagnosa.
7. Melakukan monitoring terhadap ternak yang sakit.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi PKL


Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan merupakan salah satu perangkat
Daerah Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Kabupaten TTS
merupakan salah satu dari 16 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Wilayah administrasi Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) terbagi atas 32
kecamatan. Setiap kecamatan di Kab. TTS telah memiliki Pusat Kesehatan Hewan
(Puskeswan) yang berada di bawah Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab.
TTS. Hal ini telah sesuai dengan Permentan No. 64 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan bahwa wilayah kerja puskeswan meliputi satu
hingga tiga kecamatan atau sesuai dengan jangakauan efektifitas pelayanan dan
tingkat efisiensi.
Dasar utama pembentukan puskeswan ialah dalam rangka memberikan
pelayanan kesehatan hewan kepada masyarakat dengan tujuan meningkatkan
kesehatan hewan sehingga produksi dan reproduksi ternak dapat ditingkatkan
secara optimal. Oleh karena itu, institusi ini merupakan ujung tombak pelayanan
kesehatan hewan terutama di lokasi padat ternak. Jumlah sumberdaya manusia di
puskeswan paling sedikit delapan orang yang terdiri atas, satu orang dokter
hewan, dua orang paramedic veteriner, empat orang tenaga teknis (asisten teknis
reproduksi, petugas pemeriksa kebuntingan, inseminator dan vaksinator) dan satu
orang staf administrasi (Ditjennak, 2010). Secara umum, sumberdaya manusia
yang tersedia di puskeswan Kab. TTS ialah dokter hewan, paramedis, Tenaga
Lapangan Lepas (TLL) dan Tenaga Harian Lepas (THL). Selain itu terdapat juga
P3M (Pembantu Petugas Peternakan Mandiri), yaitu masyarakat yang dilatih
untuk memberikan pengobatan dan vaksinasi. Tidak semua puskeswan telah
memiliki dokter hewan, tetapi dalam penentuan diagnosa, P3M, paramedis, TLL,
dan THL selalu berkonsultasi dengan dokter hewan, kecuali pada kasus yang
pernah ditangani, maka diagnosa dan penanganan dilakukan berdasarkan
pengalaman sebelumnya.
Pelayanan kesehatan hewan dimulai dari pelaporan oleh masyarakat.
Pelaporan dapat dilakukan langsung terhadap puskeswan untuk selanjutnya
dilakukan penanganan kasus, atau kepada dinas untuk selanjutnya dinas
memberikan disposisi kepada Bidang Kesehatan Hewan untuk selanjutnya
menindaklanjuti laporan kasus masyarakat.
Selain Bidang Kesehatan Hewan, terdapat 2 bidang lain yaitu Bidang
Pembibitan dan Reproduksi dan Bidang Sarana dan Prasarana. Bidang Pembibitan
dan Reproduksi bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakan teknis pembibitan dan reproduksi. Program dari bidang ini yang
dilaksanakan salama kegiatan PKL ialah inseminasi buatan pada ternak sapi.
Bidang Sarana dan Prasarana bertugas mengkoordinasikan, merumuskan dan
melaksanakan kebijakan teknis sarana dan prasarana pendukung bidang
peternakan.

4.2 Manajemen Reproduksi


Manajemen reproduksi yang baik akan mendukung keberhasilan
reproduksi yang berdampak terhadap peningkatan populasi ternak. Program yang
dijalankan oleh dinas dalam mendukung keberhasilan reproduksi ternak sapi di
Kabupaten TTS ialah inseminasi buatan (IB) dan pemeriksaan kebuntingan
(PKB). Inseminasi buatan merupakan teknologi reproduksi yang bertujuan untuk
meningkatkan populasi dan mutu genetik dari ternak. IB dilakukan melalui
pengambilan sperma dari ternak jantan dan memasukkannya pada organ kelamin
betina dengan tujuan membuahi sel telur pada saat sapi betina estrus. Oleh karena
itu, pelayanan inseminasi buatan memerlukan deteksi estrus yang akurat.
Selama masa estrus, vulva sapi betina akan terlihat membengkak, hangat
dan memerah, penuh dengan sekresi mukus transparan yang menggantung dan
mau dinaiki oleh ternak lain (Endrawati et al., 2010). Hormon estrogen memiliki
konsentrasi yang tinggi saat terjadi estrus. Estrogen akan merangsang reseptor
oksitosin pada serviks sehingga pada saat estrus serviks berelaksasi dan terbuka
(Nurfitriani et al., 2015). Oleh karena itu, mukus akan mengalir melalui serviks
dan terlihat menggantung melalui vulva.
Waktu optimal pelaksanaan IB mempertimbangkan waktu ovulasi, serta
daya hidup spermatozoa dan sel telur. Lama estrus pada sapi umumnya adalah 18-
19 jam dengan ovulasi terjadi 10-11 jam setelah estrus berakhir. Spermatozoa
dapat hidup dengan baik pada saluran reproduksi betina selama 18-24 jam,
sedangkan daya hidup sel telur untuk dapat dibuahi ialah 10-20 jam. Pelaksanaan
inseminasi yang baik dilakukan pada 12-24 jam yang dihitung dari sejak awal
berlangsungnya estrus (Pemayun et al., 2014). Dalam rumus yang sederhana, jika
sapi estrus pada pagi hari maka sapi dikawinkan pada sore hari, sedangkan jika
sapi estrus pada sore atau malam hari maka sapi dikawinkan pada pagi hari.
Pelayanan IB dimulai dengan laporan peternak kepada dokter hewan atau
petugas puskeswan apabila melihat tanda-tanda estrus pada ternaknya. Petugas
akan melakukan pemeriksaan klinis untuk mengkonfirmasi tanda-tanda estrus dan
pemeriksaan kebuntingan (PKB) yang kemudian dilanjutkan dengan inseminasi
buatan jika terkonfirmasi ternak mengalami estrus dan tidak bunting.
Bibit atau semen yang tersedia di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kab. TTS adalah bibit sapi Angus, Limousin, Simental,Wagyu, FH dan sapi Bali
yang didatangkan dari Balai Besar Insiminasi Buatan (BBIB) Singosari. Faktor
yang dipertimbangkan oleh petugas atau dokter hewan dalam pemilihan bibit
sebelum melakukan inseminasi buatan adalam Body Condition Score (BCS) dan
ukuran pelvis, oleh karena itu perlu dilakukan inspeksi dan palpasi rektal. Hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya distokia. Sapi Bali dengan BCS >3 dapat
menerima bibit Limousin, Angus dan Simental; BCS 2,5-3 dapat menerima bibit
Brahman, Angus, Bali dan Wagyu; dan BCS <2,5 dapat menerima bibit Bali dan
Wagyu.
Straw berisi semen dalam transportasi menuju lokasi IB disimpan dalam
wadah berisi nitrogen cair. Sebelum melakukan IB, straw akan di thawing dengan
dimasukkan ke dalam air selama 10-15 detik, kemudian dikeringkan
menggunakan tisu. Setelah itu straw dimasukkan ke dalam gun IB dan kemudian
ujung straw dipotong. Gun IB didorong sedikit untuk melihat ada tidaknya semen
yang keluar jika ada semen yang keluar IB pada sapi bisa dilakukan. Disposisi
semen dilakukan pada cincin serviks 2-4 atau korpus uterus tergantung pada
keterampilan inseminator.

Gambar 1. (A) Pemeriksaan kebuntingan; (B) Inseminasi buatan

3.3 Manajemen Kesehatan


Pelayanan kesehatan hewan oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Kab. TTS selama pelaksanaan PKL dilakukan di Kecamatan Amanuban
Selatan, Amanuban Barat, Mollo Utara dan Kota Soe. Pelayanan kesehatan hewan
yang dilakukan antara lain vaksinasi, pemberian vitamin dan pengobatan sesuai
dengan kasus yang ditemukan. Vaksinasi dan pemberian vitamin merupakan
bagian dari program tahunan dinas sebagai upaya preventif terhadap penyakit
septicaemia epizootica (SE).
Vaksinasi merupakan tindakan efektif sebagai bentuk perlindungan pada
hewan (Bailie, 2001). Salah satu penyakit hewan menular strategis yang mendapat
perhatian paling besar di Kab. TTS adalah septicaemia epizootica (SE). SE
merupakan penyakit menular pada ruminansia terutama ternak sapi dan kerbau
yang bersifat akut dan fatal (Benkirane dan Alwis, 2002). Vaksin yang diberikan
yaitu Septiva inaktif yang mengandung 50% suspensi P. multocida tipe B dan
50% oil adjuvant vaccine (OAV). Dosis pemberian vaksin SE pada sapi ialah
sebanyak 2 ml secara intramuskular. Vaksinasi dilakukan pada hewan yang sehat,
tidak bunting dan diberikan pada sapi berumur > 1 tahun.
Proses pembentukan antibodi pasca vaksinasi melibatkan sistem imun
tubuh. Secara umum sistem imun terbagi menjadi imunitas humoral dan imunitas
seluler. Sistem imunitas seluler melibatkan peran sel-sel imun seperti makrofag,
limfosit dan neutrophil, sedangkan sistem imun humoral melibatkan antibodi.
Antigen Pasteurella multocida merangsang sistem imun dalam bentuk fagositosis
antigen oleh makrofag. Jika dalam proses fagositosis masih ada antigen yang
belum difagositosis maka antigen akan merangsang respon imun spesifik untuk
membentuk antibodi. Antibodi diproduksi oleh organ limfoid, yaitu sumsum
tulang dan kelenjar timus, khususnya oleh sel-sel limfosit. Terdapat dua tipe
limfosit, yaitu sel limfosit B dan limfosit T. Kedua sel ini bekerja sama untuk
memproduksi antibodi (Herliani et al., 2020). Limfosit B membutuhkan bantuan
bantuan limfosit Th yang memberikan sinyal dari makrofag untuk sel B
berdiferensiasi membentuk antibodi. Pembentukan antibodi diawali oleh
makrofag yang telah memfragmentasi antigen. Kemudian fragmen antigen
dipresentasikan kepada sel limfosit Th melalui MHC II yang terletak di
permukaan marofag. Sel Th berinteraksi dengan antigen-precenting cell melalui
CD4+ dan T cell receptor (TCR), kemudian sel Th teraktivasi dan berproliferasi
serta mengeluarkan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel B yang naïf (sel
matang yang belum terpapar antigen dan belum berdiferensiasi) menjadi sel
plasma yang akan memproduksi antibodi spesifik (Hewajuli dan Dharmayanti,
2015).
Hansen et al., (2004) melaporkan bahwa imunogenisitas setelah pemberian
vaksin dapat mengganggu kesuburan hewan dan mengganggu kebuntingan.
Interaksi antara komponen sistem kekebalan tubuh induk dan hasil konsepsi imun
dapat bermanfaat atau berbahaya bagi pembentukan dan pemeliharaan
kebuntingan. Terdapat dua hipotetis yang berbeda mengenai dampak negatif
vaksinasi terhadap kesuburan. Hipotesis pertama adalah terjadinya hipertermia
yang dapat menghambat perkembangan embrio atau menghambat sekresi hormon
luteinizing dan progesteron. Hipertermia menyebabkan redistribusi aliran darah
dari saluran reproduksi ke perifer dan dapat menyebabkan penurunan aktivitas
korpus luteum. Penurunan aktivitas corpus luteum dapat menyebabkan penurunan
progesteron sehingga dapat menyebabkan kematian embrio dan kegagalan
kebuntingan. Hipotesis lain adalah bahwa inflamasi yang diinduksi oleh vaksinasi
dapat merusak perkembangan embrio atau fungsi luteal yang menyebabkan
kegagalan kebuntingan. Sitokin proinflamasi dan prostaglandin mengganggu
pemeliharaan luteal dan perkembangan embrionik (Garcia – Pintos et al., 2021).
Oleh karena itu, vaksinasi tidak dilakukan pada ternak sapi yang sedang bunting.
Ternak sedang tidak bunting dipastikan melalui anamnesa kepada peternak.
Pelaksanaan vaksinasi SE dilaksanakan 1 kali dalam satu tahun, sehingga
setiap ternak akan divaksinasi sekali dalam satu tahun. Muneer et al., (2005)
menyatakan bahwa kelompok ternak sapi dan kerbau yang divaksin dengan OAV
menimbulkan kekebalan selama satu tahun. Hal ini juga telah dilaporkan oleh
Shah et al. (1997), Muneer dan Afzal (1989, 1993), dan Mittal et al. (1979)
dikutip dari Muneer et al. (2005). Mekanisme kerja dari adjuvant adalah adjuvant
akan mendepot antigen pada lokasi injeksi sehingga antigen yang terperangkap
dalam lokasi injeksi dilepaskan secara perlahan-lahan. Hal ini menyebabkan
stimulasi terhadap sistem imun akan terjadi secara terus-menerus. Oleh karena itu
vaksin yang disertai dengan minyak adjuvant akan menghasilkan titer antibodi
yang tinggi (Awate et al., 2013).
Kendala dalam pelaksanaan vaksinasi SE oleh dinas ialah dosis vaksinasi
yang tidak memadai untuk seluruh ternak. Oleh karena itu, dinas membuat
kebijakan untuk vaksinasi dilakukan hanya untuk 30% populasi sapi di setiap
kecamatan. Hal ini menyebabkan ternak yang tidak divaksinasi menjadi lebih
rentan terhadap SE, sehingga kejadian SE di Kab. TTS terus ada.
Gambar 2. Vaksinasi dan pemberian vitamin pada ternak sapi (Dokumentasi
pribadi)

Vaksinasi pada ternak sapi dilakukan bersamaan dengan pemberian


vitamin. Vitamin yang diberikan adalah vitamin B-kompleks (1 ml/10 kg BB)
untuk meningkatkan nafsu makan dan daya tahan tubuh, serta meminimalkan
tingkat stres pada ternak (McDowell, 2000). Vitamin B-kompleks mengandung
vitamin B1, B2, B3, B5, B6, B7, B9 dan B12. Vitamin B1 bekerja dengan cara
memodulasi rangsangan saraf dan memiliki efek pada konduksi saraf. Vitamin B6
bekerja pada kanal kalsium, menghambat sintesis glutamat, meregulasi
metabolisme karbohidrat, dan menghambat hipereksitabilitas neuron. Vitamin
B12 bekerja dengan cara memicu regenerasi saraf dan/atau remyelinisasi dengan
adanya akumulasi vitamin B12 eksogen (Hendinawati, 2021). Antibodi tidak
langsung terbentuk setelah hewan divaksinasi. Oleh karena itu, kesehatan hewan
perlu tetap dijaga untuk mencapai pembentukan antibodi yang optimal. Pemberian
vitamin diikuti dengan manajemen pemeliharaan yang baik diharapkan dapat
menjaga ternak yang telah divaksin tetap sehat.

Kasus Lapangan
Suspek Septicaemia Epizootica (SE)
Bapak Mateos Tamelan di Bisuaf, Desa Noinbila, Kecamatan Mollo
Selatan melaporkan ternaknya kepada petugas dengan keluhan ternak mengalami
penurunan nafsu makan, adanya leleran dari hidung, dan pembengkakan pada
rahang bawah sehari sebelum dilaporkan. Ternak merupakan sapi jantan berusia 1
tahun 7 bulan dengan ras sapi Bali. Berdasarkan hasil anamnesa, sudah terjadi
kematian sebanyak 6 ekor ternak selama sebulan dengan gejala penurunan nafsu
makan dan ngorok. Kematian terakhir terjadi seminggu sebelum laporan ke dinas.
Di sekitar peternakan tersebut juga terjadi kematian ternak dengan gejala yang
sama. Ternak belum divaksinasi selama tahun 2022 akibat keterbatasan vaksin.
Jumlah ternak yang masih hidup ialah sebanyak 8 ekor. Ternak dipelihara secara
semi intensif.
Hasil pemeriksaan klinis menemukan ternak terlihat aktif, frekuensi
respirasi 32x/menit, bulu berdiri, terdapat pembengkakan pada daerah mandibula,
leleran dari hidung, dan nafas bau. Pemeriksaan klinis seperti pengukuran suhu
tubuh dan pulsus tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya kandang jepit.

Gambar 3. Gejala klinis ternak sapi dengan suspek SE (Dokumentasi pribadi)

Berdasarkan gejala klinis dan hasil anamnesa, ternak tersebut diduga


mengalami septicaemia epizootica (SE). SE merupakan penyakit endemik di
Provinsi NTT, Bali, dan NTB. Gejala klinis yang ditunjukkan oleh ternak ialah
anoreksia, ngorok, pembengkakan pada mandibula, adanya leleran dari hidung,
bulu berdiri dan nafas bau. Hal ini sejalan dengan laporan Agustini et al. (2014)
bahwa ternak sapi yang mengalami SE menunjukkan gejala klinis berupa ngorok,
pembengkakan pada leher, tremor dan bulu berdiri. Sedangkan hasil penelitian
Priadi dan Natalia (2000) terhadap sapi Bali yang diinfeksi Pasteurella multocida
menunjukkan gejala klinis berupa demam, lemah, adanya leleran dari hidung dan
pembengkakan pada leher yang meluas hingga sub mandibula.
Penyakit SE disebabkan oleh bakteri gram negatif Pasteurella multocida.
P. multocida dibagi menjadi berbagai serotipe dan masing-masing serotipe
menggambarkan sifat penyakitnya. Berdasarkan sistem Carter, identifikasi
serotipe dengan metode uji hemaglutinasi tidak langsung membagi P. multocida
ke dalam 5 tipe antigen kapsul, yaitu tipe A, B, D, E dan F. Penyakit ngorok yang
terdapat di Asia, termasuk Indonesia disebabkan oleh P. Multocida tipe B2 (Dewi
et al. 2020).
P. multocida merupakan flora normal pada saluran respirasi atas. Infeksi
oleh P. multocida dapat terjadi sebagai infeksi sekunder dan menurunnya daya
tahan tubuh akibat stres yang dikarenakan proses transportasi, kelaparan,
perubahan cuaca, pencampuran dengan kawanan baru, atau handling yang kurang
baik. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan peningkatan jumlah dan virulensi
bakteri pada nasofaring. Bakteri P. multocida dari saluran respirasi atas kemudian
akan berimigrasi ke saluran respirasi bagian bawah (Constable et al., 2017).
Pada kondisi normal makrofag alveolus akan membersihkan bakteri dari
alveolus melalui mekanisme fagositik dan neutrofil akan memasuki paru-paru
dalam beberapa jam pertama setelah inokulasi bakteri. Bakterimia terjadi dalam
12 jam setelah infeksi dan gejala berupa leleran dari rongga hidung dan edema
pada leher muncul 16-20 jam setelah infeksi. Gejala klinis dan perubahan patologi
dipengaruhi oleh berbagai faktor virulensi yang dimiliki bakteri. Faktor virulensi
P. multocida antara lain fimbra, polisakarida kapsul dan endotoksin
lipopolisakarida (LPS) (Priadi dan Natalia, 2000; Constable et al., 2017).
Fimbrae membantu perlekatan bakteri pada membran mukosa saluran
respirasi atas. Polisakarida yang terletak pada bagian kapsul merupakan
kompenen struktural dan faktor virulensi bakteri yang sangat penting karena
berperan sebagai sistem pertahanan bakteri terhadap sistem imun hospes, seperti
fagositosis dan protein komplemen. Endotoksin dapat menyebabkan kerusakan
langsung pada sel-sel. Endotoksin dapat berinteraksi dengan beberapa jenis tipe
sel dan mediator sistem imun humoral yang mengakibatkan meluasnya kerusakan
pada organ-organ viscera. Endotoksin dapat ditemukan pada neutrofil di dalam
alveolus, jaringan interstisial, lumen kapiler, intravascular, makrofag alveolus, sel
sel endotel dan sel-sel epitel pada alveolus. Interaksi antara endotoksin dengan
sel-sel tersebut menyebabkan kematian sel (Constable et al., 2017). Horadagoda
et al. (2002) melakukan sebuah penelitian dengan menginokulasikan endotoksin
P. multocida serotype B:2 yang telah dimurnikan secara intravena pada kerbau
dan menghasilkan perubahan klinis seperti gejala SE, yaitu peningkatan suhu
rektal, pembengkakan membran mukosa dan adanya leleran dari hidung, serta
perubahan patologi berupa terbentuknya lesi berupa kongesti, edema, hemoragi
dan nekrosis pada paru-paru, trakea, jantung, hati, limpa, ginjal dan sistem saraf.
Faktor risiko yang mendukung ternak sapi tersebut mengalami SE ialah
ternak yang belum divaksinasi, sistem pemeliharaan dan perubahan cuaca. Ternak
sapi yang tidak divaksinasi SE selama tahun 2022 hingga saat terjadinya kasus
mengakibatkan sapi tidak memiliki antibodi terhadap patogen, sehingga ternak
sapi menjadi sangat rentan terhadap serangan SE. Jumlah ternak yang mati pada
peternakan tersebut ialah 6 dari 14 ekor (43%). Tingginya angka kematian ternak
kemungkinan disebabkan karena terjadi penularan dari hewan yang terinfeksi/mati
sebelumnya. Seperti diinformasikan oleh peternak bahwa sistem pemeliharaan
ternak dilakukan secara semi ekstensif dan terdapat ternak sapi yang mati dengan
gejala yang sama, sehingga penularan dapat terjadi dari padang penggembalaan
yang tercemar ekskreta (saliva, leleran nasal, feses) atau melalui kontak langsung
antar kawanan sapi saat berada di padang penggembalaan. Penularan juga dapat
berasal dari hewan yang telah sembuh dari SE karena dapat bertindak sebagai
karier.
Terapi yang diberikan yaitu injeksi antibiotik Limoxin-200 LA sebanyak 5
ml (1 ml/10 kg BB) sebagai terapi kausatif dan Vitamin B Kompleks sebanyak 3
ml sebagai terapi suportif. Antibiotik dan vitamin diberikan pada ke-1 dan ke-3
secara intramuskular. Limoxin-200 LA mengandung bahan aktif berupa
oksitetrasiklin. Oksitetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas bersifat
bakteriostatik yang bekerja dengan cara menghambat sintesis protein bakteri
dimana oksitetrasiklin berikatan secara reversible dengan subunit 30s ribosom
bakteri, mencegah perlekatan aminoactyl-tRNA dengan mRNA kompleks
ribosom dan mencegah penambahan asam amino pada pemanjangan rantai peptide
(Plumb, 2008). Pemberian Vitamin B Kompleks bertujuan untuk membantu
metabolisme tubuh ternak, memperbaiki nafsu makan, meningkatkan daya tahan
tubuh dan mempercepat proses kesembuhan dari infeksi. Pada hari ke-3
pengobatan, ternak telah menunjukkan perubahan yang ditandai dengan
berkurangnya edema pada mandibula dan leleran dari rongga hidung, serta
meningkatnya nafsu makan.
Diagnosa banding dari penyakit SE adalah anthrax dan jembrana. Gejala
penyakit anthrax yang menyerupai SE adalah edema pada daerah wajah dan leher,
demam tinggi dan kematian mendadak. Namun, penyakit SE tidak ada perdarahan
yang keluar dari lubang kumlah. Jambrana dan SE menunjukan gejala
hipersalivasi, demam, adanya leleran dari hidung (Sugiarti et al., 2018).
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Timor Tengah Selatan
memiliki peran penting dalam mengembangkan usaha peternakan melalui
masyarakat baik perorang maupun kelompok dengan memberikan pelayanan
kesehatan ternak untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit ternak, serta
memberikan konsultasi terkait dengan manajemen pemeliharaan, manajemen
kesehatan hewan dan manajemen reproduksi.

5.2 Saran
a) Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Timor Tengah Selatan
perlu melakukan sosialisai dan terus berupaya melakukan penanganan dan
pencegahan terhadap kasus penyakit hewan menular strategis khususnya
yang ada di NTT.
b) Dinas perlu berkoordinasi dengan kepala desa terkait penggunaan dana
desa untuk penyediaan vaksin.
DAFTAR PUSTAKA

Agustini NLP, Supartika IKE, Joni Uliantara IGA. 2014. Laporan kasus
septicaemia epizootica pada sapi bali di Kabupaten Timor Tengah Utara
Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2014. BBVet Denpasar, 26 (85).
Awate S, Babiuk LA, Mutwiri G. 2013. Mechanisms of action of adjuvants.
Review article. Frontiers in Immunology, 4(114):1-10.
Bailie, L. 2001, The Development of New Vaccines against Bacillus anthracis.
UK : Journal of Applied Microbiology.
Benkirane A., De Alwis M.C.L. 2002, Haemorrhagic Septicaemia, Its
Significance, Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech, 47(8): 234-
240.
Cahyo DN, Purwaningsih H. 2022. Analisis Forecasting dan Faktor yang
Memepengaruhi Impor Daging Sapi Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan Seri 9: 457-464.
Purwokerto, 14-15 Juni 2022: Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal
Sudirman.
Constable PD, Hinchcliff KW, Done SH, Grunberg W. 2017. A Textbook of the
Diseases of Cattle, Horses, Sheep, Pigs and Goats. St. Louis: Elsevier.
Dewi ASS, Putra AAGDS, Frimananda PB, Ananda CRK, Rohmanto M, Saputro
RC. 2020. Surveilans dan monitoring septocaemia epizootica (SE) di
Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2020. Laporan Teknis Balai Besar
Veteriner Denpasar. Hal. 20-31.
Endrawati EE, Baliarti, Budhi SPS. 2010. Performans Induk Sapi Silangan
Simmental Peranakan Ongole dan Induk Sapi Peranakan Ongole dengan
Pakan Hijauan Konsentrat. Buletin Peternakan. 34(2):86-93.
Garcia-Pintos C, Riet-Correa F and Menchaca A. 2021. Effect of Foot-and-Mouth
Disease Vaccine on Pregnancy Failure in Beef Cows. Front. Vet. Sci.
8:761304. doi: 10.3389/fvets.2021.761304
Hansen PJ, Soto P, Natzke RP. 2004. Mastitis and fertility in cattle -possible
involvement of inflammation or immune activation in embryonic
mortality. AJRI. 51:294–301. doi: 10.1111/j.1600-0897.2004.00160.x
Hardinawati Adeliana. 2021. Literature Review: Pengaruh Pemberian Vitamin B
terhadap Perbaikan Klinis Pasien dengan Carpal Tunnel Syndrome.
Skripsi. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.
Herliani, Sulaiman A, Hidayat MI. 2020. Potency of cell wall protein of
Pasteurella multocida as hemorrhagic septicaemia vaccine on swamp
buffaloes. Journal of Wetlands Environmental Management, 8(1): 33-44.
Hewajuli DA, Dharmayanti NLPI. 2015. The role of non-spesific and specific
immune systems in poultry against Newcastle disease. WARTAZOA,
25(3):135-146.
Horadagoda NU, Hodgson JC, Moon GM, Wijewardana TG, Eckersall PD. 2002.
Development of a clinical syndrome resembling haemorrhagic septicaemia
in the buffalo following intravenous inoculation of Pasteurella multocida
serotype B:2 endotoxin and the role of tumour necrosis factor-alpha. Res
Vet Sci, 72(3):194-200.
McDowell, L. R. (2000). Vitamins in Animal and Human Nutrition.2nd Edition.
Iowa State University Press, USA

Muner R, Hussain M, Zahoor AB. 2005. Efficacy of oil based haemorrhagic


septicaemia vaccine: a field trial. International Journal of Agriculture and
Biology, 7(4): 571-573.
Pemayun TGO, Trilaksana IGNB, Budiasa MK. 2014. Waktu inseminasi buatan
yang tepat pada sapi Bali dan kadar progesterone pada sapi bunting. Jurnal
Veteriner, 15(3): 425-430.
Plumb DC. 2011. Veterinary Drug Handbook, 7th edition. England: BSAVA.
Priadi A dan Natalia L. 2000. Patogenesis septicaemia epizootica pada
sapi/kerbau: gejala klinis, perubahan patologis, reisolasi, deteksi
Pasteurella multocida dengan media kultur dan PCR. JITV, 5(1): 65-71.
Romano JE, Thompson JA, Kraemer DC. Wethusin ME, Forrest DW,
Tomaszweski MA. 2006. Early pregnancy diagnosis by palpation per
rectum:Influence on embryo/fetal viability in dairy cattle. Theriogenology
67 (2007) 486-493.
Sugiarti, Y., Inarsih, D., dan Hartini R. 2018. AEVI-20 Investigasi Outbreak
Jembrana Disease pada Sapi Bali di Jorong Loban Bungkuk Nagari
Tanjung Bonai Aur Kec. Sumpur Kudus Kab. Sijujung Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2016. Hemera Zoa

Anda mungkin juga menyukai