PARASITOLOGI
OLEH
KELOMPOK 1C
Mengetahui, Menyetujui,
Koordinator Ketua Program Studi Dokter Hewan
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Koasistensi Parasitologi Veteriner dengan baik serta dapat
menyelesaikan laporan ini. Laporan ini merupakan pertanggung jawaban tertulis atas
pelaksanaan Koasistensi Patologi Veteriner yang telah dilaksanakan pada tanggal 17 Mei
sampai dengan 29 Mei 2021. Pelaksanaan Koasistensi Parasitologi Veteriner ini dapat
terlaksana dengan baik dan berjalan dengan lancar berkat bantuan dan kerjasama dari
berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan pengarahan dalam
pelaksanaannya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Koasistensi Parasitologi Veteriner yang mengarahkan penulis dalam
kegiatan koasistensi dan penulisan laporan serta kritik, saran, dan segala dukungan yang telah
diberikan untuk menyempurnakan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan senang hati untuk perbaikan
lebih lanjut.
Penulis
BIODATA ANGGOTA KELOMPOK KOASISTENSI 1C
OLEH
KELOMPOK
1C
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Parasit berasal dari kata parasites yang berarti jasad yang mengambil makanan. Parasit
dapat didefinisikan sebagai hewan atau tumbuhan yang hidup di atas atau di dalam tubuh
makhluk hidup lain dan hidupnya tergantung pada makhluk hidup tersebut serta memperoleh
keuntungan darinya. Berdasarkan istilah, parasit merupakan organisme yang hidup untuk
sementara ataupun tetap di dalam atau pada permukaan organisme lain untuk mengambil
makanan sebagian atau seluruhnya dari organisme tersebut (Sandjaja, 2007).
Kambing merupakan jenis ternak yang sudah lama dibudidayakan. Memelihara kambing
tidak sulit karena pakannya cukup beragam. Berbagai jenis hijauan dapat dimakannya. Jenis
daun-daunan yang cukup digemari oleh kambing antara lain daun turi, lamtoro dan nangka.
Delapan bangsa kambing asal Indonesia adalah kambing Marica, kambing Samosir, Muara,
Kosta, Gembrong, Benggala, Kacang dan Etawa (Pamungkas et al., 2009).
Namun ada kendala yang dialami oleh peternak yaitu kambing yang terinfeksi cacing
parasit pada saluran pencernaan yang dapat mengganggu kesehatan, serta menurunkan
produktivitas, dan menyebabkan kematian. Kontaminasi cacing parasit berasal dari pakan
hijauan yang dikonsumsi dan telah terinfestasi larva parasit (Safar dan Ismid, 1989).
Parasit yang menginfeksi kambing antara lain nematoda yang menyerang saluran
intestinum endoparasit. Nematoda menghasilkan telur yang dikeluarkan bersama feses oleh
cacing betina yang jumlahnya mencapai ratusan butir per hari. Telurtelur tersebut masuk ke
dalam tubuh hospes dalam bentuk infektif melalui mulut dalam bentuk larva melalui kulit.
Gejala ini dapat dilihat melalui pengujian parasit nematoda yang ada dalam saluran
pencernaan kambing sekaligus melihat prevalensi telur cacing parasit melalui pemeriksaan
feses kambing (Garcia dan David, 1996).
Tujuan
Tujuan dilakukan pemeriksaan feses kambing menggunakan metode natif dan
pengapungan sederhana adalah untuk mengetahui jenis cacing dan telur cacing nematoda
yang menginfeksi pada kambing yang berada di Kupang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kambing
Ternak kambing merupakan salah satu alternatif bagi pemenuhan kebutuhan protein
hewani karena memiliki siklus reproduksi lebih cepat dibandingkan sapi dan kerbau. Penyakit
utama ternak kambing adalah penyakit parasiter saluran pencernaan. Penyakit parasiter dapat
menurunkan performans ternak dan kerugian ekonomi bagi peternak (Pfukenyi &
Mukaratirwa 2013). Infeksi tunggal atau campuran oleh koksidia dan cacing nematoda sangat
berdampak pada produksi, bahkan kematian ternak muda (Bowman 2009).
Salah satu penyakit parasitik yang sering menjadi permasalahan pada ternak kambing
namun sering diabaikan oleh peternak adalah penyakit cacingan yang disebabkan oleh cacing
saluran pencernaan (gastrointestinal) (Hanafiah et al., 2002). Parasit cacing saluran
pencernaan merupakan masalah utama yang menyebabkan gangguan kesehatan pada ternak
khususnya ruminansia kecil. Kambing dan domba merupakan ternak yang mudah terinfestasi
oleh parasit cacing saluran pencernaan baik secara klinis maupun subklinis di negara
berkembang (Zeryehun, 2012) dibandingkan dengan ternak yang lain karena kebiasaannya
merumput (Schoenian, 2003).
Kerugian yang ditimbulkan akibat infestasi cacing saluran pencernaan diantaranya
adalah menurunkan performa produksi dan reproduksi (Ayaz et al., 2013) disamping juga
menurunkan feed intake dan feed conversion efficiency (Kanyari et al., 2009), terutama pada
kondisi penyerapan nutrien yang tidak baik akan menghambat pertumbuhan (Terefe et al.,
2012) akan memicu terjadinya anemia dan bahkan kematian pada infestasi parasit cacing
yang berat (Hassan et al., 2011). Di samping itu, infestasi parasit cacing akan menimbulkan
lemahnya kekebalan tubuh, sehingga ternak lebih rentan terhadap infeksi penyakit pathogen
lain dan akhirnya akan menyebabkan kerugian ekonomi (Garedaghi et al., 2011).
Morfologi Kambing
Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam
: Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Upafamili : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : C. Aegagrus
Upaspesies : C. a. hircus
Endoparasit
Endoparasit merupakan parasit yang hidup di dalam tubuh hospes (inang) sehingga
penyakit yang disebabkan dapat bersifat lokal maupun sistemik. Parasit memiliki kemampuan
beradaptasi yang tinggi terhadap jaringan hospes sehingga tidak menimbulkan gejala klinis
yang serius. Endoparasit yang sering menyerang kambing adalah protozoa dan cacing
endoparasit. Parasit ini dapat menular pada manusia (Natadisastra dan Agoes, 2009).
Kerugian akibat infeksi parasit khususnya cacing pada ternak di Indonesia sangat besar.
Hal ini akibat cacing parasit menyerap zat-zat makanan, menghisap darah/cairan tubuh, atau
makan jaringan tubuh ternak. Cacing parasit juga menyebabkan kerusakan pada sel-sel epitel
usus, sehingga dapat menurunkan kemampuan usus dalam proses pencernaan dan penyerapan
zat- zat makanan serta produksi enzim-enzim yang berperan dalam proses pencernaan. Selain
itu berkumpulnya parasit dalam jumlah besar di usus atau lambung ternak dapat
menyebabkan penyumbatan atau obstruksi sehingga proses pencernaan makanan terganggu
(Akoso, 1996).
Strongyloides
Strongyloides sering disebut dengan cacing benang karena di dalam telur terdapat larva
yang melengkung mirip dengan benang. Bentuk telurnya agak lonjong dan memiliki lapisan
dinding telur yang tipis dengan panjang telur mencapai 81,27 µm serta lebar 42,06 µm
(Schad, 1989).
Telur berbentuk seperti telur cacing tambang tetapi berbentuk lonjong dan hanya
ditemukan pada feses dengan diare berat atau setelah pemberian pencahar (Natadisastra &
Agoes 2009: 84). Telur berukuran lebih kecil daripada telur cacing tambang yaitu (50--
60)x(30--35) µm, berdinding tipis dan di dalam telur terdapat embrio (Cheesbrough 2005:
215; Natadisastra & Agoes 2009: 84). Telur dikeluarkan di dalam mukosa usus oleh cacing
betina parasit, dan segera menetas menjadi larva rhabditiform (Gambar 1) (Soedarto 2009:
54).
Gambar 1. Telur Strongyloides sp. Perbesaran 12x100
(Sumber. Cheesbrough 2005: 215)
Telur Strongyloides Bentuk telur cacing Strongyloides yang ditemukan yaitu berbentuk
elips, memiliki dinding telur yang tipis serta memiliki embrio. Menurut Levine (1990), telur
cacing Strongyloides memiliki dinding telur yang tipis, berbentuk elips, dan telah berembrio
pada saat dikeluarkan.
Siklus hidup Strongyloides memiliki 2 macam kehidupan cacing yaitu hidup bebas di
tanah dan hidup sebagai parasit. Cacing dewasa yang hidup bebas terdiri atas, cacing betina
yang memiliki ukuran (0,001x50) m, mempunyai esofagus berbentuk lonjong, bulbus
esofagus di bagian posterior, ekor lurus meruncing, vulva terletak dekat pertengahan tubuh
yang merupakan muara dari uterus bagian posterior. Cacing jantan berukuran (700x45) m,
ekor melengkung ke depan, memiliki dua buah spikula kecil kecoklat-coklatan, esofagus
lonjong dilengkapi bulbus esofagus (Natadisastra & Agoes 2009: 84).
BAB III
METODELOGI
Materi
Alat
Alat yang digunakan adalah mikroskop binokuler, objek glass, cover glas, spatula atau
batang korek api, pipet tets, tabung reaksi (15 ml), rak tabung, gelas plastik, dan penyaring
teh.
Bahan
Larutan flotasi gula jenuh 500ml, larutan NaCL fisiologis, dan feses kambing.
Metode
Metode pemeriksaan yang dilakukan menggunakan metode natif :
3. Tuangkan suspensi yang sudah disaring ke dalam tabung reaksi yang sudah disiapkan
pada rak tabung.
4. Tambahkan larutan pengapung hingga meniscus isi tabung menjadi cembung.
6. Diamkan selama 3-5 menit untuk waktu telur parasit mengapung ke bagian mulut
tabung reaksi.
7. Angkat cover slip dengan arah keatas (bukan digeser) dan tempelkan pada objek
glass.
Hasil
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada sampe feses kambing ditemukan
adanya bentuk ookista strongyloid dan strongyloides.
Pembahasan
Larva infektif Strongyloides tidak memiliki selubung pelindung tubuh sehingga larva
infektif ini menjadi kurang terproteksi jika dibandingkan dengan larva infektif yang memiliki
selubung tubuh, namun Strongyloides memiliki keunikan dalam hal siklus hidupnya.
Strongyloides memiliki generasi seksual yang hidup bebas di alam (free living)
disamping memiliki perkembangan sebagai parasit di dalam tubuh hewan (Levine, 1994).
Oleh karena itu, Strongyloides memiliki dua jalur pula dalam menghasilkan telur yang akan
berkembang menjadi larva infektif dan kemudian cacing dewasa. Pertama, lewat telur yang
dihasilkan cacing dewasa di dalam saluran pencernaan inang dan kedua, lewat telur yang
dihasilkan oleh cacing dewasa yang hidup bebas di alam. Selain itu Strongyloides dapat
menginfeksi inang dengan cara menembus kulit ataupun termakan. Faktor-faktor ini dapat
menyebabkan nilai prevalensi dan intensitasnya menjadi tinggi.
Menurut Bowman (2009), sama seperti larva stadium pertama dan kedua, larva infektif
(larva stadium ketiga) juga bersifat free-living (hidup bebas di alam). Larva stadium pertama
dan kedua hidup pada feses dan memakan bakteri yang ada di dalamnya, kemudian pada
stadium ketiga larva mulai bermigrasi menuju ke lingkungan sekitarnya, misalnya vegetasi
yang berupa rumput. Infeksi dapat terjadi salah satunya apabila rumput yang terkontaminasi
oleh larva infektif dimakan oleh ternak.
Kondisi yang menyebabkan tingginya tingkat kejadian infestasi cacing saluran
pencernaan pada kambing yaitu sanitasi dan kebersihan kandang serta manajemen peternakan
yang diterapkan masih bersifat semi intensif, seperti ternak kambing memakan rumput di
padang gembalaan ataupun pakan hijauan yang diberikan saat ternak berada di kandang
sudah tercemar oleh larva infektif cacing nematoda (Purwaningsih et al., 2017).
Ternak muda lebih rentan terinfeksi parasit cacing jika dibandingkan denga ternak
dewasa karna ternak dewasa secara alami telah memiliki ketahanan tubuh terhadap parasit
cacing sehingga lebih mampu bertahan (Segara et al., 2018).
Menurut Dwinata (Larasati et al., 2017), sanitasi kandang yang yang kurang baik yaitu
kotoran yang dibiarkan menumpuk di dalam kandang akan mengundang lalat dan juga
memungkinkan larva nematoda berkembang di dalamnya. Apabila kulit ternak bersentuhan
dengan kotoran tersebut, maka beberapa larva cacing dapat masuk ke dalam tubuh ternak.
Menurut Subekti et al. (2002) dalam Sugiarti (2006), larva Bunostomum dan Strongyloides
memiliki kemampuan untuk menembus kulit inang. Pola pemberian pakan, dan faktor
lingkungan (suhu, kelemababn, dan curah hujan) dapat mempengaruhi berkembangnya
parasit saluran pencernaan pada hewan ternak.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang diamati pada feses kambing tersebut maka didapatkan
hasil yaitu adanya infeksi telur cacing strongyloid dan strongyloides. Hal ini dikarenakan
sanitasi dan kebersihan kandang serta manajemen peternakan yang diterapkan masih bersifat
semi intensif, seperti ternak kambing memakan rumput di padang gembalaan ataupun pakan
hijauan yang diberikan saat ternak berada di kandang sudah tercemar oleh larva infektif
cacing nematoda.
DAFTAR PUSTAKA
Ayaz, M.M., M.A. Raza, S. Murtaza and S. Akhtar. 2013. Epidemiological survey of
helminths of goats in southern Punjab, Pakistan. Trop. Biomed. 30: 62-70.
Bowman DD. 2009. Georgis’ Parasitology for Veterinarians. 9th ed. St. Louis, Missouri:
Saunders Elsevier
Cheesbrough, M. 2005. District laboratory practice in tropical countries. Cambridge
University Press, 2nd ed, New York : vi+888 hlm.
Datta FU, Tinenti T, Detha AIR, Foeh NDFK, Ndaong NA. 2019. Deskripsi Morfologis
Nematoda Saluran Pencernaan Kambing Kacang (Capra Hircus Aegagrus) Di Kota Kupang-
Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional VII Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana. ISBN: 978-602-6906-55-7
Garcia, L. S.,dan David. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Buku Kedokteran.
Jakarta:EGC.
Garedaghi, Y., A.P. Rezaii-Saber, A. Naghizadeh and M. Nazeri. 2011. Survey on
prevalence of sheep and goats lungworms in Tabriz abattoir, Iran. Adv. Environ. Bio. 5: 773-
775.
Hanafiah, M., Winaruddin, dan Rusli. 2002. Studi infeksi nematode gastrointestinal pada
kambing dan domba di rumah potong hewan Banda Aceh. J. Sain Vet. 20(1): 14- 182
Hassan, M.M., M.A. Hoque, S.K.M.A. Islam, S.A. Khan, K. Roy and Q. Banu. 2011. A
prevalence of parasites in Black Bengal goats in Chittagong, Bangladesh. Int. J. Livestock
Prod. 2: 40-44.
Kanyari, P., W. Kagira, and R. Mhoma. 2009. Prevalence and intensity of endoparasites
in small ruminants kept by farmers in Kisumu Municipality, Kenya. Livestock Res. Rural
Develop. 21: 12-15.
Larasati H, Hartono M, Siswanto. 2017. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Sapi
Perah Periode Juni-Juli 2016 pada Peternakan Rakyat di Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian
Peternakan Indonesia, 1(1):8-15.
Levine, 1994, Parasitologi Veteriner, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Mileski, A. and P. Myers. 2004. Capra hircus animal diversity
Web.http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/C pra hircus html.
Natadisastra, D. and R. Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran: diinjau dari organ tubuh
yang terserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Pamungkas, F.A., A. Batubara, M. Doloksaribu, and E. Sihite. 2009. Potensi Beberapa
Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Juknis (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Pfukenyi DM, Mukaratirwa S. 2013. A review of the epidemiology and control of
gastrointestinal nematode Infections in cattle in Zimbabwe. Onderstepoort Journal of
Veterinary Research. 80(1): 1-12.
Purwaningsih, Noviyanti, Sambodo P. 2017. Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada
Kambing Kacang Peranakan Ettawa Di Kelurahan Amban Kecematan Manokwari Barat
Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 5(1): 8-12.
Safar, R., D., dan Ismid. 1989. Parasitparasit intestinal yang ditemukan pada murid
Sekolah Dasar pusat kota, derah perkebunan, daerah pertanian, dan daerah nelayan
kotamadya, Padang Sumatera Barat. Prosiding Seminar Parasitologi Nasional V. P41.
Jakarta. Hal: 222.
Sandjaja B. 2007. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Schad.
Schad, G. A. 1989. Morphology and life history of Strongyloides stercoralis. In: Grove
DI, editor. Strongyloidiasis a major roundworm infection of man. London: Taylor and
Francis.
Schoenian, S. 2003. Integrated Parasite Management (IPM) in Small Ruminants.
[Internet]
Segara RB, Hartono M, Suharyati S. 2018. Pengaruh Infestasi Cacing Saluran
Pencernaan Terhadap Bobot Tubuh Kambing Saburai pada Kelompok Ternak di Kecamatan
Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Jurnal Riset dan Inovasi
Peternakan, 2(1):14-19.
Terefe, D., D. Demissie, D. Beyene and S. Haile. 2012. A prevalence study of internal
parasites infecting Boer goats at Adami Tulu agricultural research center, Ethiopia. J. Vet.
Med. Anim. Health. 4: 12-16.
Zeryehun, T. 2012. Helminthosis of sheep and goats in and around Haramaya,
Southeastern Ethiopia. J. Vet. Med. Anim. Health 4: 48-55.
LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK
PARASITOLOGI
OLEH
KELOMPOK 1C
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ternak babi merupakan salah satu bagian penting dalam menunjang perekonomian
banyak negara. Populasi babi terus meningkat dari tahun ke tahun terkait meningkatnya
konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di daerah Kupang, ternak babi merupakan
komoditi unggulan dimasyarakat. Hampir sebagian besar masyarakat Kupang memelihara
ternak babi sebagai usaha pokok maupun sampingan. Babi mempunyai peranan penting bagi
masyarakat baik sebagai penyedia sumber protein hewani, pendapatan, lapangan pekerjaan,
tabungan serta penghasil pupuk (Disnak, 1999). Babi memiliki banyak keunggulan
dibandingkan ternak lain yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,
mudah mencari sumber pakan serta nilai karkas cukup tinggi sebagai penyedia protein
hewani bagi manusia (Nugroho dan Whendrato, 1990).
Dalam kaitannya dengan usaha beternak babi, masyarakat Kupang pada umumnya
melakukan pemeliharaan dengan cara intensif atau dikandangkan. Kandang ternak babi
sendiri ada yang terbuat dari semen dan ada yang langsung beralaskan tanah. Pakan yang
diberikan berupa pakan toko atau konsentrat dan juga diberikan pakan berupa limbah rumah
tangga.
Penyakit cacing khususnya dari kelas nematoda saluran pencernaan merupakan salah
satu jenis penyakit yang dapat menginfeksi babi contohnya seperti infeksi dari Ascaris suum,
ditimbulkan dari infeksi nematoda tersebut bagi ternak babi bervariasi diantaranya seperti
terjadinya diare pada babi, gastritis, peritonitis akibat infeksi, anoreksia, penurunan berat
badan, kekurusan bahkan pada kasus berat dapat mengakibatkan kematian pada ternak babi
(Soulsby, 1982).
Tujuan
Tujuan dilakukan pemeriksaan feses babi menggunakan Mcmaster adalah untuk mengetahui
TINJAUN PUSTAKA
Nematoda
Salah satu penyakit parasiter yang sering menjadi permasalahan adalah penyakit
Beberapa cacing nematode yang sering menginfeksi usus halus babi, antara lain:
ternak dapat menyebabkan enteritis, diare, hilang nafsu makan, lemah, turunnya
pertumbuhan dan kematian (Myer and Brendemuhl, 2003). Menurut Marcos et al. (2011),
pakan harian pada ternak yang terinfeksi dan menyebabkan penurunan berat badan rata-
rata hingga 31% dan meningkatkan rasio konversi pakan ratarata hingga 17%.
Nematoda adalah cacing yang hidup bebas atau sebagai parasit. Ciri-ciri tubuhnya
tidak bersegmen dan biasanya berbentuk silinder yang memanjang serta meruncing pada
kedua ujungnya. Nematoda memiliki siklus hidup langsung, sehingga tidak memerlukan
inang antara dalam perkembangan hidupnya. Cacing betina dewasa bertelur dan
mengeluarkan telur bersamaan dengan tinja, di luar tubuh telur akan berkembang. Larva
infektif dapat masuk ke dalam tubuh babi secara aktif, tertelan atau melalui gigitan vektor
berupa rayap. Badannya dibungkus oleh lapisan kutikula yang dilengkapi dengan gelang-
gelang yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa (Kusumamihardja, 1992).
Jenis Nematoda
Strongyloid
Telur strongyle memiliki ciri khas morfologi yang dapat dibedakan dengan
telur cacing parasit lainnya. Bentuk telur cacing strongyle yang ditemukan
dalamnya terdapat sel menyerupai fase morulla seperti anggur (Zajac and
2 jenis ukuran telur. Jenis pertama memiliki ukuran panjang berkisar antara
Strongyloides
Cacing ini sering disebut dengan cacing benang karena ukurannnya yang
lebih kecil dari cacing tambang dan di dalamnya terdapat larva yang
Levine (1990) telur cacing Stronglyoides memiliki dinding telur yang tipis,
berbentuk elips dan telah berembrio pada saat dikeluarkan Cacing betina
panjangnya 3.5-6.0 mm dan berdiameter 50-65 mikron dan menghasilkan
telur berbentuk elips, berdinding tipis, dan berembrio berukuran 40-64 x 20-
Ookista
alam. Dinding Ookista terdiri dari 1 atau 2 lapis yang terdiri dari Outer layer
of oocyst wall (lapisan luar) dan Inner layer of oocyst wall (lapisan dalam)
dua sporozoit. Sporokista berbentuk tanpa badan residu (residual body) dan
ujung yang lebih kecil terdapat sumbat berbentuk bulat kecil yang mengisi
suatu lubang pada dindingnya dan agak menonjol keluar (Wea at al., 2020).
Gambar 3. Ookista dengan sporokista di dalamnya
Siklus hidup nematoda secara umum dimulai dari larva nematoda infektif yang
menjangkit ternak melalui ingesti (penelanan) bersama rumput yang dimakan oleh ternak.
Larva infektif dapat menembus kulit pada bagian kaki ketika hewan berdiri di atas tanah,
juga dapat melalui fecal contaminated area atau daerah yang terkontaminasi feses yang
mengandung telur cacing yang akan tertempel di permukaan tubuh hewan ketika
berbaring. Larva cacing yang telah tertelan atau masuk ke dalam tubuh, bergerak melalui
darah menuju ke jantung dan paru paru, kemudian ke saluran usus dan menjadi cacing
dewasa. Perkembangan larva nematoda gastrointestinal ke fase tiga atau larva infektif
dapat terjadi secara cepat selama 7-14 hari di lingkungan selama kondisi optimal (suhu
yang hangat). Ketika larva sudah mencapai fase larva infektif, larva tersebut dapat
hewan ternak, kebanyakan nematoda parasit berkembang menjadi dewasa selama 2-4
minggu. Kerusakan besar yang ditimbulkan di abomasum dan saluran usus terjadi selama
periode perkembangan larva ke tahap dewasa. Total siklus hidup dari telur menuju telur
kembali membutuhkan waktu sekitar 6-8 minggu yaitu 2-3 minggu di lingkungan dan 2-5
kuantitatif, karena selain menentukan hasil positif dan negative infeksi parasite, metode
ini juga mampu mengasilkan data jumlah telur atau ookista dalam setiao gram feces yang
dan volume subsample dalam kamar hitung yang diketahui, maka jumlah (kepadatan)
telur yang ditemukan dalam kamar hitung dapat dikonversi menjadi jumlah (kepadatan)
dalam mengencerkan feces dengan larutan pengapung menjadi suspensi. Sedangkan satu
kaca kamar hitung McMaster memiliki dua kamar hitung, masing-masing kamar memiliki
volume hitung efektif sebesar 0,15 ml. jadi total perhitungan telur parasite yang dihitung
pada kedua kamar hitung adalah 0,30 ml subsampel suspensi feces. Setelah penghitungan
dilakukan, data dikonversi untuk dinyatakan dalam Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) atau
untuk ookista dinyatakan dalam Ookista Tiap Gram Tinja (OTGT) (Winarso, 2020).
BAB III
METODOLOGI
Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Nusa Cendana. Kegiatan ini dilaksanakan pada
Materi
Alat
Bahan
Metode
4. Suspensi feces disaring dengan penyaring teh untuk mengurangi debris yang
menggangu visibilitas
hitung
7. Setelah kamar hitung diisi dengan suspensi, kamar hitung diamati di bawah
9. Kedua ruang dalam kamar hitung diamati dan hanya telur yang berada di dalam
10. Catat hasil pengamatan dan penghitungan berdasarkan tipe telur pada table
pengamatan.
Jumlah (kepadatan) telur dalam feses dinyatakan dalam Telur Tiap Gram Tinja (TTGT)
atau untuk ookista dinyatakan dalam Ookista Tiap Gram Tinja (OTGT) dengan menghitungnya
menggunakan rumus :
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 60 𝑚𝑙
= X = Jumlah telur x 100 TTGT
0,3 𝑚𝑙 2 𝑔𝑟𝑎𝑚
BAB IV
tingkat infeksi nematoda pada ternak babi. Pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan
McMaster dilakukan dengan tujuan untuk menentukan tingkat keparahan infeksi telur
cacing parasit dari hasil perhitungan telur per gram feses dengan menggunakan kamar
hitung McMaster.
cacing yang menginfeksi ternak babi paling banyak adalah dari jenis Strongyloid,
informasi bahwa ternak babi banyak yang belum pernah diberikan obat cacing
menjadi infeksi ringan jika jumlah telur 1─499 butir per gram tinja, infeksi sedang
dengan jumlah telur 500─5000 butir per gram tinja dan infeksi berat dengan jumlah telur
lebih dari 5000 butir per gram tinja ternak. Hasil evaluasi pemeriksaan sampel feses
ternak babi didapatkan hasil yaitu tingkat infeksi berada di kisaran infeksi ringan sampai
akan tetapi dapat mempengaruhi produktivitas ternak itu sendiri (Tantri et al., 2013).
Beberapa faktor yang mempengaruhi hewan terinfeksi parasit saluran pencernaan antara
lain umur, keadaan kondisi hewan serta cara pemeliharaan. Umur berpengaruh terhadap
konsentrasi imunitas alami (pasif) dan imunitas aktif yang terdapat dalam tubuh ternak
(Levine, 1990). Kadarsih dan Siwitri (2004) menjelaskan proses terjadi infestasi parasit
nematoda gastrointestinal juga sangat dipengaruhi oleh faktor umur terutama pada hewan
lebih muda. Soulsby (1986) menyatakan hewan muda akan lebih rentan terhadap infestasi
cacing di banding dengan hewan dewasa hal ini berkaitan dengan belum meningkatnya
sel goblet dalam usus yang menghambat pertumbuhan larva inektif parasit nematoda.
a. Telur Strongyloid
di dalamnya terdapat banyal sel dan berkerabang tipis. Hal ini sejalan
dengan yang ditemukan oleh (Zajac and Conboy, 2012) bahwa tipe
seperti anggur.
memiliki embrio dan memiliki dinding telur yang tipis. Cacing ini sering
disebut dengan cacing benang karena ukurannnya yang lebih kecil dari
dengan benang (Heelan dan Ingersoll, 2002). Menurut Levine (1990) telur
dan telah berembrio pada saat dikeluarkan Cacing betina panjangnya 3.5-
c. Ookista
berfungsi melindungi
ookista di alam. Dinding Ookista terdiri dari 1 atau 2 lapis yang terdiri dari
Outer layer of oocyst wall (lapisan luar) dan Inner layer of oocyst wall
Dibawah ini merupakan tabel hasil pemeriksaan feses pada ternak babi yang di ambil
sampel
BB 1 - 11 - - - -
BB 2 - 2 6 - - 2
BB 3 - 8 1 - - -
BB 4 10 - - - -
BB 6 - 25 - - - -
BB - 9 - - - -
10
BB - 23 - - - -
11
BB - 37 - - - -
14
BB - 20 - - - -
13
BB - 47 2 - - -
21
BB - 39 - - - -
27
BJ - 16 - - - 2
29
BJ - 13 - - - 33
32
BJ - 5 5 - - 8
28
BB - 5 - - - -
34
BB - 15 2 - - -
25
BB - 10 - - - -
17
BB - 17 - - - -
20
BB 5 - 7 1 - - -
BB - 13 - - - -
16
BB - 10 - - - -
30
BB - 3 1 - -
38
BB - 5 - - - -
39
BB - 7 - - - -
40
BB - 16 4 - - -
26
Bila di amati maka terlihat jika jumlah infeksi nematode gastrointestinal pada ternak
babi yang ada di Kupang termasuk dalam kategori ringan dan sedang. Pada saat turun ke
rumah warga maupun peternakan babi yang ada, terlihat jika masyarakat biasanya
menggunakan atau membuat kandang ternak babi ada yang semuanya terbuat dari semen dan
beralaskan semen dan ada juga yang terbuat dari kayu dan beralaskan tanah. Pada kandang
yang beralaskan semen diketahui jika pemilik sering membersihkan kandang dua kali sehari
yakni pada pagi dan sore hari, sedangkan untuk kandang yang beralaskan langsung dengan
tanah diketahui juga jika pemilik membersihkannya satu kali saja dalam sehari. Tingkah laku
ternak babi yang diamati pada saat dilakukan pengambilan sampel feses ini yaitu ternak
kadang sering berbaring di sekitar feses, sehingga menjadi faktor yang dapat meningkatkan
peluang terjadinya infeksi cacing nematoda. Hal ini karena kotoran yang dibiarkan
menumpuk didalam kandang akan mengundang lalat dan juga memungkinkan larva nematoda
berkembang didalamnya. Apabila kulit ternak bersentuhan dengan kotoran tersebut, maka
beberapa larva cacing dapat masuk ke dalam tubuh ternak. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang di lakukan oleh Purwathiningsih et al., (2016) bahwa prevelensi kondisi
cacingan pada ternak tidak di pengaruhi oleh jenis kandang tetapi dipengaruhi oleh sanitasi
kandang. Hal ini dikarenakan larva cacing seperti Bonustomum dan Strongyloides memiliki
kemampuan untuk menembus kulit inang Subekti et al. (2002) dalam Sugiarti (2006).
Kerugian yang dapat ditimbulkan dari kecacingan antara lain penurunan produktivitas
ternak, penurunan daya kerja, penurunan berat badan 6-12 kg per tahun (Gasbarre et al.,
2001). Menurut Levine (1990) bahwa infeksi cacing saluran pencernaan seperti perlu
berakibat fatal pada ternak. Cacing di saluran pencernaan akan menghisap nutrisi, darah dan
cairan tubuh hingga dapat memakan jaringan tubuh, sehingga infestasi cacing didalam tubuh
akan menurunkan bobot badan dan menghambat pertumbuhan badan dan menurunkan daya
tahan tubuh terhadap penyakit lain, dan menyebabkan sumbatan (obstruksi) saluran dalam
usus (Imbang, 2003). Kerugian karena infestasi cacing menurut Ditjennak (2010) mencapai
PENUTUP
1. Kesimpulan
didapatkan bahwa semua sampel feses yang diambil positif terdapat telur nematoda di
dalam feses.
2. Saran
Heelan JS, Ingersoll FW. 2002. Essentials of Parasitology. US: Delmar Thomson Learning: p.
39-40.
Disnak. 1999. Pemeliharaan Babi, Bagian Proyek Pembinaan Pembangunan Peternakan Bali,
Dinas Peternakan Propinsi DaTi I Bali.
Gasbarre LC, Leighton EA, Stout WL. 2001. Gastrointestinal Nematodes of Cattle in The
Northeastern US: Results of a Producer Survey. J. Veterinary Parasitology.
Kadarsih and Siwitri. (2004). Performans Sapi Bali Berdasarkan Ketinggian Tempat di Daerah
Transmigrasi Bengkulu: Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia vol. 6, No. 1.
Kaufmann, D.J. 1996. Parasitic Infection of Domestic Animal. ILRI. Germany.
Kuntari, T. 2008. Daya Antihelmintik Daun Rebusan Ketepeng (Cassia alata L) Terhadap
Cacing Tambang Anjing in Vitro, Jurnal Logika ed 5. Yogyakarta, Universitas Islam
Indonesia.
Levine ND. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : UGM University Press.
Nahampun W.S. 2019. Identifikasi dan Prevelensi Endoparasit Pada Feses Babi ( Sus sp.) Di
Peternakan Babi Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.
Nugroho E dan Whendrato, I.1990. Beternak Babi. Eka Offset Semarang.
Purwathiningsih, Edy S, Muridi Q. 2016. Perbandingan Prevalensi dan Infeksi Parasit Nematoda
pada Sapi Potong Antara Model Kandang Berlantai Beton dengan Berlantai Tanah Di
Kecamatan Tuban Tahun 2016. Jurnal Peternakan Unisla.
Sugiarti, 2006. Identifikasi Nematoda Gastrointestinal pada Banteng (Bos javanicus d’ Alton) di
Taman Nasional Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi Melalui Pemeriksaan Feses. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.
Soulsby E.J.L. (1986). Helminth, Arthropod and Protozoa of Domesticated Animals. 7th ed. The
English Language Book Society and Bailliere Tindall. London.
Tantri N, Setyawati RT, Khotimah S. 2013.Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada
Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat,
Jurnal Protobiont. Vol 2(2): 102-106.
Williams CJ, Loyacano FA. 2001. Internal Parasites of Cattle in Louisiana and Other Southern
States, Louisiana Agricultural Experiment Station.
Wea R. Ninu AY. Leonak SPP. 2020. Optimalisasi Peternakan Babi Bibit Unggul (Persilangan
Landrace dan Duroc) Bagi Peternak Lokal Di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pengabdian
Kepada Masyarakat.
Zajac AZ and Conboy GA. 2012. Veterinary Clinical Parasitology.8th ed,WileyBlackwel, USA.
\
LAMPIRAN
LAPORAN KOASISTENSI PARASITOLOGI
IDENTIFIKASI TREMATODA PADA FESES SAPI DENGAN METODE
FILTRASI BERTINGKAT
OLEH :
KELOMPOK KOAS 1C
MARIA TRIFONIA KADHA GEO, S.KH 2009020012
MARIA SERLYANTI APONG, S.KH 2009020013
ALFREDO J.D. NIRON, S.KH 2009020014
NILLA SARI NGADI, S.KH 2009020016
YUSTINA INDRAWATI, S.KH 2009020018
MONYCHA BUMBUNGAN, S.KH 2009020020
PETRICZIA EVARIZTA GANA, S.KH 2009020033
MARIANA ELISA MANCE, S.KH 2009020034
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak sapi bali merupakan sapi asal Indonesia yang tersebar luas
cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan feses oleh ternak sapi terinfeksi
akan menjadi sumber penularan bagi ternak ruminansia yang sehat atau
sulit dilakukan. Penyakit akibat cacing parasit dapat disebabkan dari beberapa
golongan antara lain nematode, cestoda dan trematoda. Jenis trematoda yang
Schistosoma sp.
antibodi sehingga ternak lebih peka terhadap penyakit yang lain. Jika kejadian
peternak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai berat badan
tertentu sesuai dengan target yang diinginkan dan peternak mengeluarkan
Tujuan
filtrasi bertingkat.
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
Sapi Bali
Sapi bali adalah sumber daya genetik asli Indonesia yang merupakan hasil
domestikasi dari banteng liar. Sapi bali memiliki keunggulan dibandingkan dengan
sapi lainya yaitu memiliki fertilitas yang baik, presentase karkas lebih tinggi
dibandingkan dengan sapi potong lainya (Suwiti et al., 2013). Nusa Tenggara
Timur sebagai wilayah sumber ternak nasional merupakan salah satu wilayah
penghasil ternak sapi bali yang potensial di Wilayah Indonesia Timur. Sistem
pemeliharaan sapi bali secara ekstensif yang dilakukan oleh peternak yaitu ternak
ini tentu tidak terlepas dari usaha-usaha pencegahan dan penanganan berbagai
kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit
Trematoda
pipih, melebar ke anterior. Mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut yang
besarnya hampir sama. Cacing trematoda pada umumnya memerlukan media air
dalam siklus hidupnya. Telur cacing akan menetas di air dan berkembang menjadi
mirasidium, kemudian menginfeksi hospes perantara pertama, lalu berkembang
menjadi serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh hospes dan berenang di air untuk
bentuk infektif (metaserkaria). Keong air tawar merupakan hewan yang berperan
sebagai hospes perantara pertama, dan tanaman air sebagai hospes perantara
kedua. Manusia maupun hewan ternak dapat terinfeksi dengan memakan tanaman
air atau meminum air yang mengandung metaserkaria (Hariara et al., 2017).
bertingkat dengan menggunakan beberapa ukuran mesh yaitu pada ukuran mesh
400 μm, 100 μm, dan 45 μm. Mesh 400 μm digunakan untuk menyaring debris
yang besar, mesh 100 μm menyaring debris yang kecil dan pada mesh 45 μm
meloloskan debris yang kecil termasuk ookista, telur nematode, dan cestoda, bila
ada. Namun, akan menahan telur trematoda karena telur trematoda memiliki Berat
Jenis yang lebih besar dari Berat Jenis Pelarut (Winarso, 2018). Spesies Tremoda
Fasciola sp
sapi, antara lain Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica yang menyebabkan
memiliki bagian punggung dan bawah tubuh cacing hati atau cacing daun ini
berbentuk pipih, tidak beruas, berwarna kelabu dan berbentuk seperti daun yang
membulat di bagian
depan dan ekor (Subronto dan Tjahajati, 2001). Morfologi telur Fasciola sp
yang memiliki kerabang telur yang tipis, berbentuk ovoid dan terdapat
Parampistomum sp.
berbentuk pipih, memiliki batil isap dibagian perut (ventral sucker) yang disebut
asetabulum, dan batil isap kecil (oral sucker) dibagian mulut. Telur
menyerap warna apabila diwarnai dengan methylen blue sehingga akan nampak
halus dan akan bermigrasi kedalam rumen dan retikulum setelah dewasa. Daerah
METODOLOGI
Materi
Alat
(400µm, 100µm, dan 45µm), hand sprayer, penyaring teh, cawan petri.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan feses sapi yaitu air dan feses
sapi.
Metode
dalam gelas.
3. Saring dengan penyaring teh, tampung filtrat dan buanglah debris yang
tersaring.
4. Susun filter bertingkat sehingga fungsi penyaringan pertama adalah
6. Gunakan hand spayer yang berisi air bersih untuk membantu mendorong
7. Dengan filtrasi tersebut, telur trematoda akan tertahan pada filter mesh
45µm.
sprayer).
10. Amati endapat di mikroskop stereo untuk melihat adanya telur trematoda.
Hasil
Tabel 1. Hasil pemeriksaan feses sapi dengan metode filtrasi bertingkat
Kode Jenis Kelamin Status Infeksi Trematoda (+/-)
Sampel Fasciola Paramphistomum
SB01 Betina + -
SB02 Betina - +
SJ03 Jantan - -
SB04 Betina - +
SB05 Betina + -
SB06 Betina - -
SB07 Betina - -
SB08 Betina - -
SB09 Betina - +
SB10 Betina - -
SJ11 Jantan - -
SB12 Betina + -
SB13 Betina - -
SB14 Betina - -
SB15 Betina - +
SJ16 Jantan - -
Binilaka, Nasipanaf dan Baumata menujukkan adanya hasil positif pada 7 sampel
feses yang diambil ( Tabel 1). Pada pemeriksaan dan hasil identifikasi terdapat 3
Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan endoparasit dengan metode filtrasi
bertingkat didapatkan hasil positif telur Fasciola (Gambar 1) dan positif telur
Paramphistomum (Gambar 3). Hasil identifikasi ukuran panjang dan lebar, warna
dan bentuk telur, ditemukan telur yang berbentuk oval, berdinding tipis, memiliki
operkulum dan berwarna keemasan. Berdasarkan ciri tersebut telur yang
al, (2018) bahwa telur Fasciola sp memiliki warna kuning keemasan, berbentuk
warna lebih jernih, berbentuk oval dengan ukuran 120 x 70 µm (Purwanta et al,
2009).
Fasciola. Hal ini diduga intensitas infeksi sedikit rendah karena kondisi cuaca di
dapat juga dipengaruhi oleh faktor lainnya yaitu pakan yang diberikan dimana
mengandung metaserkaria (bentuk infektif Fasciola). Hal ini jika dilihat dari
sistem pemeliharaan secara semi intensif pada sapi bali yang ada di Binilaka,
Nasipanaf dan Baumata dengan sistem pemeliharaan ini, sapi dikeluarkan pada
waktu pagi dan dimasukkan kembali pada waktu sore. Sehingga memungkinkan
dapat terjadi pada musim hujan maupun musim kemarau. Namun tingkat resiko
lebih tinggi dapat terjadi pada musim hujan diduga berkaitan dengan ketersediaan
air, vegetasi dan kelembaban yang diperlukan oleh siput inang antara dan
metaserkaria untuk tumbuh dan berkembang. Namun pada hasil negatif untuk
sampel yang diperiksa dapat terjadi karena suhu dan curah hujan di Binilaka,
Jika dilihat dari sistem pemeliharaan secara semi intensif pada sapi bali
yang ada di Binilaka, Nasipanaf dan Baumata dimana sistem pemeliharaan ini,
sapi dikeluarkan pada waktu pagi dan dimasukkan kembali pada waktu sore. Sapi
dibiarkan mencari makan sendiri disekitar lingkungan pemeliharaan. Hal ini yang
menjadi peluang bagi telur cacing untuk berkembang biak salah satunya ialah
Paramphistomum yang ditemukan pada hasil pengamatan dan identifikasi. Infeksi
hisap karena pada saat menempel, cacing ini menghisap makanan berupa jaringan
Paramphistomum sp pada sapi yang ditemukan diduga masih dalam jumlah sedikit
sehingga tidak menimbulkan gejala klinis pada ternak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Darmin et al,.(2016) bahwa sapi dengan BCS optimum (5-7) mengalami
tergolong dalam infeksi ringan sehingga akibat yang ditimbulkan belum terlihat.
Selain itu menurut Javed et al. (2006) menyatakan bahwa ternak yang terinfeksi
gejala klinis.
pagi serta penggembalaan dilakukan seharian dari pagi sampai sore yang
sebaiknya tidak digembalakan terlalu pagi karena pada waktu tersebut larva cacing
biasanya dominan berada di permukaan rumput yang masih basah. Guna memutus
terinfestasi cacing
Paramphistomum sp ., rata-rata digembalakan di kebun atau sawah dan terdapat
dilakukan pada tempat yang basah atau lembab serta terdapat siput dan dapat juga
masih lembab dan masih banyak mengandung metasekaria. Siklus hidup dari
parasit cacing ini bergantung pada lingkungan yang cocok, terutama kelembapan
tinggi dan temperatur yang memadai (±27°C). Kondisi tersebut diperlukan untuk
dan juga untuk berkembangnya siput yang digunakan sebagai inang antara. Proses
dimulai dari metaserkaria yang masuk ke dalam saluran pencernaan, di usus halus
akan berkembang menjadi cacing muda dan dapat menimbulkan kerusakan pada
mukosa usus karena gigitan sebelumnya. Cacing muda menembus mukosa sampai
hemoragik pada mukosa. Akibatnya dapat timbul radang akut pada usus dan
mukosa dan bermigrasi ke rumen kira-kira dalam jangka satu bulan setelah
infestasi.
BAB V
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari 16 sampel feses sapi yang diambil
intensitas sedang hal ini didukung oleh sistem pemeliharan yang digunakan yaitu
Saran
pada peternak dan pemberian obat cacing agar dapat menurunkan tingkat kejadian
OLEH
KELOMPOK 1C
1. MARIA TRIFONIA KADHA GEO, S.KH 2009020012
2. MARIA SERLYANTI APONG, S.KH 2009020013
3. ALFREDO J.D. NIRON, S.KH 2009020014
4. NILLA SARI NGADI, S.KH 2009020016
5. YUSTINA INDRAWATI, S.KH 2009020018
6. MONYCHA BUMBUNGAN, S.KH 2009020020
7. PETRICZIA EVARIZTA GANA, S.KH 2009020021
8. MARIANA ELISA MANCE, S.KH 2009020034
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Parasit berasal dari kata parasites yang berarti jasad yang mengambil makanan. Parasit
dapat didefinisikan sebagai hewan atau tumbuhan yang hidup di atas atau di dalam tubuh
makhluk hidup lain dan hidupnya tergantung pada makhluk hidup tersebut serta memperoleh
keuntungan darinya. Berdasarkan istilah, parasit merupakan organisme yang hidup untuk
sementara ataupun tetap di dalam atau pada permukaan organisme lain untuk mengambil
makanan sebagian atau seluruhnya dari organisme tersebut (Sandjaja, 2007).
Kambing merupakan jenis ternak yang sudah lama dibudidayakan. Memelihara kambing
tidak sulit karena pakannya cukup beragam. Berbagai jenis hijauan dapat dimakannya. Jenis
daun-daunan yang cukup digemari oleh kambing antara lain daun turi, lamtoro dan nangka.
Delapan bangsa kambing asal Indonesia adalah kambing Marica, kambing Samosir, Muara,
Kosta, Gembrong, Benggala, Kacang dan Etawa (Pamungkas et al., 2009).
Namun ada kendala yang dialami oleh peternak yaitu kambing yang terinfeksi cacing
parasit pada saluran pencernaan yang dapat mengganggu kesehatan, serta menurunkan
produktivitas, dan menyebabkan kematian. Kontaminasi cacing parasit berasal dari pakan
hijauan yang dikonsumsi dan telah terinfestasi larva parasit (Safar dan Ismid, 1989).
Parasit yang menginfeksi kambing antara lain nematoda yang menyerang saluran
intestinum endoparasit. Nematoda menghasilkan telur yang dikeluarkan bersama feses oleh
cacing betina yang jumlahnya mencapai ratusan butir per hari. Telurtelur tersebut masuk ke
dalam tubuh hospes dalam bentuk infektif melalui mulut dalam bentuk larva melalui kulit.
Gejala ini dapat dilihat melalui pengujian parasit nematoda yang ada dalam saluran
pencernaan kambing sekaligus melihat prevalensi telur cacing parasit melalui pemeriksaan
feses kambing (Garcia dan David, 1996).
Tujuan
Tujuan dilakukan pemeriksaan feses kambing menggunakan metode natif dan
pengapungan sederhana adalah untuk mengetahui jenis cacing dan telur cacing nematoda
yang menginfeksi pada kambing yang berada di Kupang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kambing
Ternak kambing merupakan salah satu alternatif bagi pemenuhan kebutuhan protein
hewani karena memiliki siklus reproduksi lebih cepat dibandingkan sapi dan kerbau. Penyakit
utama ternak kambing adalah penyakit parasiter saluran pencernaan. Penyakit parasiter dapat
menurunkan performans ternak dan kerugian ekonomi bagi peternak (Pfukenyi &
Mukaratirwa 2013). Infeksi tunggal atau campuran oleh koksidia dan cacing nematoda sangat
berdampak pada produksi, bahkan kematian ternak muda (Bowman 2009).
Salah satu penyakit parasitik yang sering menjadi permasalahan pada ternak kambing
namun sering diabaikan oleh peternak adalah penyakit cacingan yang disebabkan oleh cacing
saluran pencernaan (gastrointestinal) (Hanafiah et al., 2002). Parasit cacing saluran
pencernaan merupakan masalah utama yang menyebabkan gangguan kesehatan pada ternak
khususnya ruminansia kecil. Kambing dan domba merupakan ternak yang mudah terinfestasi
oleh parasit cacing saluran pencernaan baik secara klinis maupun subklinis di negara
berkembang (Zeryehun, 2012) dibandingkan dengan ternak yang lain karena kebiasaannya
merumput (Schoenian, 2003).
Kerugian yang ditimbulkan akibat infestasi cacing saluran pencernaan diantaranya
adalah menurunkan performa produksi dan reproduksi (Ayaz et al., 2013) disamping juga
menurunkan feed intake dan feed conversion efficiency (Kanyari et al., 2009), terutama pada
kondisi penyerapan nutrien yang tidak baik akan menghambat pertumbuhan (Terefe et al.,
2012) akan memicu terjadinya anemia dan bahkan kematian pada infestasi parasit cacing
yang berat (Hassan et al., 2011). Di samping itu, infestasi parasit cacing akan menimbulkan
lemahnya kekebalan tubuh, sehingga ternak lebih rentan terhadap infeksi penyakit pathogen
lain dan akhirnya akan menyebabkan kerugian ekonomi (Garedaghi et al., 2011).
Morfologi Kambing
Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Upafamili : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : C. Aegagrus
Upaspesies : C. a. hircus
Endoparasit
Endoparasit merupakan parasit yang hidup di dalam tubuh hospes (inang) sehingga
penyakit yang disebabkan dapat bersifat lokal maupun sistemik. Parasit memiliki kemampuan
beradaptasi yang tinggi terhadap jaringan hospes sehingga tidak menimbulkan gejala klinis
yang serius. Endoparasit yang sering menyerang kambing adalah protozoa dan cacing
endoparasit. Parasit ini dapat menular pada manusia (Natadisastra dan Agoes, 2009).
Kerugian akibat infeksi parasit khususnya cacing pada ternak di Indonesia sangat besar.
Hal ini akibat cacing parasit menyerap zat-zat makanan, menghisap darah/cairan tubuh, atau
makan jaringan tubuh ternak. Cacing parasit juga menyebabkan kerusakan pada sel-sel epitel
usus, sehingga dapat menurunkan kemampuan usus dalam proses pencernaan dan penyerapan
zat- zat makanan serta produksi enzim-enzim yang berperan dalam proses pencernaan. Selain
itu berkumpulnya parasit dalam jumlah besar di usus atau lambung ternak dapat
menyebabkan penyumbatan atau obstruksi sehingga proses pencernaan makanan terganggu
(Akoso, 1996).
Strongyloides
Strongyloides sering disebut dengan cacing benang karena di dalam telur terdapat larva
yang melengkung mirip dengan benang. Bentuk telurnya agak lonjong dan memiliki lapisan
dinding telur yang tipis dengan panjang telur mencapai 81,27 µm serta lebar 42,06 µm
(Schad, 1989).
Telur berbentuk seperti telur cacing tambang tetapi berbentuk lonjong dan hanya
ditemukan pada feses dengan diare berat atau setelah pemberian pencahar (Natadisastra &
Agoes 2009: 84). Telur berukuran lebih kecil daripada telur cacing tambang yaitu (50--
60)x(30--35) µm, berdinding tipis dan di dalam telur terdapat embrio (Cheesbrough 2005:
215; Natadisastra & Agoes 2009: 84). Telur dikeluarkan di dalam mukosa usus oleh cacing
betina parasit, dan segera menetas menjadi larva rhabditiform (Gambar 1) (Soedarto 2009:
54).
Gambar 1. Telur Strongyloides sp. Perbesaran 12x100
(Sumber. Cheesbrough 2005: 215)
Telur Strongyloides Bentuk telur cacing Strongyloides yang ditemukan yaitu berbentuk
elips, memiliki dinding telur yang tipis serta memiliki embrio. Menurut Levine (1990), telur
cacing Strongyloides memiliki dinding telur yang tipis, berbentuk elips, dan telah berembrio
pada saat dikeluarkan.
Siklus hidup Strongyloides memiliki 2 macam kehidupan cacing yaitu hidup bebas di
tanah dan hidup sebagai parasit. Cacing dewasa yang hidup bebas terdiri atas, cacing betina
yang memiliki ukuran (0,001x50) m, mempunyai esofagus berbentuk lonjong, bulbus
esofagus di bagian posterior, ekor lurus meruncing, vulva terletak dekat pertengahan tubuh
yang merupakan muara dari uterus bagian posterior. Cacing jantan berukuran (700x45) m,
ekor melengkung ke depan, memiliki dua buah spikula kecil kecoklat-coklatan, esofagus
lonjong dilengkapi bulbus esofagus (Natadisastra & Agoes 2009: 84).
BAB III
METODELOGI
Materi
Alat
Alat yang digunakan adalah mikroskop binokuler, objek glass, cover glas, spatula atau
batang korek api, pipet tets, tabung reaksi (15 ml), rak tabung, gelas plastik, dan penyaring
teh.
Bahan
Larutan flotasi gula jenuh 500ml, larutan NaCL fisiologis, dan feses kambing.
Metode
Metode pemeriksaan yang dilakukan menggunakan metode natif :
3. Tuangkan suspensi yang sudah disaring ke dalam tabung reaksi yang sudah disiapkan
pada rak tabung.
4. Tambahkan larutan pengapung hingga meniscus isi tabung menjadi cembung.
6. Diamkan selama 3-5 menit untuk waktu telur parasit mengapung ke bagian mulut
tabung reaksi.
7. Angkat cover slip dengan arah keatas (bukan digeser) dan tempelkan pada objek
glass.
Hasil
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada sampe feses kambing ditemukan
adanya bentuk ookista strongyloid dan strongyloides.
Pembahasan
Larva infektif Strongyloides tidak memiliki selubung pelindung tubuh sehingga larva
infektif ini menjadi kurang terproteksi jika dibandingkan dengan larva infektif yang memiliki
selubung tubuh, namun Strongyloides memiliki keunikan dalam hal siklus hidupnya.
Strongyloides memiliki generasi seksual yang hidup bebas di alam (free living)
disamping memiliki perkembangan sebagai parasit di dalam tubuh hewan (Levine, 1994).
Oleh karena itu, Strongyloides memiliki dua jalur pula dalam menghasilkan telur yang akan
berkembang menjadi larva infektif dan kemudian cacing dewasa. Pertama, lewat telur yang
dihasilkan cacing dewasa di dalam saluran pencernaan inang dan kedua, lewat telur yang
dihasilkan oleh cacing dewasa yang hidup bebas di alam. Selain itu Strongyloides dapat
menginfeksi inang dengan cara menembus kulit ataupun termakan. Faktor-faktor ini dapat
menyebabkan nilai prevalensi dan intensitasnya menjadi tinggi.
Menurut Bowman (2009), sama seperti larva stadium pertama dan kedua, larva infektif
(larva stadium ketiga) juga bersifat free-living (hidup bebas di alam). Larva stadium pertama
dan kedua hidup pada feses dan memakan bakteri yang ada di dalamnya, kemudian pada
stadium ketiga larva mulai bermigrasi menuju ke lingkungan sekitarnya, misalnya vegetasi
yang berupa rumput. Infeksi dapat terjadi salah satunya apabila rumput yang terkontaminasi
oleh larva infektif dimakan oleh ternak.
Kondisi yang menyebabkan tingginya tingkat kejadian infestasi cacing saluran
pencernaan pada kambing yaitu sanitasi dan kebersihan kandang serta manajemen peternakan
yang diterapkan masih bersifat semi intensif, seperti ternak kambing memakan rumput di
padang gembalaan ataupun pakan hijauan yang diberikan saat ternak berada di kandang
sudah tercemar oleh larva infektif cacing nematoda (Purwaningsih et al., 2017).
Ternak muda lebih rentan terinfeksi parasit cacing jika dibandingkan denga ternak
dewasa karna ternak dewasa secara alami telah memiliki ketahanan tubuh terhadap parasit
cacing sehingga lebih mampu bertahan (Segara et al., 2018).
Menurut Dwinata (Larasati et al., 2017), sanitasi kandang yang yang kurang baik yaitu
kotoran yang dibiarkan menumpuk di dalam kandang akan mengundang lalat dan juga
memungkinkan larva nematoda berkembang di dalamnya. Apabila kulit ternak bersentuhan
dengan kotoran tersebut, maka beberapa larva cacing dapat masuk ke dalam tubuh ternak.
Menurut Subekti et al. (2002) dalam Sugiarti (2006), larva Bunostomum dan Strongyloides
memiliki kemampuan untuk menembus kulit inang. Pola pemberian pakan, dan faktor
lingkungan (suhu, kelemababn, dan curah hujan) dapat mempengaruhi berkembangnya
parasit saluran pencernaan pada hewan ternak.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang diamati pada feses kambing tersebut maka didapatkan
hasil yaitu adanya infeksi telur cacing strongyloid dan strongyloides. Hal ini dikarenakan
sanitasi dan kebersihan kandang serta manajemen peternakan yang diterapkan masih bersifat
semi intensif, seperti ternak kambing memakan rumput di padang gembalaan ataupun pakan
hijauan yang diberikan saat ternak berada di kandang sudah tercemar oleh larva infektif
cacing nematoda.
DAFTAR PUSTAKA
Ayaz, M.M., M.A. Raza, S. Murtaza and S. Akhtar. 2013. Epidemiological survey of
helminths of goats in southern Punjab, Pakistan. Trop. Biomed. 30: 62-70.
Bowman DD. 2009. Georgis’ Parasitology for Veterinarians. 9th ed. St. Louis, Missouri:
Saunders Elsevier
Cheesbrough, M. 2005. District laboratory practice in tropical countries. Cambridge
University Press, 2nd ed, New York : vi+888 hlm.
Datta FU, Tinenti T, Detha AIR, Foeh NDFK, Ndaong NA. 2019. Deskripsi Morfologis
Nematoda Saluran Pencernaan Kambing Kacang (Capra Hircus Aegagrus) Di Kota Kupang-
Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional VII Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana. ISBN: 978-602-6906-55-7
Garcia, L. S.,dan David. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Buku Kedokteran.
Jakarta:EGC.
Garedaghi, Y., A.P. Rezaii-Saber, A. Naghizadeh and M. Nazeri. 2011. Survey on
prevalence of sheep and goats lungworms in Tabriz abattoir, Iran. Adv. Environ. Bio. 5: 773-
775.
Hanafiah, M., Winaruddin, dan Rusli. 2002. Studi infeksi nematode gastrointestinal pada
kambing dan domba di rumah potong hewan Banda Aceh. J. Sain Vet. 20(1): 14- 182
Hassan, M.M., M.A. Hoque, S.K.M.A. Islam, S.A. Khan, K. Roy and Q. Banu. 2011. A
prevalence of parasites in Black Bengal goats in Chittagong, Bangladesh. Int. J. Livestock
Prod. 2: 40-44.
Kanyari, P., W. Kagira, and R. Mhoma. 2009. Prevalence and intensity of endoparasites
in small ruminants kept by farmers in Kisumu Municipality, Kenya. Livestock Res. Rural
Develop. 21: 12-15.
Larasati H, Hartono M, Siswanto. 2017. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Sapi
Perah Periode Juni-Juli 2016 pada Peternakan Rakyat di Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian
Peternakan Indonesia, 1(1):8-15.
Levine, 1994, Parasitologi Veteriner, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Mileski, A. and P. Myers. 2004. Capra hircus animal diversity
Web.http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/C pra hircus html.
Natadisastra, D. and R. Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran: diinjau dari organ tubuh
yang terserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Pamungkas, F.A., A. Batubara, M. Doloksaribu, and E. Sihite. 2009. Potensi Beberapa
Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Juknis (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Pfukenyi DM, Mukaratirwa S. 2013. A review of the epidemiology and control of
gastrointestinal nematode Infections in cattle in Zimbabwe. Onderstepoort Journal of
Veterinary Research. 80(1): 1-12.
Purwaningsih, Noviyanti, Sambodo P. 2017. Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada
Kambing Kacang Peranakan Ettawa Di Kelurahan Amban Kecematan Manokwari Barat
Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 5(1): 8-12.
Safar, R., D., dan Ismid. 1989. Parasitparasit intestinal yang ditemukan pada murid
Sekolah Dasar pusat kota, derah perkebunan, daerah pertanian, dan daerah nelayan
kotamadya, Padang Sumatera Barat. Prosiding Seminar Parasitologi Nasional V. P41.
Jakarta. Hal: 222.
Sandjaja B. 2007. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Schad.
Schad, G. A. 1989. Morphology and life history of Strongyloides stercoralis. In: Grove
DI, editor. Strongyloidiasis a major roundworm infection of man. London: Taylor and
Francis.
Schoenian, S. 2003. Integrated Parasite Management (IPM) in Small Ruminants.
[Internet]
Segara RB, Hartono M, Suharyati S. 2018. Pengaruh Infestasi Cacing Saluran
Pencernaan Terhadap Bobot Tubuh Kambing Saburai pada Kelompok Ternak di Kecamatan
Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Jurnal Riset dan Inovasi
Peternakan, 2(1):14-19.
Terefe, D., D. Demissie, D. Beyene and S. Haile. 2012. A prevalence study of internal
parasites infecting Boer goats at Adami Tulu agricultural research center, Ethiopia. J. Vet.
Med. Anim. Health. 4: 12-16.
Zeryehun, T. 2012. Helminthosis of sheep and goats in and around Haramaya,
Southeastern Ethiopia. J. Vet. Med. Anim. Health 4: 48-55.
LAPORAN KOASISTENSI PARASITOLOGI
IDENTIFIKASI TREMATODA PADA FESES SAPI DENGAN METODE
FILTRASI BERTINGKAT
OLEH :
KELOMPOK KOAS 1C
MARIA TRIFONIA KADHA GEO, S.KH 2009020012
MARIA SERLYANTI APONG, S.KH 2009020013
ALFREDO J.D. NIRON, S.KH 2009020014
NILLA SARI NGADI, S.KH 2009020016
YUSTINA INDRAWATI, S.KH 2009020018
MONYCHA BUMBUNGAN, S.KH 2009020020
PETRICZIA EVARIZTA GANA, S.KH 2009020021
MARIANA ELISA MANCE, S.KH 2009020034
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak sapi bali merupakan sapi asal Indonesia yang tersebar luas
cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan feses oleh ternak sapi terinfeksi
akan menjadi sumber penularan bagi ternak ruminansia yang sehat atau
sulit dilakukan. Penyakit akibat cacing parasit dapat disebabkan dari beberapa
golongan antara lain nematode, cestoda dan trematoda. Jenis trematoda yang
Schistosoma sp.
antibodi sehingga ternak lebih peka terhadap penyakit yang lain. Jika kejadian
peternak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai berat badan
tertentu sesuai dengan target yang diinginkan dan peternak mengeluarkan
Tujuan
filtrasi bertingkat.
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
Sapi Bali
Sapi bali adalah sumber daya genetik asli Indonesia yang merupakan hasil
domestikasi dari banteng liar. Sapi bali memiliki keunggulan dibandingkan dengan
sapi lainya yaitu memiliki fertilitas yang baik, presentase karkas lebih tinggi
dibandingkan dengan sapi potong lainya (Suwiti et al., 2013). Nusa Tenggara
Timur sebagai wilayah sumber ternak nasional merupakan salah satu wilayah
penghasil ternak sapi bali yang potensial di Wilayah Indonesia Timur. Sistem
pemeliharaan sapi bali secara ekstensif yang dilakukan oleh peternak yaitu ternak
ini tentu tidak terlepas dari usaha-usaha pencegahan dan penanganan berbagai
kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit
Trematoda
pipih, melebar ke anterior. Mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut yang
besarnya hampir sama. Cacing trematoda pada umumnya memerlukan media air
dalam siklus hidupnya. Telur cacing akan menetas di air dan berkembang menjadi
mirasidium, kemudian menginfeksi hospes perantara pertama, lalu berkembang
menjadi serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh hospes dan berenang di air untuk
bentuk infektif (metaserkaria). Keong air tawar merupakan hewan yang berperan
sebagai hospes perantara pertama, dan tanaman air sebagai hospes perantara
kedua. Manusia maupun hewan ternak dapat terinfeksi dengan memakan tanaman
air atau meminum air yang mengandung metaserkaria (Hariara et al., 2017).
bertingkat dengan menggunakan beberapa ukuran mesh yaitu pada ukuran mesh
400 μm, 100 μm, dan 45 μm. Mesh 400 μm digunakan untuk menyaring debris
yang besar, mesh 100 μm menyaring debris yang kecil dan pada mesh 45 μm
meloloskan debris yang kecil termasuk ookista, telur nematode, dan cestoda, bila
ada. Namun, akan menahan telur trematoda karena telur trematoda memiliki Berat
Jenis yang lebih besar dari Berat Jenis Pelarut (Winarso, 2018). Spesies Tremoda
Fasciola sp
sapi, antara lain Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica yang menyebabkan
memiliki bagian punggung dan bawah tubuh cacing hati atau cacing daun ini
berbentuk pipih, tidak beruas, berwarna kelabu dan berbentuk seperti daun yang
membulat di bagian
depan dan ekor (Subronto dan Tjahajati, 2001). Morfologi telur Fasciola sp
yang memiliki kerabang telur yang tipis, berbentuk ovoid dan terdapat
Parampistomum sp.
berbentuk pipih, memiliki batil isap dibagian perut (ventral sucker) yang disebut
asetabulum, dan batil isap kecil (oral sucker) dibagian mulut. Telur
menyerap warna apabila diwarnai dengan methylen blue sehingga akan nampak
halus dan akan bermigrasi kedalam rumen dan retikulum setelah dewasa. Daerah
METODOLOGI
Materi
Alat
(400µm, 100µm, dan 45µm), hand sprayer, penyaring teh, cawan petri.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan feses sapi yaitu air dan feses
sapi.
Metode
dalam gelas.
3. Saring dengan penyaring teh, tampung filtrat dan buanglah debris yang
tersaring.
4. Susun filter bertingkat sehingga fungsi penyaringan pertama adalah
6. Gunakan hand spayer yang berisi air bersih untuk membantu mendorong
7. Dengan filtrasi tersebut, telur trematoda akan tertahan pada filter mesh
45µm.
sprayer).
10. Amati endapat di mikroskop stereo untuk melihat adanya telur trematoda.
Hasil
Tabel 1. Hasil pemeriksaan feses sapi dengan metode filtrasi bertingkat
Kode Jenis Kelamin Status Infeksi Trematoda (+/-)
Sampel Fasciola Paramphistomum
SB01 Betina + -
SB02 Betina - +
SJ03 Jantan - -
SB04 Betina - +
SB05 Betina + -
SB06 Betina - -
SB07 Betina - -
SB08 Betina - -
SB09 Betina - +
SB10 Betina - -
SJ11 Jantan - -
SB12 Betina + -
SB13 Betina - -
SB14 Betina - -
SB15 Betina - +
SJ16 Jantan - -
Binilaka, Nasipanaf dan Baumata menujukkan adanya hasil positif pada 7 sampel
feses yang diambil ( Tabel 1). Pada pemeriksaan dan hasil identifikasi terdapat 3
Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan endoparasit dengan metode filtrasi
bertingkat didapatkan hasil positif telur Fasciola (Gambar 1) dan positif telur
Paramphistomum (Gambar 3). Hasil identifikasi ukuran panjang dan lebar, warna
dan bentuk telur, ditemukan telur yang berbentuk oval, berdinding tipis, memiliki
operkulum dan berwarna keemasan. Berdasarkan ciri tersebut telur yang
al, (2018) bahwa telur Fasciola sp memiliki warna kuning keemasan, berbentuk
warna lebih jernih, berbentuk oval dengan ukuran 120 x 70 µm (Purwanta et al,
2009).
Fasciola. Hal ini diduga intensitas infeksi sedikit rendah karena kondisi cuaca di
dapat juga dipengaruhi oleh faktor lainnya yaitu pakan yang diberikan dimana
mengandung metaserkaria (bentuk infektif Fasciola). Hal ini jika dilihat dari
sistem pemeliharaan secara semi intensif pada sapi bali yang ada di Binilaka,
Nasipanaf dan Baumata dengan sistem pemeliharaan ini, sapi dikeluarkan pada
waktu pagi dan dimasukkan kembali pada waktu sore. Sehingga memungkinkan
dapat terjadi pada musim hujan maupun musim kemarau. Namun tingkat resiko
lebih tinggi dapat terjadi pada musim hujan diduga berkaitan dengan ketersediaan
air, vegetasi dan kelembaban yang diperlukan oleh siput inang antara dan
metaserkaria untuk tumbuh dan berkembang. Namun pada hasil negatif untuk
sampel yang diperiksa dapat terjadi karena suhu dan curah hujan di Binilaka,
Jika dilihat dari sistem pemeliharaan secara semi intensif pada sapi bali
yang ada di Binilaka, Nasipanaf dan Baumata dimana sistem pemeliharaan ini,
sapi dikeluarkan pada waktu pagi dan dimasukkan kembali pada waktu sore. Sapi
dibiarkan mencari makan sendiri disekitar lingkungan pemeliharaan. Hal ini yang
menjadi peluang bagi telur cacing untuk berkembang biak salah satunya ialah
Paramphistomum yang ditemukan pada hasil pengamatan dan identifikasi. Infeksi
hisap karena pada saat menempel, cacing ini menghisap makanan berupa jaringan
Paramphistomum sp pada sapi yang ditemukan diduga masih dalam jumlah sedikit
sehingga tidak menimbulkan gejala klinis pada ternak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Darmin et al,.(2016) bahwa sapi dengan BCS optimum (5-7) mengalami
tergolong dalam infeksi ringan sehingga akibat yang ditimbulkan belum terlihat.
Selain itu menurut Javed et al. (2006) menyatakan bahwa ternak yang terinfeksi
gejala klinis.
pagi serta penggembalaan dilakukan seharian dari pagi sampai sore yang
sebaiknya tidak digembalakan terlalu pagi karena pada waktu tersebut larva cacing
biasanya dominan berada di permukaan rumput yang masih basah. Guna memutus
terinfestasi cacing
Paramphistomum sp ., rata-rata digembalakan di kebun atau sawah dan terdapat
dilakukan pada tempat yang basah atau lembab serta terdapat siput dan dapat juga
masih lembab dan masih banyak mengandung metasekaria. Siklus hidup dari
parasit cacing ini bergantung pada lingkungan yang cocok, terutama kelembapan
tinggi dan temperatur yang memadai (±27°C). Kondisi tersebut diperlukan untuk
dan juga untuk berkembangnya siput yang digunakan sebagai inang antara. Proses
dimulai dari metaserkaria yang masuk ke dalam saluran pencernaan, di usus halus
akan berkembang menjadi cacing muda dan dapat menimbulkan kerusakan pada
mukosa usus karena gigitan sebelumnya. Cacing muda menembus mukosa sampai
hemoragik pada mukosa. Akibatnya dapat timbul radang akut pada usus dan
mukosa dan bermigrasi ke rumen kira-kira dalam jangka satu bulan setelah
infestasi.
BAB V
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari 16 sampel feses sapi yang diambil
intensitas sedang hal ini didukung oleh sistem pemeliharan yang digunakan yaitu
Saran
pada peternak dan pemberian obat cacing agar dapat menurunkan tingkat kejadian
OLEH:
KELOMPOK KOAS 1C
PENDAHULUAN
Parasit merupakan organisme yang hidup di luar atau di dalam tubuh organisme
2009). Keberadaan parasit dapat mempengaruhi kualitas dan kesehatan inang yang
endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit adalah parasit yang hidup dalam tubuh
parasit yang hidup di luar tubuh inang misalnya pada kelas Insekta (pinjal dan kutu)
mendapat perhatian yang baik. Kerugian yang ditimbulkan ektoparasit antara lain 2
penurunan bobot badan, penurunan produksi, kerontokan rambut atau bulu, trauma,
iritasi, anemia sampai dengan kematian. Ektoparasit juga berperan sebagai vektor
penyakit seperti Protozoa, bakteri, virus, Cestoda dan Nematoda yang dapat
ditularkan pada hewan peliharaan dan manusia (“zoonosis”). Salah satu agen parasit
dan caplak (Ixodida)telah lama dikenal sebagai kelompok penting dari arthropoda
penyakit saat menghisap darah hospes. Penyakit kulit yang sering menyerang anjing
menyebabkan gangguan ringan kulit yang parah atau gangguan telinga pada anjing
yang terinfeksi. Selain itu penyakit parasit yang biasa menyerang hewan anjing dan
ayamadalah parasit darah. Parasit darah yang biasa ditemukan padaanjing adalah
Trypanosoma rangeli, Hepatozoon canis dan Babesia canis. Parasitdarah pada ayam
Apicomplexayaituplasmodium,HaemoproteusdanLeucocytozoon(PerkinsdanSchall200
0).Beberapa parasit darah yang biasa menyerang anjing dan ayam, juga disebabkan
1.2 Tujuan
Untuk mengidentifikasi jenis ektoparasit pada anjing dan jenis parasit darah
TINJAUAN PUSTAKA
Tungau demodex pada anjing hidup didalam folikel rambut dan kelenjar
Menurut Belot et al. (1984), Henfrey (1993) dan Triakoso (2006) ada tiga spesies
dalam genus Demodex pada anjing, Demodex canis, Demodex cornei, dan
Demodex injai. Namun spesies yang terkenal dan sering ditemukan menyerang
anjing adalah Demodex canis. Demodex canis terdapat dalam jumlah yang kecil
pada kulit dan tidak menunjukkan gejala klinis pada anjing yang sehat. Penularan
demodekosis ini terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari. Dalam kondisi normal,
parasit ini tidak memberikan kerugian bagi anjing, namun bila kondisi kekebalan
anjing menurun maka demodex akan berkembang menjadi lebih banyak dan
menimbulkan penyakit kulit. Pada anak anjing akan tertular oleh induknya, namun
setelah sistem kekebalan tubuhnya meningkat kira-kira pada umur 1 minggu, maka
parasit ini akan menjadi flora normal dan tidak menimbulkan penyakit kulit.
Siklus hidup lengkap demodex adalah 20-30 hari pada tubuh hospes. Ada
empat tahapan perkembangan demodex dalam tubuh hospes yaitu: telur (fusiform),
larva berkaki enam (six legged), nimfa berkaki delapan (eight legged), demodex
dewasa (eight legged adult). Seluruh tahapan perkembangan ini hanya terjadi pada
satu hospes, jadi tidak ada perkembangan pada hospes lain, sebagaimana yang
terjadi pada parasit lain. Seluruh siklus hidup demodex sp berlangsung pada tubuh
inangnya selama 20-35 hari, yang terdiri dari telur, larva, nimfa dan dewasa di
dalam folikel rambut atau kelenjar keringat. Tungau jantan terdistribusi pada
permukaan kulit, sedangkan tungau betina meletakkan 40-90 telur yang berbentuk
simpul (spindel shape) di dalam folikel rambut. Larva dan nimfa terbawa oleh
aliran cairan kelenjar ke muara folikel. Dilokasi inilah, tungau dewasa kawin.
Telur akan menetas menjadi larva berkaki enam dalam waktu 1-5 hari, lalu
Waktu yang diperlukan sejak dari telur sampai menjadi dewasa adalah antara 11-
lombok bahkan juga seperti cerutu atau wortel, langsing, berkaki 4 yang kekar
bentuknya, tiap kaki terdiri dari 3 ruas, dengan bagian perut yang bergaris
Menurut Henfrey (1990), Scott et al. (2001), Triakoso (2006), Dunn (2008)
gejala klinis dari demodekosis adalah pada kulit terjadi alopecia, berkerak,
kemerahan, disertai rasa gatal dan sakit jika ada infeksi sekunder. Munculnya
demodex biasanya pada daerah kepala, kaki depan, hidung, ekor dan beberapa
anjing ada juga yang terserang hanya di daerah telapak kaki dan telinga saja. Pada
demodekosis general, lesi terdapat hampir di seluruh tubuh dan biasanya disertai
dengan infeksi sekunder. Pada tahap yang lebih lanjut, dapat terjadi demodecosis
general disertai dengan peradangan dan infeksi sekunder oleh bakteri. Lapisan
kulit yang terinfeksi terasa lebih berminyak saat disentuh. Tungau sangat
menyukai bagian tubuh yang kurang lebat bulunya, seperti moncong hidung dan
mulut, sekitar mata, telinga, bagian bawah badan, pangkal ekor, leher sepanjang
punggung dan kaki. Rasa gatal yang ditandai dengan hewan selalu mengaruk dan
menggosokkan badannya pada benda lain atau menggigit bagian tubuh yang gatal,
sehingga terjadi iritasi pada bagian yang gatal berupa luka/lecet, kemudian terjadi
infeksi sekunder sehingga timbul abses, sering luka mengeluarkan cairan (eksudat)
permukaan kulit. Ada 2 (dua) bentuk infeksi pada kulit akibat iritasi yaitu bentuk
terdapat pada anjing, sedangkan bentuk pustular sering ditemukan pada sapi.
sekitar 2 cm, bahkan lebih besar. Lesi berawal pada daerah kepala menjalar ke
daerah leher dan kemudian dapat menutupi seluruh tubuh (Pudjiatmoko, 2014).
2.1.4 Patogenesis
saat menyusui, yaitu sekitar 2-3 hari di awal-awal kehidupan. Tungau ini bahkan
sudah dapat ditemukan pada anak anjing yang berumur sekitar 16 jam. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa anak anjing yang lahir melalui bedah caesar tidak
kortikosteroid juga dapat berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh hewan yang
supresi secara umum limfosit T yang memberikan supresi respon kekebalan host
adalah sinergistik dan patogenik antar hubungan sesama anjing (Henfrey, 1993).
2.1.5 Diagnosa
kerokan kulit yang agak dalam dari bagian tengah lesi, kemudian diberi tetesan
ditemukan parasit demodex yang bentuknya seperti wortel atau cerutu. Luka pada
terserang penyakit ini, tampak parasit Demodex canis berbentuk cerutu dengan
ukuran 250-300 µm x 400 µm. Parasit ini tinggal di folikel rambut dan kelenjar
sebaceus dan siklus hidupnya terjadi pada tubuh induk semang 20-35 hari. Hewan
penderita yang sering diserang pada usia anjing di bawah umur 1 tahun namun
demikian pada anjing di atas umur 1 tahun banyak mengalami kejadian infeksi
2014).
eksternal yang dapat ditemukan pada kucing, anjing, musang, dan rubah.
Otodectes cynotis pada saluran telinga eksternal adalah iritasi akibat reaksi
melalui kontak langsung (Siagian dan Fikri, 2019; da Silva et al., 2020;
Taenzler, 2018).
2.1.8 Morfologi
yang pendek. Stadium pertumbuhannya berupa telur, larva, nimfa dam tungau
dewasa, yang bertumbuh dan berkembang di dalam saluran telinga luar. Tungau ini
mirip dengan Chirioptes. Memiliki alat penghisap tarsal pada pasangan kaki
pertama dan kedua pada tungau betina dan pada seluruh pasangan kaki pada tungau
jantan serta tidak berhubungan dengan pedicle. Alat penghisap capulatory jantan
kurang jelas demikian juga dengan abdominalnya. Jenis tungau ini sering
2.1.9 Patogenesis
Oleh iritasi tungau disaluran telinga luar mukosa saluran mengalami radang
(otitits external parasitica) dan lama-lama terjadilah reaksi alergi, hingga rusaknya
jaringan menjadi parah. Oleh adanya radang keluarlah eksudat radang yang
dengan infeksi kuman akan menghasilkan leleran nanah dengan bau yang
menusuk. Oleh rasa nyeri dan gatal, kepala digeleng-gelengkan dan bila hanya satu
telinga yang menderita, posisi kepala akan miring dengan telinga yang menderita
lebih rendah daripada telinga lainnya. Tidak jarang daun telinga anjing digosok-
gosokkan ke objek keras, dengan akibat terjadi luka abrasi yang kotor. Tidak
jarang pula pembuluh darah daun telinga pecah hingga terjadi benjolan yang berisi
2.2.1. Haemoproteus sp
parasit dalam sel darah merah burung, kura-kura dan kadal (Weisman dkk., 2007
yang menginfeksi kalkun (Levine, 1994). Klasifikasi dari genus parasit ini
Haemoproteus sp. telah dilaporkkan pada burung merpati maupun ayam, namun
sel darah yang terinfeksi akan muncul granula yang berada di sekitar inti sel darah
nyamuk spesies Culicoides dan lalat Hippobosca sp. (Friend dan Franson, 1999
sel darah merah dan berada di dekat inti sel darah merah. Gametosit berbentuk
seperti vakuola yang besar dan inti yang kecil dan mengitari inti sel darah merah
sedangkan makrogametosit berbentuk halter yang mengitari inti dengan butir yang
100x)
meronts yang berukuran 12-20 μm. Meronts berkembang dalam jangka waktu
antara 5-8 hari setelah infeksi yang kemudian menyerang sel-sel endotel kapiler
baru di skeletal dan otot jantung dan berkembang menjadi generasi berikutnya.
kematangan pada 17 hari setelah infeksi dan pecah untuk melepaskan bola kecil
benar-benar mengelilingi inti eritrosit dalam waktu 7-10 hari setelah sel darah
faktor waktu, kekebalan tubuh hewan, pemeliharaan ternak ayam buras dan vektor.
Faktor waktu yaitu lamanya parasit berada dalam tubuh vektor juga merupakan
METODOLOGI
sampel Anjing yang terdiri dari kerokan kulit dan kotoran telinga dari 2 ekor
anjing dilakukan langsung di rumah pemilik anjing yaitu di daerah Fatululi dan
Liliba. Kemudian untuk pengambilan sampel pada pemilik ayam di daerah Liliba.
2.2 Materi
2.2.1 Alat
jarum steril, tabung darah EDTA, objek gelas, cover gelas, cool
2.2.2 Bahan
kulit dan sampel kotoran telinga dari 2 ekor anjing, cotton bud, larutan
telinga
1. Mengambil sampel sampel kotoran telinga dengan menggunakan
cotton bud.
2. Sampeldarahyang
telahdihomogenkandiletakkanpadakacaobjekyangtelah
dibersihkan.
4. Apusandarahdiangin-anginkanhinggakering
5. Diberinomorregistrasidandilanjutkandenganpewarnaan.
6. Kacaobjekyangberisiulasandarahdirendamdalammethanolselam
a5-10 menit.
7. Dilanjutkandenganperendamandalamgiemsaselama30menit.
8. Dilakukanpembilasanpadapreparatdankemudiandikeringkandiu
dara.
9. Setelahpreparatkeringdilakukanpengamatandibawahmikroskop
BAB IV
Tabel 1. Sinyaleman
Sinyalemen
(Dokumentasi Pribadi)
anjing coklat dan anjing Astro didapatkan hasil positif Demodex sp dan
ear swab dari anjing astro ditemukan Otodectes cynotis yang dapat dilihat
sebagai buah lombok bahkan juga seperti cerutu atau wortel, langsing,
berkaki 4 yang kekar bentuknya, tiap kaki terdiri dari 3 ruas, dengan
panjang 250-400 µ.
Anjing Astro
(Dokumentasi Pribadi)
yang bersifat general dan ada beberapa bagian tubuh yang mengalami lesi,
luka pada bagian wajah dan punggung, eritema, scale. Jika dilihat dari
menggaruk bagian tubuh. Rasa gatal yang ditandai dengan hewan selalu
bagian tubuh yang gatal, sehingga terjadi iritasi pada bagian yang gatal
(2006), Dunn (2008) gejala klinis dari demodekosis adalah pada kulit
terjadi alopecia, berkerak, kemerahan, disertai rasa gatal dan sakit jika ada
infeksi sekunder. Munculnya demodex sp biasanya pada daerah kepala,
kaki depan, hidung, ekor dan beberapa anjing ada juga yang terserang
hal ini diduga tungau Demodex sp yang umumnya bersifat flora normal
klinis yang timbul pada anjing coklat dan anjing astro lesi terdapat hampir
di seluruh tubuh dan biasanya disertai dengan infeksi sekunder. Luka atau
lesi yang terjadi bermula lokal, kemudian berkembang dengan cepat pada
daerah muka, sekitar mata, daerah ekstremitas dan daerah dada. Selain itu
melanosit. Terdapat juga lesi papula yang termasuk kedalam lesi primer
kulit, papula merupakan hasil dari adanya infeksi pada kulit, bentuk papula
beras hingga sebesar kacang tanah. Pustula pada kulit juga ditemukan
walaupun dalam jumlah yang tidak banyak, pustula merupakan lesi kulit
yang berukuran relatif lebih besar dari papula dan biasanya terdapat
pada tubuh inangnya selama 20-35 hari, yang terdiri dari telur, larva,
nimfa, dan dewasa pada folikel rambut atau kelenjar keringat. Tungau
jantan dan betina akan kawin. Telur akan menetas menjadi larva berkaki
coklat dan anjing astro yang mengalami lesi, dilakukan dengan metode
deep skin scraping dan didapatkan hasil positif dengan ditemukan tungau
Demodex sp. Siklus hidup lengkap Demodex sp adalah 20-30 hari pada
hospes yaitu: telur (fusiform), larva berkaki enam (six legged), nimfa
berbentuk cerutu dengan ukuran 250-300 µm x 400 µm. Parasit ini tinggal
di folikel rambut dan kelenjar sebaceus dan siklus hidupnya terjadi pada
pasangan kaki pertama dan kedua pada tungau betina dan pada seluruh
pasangan kaki pada tungau jantan serta tidak berhubungan dengan pedicle.
telinga.
segmen, dimana pada segmen terakhir terdapat cakar palps atau apotele.
yang rusak akibat chelicerae dapat menjadi entry point bagi agen patogen
cynotis
(Dokumentasi Pribadi)
4.2 Identifikasi Parasit Darah pada Ayam
Sinyalemen
Haemoproteussp.adalahprotozoayanghidupintraselulersebagaiparasitdalam
Apicomlexa, kelas
Aconoidasida,familiHaemoproteidae,ordohaemospororida,genusHaemopr
hasil berupa Haemoproteus sp. Yang diamati terdapat granula yang berada
di sekitar inti dari sel darah merah ayam tersebut. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Salut et al., (2019) menyatakan bahwa ciri-
ciri sel darah merah yang terinfeksi dari parasit ini adalah akan muncul
sp.ditularkanolehseranggapenghisapdarahtermasuknyamukspesiesCulicoid
Perbesaran 40x
makanan dan sampah serta sedikit genangan air hal ini yang menjadi
tempat berperkembangbiakan
nyamukspesiesCulicoidesdanlalatHippoboscasp.untukmenginfeksi ayam-
ayam tersebut.
sp.ditularkanolehseranggapenghisapdarahtermasuknyamukspesiesCulicoi
miliki ukuran tubuh amat kecil yaitu 1‐3 mm, memiliki antena yang panjangnya
lebih dari 6 segmen dan sayapnya berbintik‐bintik (Wah‐ yuti, 2003) . Tingkat
dan vektor. Faktor waktu yaitu lamanya parasit berada dalam tubuh
tubuh maka jumlah parasit dalam tubuh induk semang akan berkurang.
Berpindahnya vektor pada saat menghisap darah dari satu inang ke inang
pada ayam, juga dapat mengurangi kekebalan terhadap infeksi yang lebih
Disamping itu pada ayam yang berumur lebih muda biasanya jumlah
parasit yang berkembang lebih tinggi dan parasitemia lebih lama dengan
berumur lebih tua (Seed &Manwell, 1977 dalam Latipah, 2001). Bentuk
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Otodectes cynotis atau disebut sebagai tungau telinga dan demodex sp..
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan ini yaitu, metode ear swab dan
kerokan kulit. Selain itu pada pemeliharaan ayam di daerah Liliba dibuktikan
sp.
5.2 SARAN
Otodectes cynotis, segera dibawa ke dokter hewan agar diberikan obat yang
sesuai untuk mengatasi tungau telinga tersebut, sama halnya dengan anjing
yang terinfestasi demodex sp. agar tidak menyebar dan bertambah parah.
Selain itu, perlu dilakukan hygene dan sanitasi pada tempat pemeliharaan
unggas tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Pudjiatmoko et al. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta: Subdit Pengamatan
Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
Salut ED, Almet J, Winarso A. 2019. Identifikasi parasit darah pada ayam buras di pasar
inpres naikoten kota kupang. Jurnal Veteriner Nusantara 2(1); 34-40.
Siagian, T.B., Fikri, F.H. 2019. Infestasi ektoparasit pada kucing di klinik hewan
Kabupaten Bogor. Seminar Nasional Teknologi Terapan Inovasi dan Rekayasa
(SNT2R), Kendari, 1 Desember 2019. pp: 480-484.
Soulsby EJL. 1968. Helminths, Antropods and Protozoa of Domesticated Animals. Sixth
Edition of Monnig’s Veterinary Helminthology and Entomology. Philadelphia: Lea
and febiger.
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penaggulangannya – vol. 2. Yogyakarta : Kanisius
Taenzler, J., de Vos, C., Roepke, R.K.A., Hackeroth, A.R. 2018. Efficacy of fluralaner
plus moxidectin (Bravecto® plus spot-on solution for cats) againts Otodectes cynotis
infestasions in cats. Parasit. Vect., 11, 595.
Triakoso N. 2008. Monitoring Penggunaan Amoksisilin, Ampisilin dan Kloramphenicol
pada Kucing di Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Gadjah Mada. J.Sain.Vet., 26(2).
Weisman, J., LeRoy, B.E., and Latimer, K. S. 2007. Haemoproteus Infection in Avian
Species. Veterinary Clinical Pathology Clerkship Program. University of Georgia
College of Veterinary Medicine. Athens. dalam Sabuni, A.Z., 2009. Prevalence
Intensity and Pathology of Ecto and Haemoparasites Infections in Indigenous
Chickens in Eastern Province of Kenya. Skripsi.
Veena M, Dhanalakshmi H, Kavitha K, Placid EDS, Puttalaksmamma GC. 2017.
Morphological characterization of demodex mites and its therapeutic management
with neem leaves in canine demodicosis. Journal of Entomology and Zoology
Studies, 5(5): 661-664.
LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK
PARASITOLOGI
OLEH
KELOMPOK 1C
KUPANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Parasit merupakan organisme yang hidupnya di dalam tubuh induk semang dan
merugikan induk semangnya. Keberadaan parasit dapat mempengaruhi kesehatan inang yang
ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup di luar tubuh inang
sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang (Suwandi 2001).
Salah satu agen penyakit parasit yang biasa menyerang hewan anjing dan ayam adalah
parasit darah. Menurut Levine (1990) parasit darah yang biasa ditemukan pada anjing adalah
Trypanosoma rangeli, Hepatozoon canis dan Babesia canis. Parasit darah pada ayam biasa
disebabkan oleh infeksi protozoa dari Filum Apicomplexa yaitu plasmodium, Haemoproteus
dan Leucocytozoon (Perkins dan Schall 2000). Beberapa parasit darah yang biasa menyerang
anjing dan ayam, juga disebabkan oleh adanya vektor dari ektoparasit seperti nyamuk, caplak
dan lalat.
Keberadaan parasitpada anjing dan ayam dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang
cukup besar pada peternak dan pecinta hewan kesanyangan. Hal ini karena terjadi
pertumbahan terhambat, penurunan berat badan dan daya reproduksi bahkan kematian pada
hewan. Oleh karena itu dalam laporan ini akan membahas tentang identifikasi morfologi
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami metode diagnosa ektoparasit dan parasite darah
2. Untuk mengidentifikasi jenis ektoparasit dan parasite darah pada anjing dan ayam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
terluar vertebrata, termasuk anjing (Wall dan Shearer, 2001). Ektoparasit memiliki
patogenisitas yang cukup berat dan bahkan mungkin dapat menyebabkan kematian,
sesuai dengan intensitas parasitnya, status gizi dan kondisi imunologis dari inangnya
(Scott, et al 2001). Salah satu jenis ektoparasit yang dapat menginfestasi anjing adalah
Menurut Belot, et al (1984); Henfrey (1993) dan Triakoso (2006) ada tiga spesies
dalam genus Demodex pada anjing, Demodex canis, Demodex cornei, and Demodex
injai. Namun spesies yang terkenal dan sering ditemukan menyerang anjing adalah
Demodex canis. Demodex canis terdapat dalam jumlah yang kecil pada kulit dan tidak
menunjukkan gejala klinis pada anjing yang sehat. Tungau D. canis dapat ditemukan
pada folikel rambut, kelenjar sebaceus dan saluran sebaceus, sedangkan D. cornei
ditemukan pada lapisan superfisial stratum corneum di hampir seluruh lapisan kulit
(Sivajothil et al., 2013). Tungau ini dapat menimbulkan rasa gatal dan memicu refleks
menggaruk. Garukan secara terus menerus dengan kondisi kuku yang tajam juga
merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya luka. Luka terbuka yang bernanah
dapat memicu lalat untuk hinggap dan bertelur. Kerusakan jaringan yang terinfeksi dapat
menimbulkan bau yang khas dan menarik lalat betina untuk meletakan telurnya pada
Penularan tungau Demodex sp. ini dapat terjadi mulai dari anak anjing berumur
tiga hari. Dalam kondisi normal, parasit ini tidak merugikan bagi anjing, namun bila
kondisi kekebalan anjing menurun maka Demodex sp. akan berkembang menjadi lebih
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Arachnida
Order : Prostigmata
Family : Demodicidae
Genus : Demodex
Tungau Demodex sp dipercaya sebagai fauna normal pada kulit. Demodex sp.,
berbentuk seperti cerutu atau wortel, mempunyai 4 pasang kaki yang pendek dan
gemuk serta memiliki 3 ruas. Bagian perutnya terbungkus kitin dan bergaris
melintang menyerupai cincin serta memipih ke arah caudal. Ukuran tungau bervariasi
antara 0,2 – 0,4 mm. Beberapa spesies tungau memiliki inang spesifik, seperti
demodecosis pada sapi pada sapi disebabkan oleh D.bovis, pada anjing oleh D.canis,
D.cornei dan D.injai. Pada kucing disebabkan oleh D.cati dan D.gatoi, pada kambing
oleh D.caprae, D.criceti pada marmot, D.phylloides pada babi D.equi pada kuda dan
D.folliculorum pada manusia. Tungau demodex hidup di dalam kelenjar minyak dan
kelenjar keringat (glandula sebacea) dan memakan epitel serta cairan limfe dari
beberapa hewan, kecuali unggas. Dalam kondisi tertentu tungau demodek dapat
baik pada anjing maupun pada kucing. Pada anjing ditemukan Demodex cornei oleh
Mason (1993) (Shipstone, 2000) dan Demodex injai (Desch and Hillier, 2003), selain
Demodex canis yang sudah banyak dikenal. Shipstone (2000) menyatakan bahwa D.
cornei mempunyai bentuk tubuh yang lebih pendek (short-bodied mite) dibanding D.
canis. Sedangkan D. injai ditemukan oleh Desch dan Hillier pada anjing di Columbus,
OH bulan Oktober 1996, namun baru dilaporkan pada tahun 1999 dan saat itu belum
diberi nama, dan kemudian diberi nama D. injai pada tahun 2003. D. injai mempunyai
tubuh panjang (long-bodied mite) Baik D. cornei dan D. injai mempunyai habitat di
yang baru dengan D. canis masih dalam tahap penelitian lebih lanjut dan belum ada
laporan berkaitan dengan hal tersebut. Pada kucing ditemukan Demodex gatoi (Desch
and Steward, 1999) selain Demodex cati yang sudah lama dikenal. D. gatoi ini
ditemukan oleh Desch dan Steward (1999) dari kasus prutitus kronis pada kucing
D. gatoi mempunyai tubuh lebih pendek dibanding D. cati. Tidak seperti D. cati yang
hidup dalam folikel rambut, D. gatoi hidup di epidermis kulit. D. gatoi mempunyai
siklus hidup di tubuh induk semang secara keseluruhan. Desch and Steward (1999)
Seluruh siklus hidup demodex sp berlangsung pada tubuh inangnya selama 20-
35 hari, yang terdiri dari telur, larva, nimfa dan dewasa di dalam folikel rambut atau
tungau betina meletakkan 40-90 telur yang berbentuk simpul (spindel shape) di dalam
folikel rambut. Larva dan nimfa terbawa oleh aliran cairan kelenjar ke muara folikel.
Dilokasi inilah, tungau dewasa kawin. Telur akan menetas menjadi larva berkaki
enam dalam waktu 1-5 hari, lalu berkembang menjadi nimfa yang berkaki delapan,
kemudian menjadi dewasa. Waktu yang diperlukan sejak dari telur sampai menjadi
ini hanya terjadi pada satu hospes, jadi tidak ada perkembangan pada hospes lain,
2.1.3 Patogenesa
saat ini masih belum jelas. Umumnya hewan mempunyai sejumlah kecil Demodex
pada tubuhnya yang tinggal di folikel dan kelenjar sebaseus. Berkembangnya tungau
dan menimbulkan penyakit diduga akibat dari sistem kekebalan tubuh host (Triakoso,
2006). Penularan demodekosis ini terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari. Dalam
kondisi normal, parasit ini tidak memberikan kerugian bagi anjing, namun bila
kondisi kekebalan anjing menurun maka demodex akan berkembang menjadi lebih
banyak dan menimbulkan penyakit kulit. Pada anak anjing akan tertular oleh
induknya, namun setelah sistem kekebalan tubuhnya meningkat kira-kira pada umur 1
minggu, maka parasit ini akan menjadi flora normal dan tidak menimbulkan penyakit
secara umum limfosit T yang memberikan supresi respon kekebalan host terhadap
sehingga perjalanan penyakit ini dinyatakan bahwa demodikosis pada anjing adalah
2.1.4 Diagnosa
dilakukan adalah dengan melakukan deep skin scraping atau pengerokan kulit hingga
dilakukan pada beberapa tempat. Setelah hasil scraping didapatkan, hasil tersebut
(Pudjiatmoko, 2014). Anjing yang positif terhadap infeksi demodex canis terlihat dari
hasil pemeriksaan sediaan kerokan kulit tersebut melalui mikroskop tampak wujud
2.3 Leucocytozoonosis
protozoa dari genus Leucocytozoon. Leucocytozoon sp. diklasifikasikan sebagai protozoa dari
phylum apicomplexa, kelas sporozoa, ordo eucoccidiidae, famili plasmodiidae. Protozoa ini
hidup sebagai parasit di dalam sel darah putih. Penyakit ini sering terjadi pada peternakan di
negara beriklim tropis terutama pada peternakan yang dekat dengan sumber air seperti kolam
dan danau. Hal tersebut dikarenakan sumber air merupakan habitat hidup bagi vektor
perantara Leucocytozoon sp. yaitu Simulium sp. dan Culicoides arakawae. Selain ayam,
Lalat penggigit seperti Simulium sp. dan Culicoides sp. berperan sebagai vektor atau
pembawa penyakit Leucocytozoonosis. Lalat hitam (Simulium sp.) biasanya berkembang biak
pada air yang mengalir dan mencari makan pada siang hari, sedangkan serangga penggigit
bersayap dua (Culicoides sp.) berkembang biak di dalam lumpur atau kotoran ayam dan
menggigit pada malam hari. Lalat hitam (Simulium sp.) dan serangga penggigit bersayap dua
(Culicoides sp.) bertindak sebagai reservoir penyakit tersebut selama suatu musim atau
2.3.1 Morfologi
Morfologi pada inang definitif fase gametosit Leucocytozoon sp. yang terlihat pada
hasil ulas darah perifer merupakan cara yang dilakukan untuk membedakan dan
mengelilingi lingkaran sel darah dengan nukleus yang terdorong ke sisi sehingga tampak
terjepit dan mengecil, serta parasit yang dengan penampakan berbentuk lingkaran, oval,
Terdapat perbedaan morfologi pada spesies L. caulleryi yang menginfeksi ayam yaitu
gametosit pada spesies ini berbentuk melingkar dan nukleus sel terdorong keluar dengan
sedikit perubahan bentuk dan terkadang terdorong keluar dari sel darah. (Fallis dan
bulat, berukuran 15,5 x 15 μm, dan terletak di dalam sel darah merah atau sel darah putih
dalam ginjal, hati dan paru-paru. Parasit ini berdiameter 26-300 μm dan menghasilkan
sejumlah besar merozoit bulat. Inti sel induk semang membentuk pita gelap, memanjang
sampai kira-kira sepertiga keliling parasit. Zigot berbentuk bulat dengan diameter kira-
kira 14 μm, memanjang menjadi ookinet dengan panjang kira-kira 21 μm yang akan
membentuk ookista yang agak bundar (supherical) 4-13 x 5-14 μm. Sporozoit yang
gamon dewasa memanjang kira-kira 22-24 x 4-7 μm terdapat dalam sel darah merah atau
sel darah putih. Sel-sel induk semang berbentuk bulat dengan sitoplasma panjang,
memanjang melebihi parasit kira-kira 67 μm. Inti sel induk semang sempit, berwarna
gelap pada pewarnaan sepanjang suatu sisi parasit (Levine, 1985). Makrogametosit
sp. ke dalam pembuluh darah inang. Sporozoit yang telah masuk ke dalam pembuluh
darah kemudian akan berkembang membentuk dua tipe skizon, yaitu skizon hepatic dan
megaloskizon. Skizon hepatic akan terbawa oleh aliran darah menuju hati dan
berkembang di sel-sel kupffer hati. skizon tersebut berukuran kecil dan akan berkembang
sampai 300x248 μm dengan rata-rata 120x 100 μm) disebut cytomere. Megaloskizon
jumlahnya lebih banyak daripada hepatic skizon. Megaloskizon berkembang pada sel-sel
darah seperti sel limfoid dan sel makrofag. Megaloskizon yang terdapat pada sel–sel
darah akan beredar ke berbagai organ tubuh seperti otak, hati, paru-paru, ginjal, saluran
pencernaan, dan ginjal setelah 6 hari infeksi. Setelah 7 hari infeksi, Hepatic skizon dan
megaloskizon akan mengalami robek dan mengeluarkan merozoit yang telah berkembang
di dalam skizon.
(Gambar 4. Siklus Hidup Leukositozon(Pudjiatmoko (2014))
Merozoit tersebut akan beredar bersama darah mengikuti sirkulasi darah perifer.
memproduksi sporozoit. Sporozoit tersebut akan menuju kelenjar ludah dan akan
diinjeksikan ke dalam tubuh inang ketika nyamuk menghisap darah inang. Proses
Leucocytozoonosis dapat ditularkan oleh lalat hitam (Simulium sp.) dan serangga
penggigit bersayap dua (Culicoides sp.), kedua spesies serangga tersebut bertindak
sebagai vektor dan menginfeksi unggas sehat melalui gigitan. Leucocytozoon cauleryi
bersayap dua (Culicoides sp.), sedangkan spesies Leucocytozoon sp. lainnya menyebar
Infeksi kronik terjadi dari tahun ke tahun melalui unggas yang terinfeksi, walaupun
penyebaran hanya terjadi melalui vektor insekta. Para peneliti melaporkan bahwa vektor
insekta hanya bersifat infektif selama 18 hari, jika letupan penyakit berlangsung terus
selama musim serangga, maka kejadian tersebut mungkin disebabkan oleh adanya
generasi penerus lalat hitam yang menggigit unggas carrier (Tabbu, 2002).
2.3.4 Diagnosa
sfesifik dan kelainan pasca mati, dan sejarah kejadian dalam kelompok (Akoso, 1998).
Diagnosis ini dapat diperkuat dengan pengujian secara langsung dan tidak langsung.
Metode diagnosis secara langsung untuk menunjukkan parasit malaria yaitu berdasarkan
metode PCR dan mikroskopik, sedangkan metode secara tidak langsung yang digunakan
untuk menunjukkan infeksi malaria yaitu dengan teknik serologi untuk melihat adanya
DNA, sedangkan pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan preparat apus darah untuk
Gumboro, Newcastle Disease, keracunan sulfa, kolera unggas, dan infeksi protozoa darah
yang lain.
BAB III
METODOLOGI
Mei 2021.
3.2 Materi
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam identifikasi diantaranya mikroskop, kaca objek, cool box,
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan yaitu kerokan kulit anjing, anjing, darah ayam, tabung EDTA,
3.3 Metode
anterior dan darah ayam dilakukan melalui vena pectoralis lalu dimasukan dalam
tabung EDTA.
2. Sampel darah yang telah dihomogenkan diletakkan pada kaca objek yang telah
dibersihkan.
3. Kaca objek pendorong diletakkan di atas tetesan darah, membuat sudut 45 o antara
kaca objek yang berisi tetesan darah dan kaca objek pendorong.
6. Kaca objek yang berisi ulasan darah direndam dalam methanol selama 10 menit.
7. Dilanjutkan dengan perendaman dalam giemsa selama 20 menit.
Pemeriksaan secara mikroskopis dilakukan terhadap sampel kulit dan rambut dengan
metode deep skin scrapping. Deep skin scrapping dilakukan dengan menggunakan scalpel.
Persiapan yang dilakukan adalah kulit yang mengalami lesi dipijat dengan jari sebanyak
sepuluh kali dan dilanjutkan melakukan kerokan pada kulit sampai berdarah. Sampel
ditempatkan pada glass object dan diteteskan larutan KOH. Sampel kulit diratakan kemudian
ditutupi dengan cover glass dan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10X dan
40X.
BAB IV
A. Data pemilik
B. Sinyalement
Nama : Lili
Ras : Anjing Lokal
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 6 bulan
Berat badan : 4,2 kg
Warna rambut : Coklat
4.2 Pembahasan
Pada saat pemeriksaan fisik anjing diperoleh data suhu tubuh 37,2 °C, frekuensi detak
jantung 100 kali/menit, frekuensi pulsus 102 kali/menit, frekuensi nafas 26 kali/menit, dan
CRT (Capillary Refill Time) < 2 detik. Pada pemeriksaan fisik anggota gerak,
normal. Sedangkan pada pemeriksaan kulit ditemukan adanya gangguan. Pada kulit
Pada bagian dorsal tubuh tubuh ditemukan adanya alopesia dan scale, dan pada bagian
ventral tubuh ditemukan adanya eritema, papula, dan pustula dan hewan terus menggaruk-
garuk tubuhnya.
Gambar 5. Hewan menunjukan ganggaun pada sistem integument berupa lichenifikasi, eritem
Dari hasil pemeriksaan kasus diatas, anjing yang bernama Lili didiagnosis posistif de
modekosis. Hal ini didukung dari hasil pemeriksaan mikroskopis dengan sampel kerokan kuli
t diambil pada bagian yang menunjukkan lesi pada kulit ditemukan adanya tungau Demodex s
p. yang merupakan agen penyebab penyakit demodekosis pada anjing dengan ciri-ciri berbent
uk seperti wortel atau cerutu, mempunyai 4 pasang kaki yang pendek (Sardjana, 2012). Tung
au dengan ciri tersebut merupakan Demodex sp (Gambar 6). Adapun lesi yang terdapat pada
kulit anjing kasus adalah alopesia, lichenifikasi, hiperpigmentasi pada wajah. Pada bagian dor
sal tubuh tubuh ditemukan adanya alopesia dan scale, dan pada bagian ventral tubuh ditemuk
an adanya eritema, papula, dan pustula. Menurut Henfrey (1990) gejala klinis dari demodeko
sis adalah pada kulit terjadi alopesia, scale, kemerahan, disertai rasa gatal dan sakit jika ada in
feksi sekunder.
Demodekosis adalah inflamasi akibat serangan parasit Demodex sp. yang berkaitan de
ngan status imunodefisiensi sehingga tungau berkembang secara luar biasa dan menyebabkan
furunkulosis dan infeksi sekunder bakterial. Menurut Sardjana (2012) demodekosis juga dike
nal sebagai Red Mange, Follicular Mange, Acarus Mange dimana kondisi anjing kasus akan
mengalami kelainan pada kulit yang bentuknya mirip dengan penyakit kulit lainnya.
Gambar 6. Hasil pemeriksaan dengan metode kerokan kulit pada hewan penderita
Demodex sp. adalah tungau yang bersifat flora normal dan hidup pada folikel rambut dan
kelenjar sebaseus. Siklus hidup dari Demodex sp. berlangsung pada tubuh inangnya selama
20-35 hari, yang terdiri dari telur, larva, nimfa, dan dewasa pada folikel rambut atau kelenjar
keringat. Tungau jantan akan menyebar pada permukaan kulit, sedangkan tungau betina akan
meletakkan telurnya pada folikel rambut. Difolikel rambut tungau jantan dan betina akan
kawin. Telur akan menetas menjadi larva berkaki enam dalam waktu 1-5 hari. Selanjutnya
berkembang menjadi nimfa berkaki 8, kemudian mejadi dewasa. Waktu yang diperlukan dari
Hewan penderita yang sering diserang pada usia anjing di bawah umur 1 tahun namun
demikian pada anjing di atas umur 1 tahun banyak mengalami kejadian infeksi penyakit ini
(Henfrey, 1990; Scott et al., 2001). Patogenesis demodikosis menunjukan kejadian supresi
respon blastogenesis diinduksi oleh substansi yang dihasilkan parasit Demodex canis,
substansi humoral ini yang menyebabkan supresi secara umum limfosit T yang memberikan
dapat dikendalikan oleh hospes, sehingga perjalanan penyakit ini dinyatakan bahwa
demodikosis pada anjing adalah sinergistik dan patogenik antar hubungan sesama anjing
(Henfrey, 1993). Parasit Demodex canis dengan bakteri dan hewan penderita penyakit ini
memiliki predisposisi genetik, yang dari beberapa kasus menunjukan bahwa penyakit yang
hyperadrenocorticisme (Henfrey, 1993; Triakoso, 2006). Luka atau lesi yang terjadi bermula
lokal, kemudian berkembang dengan cepat pada sebagian besar tubuh hewan penderita dan
tempat yang disukai adalah di daerah muka, sekitar mata, daerah extremitas dan daerah dada.
Bentuk yang terjadi dari demodikosis dapat dalam bentuk lokal maupun general.
Demodikosis pada hewan penderita muda cenderung lebih sering terjadi yang dimulai dari
umur 3-18 bulan, tanda klinis ditunjukan dengan kejadian alopecia, erythema, pyoderma dan
seborrhoea. Lesi yang terjadi menimbulkan rasa sakit, dapat terjadi limfadenopati dan pada
kasus yang parah dapat terjadi septicaemia dan menyebabkan kematian (Belot et al., 1984;
sarcoptes scabiei, Sarcoptes scabiei bersifat parasit obligat yang artinya mutlak
membutuhkan inang untuk bertahan hidup. Tidak seperti pada tungau lainnya, tungau scabies
mampu menerobos stratum corneum kulit. Tungau dewasa bertelur pada tempat terobosan
tadi dan setiap tungau menghasilkan telur antara 2-3 telur setiap hari, dengan masa bertelur
sampai 2 bulan,selanjutnya tungau betina tersebut mati setelah bertelur. Pada suhu 35°C
dengan kelembaban 100 %, telur menetas dalam waktu 2-3 hari, lalu memasuki stadium
larva, kemudian larva berubah menjadi 2 bentuk nimpa, yaitu protonymph (dalam waktu 3-4
hari) dan tritonymph (dalam waktu 2-3 hari). Tritonymph menjadi dewasa dalam waktu 2-3
hari. Seluruh siklus hidup, sejak telur sampai sampai menjadi dewasa memerlukan waktu
antara 10-14 hari. Tungau pada anjing dan manusia dapat bertahan hidup selama 24-36 jam
pada suhu ruang, 21ºC. Tungau S.scabiei diketahui sangat peka terhadap keadaan
lingkungan. Di luar tubuh inang, pada kondisi lingkungan yang kering, tungau hanya dapat
bertahan hidup selama 2-3 minggu, terkadang dapat sampai 8 minggu. Pada kondisi kering
tersebut, telurnya mempunyai daya tetas sampai dengan 6 hari, dan sekitar 6 minggu dalam
Masa inkubasi bervariasi antara 10-42 hari. Pada awal infestasi, kulit mengalami
erithema, kemudian akan berlanjut dengan terbentuknya papula, vesikula dan akhimya
terjadi peradangan yang diikuti oleh pembentukan eksudat karena adanya iritasi. Hewan
penderita tampak gelisah karena rasa gatal, menggaruk atau menggesek tubuhnya sehingga
terjadi luka dan perdarahan. Eksudat mengendap pada permukaan kulit dan terbentuk
keropeng atau kerak. Proses selanjutnya, akan terjadi keratinasi dan proliferasi yang
berlebihan dari jaringan ikat sehingga menyebabkan penebalan kulit dan pengkeriputan.
Perubahan ini akan mengakibatkan kerontokan bulu yang pada seluruh permukaan tubuh.
Nafsu makan penderita terganggu sehingga menjadi kekurusan dan akhirnya mati karena
kurang gizi (malnutrisi). Apabila pengobatan tidak dilakukan secara tuntas, maka sering
terjadi infeksi sekunder akibat bakteri atau jamur sehingga timbul abses dan bau busuk.
Pada hewan muda, angka kematian dapat mencapai lebih dari 50 % bila diikuti oleh infeksi
4.3 Endoparasit
Hasil pemeriksaan pada 3 sampel darah ayam yang diambil dari peternakan Ayam di
daerah Fatukoa ditemukan 1 sampel yang positif pada ayam dengan gejala kelemahan dan
bulu kusam.Sampel yang positif ditandai dengan ditemukannya Leucocytozoon sp. pada
preparat ulas darah. Hasil positif ini dibuktikan dengan ditemukan Leucocytozoon
caulleryi pada hasil pemeriksaan ulas darah dengan ciri‐ciri berbentuk bulat membentuk
fusi dengan sel induk semang dan tidak ada pemanjangan dari sitoplasma sel induk
semang. Eritrosit mengalami distorsi akibat dari ukuran parasit yang lebih besar dan inti
protozoa yang tergolong genus Leucocytozoon dan famili Plasmodiidae. Penyakit ini
serupa dengan malaria unggas, menyerang sel-sel darah dan jaringan tubuh unggas seperti
berdekatan dengan kandang babi, genangan air yang banyak dan kondisi cuaca yang
berangidn dan lembab. Menurut Stadller dan Carpenter (1996) kejadian penyakit juga
sering terjadi pada peternakan yang terletak di dekat danau, rawa, maupun sungai, tempat
yang memiliki genangan air atau ketika terjadi perubahan suhu udara menjadi lebih
hangat
Dari pemeriksaan yang menunjukan hasil positif dapat disebabkan oleh adanya faktor-
faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian penyakit, yaitu kondisi lingkungan yang
optimum bagi perkembangan dan ketahanan hidup vektor dan parasit, cara pemeliharaan
serta kondisi ayam yang berhubungan dengan kekebalan tubuh pada ayam yang ada di
Peternakan. Dari hasil pengamatan dilihat bahwa peternakan ayam tersebut kurang
Lalat penggigit seperti Simulium sp. dan Culicoides sp. berperan sebagai vektor atau
biak pada air yang mengalir dan mencari makan pada siang hari, sedangkan serangga
penggigit bersayap dua (Culicoides sp.) berkembang biak di dalam lumpur atau kotoran
ayam dan menggigit pada malam hari. Lalat hitam (Simulium sp.) dan serangga penggigit
bersayap dua (Culicoides sp.) bertindak sebagai reservoir penyakit tersebut selama suatu
Secara umum, Leucocytozoonosis bisa menyerang pada ayam petelur dan ayam
pedaging. Kasus Leucocytozoonosis cukup sering ditemukan dan penyakit ini masuk
dalam 10 besar penyakit yang sering menyerang (Anonim, 2010). Kerugian yang
ditimbulkan oleh serangan Leucocytozoon sp. pada anak ayam baik ayam pedaging
maupun petelur dapat menimbulkan gejala klinis 0-40% dan tingkat kematiannya
mencapai 7-50%, sedangkan pada ayam dewasa dapat menimbulkan gejala klinis 7-40%
dan kematian 2-60 % (Purwanto et al., 2009). Serangan penyakit Leucocytozoonosis juga
Unggas yang terinfeksi Leucocytozoon sp. gejala klinis yang terlihat pada ayam buras
tersebut yaitu bulunya kusam, kurus, dan informasi yang diperoleh dari peternak
menyatakan bahwa nafsu makan ayam menurun dan diare berwarna hijau.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil kerokan kulit dan pengamatan ulas darah maka dapat diambil
kesimpulan yaitu jenis tungau yang ditemukan dan dapat diidentifikasi yaitu
Demodex canis. Hasil pemeriksaan ulas darah ayam menunjukkan terdapat adanya
negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Budiartawan IKA dan Batan IW. 2008. Infeksi Demodex canis pada Anjing Persilangan
Pomeranian dengan Anjing Lokal. Indonesia Medicus Veterinus 7(5): 562-575
Kementrian Pertanian. 2014. Manual Penyakit Mamalia Cetakan ke-2. Jakarta: Subdit
Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian
Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner, penerjemah: Gatut Ashadi,
Wardiarto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Perkins SL, Schall JJ. 2000. A molecular phylogeny of malarial parasites reovered from
cytochrome b gene sequence. Journal Parasitol, 88: 972-978.
Sardjana IKW. 2012. Pengobatan Demodekosis pada Anjing Di Rumah Sakit Hewan
Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Vet Medika J Klin
Vet 1(1): 9-14.
Stadler C.K. and Carpenter J.W. 1996. Parasites of Backyard. Seminars in Avian and Exotics
Pet Medicine.
Suwandi 2001. Mengenal Berbagai Penyakit Parasitik Pada Ternak. Bogor: Balai
PenelitianTernak.
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penaggulangannya – vol. 2. Yogyakarta : Kanisius.