Anda di halaman 1dari 146

LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK

PARASITOLOGI

OLEH
KELOMPOK 1C

1. MARIA TRIFONIA KADHA GEO, S.KH 2009020012


2. MARIA SERLYANTI APONG, S.KH 2009020013
3. ALFREDO J.D. NIRON, S.KH 2009020014
4. NILLA SARI NGADI, S.KH 2009020016
5. YUSTINA INDRAWATI, S.KH 2009020018
6. MONYCHA BUMBUNGAN, S.KH 2009020020
7. PETRICZIA EVARIZTA GANA, S.KH 2009020033
8. MARIANA ELISA MANCE, S.KH 2009020034

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN


KOASISTENSI PARASITOLOGI VETERINER KELOMPOK 1C

NO. NAMA MAHASIAWA NIM TANDA TANGAN


1. MARIA T.K GEO, S.K.H 2009020012
1.
2. MARIA S. APONG, S.K.H 2009020013 2.
3. ALFREDO J.D NIRON, S.K.H 2009020014 3.
4.
4. NILLA S. NGADI, S.K.H 2009020016

5. YUSTINA INDRAWATI, S.K.H 2009020018 5.


6.
6. MONYCHA BUMBUNGAN, S.K.H 2009020020
7.
7. MARITO B. GOMES, S.K.H 2009020028
8.
8. PETRICZIA E. GANA, S.K.H 2009020033 9.
9. MARIANA E. MANCE, S.K.H 2009020035

Mengetahui, Menyetujui,
Koordinator Ketua Program Studi Dokter Hewan

drh. Aji Winarso, M.Si Dr.drh. Novalino H.G Kallau, M.Si


NIP: 19850101 201012 1 009 NIP. 19801113 200801 1 004
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Koasistensi Parasitologi Veteriner dengan baik serta dapat
menyelesaikan laporan ini. Laporan ini merupakan pertanggung jawaban tertulis atas
pelaksanaan Koasistensi Patologi Veteriner yang telah dilaksanakan pada tanggal 17 Mei
sampai dengan 29 Mei 2021. Pelaksanaan Koasistensi Parasitologi Veteriner ini dapat
terlaksana dengan baik dan berjalan dengan lancar berkat bantuan dan kerjasama dari
berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan pengarahan dalam
pelaksanaannya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Koasistensi Parasitologi Veteriner yang mengarahkan penulis dalam
kegiatan koasistensi dan penulisan laporan serta kritik, saran, dan segala dukungan yang telah
diberikan untuk menyempurnakan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan senang hati untuk perbaikan
lebih lanjut.

Kupang, 29 Mei 2021

Penulis
BIODATA ANGGOTA KELOMPOK KOASISTENSI 1C

1. Nama Lengkap : Maria T.K Geo, S.K.H


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Bajawa, 18 Oktober 1998
Alamat Asal : Nagekeo, Kec. Boawae
Alamat Sekarang : Jl. Alfa Omega, Kel. Lasiana
Nomor Telpon : 081239095293
Alamat email : mariatrifoniakadhageo@gmail.com

2. Nama Lengkap : Maria S. Apong, S.K.H


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 09 Mei, 1998
Alamat Asal : Labuan Bajo, Kec. Komodo
Alamat Sekarang : Jl. Alfa Omega, Kel. Lasiana
Nomor Telpon : 082144430832
Alamat email : serly.apong98@gmail.com
3. Nama Lengkap : Alfredo J.D Niron, S.K.H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir : Kapan, 19 April 1998
Alamat Asal : Oelbubuk, Mollo Selatan
Alamat Sekarang : Oesapa
Nomor Telpon : 081339433442
Alamat email : royniron363@gmail.com

4. Nama Lengkap : Nilla S. Ngadi, S. K. H


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Maliana, 07 Oktober 1997
Alamat Asal : Jl. Bahkti Karang, Kec. Oebobo, Kel Oebobo
Alamat Sekarang : Jl. Bahkti Karang, Kec. Oebobo, Kel Oebobo
Nomor Telpon : 081239960883
Alamat email : nilla.ngaddi@gmail.com
5. Nama Lengkap : Yustina Indrawati, S.K.H
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Kupang, 01 Juni 1998
Alamat Asal : Jl. Thamrin, Oepoi
Alamat Sekarang : Jl. Thamrin, Oepoi
Nomor Telpon : 082145362368
Alamat email : yustinaindrawaty.yi@gmail.com

6. Nama Lengkap : Monycha Bumbungan, S.K.H


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Padang Sappa, 07 Maret 1998
Alamat Asal : Padang Sappa, Sulawesi Selatan
Alamat Sekarang : Jl. Amanuban No. 14, Oebufu
Nomor Telpon : 081237852341
Alamat email : Bumbungan.monyc@gmail.com
7. Nama Lengkap : Marito B. Gomes, S.K.H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir : Holsa-Maliana, 30 Juni 1993
Alamat Asal : Maliana-Bobonaro, Timor Leste
Alamat Sekarang : Jl. Alfa Omega, Kel. Lasiana
Nomor Telpon : 081338692185
Alamat email : maritogomes85@gmail.com

8. Nama Lengkap : Petriczia E. Gana, S.K.H


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Sabu, 31 Mei 1997
Alamat Asal : BTN Kolhua
Alamat Sekarang : BTN Kolhua
Nomor Telpon : 082247568755
Alamat email : ptrchziagana@gmail.com

9. Nama Lengkap : Mariana E. Mance, S.K.H


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Kefamenanu, 29 Oktober 1998
Alamat Asal : Manggarai, Ruteng
Alamat Sekarang : RSS Baumata blok E2 No. 38
Nomor Telpon : 081236775616
Alamat email : ilsha.mance29@gmil.com
LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK
PARASITOLOGI

OLEH
KELOMPOK
1C

1. MARIA TRIFONIA KADHA GEO, S.KH 20090200


12
2. MARIA SERLYANTI APONG, S.KH 20090200
13
3. ALFREDO J.D. NIRON, S.KH 20090200
14
4. NILLA SARI NGADI, S.KH 20090200
16
5. YUSTINA INDRAWATI, S.KH 20090200
18
6. MONYCHA BUMBUNGAN, S.KH 20090200
20
7. PETRICZIA EVARIZTA GANA, S.KH 20090200
33
8. MARIANA ELISA MANCE, S.KH 20090200
34

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Parasit berasal dari kata parasites yang berarti jasad yang mengambil makanan. Parasit
dapat didefinisikan sebagai hewan atau tumbuhan yang hidup di atas atau di dalam tubuh
makhluk hidup lain dan hidupnya tergantung pada makhluk hidup tersebut serta memperoleh
keuntungan darinya. Berdasarkan istilah, parasit merupakan organisme yang hidup untuk
sementara ataupun tetap di dalam atau pada permukaan organisme lain untuk mengambil
makanan sebagian atau seluruhnya dari organisme tersebut (Sandjaja, 2007).
Kambing merupakan jenis ternak yang sudah lama dibudidayakan. Memelihara kambing
tidak sulit karena pakannya cukup beragam. Berbagai jenis hijauan dapat dimakannya. Jenis
daun-daunan yang cukup digemari oleh kambing antara lain daun turi, lamtoro dan nangka.
Delapan bangsa kambing asal Indonesia adalah kambing Marica, kambing Samosir, Muara,
Kosta, Gembrong, Benggala, Kacang dan Etawa (Pamungkas et al., 2009).
Namun ada kendala yang dialami oleh peternak yaitu kambing yang terinfeksi cacing
parasit pada saluran pencernaan yang dapat mengganggu kesehatan, serta menurunkan
produktivitas, dan menyebabkan kematian. Kontaminasi cacing parasit berasal dari pakan
hijauan yang dikonsumsi dan telah terinfestasi larva parasit (Safar dan Ismid, 1989).
Parasit yang menginfeksi kambing antara lain nematoda yang menyerang saluran
intestinum endoparasit. Nematoda menghasilkan telur yang dikeluarkan bersama feses oleh
cacing betina yang jumlahnya mencapai ratusan butir per hari. Telurtelur tersebut masuk ke
dalam tubuh hospes dalam bentuk infektif melalui mulut dalam bentuk larva melalui kulit.
Gejala ini dapat dilihat melalui pengujian parasit nematoda yang ada dalam saluran
pencernaan kambing sekaligus melihat prevalensi telur cacing parasit melalui pemeriksaan
feses kambing (Garcia dan David, 1996).
Tujuan
Tujuan dilakukan pemeriksaan feses kambing menggunakan metode natif dan
pengapungan sederhana adalah untuk mengetahui jenis cacing dan telur cacing nematoda
yang menginfeksi pada kambing yang berada di Kupang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kambing
Ternak kambing merupakan salah satu alternatif bagi pemenuhan kebutuhan protein
hewani karena memiliki siklus reproduksi lebih cepat dibandingkan sapi dan kerbau. Penyakit
utama ternak kambing adalah penyakit parasiter saluran pencernaan. Penyakit parasiter dapat
menurunkan performans ternak dan kerugian ekonomi bagi peternak (Pfukenyi &
Mukaratirwa 2013). Infeksi tunggal atau campuran oleh koksidia dan cacing nematoda sangat
berdampak pada produksi, bahkan kematian ternak muda (Bowman 2009).
Salah satu penyakit parasitik yang sering menjadi permasalahan pada ternak kambing
namun sering diabaikan oleh peternak adalah penyakit cacingan yang disebabkan oleh cacing
saluran pencernaan (gastrointestinal) (Hanafiah et al., 2002). Parasit cacing saluran
pencernaan merupakan masalah utama yang menyebabkan gangguan kesehatan pada ternak
khususnya ruminansia kecil. Kambing dan domba merupakan ternak yang mudah terinfestasi
oleh parasit cacing saluran pencernaan baik secara klinis maupun subklinis di negara
berkembang (Zeryehun, 2012) dibandingkan dengan ternak yang lain karena kebiasaannya
merumput (Schoenian, 2003).
Kerugian yang ditimbulkan akibat infestasi cacing saluran pencernaan diantaranya
adalah menurunkan performa produksi dan reproduksi (Ayaz et al., 2013) disamping juga
menurunkan feed intake dan feed conversion efficiency (Kanyari et al., 2009), terutama pada
kondisi penyerapan nutrien yang tidak baik akan menghambat pertumbuhan (Terefe et al.,
2012) akan memicu terjadinya anemia dan bahkan kematian pada infestasi parasit cacing
yang berat (Hassan et al., 2011). Di samping itu, infestasi parasit cacing akan menimbulkan
lemahnya kekebalan tubuh, sehingga ternak lebih rentan terhadap infeksi penyakit pathogen
lain dan akhirnya akan menyebabkan kerugian ekonomi (Garedaghi et al., 2011).

Morfologi Kambing
Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam
: Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Upafamili : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : C. Aegagrus
Upaspesies : C. a. hircus

Endoparasit
Endoparasit merupakan parasit yang hidup di dalam tubuh hospes (inang) sehingga
penyakit yang disebabkan dapat bersifat lokal maupun sistemik. Parasit memiliki kemampuan
beradaptasi yang tinggi terhadap jaringan hospes sehingga tidak menimbulkan gejala klinis
yang serius. Endoparasit yang sering menyerang kambing adalah protozoa dan cacing
endoparasit. Parasit ini dapat menular pada manusia (Natadisastra dan Agoes, 2009).
Kerugian akibat infeksi parasit khususnya cacing pada ternak di Indonesia sangat besar.
Hal ini akibat cacing parasit menyerap zat-zat makanan, menghisap darah/cairan tubuh, atau
makan jaringan tubuh ternak. Cacing parasit juga menyebabkan kerusakan pada sel-sel epitel
usus, sehingga dapat menurunkan kemampuan usus dalam proses pencernaan dan penyerapan
zat- zat makanan serta produksi enzim-enzim yang berperan dalam proses pencernaan. Selain
itu berkumpulnya parasit dalam jumlah besar di usus atau lambung ternak dapat
menyebabkan penyumbatan atau obstruksi sehingga proses pencernaan makanan terganggu
(Akoso, 1996).

Strongyloides
Strongyloides sering disebut dengan cacing benang karena di dalam telur terdapat larva
yang melengkung mirip dengan benang. Bentuk telurnya agak lonjong dan memiliki lapisan
dinding telur yang tipis dengan panjang telur mencapai 81,27 µm serta lebar 42,06 µm
(Schad, 1989).
Telur berbentuk seperti telur cacing tambang tetapi berbentuk lonjong dan hanya
ditemukan pada feses dengan diare berat atau setelah pemberian pencahar (Natadisastra &
Agoes 2009: 84). Telur berukuran lebih kecil daripada telur cacing tambang yaitu (50--
60)x(30--35) µm, berdinding tipis dan di dalam telur terdapat embrio (Cheesbrough 2005:
215; Natadisastra & Agoes 2009: 84). Telur dikeluarkan di dalam mukosa usus oleh cacing
betina parasit, dan segera menetas menjadi larva rhabditiform (Gambar 1) (Soedarto 2009:
54).
Gambar 1. Telur Strongyloides sp. Perbesaran 12x100
(Sumber. Cheesbrough 2005: 215)

Telur Strongyloides Bentuk telur cacing Strongyloides yang ditemukan yaitu berbentuk
elips, memiliki dinding telur yang tipis serta memiliki embrio. Menurut Levine (1990), telur
cacing Strongyloides memiliki dinding telur yang tipis, berbentuk elips, dan telah berembrio
pada saat dikeluarkan.

Gambar 2. Telur cacing strongiloides


(Sumber. Datta et al., 2019)
Telur Strongyloid Bentuk telur cacing Strongyloid yang ditemukan yaitu memiliki
bentuk oval dan berkerabang tipis yang di dalamnya tedapat banyak sel. Hal ini sejalan
dengan yang ditemukan oleh Mukti et al. (2016) bahwa telur tipe Strongyloid memiliki
bentuk elips atau lonjong dan bagian sisinya berbentuk seperti tong, berkerabang tipis, serta
mengandung blastomer yang jumlahnya bervariasi. Telur tipe Strongyloid memiliki ukuran
dan morfologi yang hampir sama antara satu genus dengan genus lainnya, sehingga perlu
dilakukan kultur feses sehingga diperoleh larva stadium tiga untuk identifikasi lebih lanjut
(Gibbons, 2014 cit. Dhewiyanty, 2015, p 179).
Gambar 3. Telur cacing strongyloid
(Sumber. Datta et al., 2019)

Siklus hidup Strongyloides memiliki 2 macam kehidupan cacing yaitu hidup bebas di
tanah dan hidup sebagai parasit. Cacing dewasa yang hidup bebas terdiri atas, cacing betina
yang memiliki ukuran (0,001x50) m, mempunyai esofagus berbentuk lonjong, bulbus
esofagus di bagian posterior, ekor lurus meruncing, vulva terletak dekat pertengahan tubuh
yang merupakan muara dari uterus bagian posterior. Cacing jantan berukuran (700x45) m,
ekor melengkung ke depan, memiliki dua buah spikula kecil kecoklat-coklatan, esofagus
lonjong dilengkapi bulbus esofagus (Natadisastra & Agoes 2009: 84).
BAB III

METODELOGI

Waktu dan Tempat


Tempat pengambilan sampel feses dilakukan di daerah Baumata, Nasi Panaf dan Laker.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan metode Pengapungan sederhana dan Natif
diklinik Hewan Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Nusa Cendana. Kegiatan ini
dilaksanakan pada tanggal 17 Mei – 21 Mei 2021.

Materi
Alat
Alat yang digunakan adalah mikroskop binokuler, objek glass, cover glas, spatula atau
batang korek api, pipet tets, tabung reaksi (15 ml), rak tabung, gelas plastik, dan penyaring
teh.

Bahan
Larutan flotasi gula jenuh 500ml, larutan NaCL fisiologis, dan feses kambing.

Metode
 Metode pemeriksaan yang dilakukan menggunakan metode natif :

1. Letakan setitik feses dengan menggunakan batang korek api.

2. Teteskan 1-2 tetes larutan NaCL fisiologis menggunakan pipert tetes.

3. Aduk dengan menggunakan batang korek api

4. Tutp dengan cover glas

5. Amati dibawah mikroskop dengan perbesaran objektif 4x atau 10x.

 Metode pemeriksaan yang dilakukan menggunakan metode pengapungan sederhana :

1. Ambil sampel feses sekitar 1 gram, kemudian diaduk bersama 10 ml larutan


pengapung di dalam gelas plastik.

2. Saring dan tampung pada gelas yang lain

3. Tuangkan suspensi yang sudah disaring ke dalam tabung reaksi yang sudah disiapkan
pada rak tabung.
4. Tambahkan larutan pengapung hingga meniscus isi tabung menjadi cembung.

5. Tutup dengan cover glas pada mulut tabung reaksi.

6. Diamkan selama 3-5 menit untuk waktu telur parasit mengapung ke bagian mulut
tabung reaksi.

7. Angkat cover slip dengan arah keatas (bukan digeser) dan tempelkan pada objek
glass.

8. Amati di bawah mikroskop dengan perbesaran objektif 4x atau 10x.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada sampe feses kambing ditemukan
adanya bentuk ookista strongyloid dan strongyloides.

Gambar 4. Telur cacing strongyloid

Gambar 5. Telur cacing strongyloides

Pembahasan
Larva infektif Strongyloides tidak memiliki selubung pelindung tubuh sehingga larva
infektif ini menjadi kurang terproteksi jika dibandingkan dengan larva infektif yang memiliki
selubung tubuh, namun Strongyloides memiliki keunikan dalam hal siklus hidupnya.
Strongyloides memiliki generasi seksual yang hidup bebas di alam (free living)
disamping memiliki perkembangan sebagai parasit di dalam tubuh hewan (Levine, 1994).
Oleh karena itu, Strongyloides memiliki dua jalur pula dalam menghasilkan telur yang akan
berkembang menjadi larva infektif dan kemudian cacing dewasa. Pertama, lewat telur yang
dihasilkan cacing dewasa di dalam saluran pencernaan inang dan kedua, lewat telur yang
dihasilkan oleh cacing dewasa yang hidup bebas di alam. Selain itu Strongyloides dapat
menginfeksi inang dengan cara menembus kulit ataupun termakan. Faktor-faktor ini dapat
menyebabkan nilai prevalensi dan intensitasnya menjadi tinggi.
Menurut Bowman (2009), sama seperti larva stadium pertama dan kedua, larva infektif
(larva stadium ketiga) juga bersifat free-living (hidup bebas di alam). Larva stadium pertama
dan kedua hidup pada feses dan memakan bakteri yang ada di dalamnya, kemudian pada
stadium ketiga larva mulai bermigrasi menuju ke lingkungan sekitarnya, misalnya vegetasi
yang berupa rumput. Infeksi dapat terjadi salah satunya apabila rumput yang terkontaminasi
oleh larva infektif dimakan oleh ternak.
Kondisi yang menyebabkan tingginya tingkat kejadian infestasi cacing saluran
pencernaan pada kambing yaitu sanitasi dan kebersihan kandang serta manajemen peternakan
yang diterapkan masih bersifat semi intensif, seperti ternak kambing memakan rumput di
padang gembalaan ataupun pakan hijauan yang diberikan saat ternak berada di kandang
sudah tercemar oleh larva infektif cacing nematoda (Purwaningsih et al., 2017).
Ternak muda lebih rentan terinfeksi parasit cacing jika dibandingkan denga ternak
dewasa karna ternak dewasa secara alami telah memiliki ketahanan tubuh terhadap parasit
cacing sehingga lebih mampu bertahan (Segara et al., 2018).
Menurut Dwinata (Larasati et al., 2017), sanitasi kandang yang yang kurang baik yaitu
kotoran yang dibiarkan menumpuk di dalam kandang akan mengundang lalat dan juga
memungkinkan larva nematoda berkembang di dalamnya. Apabila kulit ternak bersentuhan
dengan kotoran tersebut, maka beberapa larva cacing dapat masuk ke dalam tubuh ternak.
Menurut Subekti et al. (2002) dalam Sugiarti (2006), larva Bunostomum dan Strongyloides
memiliki kemampuan untuk menembus kulit inang. Pola pemberian pakan, dan faktor
lingkungan (suhu, kelemababn, dan curah hujan) dapat mempengaruhi berkembangnya
parasit saluran pencernaan pada hewan ternak.
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang diamati pada feses kambing tersebut maka didapatkan
hasil yaitu adanya infeksi telur cacing strongyloid dan strongyloides. Hal ini dikarenakan
sanitasi dan kebersihan kandang serta manajemen peternakan yang diterapkan masih bersifat
semi intensif, seperti ternak kambing memakan rumput di padang gembalaan ataupun pakan
hijauan yang diberikan saat ternak berada di kandang sudah tercemar oleh larva infektif
cacing nematoda.
DAFTAR PUSTAKA

Ayaz, M.M., M.A. Raza, S. Murtaza and S. Akhtar. 2013. Epidemiological survey of
helminths of goats in southern Punjab, Pakistan. Trop. Biomed. 30: 62-70.
Bowman DD. 2009. Georgis’ Parasitology for Veterinarians. 9th ed. St. Louis, Missouri:
Saunders Elsevier
Cheesbrough, M. 2005. District laboratory practice in tropical countries. Cambridge
University Press, 2nd ed, New York : vi+888 hlm.
Datta FU, Tinenti T, Detha AIR, Foeh NDFK, Ndaong NA. 2019. Deskripsi Morfologis
Nematoda Saluran Pencernaan Kambing Kacang (Capra Hircus Aegagrus) Di Kota Kupang-
Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional VII Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana. ISBN: 978-602-6906-55-7
Garcia, L. S.,dan David. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Buku Kedokteran.
Jakarta:EGC.
Garedaghi, Y., A.P. Rezaii-Saber, A. Naghizadeh and M. Nazeri. 2011. Survey on
prevalence of sheep and goats lungworms in Tabriz abattoir, Iran. Adv. Environ. Bio. 5: 773-
775.
Hanafiah, M., Winaruddin, dan Rusli. 2002. Studi infeksi nematode gastrointestinal pada
kambing dan domba di rumah potong hewan Banda Aceh. J. Sain Vet. 20(1): 14- 182
Hassan, M.M., M.A. Hoque, S.K.M.A. Islam, S.A. Khan, K. Roy and Q. Banu. 2011. A
prevalence of parasites in Black Bengal goats in Chittagong, Bangladesh. Int. J. Livestock
Prod. 2: 40-44.
Kanyari, P., W. Kagira, and R. Mhoma. 2009. Prevalence and intensity of endoparasites
in small ruminants kept by farmers in Kisumu Municipality, Kenya. Livestock Res. Rural
Develop. 21: 12-15.
Larasati H, Hartono M, Siswanto. 2017. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Sapi
Perah Periode Juni-Juli 2016 pada Peternakan Rakyat di Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian
Peternakan Indonesia, 1(1):8-15.
Levine, 1994, Parasitologi Veteriner, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Mileski, A. and P. Myers. 2004. Capra hircus animal diversity
Web.http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/C pra hircus html.
Natadisastra, D. and R. Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran: diinjau dari organ tubuh
yang terserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Pamungkas, F.A., A. Batubara, M. Doloksaribu, and E. Sihite. 2009. Potensi Beberapa
Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Juknis (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Pfukenyi DM, Mukaratirwa S. 2013. A review of the epidemiology and control of
gastrointestinal nematode Infections in cattle in Zimbabwe. Onderstepoort Journal of
Veterinary Research. 80(1): 1-12.
Purwaningsih, Noviyanti, Sambodo P. 2017. Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada
Kambing Kacang Peranakan Ettawa Di Kelurahan Amban Kecematan Manokwari Barat
Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 5(1): 8-12.
Safar, R., D., dan Ismid. 1989. Parasitparasit intestinal yang ditemukan pada murid
Sekolah Dasar pusat kota, derah perkebunan, daerah pertanian, dan daerah nelayan
kotamadya, Padang Sumatera Barat. Prosiding Seminar Parasitologi Nasional V. P41.
Jakarta. Hal: 222.
Sandjaja B. 2007. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Schad.
Schad, G. A. 1989. Morphology and life history of Strongyloides stercoralis. In: Grove
DI, editor. Strongyloidiasis a major roundworm infection of man. London: Taylor and
Francis.
Schoenian, S. 2003. Integrated Parasite Management (IPM) in Small Ruminants.
[Internet]
Segara RB, Hartono M, Suharyati S. 2018. Pengaruh Infestasi Cacing Saluran
Pencernaan Terhadap Bobot Tubuh Kambing Saburai pada Kelompok Ternak di Kecamatan
Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Jurnal Riset dan Inovasi
Peternakan, 2(1):14-19.
Terefe, D., D. Demissie, D. Beyene and S. Haile. 2012. A prevalence study of internal
parasites infecting Boer goats at Adami Tulu agricultural research center, Ethiopia. J. Vet.
Med. Anim. Health. 4: 12-16.
Zeryehun, T. 2012. Helminthosis of sheep and goats in and around Haramaya,
Southeastern Ethiopia. J. Vet. Med. Anim. Health 4: 48-55.
LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK
PARASITOLOGI

OLEH

KELOMPOK 1C

1. MARIA TRIFONIA KADHA GEO, S.KH 2009020012


2. MARIA SERLYANTI APONG, S.KH 2009020013
3. ALFREDO J.D. NIRON, S.KH 2009020014
4. NILLA SARI NGADI, S.KH 2009020016
5. YUSTINA INDRAWATI, S.KH 2009020018
6. MONYCHA BUMBUNGAN, S.KH 2009020020
7. PETRICZIA EVARIZTA GANA, S.KH 2009020033
8. MARIANA ELISA MANCE, S.KH 2009020034

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ternak babi merupakan salah satu bagian penting dalam menunjang perekonomian
banyak negara. Populasi babi terus meningkat dari tahun ke tahun terkait meningkatnya
konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di daerah Kupang, ternak babi merupakan
komoditi unggulan dimasyarakat. Hampir sebagian besar masyarakat Kupang memelihara
ternak babi sebagai usaha pokok maupun sampingan. Babi mempunyai peranan penting bagi
masyarakat baik sebagai penyedia sumber protein hewani, pendapatan, lapangan pekerjaan,
tabungan serta penghasil pupuk (Disnak, 1999). Babi memiliki banyak keunggulan
dibandingkan ternak lain yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,
mudah mencari sumber pakan serta nilai karkas cukup tinggi sebagai penyedia protein
hewani bagi manusia (Nugroho dan Whendrato, 1990).
Dalam kaitannya dengan usaha beternak babi, masyarakat Kupang pada umumnya
melakukan pemeliharaan dengan cara intensif atau dikandangkan. Kandang ternak babi
sendiri ada yang terbuat dari semen dan ada yang langsung beralaskan tanah. Pakan yang
diberikan berupa pakan toko atau konsentrat dan juga diberikan pakan berupa limbah rumah
tangga.
Penyakit cacing khususnya dari kelas nematoda saluran pencernaan merupakan salah

satu jenis penyakit yang dapat menginfeksi babi contohnya seperti infeksi dari Ascaris suum,

Strongyloides ransomi, cacing tipe Strongyl (Globocephalus urosubulatus,

Oesophagostomum dentatum dan Hyostrongylus rubidus), Trichuris suis, Gnathostoma

hispidum dan Macracanthorhyncus hirudinaceus (Kaufmann, 1996). Dampak yang

ditimbulkan dari infeksi nematoda tersebut bagi ternak babi bervariasi diantaranya seperti

terjadinya diare pada babi, gastritis, peritonitis akibat infeksi, anoreksia, penurunan berat

badan, kekurusan bahkan pada kasus berat dapat mengakibatkan kematian pada ternak babi

(Soulsby, 1982).
Tujuan

Tujuan dilakukan pemeriksaan feses babi menggunakan Mcmaster adalah untuk mengetahui

derajat infeksi nematoda pada babi yang berada di Kupang.


BAB II

TINJAUN PUSTAKA

Nematoda

Salah satu penyakit parasiter yang sering menjadi permasalahan adalah penyakit

cacingan yang disebabkan oleh nematoda saluran pencernaan (Hanafiah et al.,2002).

Beberapa cacing nematode yang sering menginfeksi usus halus babi, antara lain:

Trichinella spiralis, Ascaris suum, Trychostrongyloides axei, Strongyloides ransomi,

Globocepalus sp., dan Macracathorhyncus hirudinaceus. Infeksi cacing nematode pada

ternak dapat menyebabkan enteritis, diare, hilang nafsu makan, lemah, turunnya

pertumbuhan dan kematian (Myer and Brendemuhl, 2003). Menurut Marcos et al. (2011),

kelompok endoparasit nematode dapat mengakibatkan penurunan hingga 5% asupan

pakan harian pada ternak yang terinfeksi dan menyebabkan penurunan berat badan rata-

rata hingga 31% dan meningkatkan rasio konversi pakan ratarata hingga 17%.

Nematoda adalah cacing yang hidup bebas atau sebagai parasit. Ciri-ciri tubuhnya

tidak bersegmen dan biasanya berbentuk silinder yang memanjang serta meruncing pada

kedua ujungnya. Nematoda memiliki siklus hidup langsung, sehingga tidak memerlukan

inang antara dalam perkembangan hidupnya. Cacing betina dewasa bertelur dan

mengeluarkan telur bersamaan dengan tinja, di luar tubuh telur akan berkembang. Larva

infektif dapat masuk ke dalam tubuh babi secara aktif, tertelan atau melalui gigitan vektor

berupa rayap. Badannya dibungkus oleh lapisan kutikula yang dilengkapi dengan gelang-

gelang yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa (Kusumamihardja, 1992).
Jenis Nematoda

Strongyloid

Telur strongyle memiliki ciri khas morfologi yang dapat dibedakan dengan

telur cacing parasit lainnya. Bentuk telur cacing strongyle yang ditemukan

biasanya berwarna kekuningan dengan dinding tipis dan transparan, serta di

dalamnya terdapat sel menyerupai fase morulla seperti anggur (Zajac and

Conboy., 2012). Berdasarkan pengukuran panjang dan diameter, ditemukan

2 jenis ukuran telur. Jenis pertama memiliki ukuran panjang berkisar antara

71-78 µm dengan diameter berkisar antara 37-43 µm sedangkan jenis kedua

memiliki ukuran panjang berkisar antara 82-89 µm dengan diameter berkisar

antara 43-49 µm (Zajac and Conboy., 2012).

Gambar 1. Telur cacing Strongyloid

Strongyloides

Cacing ini sering disebut dengan cacing benang karena ukurannnya yang

lebih kecil dari cacing tambang dan di dalamnya terdapat larva yang

melengkung mirip dengan benang (Heelan dan Ingersoll, 2002). Menurut

Levine (1990) telur cacing Stronglyoides memiliki dinding telur yang tipis,

berbentuk elips dan telah berembrio pada saat dikeluarkan Cacing betina
panjangnya 3.5-6.0 mm dan berdiameter 50-65 mikron dan menghasilkan

telur berbentuk elips, berdinding tipis, dan berembrio berukuran 40-64 x 20-

42 mikron. Cacing jantan hidup bebas panjagnya 700-825 mikron, dengan

spikulum melengkung dan panjang sekitar 33 mikron dan guberkulumnya

yang panjangnya 20 mikron dan lebar 2,5 mikron (Levine, 1990).

Gambar 2. Telur cacing Strongyloides

Ookista

Ookista memiliki dinding transparan yang berfungsi melindungi ookista di

alam. Dinding Ookista terdiri dari 1 atau 2 lapis yang terdiri dari Outer layer

of oocyst wall (lapisan luar) dan Inner layer of oocyst wall (lapisan dalam)

dan di dalamnya terdapat sporokista. Ukuran ookista sangat bervariasi, rata-

rata panjang 23 mikron dan lebar 19 mikron. Ookista yang bersporulasi

mengandung empat sporokista dan masing-masing sporokista mengandung

dua sporozoit. Sporokista berbentuk tanpa badan residu (residual body) dan

berukuran kira-kira lebar 7 mikron dan panjang 11 mikron. Sporokista pada

ujung yang lebih kecil terdapat sumbat berbentuk bulat kecil yang mengisi

suatu lubang pada dindingnya dan agak menonjol keluar (Wea at al., 2020).
Gambar 3. Ookista dengan sporokista di dalamnya

Siklus Hidup Nematoda

Siklus hidup nematoda secara umum dimulai dari larva nematoda infektif yang

menjangkit ternak melalui ingesti (penelanan) bersama rumput yang dimakan oleh ternak.

Larva infektif dapat menembus kulit pada bagian kaki ketika hewan berdiri di atas tanah,

juga dapat melalui fecal contaminated area atau daerah yang terkontaminasi feses yang

mengandung telur cacing yang akan tertempel di permukaan tubuh hewan ketika

berbaring. Larva cacing yang telah tertelan atau masuk ke dalam tubuh, bergerak melalui

darah menuju ke jantung dan paru paru, kemudian ke saluran usus dan menjadi cacing

dewasa. Perkembangan larva nematoda gastrointestinal ke fase tiga atau larva infektif

dapat terjadi secara cepat selama 7-14 hari di lingkungan selama kondisi optimal (suhu

yang hangat). Ketika larva sudah mencapai fase larva infektif, larva tersebut dapat

bertahan hidup selama berbulan-bulan hingga pergantian musim. Setelah menginfestasi

hewan ternak, kebanyakan nematoda parasit berkembang menjadi dewasa selama 2-4

minggu. Kerusakan besar yang ditimbulkan di abomasum dan saluran usus terjadi selama

periode perkembangan larva ke tahap dewasa. Total siklus hidup dari telur menuju telur

kembali membutuhkan waktu sekitar 6-8 minggu yaitu 2-3 minggu di lingkungan dan 2-5

minggu di dalam tubuh hewan (Wiliams dan Loyacano, 2001).


Metode Mcmaster

Pemeriksaan parasite dengan metode McMaster merupakan pemeriksaan

kuantitatif, karena selain menentukan hasil positif dan negative infeksi parasite, metode

ini juga mampu mengasilkan data jumlah telur atau ookista dalam setiao gram feces yang

diperiksa. Dengan memeriksa sampel yang beratnya diketahui, pengencerannya diketahui

dan volume subsample dalam kamar hitung yang diketahui, maka jumlah (kepadatan)

telur yang ditemukan dalam kamar hitung dapat dikonversi menjadi jumlah (kepadatan)

telur dalam feses (Winarso, 2020)

Dalam pemeriksaan dengan metode McMaster, petugas lab memiliki takaran

dalam mengencerkan feces dengan larutan pengapung menjadi suspensi. Sedangkan satu

kaca kamar hitung McMaster memiliki dua kamar hitung, masing-masing kamar memiliki

volume hitung efektif sebesar 0,15 ml. jadi total perhitungan telur parasite yang dihitung

pada kedua kamar hitung adalah 0,30 ml subsampel suspensi feces. Setelah penghitungan

dilakukan, data dikonversi untuk dinyatakan dalam Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) atau

untuk ookista dinyatakan dalam Ookista Tiap Gram Tinja (OTGT) (Winarso, 2020).
BAB III

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Tempat pengambilan sampel feses dilakukan di daerah Baumata, Fatukoa dan

Binilaka. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan metode Mcmaster diklinik Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Nusa Cendana. Kegiatan ini dilaksanakan pada

tanggal 17 Mei – 21 Mei 2021.

Materi

Alat

Alat yang digunakan adalah gelas ukur, penyaring, Mcmaster, pipet,

pengaduk, timbangan, gelas plastik.

Bahan

Larutan flotasi gula jenuh 500ml, feses babi.

Metode

Metode pemeriksaan yang dilakukan menggunakan mcmaster

1. Timbang 2 gram sampel feces

2. Masukkan kedalam gelas plastik, tambahkan dengan 58 ml larutan pengapung

sehingga mendapat 60 ml suspensi

3. Gunakan mortar untuk membantu menghancurkan feces

4. Suspensi feces disaring dengan penyaring teh untuk mengurangi debris yang

menggangu visibilitas

5. Selanjutnya suspensi feces dihomogenkan dan diambil suspensi dengan pipet

untuk diisikan ke dalam kamar hitung


6. Suspensi dihomogenkan setiap kali diambil subsample untuk mengisi kamar

hitung

7. Setelah kamar hitung diisi dengan suspensi, kamar hitung diamati di bawah

mikroskop dengan perbesaran objektif 10 kali.

8. Pastikan anda menemukan garis batas kamar hitung

9. Kedua ruang dalam kamar hitung diamati dan hanya telur yang berada di dalam

garis batas kamar yang dihitung

10. Catat hasil pengamatan dan penghitungan berdasarkan tipe telur pada table

pengamatan.

Jumlah (kepadatan) telur dalam feses dinyatakan dalam Telur Tiap Gram Tinja (TTGT)
atau untuk ookista dinyatakan dalam Ookista Tiap Gram Tinja (OTGT) dengan menghitungnya
menggunakan rumus :
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 60 𝑚𝑙
= X = Jumlah telur x 100 TTGT
0,3 𝑚𝑙 2 𝑔𝑟𝑎𝑚
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengambilan sampel feses untuk pemeriksaan telur cacing dan pengukuran

tingkat infeksi nematoda pada ternak babi. Pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan

mengambil sampel feses menggunakan sarung tangan kemudian di simpan dalam

coolbox dan selanjutnya akan di periksa menggunakan McMaster. Penggunaan metode

McMaster dilakukan dengan tujuan untuk menentukan tingkat keparahan infeksi telur

cacing parasit dari hasil perhitungan telur per gram feses dengan menggunakan kamar

hitung McMaster.

Berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan mikroskop ditemukan jenis telur

cacing yang menginfeksi ternak babi paling banyak adalah dari jenis Strongyloid,

Strongyloides dan Ookista. Ketika dilakukan wawancara bersama peternak di dapatkan

informasi bahwa ternak babi banyak yang belum pernah diberikan obat cacing

(antihelmintik) sebelumnya oleh peternak.

Menurut Nofyan et al., (2010) mengatakan bahwa infeksi dapat dibedakan

menjadi infeksi ringan jika jumlah telur 1─499 butir per gram tinja, infeksi sedang

dengan jumlah telur 500─5000 butir per gram tinja dan infeksi berat dengan jumlah telur

lebih dari 5000 butir per gram tinja ternak. Hasil evaluasi pemeriksaan sampel feses

ternak babi didapatkan hasil yaitu tingkat infeksi berada di kisaran infeksi ringan sampai

dengan infeksi sedang.

Kisaran infeksi ringan maupun sedang umumnya tidak menggangu kesehatan

akan tetapi dapat mempengaruhi produktivitas ternak itu sendiri (Tantri et al., 2013).

Beberapa faktor yang mempengaruhi hewan terinfeksi parasit saluran pencernaan antara
lain umur, keadaan kondisi hewan serta cara pemeliharaan. Umur berpengaruh terhadap

konsentrasi imunitas alami (pasif) dan imunitas aktif yang terdapat dalam tubuh ternak

(Levine, 1990). Kadarsih dan Siwitri (2004) menjelaskan proses terjadi infestasi parasit

nematoda gastrointestinal juga sangat dipengaruhi oleh faktor umur terutama pada hewan

lebih muda. Soulsby (1986) menyatakan hewan muda akan lebih rentan terhadap infestasi

cacing di banding dengan hewan dewasa hal ini berkaitan dengan belum meningkatnya

sel goblet dalam usus yang menghambat pertumbuhan larva inektif parasit nematoda.

1. Identifikasi Telur Cacing Nematoda

Pemeriksaan sampel feses yang telah dilakukan pada ternak babi,

ditemukan tipe telur cacing dari Tricurid dan Strongyloid

a. Telur Strongyloid

Bentuk telur cacing strongyloid yang ditemukan memiliki bentuk oval,

di dalamnya terdapat banyal sel dan berkerabang tipis. Hal ini sejalan

dengan yang ditemukan oleh (Zajac and Conboy, 2012) bahwa tipe

Strongyloid biasanya berwarna kekuningan dengan dinding tipis dan

transparant dan di dalamnya terdapat sel yang menyerupai fase morulla

seperti anggur.

Gambar 5. Telur Strongyloid


b. Telur Strongyloides

Bentuk telur cacing strongyloides yang ditemukan berbentuk elips,

memiliki embrio dan memiliki dinding telur yang tipis. Cacing ini sering

disebut dengan cacing benang karena ukurannnya yang lebih kecil dari

cacing tambang dan di dalamnya terdapat larva yang melengkung mirip

dengan benang (Heelan dan Ingersoll, 2002). Menurut Levine (1990) telur

cacing Stronglyoides memiliki dinding telur yang tipis, berbentuk elips

dan telah berembrio pada saat dikeluarkan Cacing betina panjangnya 3.5-

6.0 mm dan berdiameter 50-65 mikron dan menghasilkan telur berbentuk

elips, berdinding tipis, dan berembrio berukuran 40-64 x 20-42 mikron.

Cacing jantan hidup bebas panjagnya 700-825 mikron, dengan spikulum

melengkung dan panjang sekitar 33 mikron dan guberkulumnya yang

panjangnya 20 mikron dan lebar 2,5 mikron (Levine, 1990).

Gambar 5. Telur Strongyloides

c. Ookista

Bentuk ookista pada saat pengamatan adalang berbentuk oval dan

bulat serta memiliki dinding yang transparan serta di bagian dalamnya

terdapat sporokista. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh

Nahampun (2019) bahwa ookista memiliki dinding transparan yang

berfungsi melindungi
ookista di alam. Dinding Ookista terdiri dari 1 atau 2 lapis yang terdiri dari

Outer layer of oocyst wall (lapisan luar) dan Inner layer of oocyst wall

(lapisan dalam) dan di dalamnya terdapat sporokista. Ukuran ookista

sangat bervariasi, rata-rata panjang 23 mikron dan lebar 19 mikron.

Ookista yang bersporulasi mengandung empat sporokista dan masing-

masing sporokista mengandung dua sporozoit.

Gambar (6) Telur ookista

Dibawah ini merupakan tabel hasil pemeriksaan feses pada ternak babi yang di ambil

untuk di lakukan pemeriksaan :

Kode Ascarid Strongyloid Strongyloides Cestoda Trmatoda Ookista

sampel

BB 1 - 11 - - - -

BB 2 - 2 6 - - 2

BB 3 - 8 1 - - -

BB 4 10 - - - -

BB 6 - 25 - - - -

BB - 9 - - - -
10
BB - 23 - - - -
11
BB - 37 - - - -
14
BB - 20 - - - -
13
BB - 47 2 - - -
21
BB - 39 - - - -
27
BJ - 16 - - - 2
29
BJ - 13 - - - 33
32
BJ - 5 5 - - 8
28
BB - 5 - - - -
34
BB - 15 2 - - -
25
BB - 10 - - - -
17
BB - 17 - - - -
20
BB 5 - 7 1 - - -

BB - 13 - - - -
16
BB - 10 - - - -
30
BB - 3 1 - -
38
BB - 5 - - - -
39
BB - 7 - - - -
40
BB - 16 4 - - -
26

Bila di amati maka terlihat jika jumlah infeksi nematode gastrointestinal pada ternak

babi yang ada di Kupang termasuk dalam kategori ringan dan sedang. Pada saat turun ke

rumah warga maupun peternakan babi yang ada, terlihat jika masyarakat biasanya

menggunakan atau membuat kandang ternak babi ada yang semuanya terbuat dari semen dan

beralaskan semen dan ada juga yang terbuat dari kayu dan beralaskan tanah. Pada kandang

yang beralaskan semen diketahui jika pemilik sering membersihkan kandang dua kali sehari

yakni pada pagi dan sore hari, sedangkan untuk kandang yang beralaskan langsung dengan

tanah diketahui juga jika pemilik membersihkannya satu kali saja dalam sehari. Tingkah laku
ternak babi yang diamati pada saat dilakukan pengambilan sampel feses ini yaitu ternak

kadang sering berbaring di sekitar feses, sehingga menjadi faktor yang dapat meningkatkan

peluang terjadinya infeksi cacing nematoda. Hal ini karena kotoran yang dibiarkan

menumpuk didalam kandang akan mengundang lalat dan juga memungkinkan larva nematoda

berkembang didalamnya. Apabila kulit ternak bersentuhan dengan kotoran tersebut, maka

beberapa larva cacing dapat masuk ke dalam tubuh ternak. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang di lakukan oleh Purwathiningsih et al., (2016) bahwa prevelensi kondisi

cacingan pada ternak tidak di pengaruhi oleh jenis kandang tetapi dipengaruhi oleh sanitasi

kandang. Hal ini dikarenakan larva cacing seperti Bonustomum dan Strongyloides memiliki

kemampuan untuk menembus kulit inang Subekti et al. (2002) dalam Sugiarti (2006).

Kerugian yang dapat ditimbulkan dari kecacingan antara lain penurunan produktivitas

ternak, penurunan daya kerja, penurunan berat badan 6-12 kg per tahun (Gasbarre et al.,

2001). Menurut Levine (1990) bahwa infeksi cacing saluran pencernaan seperti perlu

diwaspadai dikarenakan cacing menyebabkan keradangan pada saluran pencernaan yang

berakibat fatal pada ternak. Cacing di saluran pencernaan akan menghisap nutrisi, darah dan

cairan tubuh hingga dapat memakan jaringan tubuh, sehingga infestasi cacing didalam tubuh

akan menurunkan bobot badan dan menghambat pertumbuhan badan dan menurunkan daya

tahan tubuh terhadap penyakit lain, dan menyebabkan sumbatan (obstruksi) saluran dalam

usus (Imbang, 2003). Kerugian karena infestasi cacing menurut Ditjennak (2010) mencapai

4 milyar rupiah per tahun.


BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

Pada pemeriksaan yang dilakukan pada 30 sampel feses ternak babi

didapatkan bahwa semua sampel feses yang diambil positif terdapat telur nematoda di

dalam feses.

2. Saran

Melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pemberian obat cacing

(antihelmintik) dan manajemen pemeliharaan yang baik agar dapatmenurunkan

tingkat kejadian helmintiasis pada ternak babi.


DAFTAR PUSTAKA

Heelan JS, Ingersoll FW. 2002. Essentials of Parasitology. US: Delmar Thomson Learning: p.
39-40.
Disnak. 1999. Pemeliharaan Babi, Bagian Proyek Pembinaan Pembangunan Peternakan Bali,
Dinas Peternakan Propinsi DaTi I Bali.
Gasbarre LC, Leighton EA, Stout WL. 2001. Gastrointestinal Nematodes of Cattle in The
Northeastern US: Results of a Producer Survey. J. Veterinary Parasitology.

Imbang, D. 2003. Ilmu Kesehatan Ternak. Fakultas Peternakan Perikanan Universitas


Muhammadiyah Malang. Malang.

Kadarsih and Siwitri. (2004). Performans Sapi Bali Berdasarkan Ketinggian Tempat di Daerah
Transmigrasi Bengkulu: Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia vol. 6, No. 1.
Kaufmann, D.J. 1996. Parasitic Infection of Domestic Animal. ILRI. Germany.

Kuntari, T. 2008. Daya Antihelmintik Daun Rebusan Ketepeng (Cassia alata L) Terhadap
Cacing Tambang Anjing in Vitro, Jurnal Logika ed 5. Yogyakarta, Universitas Islam
Indonesia.
Levine ND. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : UGM University Press.

Nahampun W.S. 2019. Identifikasi dan Prevelensi Endoparasit Pada Feses Babi ( Sus sp.) Di
Peternakan Babi Daerah Binjai Km 12,5 Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.
Nugroho E dan Whendrato, I.1990. Beternak Babi. Eka Offset Semarang.

Purwathiningsih, Edy S, Muridi Q. 2016. Perbandingan Prevalensi dan Infeksi Parasit Nematoda
pada Sapi Potong Antara Model Kandang Berlantai Beton dengan Berlantai Tanah Di
Kecamatan Tuban Tahun 2016. Jurnal Peternakan Unisla.
Sugiarti, 2006. Identifikasi Nematoda Gastrointestinal pada Banteng (Bos javanicus d’ Alton) di
Taman Nasional Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi Melalui Pemeriksaan Feses. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.
Soulsby E.J.L. (1986). Helminth, Arthropod and Protozoa of Domesticated Animals. 7th ed. The
English Language Book Society and Bailliere Tindall. London.
Tantri N, Setyawati RT, Khotimah S. 2013.Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada
Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat,
Jurnal Protobiont. Vol 2(2): 102-106.
Williams CJ, Loyacano FA. 2001. Internal Parasites of Cattle in Louisiana and Other Southern
States, Louisiana Agricultural Experiment Station.
Wea R. Ninu AY. Leonak SPP. 2020. Optimalisasi Peternakan Babi Bibit Unggul (Persilangan
Landrace dan Duroc) Bagi Peternak Lokal Di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pengabdian
Kepada Masyarakat.
Zajac AZ and Conboy GA. 2012. Veterinary Clinical Parasitology.8th ed,WileyBlackwel, USA.
\
LAMPIRAN
LAPORAN KOASISTENSI PARASITOLOGI
IDENTIFIKASI TREMATODA PADA FESES SAPI DENGAN METODE
FILTRASI BERTINGKAT

OLEH :
KELOMPOK KOAS 1C
MARIA TRIFONIA KADHA GEO, S.KH 2009020012
MARIA SERLYANTI APONG, S.KH 2009020013
ALFREDO J.D. NIRON, S.KH 2009020014
NILLA SARI NGADI, S.KH 2009020016
YUSTINA INDRAWATI, S.KH 2009020018
MONYCHA BUMBUNGAN, S.KH 2009020020
PETRICZIA EVARIZTA GANA, S.KH 2009020033
MARIANA ELISA MANCE, S.KH 2009020034

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ternak sapi bali merupakan sapi asal Indonesia yang tersebar luas

diseluruh wilayah Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari banteng

(Bibos Banteng). Salah satunya di wilayah Nusa Tenggara Timur.Umumnya

sistem pemeliharaan ternak sapi Bali di NTT adalah sistem pemeliharaan

secara ekstensif. Pemeliharaan sistem ekstensif yang dilakukan oleh peternak

yaitu ternak dilepas berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan di

padang penggembalaan sehingga berpeluang terinfeksi endoparasit. Telur

cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan feses oleh ternak sapi terinfeksi

akan menjadi sumber penularan bagi ternak ruminansia yang sehat atau

diantara ternak terinfeksi sehingga pengendalian endoparasit gastrointestinal

sulit dilakukan. Penyakit akibat cacing parasit dapat disebabkan dari beberapa

golongan antara lain nematode, cestoda dan trematoda. Jenis trematoda yang

sering menyerang sapi Bali adalah Fasciola sp., Paramphistomum sp ., dan

Schistosoma sp.

Kerugian ekonomi akibat infeksi endoparasit gastrointestinal dampaknya

belum dirasakan secara langsung oleh peternak karena tidak menimbulkan

kematian ternak secara langsung tetapi mempengaruhi asupan nutrisi dan

gangguan fisiologi. Kedua faktor ini dapat berpengaruh terhadap penurunan

antibodi sehingga ternak lebih peka terhadap penyakit yang lain. Jika kejadian

ini berlanjut maka secara ekonomi peternak mengalami kerugian karena

peternak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai berat badan
tertentu sesuai dengan target yang diinginkan dan peternak mengeluarkan

biaya tambahan untuk perawatan ternak yang sakit (Wirawan et al,

2019).Terkait dengan dampak terhadap produktifitas ternak sapi maka perlu

diketahui tingkat infeksi cacing gastrointestinal melalui metode pemeriksaan

feses yaitu filtrasi bertingkat.

Tujuan

Untuk mengidentifikasi jenis trematoda pada feses sapi dengan metode

filtrasi bertingkat.
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

Sapi Bali

Sapi bali adalah sumber daya genetik asli Indonesia yang merupakan hasil

domestikasi dari banteng liar. Sapi bali memiliki keunggulan dibandingkan dengan

sapi lainya yaitu memiliki fertilitas yang baik, presentase karkas lebih tinggi

dibandingkan dengan sapi potong lainya (Suwiti et al., 2013). Nusa Tenggara

Timur sebagai wilayah sumber ternak nasional merupakan salah satu wilayah

penghasil ternak sapi bali yang potensial di Wilayah Indonesia Timur. Sistem

pemeliharaan sapi bali secara ekstensif yang dilakukan oleh peternak yaitu ternak

dilepas berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan di padang

penggembalaan sehingga berpeluang terinfeksi endoparasit. Namun keberhasilan

ini tentu tidak terlepas dari usaha-usaha pencegahan dan penanganan berbagai

kasus penyakit, termasuk adanya infestasi parasit sebagai faktor predisposisi.

Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi

kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit

cacing disebut sebagai penyakit ekonomi (Berek dan Matutina, 2017).

Trematoda

Trematoda adalah cacing yang secara morfologi berbentuk seperti daun,

pipih, melebar ke anterior. Mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut yang

besarnya hampir sama. Cacing trematoda pada umumnya memerlukan media air

dalam siklus hidupnya. Telur cacing akan menetas di air dan berkembang menjadi
mirasidium, kemudian menginfeksi hospes perantara pertama, lalu berkembang

menjadi serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh hospes dan berenang di air untuk

mencari tempat menempel (hospes perantara kedua) dan berkembang menjadi

bentuk infektif (metaserkaria). Keong air tawar merupakan hewan yang berperan

sebagai hospes perantara pertama, dan tanaman air sebagai hospes perantara

kedua. Manusia maupun hewan ternak dapat terinfeksi dengan memakan tanaman

air atau meminum air yang mengandung metaserkaria (Hariara et al., 2017).

Pemeriksaan telur trematoda biasanya menggunakan metode filtrasi

bertingkat dengan menggunakan beberapa ukuran mesh yaitu pada ukuran mesh

400 μm, 100 μm, dan 45 μm. Mesh 400 μm digunakan untuk menyaring debris

yang besar, mesh 100 μm menyaring debris yang kecil dan pada mesh 45 μm

meloloskan debris yang kecil termasuk ookista, telur nematode, dan cestoda, bila

ada. Namun, akan menahan telur trematoda karena telur trematoda memiliki Berat

Jenis yang lebih besar dari Berat Jenis Pelarut (Winarso, 2018). Spesies Tremoda

yang umum ditemukan di Indonesia adalah Fasciola sp. dan Paramphistomum sp .

(Nugraheni et al., 2018).

Fasciola sp

Fasciola sp merupakan salah satu jenis cacing yang sering menginfeksi

sapi, antara lain Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica yang menyebabkan

penyakit cacing (fascioliasis). Fasciola sp merupakan cacing trematoda yang

memiliki bagian punggung dan bawah tubuh cacing hati atau cacing daun ini

berbentuk pipih, tidak beruas, berwarna kelabu dan berbentuk seperti daun yang

membulat di bagian
depan dan ekor (Subronto dan Tjahajati, 2001). Morfologi telur Fasciola sp

yang memiliki kerabang telur yang tipis, berbentuk ovoid dan terdapat

operkulum di salah satu kutubnya. Di dalam telur tersebut ditemukan

blastomer yang berwarna kekuningan karena pemeriksaan menggunakan

lugol (Majawati et al., 2018).

Parampistomum sp.

Parampistomum sp merupakan salah satu jenis cacing yang sering

menginfeksi sapi, salah satunya Paramphistomum cervi (Subronto, 2007).

Paramphistomum sp . merupakan cacing trematoda dengan ukuran tebal,

berbentuk pipih, memiliki batil isap dibagian perut (ventral sucker) yang disebut

asetabulum, dan batil isap kecil (oral sucker) dibagian mulut. Telur

Paramphistomum sp . memiliki bagian kulit telur yang transparan dan akan

menyerap warna apabila diwarnai dengan methylen blue sehingga akan nampak

berwarna biru. Cacing muda Paramphistomum sp . berpredileksi didalam usus

halus dan akan bermigrasi kedalam rumen dan retikulum setelah dewasa. Daerah

penyebaran Paramphistomum sp . adalah daerah yang memiliki suhu udara 25-30


o
C dengan kelembaban kira-kira 85% (Darmin, 2014).
BAB III

METODOLOGI

Tempat dan Waktu

Pengambilan sampel berupa feses sapi yang diambil berada Binilaka,

Nasipanaf dan Baumata, Kabupaten Kupang. Pemeriksaan feses sapi

dilakukan dengan metode filtrasi bertingkat yang dilakukan di Laboratorium

Parasitologi Klinik Hewan Universitas Nusa Cendana. Kegiatan ini

dilaksanakan pada tanggal 20 sampai 21 Mei 2021.

Materi

Alat

Alat yang digunakan dalam pemeriksaan yaitu mikroskop, gelas

plastik, timbangan digital, sarung tangan plastik, filter mesh bertingkat

(400µm, 100µm, dan 45µm), hand sprayer, penyaring teh, cawan petri.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan feses sapi yaitu air dan feses

sapi.

Metode

Metode Filtrasi Bertingkat

1. Ambilah feces sekitar 4 gram.

2. Buatlah suspensi feces tersebut dengan menambahkan air 200 ml di

dalam gelas.

3. Saring dengan penyaring teh, tampung filtrat dan buanglah debris yang

tersaring.
4. Susun filter bertingkat sehingga fungsi penyaringan pertama adalah

400µm, kemudian100µm, dan terakhir 45µm.

5. Lalukan filtrate yang diperoleh pada prosedur nomor 3 ke filter bertingkat.

6. Gunakan hand spayer yang berisi air bersih untuk membantu mendorong

partikel melewati filter mesh.

7. Dengan filtrasi tersebut, telur trematoda akan tertahan pada filter mesh

45µm.

8. Pindahkan partikel yang tertahan pada mesh 45µm ke dalam tabung

reaksi (dengan cara memiringkan mulut filter dan mengarahkannya ke

mulut tabung reaksi, lalu partikel dialirkan dengan bantuan hand

sprayer).

9. Memindahkan sedikit suspensi endapan menggunakan pipet tetes ke

dalam kaca arloji.

10. Amati endapat di mikroskop stereo untuk melihat adanya telur trematoda.

11. Lakukan pengamatan untuk sisa endapan lainnya.

12. Mencatat hasil pengamatan


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Tabel 1. Hasil pemeriksaan feses sapi dengan metode filtrasi bertingkat
Kode Jenis Kelamin Status Infeksi Trematoda (+/-)
Sampel Fasciola Paramphistomum
SB01 Betina + -
SB02 Betina - +
SJ03 Jantan - -
SB04 Betina - +
SB05 Betina + -
SB06 Betina - -
SB07 Betina - -
SB08 Betina - -
SB09 Betina - +
SB10 Betina - -
SJ11 Jantan - -
SB12 Betina + -
SB13 Betina - -
SB14 Betina - -
SB15 Betina - +
SJ16 Jantan - -

Berdasatkan hasil pemeriksaan 16 sampel feses sapi Bali di daerah

Binilaka, Nasipanaf dan Baumata menujukkan adanya hasil positif pada 7 sampel

feses yang diambil ( Tabel 1). Pada pemeriksaan dan hasil identifikasi terdapat 3

sampel positif Fasiola dan 4 sampel positif Paramphistomum.

Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan endoparasit dengan metode filtrasi

bertingkat didapatkan hasil positif telur Fasciola (Gambar 1) dan positif telur

Paramphistomum (Gambar 3). Hasil identifikasi ukuran panjang dan lebar, warna

dan bentuk telur, ditemukan telur yang berbentuk oval, berdinding tipis, memiliki
operkulum dan berwarna keemasan. Berdasarkan ciri tersebut telur yang

ditemukan berupa cacing trematoda yang menginfeksi yaitu Fasciola dan

Paramphistomum yang ditemukan sesuai dengan hasil penelitian Satyawardana et

al, (2018) bahwa telur Fasciola sp memiliki warna kuning keemasan, berbentuk

oval dengan ukuran 150 x 90 µm, sedangkan telur Paramphistomum memiliki

warna lebih jernih, berbentuk oval dengan ukuran 120 x 70 µm (Purwanta et al,

2009).

Gambar 1. Telur cacing Fasciola Gambar 2. Telur cacing Fasciola


(Dokumentasi pribadi) Sumber : Satyawardana et al.
(2018)

Gambar 3. Telur cacing Gambar 4. Telur cacing Paramphistomum


Paramphistomum Sumber : Satyawardana et al. (2018)
(Dokumentasi Pribadi)
Pada 16 sampel feses sapi yang diperiksa ada 3 sampel yang positif

Fasciola. Hal ini diduga intensitas infeksi sedikit rendah karena kondisi cuaca di

kabupaten kupang tepatnya bulan Mei sudah memasuki kemarau sehingga

mempengaruhi tingkat kejadian infeksi cacing. Selain itu intensitas trematoda

dapat juga dipengaruhi oleh faktor lainnya yaitu pakan yang diberikan dimana

kemungkinan pakan atau minuman yang diberikan kepada ternak telah

mengandung metaserkaria (bentuk infektif Fasciola). Hal ini jika dilihat dari

sistem pemeliharaan secara semi intensif pada sapi bali yang ada di Binilaka,

Nasipanaf dan Baumata dengan sistem pemeliharaan ini, sapi dikeluarkan pada

waktu pagi dan dimasukkan kembali pada waktu sore. Sehingga memungkinkan

perkembangan metaserkaria dalam air atau menempel pada rumput, tumbuhan-

tumbuhan lain yang berada disekitar padang penggembalaan. Infeksi trematodosis

dapat terjadi pada musim hujan maupun musim kemarau. Namun tingkat resiko

lebih tinggi dapat terjadi pada musim hujan diduga berkaitan dengan ketersediaan

air, vegetasi dan kelembaban yang diperlukan oleh siput inang antara dan

metaserkaria untuk tumbuh dan berkembang. Namun pada hasil negatif untuk

sampel yang diperiksa dapat terjadi karena suhu dan curah hujan di Binilaka,

Nasipanaf dan Baumata yang relatif sedikit.

Jika dilihat dari sistem pemeliharaan secara semi intensif pada sapi bali

yang ada di Binilaka, Nasipanaf dan Baumata dimana sistem pemeliharaan ini,

sapi dikeluarkan pada waktu pagi dan dimasukkan kembali pada waktu sore. Sapi

dibiarkan mencari makan sendiri disekitar lingkungan pemeliharaan. Hal ini yang

menjadi peluang bagi telur cacing untuk berkembang biak salah satunya ialah
Paramphistomum yang ditemukan pada hasil pengamatan dan identifikasi. Infeksi

Paramphistomum sp dapat menyebabkan penyakit Paramphistomiasis yang sangat

merugikan bagi sapi. Cacing Paramphistomum sp . disebut juga sebagai cacing

hisap karena pada saat menempel, cacing ini menghisap makanan berupa jaringan

atau cairan tubuh hospesnya (Subronto dan Tjahajati, 2001). Infeksi

Paramphistomum sp pada sapi yang ditemukan diduga masih dalam jumlah sedikit

sehingga tidak menimbulkan gejala klinis pada ternak. Hal ini sesuai dengan

pendapat Darmin et al,.(2016) bahwa sapi dengan BCS optimum (5-7) mengalami

paramphistomiasis diduga sampel tersebut terinfeksi Paramphistomum sp . masih

tergolong dalam infeksi ringan sehingga akibat yang ditimbulkan belum terlihat.

Selain itu menurut Javed et al. (2006) menyatakan bahwa ternak yang terinfeksi

Paramphistomum sp . umumnya mengalami infeksi ringan dan tidak menunjukkan

gejala klinis.

Pola pemeliharaan secara ekstensif pada sapi yang digembalakan

memungkinkan sapi terinfestasi cacing dikarenakan penggembalaan yang terlalu

pagi serta penggembalaan dilakukan seharian dari pagi sampai sore yang

menyebabkan sapi terlalu lama terpapar di ladang penggembalaan. Ternak sapi

sebaiknya tidak digembalakan terlalu pagi karena pada waktu tersebut larva cacing

biasanya dominan berada di permukaan rumput yang masih basah. Guna memutus

siklus hidup cacing, sebaiknya sistem penggembalaan dilakukan secara bergilir

dikarenakan ternak yang terlalu lama digembalakan di satu lokasi akan

menyebabkan infestasi cacing yang terus menerus (Wilson dkk, 1991).

Berdasarkan penelitian Rahamdan et al., (2018) bahwa ternak sapi yang

terinfestasi cacing
Paramphistomum sp ., rata-rata digembalakan di kebun atau sawah dan terdapat

rawa-rawa, tempat-tempat tersebut merupakan tempat yang rawan terinfestasi

Paramphistomum sp . Selain itu juga infestasi Paramphistomum sp . dapat

diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah penggembalaan yang

dilakukan pada tempat yang basah atau lembab serta terdapat siput dan dapat juga

dikarenakan peternak mengarit rumput terlalu pagi yang menyebabkan rumput

masih lembab dan masih banyak mengandung metasekaria. Siklus hidup dari

parasit cacing ini bergantung pada lingkungan yang cocok, terutama kelembapan

tinggi dan temperatur yang memadai (±27°C). Kondisi tersebut diperlukan untuk

berkembangnya fase mirasidium sampai metaserkaria dari Paramphistomum sp .

dan juga untuk berkembangnya siput yang digunakan sebagai inang antara. Proses

perkembangbiakan cacing pada sapi yang terinfestasi Paramphistomum sp .

dimulai dari metaserkaria yang masuk ke dalam saluran pencernaan, di usus halus

akan berkembang menjadi cacing muda dan dapat menimbulkan kerusakan pada

mukosa usus karena gigitan sebelumnya. Cacing muda menembus mukosa sampai

ke dalam dan bisa menimbulkan pengerutan (strangulasi), nekrosis, erosi dan

hemoragik pada mukosa. Akibatnya dapat timbul radang akut pada usus dan

abomasum. Cacing muda kemudian berkembang cepat, lalu menuju permukaan

mukosa dan bermigrasi ke rumen kira-kira dalam jangka satu bulan setelah

infestasi.
BAB V

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari 16 sampel feses sapi yang diambil

dari Binilaka, Nasipanaf dan Baumata Kabupaten kupang menunjukkan terdapat 3

sampel positif Fasciola dan 4 sampel positif Paramphistomum sp dengan

intensitas sedang hal ini didukung oleh sistem pemeliharan yang digunakan yaitu

secara semi intensif.

Saran

Perlu dilakukan sosialisasi mengenai manajemen pemeliharaan yang baik

pada peternak dan pemberian obat cacing agar dapat menurunkan tingkat kejadian

infestasi telur cacing pada ternak sapi Bali.


DAFTAR PUSTAKA

Berek HS, Matutina V. 2017. Pemeriksaan dan identifikasi parasit gastrointestinal


pada sapi bali di nusa tenggara timur tahun 2017. Prosiding Penyidikan
Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL) dan
Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018.
Darmin, S. 2014. Prevalensi Paramphistomiasis Pada Sapi Bali di Kecamatan
Libureng Kabupaten Bone. Universitas Hasanuddin. Makassar
Hairani B, Fakhrizal D. 2017. Identifikasi serkaria trematoda dan keong hospes
perantara pada ekosistem perairan rawa tiga kabupaten di kalimantan
selatan. Jurnal Vektor Penyakit 11(1); 1-8.
Nugraheni YR, Priyowidodo D, Prastowo J, Rohayati ES, Sahara A, Awaludin A.
2018. Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Di Daerah Aliran Sungai Progo
Yogyakarta. Jurnal Imu Peternakan Terapan. 1(2):46-50.
Majawati ES, Matatula AE. 2018. Identifikasi telur cacing fasciola hepatica pada
sapi dipeternakan sapi daerah tangerang. Jurnal Kedokteran Meditek.
24(68); 60-66.
Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran
pencernaan (gastrointestinal) pada sapi Bali melalui pemeriksaan tinja di
Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistemik 5: 10-21
Ramadhan ME, Hartono M, Suharyanti S, Santosa PE. Prevalensi cacing saluran
pencernaan pada sapi bali di kecamatan candipuro kabupaten lampung
selatan. Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan. 2(3):1-9
Satyawardana W, Ridwan Y, Satrija F. 2018. Trematodosis pada sapi potong di
wilayah sentra peternakan rakyat (spr) kecamatan kasiman, kabupaten
bojonegoro. Jurnal Acta Veterinaria Indonesiana. 6 (2); 1-7.
Suwiti NK, Sampurna IP, Watiniasih, Puja N. 2013. Peningkatan Produksi Sapi
Bali Unggul Melalui Pengembangan Model Peternakan Terintegrasi.
LaporanTahap II penprinas MP3EI 2011-2015.
Subronto dan Tjahajati, I. ( 2001) Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II. Cetakan III Gadja Mada University
Press, Yogyakarta.
Winarso A. 2018. Teknik Diagnosis Laboratorik Parasitologi Veteriner (Parasit
Sistem Digesti). Veterinary Indie Publisher
LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK
PARASITOLOGI

OLEH
KELOMPOK 1C
1. MARIA TRIFONIA KADHA GEO, S.KH 2009020012
2. MARIA SERLYANTI APONG, S.KH 2009020013
3. ALFREDO J.D. NIRON, S.KH 2009020014
4. NILLA SARI NGADI, S.KH 2009020016
5. YUSTINA INDRAWATI, S.KH 2009020018
6. MONYCHA BUMBUNGAN, S.KH 2009020020
7. PETRICZIA EVARIZTA GANA, S.KH 2009020021
8. MARIANA ELISA MANCE, S.KH 2009020034

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Parasit berasal dari kata parasites yang berarti jasad yang mengambil makanan. Parasit
dapat didefinisikan sebagai hewan atau tumbuhan yang hidup di atas atau di dalam tubuh
makhluk hidup lain dan hidupnya tergantung pada makhluk hidup tersebut serta memperoleh
keuntungan darinya. Berdasarkan istilah, parasit merupakan organisme yang hidup untuk
sementara ataupun tetap di dalam atau pada permukaan organisme lain untuk mengambil
makanan sebagian atau seluruhnya dari organisme tersebut (Sandjaja, 2007).
Kambing merupakan jenis ternak yang sudah lama dibudidayakan. Memelihara kambing
tidak sulit karena pakannya cukup beragam. Berbagai jenis hijauan dapat dimakannya. Jenis
daun-daunan yang cukup digemari oleh kambing antara lain daun turi, lamtoro dan nangka.
Delapan bangsa kambing asal Indonesia adalah kambing Marica, kambing Samosir, Muara,
Kosta, Gembrong, Benggala, Kacang dan Etawa (Pamungkas et al., 2009).
Namun ada kendala yang dialami oleh peternak yaitu kambing yang terinfeksi cacing
parasit pada saluran pencernaan yang dapat mengganggu kesehatan, serta menurunkan
produktivitas, dan menyebabkan kematian. Kontaminasi cacing parasit berasal dari pakan
hijauan yang dikonsumsi dan telah terinfestasi larva parasit (Safar dan Ismid, 1989).
Parasit yang menginfeksi kambing antara lain nematoda yang menyerang saluran
intestinum endoparasit. Nematoda menghasilkan telur yang dikeluarkan bersama feses oleh
cacing betina yang jumlahnya mencapai ratusan butir per hari. Telurtelur tersebut masuk ke
dalam tubuh hospes dalam bentuk infektif melalui mulut dalam bentuk larva melalui kulit.
Gejala ini dapat dilihat melalui pengujian parasit nematoda yang ada dalam saluran
pencernaan kambing sekaligus melihat prevalensi telur cacing parasit melalui pemeriksaan
feses kambing (Garcia dan David, 1996).
Tujuan
Tujuan dilakukan pemeriksaan feses kambing menggunakan metode natif dan
pengapungan sederhana adalah untuk mengetahui jenis cacing dan telur cacing nematoda
yang menginfeksi pada kambing yang berada di Kupang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kambing
Ternak kambing merupakan salah satu alternatif bagi pemenuhan kebutuhan protein
hewani karena memiliki siklus reproduksi lebih cepat dibandingkan sapi dan kerbau. Penyakit
utama ternak kambing adalah penyakit parasiter saluran pencernaan. Penyakit parasiter dapat
menurunkan performans ternak dan kerugian ekonomi bagi peternak (Pfukenyi &
Mukaratirwa 2013). Infeksi tunggal atau campuran oleh koksidia dan cacing nematoda sangat
berdampak pada produksi, bahkan kematian ternak muda (Bowman 2009).
Salah satu penyakit parasitik yang sering menjadi permasalahan pada ternak kambing
namun sering diabaikan oleh peternak adalah penyakit cacingan yang disebabkan oleh cacing
saluran pencernaan (gastrointestinal) (Hanafiah et al., 2002). Parasit cacing saluran
pencernaan merupakan masalah utama yang menyebabkan gangguan kesehatan pada ternak
khususnya ruminansia kecil. Kambing dan domba merupakan ternak yang mudah terinfestasi
oleh parasit cacing saluran pencernaan baik secara klinis maupun subklinis di negara
berkembang (Zeryehun, 2012) dibandingkan dengan ternak yang lain karena kebiasaannya
merumput (Schoenian, 2003).
Kerugian yang ditimbulkan akibat infestasi cacing saluran pencernaan diantaranya
adalah menurunkan performa produksi dan reproduksi (Ayaz et al., 2013) disamping juga
menurunkan feed intake dan feed conversion efficiency (Kanyari et al., 2009), terutama pada
kondisi penyerapan nutrien yang tidak baik akan menghambat pertumbuhan (Terefe et al.,
2012) akan memicu terjadinya anemia dan bahkan kematian pada infestasi parasit cacing
yang berat (Hassan et al., 2011). Di samping itu, infestasi parasit cacing akan menimbulkan
lemahnya kekebalan tubuh, sehingga ternak lebih rentan terhadap infeksi penyakit pathogen
lain dan akhirnya akan menyebabkan kerugian ekonomi (Garedaghi et al., 2011).

Morfologi Kambing
Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Upafamili : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : C. Aegagrus
Upaspesies : C. a. hircus

Endoparasit
Endoparasit merupakan parasit yang hidup di dalam tubuh hospes (inang) sehingga
penyakit yang disebabkan dapat bersifat lokal maupun sistemik. Parasit memiliki kemampuan
beradaptasi yang tinggi terhadap jaringan hospes sehingga tidak menimbulkan gejala klinis
yang serius. Endoparasit yang sering menyerang kambing adalah protozoa dan cacing
endoparasit. Parasit ini dapat menular pada manusia (Natadisastra dan Agoes, 2009).
Kerugian akibat infeksi parasit khususnya cacing pada ternak di Indonesia sangat besar.
Hal ini akibat cacing parasit menyerap zat-zat makanan, menghisap darah/cairan tubuh, atau
makan jaringan tubuh ternak. Cacing parasit juga menyebabkan kerusakan pada sel-sel epitel
usus, sehingga dapat menurunkan kemampuan usus dalam proses pencernaan dan penyerapan
zat- zat makanan serta produksi enzim-enzim yang berperan dalam proses pencernaan. Selain
itu berkumpulnya parasit dalam jumlah besar di usus atau lambung ternak dapat
menyebabkan penyumbatan atau obstruksi sehingga proses pencernaan makanan terganggu
(Akoso, 1996).

Strongyloides
Strongyloides sering disebut dengan cacing benang karena di dalam telur terdapat larva
yang melengkung mirip dengan benang. Bentuk telurnya agak lonjong dan memiliki lapisan
dinding telur yang tipis dengan panjang telur mencapai 81,27 µm serta lebar 42,06 µm
(Schad, 1989).
Telur berbentuk seperti telur cacing tambang tetapi berbentuk lonjong dan hanya
ditemukan pada feses dengan diare berat atau setelah pemberian pencahar (Natadisastra &
Agoes 2009: 84). Telur berukuran lebih kecil daripada telur cacing tambang yaitu (50--
60)x(30--35) µm, berdinding tipis dan di dalam telur terdapat embrio (Cheesbrough 2005:
215; Natadisastra & Agoes 2009: 84). Telur dikeluarkan di dalam mukosa usus oleh cacing
betina parasit, dan segera menetas menjadi larva rhabditiform (Gambar 1) (Soedarto 2009:
54).
Gambar 1. Telur Strongyloides sp. Perbesaran 12x100
(Sumber. Cheesbrough 2005: 215)

Telur Strongyloides Bentuk telur cacing Strongyloides yang ditemukan yaitu berbentuk
elips, memiliki dinding telur yang tipis serta memiliki embrio. Menurut Levine (1990), telur
cacing Strongyloides memiliki dinding telur yang tipis, berbentuk elips, dan telah berembrio
pada saat dikeluarkan.

Gambar 2. Telur cacing strongiloides


(Sumber. Datta et al., 2019)
Telur Strongyloid Bentuk telur cacing Strongyloid yang ditemukan yaitu memiliki
bentuk oval dan berkerabang tipis yang di dalamnya tedapat banyak sel. Hal ini sejalan
dengan yang ditemukan oleh Mukti et al. (2016) bahwa telur tipe Strongyloid memiliki
bentuk elips atau lonjong dan bagian sisinya berbentuk seperti tong, berkerabang tipis, serta
mengandung blastomer yang jumlahnya bervariasi. Telur tipe Strongyloid memiliki ukuran
dan morfologi yang hampir sama antara satu genus dengan genus lainnya, sehingga perlu
dilakukan kultur feses sehingga diperoleh larva stadium tiga untuk identifikasi lebih lanjut
(Gibbons, 2014 cit. Dhewiyanty, 2015, p 179).
Gambar 3. Telur cacing strongyloid
(Sumber. Datta et al., 2019)

Siklus hidup Strongyloides memiliki 2 macam kehidupan cacing yaitu hidup bebas di
tanah dan hidup sebagai parasit. Cacing dewasa yang hidup bebas terdiri atas, cacing betina
yang memiliki ukuran (0,001x50) m, mempunyai esofagus berbentuk lonjong, bulbus
esofagus di bagian posterior, ekor lurus meruncing, vulva terletak dekat pertengahan tubuh
yang merupakan muara dari uterus bagian posterior. Cacing jantan berukuran (700x45) m,
ekor melengkung ke depan, memiliki dua buah spikula kecil kecoklat-coklatan, esofagus
lonjong dilengkapi bulbus esofagus (Natadisastra & Agoes 2009: 84).
BAB III

METODELOGI

Waktu dan Tempat


Tempat pengambilan sampel feses dilakukan di daerah Baumata, Nasi Panaf dan Laker.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan metode Pengapungan sederhana dan Natif
diklinik Hewan Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Nusa Cendana. Kegiatan ini
dilaksanakan pada tanggal 17 Mei – 21 Mei 2021.

Materi
Alat
Alat yang digunakan adalah mikroskop binokuler, objek glass, cover glas, spatula atau
batang korek api, pipet tets, tabung reaksi (15 ml), rak tabung, gelas plastik, dan penyaring
teh.

Bahan
Larutan flotasi gula jenuh 500ml, larutan NaCL fisiologis, dan feses kambing.

Metode
 Metode pemeriksaan yang dilakukan menggunakan metode natif :

1. Letakan setitik feses dengan menggunakan batang korek api.

2. Teteskan 1-2 tetes larutan NaCL fisiologis menggunakan pipert tetes.

3. Aduk dengan menggunakan batang korek api

4. Tutp dengan cover glas

5. Amati dibawah mikroskop dengan perbesaran objektif 4x atau 10x.

 Metode pemeriksaan yang dilakukan menggunakan metode pengapungan sederhana :

1. Ambil sampel feses sekitar 1 gram, kemudian diaduk bersama 10 ml larutan


pengapung di dalam gelas plastik.

2. Saring dan tampung pada gelas yang lain

3. Tuangkan suspensi yang sudah disaring ke dalam tabung reaksi yang sudah disiapkan
pada rak tabung.
4. Tambahkan larutan pengapung hingga meniscus isi tabung menjadi cembung.

5. Tutup dengan cover glas pada mulut tabung reaksi.

6. Diamkan selama 3-5 menit untuk waktu telur parasit mengapung ke bagian mulut
tabung reaksi.

7. Angkat cover slip dengan arah keatas (bukan digeser) dan tempelkan pada objek
glass.

8. Amati di bawah mikroskop dengan perbesaran objektif 4x atau 10x.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada sampe feses kambing ditemukan
adanya bentuk ookista strongyloid dan strongyloides.

Gambar 4. Telur cacing strongyloid

Gambar 5. Telur cacing strongyloides

Pembahasan
Larva infektif Strongyloides tidak memiliki selubung pelindung tubuh sehingga larva
infektif ini menjadi kurang terproteksi jika dibandingkan dengan larva infektif yang memiliki
selubung tubuh, namun Strongyloides memiliki keunikan dalam hal siklus hidupnya.
Strongyloides memiliki generasi seksual yang hidup bebas di alam (free living)
disamping memiliki perkembangan sebagai parasit di dalam tubuh hewan (Levine, 1994).
Oleh karena itu, Strongyloides memiliki dua jalur pula dalam menghasilkan telur yang akan
berkembang menjadi larva infektif dan kemudian cacing dewasa. Pertama, lewat telur yang
dihasilkan cacing dewasa di dalam saluran pencernaan inang dan kedua, lewat telur yang
dihasilkan oleh cacing dewasa yang hidup bebas di alam. Selain itu Strongyloides dapat
menginfeksi inang dengan cara menembus kulit ataupun termakan. Faktor-faktor ini dapat
menyebabkan nilai prevalensi dan intensitasnya menjadi tinggi.
Menurut Bowman (2009), sama seperti larva stadium pertama dan kedua, larva infektif
(larva stadium ketiga) juga bersifat free-living (hidup bebas di alam). Larva stadium pertama
dan kedua hidup pada feses dan memakan bakteri yang ada di dalamnya, kemudian pada
stadium ketiga larva mulai bermigrasi menuju ke lingkungan sekitarnya, misalnya vegetasi
yang berupa rumput. Infeksi dapat terjadi salah satunya apabila rumput yang terkontaminasi
oleh larva infektif dimakan oleh ternak.
Kondisi yang menyebabkan tingginya tingkat kejadian infestasi cacing saluran
pencernaan pada kambing yaitu sanitasi dan kebersihan kandang serta manajemen peternakan
yang diterapkan masih bersifat semi intensif, seperti ternak kambing memakan rumput di
padang gembalaan ataupun pakan hijauan yang diberikan saat ternak berada di kandang
sudah tercemar oleh larva infektif cacing nematoda (Purwaningsih et al., 2017).
Ternak muda lebih rentan terinfeksi parasit cacing jika dibandingkan denga ternak
dewasa karna ternak dewasa secara alami telah memiliki ketahanan tubuh terhadap parasit
cacing sehingga lebih mampu bertahan (Segara et al., 2018).
Menurut Dwinata (Larasati et al., 2017), sanitasi kandang yang yang kurang baik yaitu
kotoran yang dibiarkan menumpuk di dalam kandang akan mengundang lalat dan juga
memungkinkan larva nematoda berkembang di dalamnya. Apabila kulit ternak bersentuhan
dengan kotoran tersebut, maka beberapa larva cacing dapat masuk ke dalam tubuh ternak.
Menurut Subekti et al. (2002) dalam Sugiarti (2006), larva Bunostomum dan Strongyloides
memiliki kemampuan untuk menembus kulit inang. Pola pemberian pakan, dan faktor
lingkungan (suhu, kelemababn, dan curah hujan) dapat mempengaruhi berkembangnya
parasit saluran pencernaan pada hewan ternak.
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang diamati pada feses kambing tersebut maka didapatkan
hasil yaitu adanya infeksi telur cacing strongyloid dan strongyloides. Hal ini dikarenakan
sanitasi dan kebersihan kandang serta manajemen peternakan yang diterapkan masih bersifat
semi intensif, seperti ternak kambing memakan rumput di padang gembalaan ataupun pakan
hijauan yang diberikan saat ternak berada di kandang sudah tercemar oleh larva infektif
cacing nematoda.
DAFTAR PUSTAKA

Ayaz, M.M., M.A. Raza, S. Murtaza and S. Akhtar. 2013. Epidemiological survey of
helminths of goats in southern Punjab, Pakistan. Trop. Biomed. 30: 62-70.
Bowman DD. 2009. Georgis’ Parasitology for Veterinarians. 9th ed. St. Louis, Missouri:
Saunders Elsevier
Cheesbrough, M. 2005. District laboratory practice in tropical countries. Cambridge
University Press, 2nd ed, New York : vi+888 hlm.
Datta FU, Tinenti T, Detha AIR, Foeh NDFK, Ndaong NA. 2019. Deskripsi Morfologis
Nematoda Saluran Pencernaan Kambing Kacang (Capra Hircus Aegagrus) Di Kota Kupang-
Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional VII Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana. ISBN: 978-602-6906-55-7
Garcia, L. S.,dan David. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Buku Kedokteran.
Jakarta:EGC.
Garedaghi, Y., A.P. Rezaii-Saber, A. Naghizadeh and M. Nazeri. 2011. Survey on
prevalence of sheep and goats lungworms in Tabriz abattoir, Iran. Adv. Environ. Bio. 5: 773-
775.
Hanafiah, M., Winaruddin, dan Rusli. 2002. Studi infeksi nematode gastrointestinal pada
kambing dan domba di rumah potong hewan Banda Aceh. J. Sain Vet. 20(1): 14- 182
Hassan, M.M., M.A. Hoque, S.K.M.A. Islam, S.A. Khan, K. Roy and Q. Banu. 2011. A
prevalence of parasites in Black Bengal goats in Chittagong, Bangladesh. Int. J. Livestock
Prod. 2: 40-44.
Kanyari, P., W. Kagira, and R. Mhoma. 2009. Prevalence and intensity of endoparasites
in small ruminants kept by farmers in Kisumu Municipality, Kenya. Livestock Res. Rural
Develop. 21: 12-15.
Larasati H, Hartono M, Siswanto. 2017. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Sapi
Perah Periode Juni-Juli 2016 pada Peternakan Rakyat di Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian
Peternakan Indonesia, 1(1):8-15.
Levine, 1994, Parasitologi Veteriner, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Mileski, A. and P. Myers. 2004. Capra hircus animal diversity
Web.http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/C pra hircus html.
Natadisastra, D. and R. Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran: diinjau dari organ tubuh
yang terserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Pamungkas, F.A., A. Batubara, M. Doloksaribu, and E. Sihite. 2009. Potensi Beberapa
Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Juknis (ID). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Pfukenyi DM, Mukaratirwa S. 2013. A review of the epidemiology and control of
gastrointestinal nematode Infections in cattle in Zimbabwe. Onderstepoort Journal of
Veterinary Research. 80(1): 1-12.
Purwaningsih, Noviyanti, Sambodo P. 2017. Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada
Kambing Kacang Peranakan Ettawa Di Kelurahan Amban Kecematan Manokwari Barat
Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 5(1): 8-12.
Safar, R., D., dan Ismid. 1989. Parasitparasit intestinal yang ditemukan pada murid
Sekolah Dasar pusat kota, derah perkebunan, daerah pertanian, dan daerah nelayan
kotamadya, Padang Sumatera Barat. Prosiding Seminar Parasitologi Nasional V. P41.
Jakarta. Hal: 222.
Sandjaja B. 2007. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Schad.
Schad, G. A. 1989. Morphology and life history of Strongyloides stercoralis. In: Grove
DI, editor. Strongyloidiasis a major roundworm infection of man. London: Taylor and
Francis.
Schoenian, S. 2003. Integrated Parasite Management (IPM) in Small Ruminants.
[Internet]
Segara RB, Hartono M, Suharyati S. 2018. Pengaruh Infestasi Cacing Saluran
Pencernaan Terhadap Bobot Tubuh Kambing Saburai pada Kelompok Ternak di Kecamatan
Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Jurnal Riset dan Inovasi
Peternakan, 2(1):14-19.
Terefe, D., D. Demissie, D. Beyene and S. Haile. 2012. A prevalence study of internal
parasites infecting Boer goats at Adami Tulu agricultural research center, Ethiopia. J. Vet.
Med. Anim. Health. 4: 12-16.
Zeryehun, T. 2012. Helminthosis of sheep and goats in and around Haramaya,
Southeastern Ethiopia. J. Vet. Med. Anim. Health 4: 48-55.
LAPORAN KOASISTENSI PARASITOLOGI
IDENTIFIKASI TREMATODA PADA FESES SAPI DENGAN METODE
FILTRASI BERTINGKAT

OLEH :
KELOMPOK KOAS 1C
MARIA TRIFONIA KADHA GEO, S.KH 2009020012
MARIA SERLYANTI APONG, S.KH 2009020013
ALFREDO J.D. NIRON, S.KH 2009020014
NILLA SARI NGADI, S.KH 2009020016
YUSTINA INDRAWATI, S.KH 2009020018
MONYCHA BUMBUNGAN, S.KH 2009020020
PETRICZIA EVARIZTA GANA, S.KH 2009020021
MARIANA ELISA MANCE, S.KH 2009020034

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ternak sapi bali merupakan sapi asal Indonesia yang tersebar luas

diseluruh wilayah Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari banteng

(Bibos Banteng). Salah satunya di wilayah Nusa Tenggara Timur.Umumnya

sistem pemeliharaan ternak sapi Bali di NTT adalah sistem pemeliharaan

secara ekstensif. Pemeliharaan sistem ekstensif yang dilakukan oleh peternak

yaitu ternak dilepas berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan di

padang penggembalaan sehingga berpeluang terinfeksi endoparasit. Telur

cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan feses oleh ternak sapi terinfeksi

akan menjadi sumber penularan bagi ternak ruminansia yang sehat atau

diantara ternak terinfeksi sehingga pengendalian endoparasit gastrointestinal

sulit dilakukan. Penyakit akibat cacing parasit dapat disebabkan dari beberapa

golongan antara lain nematode, cestoda dan trematoda. Jenis trematoda yang

sering menyerang sapi Bali adalah Fasciola sp., Paramphistomum sp ., dan

Schistosoma sp.

Kerugian ekonomi akibat infeksi endoparasit gastrointestinal dampaknya

belum dirasakan secara langsung oleh peternak karena tidak menimbulkan

kematian ternak secara langsung tetapi mempengaruhi asupan nutrisi dan

gangguan fisiologi. Kedua faktor ini dapat berpengaruh terhadap penurunan

antibodi sehingga ternak lebih peka terhadap penyakit yang lain. Jika kejadian

ini berlanjut maka secara ekonomi peternak mengalami kerugian karena

peternak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai berat badan
tertentu sesuai dengan target yang diinginkan dan peternak mengeluarkan

biaya tambahan untuk perawatan ternak yang sakit (Wirawan et al,

2019).Terkait dengan dampak terhadap produktifitas ternak sapi maka perlu

diketahui tingkat infeksi cacing gastrointestinal melalui metode pemeriksaan

feses yaitu filtrasi bertingkat.

Tujuan

Untuk mengidentifikasi jenis trematoda pada feses sapi dengan metode

filtrasi bertingkat.
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

Sapi Bali

Sapi bali adalah sumber daya genetik asli Indonesia yang merupakan hasil

domestikasi dari banteng liar. Sapi bali memiliki keunggulan dibandingkan dengan

sapi lainya yaitu memiliki fertilitas yang baik, presentase karkas lebih tinggi

dibandingkan dengan sapi potong lainya (Suwiti et al., 2013). Nusa Tenggara

Timur sebagai wilayah sumber ternak nasional merupakan salah satu wilayah

penghasil ternak sapi bali yang potensial di Wilayah Indonesia Timur. Sistem

pemeliharaan sapi bali secara ekstensif yang dilakukan oleh peternak yaitu ternak

dilepas berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan di padang

penggembalaan sehingga berpeluang terinfeksi endoparasit. Namun keberhasilan

ini tentu tidak terlepas dari usaha-usaha pencegahan dan penanganan berbagai

kasus penyakit, termasuk adanya infestasi parasit sebagai faktor predisposisi.

Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi

kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit

cacing disebut sebagai penyakit ekonomi (Berek dan Matutina, 2017).

Trematoda

Trematoda adalah cacing yang secara morfologi berbentuk seperti daun,

pipih, melebar ke anterior. Mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut yang

besarnya hampir sama. Cacing trematoda pada umumnya memerlukan media air

dalam siklus hidupnya. Telur cacing akan menetas di air dan berkembang menjadi
mirasidium, kemudian menginfeksi hospes perantara pertama, lalu berkembang

menjadi serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh hospes dan berenang di air untuk

mencari tempat menempel (hospes perantara kedua) dan berkembang menjadi

bentuk infektif (metaserkaria). Keong air tawar merupakan hewan yang berperan

sebagai hospes perantara pertama, dan tanaman air sebagai hospes perantara

kedua. Manusia maupun hewan ternak dapat terinfeksi dengan memakan tanaman

air atau meminum air yang mengandung metaserkaria (Hariara et al., 2017).

Pemeriksaan telur trematoda biasanya menggunakan metode filtrasi

bertingkat dengan menggunakan beberapa ukuran mesh yaitu pada ukuran mesh

400 μm, 100 μm, dan 45 μm. Mesh 400 μm digunakan untuk menyaring debris

yang besar, mesh 100 μm menyaring debris yang kecil dan pada mesh 45 μm

meloloskan debris yang kecil termasuk ookista, telur nematode, dan cestoda, bila

ada. Namun, akan menahan telur trematoda karena telur trematoda memiliki Berat

Jenis yang lebih besar dari Berat Jenis Pelarut (Winarso, 2018). Spesies Tremoda

yang umum ditemukan di Indonesia adalah Fasciola sp. dan Paramphistomum sp .

(Nugraheni et al., 2018).

Fasciola sp

Fasciola sp merupakan salah satu jenis cacing yang sering menginfeksi

sapi, antara lain Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica yang menyebabkan

penyakit cacing (fascioliasis). Fasciola sp merupakan cacing trematoda yang

memiliki bagian punggung dan bawah tubuh cacing hati atau cacing daun ini

berbentuk pipih, tidak beruas, berwarna kelabu dan berbentuk seperti daun yang

membulat di bagian
depan dan ekor (Subronto dan Tjahajati, 2001). Morfologi telur Fasciola sp

yang memiliki kerabang telur yang tipis, berbentuk ovoid dan terdapat

operkulum di salah satu kutubnya. Di dalam telur tersebut ditemukan

blastomer yang berwarna kekuningan karena pemeriksaan menggunakan

lugol (Majawati et al., 2018).

Parampistomum sp.

Parampistomum sp merupakan salah satu jenis cacing yang sering

menginfeksi sapi, salah satunya Paramphistomum cervi (Subronto, 2007).

Paramphistomum sp . merupakan cacing trematoda dengan ukuran tebal,

berbentuk pipih, memiliki batil isap dibagian perut (ventral sucker) yang disebut

asetabulum, dan batil isap kecil (oral sucker) dibagian mulut. Telur

Paramphistomum sp . memiliki bagian kulit telur yang transparan dan akan

menyerap warna apabila diwarnai dengan methylen blue sehingga akan nampak

berwarna biru. Cacing muda Paramphistomum sp . berpredileksi didalam usus

halus dan akan bermigrasi kedalam rumen dan retikulum setelah dewasa. Daerah

penyebaran Paramphistomum sp . adalah daerah yang memiliki suhu udara 25-30


o
C dengan kelembaban kira-kira 85% (Darmin, 2014).
BAB III

METODOLOGI

Tempat dan Waktu

Pengambilan sampel berupa feses sapi yang diambil berada Binilaka,

Nasipanaf dan Baumata, Kabupaten Kupang. Pemeriksaan feses sapi

dilakukan dengan metode filtrasi bertingkat yang dilakukan di Laboratorium

Parasitologi Klinik Hewan Universitas Nusa Cendana. Kegiatan ini

dilaksanakan pada tanggal 20 sampai 21 Mei 2021.

Materi

Alat

Alat yang digunakan dalam pemeriksaan yaitu mikroskop, gelas

plastik, timbangan digital, sarung tangan plastik, filter mesh bertingkat

(400µm, 100µm, dan 45µm), hand sprayer, penyaring teh, cawan petri.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan feses sapi yaitu air dan feses

sapi.

Metode

Metode Filtrasi Bertingkat

1. Ambilah feces sekitar 4 gram.

2. Buatlah suspensi feces tersebut dengan menambahkan air 200 ml di

dalam gelas.

3. Saring dengan penyaring teh, tampung filtrat dan buanglah debris yang

tersaring.
4. Susun filter bertingkat sehingga fungsi penyaringan pertama adalah

400µm, kemudian100µm, dan terakhir 45µm.

5. Lalukan filtrate yang diperoleh pada prosedur nomor 3 ke filter bertingkat.

6. Gunakan hand spayer yang berisi air bersih untuk membantu mendorong

partikel melewati filter mesh.

7. Dengan filtrasi tersebut, telur trematoda akan tertahan pada filter mesh

45µm.

8. Pindahkan partikel yang tertahan pada mesh 45µm ke dalam tabung

reaksi (dengan cara memiringkan mulut filter dan mengarahkannya ke

mulut tabung reaksi, lalu partikel dialirkan dengan bantuan hand

sprayer).

9. Memindahkan sedikit suspensi endapan menggunakan pipet tetes ke

dalam kaca arloji.

10. Amati endapat di mikroskop stereo untuk melihat adanya telur trematoda.

11. Lakukan pengamatan untuk sisa endapan lainnya.

12. Mencatat hasil pengamatan


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Tabel 1. Hasil pemeriksaan feses sapi dengan metode filtrasi bertingkat
Kode Jenis Kelamin Status Infeksi Trematoda (+/-)
Sampel Fasciola Paramphistomum
SB01 Betina + -
SB02 Betina - +
SJ03 Jantan - -
SB04 Betina - +
SB05 Betina + -
SB06 Betina - -
SB07 Betina - -
SB08 Betina - -
SB09 Betina - +
SB10 Betina - -
SJ11 Jantan - -
SB12 Betina + -
SB13 Betina - -
SB14 Betina - -
SB15 Betina - +
SJ16 Jantan - -

Berdasatkan hasil pemeriksaan 16 sampel feses sapi Bali di daerah

Binilaka, Nasipanaf dan Baumata menujukkan adanya hasil positif pada 7 sampel

feses yang diambil ( Tabel 1). Pada pemeriksaan dan hasil identifikasi terdapat 3

sampel positif Fasiola dan 4 sampel positif Paramphistomum.

Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan endoparasit dengan metode filtrasi

bertingkat didapatkan hasil positif telur Fasciola (Gambar 1) dan positif telur

Paramphistomum (Gambar 3). Hasil identifikasi ukuran panjang dan lebar, warna

dan bentuk telur, ditemukan telur yang berbentuk oval, berdinding tipis, memiliki
operkulum dan berwarna keemasan. Berdasarkan ciri tersebut telur yang

ditemukan berupa cacing trematoda yang menginfeksi yaitu Fasciola dan

Paramphistomum yang ditemukan sesuai dengan hasil penelitian Satyawardana et

al, (2018) bahwa telur Fasciola sp memiliki warna kuning keemasan, berbentuk

oval dengan ukuran 150 x 90 µm, sedangkan telur Paramphistomum memiliki

warna lebih jernih, berbentuk oval dengan ukuran 120 x 70 µm (Purwanta et al,

2009).

Gambar 1. Telur cacing Fasciola Gambar 2. Telur cacing Fasciola


(Dokumentasi pribadi) Sumber : Satyawardana et al.
(2018)

Gambar 3. Telur cacing Gambar 4. Telur cacing Paramphistomum


Paramphistomum Sumber : Satyawardana et al. (2018)
(Dokumentasi Pribadi)
Pada 16 sampel feses sapi yang diperiksa ada 3 sampel yang positif

Fasciola. Hal ini diduga intensitas infeksi sedikit rendah karena kondisi cuaca di

kabupaten kupang tepatnya bulan Mei sudah memasuki kemarau sehingga

mempengaruhi tingkat kejadian infeksi cacing. Selain itu intensitas trematoda

dapat juga dipengaruhi oleh faktor lainnya yaitu pakan yang diberikan dimana

kemungkinan pakan atau minuman yang diberikan kepada ternak telah

mengandung metaserkaria (bentuk infektif Fasciola). Hal ini jika dilihat dari

sistem pemeliharaan secara semi intensif pada sapi bali yang ada di Binilaka,

Nasipanaf dan Baumata dengan sistem pemeliharaan ini, sapi dikeluarkan pada

waktu pagi dan dimasukkan kembali pada waktu sore. Sehingga memungkinkan

perkembangan metaserkaria dalam air atau menempel pada rumput, tumbuhan-

tumbuhan lain yang berada disekitar padang penggembalaan. Infeksi trematodosis

dapat terjadi pada musim hujan maupun musim kemarau. Namun tingkat resiko

lebih tinggi dapat terjadi pada musim hujan diduga berkaitan dengan ketersediaan

air, vegetasi dan kelembaban yang diperlukan oleh siput inang antara dan

metaserkaria untuk tumbuh dan berkembang. Namun pada hasil negatif untuk

sampel yang diperiksa dapat terjadi karena suhu dan curah hujan di Binilaka,

Nasipanaf dan Baumata yang relatif sedikit.

Jika dilihat dari sistem pemeliharaan secara semi intensif pada sapi bali

yang ada di Binilaka, Nasipanaf dan Baumata dimana sistem pemeliharaan ini,

sapi dikeluarkan pada waktu pagi dan dimasukkan kembali pada waktu sore. Sapi

dibiarkan mencari makan sendiri disekitar lingkungan pemeliharaan. Hal ini yang

menjadi peluang bagi telur cacing untuk berkembang biak salah satunya ialah
Paramphistomum yang ditemukan pada hasil pengamatan dan identifikasi. Infeksi

Paramphistomum sp dapat menyebabkan penyakit Paramphistomiasis yang sangat

merugikan bagi sapi. Cacing Paramphistomum sp . disebut juga sebagai cacing

hisap karena pada saat menempel, cacing ini menghisap makanan berupa jaringan

atau cairan tubuh hospesnya (Subronto dan Tjahajati, 2001). Infeksi

Paramphistomum sp pada sapi yang ditemukan diduga masih dalam jumlah sedikit

sehingga tidak menimbulkan gejala klinis pada ternak. Hal ini sesuai dengan

pendapat Darmin et al,.(2016) bahwa sapi dengan BCS optimum (5-7) mengalami

paramphistomiasis diduga sampel tersebut terinfeksi Paramphistomum sp . masih

tergolong dalam infeksi ringan sehingga akibat yang ditimbulkan belum terlihat.

Selain itu menurut Javed et al. (2006) menyatakan bahwa ternak yang terinfeksi

Paramphistomum sp . umumnya mengalami infeksi ringan dan tidak menunjukkan

gejala klinis.

Pola pemeliharaan secara ekstensif pada sapi yang digembalakan

memungkinkan sapi terinfestasi cacing dikarenakan penggembalaan yang terlalu

pagi serta penggembalaan dilakukan seharian dari pagi sampai sore yang

menyebabkan sapi terlalu lama terpapar di ladang penggembalaan. Ternak sapi

sebaiknya tidak digembalakan terlalu pagi karena pada waktu tersebut larva cacing

biasanya dominan berada di permukaan rumput yang masih basah. Guna memutus

siklus hidup cacing, sebaiknya sistem penggembalaan dilakukan secara bergilir

dikarenakan ternak yang terlalu lama digembalakan di satu lokasi akan

menyebabkan infestasi cacing yang terus menerus (Wilson dkk, 1991).

Berdasarkan penelitian Rahamdan et al., (2018) bahwa ternak sapi yang

terinfestasi cacing
Paramphistomum sp ., rata-rata digembalakan di kebun atau sawah dan terdapat

rawa-rawa, tempat-tempat tersebut merupakan tempat yang rawan terinfestasi

Paramphistomum sp . Selain itu juga infestasi Paramphistomum sp . dapat

diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah penggembalaan yang

dilakukan pada tempat yang basah atau lembab serta terdapat siput dan dapat juga

dikarenakan peternak mengarit rumput terlalu pagi yang menyebabkan rumput

masih lembab dan masih banyak mengandung metasekaria. Siklus hidup dari

parasit cacing ini bergantung pada lingkungan yang cocok, terutama kelembapan

tinggi dan temperatur yang memadai (±27°C). Kondisi tersebut diperlukan untuk

berkembangnya fase mirasidium sampai metaserkaria dari Paramphistomum sp .

dan juga untuk berkembangnya siput yang digunakan sebagai inang antara. Proses

perkembangbiakan cacing pada sapi yang terinfestasi Paramphistomum sp .

dimulai dari metaserkaria yang masuk ke dalam saluran pencernaan, di usus halus

akan berkembang menjadi cacing muda dan dapat menimbulkan kerusakan pada

mukosa usus karena gigitan sebelumnya. Cacing muda menembus mukosa sampai

ke dalam dan bisa menimbulkan pengerutan (strangulasi), nekrosis, erosi dan

hemoragik pada mukosa. Akibatnya dapat timbul radang akut pada usus dan

abomasum. Cacing muda kemudian berkembang cepat, lalu menuju permukaan

mukosa dan bermigrasi ke rumen kira-kira dalam jangka satu bulan setelah

infestasi.
BAB V

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari 16 sampel feses sapi yang diambil

dari Binilaka, Nasipanaf dan Baumata Kabupaten kupang menunjukkan terdapat 3

sampel positif Fasciola dan 4 sampel positif Paramphistomum sp dengan

intensitas sedang hal ini didukung oleh sistem pemeliharan yang digunakan yaitu

secara semi intensif.

Saran

Perlu dilakukan sosialisasi mengenai manajemen pemeliharaan yang baik

pada peternak dan pemberian obat cacing agar dapat menurunkan tingkat kejadian

infestasi telur cacing pada ternak sapi Bali.


DAFTAR PUSTAKA

Berek HS, Matutina V. 2017. Pemeriksaan dan identifikasi parasit gastrointestinal


pada sapi bali di nusa tenggara timur tahun 2017. Prosiding Penyidikan
Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL) dan
Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018.
Darmin, S. 2014. Prevalensi Paramphistomiasis Pada Sapi Bali di Kecamatan
Libureng Kabupaten Bone. Universitas Hasanuddin. Makassar
Hairani B, Fakhrizal D. 2017. Identifikasi serkaria trematoda dan keong hospes
perantara pada ekosistem perairan rawa tiga kabupaten di kalimantan
selatan. Jurnal Vektor Penyakit 11(1); 1-8.
Nugraheni YR, Priyowidodo D, Prastowo J, Rohayati ES, Sahara A, Awaludin A.
2018. Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Di Daerah Aliran Sungai Progo
Yogyakarta. Jurnal Imu Peternakan Terapan. 1(2):46-50.
Majawati ES, Matatula AE. 2018. Identifikasi telur cacing fasciola hepatica pada
sapi dipeternakan sapi daerah tangerang. Jurnal Kedokteran Meditek.
24(68); 60-66.
Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran
pencernaan (gastrointestinal) pada sapi Bali melalui pemeriksaan tinja di
Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistemik 5: 10-21
Ramadhan ME, Hartono M, Suharyanti S, Santosa PE. Prevalensi cacing saluran
pencernaan pada sapi bali di kecamatan candipuro kabupaten lampung
selatan. Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan. 2(3):1-9
Satyawardana W, Ridwan Y, Satrija F. 2018. Trematodosis pada sapi potong di
wilayah sentra peternakan rakyat (spr) kecamatan kasiman, kabupaten
bojonegoro. Jurnal Acta Veterinaria Indonesiana. 6 (2); 1-7.
Suwiti NK, Sampurna IP, Watiniasih, Puja N. 2013. Peningkatan Produksi Sapi Bali
Unggul Melalui Pengembangan Model Peternakan Terintegrasi.
LaporanTahap II penprinas MP3EI 2011-2015.
Subronto dan Tjahajati, I. ( 2001) Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II. Cetakan III Gadja Mada University Press,
Yogyakarta.
Winarso A. 2018. Teknik Diagnosis Laboratorik Parasitologi Veteriner (Parasit
Sistem Digesti). Veterinary Indie Publisher
LAPORAN KOASISTENSI PARASITOLOGI

Identifikasi Ektoparasit pada Anjing dan Parasit darah pada Unggas

OLEH:
KELOMPOK KOAS 1C

Alfredo J.D Niron 2009020014


Yustina Indrawati 2009020018
Monycha Bumbungan 2009020024
Petriczia Evarizta Gana 2009020033

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Parasit merupakan organisme yang hidup di luar atau di dalam tubuh organisme

(inang). Parasit merupakan organisme yang mengganggu kehidupan inang (Bowman,

2009). Keberadaan parasit dapat mempengaruhi kualitas dan kesehatan inang yang

terinfeksi. Berdasarkan tempat hidupnya parasit dapat dikelompokkan menjadi

endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit adalah parasit yang hidup dalam tubuh

inang, misalnya anggota Trematoda, Nematoda dan Protozoa. Ektoparasit adalah

parasit yang hidup di luar tubuh inang misalnya pada kelas Insekta (pinjal dan kutu)

dan Arachnida (caplak dan tungau) (Natadisastra dan Agus, 2009).

Ektoparasit merupakan permasalahan klasik yang merugikan, namun belum

mendapat perhatian yang baik. Kerugian yang ditimbulkan ektoparasit antara lain 2

penurunan bobot badan, penurunan produksi, kerontokan rambut atau bulu, trauma,

iritasi, anemia sampai dengan kematian. Ektoparasit juga berperan sebagai vektor

penyakit seperti Protozoa, bakteri, virus, Cestoda dan Nematoda yang dapat

ditularkan pada hewan peliharaan dan manusia (“zoonosis”). Salah satu agen parasit

yakni ektoparasit, seperti pinjal (Siphonaptera), kutu (Pthiraptera), tungau (Scabies)

dan caplak (Ixodida)telah lama dikenal sebagai kelompok penting dari arthropoda

yang menginfeksi mamalia termasuk anjing domestic.

Parasit eksternal pembawa berbagai penyakit menular dan dapat menularkan

penyakit saat menghisap darah hospes. Penyakit kulit yang sering menyerang anjing

yaitu demodecosis, pyoderma, ringworm, pediculosis, dan phthiriasis. Tungau lebih


banyak menghabiskan siklus hidupnya di bawah permukaan kulit dan mampu

menyebabkan gangguan ringan kulit yang parah atau gangguan telinga pada anjing

yang terinfeksi. Selain itu penyakit parasit yang biasa menyerang hewan anjing dan

ayamadalah parasit darah. Parasit darah yang biasa ditemukan padaanjing adalah

Trypanosoma rangeli, Hepatozoon canis dan Babesia canis. Parasitdarah pada ayam

biasa disebabkan oleh infeksi protozoa dariFilum

Apicomplexayaituplasmodium,HaemoproteusdanLeucocytozoon(PerkinsdanSchall200

0).Beberapa parasit darah yang biasa menyerang anjing dan ayam, juga disebabkan

olehadanyavektordariektoparasitsepertinyamuk, caplakdan lalat.Oleh karena itu

dalam laporan ini akan membahas tentang identifikasi morfologiektoparasitpada

anjing dan parasitdarah padaunggas.

1.2 Tujuan

Untuk mengidentifikasi jenis ektoparasit pada anjing dan jenis parasit darah

yang menyerang unggas.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ektoparasit pada anjing

2.1.1 Tungau Demodex Canis

Tungau demodex pada anjing hidup didalam folikel rambut dan kelenjar

lemak (glandula sebacea) menyebabkan kudis demodekosis atau kudis folikuler.

Menurut Belot et al. (1984), Henfrey (1993) dan Triakoso (2006) ada tiga spesies

dalam genus Demodex pada anjing, Demodex canis, Demodex cornei, dan

Demodex injai. Namun spesies yang terkenal dan sering ditemukan menyerang

anjing adalah Demodex canis. Demodex canis terdapat dalam jumlah yang kecil

pada kulit dan tidak menunjukkan gejala klinis pada anjing yang sehat. Penularan

demodekosis ini terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari. Dalam kondisi normal,

parasit ini tidak memberikan kerugian bagi anjing, namun bila kondisi kekebalan

anjing menurun maka demodex akan berkembang menjadi lebih banyak dan

menimbulkan penyakit kulit. Pada anak anjing akan tertular oleh induknya, namun

setelah sistem kekebalan tubuhnya meningkat kira-kira pada umur 1 minggu, maka

parasit ini akan menjadi flora normal dan tidak menimbulkan penyakit kulit.

Demodex yang menginfeksi kulit akan mengalami perkembangbiakan (siklus

hidup) di dalam tubuh hospes tersebut.


2.1.2 Siklus hidup

Siklus hidup lengkap demodex adalah 20-30 hari pada tubuh hospes. Ada

empat tahapan perkembangan demodex dalam tubuh hospes yaitu: telur (fusiform),

larva berkaki enam (six legged), nimfa berkaki delapan (eight legged), demodex

dewasa (eight legged adult). Seluruh tahapan perkembangan ini hanya terjadi pada

satu hospes, jadi tidak ada perkembangan pada hospes lain, sebagaimana yang

terjadi pada parasit lain. Seluruh siklus hidup demodex sp berlangsung pada tubuh

inangnya selama 20-35 hari, yang terdiri dari telur, larva, nimfa dan dewasa di

dalam folikel rambut atau kelenjar keringat. Tungau jantan terdistribusi pada

permukaan kulit, sedangkan tungau betina meletakkan 40-90 telur yang berbentuk

simpul (spindel shape) di dalam folikel rambut. Larva dan nimfa terbawa oleh

aliran cairan kelenjar ke muara folikel. Dilokasi inilah, tungau dewasa kawin.

Telur akan menetas menjadi larva berkaki enam dalam waktu 1-5 hari, lalu

berkembang menjadi nimfa yang berkaki delapan, kemudian menjadi dewasa.

Waktu yang diperlukan sejak dari telur sampai menjadi dewasa adalah antara 11-

16 hari (Pudjiatmoko, 2014).Tungau Demodex canisberbentuk sebagai buah

lombok bahkan juga seperti cerutu atau wortel, langsing, berkaki 4 yang kekar

bentuknya, tiap kaki terdiri dari 3 ruas, dengan bagian perut yang bergaris

melintang mirip cincin. Tungau berukuran panjang 250-400 µ (Venna et al .,2017)


Gambar 1. Gambaran Mikroskopis Demodex canis(100x)
Sumber : Venna et al .(2017)
2.1.3 Gejala klinis

Menurut Henfrey (1990), Scott et al. (2001), Triakoso (2006), Dunn (2008)

gejala klinis dari demodekosis adalah pada kulit terjadi alopecia, berkerak,

kemerahan, disertai rasa gatal dan sakit jika ada infeksi sekunder. Munculnya

demodex biasanya pada daerah kepala, kaki depan, hidung, ekor dan beberapa

anjing ada juga yang terserang hanya di daerah telapak kaki dan telinga saja. Pada

demodekosis general, lesi terdapat hampir di seluruh tubuh dan biasanya disertai

dengan infeksi sekunder. Pada tahap yang lebih lanjut, dapat terjadi demodecosis

general disertai dengan peradangan dan infeksi sekunder oleh bakteri. Lapisan

kulit yang terinfeksi terasa lebih berminyak saat disentuh. Tungau sangat

menyukai bagian tubuh yang kurang lebat bulunya, seperti moncong hidung dan

mulut, sekitar mata, telinga, bagian bawah badan, pangkal ekor, leher sepanjang

punggung dan kaki. Rasa gatal yang ditandai dengan hewan selalu mengaruk dan

menggosokkan badannya pada benda lain atau menggigit bagian tubuh yang gatal,

sehingga terjadi iritasi pada bagian yang gatal berupa luka/lecet, kemudian terjadi
infeksi sekunder sehingga timbul abses, sering luka mengeluarkan cairan (eksudat)

yang kemudian mengering dan menggumpal dan membentuk kerak pada

permukaan kulit. Ada 2 (dua) bentuk infeksi pada kulit akibat iritasi yaitu bentuk

squamous (bersisik) dan bentuk pustular (benjolan). Bentuk squamous biasanya

terdapat pada anjing, sedangkan bentuk pustular sering ditemukan pada sapi.

Ukuran benjolan/nodule sangat bervariasi, mulai dari berukuran kecil sampai

sekitar 2 cm, bahkan lebih besar. Lesi berawal pada daerah kepala menjalar ke

daerah leher dan kemudian dapat menutupi seluruh tubuh (Pudjiatmoko, 2014).

2.1.4 Patogenesis

Tungau Demodex sp dipercaya sebagai fauna normal pada kulit.

Penularannya terjadi karena kontak langsung induk terhadap anak-anaknya pada

saat menyusui, yaitu sekitar 2-3 hari di awal-awal kehidupan. Tungau ini bahkan

sudah dapat ditemukan pada anak anjing yang berumur sekitar 16 jam. Suatu

penelitian menunjukkan bahwa anak anjing yang lahir melalui bedah caesar tidak

terinfestasi tungau Demodex sp. Umumnya anjing dewasa yang menderita

demodecosis berkorelasi positif dengan ganggungan sistem imun, seperti kanker,

penyakit liver, ginjal maupun ketidakseimbangan hormonal. Pada beberapa kasus

juga terjadi imunosupresi, akibat adanya penekanan terhadap produksi limfosit T.

Hewan yang sedang dalam terapi menggunakan obat imunosupresif seperti

kortikosteroid juga dapat berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh hewan yang

akhirnya dapat memicu timbulnya demodecosis. Perjalanan penyakit demodikosis

juga menunjukan kejadian supresi respon blastogenesis diinduksi oleh substansi


yang dihasilkan parasit Demodex canis, substansi humoral ini yang menyebabkan

supresi secara umum limfosit T yang memberikan supresi respon kekebalan host

terhadap parasit sehingga terjadi perkembangbiakan/penyebaran parasit dan

pengembangan infeksi sekunder bakterial tanpa dapat dikendalikan oleh hospes,

sehingga perjalanan penyakit ini dinyatakan bahwa demodikosis pada anjing

adalah sinergistik dan patogenik antar hubungan sesama anjing (Henfrey, 1993).

2.1.5 Diagnosa

Diagnosa yang dapat dilakukan pada kasus demodekosis adalah dengan

kerokan kulit yang agak dalam dari bagian tengah lesi, kemudian diberi tetesan

KOH 10 % untuk diamati di bawah mikroskop. Apabila positif maka akan

ditemukan parasit demodex yang bentuknya seperti wortel atau cerutu. Luka pada

kulit anjing yang terserang Demodikosis akan dapat didiagnosa melalui

pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit hewan penderita yang diduga

terserang penyakit ini, tampak parasit Demodex canis berbentuk cerutu dengan

ukuran 250-300 µm x 400 µm. Parasit ini tinggal di folikel rambut dan kelenjar

sebaceus dan siklus hidupnya terjadi pada tubuh induk semang 20-35 hari. Hewan

penderita yang sering diserang pada usia anjing di bawah umur 1 tahun namun

demikian pada anjing di atas umur 1 tahun banyak mengalami kejadian infeksi

penyakit ini (Henfrey, 1990; Scott et al., 2001).

2.1.6 Diagnosa Banding

Folikulitis/furunkulosis akibat bakteri, dermatophytosis, pemphigus

kompleks, dermatitis kontak, dermatomiositis, dan lupus erytrematous


kompleks.Dermatitis yang disebabkan oleh jamur atau Scabies (Pudjiatmoko,

2014).

2.1.7 Tungau telinga Otodectes cynotis

Otodectes cynotismerupakan tungau dengan predileksi disaluran telinga

eksternal yang dapat ditemukan pada kucing, anjing, musang, dan rubah.

Otodectes cynotis hidup dengan memakan debris superfisial saluran telinga

eksternal dan serumen telinga. Dampak yang ditimbulkan akibat infestasi

Otodectes cynotis pada saluran telinga eksternal adalah iritasi akibat reaksi

hipersensitifitas earmites, eritrema, dan pruritus. Penularan dapat terjadi

melalui kontak langsung (Siagian dan Fikri, 2019; da Silva et al., 2020;

Taenzler, 2018).

2.1.8 Morfologi

Morfologi tungau Otodectes berbentuk pipih, bulat dengan kaki-kakinya

yang pendek. Stadium pertumbuhannya berupa telur, larva, nimfa dam tungau

dewasa, yang bertumbuh dan berkembang di dalam saluran telinga luar. Tungau ini

mirip dengan Chirioptes. Memiliki alat penghisap tarsal pada pasangan kaki

pertama dan kedua pada tungau betina dan pada seluruh pasangan kaki pada tungau

jantan serta tidak berhubungan dengan pedicle. Alat penghisap capulatory jantan

kurang jelas demikian juga dengan abdominalnya. Jenis tungau ini sering

dinamakan juga dengan tungau telinga (Soulsby, 1968).


Gambar 2. Tungau Otodectes cynotis

Sumber : Ahn-jin et al. (2013)

2.1.9 Patogenesis

Oleh iritasi tungau disaluran telinga luar mukosa saluran mengalami radang

(otitits external parasitica) dan lama-lama terjadilah reaksi alergi, hingga rusaknya

jaringan menjadi parah. Oleh adanya radang keluarlah eksudat radang yang

dengan infeksi kuman akan menghasilkan leleran nanah dengan bau yang

menusuk. Oleh rasa nyeri dan gatal, kepala digeleng-gelengkan dan bila hanya satu

telinga yang menderita, posisi kepala akan miring dengan telinga yang menderita

lebih rendah daripada telinga lainnya. Tidak jarang daun telinga anjing digosok-

gosokkan ke objek keras, dengan akibat terjadi luka abrasi yang kotor. Tidak

jarang pula pembuluh darah daun telinga pecah hingga terjadi benjolan yang berisi

darah dan dikenal sebagai othematom.


2.2 Parasit darah unggas

2.2.1. Haemoproteus sp

Haemoproteus sp. merupakan protozoa yang hidup intraseluler sebagai

parasit dalam sel darah merah burung, kura-kura dan kadal (Weisman dkk., 2007

dalam Sabuni, 2009). Haemoproteus meleagridis adalah spesies Haemoproteus

yang menginfeksi kalkun (Levine, 1994). Klasifikasi dari genus parasit ini

termasuk dalam filum Apicomlexa, kelas Aconoidasida, famili Haemoproteidae,

ordo haemospororida, genus Haemoproteus, spesies Haemoproteus sp. (Bowman,

2003 dalam Prasetio, 2011). Di Indonesia penyakit yang disebabkan oleh

Haemoproteus sp. telah dilaporkkan pada burung merpati maupun ayam, namun

kejadianhanya bersifat sporadik (Tabbu, 2002). Infeksi dengan kebanyakan

Haemoproteus sp. tidak menghasilkan tanda-tanda klinis yang signifikan. Ciriciri

sel darah yang terinfeksi akan muncul granula yang berada di sekitar inti sel darah

merah. Haemoproteus sp. ditularkan oleh serangga penghisap darah termasuk

nyamuk spesies Culicoides dan lalat Hippobosca sp. (Friend dan Franson, 1999

dalam Prasetio, 2011).

Berdasarkan penelitian Salut et al,. (2019) bahwa adanya infeksi dari

Haemoproteus sp dalam bentuk gametosit dan makrogametosit yang berada dalam

sel darah merah dan berada di dekat inti sel darah merah. Gametosit berbentuk

seperti vakuola yang besar dan inti yang kecil dan mengitari inti sel darah merah

sedangkan makrogametosit berbentuk halter yang mengitari inti dengan butir yang

tersebar dalam halter.


Gambar 3. Bentuk gametosit Haemoproteus sp

Sumber : Salut et al,. (2019)

Gambar 4. Bentuk Makrogametosit Haemoproteus sp. (perbesaran

100x)

Sumber : Salut et al,. (2019)

Sporozoit infektif menyerang kapiler sel endotel dan berkembang menjadi

meronts yang berukuran 12-20 μm. Meronts berkembang dalam jangka waktu

antara 5-8 hari setelah infeksi yang kemudian menyerang sel-sel endotel kapiler

baru di skeletal dan otot jantung dan berkembang menjadi generasi berikutnya.

Meronts generasi kedua berukuran 28 μm dan berkembang menjadi

megalomeronts berukuran sampai 500 panjang μm. Megalomeronts mencapai

kematangan pada 17 hari setelah infeksi dan pecah untuk melepaskan bola kecil

merozoit yang menyerang eritrosit dan berkembang menjadi makrogametosit dan


mikrogametosit yang berkembang menjadi gametosit. Gametosit matang yang

benar-benar mengelilingi inti eritrosit dalam waktu 7-10 hari setelah sel darah

merah terinfeksi. Parasitemia mencapai intensitas puncak dalam sirkulasi

perifersekitar 21 hari setelah infeksi (Atkinson dkk., 2008).

Prevalensi infeksi Haemoproteus sp disebabkan oleh beberapa faktor yaitu,

faktor waktu, kekebalan tubuh hewan, pemeliharaan ternak ayam buras dan vektor.

Faktor waktu yaitu lamanya parasit berada dalam tubuh vektor juga merupakan

faktor yang penting untuk mengetahui keberadaan parasit.


BAB III

METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat

Pemeriksaan ini dilaksanakan pada 25 Mei dan 27 Mei 2021. Pengambilan

sampel Anjing yang terdiri dari kerokan kulit dan kotoran telinga dari 2 ekor

anjing dilakukan langsung di rumah pemilik anjing yaitu di daerah Fatululi dan

Liliba. Kemudian untuk pengambilan sampel pada pemilik ayam di daerah Liliba.

Sampel selanjutnya dibawa ke Laboratorium Parasitologi Klinik Hewan Undana

2.2 Materi

2.2.1 Alat

Alatyang digunakan dalamidentifikasidiantaranyaspuit atau

jarum steril, tabung darah EDTA, objek gelas, cover gelas, cool

boxmikroskop, scalpel, blade

2.2.2 Bahan

Darah ayam, sampel darah, kapas, air, alkohol, ethanol, kertas

label, cairan pewarnaan giemsa dan minyak emersi, sampel kerokan

kulit dan sampel kotoran telinga dari 2 ekor anjing, cotton bud, larutan

KOH 10%, darah ayam.

2.3 Prosedur Kerja

 Identifikasi dan Koleksi Ektoparasit pada Anjing

• Pemeriksaan secara mikroskopis dilakukan terhadap sampel kotoran

telinga
1. Mengambil sampel sampel kotoran telinga dengan menggunakan

cotton bud.

2. Mengoleskan cotton bud dari masing-masing sampel tersebut

diatas object glass.

3. Mengambil larutan KOH 10% dengan menggunakan pipet tetes

dan selanjutnya ditetesi diatas masing-masing object glass yang

sudah berisi sampel.

4. Menutup masing-masing sampel yang berada diatas object glass

dengan cover glass dan selanjutnya diamati dibawah mikroskop.

• Pemeriksaan secara mikroskopis dilakukan terhadap sampel kulit dan

rambut dengan metode deep skin scrapping.

1. Deep skin scrapping dilakukan dengan menggunakan scalpel.


2. Persiapan yang dilakukan adalah kulit yang mengalami lesi
dipijat dengan jari sebanyak sepuluh kali dan dilanjutkan
melakukan kerokan pada kulit sampai berdarah.
3. Sampel ditempatkan pada glass object dan diteteskan larutan
KOH.
4. Sampel kulit diratakan kemudian ditutupi dengan cover glass
5. diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10X dan 40X
(Saridomichelakis et al., 2007).
 Identifikasi dan Koleksi Parasit Darah Ayam

1. Koleksisampeldarahayam dilakukanmelaluimelalui vena


brachialis bagian sayap laludimasukksn dalam tabungEDTA.

2. Sampeldarahyang
telahdihomogenkandiletakkanpadakacaobjekyangtelah
dibersihkan.

3. Kaca objek pendorong diletakkan di atas tetesan darah,


membuat
sudut45oantarakacaobjekyangberisitetesandarahdankacaobjekpe
ndorong.

4. Apusandarahdiangin-anginkanhinggakering

5. Diberinomorregistrasidandilanjutkandenganpewarnaan.

6. Kacaobjekyangberisiulasandarahdirendamdalammethanolselam
a5-10 menit.

7. Dilanjutkandenganperendamandalamgiemsaselama30menit.

8. Dilakukanpembilasanpadapreparatdankemudiandikeringkandiu
dara.

9. Setelahpreparatkeringdilakukanpengamatandibawahmikroskop
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Anjing

Tabel 1. Sinyaleman

Sinyalemen

Nama Pemilik Sela Anamnesa :


Alamat Fatululi Berdasarkan infromasi dari pemilik
Nama Anjing Coklat anjing mulai mengalami penyakit
Jenis Kelamin Jantan kulit sejak bulan Agustus 2020.
Ras Lokal Sejak saat itu rambut anjing mulai
Warna Coklat rontok, berketombe, dan kulit anjing
Umur 1 tahun berwarna kemerahan. Anjing sempat
Berat Badan 11 kg hilang dan ditemukan kembali oleh
pemilik dengan kondisi penyakit
kulitnya yang semakin parah.
Sebelum hilang, anjing hanya dilepas
di halaman rumah bahkan
berkeliaran. Anjing tersebut memiliki
nafsu makan yang masih baik.
Terdapat beberapa luka disekitar
tubuh dan kulit sudah mengalami
keropeng.
Gambar 1. Kondisi tubuh Coklat

(Dokumentasi Pribadi)

Nama Pemilik Carvallo Anamnesa:


Alamat Liliba Anjing mengalami kerontokan
Nama Anjing Astro rambut sejak tahun 2020. Gejala lain
Jenis Kelamin Betina ditemukan adanya ketombe pada
Ras Lokal bagian wajah dan kepala. Selain itu
Warna Coklat Hitam juga ditemukan adanya kemerahan
putih pada bagian ventral tubuh. Anjing
Umur ± 1 tahun tidak terlalu sering menggaruk dan
Berat Badan 10 kg adanya bau tengik pada daerah
telinga dan bengkak. Pada kulit
ditemukan adanya alopesia,
hiperpigmentasi pada wajah. Pada
bagian dorsal tubuh tubuh ditemukan
adanya alopesia dan scale, dan pada
bagian ventral tubuh ditemukan
adanya eritema, papula, dan pustule.

Gambar 2. Kondisi telinga Anjing


Astro

Gambar 3. Kondisi tubuh Anjing


Astro

4.2 Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil pemeriksaan ektoparasit yaitu kerokan kulit dari

anjing coklat dan anjing Astro didapatkan hasil positif Demodex sp dan

ear swab dari anjing astro ditemukan Otodectes cynotis yang dapat dilihat

pada Gambar 3 dan Gambar 6. Bentuk Demodex sp yang ditemukan pada

pemeriksaan dan identifikasi Anjing Coklat dan Anjing Astro sesuai

dengan penelitian Venna et al., (2017) bahwa Demodex spberbentuk

sebagai buah lombok bahkan juga seperti cerutu atau wortel, langsing,

berkaki 4 yang kekar bentuknya, tiap kaki terdiri dari 3 ruas, dengan

bagian perut yang bergaris melintang mirip cincin. Tungau berukuran

panjang 250-400 µ.

Gambar 3. Gambaran Demodex sp Gambar 5. Gambaran


Mikroskopis Demodex
Anjing Coklat
canis(100x)
(Dokumentasi Pribadi)
Sumber : Venna et al .(2017)
Gambar 4. Gambaran Demodex sp

Anjing Astro

(Dokumentasi Pribadi)

Anjing Coklat yang diamati pada pemeriksaan mengalami alopesia

yang bersifat general dan ada beberapa bagian tubuh yang mengalami lesi,

sedangkan anjing Astro hampir disebagian tubuhnya hiperkeratosis dan

luka pada bagian wajah dan punggung, eritema, scale. Jika dilihat dari

gejala klinis anjing yang terserang demodekosis anjing akan berusaha

menggaruk bagian tubuh. Rasa gatal yang ditandai dengan hewan selalu

mengaruk dan menggosokkan badannya pada benda lain atau menggigit

bagian tubuh yang gatal, sehingga terjadi iritasi pada bagian yang gatal

berupa luka/lecet. Menurut Henfrey (1990), Scott et al. (2001), Triakoso

(2006), Dunn (2008) gejala klinis dari demodekosis adalah pada kulit

terjadi alopecia, berkerak, kemerahan, disertai rasa gatal dan sakit jika ada
infeksi sekunder. Munculnya demodex sp biasanya pada daerah kepala,

kaki depan, hidung, ekor dan beberapa anjing ada juga yang terserang

hanya di daerah telapak kaki dan telinga saja.

Jika dilihat pada anjing coklat hampir sebagain tubuhnya

mengalami alopesia dan terdapat beberapa lesi pada tubuhnya sehinggal

hal ini diduga tungau Demodex sp yang umumnya bersifat flora normal

dan hidup pada folikel rambut dan kelenjar sebaseus mengalami

peningkatan imunitas sehingga substansi humoral ini yang menyebabkan

supresi secara umum limfosit T yang memberikan supresi respon

kekebalan host terhadap parasit sehingga terjadi

perkembangbiakan/penyebaran parasit dan pengembangan infeksi

sekunder bakterial tanpa dapat dikendalikan oleh hospes, sehingga dapat

menyebabkan penyakit demodikosis pada anjing. Sesuai dengan gejala

klinis yang timbul pada anjing coklat dan anjing astro lesi terdapat hampir

di seluruh tubuh dan biasanya disertai dengan infeksi sekunder. Luka atau

lesi yang terjadi bermula lokal, kemudian berkembang dengan cepat pada

sebagian besar tubuh hewan penderita. Tempat yang disukai adalah di

daerah muka, sekitar mata, daerah ekstremitas dan daerah dada. Selain itu

juga terdapat alopesia merupakan rontoknya rambut yang tidak normal

yang mungkin terjadi pada sebagian atau seluruhnya, terbatas atau

berdifusi, dan simetris atau asimetris. Alopesia terjadi akibat kerusakan

serat rambut, disfungsi folikel rambut dan kekurangan nutrisi (Jasmin,

2011). Berdasarkan penelitian Gartner et al. (2014) mengenai gambaran


klinis demodikosis pada anjing ditemukan adanya lesi alopesia sebesar

76,47%. Hiperpigmentasi umumnya terdapat pada bagian kulit yang

mengalami alopesia. Hiperpigmentasi merupakan perubahan warna kulit

menjadi lebih gelap yang diakibatkan oleh peningkatan aktivitas

melanosit. Terdapat juga lesi papula yang termasuk kedalam lesi primer

kulit, papula merupakan hasil dari adanya infeksi pada kulit, bentuk papula

dapat bermacam-macam dengan besar yang bervariasi, dari sebesar butir

beras hingga sebesar kacang tanah. Pustula pada kulit juga ditemukan

walaupun dalam jumlah yang tidak banyak, pustula merupakan lesi kulit

yang berukuran relatif lebih besar dari papula dan biasanya terdapat

eksudat nanah di dalamnya.

Demodekosis merupakan inflamasi akibat serangan parasit

Demodex sp. yang berkaitan dengan status imunodefisiensi sehingga

tungau berkembang secara luar biasa dan menyebabkan furunkulosis dan

infeksi sekunder bakterial. Siklus hidup dari Demodex sp. berlangsung

pada tubuh inangnya selama 20-35 hari, yang terdiri dari telur, larva,

nimfa, dan dewasa pada folikel rambut atau kelenjar keringat. Tungau

jantan akan menyebar pada permukaan kulit, sedangkan tungau betina

akan meletakkan telurnya pada folikel rambut. Difolikel rambut tungau

jantan dan betina akan kawin. Telur akan menetas menjadi larva berkaki

enam dalam waktu 1-5 hari. Selanjutnya berkembang menjadi nimfa

berkaki 8, kemudian mejadi dewasa. Waktu yang diperlukan dari telur

menjadi dewasa 11-16 hari.


Pemeriksaan secara mikroskopis terhadap sampel kulit anjing

coklat dan anjing astro yang mengalami lesi, dilakukan dengan metode

deep skin scraping dan didapatkan hasil positif dengan ditemukan tungau

Demodex sp. Siklus hidup lengkap Demodex sp adalah 20-30 hari pada

tubuh hospes. Ada empat tahapan perkembangan Demodex sp dalam tubuh

hospes yaitu: telur (fusiform), larva berkaki enam (six legged), nimfa

berkaki delapan (eight legged), demodex dewasa (eight legged adult)

didalam folikel rambut atau kelenjar keringat. Tungau jantan terdistribusi

pada permukaan kulit, sedangkan tungau betina meletakkan 40-90 telur

yang berbentuk simpul (spindel shape) di dalam folikel rambut. Metode

deep skin scrapingsangat baik dilakukan untuk diagnostik menentukan

adanya tungau Demodex spkarena kerokan kulit yang dilakukan hingga

berdarah menandakan bahwa kerokan menembus lapisan dermis kulit yang

menyebabkan tungau Demodex sp. terlepas dari jaringan keratin dan

folikel rambut (Beco et al., 2007). Dimana morfologi Demodex canis

berbentuk cerutu dengan ukuran 250-300 µm x 400 µm. Parasit ini tinggal

di folikel rambut dan kelenjar sebaceus dan siklus hidupnya terjadi pada

tubuh induk semang 20-35 hari.

Ditemukan Otodectes cynotis pada telinga anjing Astro sesuai

dengan hasil penelitian Ahn-jin et al., (2013) bahwa morfologi tungau

otodektes berbentuk pipih, bulat dengan kaki-kakinya yang

pendek.Stadium pertumbuhannya berupa telur, larva, nimfa dam tungau

dewasa, yang bertumbuh dan berkembang di dalam saluran telinga luar.


Tungau ini mirip dengan Chirioptes. Memiliki alat penghisap tarsal pada

pasangan kaki pertama dan kedua pada tungau betina dan pada seluruh

pasangan kaki pada tungau jantan serta tidak berhubungan dengan pedicle.

Alat penghisap capulatory jantan kurang jelas demikian juga dengan

abdominalnya. Jenis tungau ini sering dinamakan juga dengan tungau

telinga.

Saat pemeriksaan pada telinga anjing astro ditemukan bau tidak

sedap juga mengalami kebengkakan, kotoran telinga, berbau. Hal ini

diduga Otodectes cynotis hidup dengan memakan debris superfisial

saluran telinga eksternal dan serumen telinga. Dampak yang ditimbulkan

akibat infestasi Otodectes cynotis pada saluran telinga eksternal adalah

iritasi akibat reaksi hipersensitifitas earmites, eritrema, dan pruritus.

Selain itu akibat investasi parasite (earmites) dapat menyebabkan kejadian

otitits externa dimana tungau memiliki saluran makanan yang terhubung

ke oesophagus bernama gnathosoma (kapitulum). Pada gnathosoma

terdapat sepasang palps yang digunakan tungau untuk mencari makanan.

Palps adalah organ sensorik sederhana yang terbagi menjadi beberapa

segmen, dimana pada segmen terakhir terdapat cakar palps atau apotele.

Terletak tiga pasang chelicerae diantara pals yang berfungsi untuk

merobek, menggenggam atau menusuk (Wall and Shearer, 2001). Jaringan

yang rusak akibat chelicerae dapat menjadi entry point bagi agen patogen

untuk menginfeksi (Parija, 2012).


Gambar 7. Tungau Otodectes cynotis

Sumber : Ahn-jin et al. (2013)


Gambar 6. Tungau Otodectes

cynotis

(Dokumentasi Pribadi)
4.2 Identifikasi Parasit Darah pada Ayam

Sinyalemen

Nama Pemilik Ibu Ana Anamnesa :


Alamat Liliba Berdasarkan infromasi dari
Nama - pemilikayam mengalami lesu
Jenis Kelamin Betina dan penurunan nafsu makan.
Ras Ayam Buras
Warna Putih
Umur ± 2 bulan
Berat Badan

Berdasarkanhasil pemeriksaan pada 5 sampel darah unggas yang

teridentifikasi ditemukan 1 sampel yang positif. Sampel pemeriksaan

yang positif ditemukannya parasit darah padaayamyaituHaemoproteussp.

Haemoproteussp.adalahprotozoayanghidupintraselulersebagaiparasitdalam

seldarahmerahburung, kura-kura dan kadal (Weisman dkk., 2007

dalamSabuni,2009). Klasifikasidarigenusparasitinitermasuk dalamfilum

Apicomlexa, kelas

Aconoidasida,familiHaemoproteidae,ordohaemospororida,genusHaemopr

oteus,spesiesHaemoproteussp.(Bowman,2003 dalam Prasetio, 2011).


Pada saat lakukan pemeriksaan dibawah mikroskop didapatkan

hasil berupa Haemoproteus sp. Yang diamati terdapat granula yang berada

di sekitar inti dari sel darah merah ayam tersebut. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Salut et al., (2019) menyatakan bahwa ciri-

ciri sel darah merah yang terinfeksi dari parasit ini adalah akan muncul

granula yangberada di sekitar inti sel darah merah. Haemoproteus

sp.ditularkanolehseranggapenghisapdarahtermasuknyamukspesiesCulicoid

esdanlalatHippoboscasp.(Friend danFranson,1999dalam Prasetio,2011).

Gambar 3. Bentuk gametosit Haemoproteussp.pada eritrosit ayam buras

Perbesaran 40x

Sumber : Dokumentasi pribadi

Dari pemeriksaan yang menunjukan hasil positif, dapat disebabkan

oleh adanya faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian

penyakit, yaitu kondisi lingkungan yang kurang optimum bagi

perkembangan dan ketahanan hidup vektor dan parasit, cara

pemeliharaan serta kondisi ayam yang berhubungan dengan kekebalan


tubuh pada ayam yang dipelihara di daerah liliba. Dari hasil pengamatan

dilihat bahwa peternakan ayam tersebut kurang menerapkan sanitasi dan

hygiene, sehingga mempengaruhi perkembangan parasit. Dimana

disekitar tempat pemeliharaan dekat dengan tempat sisa-sisa pembuangan

makanan dan sampah serta sedikit genangan air hal ini yang menjadi

tempat berperkembangbiakan

nyamukspesiesCulicoidesdanlalatHippoboscasp.untukmenginfeksi ayam-

ayam tersebut.

Vektor penyebar penyebab terjadinyaHaemoproteus

sp.ditularkanolehseranggapenghisapdarahtermasuknyamukspesiesCulicoi

des spdanlalatHippoboscasp.Culicoides sp. adalah lalat penghisap yang me‐

miliki ukuran tubuh amat kecil yaitu 1‐3 mm, memiliki antena yang panjangnya

lebih dari 6 segmen dan sayapnya berbintik‐bintik (Wah‐ yuti, 2003) . Tingkat

kejadian infeksi Haemoproteus sp disebabkan oleh beberapa faktor yaitu,

faktor waktu, kekebalan tubuh hewan, pemeliharaan ternak ayam buras

dan vektor. Faktor waktu yaitu lamanya parasit berada dalam tubuh

vektor juga merupakan faktor yang penting untuk mengetahui

keberadaan parasit. Pada vektor, semakin lama parasit berada dalam

tubuh maka jumlah parasit dalam tubuh induk semang akan berkurang.

Berpindahnya vektor pada saat menghisap darah dari satu inang ke inang

lain dalam waktu singkat memegang peranan yang penting dalam

penularan penyakit. Selain itu juga keberhasilan transmisi parasit secara

mekanis antara lain tergantung derajat parasitemia hewan inang. Semakin


tinggi parasit yang dikandung oleh inang, maka peluang vektor untuk

menularkan parasit kepada hewan lain semakin besar (Gunandini, 1997

dalam Latipah, 2001). Faktor kekebalan tubuh merupakan faktor internal

yang biasanya melibatkan faktor fisik dan biokimia, misalnya, nutrisi

akan mempengaruhi kekebalan induk semang terhadap infeksi parasit.

Nutrisi yang kurang atau malnutrisi (seperti kekurangan vitamin atau

karbohidrat yang terlalu tinggi) akan meningkatkan beberapa penyakit

pada ayam, juga dapat mengurangi kekebalan terhadap infeksi yang lebih

hebat. Selain itu, umur merupakan faktor predisposisi yang dapat

mempengaruhi kekebalan inang. Pada tahap seluler, ayam muda lebih

mudah terinfeksi dibandingkan dengan ayam yang berumur lebih tua.

Disamping itu pada ayam yang berumur lebih muda biasanya jumlah

parasit yang berkembang lebih tinggi dan parasitemia lebih lama dengan

angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayam yang

berumur lebih tua (Seed &Manwell, 1977 dalam Latipah, 2001). Bentuk

gametosit dari Haemoproteus sp. membutuhkan waktu sekitar 21 hari

untuk berkembang dalam sel darah merah (Atkinson dkk., 2008).


BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan ektoparasit pada anjing ditemukan

Otodectes cynotis atau disebut sebagai tungau telinga dan demodex sp..

Metode yang digunakan dalam pemeriksaan ini yaitu, metode ear swab dan

kerokan kulit. Selain itu pada pemeliharaan ayam di daerah Liliba dibuktikan

dengan adanya 1 dari 5 sampel yang menunjukan hasil postif Haemoproteus

sp.

5.2 SARAN

Saran yang dapat diberikan yaitu anjing yang sudah terinfeksi

Otodectes cynotis, segera dibawa ke dokter hewan agar diberikan obat yang

sesuai untuk mengatasi tungau telinga tersebut, sama halnya dengan anjing

yang terinfestasi demodex sp. agar tidak menyebar dan bertambah parah.

Selain itu, perlu dilakukan hygene dan sanitasi pada tempat pemeliharaan

unggas tersebut
DAFTAR PUSTAKA

Ah-Jin A, Dae-Sung O,Kyu-Sung A, Sung-Shik S. 2013.  Case report first feline case of


otodectosis in the republic of korea and successful treatment with
imidacloprid/moxidectin topical solution. Parasitol KJP The Korean Journal of
Parasitology.
Atkinson, C.T, Thomas, N.J, Hunter, B.D. 2008. Parasitic Disease of Wild Birds. USA.
Wiley-Blackwell.
Beco L, Fontaine J, Bergvall K, Favrot C. 2007. Comparison of skin scrapes and hair
plucks for Detecting Demodex mites in canine demodicosis, a multicentre,
prospective study. Vet Dermatol 18: 281
Belot JRP, Pangui JL. 1984. Courte Communication: Demodecie canine, Observations
Cliniques a propos d’un essai de traitement par l’ivermectine. Le Point Veterinaire
16(85): 66-68
Bowman, D. 2003. Georgis’ Parasitology forVeterinarians: Eighth Edition. Elsevier
Science. St.Louis, MO. dalam Agustinus Prasetio. 2011.Prevalensi Malaria Unggas
Pada Burung BerkikEkor-Lidi (Gallinago Spenura Bonaparte) Di PantaiTrisik,
Yogyakarta. Skripsi. Hal 9.
da Silva, J.T., Ferreira, L.C., Fernandes, M.M., Sousa, L.dM., Feitosa, T.F., Braga, F.R.,
Brasil, A.W.dM., Vilela, V.L.R. 2020. Prevalence and clinical aspects of Otodectes
cynotis infestation in dogs and cats in the semi-arid region of Parabia, Brazil. Act.
Sci. Vet., 48, 1725
Friend, M dan Franson, J. 1999. Field Manual of Wildlife Diseases : General Field
Procedures and Diseases of Birds. dalam Agustinus Prasetio. 2011. Prevalensi
Malaria Unggas Pada Burung Berkik Ekor-Lidi (Gallinago Spenura Bonaparte) Di
Pantai Trisik, Yogyakarta. Skripsi. Hal 9. Levine N.D. 1994. Parasitologi Veteriner.
Gadjah Mada University Press.
Gartner A, Dărăbuş G, Badea C, Hora F, Tilibasa E, Mederle N. 2014. Clinical Diagnosis
in Canine Demodicosis. Veterinary Medicine 61(2):76-80.
Jasmin P. 2011. Clinical Handbook on Canine Dermatology. 3rd ed. USA: Virbac SA.

Pudjiatmoko et al. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta: Subdit Pengamatan
Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
Salut ED, Almet J, Winarso A. 2019. Identifikasi parasit darah pada ayam buras di pasar
inpres naikoten kota kupang. Jurnal Veteriner Nusantara 2(1); 34-40.
Siagian, T.B., Fikri, F.H. 2019. Infestasi ektoparasit pada kucing di klinik hewan
Kabupaten Bogor. Seminar Nasional Teknologi Terapan Inovasi dan Rekayasa
(SNT2R), Kendari, 1 Desember 2019. pp: 480-484.
Soulsby EJL. 1968. Helminths, Antropods and Protozoa of Domesticated Animals. Sixth
Edition of Monnig’s Veterinary Helminthology and Entomology. Philadelphia: Lea
and febiger.
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penaggulangannya – vol. 2. Yogyakarta : Kanisius
Taenzler, J., de Vos, C., Roepke, R.K.A., Hackeroth, A.R. 2018. Efficacy of fluralaner
plus moxidectin (Bravecto® plus spot-on solution for cats) againts Otodectes cynotis
infestasions in cats. Parasit. Vect., 11, 595.
Triakoso N. 2008. Monitoring Penggunaan Amoksisilin, Ampisilin dan Kloramphenicol
pada Kucing di Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Gadjah Mada. J.Sain.Vet., 26(2).
Weisman, J., LeRoy, B.E., and Latimer, K. S. 2007. Haemoproteus Infection in Avian
Species. Veterinary Clinical Pathology Clerkship Program. University of Georgia
College of Veterinary Medicine. Athens. dalam Sabuni, A.Z., 2009. Prevalence
Intensity and Pathology of Ecto and Haemoparasites Infections in Indigenous
Chickens in Eastern Province of Kenya. Skripsi.
Veena M, Dhanalakshmi H, Kavitha K, Placid EDS, Puttalaksmamma GC. 2017.
Morphological characterization of demodex mites and its therapeutic management
with neem leaves in canine demodicosis. Journal of Entomology and Zoology
Studies, 5(5): 661-664.
LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK

PARASITOLOGI

OLEH

KELOMPOK 1C

1. Maria T.K Geo, S.KH 2009020012

2. Maria S. Apong, S.KH. 2009020013

3. Nilla S. Ngadi, S.KH. 2009020016

4. Mariana E. Mance, S.KH. 2009020035

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Parasit merupakan organisme yang hidupnya di dalam tubuh induk semang dan

merugikan induk semangnya. Keberadaan parasit dapat mempengaruhi kesehatan inang yang

terinfeksi. Berdasarkan tempat hidupnya parasit dikelompokkan menjadi dua yaitu

ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup di luar tubuh inang

sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang (Suwandi 2001).

Salah satu agen penyakit parasit yang biasa menyerang hewan anjing dan ayam adalah

parasit darah. Menurut Levine (1990) parasit darah yang biasa ditemukan pada anjing adalah

Trypanosoma rangeli, Hepatozoon canis dan Babesia canis. Parasit darah pada ayam biasa

disebabkan oleh infeksi protozoa dari Filum Apicomplexa yaitu plasmodium, Haemoproteus

dan Leucocytozoon (Perkins dan Schall 2000). Beberapa parasit darah yang biasa menyerang

anjing dan ayam, juga disebabkan oleh adanya vektor dari ektoparasit seperti nyamuk, caplak

dan lalat.

Keberadaan parasitpada anjing dan ayam dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang

cukup besar pada peternak dan pecinta hewan kesanyangan. Hal ini karena terjadi

pertumbahan terhambat, penurunan berat badan dan daya reproduksi bahkan kematian pada

hewan. Oleh karena itu dalam laporan ini akan membahas tentang identifikasi morfologi

ektoparasit dan beberapa parasit darah pada hewan.

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami metode diagnosa ektoparasit dan parasite darah

pada anjing dan ayam.

2. Untuk mengidentifikasi jenis ektoparasit dan parasite darah pada anjing dan ayam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demodex Canis

Ektoparasit hidup, memperoleh makanan dan menginsfestasi permukaan tubuh

terluar vertebrata, termasuk anjing (Wall dan Shearer, 2001). Ektoparasit memiliki

patogenisitas yang cukup berat dan bahkan mungkin dapat menyebabkan kematian,

sesuai dengan intensitas parasitnya, status gizi dan kondisi imunologis dari inangnya

(Scott, et al 2001). Salah satu jenis ektoparasit yang dapat menginfestasi anjing adalah

Tungau Demodex canis (Vladimirovna, 2017).

Menurut Belot, et al (1984); Henfrey (1993) dan Triakoso (2006) ada tiga spesies

dalam genus Demodex pada anjing, Demodex canis, Demodex cornei, and Demodex

injai. Namun spesies yang terkenal dan sering ditemukan menyerang anjing adalah

Demodex canis. Demodex canis terdapat dalam jumlah yang kecil pada kulit dan tidak

menunjukkan gejala klinis pada anjing yang sehat. Tungau D. canis dapat ditemukan

pada folikel rambut, kelenjar sebaceus dan saluran sebaceus, sedangkan D. cornei

ditemukan pada lapisan superfisial stratum corneum di hampir seluruh lapisan kulit

(Sivajothil et al., 2013). Tungau ini dapat menimbulkan rasa gatal dan memicu refleks

menggaruk. Garukan secara terus menerus dengan kondisi kuku yang tajam juga

merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya luka. Luka terbuka yang bernanah

dapat memicu lalat untuk hinggap dan bertelur. Kerusakan jaringan yang terinfeksi dapat

menimbulkan bau yang khas dan menarik lalat betina untuk meletakan telurnya pada

luka tersebut (Caissie et al. 2008).

Penularan tungau Demodex sp. ini dapat terjadi mulai dari anak anjing berumur

tiga hari. Dalam kondisi normal, parasit ini tidak merugikan bagi anjing, namun bila
kondisi kekebalan anjing menurun maka Demodex sp. akan berkembang menjadi lebih

banyak dan menimbulkan penyakit kulit (Rather dan Hassan, 2014).

2.1.1. Klasifikasi dan Morfologi

Berikut klasifikasi Demodex menurut Taylor et al (2016):

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Arachnida

Order : Prostigmata

Family : Demodicidae

Genus : Demodex

Spesies : Demodex canis

Tungau Demodex sp dipercaya sebagai fauna normal pada kulit. Demodex sp.,

berbentuk seperti cerutu atau wortel, mempunyai 4 pasang kaki yang pendek dan

gemuk serta memiliki 3 ruas. Bagian perutnya terbungkus kitin dan bergaris

melintang menyerupai cincin serta memipih ke arah caudal. Ukuran tungau bervariasi

antara 0,2 – 0,4 mm. Beberapa spesies tungau memiliki inang spesifik, seperti

demodecosis pada sapi pada sapi disebabkan oleh D.bovis, pada anjing oleh D.canis,

D.cornei dan D.injai. Pada kucing disebabkan oleh D.cati dan D.gatoi, pada kambing

oleh D.caprae, D.criceti pada marmot, D.phylloides pada babi D.equi pada kuda dan

D.folliculorum pada manusia. Tungau demodex hidup di dalam kelenjar minyak dan

kelenjar keringat (glandula sebacea) dan memakan epitel serta cairan limfe dari

beberapa hewan, kecuali unggas. Dalam kondisi tertentu tungau demodek dapat

menginfestasi manusia (Pudjiatmoko, 2014).

Beberapa spesies baru demodex ditemukan dalam beberapa tahun terakhir,

baik pada anjing maupun pada kucing. Pada anjing ditemukan Demodex cornei oleh
Mason (1993) (Shipstone, 2000) dan Demodex injai (Desch and Hillier, 2003), selain

Demodex canis yang sudah banyak dikenal. Shipstone (2000) menyatakan bahwa D.

cornei mempunyai bentuk tubuh yang lebih pendek (short-bodied mite) dibanding D.

canis. Sedangkan D. injai ditemukan oleh Desch dan Hillier pada anjing di Columbus,

OH bulan Oktober 1996, namun baru dilaporkan pada tahun 1999 dan saat itu belum

diberi nama, dan kemudian diberi nama D. injai pada tahun 2003. D. injai mempunyai

tubuh panjang (long-bodied mite) Baik D. cornei dan D. injai mempunyai habitat di

folikel rambut dan kelenjar sebaseus. Perbedaan-perbedaan kedua spesies demodex

yang baru dengan D. canis masih dalam tahap penelitian lebih lanjut dan belum ada

laporan berkaitan dengan hal tersebut. Pada kucing ditemukan Demodex gatoi (Desch

and Steward, 1999) selain Demodex cati yang sudah lama dikenal. D. gatoi ini

ditemukan oleh Desch dan Steward (1999) dari kasus prutitus kronis pada kucing

lokal (domestik) yang diduga menderita feline acquired immunodeficiency syndrome.

D. gatoi mempunyai tubuh lebih pendek dibanding D. cati. Tidak seperti D. cati yang

hidup dalam folikel rambut, D. gatoi hidup di epidermis kulit. D. gatoi mempunyai

siklus hidup di tubuh induk semang secara keseluruhan. Desch and Steward (1999)

juga menyatakan bahwa D. gatoi mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat.

2.1.2 Siklus Hidup

Seluruh siklus hidup demodex sp berlangsung pada tubuh inangnya selama 20-

35 hari, yang terdiri dari telur, larva, nimfa dan dewasa di dalam folikel rambut atau

kelenjar keringat. Tungau jantan terdistribusi pada permukaan kulit, sedangkan

tungau betina meletakkan 40-90 telur yang berbentuk simpul (spindel shape) di dalam

folikel rambut. Larva dan nimfa terbawa oleh aliran cairan kelenjar ke muara folikel.

Dilokasi inilah, tungau dewasa kawin. Telur akan menetas menjadi larva berkaki
enam dalam waktu 1-5 hari, lalu berkembang menjadi nimfa yang berkaki delapan,

kemudian menjadi dewasa. Waktu yang diperlukan sejak dari telur sampai menjadi

dewasa adalah antara 11-16 hari(Pudjiatmoko, 2014). Seluruh tahapan perkembangan

ini hanya terjadi pada satu hospes, jadi tidak ada perkembangan pada hospes lain,

sebagaimana yang terjadi pada parasit lain.

Gambar 1. Demodex canis (Rangsan and Arkom, 2010)

2.1.3 Patogenesa

Patogenesis penyakit yang berkaitan dengan proliferasi Demodex sp. hingga

saat ini masih belum jelas. Umumnya hewan mempunyai sejumlah kecil Demodex

pada tubuhnya yang tinggal di folikel dan kelenjar sebaseus. Berkembangnya tungau

dan menimbulkan penyakit diduga akibat dari sistem kekebalan tubuh host (Triakoso,

2006). Penularan demodekosis ini terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari. Dalam

kondisi normal, parasit ini tidak memberikan kerugian bagi anjing, namun bila

kondisi kekebalan anjing menurun maka demodex akan berkembang menjadi lebih

banyak dan menimbulkan penyakit kulit. Pada anak anjing akan tertular oleh

induknya, namun setelah sistem kekebalan tubuhnya meningkat kira-kira pada umur 1

minggu, maka parasit ini akan menjadi flora normal dan tidak menimbulkan penyakit

kulit. Demodex yang menginfeksi kulit akan mengalami perkembangbiakan (siklus

hidup) di dalam tubuh hospes tersebut (Sardjana, 2012). Patogenesis demodikosis

menunjukan kejadian supresi respon blastogenesis diinduksi oleh substansi yang


dihasilkan parasit Demodex canis, substansi humoral ini yang menyebabkan supresi

secara umum limfosit T yang memberikan supresi respon kekebalan host terhadap

parasit sehingga terjadi perkembangbiakan atau penyebaran parasit dan

pengembangan infeksi sekunder bakterial tanpa dapat dikendalikan oleh hospes,

sehingga perjalanan penyakit ini dinyatakan bahwa demodikosis pada anjing adalah

sinergistik dan patogenik antar hubungan sesama anjing (Henfrey, 1993).

2.1.4 Diagnosa

Diagnosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk

mengidentifikasi adanya tungau Demodex sp. Langkah diagnosis yang dapat

dilakukan adalah dengan melakukan deep skin scraping atau pengerokan kulit hingga

berdarah. Scraping dilakukan dengan memegang dan menggosok daerah terinfeksi

untuk mengeluarkan tungau dari folikel dengan menggunakan scalpel. Scraping

dilakukan pada beberapa tempat. Setelah hasil scraping didapatkan, hasil tersebut

kemudian diberi tetesan KOH 10 % . Selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop

dengan pembesaran 10X untuk menginterpretasikan hasil kerokan kulit tersebut

(Pudjiatmoko, 2014). Anjing yang positif terhadap infeksi demodex canis terlihat dari

hasil pemeriksaan sediaan kerokan kulit tersebut melalui mikroskop tampak wujud

parasit berbentuk cerutu atau wortel (Wall and David, 2001).

2.1.5 Diagnosa Banding

a. Folikulitis/furunkulosis akibat bakteri, dermatophytosis, pemphigus kompleks,

dermatitis kontak, dermatomiositis, dan lupus erytrematous kompleks.

b. Dermatitis yang disebabkan oleh jamur atau Scabies (Pudjiatmoko, 2014).

2.2 Sarcoptes Scabiei

2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi


 Klasifikasi Sarcoptes scabiei
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Astigmata
Family : Sarcoptidae
Genus : Sarcoptes
Spesies : S. scabei

 Morfologi Sarcoptes scabiei (Scott & Chester, 2001)


 Bagian tubuh terdapat bulu/rambut panjang
 Tidak memiliki organ Haller’s
 Body elongate
 Memiliki 8 kaki, kepala berukuran kurang dari 4 mm
 Kaki panjang
 Bentuk tubuh pendek dan gemuk

(Gambar 2: Sarcoptes Scabi (Belding, 2001)

2.2.2 Siklus Hidup


Siklus hidup Sarcoptes scabiei diawali dengan masuknya tungau dewasa ke dalam
kulit dan membuat terowongan di stratum korneum sampai akhirnya tungau betina
bertelur. Sarcoptes scabiei tidak dapat menembus lebih dalam dari lapisan. Telur
tersebut akan menetas dalam 3-4 hari, lalu menjadi larva berkaki 6. Dalam kurun
waktu 1-2 hari larva akan berkembang menjadi nimfa stadium I dan II yang berkaki
8. Kemudian tungau akan berkembang menjadi dewasa dan mampu berkembang biak
dalam 2-4 hari. Sarcoptes scabiei jantan akan mati setelah melakukan kopulasi, tetapi
kadang-kadang dapat bertahan hidup dalam beberapa hari (Kasmar, 2015).
 Habitat Sarcoptes scabiei
Tungau Sarcoptes scabiei bersifat parasit obligat yang artinya mutlak membutuhkan
inang untuk bertahan hidup. Tidak seperti pada tungau lainnya, tungau Sarcoptes
scabiei mampu menerobos stratum corneum kulit.
 Kerugian Sarcoptes scabiei
Sarcoptes scabiei adalah penyebab penyakit skabies (kudis) yang bersifat zoonosis

2.3 Leucocytozoonosis

Leucocytozoonosis merupakan penyakit parasitik pada unggas yang disebabkan oleh

protozoa dari genus Leucocytozoon. Leucocytozoon sp. diklasifikasikan sebagai protozoa dari

phylum apicomplexa, kelas sporozoa, ordo eucoccidiidae, famili plasmodiidae. Protozoa ini

hidup sebagai parasit di dalam sel darah putih. Penyakit ini sering terjadi pada peternakan di

negara beriklim tropis terutama pada peternakan yang dekat dengan sumber air seperti kolam

dan danau. Hal tersebut dikarenakan sumber air merupakan habitat hidup bagi vektor

perantara Leucocytozoon sp. yaitu Simulium sp. dan Culicoides arakawae. Selain ayam,

Leucocytozoon juga dapat menginfeksi unggas air, dan kalkun.

Lalat penggigit seperti Simulium sp. dan Culicoides sp. berperan sebagai vektor atau

pembawa penyakit Leucocytozoonosis. Lalat hitam (Simulium sp.) biasanya berkembang biak

pada air yang mengalir dan mencari makan pada siang hari, sedangkan serangga penggigit

bersayap dua (Culicoides sp.) berkembang biak di dalam lumpur atau kotoran ayam dan

menggigit pada malam hari. Lalat hitam (Simulium sp.) dan serangga penggigit bersayap dua

(Culicoides sp.) bertindak sebagai reservoir penyakit tersebut selama suatu musim atau

periode tertentu (Tabbu, 2002).

2.3.1 Morfologi

Morfologi pada inang definitif fase gametosit Leucocytozoon sp. yang terlihat pada

hasil ulas darah perifer merupakan cara yang dilakukan untuk membedakan dan

melakukan identifikasi spesies Leucocytozoon. Umumnya Leucocytozoon sp.


menghasilkan gametosit dalam dua tipe yang berbeda yaitu parasit yang tampak

mengelilingi lingkaran sel darah dengan nukleus yang terdorong ke sisi sehingga tampak

terjepit dan mengecil, serta parasit yang dengan penampakan berbentuk lingkaran, oval,

ataupun elips dengan sitoplasma mengalami perpanjangan yang merupakan

perkembangan dari parasit (Fallis dan Desser, 1977).

(Gambar 3: leukositozon (Pudjiatmoko (2014))

Terdapat perbedaan morfologi pada spesies L. caulleryi yang menginfeksi ayam yaitu

gametosit pada spesies ini berbentuk melingkar dan nukleus sel terdorong keluar dengan

sedikit perubahan bentuk dan terkadang terdorong keluar dari sel darah. (Fallis dan

Desser, 1977). Menurut Levine (1978) gamon-gamon dewasa L. caulleryi berbentuk

bulat, berukuran 15,5 x 15 μm, dan terletak di dalam sel darah merah atau sel darah putih

yang membesar berdiameter sekitar 20 μm. Meron eksoeritrosit terutama terdapat di

dalam ginjal, hati dan paru-paru. Parasit ini berdiameter 26-300 μm dan menghasilkan

sejumlah besar merozoit bulat. Inti sel induk semang membentuk pita gelap, memanjang

sampai kira-kira sepertiga keliling parasit. Zigot berbentuk bulat dengan diameter kira-

kira 14 μm, memanjang menjadi ookinet dengan panjang kira-kira 21 μm yang akan

membentuk ookista yang agak bundar (supherical) 4-13 x 5-14 μm. Sporozoit yang

terbentuk berukuran 7-11 x 1-2 μm (Levine, 1985). L. sabrazesi mempunyai struktur

gamon dewasa memanjang kira-kira 22-24 x 4-7 μm terdapat dalam sel darah merah atau

sel darah putih. Sel-sel induk semang berbentuk bulat dengan sitoplasma panjang,
memanjang melebihi parasit kira-kira 67 μm. Inti sel induk semang sempit, berwarna

gelap pada pewarnaan sepanjang suatu sisi parasit (Levine, 1985). Makrogametosit

berbentuk seperti sosis dengan ukuran 16-24 x 4-12 μm.

2.3.2 Siklus hidup

Penularan Leucocytozoonosis memerlukan bantuan vektor biologis Simulium sp. dan

C. arakawae. Kedua arthropoda tersebut akan menginjeksikan sporozoit Leucocytozoon

sp. ke dalam pembuluh darah inang. Sporozoit yang telah masuk ke dalam pembuluh

darah kemudian akan berkembang membentuk dua tipe skizon, yaitu skizon hepatic dan

megaloskizon. Skizon hepatic akan terbawa oleh aliran darah menuju hati dan

berkembang di sel-sel kupffer hati. skizon tersebut berukuran kecil dan akan berkembang

membentuk merozoit. Kumpulan dari merozoit yang berukuran kecil (20,2x18,5 μm

sampai 300x248 μm dengan rata-rata 120x 100 μm) disebut cytomere. Megaloskizon

jumlahnya lebih banyak daripada hepatic skizon. Megaloskizon berkembang pada sel-sel

darah seperti sel limfoid dan sel makrofag. Megaloskizon yang terdapat pada sel–sel

darah akan beredar ke berbagai organ tubuh seperti otak, hati, paru-paru, ginjal, saluran

pencernaan, dan ginjal setelah 6 hari infeksi. Setelah 7 hari infeksi, Hepatic skizon dan

megaloskizon akan mengalami robek dan mengeluarkan merozoit yang telah berkembang

di dalam skizon.
(Gambar 4. Siklus Hidup Leukositozon(Pudjiatmoko (2014))

Merozoit tersebut akan beredar bersama darah mengikuti sirkulasi darah perifer.

Merozoit tersebut kemudian berkembang membentuk makrogamet dan mikrogamet

(gametogony). Mikrogamet dan makrogamet akan berkembang menjadi masak dan

melakukan fertilisasi membentuk oocyt di dalam saluran pencernaan vektor nyamuk.

Oocyt kemudian melakukan penetrasi ke dinding saluran pencernaan nyamuk dan

memproduksi sporozoit. Sporozoit tersebut akan menuju kelenjar ludah dan akan

diinjeksikan ke dalam tubuh inang ketika nyamuk menghisap darah inang. Proses

sporogony ini memerlukan waktu kira-kira satu minggu.

2.3.3 Cara Penularan

Leucocytozoonosis dapat ditularkan oleh lalat hitam (Simulium sp.) dan serangga

penggigit bersayap dua (Culicoides sp.), kedua spesies serangga tersebut bertindak

sebagai vektor dan menginfeksi unggas sehat melalui gigitan. Leucocytozoon cauleryi

yang menimbulkan Leucocytozoonosis pada ayam menyebar melalui serangga penggigit

bersayap dua (Culicoides sp.), sedangkan spesies Leucocytozoon sp. lainnya menyebar

melalui lalat hitam (Simulium sp.) (Purwanto et al, 2010).

Infeksi kronik terjadi dari tahun ke tahun melalui unggas yang terinfeksi, walaupun

penyebaran hanya terjadi melalui vektor insekta. Para peneliti melaporkan bahwa vektor
insekta hanya bersifat infektif selama 18 hari, jika letupan penyakit berlangsung terus

selama musim serangga, maka kejadian tersebut mungkin disebabkan oleh adanya

generasi penerus lalat hitam yang menggigit unggas carrier (Tabbu, 2002).

2.3.4 Diagnosa

Diagnosa Leucocytozoonosis dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis seperti lesi

sfesifik dan kelainan pasca mati, dan sejarah kejadian dalam kelompok (Akoso, 1998).

Diagnosis ini dapat diperkuat dengan pengujian secara langsung dan tidak langsung.

Metode diagnosis secara langsung untuk menunjukkan parasit malaria yaitu berdasarkan

metode PCR dan mikroskopik, sedangkan metode secara tidak langsung yang digunakan

untuk menunjukkan infeksi malaria yaitu dengan teknik serologi untuk melihat adanya

agen atau antibodi terhadap Leucocytozoon sp. (Rakan, 2010).

Metode PCR (Polymerase Chain Reaction) mengamplifikasi bagian spesifik dari

DNA, sedangkan pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan preparat apus darah untuk

membuktikan adanya gamet di dalam eritrosit (Tabbu, 2002).

2.3.5 Diagnosa Banding

Kematian akibat Leucocytozoonosis dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang

menyebabkan lesi patologi yang mirip, seperti ILT (Infectious Laryngotracheitis),

Gumboro, Newcastle Disease, keracunan sulfa, kolera unggas, dan infeksi protozoa darah

yang lain.
BAB III

METODOLOGI

3.1Tempat dan Waktu

Identifikasi parasit dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Klinik Hewan, Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana. Identifikasi dilakukan pada tanggal 25

Mei 2021.

3.2 Materi

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam identifikasi diantaranya mikroskop, kaca objek, cool box,

scalpel, plastic klip, KOH 10%.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan yaitu kerokan kulit anjing, anjing, darah ayam, tabung EDTA,

syiringe 3ml, giemsa, dan methanol.

3.3 Metode

3.3.1 Sampel darah

1. Koleksi sampel darah Anjing dilakukan melalui vena cephalika antibrachii

anterior dan darah ayam dilakukan melalui vena pectoralis lalu dimasukan dalam

tabung EDTA.

2. Sampel darah yang telah dihomogenkan diletakkan pada kaca objek yang telah

dibersihkan.

3. Kaca objek pendorong diletakkan di atas tetesan darah, membuat sudut 45 o antara

kaca objek yang berisi tetesan darah dan kaca objek pendorong.

4. Apusan darah diangin-anginkan hingga kering.

5. Diberi nomor registrasi dan dilanjutkan dengan pewarnaan.

6. Kaca objek yang berisi ulasan darah direndam dalam methanol selama 10 menit.
7. Dilanjutkan dengan perendaman dalam giemsa selama 20 menit.

8. Dilakukan pembilasan pada preparat dan kemudian dikeringkan di udara.

9. Setelah preparat kering dilakukan pengamatan di bawah mikroskop.

3.3.2 Koleksi kerokan kulit anjing

Pemeriksaan secara mikroskopis dilakukan terhadap sampel kulit dan rambut dengan

metode deep skin scrapping. Deep skin scrapping dilakukan dengan menggunakan scalpel.

Persiapan yang dilakukan adalah kulit yang mengalami lesi dipijat dengan jari sebanyak

sepuluh kali dan dilanjutkan melakukan kerokan pada kulit sampai berdarah. Sampel

ditempatkan pada glass object dan diteteskan larutan KOH. Sampel kulit diratakan kemudian

ditutupi dengan cover glass dan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10X dan

40X.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data anjing penderita

A. Data pemilik

Nama : Bapak Yakse

Alamat : Baumata Timur

B. Sinyalement

Nama : Lili
Ras : Anjing Lokal
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 6 bulan
Berat badan : 4,2 kg
Warna rambut : Coklat

4.2 Pembahasan

4.2.1 Demodex Canis

Pada saat pemeriksaan fisik anjing diperoleh data suhu tubuh 37,2 °C, frekuensi detak

jantung 100 kali/menit, frekuensi pulsus 102 kali/menit, frekuensi nafas 26 kali/menit, dan

CRT (Capillary Refill Time) < 2 detik. Pada pemeriksaan fisik anggota gerak,

muskuloskeletal, saraf, sirkulasi, urogenital, respirasi, pencernaan dan limfonodus terlihat

normal. Sedangkan pada pemeriksaan kulit ditemukan adanya gangguan. Pada kulit

ditemukan adanya alopesia, lichenifikasi, hiperpigmentasi pada wajah dan hiperkeratosis.

Pada bagian dorsal tubuh tubuh ditemukan adanya alopesia dan scale, dan pada bagian
ventral tubuh ditemukan adanya eritema, papula, dan pustula dan hewan terus menggaruk-

garuk tubuhnya.

Gambar 5. Hewan menunjukan ganggaun pada sistem integument berupa lichenifikasi, eritem

a, scale, hyperkeratosis dan hiperpigmentasi pada tubuh anjing kasus.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Dari hasil pemeriksaan kasus diatas, anjing yang bernama Lili didiagnosis posistif de

modekosis. Hal ini didukung dari hasil pemeriksaan mikroskopis dengan sampel kerokan kuli

t diambil pada bagian yang menunjukkan lesi pada kulit ditemukan adanya tungau Demodex s

p. yang merupakan agen penyebab penyakit demodekosis pada anjing dengan ciri-ciri berbent

uk seperti wortel atau cerutu, mempunyai 4 pasang kaki yang pendek (Sardjana, 2012). Tung

au dengan ciri tersebut merupakan Demodex sp (Gambar 6). Adapun lesi yang terdapat pada

kulit anjing kasus adalah alopesia, lichenifikasi, hiperpigmentasi pada wajah. Pada bagian dor

sal tubuh tubuh ditemukan adanya alopesia dan scale, dan pada bagian ventral tubuh ditemuk

an adanya eritema, papula, dan pustula. Menurut Henfrey (1990) gejala klinis dari demodeko

sis adalah pada kulit terjadi alopesia, scale, kemerahan, disertai rasa gatal dan sakit jika ada in

feksi sekunder.
Demodekosis adalah inflamasi akibat serangan parasit Demodex sp. yang berkaitan de

ngan status imunodefisiensi sehingga tungau berkembang secara luar biasa dan menyebabkan

furunkulosis dan infeksi sekunder bakterial. Menurut Sardjana (2012) demodekosis juga dike

nal sebagai Red Mange, Follicular Mange, Acarus Mange dimana kondisi anjing kasus akan

mengalami kelainan pada kulit yang bentuknya mirip dengan penyakit kulit lainnya.

Gambar 6. Hasil pemeriksaan dengan metode kerokan kulit pada hewan penderita

menunjukan hasil positif terhadap Demodex canis(panah)

Demodex sp. adalah tungau yang bersifat flora normal dan hidup pada folikel rambut dan

kelenjar sebaseus. Siklus hidup dari Demodex sp. berlangsung pada tubuh inangnya selama

20-35 hari, yang terdiri dari telur, larva, nimfa, dan dewasa pada folikel rambut atau kelenjar

keringat. Tungau jantan akan menyebar pada permukaan kulit, sedangkan tungau betina akan

meletakkan telurnya pada folikel rambut. Difolikel rambut tungau jantan dan betina akan

kawin. Telur akan menetas menjadi larva berkaki enam dalam waktu 1-5 hari. Selanjutnya

berkembang menjadi nimfa berkaki 8, kemudian mejadi dewasa. Waktu yang diperlukan dari

telur menjadi dewasa 11-16 hari (Budiartawan dan Btan, 2018).

Hewan penderita yang sering diserang pada usia anjing di bawah umur 1 tahun namun

demikian pada anjing di atas umur 1 tahun banyak mengalami kejadian infeksi penyakit ini
(Henfrey, 1990; Scott et al., 2001). Patogenesis demodikosis menunjukan kejadian supresi

respon blastogenesis diinduksi oleh substansi yang dihasilkan parasit Demodex canis,

substansi humoral ini yang menyebabkan supresi secara umum limfosit T yang memberikan

supresi respon kekebalan host terhadap parasit sehingga terjadi

perkembangbiakan/penyebaran parasit dan pengembangan infeksi sekunder bakterial tanpa

dapat dikendalikan oleh hospes, sehingga perjalanan penyakit ini dinyatakan bahwa

demodikosis pada anjing adalah sinergistik dan patogenik antar hubungan sesama anjing

(Henfrey, 1993). Parasit Demodex canis dengan bakteri dan hewan penderita penyakit ini

memiliki predisposisi genetik, yang dari beberapa kasus menunjukan bahwa penyakit yang

menekan immunosupresi pada hewan penderita dikenal sebagai hypothyroidisme atau

hyperadrenocorticisme (Henfrey, 1993; Triakoso, 2006). Luka atau lesi yang terjadi bermula

lokal, kemudian berkembang dengan cepat pada sebagian besar tubuh hewan penderita dan

tempat yang disukai adalah di daerah muka, sekitar mata, daerah extremitas dan daerah dada.

Bentuk yang terjadi dari demodikosis dapat dalam bentuk lokal maupun general.

Demodikosis pada hewan penderita muda cenderung lebih sering terjadi yang dimulai dari

umur 3-18 bulan, tanda klinis ditunjukan dengan kejadian alopecia, erythema, pyoderma dan

seborrhoea. Lesi yang terjadi menimbulkan rasa sakit, dapat terjadi limfadenopati dan pada

kasus yang parah dapat terjadi septicaemia dan menyebabkan kematian (Belot et al., 1984;

Henfrey, 1990; Scott et al. 2001).

4.2.2 Sarcoptes Scabiei

Hasil pemeriksaan kerokan kulit dibawah mikroskop menunjukan hewan positif

sarcoptes scabiei, Sarcoptes scabiei bersifat parasit obligat yang artinya mutlak

membutuhkan inang untuk bertahan hidup. Tidak seperti pada tungau lainnya, tungau scabies

mampu menerobos stratum corneum kulit. Tungau dewasa bertelur pada tempat terobosan
tadi dan setiap tungau menghasilkan telur antara 2-3 telur setiap hari, dengan masa bertelur

sampai 2 bulan,selanjutnya tungau betina tersebut mati setelah bertelur. Pada suhu 35°C

dengan kelembaban 100 %, telur menetas dalam waktu 2-3 hari, lalu memasuki stadium

larva, kemudian larva berubah menjadi 2 bentuk nimpa, yaitu protonymph (dalam waktu 3-4

hari) dan tritonymph (dalam waktu 2-3 hari). Tritonymph menjadi dewasa dalam waktu 2-3

hari. Seluruh siklus hidup, sejak telur sampai sampai menjadi dewasa memerlukan waktu

antara 10-14 hari. Tungau pada anjing dan manusia dapat bertahan hidup selama 24-36 jam

pada suhu ruang, 21ºC. Tungau S.scabiei diketahui sangat peka terhadap keadaan

lingkungan. Di luar tubuh inang, pada kondisi lingkungan yang kering, tungau hanya dapat

bertahan hidup selama 2-3 minggu, terkadang dapat sampai 8 minggu. Pada kondisi kering

tersebut, telurnya mempunyai daya tetas sampai dengan 6 hari, dan sekitar 6 minggu dalam

kondisi lingkungan yang lembab (Kementrian Pertanian, 2014).

Masa inkubasi bervariasi antara 10-42 hari. Pada awal infestasi, kulit mengalami

erithema, kemudian akan berlanjut dengan terbentuknya papula, vesikula dan akhimya

terjadi peradangan yang diikuti oleh pembentukan eksudat karena adanya iritasi. Hewan

penderita tampak gelisah karena rasa gatal, menggaruk atau menggesek tubuhnya sehingga

terjadi luka dan perdarahan. Eksudat mengendap pada permukaan kulit dan terbentuk

keropeng atau kerak. Proses selanjutnya, akan terjadi keratinasi dan proliferasi yang

berlebihan dari jaringan ikat sehingga menyebabkan penebalan kulit dan pengkeriputan.

Perubahan ini akan mengakibatkan kerontokan bulu yang pada seluruh permukaan tubuh.

Nafsu makan penderita terganggu sehingga menjadi kekurusan dan akhirnya mati karena

kurang gizi (malnutrisi). Apabila pengobatan tidak dilakukan secara tuntas, maka sering

terjadi infeksi sekunder akibat bakteri atau jamur sehingga timbul abses dan bau busuk.

Pada hewan muda, angka kematian dapat mencapai lebih dari 50 % bila diikuti oleh infeksi

sekunder (Kementrian Pertanian,2014)


(Gambar 7. Sarcoptes Scabiei )

Sumber : dokumentasi pribadi

4.3 Endoparasit

4.3.1 Parasit Darah Ayam

Hasil pemeriksaan pada 3 sampel darah ayam yang diambil dari peternakan Ayam di

daerah Fatukoa ditemukan 1 sampel yang positif pada ayam dengan gejala kelemahan dan

bulu kusam.Sampel yang positif ditandai dengan ditemukannya Leucocytozoon sp. pada

preparat ulas darah. Hasil positif ini dibuktikan dengan ditemukan Leucocytozoon

caulleryi pada hasil pemeriksaan ulas darah dengan ciri‐ciri berbentuk bulat membentuk

fusi dengan sel induk semang dan tidak ada pemanjangan dari sitoplasma sel induk

semang. Eritrosit mengalami distorsi akibat dari ukuran parasit yang lebih besar dan inti

eritrosit berada di tepi parasit (Suprihati, 2013).Leucocytozoonosis disebabkan oleh

protozoa yang tergolong genus Leucocytozoon dan famili Plasmodiidae. Penyakit ini

serupa dengan malaria unggas, menyerang sel-sel darah dan jaringan tubuh unggas seperti

Haemoproteus dan Plasmodium (Tabbu, 2002).

Hasil pengamatan di lokasi peternakan memiliki tempat yang lembab karena

berdekatan dengan kandang babi, genangan air yang banyak dan kondisi cuaca yang

berangidn dan lembab. Menurut Stadller dan Carpenter (1996) kejadian penyakit juga
sering terjadi pada peternakan yang terletak di dekat danau, rawa, maupun sungai, tempat

yang memiliki genangan air atau ketika terjadi perubahan suhu udara menjadi lebih

hangat

Dari pemeriksaan yang menunjukan hasil positif dapat disebabkan oleh adanya faktor-

faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian penyakit, yaitu kondisi lingkungan yang

optimum bagi perkembangan dan ketahanan hidup vektor dan parasit, cara pemeliharaan

serta kondisi ayam yang berhubungan dengan kekebalan tubuh pada ayam yang ada di

Peternakan. Dari hasil pengamatan dilihat bahwa peternakan ayam tersebut kurang

menerapkan sanitasi dan hygiene, sehingga mempengaruhi perkembangan parasit.

Lalat penggigit seperti Simulium sp. dan Culicoides sp. berperan sebagai vektor atau

pembawa penyakit Leucocytozoonosis. Lalat hitam (Simulium sp.) biasanya berkembang

biak pada air yang mengalir dan mencari makan pada siang hari, sedangkan serangga

penggigit bersayap dua (Culicoides sp.) berkembang biak di dalam lumpur atau kotoran

ayam dan menggigit pada malam hari. Lalat hitam (Simulium sp.) dan serangga penggigit

bersayap dua (Culicoides sp.) bertindak sebagai reservoir penyakit tersebut selama suatu

musim atau periode tertentu (Tabbu, 2002).

Secara umum, Leucocytozoonosis bisa menyerang pada ayam petelur dan ayam

pedaging. Kasus Leucocytozoonosis cukup sering ditemukan dan penyakit ini masuk

dalam 10 besar penyakit yang sering menyerang (Anonim, 2010). Kerugian yang

ditimbulkan oleh serangan Leucocytozoon sp. pada anak ayam baik ayam pedaging

maupun petelur dapat menimbulkan gejala klinis 0-40% dan tingkat kematiannya

mencapai 7-50%, sedangkan pada ayam dewasa dapat menimbulkan gejala klinis 7-40%

dan kematian 2-60 % (Purwanto et al., 2009). Serangan penyakit Leucocytozoonosis juga

dipastikan akan mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan menurunkan produksi telur

yang mencapai 25-75% (Rifky dkk., 2010).


Gambar 4. Leucocytozoon sp. (tanda panah)

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Unggas yang terinfeksi Leucocytozoon sp. gejala klinis yang terlihat pada ayam buras

tersebut yaitu bulunya kusam, kurus, dan informasi yang diperoleh dari peternak

menyatakan bahwa nafsu makan ayam menurun dan diare berwarna hijau.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil kerokan kulit dan pengamatan ulas darah maka dapat diambil

kesimpulan yaitu jenis tungau yang ditemukan dan dapat diidentifikasi yaitu

Demodex canis. Hasil pemeriksaan ulas darah ayam menunjukkan terdapat adanya

infeksi Leucocytozoon. Hasil pemeriksaan ulas darah anjing menunjukkan hasil

negatif.
DAFTAR PUSTAKA

Belot, J, R Parent, and JL Pangui. 1984. Courte Communication : Demodecie canine,


Observations Cliniques a propos d’un essai de traitement par l’ivermectine. Le Point
Veterinaire, vol.16. no.85 p.66-68

Budiartawan IKA dan Batan IW. 2008. Infeksi Demodex canis pada Anjing Persilangan
Pomeranian dengan Anjing Lokal. Indonesia Medicus Veterinus 7(5): 562-575

Henfrey J. 1990. Canine demodicosis. In Practice 12(5): 187-192.

Kementrian Pertanian. 2014. Manual Penyakit Mamalia Cetakan ke-2. Jakarta: Subdit
Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian

Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner, penerjemah: Gatut Ashadi,
Wardiarto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Perkins SL, Schall JJ. 2000. A molecular phylogeny of malarial parasites reovered from
cytochrome b gene sequence. Journal Parasitol, 88: 972-978.

Sardjana IKW. 2012. Pengobatan Demodekosis pada Anjing Di Rumah Sakit Hewan
Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Vet Medika J Klin
Vet 1(1): 9-14.

Scott, DW, WH Miller, CG Griffin. 2001. Small Animal Dermatology. WB Saunders


Company.

Stadler C.K. and Carpenter J.W. 1996. Parasites of Backyard. Seminars in Avian and Exotics
Pet Medicine.

Suwandi 2001. Mengenal Berbagai Penyakit Parasitik Pada Ternak. Bogor: Balai
PenelitianTernak.

Purwanto, Budi.,dkk. 2009. Leucocytozoonosis, dari Gejalanya sampai Penanganannya.


[internet].

Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penaggulangannya – vol. 2. Yogyakarta : Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai