OLEH:
Mengetahui, Menyetujui,
Koordinator Ketua Program Studi Dokter Hewan,
Dr. drh. Annytha I.R. Detha, M.Si drh. Chyntia D. Gaina, M.Trop,V.Sc
NIP: 19810816 200801 2 013 NIP. 19860605 200912 2 005
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Koasistensi Diagnostik Laboratorium Virologi dengan baik
serta dapat menyelesaikan laporan ini. Laporan ini merupakan pertanggung jawaban tertulis
atas pelaksanaan Koasistensi Diagnostik Laboratorium Virologi yang telah dilaksanakan pada
tanggal 16 Maret 2020 sampai dengan 27 Maret 2020. Pelaksanaan Koasistensi Diagnostik
Laboratorium Virologi ini dapat terlaksana dengan baik dan berjalan dengan lancar berkat
bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan
pengarahan dalam pelaksanaannya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada dosen pengampu mata kuliah Koasistensi Diagnostik Laboratorium Virologi yang
mengarahkan penulis dalam kegiatan koasistensi dan penulisan laporan serta kritik, saran,
dan segala dukungan yang telah diberikan untuk menyempurnakan laporan ini. Penulis
menyadari bahwa laporan ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan diterima dengan senang hati untuk perbaikan lebih lanjut.
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................................i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ii
BIODATA AGGOTA KELOMPOK..........................................................................iii
DAFTAR ISI...............................................................................................................vii
LAPORAN KASUS MANDIRI KELOMPOK AYAM……......................................1
LAPORAN KASUS MANDIRI KELOMPOK BABI…………………………….….
LAPORAN KOASISTENSI
OLEH
NOFRIANI R W NDUN, S. K. H.
Nim. 1509010010
KUPANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peternakan unggas di Indonesia, pada umumnya sampai saat ini masih mengalami
kendala terutama dalam hal penanganan penyakit. Berbagai penyakit unggas setiap saat dapat
mengancam dan sangat merugikan peternak. Salah satu diantaranya adalah Newcastle
Disease merupakan salah satu penyakit unggas yang sangat merugikan peternak dan bersifat
endemik di seluruh Indonesia. Newcastle Disease disebabkan oleh Paramyxovirus-1 (PMV-
1) dan dibedakan menjadi 3 strain, yakni velogenik, mesogenik dan lentogenik (Saif, 2003;
Tjahjati, 2014). Wabah ND umumnya terjadi karena perubahan lingkungan, seperti kenaikan
jumlah populasi yang tidak kebal, perubahan iklim yang menyebabkan stress, perubahan
musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya (musim pancaroba) dan pakan kurang baik
atau sanitasi dan tatalaksana yang kurang baik (Tjahjati, 2014). Sari (2007). Tjahjati (2014),
berpendapat bahwa gejala klinis ND tergantung pada virulensi virus yang menulari, gejala
klinis yang ditimbulkan juga bermacam- macam, mulai dari asymptomatis, gejala pernafasan
ringan disertai dengan gangguan syaraf, atau kombinasi gangguan respirasi, syaraf dan
digesti. Gejala penyakit ini ditandai dengan hilangnya nafsu makan, diare yang kadang
disertai darah, lesu, sesak nafas, megap-megap, ngorok, bersin, batuk, paralysis partialis atau
komplit dan sekali-sekali tortikolis. Produksi telur menurun atau terhenti sama sekali. Angka
kematian mencapai 80 - 00100% yang disebabkan oleh strain velogenik type Asia. Penularan
ND dapat terjadi dari satu hewan ke hewan lain melalui kontak dengan hewan yang sakit dan
bangkai penderita. Newcastle Disease didiagnosa berdasarkan atas epizootologi, gejala klinis,
patologis, virologis serta peneguhan diagnosa melalui pemeriksaan laboratorium dangan
pemeriksaan serologis yaitu isolasi dan identifikasi (Alexander, 2001; Adi et al., 2010).
1.1.4. Anamnesa
Berdasarkan pengamatan di lapangan, gejala yang tampak pada ayam kasus
adalah lemah, adanya leleran dari hidung, dyspnea, ngorok, nafsu makan menurun
dan bulu kusam.
1.1.5 Materi dan Metode
Materi
Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel dan pengiriman
sampel adalah darah ayam, syringe 3 ml, tabung vacum non-EDTA, kapas,
alkohol, tabung ependorf.
Tempat pengambilan sampel dan pengiriman sampel
Pengambilan sampel darah dilakukan pada kandang ayam di Bimoku
Lasiana. Selanjutnya sampel serum darah dibawa ke Unit Pelaksaan Teknis
Veteriner (UPT Veteriner) untuk pengujian HA/HI.
Metode
Metode pengambilan sampel
Metode pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara mengambil
darah ayam yang mempunyai gejala klinis menyerupai Newcastle
Disease (ND) pada Vena brachialis dengan menggunakan syringe 3ml.
Kemudian sampel darah dimasukkan ke dalam tabung non-EDTA untuk
mendapatkan serum selanjutnya tabung diposisikan miring untuk
mempercepat keluarnya serum. Setelah serum terbentuk kemudian
dipindakah kedalam tabung ependorf. Kemudian serum darah tersebut
dibawa ke UPT Veteriner untuk dilakukan pengujian HA/HI.
Metode Pemeriksaan Sampel
Pemeriksaan sampel dilakukan oleh UPT Veteriner Kupang.
BAB II
Gambar 1. Keadaan umum hewan kasus. (A,B) Keluarnya leleran dari hidung (C)
Bulu kusam (D) ayam tampak lemas
2.2 Pembahasan
Berdasarkan gejala klinis yang terlihat maka dilakukan pengujian serologis untuk
mendeteksi virus ND. Pengujian serologis yang dilakukan di UPT Veteriner Kupang adalah
pengujian HA/HI. Pada Kasus dugaan Newcastle Disease dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan uji HA/HI yang berfungsi untuk mendeteksi ada tidaknya antigen virus.
Kencana et al. (2012) mengungkapkan bahwa virus famili Paramyxoviridae yang merupakan
virus penyebab penyakit ND mempunyai sifat yang dapat mengaglutinasi sel darah merah
unggas. Hemaglutinasi terjadi akibat adanya aktifitas hemaglutinin pada dinding virus.
Adanya aktivitas hemaglutinasi dari virus ND sehingga mampu mengaglutinasi sel darah
merah hewan tertentu, menjadi prinsip dasar dalam uji hemaglutinasi (HA) (WHO, 2013).
Pada prinsipnya uji HI adalah reaksi ikatan antara antibodi yang terkandung dalam serum
yang diperiksa dan jumlah antigen hemaglutinin ND dan AI yang digunakan sebanyak 4 HU
(Haemagglutination Unit). Perlekatan spesifik antara antibodi dan antigen pada molekul HA
akan menghambat perlekatan antara HA virus dan reseptor pada eritrosit. Efek penghambatan
hemaglutinasi ini yang dijadikan dasar untuk uji HI (Hewajuli dan Dharmayanti, 2008).
Hasil pemeriksaan yang dilakukan di UPT Veteriner kupang menujukan hasil negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa di dalam tubuh ayam tersebut tidak ditemukan adanya antibodi
terhadap virus ND, kemungkinan karena ayam belum pernah terinfeksi virus ND sehingga
dalam tubuhnya tidak ditemukan antibodi, bisa juga ayam tersebut terinfeksi oleh virus ND
tetapi antibodi belum terbentuk atau masih sedikit sehingga tidak cukup untuk memberikan
hasil reaksi positif. Kemungkinan yang lain bahwa ayam pernah terinfeksi oleh virus ND
namun kejadiannya sudah lama sekali sehingga antibodi dalam tubuhnya sudah menurun atau
tinggal sedikit sehingga tidak mampu memberikan hasil reaksi positif pada uji (Andrewes dan
Pereira, 1972).
Lendir yang keluar dari saluran pernapasan diakibatkan oleh Virus bronkitis
menginfeksi dan bereplikasi di saluran pernapasan bagian atas yang menyebabkan hilangnya
sel pelindung yang melapisi sinus dan trakea. Setelah bereplikasi pada saluran pernapasan
virus menyebar ke jaringan lain karena viremia selain itu virus ini juga dapat menginfeksi
sejumlah kecil makrofag saluran pernapasan yang memungkinkan juga penyebaran IBV di
luar saluran pernapasan yang melibatkan sistem limfatik dan makrofag yang terinfeksi.
Reddy et al., (2016) menunjukkan bahwa strain IBV nefropatogenik dapat menginfeksi
monosit darah dan monosit ini dapat memfasilitasi penyebaran IBV ke organ viseral,
termasuk ginjal.
Morbiditas pada ayam biasanya mencapai 100% dan Mortalitas pada ayam biasanya
25-30%. Kematian biasanya sangat rendah, kecuali adanya infeksi sekunder oleh
Mycoplasma gallisepticum atau terkait faktor imunosupresi dan kualitas udara yang buruk.
Umumnya masa inkubasinya dari penyakit ini berlangsung cepat tergantung rute infeksi.
Pada kasus rute infeksi melalui jalur trakea yaitu 18 jam, dan infeksi melalui mata yaitu masa
inkubasinya 36 jam dan ekskresi virus dari saluran pernapasan berlangsung 3-5 hari setelah
infeksi. (Cavanagh., 2008). Virus IB ditularkan oleh ayam yang terinfeksi melalui kotoran
dan dapat juga ditularkan melalui aerosol, menelan pakan dan air yang terkontaminasi, dan
kontak dengan peralatan dan pakaian yang terkontaminasi sehingga sangat cepat untuk
penularannya, hal ini juga sesuai dengan pengamatan dimana ayam yang dipeliharan pada
kandang tersebut banyak yang menunjukan gejala yang sama. Diagnosa banding untuk IB
adalah ILT, ND, Mycoplasma gallisepticum dan Snot berdasarkan gejala pernafasan.
Infeksi IB terbagi atas tiga bentuk yaitu bentuk pernapasan, bentuk reproduksi dan
bentuk ginjal. Patologis-anatomis terkait dengan IB bentuk pernafasan yakni adanya radang
saluran pernapasan bagian atas. IB bentuk ginjal ditandai dengan kerusakan ginjal sebagai
akibat infeksi dengan strain nephropathogenic. Ginjal ayam yang terinfeksi akan pucat dan
bengkak. Pada bentuk reproduksi yang terjadai pada layer, kuning telur dalam rongga tubuh
akan berkembang menjadi encer di dalam ovarium. Infeksi pada anak ayam sangat muda
dapat mengakibatkan perkembangan cystic dalam oviduct. Dinding oviduct menjadi tipis dan
transparan pada area sistik.
Ginjal
sekum
Ginjal pucat bengkak dan terdapat
cekum yang terinfeksi terdapat
hemoragi pada ayam yang terinfeksi IBV
hemoragi echimoses, sekum menebal,
edema, dan terjadi radang.
Trakea
Ovarium Usus
Distensi saluran telur dan akumulasi cairan Lesi patologis pada usus ayam yang
(anak panah). terinfeksi ND menunjukkan ulkus
seperti kancing yang ditandai dengan
beberapa jaringan limfoid terkait usus
yang menebal, edematosa dan
hemoragik.
Paru-paru Paru-paru
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan serologis serum ayam broiler menujukan hasil negatif
hal ini menunjukan ayam tidak tidak mengalami penyakit ND. Adapun penyakit yang dapat
dipilih sebagai diagnosa banding berdasarkan gejala klinis dan kesamaan anamesa adalah
penyakit Infectius Bronchitis
DAFTAR PUSTAKA
Adi, AAA, M Astawa, NM. Putra, KSA. Hayashi, and Y. Matsumoto. 2010. Isolation and
characterization of a pathogenic newcastle disease virusfrom a natural case in
Indonesia. J. Vet. Med. Sci. 72(3):313-319
Alexander DJ. 2001. Newcastle Disease. The Gordon Memorial Lecture.Br.Poult.Sci 42 : 117
– 128.Bilal, E. S. A., Elnasri, I.M., Alhasan, A.M., Khalifa, K.D., Elhag, J.I., Ahmed,
S.O. 2014. Biologycal Phatotyping of Newcstle disease Viruses in Sudan 2008-2013.
Journal of Veterinary Medicine,volume 2014.
Dortmans JCFM, Koch G, Rottier PJM, Peeters BP. 2011. Virulence of Newcastle disease
virus:what is know so far?. Veterinary Research 2011,42:122.
Hewajuli DA, Dharmayanti NPLI. 2008. Karakteristik dan Identifikasi Virus Avian
Influenza. Wartozoa. 18(2).
Kencana GAY, IM Kardena, dan IGNK Mahardika, 2012. Peneguhan diagnosis penyakit
newcastle disease lapang pada ayam buras di Bali menggunakan teknik RT-PCR. J.
Ked. Hewan. 6(1):28-31
Office International des Epizooties (OIE). 2012. Terrestial Manual Chapter 2.3.14. Newcastle
Disease Pp 1-19..
Reddy VRA, Ivan T, Lowlese MD, Yewel L, Sebastian T dan Hans JN. 2015. Productive
Replication of Nephropathogenic Infectious Bronchitis Virus in Peripheral Blood
Monocytic Cells, A Strategy For Viral Dissemination and Kidney Infection in
Chickens. VetRes, 47(70): 2-19.
Syukron MU, IN Suartha dan NS Dharmawan. 2013. Serodeteksi penyakit tetelo pada ayam
di Timor Leste. Indonesia Medicus Veterinus. 2(3):360-368
Saif, YM, 2003. Disease of Poultry. 11 thed. Iowa State University Press, USA
Sari PM. 2007.Evaluasi Penggunaan Bubuk Bawang (Allium sarivum) terhadap Kandungan
Lemak Darah Ayam Kampung Yang Diinfeksi Cacing Ascaridia galli [Skripsi].
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut pertanian
Bogor, Bogor
WHO. (2013). Serological detection of Avian Influenza (H7N9) Virus infection by Turkeys
Haemmaglutination-Inhibition Assay. National Institute for Viral Disease Control and
Prevention, China CDC.
LAPORAN KOASISTENSI
DIAGNOSTIK LABORATORIK VIROLOGI
STUDI KASUS MANDIRI
NEWCASTLE DISEASE
OLEH
Nim.1509010028
KUPANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Newcastle disease (ND) merupakan penyakit menular yang sangat
merugikan peternak ayam. Penyakit ini dapat bersifat akut sampai kronis dan juga dapat
menyerang semua jenis unggas terutama ayam, baik ayam ras maupun ayam bukan ras
(Kencana et al., 2012). Penyakit ND disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1
(APMV-1), genus Avulavirus famili Paramyxoviridae, merupakan virus RNA dengan
genom serat tunggal (single stranded) dan berpolaritas negatif (OIE, 2002).
Gejala klinis dan masa inkubasi penyakit ND pada ayam cukup beragam dan
bergantung pada strain virus dan status kebal ayam saat terinfeksi. Infeksi virus strain
lentogenik bersifat subklinis atau ditandai dengan adanya gangguan ringan pada respirasi
seperti bersin dan keluar leleran dari hidung. Pada infeksi virus strain mesogenik bersifat
akut ditandai dengan gangguan respirasi dan kelainan saraf. Gejala klinis yang
ditunjukkan pada ayam ditandai dengan penurunan nafsu makan, jengger dan pial
sianosis, pembengkakan di daerah kepala, bersin, batuk, ngorok, dan diare putih
kehijauan. Infeksi virus strain velogenik bersifat fatal, seringkali diikuti dengan angka
kematian yang tinggi. Gejala tersebut sangat bervariasi, diawali dengan konjungtivitis,
diare serta dikuti dengan gejala saraf seperti tremor, tortikolis, atau kelumpuhan pada
leher dan sayap (Ghiamirad et al., 2010).
Pemeriksaan penyakit ND dapat dilakukan dengan uji serologis. Uji serologis yang
biasa digunakan untuk deteksi ND dan sebagai indikator derajat kekebalan kelompok
ayam dalam suatu peternakan adalah uji hambatan hemaglutinasi (HI) secara beta
prosedur yaitu prosedur virus konstan dengan berbagai konsentrasi serum (Mohhamed et
al., 2013; Mahardika et al., 2015).
1.1.2 Signalemen
Jenis hewan : Ayam
Ras : Broiler
Umur : 1 bulan
Warna bulu : Putih
1.1.3 Keadaan Umum Hewan
Ayam kesulitan bernapas (dispnea) dan ngorok, bulu kusam dan kotor, terdapat
leleran kental agak kekuningan dari nasal, lemas, tidak nafsu makan, malas bergerak,
ditemukan feces dengan konsistensi encer (diare), serta di sekitar nasal dan paruh
terdapat kerak yang diduga berasal dari leleran yang mengering.
1.1.4 Anamnesa
Berdasarkan informasi yang diberikan pemilik tidak diketahui secara pasti waktu
terjadinya gejala sakit pada ayam tersebut. Diinformasikan pula bahwa ayam sudah
divaksin sejak dibeli dari perusahaan. Adapun kondisi kandang pemeliharaan yang
diamati adalah populasi ayam cukup padat sehingga ayam berdesak-desakan di dalam
kandang. Perlakuan pemberian pakan diberikan 2 kali sehari dan jenis pakan yang
diberikan adalah pakan pelet komersial. Pemberian air minum dilakukan dengan cara air
diletakkan pada wadah khusus dan diberikan secara ad libitum. Terlihat juga kandang
yang cukup kotor karena adanya sisa feces dan pakan ayam yang tidak dibersihkan.
1.2 Materi dan Metode
1.2.1 Materi
Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel dan pengiriman
sampel adalah darah ayam, syringe 3 ml, tabung vacum non-EDTA, kapas, alkohol, dan
tabung ependorf.
1.2.2 Metode
1. Pengambilan sampel
Sampel ayam buras diperoleh dari daerah Matani dan jumlah sampel yang diambil
adalah 1 ekor ayam broiler.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.2 Pembahasan
Gejala klinis yang ditunjukkan ayam broiler menyerupai gejala klinis yang
ditunjukkan pada kasus ND. Berdasarkan gejala klinis maka dilakukan pengujian HA/HI.
Uji HA digunakan untuk mendeteksi protein hemaglutinin pada virus. Hemaglutinin (H)
merupakan protein perlekatan virus ND yang berperan dalam mengaglutinasi eritrosit.
Virus yang memiliki protein hemaglutinin adalah AI dan ND. Uji HA sebagai dasar
untuk menentukan titer virus. Titer HA adalah pengenceran tertinggi yang masih dapat
mengaglutinasi eritrosit secara sempurna (Mahardika et al., 2015). Terjadinya aglutinasi
pada pengujian HA menunjukkan isolat sampel mampu mengaglutinasi sel darah merah
(Noah, 2009). Pengujian HI dilakukan pada sampel yang telah melalui pengujian HA.
Uji HI merupakan uji serologis cukup penting untuk mengidentifikasi penyakit ND,
karena cukup sederhana, murah dan efisien (Mohhamed et al., 2013; Mahardika et al.,
2015). Menurut OIE (2012), prinsip uji HI adalah reaksi ikatan antara antibodi pada
serum dengan antigen virus sehingga menghambat perlekatan Hemaglutinin virus dengan
asam sialat pada sel darah ungas sehingga pada dasar sumuran mikroplate terjadi
hambatan aglutinasi (running bottom / tear drop).
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil negatif pada pengujian HA/HI ND.
Hal ini menunjukkan bahwa di dalam tubuh ayam tersebut tidak ditemukan adanya
antibodi terhadap virus ND. Gejala klinis yang terlihat pada ayam dapat dikaitkan
dengan diagnosa banding dari penyakit ND. Akan tetapi, peneguhan diagnosa tidak dapat
dilakukan hanya dengan memperhatikan gejala klinis. Hal ini disebabkan karena terdapat
beberapa penyakit pada ayam yang menunjukkan gejala yang sama atau mirip sehingga
tetap diperlukan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh
beberapa peternak ayam di wilayah Matani bahwa jenis kejadian penyakit yang paling
sering terjadi adalah ayam dengan gejala ngorok dan umumnya menyerupai penyakit
snot. Milo et al., (2019) menemukan adanya ayam yang menunjukkan gejala snot pada
peternakan ayam di Kabupaten Kupang. Berdasarkan keadaan umum dan anamnesa yang
diperoleh pada ayam serta dengan mempertimbangkan informasi dari beberapa peternak
ayam di lokasi pengambilan sampel tersebut diatas dapat diambil diagnosa banding:
infectious coryza /snot dan chronic respiratory disease (CRD).
1. Infectious coryza/snot
Menurut Tangkonda et al. (2019), infectious coryza (snot) adalah penyakit
menular pada unggas, terutama ayam, yang disebabkan oleh Avibacterium
paragallinarum (Av. paragallinarum). Penyakit ini ditunjukkan dengan gejala
keluarnya eksudat dari hidung yang mula-mula berwarna kuning dan encer (serous),
tetapi lama-lama berubah menjadi kental dan bernanah dengan bau yang khas
(mukopurulen). Bagian paruh di sekitar hidung tampak kotor atau berkerak oleh sisa
pakan yang menempel pada eksudat. Gejala lain yang ditunjukkan adalah adanya
pembengkakan pada sinus infraorbitalis yang ditandai dengan pembengkakan sekitar
mata dan muka. Suara ngorok juga terdengar pada ayam penderita dan kesulitan untuk
bernapas. Selain itu, terjadi penurunan nafsu makan dan adanya diare sehingga
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ayam dan menjadi kerdil (Kusumaningsih
dan Poernomo, 2000).
Adapun faktor predisposisi dari penyakit ini dikaitkan dengan pergantian musim
atau adanya berbagai faktor yang menyebabkan stres, seperti cuaca, lingkungan
kandang, nutrisi, perlakuan vaksinasi, dan juga penyakit yang bersifat imunosupresif
(Direktorat Kesehatan Hewan, 2014 ). Diagnosis sangkaan terhadap snot dapat
didasarkan atas gejala klinis dan perubahan patologi yang ditimbulkan oleh penyakit
ini. Peneguhan diagnosa akhir dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri
dari kasus snot pada stadium akut yaitu antara 1-7 hari pasca infeksi (Tangkonda et
al., 2019).
Penyakit snot dijadikan sebagai diagnosa banding pada kasus ini berdasarkan
tinjauan dari gejala klinis dan hasil anamnesa pada ayam. Gejala klinis yang
ditunjukkan ayam, yaitu ayam mengalami dispnea dan ngorok, bulu kusam, terdapat
leleran kental agak kekuningan dari nasal, lemas dan tidak nafsu makan, ditemukan
feces dengan konsistensi encer (diare), serta di sekitar nasal dan paruh terdapat kerak
yang diduga berasal dari leleran yang mengering. Kondisi kandang pemeliharaan
yang padat dan kotor dapat menjadi pemicu terjadinya stres pada ayam dan menjadi
penyebab kualitas udara yang buruk. Faktor kondisi kandang yang buruk inilah yang
dapat menjadi faktor pendukung timbulnya penyakit ini pada ayam. Pertimbangan
lain dalam pemilihan diagnosa banding ini adalah informasi dari beberapa peternak
ayam di wilayah Matani menyebutkan bahwa kejadian penyakit paling sering
ditemukan adalah penyakit dengan gejala ngorok yang menyerupai gejala snot.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan serologi serum darah ayam broiler ditunjukkan
bahwa ayam tidak mengalami penyakit ND. Adapun penyakit yang diambil sebagai
diagnosa banding berdaarkan keadaan umum dan anamnesa pada kasus ini adalah
penyakit Infectious coryza/snot dan atau Chronic respiratory disease (CRD).
DAFTAR PUSTAKA
[OIE] Office International des Epizooties. 2012. Terrestial Manual Chapter 2.3.14. Newcastle
Disease: 1-19.
[OIE]. Office International des Epizooties 2002. Newcastle disease.
http://www.oie.int/eng/maladies/fiches/a_A160.html
Kencana GAY, Kardena IM, Mahardika IGNK. 2012. Peneguhan Diagnosis Penyakit
Newcastle Disease Lapang pada Ayam Buras di Bali menggunakan Teknik RT-PCR.
Jurnal Ked. Hewan, 6(1): 28-31.
Kusumaningsih A dan Poernomo S. 2000. Infeksius Coryza (Snot) pada Ayam di Indonesia.
Wartazoa,10(2): 72-76.
Mahardika IGNK, Astawa INM., Kencana GAY, Suardana IBK, Sari TK. 2015. Teknik Lab
Virus. Udayana University Press. Denpasar.
Mohhamed MH, Zahir AAH., Kadhim LI, Hasson MF. 2013. Conventional and Molecular
Detection of Newcastle Disease and Infectious Bursal Disease in Chickens. J
Wourld’s Poult Res, 3 (1) : 05-12.
Noah SA, Alsmadi MKS, Omar K. 2009. Back Propagation Algorithm: The Best Algorithm
Among the Multi-layer Perceptron Algoritma. International Journal of Computer
Science and Network Security, 9(4):378-383.
Prasetyo DW, Rudyanto MD dan Berata IK. 2014. Pengamatan Makroskopis Kadaver
Ayam Broiler di Rumah Pemotongan Unggas PT. Ciomas Adisatwa di Desa Kaba-
Kaba, Tabanan, Bali Yang Didasarkan Atas Kausa Primanya. Indonesia Medicus
Veterinus, 3(1): 73-83.
Soeripto. 2009. Chronic Respiratory Disease (CRD) pada Ayam. Wartazoa, 19(3): 134-142.
Tangkonda E, Tabbu CR, dan Wahyuni AETH. 2019. Isolasi, Identifikasi, dan Serotyping
Avibacterium Paragallinarum dari Ayam Petelur Komersial yang Menunjukkan
Gejala Snot. Jurnal Sains Veteriner 17(1):27-33.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ayam broiler merupakan komoditas peternakan yang paling banyak dipelihara oleh
para peternak. Produk komoditas peternakan ini adalah sumber protein hewani yang dapat
dijangkau oleh lapisan masyarakat secara luas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah
penduduk, perubahan gaya hidup, kesadaran gizi, perbaikan tingkat pendidikan, permintaan
akan produk peternakan (telur, daging, dan susu) terus meningkat. Penyakit Newcastle
Disease (ND) merupakan salah satu penyakit akut dan mudah menular di sistem pernapasan
dan sistemik. Penyakit ND yang biasa disebut juga tetelo telah menyebar diseluruh Indonesia
dan menimbulkan kerugian yang sangat signifikan terhadap komoditas unggas, yang dimulai
dari angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi yakni mencapai 50-100%, gangguan yang
berat pada sistem saraf, pernapasan dan pencernaan pada unggas hingga kerugian ekonomi.
Virus Newcastle disease merupakan virus yang memiliki protein hemaglutini pada
amplopnya sehingga mendiagnosa penyakit tersebut dapat dilakukan uji
hemaglutinasi/hambatan hemaglutinasi (HA/HI) (Kencana, 2017). Jenis virus penyakit ini
memiliki sifat dapat mengaglutinasi sel darah merah hewan. Hemaglutinasi terjadi akibat
aktivitas hemaglutinin pada dinding virus (Mahardika et al, 2018). Terjadinya hemaglutinasi
ditandai dengan butiran berpasir akibat adanya ikatan antara sel darah merah dan protein
hemaglutinin pada amplop virus.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan pemeriksaan pada ternak ayam broiler
yang dijual pada Pasar Inpres Naikoten Kupang.
1.2 Tujuan
Studi kasus mandiri ini bertujuan untuk meneguhkan diagnosis penyakit Newcastle
disease dari kasus di lapangan berdasarkan uji HA/HI.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Newcastle Disease (ND)
Penyakit ND merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus ND yang sering
menyerang peternakkan unggas maupun burung liar dengan gangguan pencernaan,
pernapasan, dan syaraf. ND merupakan penyakit virus yang sangat menular yang biasanya
mendominasi penyakit unggas di daerah tropis (Williamson dan Payne, 1993). Secara
taksonomi, Virus ND dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Aldous et al., 2003):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Ordo : Mononegavirales
Family : Paramyxoviridae
Genus : Avulavirus
Species : Newcastle disease virus
Penyakit ND di Indonesia dikenal dengan istilah penyakit tetelo.Penyakit ini bersifat
akut sampai kronis, dapat menyerang semua jenis unggas termasuk ayam, baik ayam ras
maupun ayam buras.Oleh karena itu, ND merupakan ancaman serius bagi industri peternakan
di Indonesia (Santhia, 2003; Tabbu, 2000).
Penyakit ND ditemukan di Indonesia pertama kali oleh Kraneveld pada tahun 1962 di
Indonesia.Penyakit ND di Indonesia sering terjadi pada musim hujan atau musim peralihan
(Ressang, 1984).
2.1.1 Etiologi
Penyakit ND disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1 (APMV-1), genus
Avulavirus, famili Paramyxoviridae, merupakan virus RNA dengan genom serat tunggal
(single strandes/ss) dan berpolaritas negatif. Famili paramyxoviridae biasanya berbentuk
pleomorfik, bulat dengan diameter 100-500 nm, namun ada juga yang berbentuk filamen
dan beramplop. Terdapat 9 serotype avian Paramyxovirus yaitu, APMV-1 sampai
APMV-9 (OIE, 2002).
Gambar 1. Gambaran skematis struktur virus ND
Sumber: http://www.virologyj.com/content/10/1/170.html
Virus ND peka terhadap panas, akan rusak pada suhu 100 oC dalam 1 menit, 56 oC
dalam pemanasan selama 5 menit hingga 6 jam, suhu 37 oC akan tahan beberapa hari
hingga seminggu, 20oC-28oC akan tahan hingga berbulan-bulan. Virus inaktif dalam
formalin 1-2%, Fenol 1:20, kalium permanganat 1:5000, kresol 5% dan berbagai
desinfektan lainnya (Sudrajat, 1991).
Berdasarkan data dari pemiliki terdapat 1 petak kandang ayam yang berjumalh 22
ekor ayam yang menunjukkan gejala klinis yang sama yaitu : terjadi kebengkakan pada
mata, keluarnya leleran pada mata berupa nanah, kebengkakan pada muka, ngorok,
kesulitan bernapas (terengah-engah), keluarnya leleran serous dari hidung dan mulut
berwarna kuning, nafsu makan yang menurun, diare berwarna hijau putih dan lemas
(Gambar 1). Ayam yang dipelihara dan siap diijual belum ini peternak belum
mengetahuui sudah pernah dilakukan vaksinasi atau belum. Karna peternak mengambil
ayam dari tangan kedua.
Selain dilakukan wawancara, dilakukan pengukuran suhu ayam dan hasilnya
42,5oC yang menunjukkan abnormalitas dari suhu normal ayam yang berkisar antara
39.9-41.5oC.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan Uji HA/HI pada pemeriksaan ND pada ayam
broiler di Pasar Inpres Naikoten Kupang menuunjukan bahwa hasilnya negatif, disajikan pada
tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengujian HAHI/ND serum ayam buras
4.2 Pembahasan
Hasil pemeriksaan sampel serum ayam broiler yang diambil dari pasar inpres naikoten
menunjukkan gejala klinis ND. Ayam yang terinfeksi ND menunjukkan gejala klinis berupa
Anoreksia, diare yang kadang disertai darah, lesu, sesak napas, ngorok, bersin, batuk,
paralisis parsialis atau komplit, sesekali tortikolis, dan pembengkakan dan hemoragi pada
mata. Tetapi berdasarkan hasil yang diperoleh dari sampel serum ayam broiler memberikan
reaksi negatif pada uji HA/HI ND. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam tubuh ayam tersebut
tidak ditemukan adanya antibodi terhadap virus ND.
Menurut Amanu dan Rohi (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa kemungkinan
sampel serum ayam menunjukkan hasil negatif pada uji HI. Reaksi negatif pada uji HI pada
ayam mungkin disebabkan karena ayam belum pernah terinfeksi oleh virus ND sehingga
dalam tubuh ayam tidak ditemukan antibodi atau mungkin ayam tersebut terinfeksi virus ND
tetapi antibodi belum terbentuk atau masih sedikit sehingga tidak cukup untuk memberikan
hasil reaksi positif pada uji HI. Menurut Kencana (2017) menyatakan bahwa uji HA positif
ditandai dengan bentukan berpasir warna merah pada dasar plat mikro sebagai tanda
hemaglutinasi. Jika HA positif menunjukkan bahwa antigen yang diuji memiliki
hemaglutinin. Untuk memastikan virusnya dilanjutkan dengan uji HI. Uji HI positif ditandai
dengan pengendapan RBC 1%. Titer HI adalah pengenceran tertinggi serum yang mampu
menghambat terjadinya hemaglutinasi sempurna. RBC merupakan indikator uji HA/HI.
Prinsip uji HA adalah terjadinya ikatan antara virus/antigen dengan sel darah merah
yang ditandai dengan adanya agglutinasi (butiran seperti pasir). Pembentukan agglutinasi ini
disebabkan karena adanya ikatan virus/antigen dengan sel darah merah. Titer virus/antigen
dapat diketahui dengan melihat adanya agglutinasi di dasar lubang dari microplate pada
lubang terakhir/pengenceran tertinggi, misal terjadinya agglutinasi sampai lubang ke 8, maka
titer virus/antigen tersebut adalah log 28 atau 256 HAU, sementara untuk well yang negatif
(tidak adanya virus/antigen) apabila microplate dimiringkan 45 derajat RBC akan turun.
Prinsip dari uji HI adalah hambatan aglutinasi RBC oleh virus akibat terikatnya virus
tersebut oleh antibodi spesifik. Oleh karena itu uji HI hanya bisa digunakan untuk virus yang
mengagglutinasi RBC, metode kerja uji HI adalah pengenceran bertingkat serum sampel
hingga pengenceran terbesar yang masih sanggup menghambat agglutinasi (RBC) oleh
antigen, sehingga dapat diketahui nilai titer antibodi dari serum sampel (Syukron et al.,
2013).
Gejala klinis yang terlihat pada ayam dapat dikaitkan dengan diagnosa banding dari
penyakit ND. Diagnosa penyakit tidak hanya dapat diteguhkan dengan melihat gejala klinis.
Hal ini disebabkan karena terdapat kejadian penyakit pada ayam yang menunjukkan gejala
yang sama atau mirip. Diagnosa banding dari kasus ini adalah kolera unggas (fowl cholera).
4.3 Diagnosa Banding
Diagnosa banding Newcastle disease adalah Infeksi lain yaitu kolera unggas (fowl
cholera) adalah penyakit bakterial yang mudah menular dan menyerang berbagai jenis
unggas, termasuk unggas yang disebabkan oleh bakteri pasteurella multocida, yang
merupakan gram negatif, non motil, tidak membentuk spora dan berbentuk batang tunggal,
berpasangan atau seperti cincin filament. Pasteurella multocida tahan hidup didalam tanah,
alas kandang atau bahan-bahan yang busuk selama beberapa bulan. Penularan penyakit ini
dapat terjadi melalui leleran hidung, mulut, kotoran ayam yang sakit, tempat pakan dan
minum, perlengkapan peternakan, alat pengangkut dan pekerja yang tercemar bakteri. Masa
inkubasi dari penyakit tersebut antara 3-9 hari. Gejala klinis hewan terinfeksi kolera unggas
yaitu terlihat lemas, anoreksia, hipertermia, suara ngorok yang basah akibat adanya eksudat
cair didalam saluran pernapasan bagian atas, diare berwarna putih kekuningan sampai
kehijauan bercampur mukus dan berbau tidak sedap, keluarnya cairan dari mulut yang
menggantung seperti tali, jengger dan pial mengalami kebengkakan berwarna ungu kebiruan
(Zainuddin, 2014).
Potogenesis penyakit kolera unggas secara molekuler belum diketahui
mekanismenya.Sercara ringkas,pada saat kuman P. multocida berhasil masuk kedalam flock
maka infeksi akan segera terjadi dengan konsentrasi kuman disaluran pernapasan atas,mulai
dari rongga mulut (paruh),trakea dan sekitar mata.Ayam yang terinfeksi secara kronis oleh
infeksi sebelumnya mempunyai peran penting sebagai sumber penularan dalam satu flock
karena akan mengeluarkan kotoran /feses yang mengandung kuman selama berada dalam
kelompok kandang tersebut.Ayam yang terinfeksi melalui paruh masuk ke trakea dan
paru,maka kuman P.multocida akan masuk kedalam sirkulasi darah dan berbiak secara cepat
didalam hati/limfa dan beredar didalam darah (bakterimia).Kuman dalam darah ini sangat
menentukan jalannya penyakit, karena komponen kapsula dan komponen LPS (Pcho residu)
sebagai penentu virulasi terhadap respon imunitas diperantarai komlemen dan fagositosis
pada ayam yang bersangkutan (Ressang,1984).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan studi kasus penyakit ND dapat disimpulkan bahwa pada sampel ayam yang
digunakan menunjukkan gejala klinis yang mirip dengan gejala ND. Akan tetapi, ketika
dikonfirmasi dengan uji HA/HI yang diperiksa menunjukkan hasil negatif maka
kemungkinan ayam terinfeksi penyakit lainnya yang memiliki gejala klinis yang mirip
dengan penyakit ND, yaitu kolera unggas (fowl cholera).
DAFTAR PUSTAKA
Andrewes SC dan Pareira HG. 1972. Viruses of Vertebrates. USA: Williams and Willkins
Company.
Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Edisi Bahasa Indonesia. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Fenner FJ, Gibs FA, Murphy R, Rott MJ, Studdert DO, White. 1995. Virology Veteriner edisi
II. San Diego: Academic Press Inc.
OIE. 2002. Newcastle Disease. www.oie.int
OIE. 2012. Newcastle Disease. www.oie.int
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner Edisi Kedua. Bali: Percetakan Bali.
Rupiper DJ, Boynton SE. 1998. Paramyxovirus.East Pataluma Hospital.
Senne DA. 1989. Virus Propagation in Embryonating Eggs. USA: Kendal Publishing
Company.
Tabbu CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya: Penyakit Bakterial, Mikal dan
Viral. Kanisius.Yogyakarta.
Tarmudji.2005. Penyakit Pernafasan pada Ayam, Ditinjau Dari Aspek Klinik dan Patologik
Serta Kejadiannya di Indonesia.Wartazoa.Vol. 15.No. 2. Hal: 72-83.
Zainuddin. 2014. Studi Kasus Kolera Unggas Ayam Broiler pada Usaha Ternak Masyarakat
di Banda Aceh Secara Patologi. Jurnal Medika Veterinaria. Vol. 8.No. 1. Hal: 56-
59.
LAPORAN KASUS
KOASISTENSI VIROLOGI
“PENGUJIAN HA/HI PADA SERUM DARAH AYAM KAMPUNG”
1.1 Pendahuluan
Ayam kampung atau lebih dikenal sebagai ayam buras (bukan ras) merupakan salah
satu sumber plasma nuftah penggerak ekonomi pedesaan dikarenakan pola pemeliharaannya
sederhana, tidak memerlukan modal besar dalam pemeliharaannya serta menjadi sumber
penghasilan tambahan dan sumber protein keluarga yang berkualitas (Folise dkk, 1998). Pola
pemeliharaan ayam kampung yang masih tradisional serta tidak memiliki program vaksinasi
yang baik memungkinkan ayam kampung mudah terserang penyakit infeksius seperti
Newcastle disease (ND) dan avian influenza (AI).
Virus Newcastle disease (VND) termasuk ke dalam famili Paramyxoviridae, genus
Avulavirus, memiliki 10 serogoup, yaitu avian paramyxovirus (APMV)-1 sampai APMV-10.
VND dibagi menjadi 4 patotipe berdasarkan gejala klinis penyakit pada ayam, yaitu tipe
viscerotropic velogenic menyebabkan infeksi akut yang parah dengan gejala lesi hemoragi
pada organ pencernaan, tipe neurotropic velogenic dengan gejala gangguan pernafasan dan
saraf, tipe mesogenic yang kurang patogen dan biasanya menimbulkan gangguan pada hewan
muda, dan tipe lentogenic dengan gejala pernafasan ringan. Kedua tipe terakhir sering
dijadikan sebagai bahan pembuatan vaksin dan tipe asymptomatic enteric yang disebabkan
oleh infeksi sub klinis galur lentogenik (Alexander dan Senne, 2008).
Virus Newcastle Disease (VND) kadang-kadang bersama dengan Avian Influensa
Virus (AIV) menginfeksi unggas dan memiliki kesamaan yang signifikan dengan AIV dalam
menyebabkan kematian pada unggas di industri perunggasan (Gu et al., 2007). Gejala klinis
NDV pada unggas berupa gejala syaraf yang menonjol yang menunjukkan, ataksia, hilang
keseimbangan, kepala berputar-putar tidak beraturan (tortikolis) ataupun rebah di atas
punggung, paralisis kaki (Alexander and Senne, 2008; Cattoli et al., 2011). Gejala klinis
NDV tersebut mirip dengan gejala klinis pada unggas yang terinfeksi AIV (Cattoli et al.,
2011) dengan tingkat mortalitasnya mencapai 100% (Pattison et al., 2008).
Sinyalemen
- Jenis Hewan : Ayam Kampung
- Nama :-
- Umur : 3 bulan
- Warna : hitam
- Jenis Kelamin : Betina
- Nama pemilik : Minto Taebenu
- Alamat : Fatukoa
Anamnesa :
Hasil anamnesa diketahui bahwa pola pemeliharan ayam pada tempat tersebut
secara tradisional yaitu ayam dilepaskan bebas untuk mencari makan, menurut
pemilik ayam diketahui bahwa ayam didaerah tersebut sebelumnya belum pernah
divaksin, dan pada daerah tersebut terjadi kematian ayam mendadak dengan
jumlah ayam mati sudah melebihi 30 ekor dan yang tersisa masih hidup kurang
dari 15 ekor. Ayam yang mati tidak menunjukan gejala klinis yang khas atau
secara asimtomatis dengan kondisi kebanyakan ayam mati mendadak dan
diketahui mati pada pagi hri dengan kondisi mati bertengger di pohon. akan tetapi
menurut pemilik ayam ada beberapa ayam yang mati juga sebelumnya
menunjukan retraksi pada leher atau gejala tortikolis baru kemudian ayam mati.
Pengambilan sampel darah
Dari anamnesa dan gejala klinis yang terlihat maka perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorik berupa pemeriksaan serologis agar dapat mengetahui
agen patogen penyebab penyakit. Sampel yang akan diambil berupa sampel darah.
Pengambilan darah pada ayam dilakukan pada vena brakialis dimana pembuluh
darah ini terletak pada bagian bawah sayap. Darah yang telah diambil kemudian
dimasukkan dalam tabung Non EDTA agar serum dapat terpisah.
1.1.1 Metodologi
Waktu dan tempat
- Pengambilan sampel dilakukan di kelurahan Fatukoa, Kota Kupang pada 19 Maret
2020
- Pengujian HA / HI di lakukan di laboratorium UPT Veteriner Prov. NTT
Materi
Alat dan bahan yang digunakan adalah Centrifuge, cool box, Syringe (1 ml), tabung
Non EDTA, tabung eppendorf, mikropipet, Ayam kampung, , kapas, masker, sarung
tangan, alcohol, sampel darah ayam, serum,
Metode
Teknik pengambilan darah:
- Menyiapkan ayam yang akan diambil darahnya dengan posisi berbaring sambil
dipegang
- Menahan kepala ayam dan membuka sayap
- Membersihkan bagian yang akan diambil darahnya dengan kapas yang dibasahi
dengan alkohol
- Darah diambil secukupnya dengan cara menusukkan jarum ke vena brakialis
- Kemudian darah yang telah didapat dimasukkan ke dalam tabung Non EDTA
untuk memperoleh serum darah.
- Tabung Non EDTA kemudian dimasukkan ke dalam cool box
- Serum darah dimasukkan kedalam tabung eppendorf dan dicentrifuge selama
beberapa menit agar serum yang dihasilkan lebih jernih dan diberi kode
- Sample kemudian dikemas untuk dilakukan pemeriksaan pada Laboratorium UPT
Veteriner Provinsi NTT.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
1 2
3 4
2.3 Pembahasan
Unggas merupakan salah satu hewan yang rentan terinfeksi oleh agent infeksius yang
salah satunya virus, virus yang biasanya menyerang unggas adalah Avian Influenza Virus
(AI), Newcastle Disease Virus (ND), Avian Encephalitis, Infectious Brongkhitis (IB) dan
lainnya, akan tetapi virus yang menyerang unggas dengan tingkat mortilitas dan morbitas
yang tinggi yaitu Newcastle Disease Virus dengan tingkat mortilitas dan morbiditasnya
mencapai 50 - 100% (Tabbu, 2000). Virus Newcastle Disease mempunyai gejala klinis pada
unggas berupa gejala syaraf yang menonjol yang menunjukkan, ataksia, hilang
keseimbangan, kepala berputar-putar tidak beraturan (tortikolis) ataupun rebah di atas
punggung, paralisis kaki (Alexander and Senne, 2008; Cattoli et al., 2011). Pada koasistensi
virology mahasiswa mendapat kasus di daerah fatukoa, dimana terjadi kematian ayam
kampung secara mendadak dengan gejala klinis yang muncul seperti retraksi pada leher,
ayam venderung mengantuk serta kadang ayam tidak menunjukan gejala yang asimtomatik
dan mati mendadak. Sehingga mahasiswa mengambil sampel darah pada daerah tersebut
untuk dilakukan pengujian serologis yaitu pengujian Haemaglutination/haemaglutination
inhibition test (HA-HI).
Dari hasil pengujian sampel, didapat hasil negative terhadap virus Newcastle disease
yang mana dari gejala klinis yang muncul pada ayam kampung yang dijadikan sampel
merujuk pada gejala klinis ayam yang terserang Virus Newcastle Disease selain itu factor
ayam sebelumnya belum pernah divaksin juga mempengaruhi ayam mudah terinfeksi virus
ND. Oleh karena itu, dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa pada pemeriksaan HI
antibody dari ayam tersebut belum mencapai standar Menurut OIE (2012) yaitu serum yang
diperiksa akan dinyatakan positif apabila hasil uji HI menunjukkan titer antibody ≥ 2 4
sehingga tidak terdeteksi. Selain itu juga, factor human eror juga bisa mempengaruhi hasil
yang didapat dimana mungkin terjadi kesalahan pada saat proses pengemasan sampel
maupun pada saat pemeriksaan sampel.
Diagnoasa banding dari gejala klinis yang muncul yaitu merujuk pada Avian
Influensa Virus, dimana Virus AI memiliki gejala klinis seperti tortikolis, retraksi pada otot
leher, serta memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas mencapai 100 % ( Tabbu, 2000).
Namun untuk daerah NTT, menurut hasil surveilains AI tahun 2011 – 2015 oleh balai besar
veteriner (BBVET) menunjukan bahwa NTT masih bebas dari Avian Influenza Virus.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil pengujian , anamnesis dan gejala klinis pada unggas ayam kampung
yang diperiksa didapat hasil ayam Negative Newcastle Disease Virus dengan diagnosa
banding pada Avian Influenza Virus.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, D.J. and Senne, D.A., 2008, Newcastle Disease, Other Avian Paramyxovirus and
Pneumovirus Infection In: Alexander and Senne, Y.M. (ed.), Disease of Poultry.
Blackwell Publishing. Iowa. 75-92.
Cattoli, G., Susta, L., Terregino, C. and Brown, C., 2011, Newcastle Disease : A Review of
Field Recognition and Current Methods of Laboratory Detection, J.Vet. Diagn. Invest.,
23: 637-658.
Gu, J,, Xie, Z,, Gao, Z., 2007, H5N1 Infection of The Respiratory Tract and Beyond: A
Molecular Pathology Study, Lancet, 370: 1137–1145.
Kencana GAY. 2017. Cara Mengisolasi Virus Dan Mengidentifikasi Dengan Uji Serologi
Hemaglutinasi. Modul training. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana.
Pattison, M., McMullin, P.F., Bradbury, J.M. and Alexander, D.J., 2008, Poultry Diseases,
6th Edition, Saunders Elsevier, China, pp: 298- 301.
Tabbu CR 2000. Penyakit ayam dan Penanggulangannya. Penyakit Bakterial, Mikal dan
Viral. Volume 1. Penerbit kanisius, Yogyakarta.
LAPORAN KOASISTENSI
KASUS MANDIRI VIROLOGI
BABI SUSPEK ASF (AFRIKA SWINE FEVER)
PENDAHULUAN
Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan salah satu provinsi dengan populasi
ternak babi tertinggi di Indonesia. Daerah NTT merupakan daerah yang sangat
berpotensi untuk pemeliharaan dan pengembangan ternak babi (Wea, 2002). Hal ini
didukung oleh kondisi sosial budaya yaitu pemeliharaan babi yang merupakan suatu
kebiasaan turun temurun, babi banyak digunakan dalam upacara adat atau keagamaan,
serta daging babi sebagai sumber protein hewani utama bagi masyarakat NTT serta
beternak babi merupakan salah satu usaha rumah tangga yang penting sebagai sumber
penghasilan
Keberhasilan suatu usaha peternakan babi juga tidak terlepas dari berbagai kendala
yang sangat merugikan peternak. Salah satu kendala yang merupakan penyebab
kegagalan dalam hal produksi ternak babi adalah serangan penyakit baik yang bersifat
menular maupun tidak. Beberapa penyakit yang sering menyerang babi adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit. Salah satu penyakit virus yang pada
saat ini telah banyak menyebabkan kematian ternak babi di NTT adalah African Swine
Fever (ASF)
ASF (Africa swine fever) merupakan penyakit menular pada babi domestik maupun
babi liar yang disebabkan oleh ASFV (Afrika swine fever virus). Sindrom klinis
bervariasi dari acut, subacut dan kronis tergantung pada tingkat virulensi virus. ASFV
dapat menyebabkan kematian pada ternak babi sampai dengan 1OO% (OIE, 2019).
Penyebaran ASF didunia meluas mencapai 50 negara di tiga benua yaitu Afrika, Asia
dan Eropa. Di Indonesia ASF pertama kali masuk pada bulan September tahun 2019 di
daerah Sumatera (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019)
Adanya wabah ASF menyebabkan peternak babi dan petani merasakan dampak
kerugian ekonomi yang sangat besar. Hal ini karena penyakit ASF sulit untuk
diberantas karena belum ada vaksin dan obat khusus, serta penyebaran virus yang
sangat cepat. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OlE) memberikan kebijakan utama
bahwa tindakan yang paling tepat untuk pemberantasan penyakit tersebut adalah
pemusnahan semua populasi babi terancam dan pelarangan transportasi babi dari
daerah tertular terhadap daerah bebas. Di NTT ASF merupakan salah satu penyakit
1.2 Tujuan
Untuk melakukan identifikasi sampel viral, mendiagnosa penyakit viral dan memahami
cara penanggulangannya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dan ukuran 200 nm (OIE, 2019: Alcrudo, et al., 2017). Malogolovkin et al., (2015)
mikrobiologi yang dilakukan dari 32 isolat ASFV ditemukan delapan serogrup yang
berbeda berdasarkan uji inhibisi hemadsorpsi (HAI). Karakteristik genetik dari semua
isolate virus ASF mencapai 23 genotipe (segmen dalam satu gen protein) yang berbeda
ASF
Babi yang terinfeksi ASFV mengeluarkan virus pada sekresi saliva, lakrimalis
(air mata), sekresi hidung, urin, feses dan sekresi saluran genital serta darah. Babi yang
terpapar agen infeksi akan menunjukkan gejala infeksi ASFV. Dalam lingkungan yang
cocok dan kaya protein ASFV akan stabil dan apabila hewan sehat terkontaminasi
maka akan ada penyebaran lebih lanjut. ASFV dapat bertahan pada daging dengan dan
tanpa tulang dan digiling 105 hari, daging asin 182 hari, daging kering 300 hari, daging
yang diasap 30 hari, daging beku 1000 hari, daging dingin 110 hari, jeroan 105 hari,
kulit atau lemak 300 hari, darah pada suhu 4 0C 18 bulan, kotoran pada suhu kamar 11
hari, darah busuk 15 minggu. ASFV diketahui dapat inaktif pada suhu 56 0C selama 70
menit atau 60°C selama 20 menit dengan pH <3,9, serta diketahui tahan terhadap
autolysis dan beberapa desinfektan, peka terhadap eter dan clorofom (Alcrudo, et al.,
2017),
Penyebaran ASF didunia meluas mencapai 50 negara di tiga benua yaitu Afrika,
Asia dan Eropa. ASF pertama kali diidentifikasi pada tahun 1921 di Kenya, Afrika
Timur, pada tahun 1957 ASF dilaporkan di Portugal, selanjutnya menyebar ke Eropa.
ASF ditemukan di Asia pada tahun 2010, selanjutnya dilaporkan pada bulan agustus
2018 dilaporkan wabah di Tiongkok dimana merupakan kasus pertama kali di Asia
Timur. Kasus ASF selanjutnya menyebar ke Negara Asia lainnya hingga dilaporkan di
Vetnam Februari 2019, Kamboja, Laos, Filiphina, Myanmar dan Timor Leste dan di
Indonesia ASF pertama kali masuk pada september 2019 di daerah Sumatera, dan
hingga kini diketahui ASF sudah meluas hingga ke Nusa Tenggara Timur (OIE,2020).
Berdasarkan data dari Food and Agriculture Organization (FAO, 2020), tingkat
kematian babi di NTT per 27 februari mencapai 2.825 ekor di lima kabupaten yaitu
Belu, Malaka, Timor Tenga Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten
Kupang dan Kota Kupang, sedangkan data dari harian kompas tertanggal 19 juli 2020
langsung. Secara langsung dapat melalui sekresi saliva, sekresi hidung, urin, feses dan
sekresi saluran genital dari satu ternak ke ternak babi yang lainnya. Sedangkan secara
tidak langsung ASF dapat ditularkan melalui bahan pakan dan prodak-prodak daging
babi yang terkontaminasi, vaksinasi antara babi yang sehat dan sakit menggunakan
jarum yang sama, serta biosafety dan biosecurity kandang yang kurang baik yang
Menurut Alcrudo, et al., (2017) dalam FAO Animal Production and Healt
menjelaskan bahwa siklus transmisi penyakit ada tiga yaitu siklus sylvatic atau
transmisi penyakit ASF yang terjadi dihutan, siklus pada babi domestik (peternakan
babi) dan siklus transmisi pada babi hutan. Siklus sylvatic diketahui hanya terjadi di
Afrika yang dimulai dari host alami ASFV yaitu warthogs dan vector caplak (kutu
warthogs akan hidup 6 -8 minggu yang dapat menyebabkan viremia pada neonatus,
pada waktu yang pendek 2-3 minggu virus akan bertahan pada aliran darah namun
tanpa gejala klins. Di daerah endemik 100 % warthogs akan menghasilkan antibodi
ASFV, dan virus ASF dapat ditemukan pada limfonodus warthogs pada berbagai umur
dan bersifat laten pada kondisi infeksi virus rendah. Populasi caplak tetap terinfeksi dan
infektif untuk jangka waktu yang lama karena adanya trans stadial, transmisi kelamin
dan tranovarial virus dalam caplak yang memungkinkan virus ASF bertahan bahkan
tanpa host. Caplak yang terinfeksi ASF bertahan berbulan-bulan pada lubang tanah dan
beberapa tahun jika sudah memakan inang atau host yang terinfeksi.
ASF pertama kali menular pada babi terjadi di Semenanjung Liberia yang
diketahui ASF berasal dari Ornithodoros erraticus yang merupakan caplak berhabitat
di kandang babi. Beberapa spesies Ornithodoros spp. telah terbukti menjadi vector
Penyebaran ASF dari babi ke babi terjadi melalui kontak langsung dari babi yang
terinfeksi melalui rute oro nasal setelah kontak dengan ekskresi babi terinfeksi, dan
kontak tidak langsung melalui konsumsi daging babi atau prodak pangan yang
terkontaminasi dan fomite. Virus ASF ditularkan dari satu peternakan ke peternakan
lainnya karena adanya pergerakan atau perpindahan hewan, prodak-prodak hewan yang
terkontaminasi. Penyebaran ASF pada babi domestik dapat dihentikan dengan metode
stamping out namun di Eropa timur populasi babi liar atau babi hutan dapat menjadi
sumber penularan baru ASF. Hal ini dikarenakan dalam suatu farm atau peternakan
yang memiliki ASF pada babi diketahui telah menyebar melalui pakan yang terinfeksi
dibuang ke hutan dan biosecurity berupa pagar yang memungkinkan adanya kontak dari
babi liar dengan babi domestic, sehingga terjadi penularan pada babi liar.
Gambar 3. Siklus Transmisi ASF
2.5 Gejala Klinis
Penyakit ASF umumnya ditandai dengan adanya kematian mendadak pada babi
semua umur baik jantan maupun betina. Meskipun sangat mematikan ASF tidak terlalu
pathogen dibandingkan dengan penyakit mulut dan kuku. Gejala klinis ASF yang
muncul pada babi liar sama seperti gejala pada babi domestik. Tanda klinis yang terjadi
pada hewan yang terpapar ASF bervariasi tergantung pada beberapa faktor antara lain
tingkat virulensi virus, breed babi yang terinfeksi, rute paparan, dosis infeksi, dan status
isolate virulensi tinggi, sedang dan virulensi rendah. Sedangkan bentuk klinis ASFV
terdiri dari peracut, akut, sub akut dan kronis. Pada fase preakut ditandai dengan
dengan suhu mencapai 41-420C, kehilangan nafsu makan dan tidak aktif, kematian
mendadak mungkin terjadi dalam hari ke 1-3 sebelum munculnya tanda klinis.
Sedangkan pada fase akut memiliki masa inkubasi 4-7 hari namun ada yang mencapai
14 hari masa inkubasi. Fase akut ASF menunjukan gejala klinis suhu 40-420C, kurang
nafsu makan, hewan terlihat lemas dan lesuh, berbaring dan meringkuk, serta adanya
peningkatan laju pernapasan. Pada fase ini kematian sering terjadi pada hari ke 6-9
untuk strain yang sangat virulen atau 11-15 hari untuk strain yang rendah virulen (OIE,
2020).
Tanda klinis pada fase akut antara lain adanya warna ungu kebiruan dengan
perdarahan seperti bintik atau memanjang (petekie) di telinga, perut dan kaki belakang,
adanya konstipasi atau diare hingga terbentuk melena, muntah, aborsi pada induk
bunting pada semua tahap kebuntingan, adanya darah dari hidung dan mulut, discharge
dari mata dan area sekitar ekor akan terlihat seperti ada kotoran darah. Selain gejala
klinis yang dapat diamat, temuan post mortem yang dapat ditemukan pada babi ASF
antara lain pembesaran kelenjar geta bening, endematous, gastrohapatik dan ginjal
membesar dan terlihat adanya gumpalan darah, limpah berwarna gelap atau merah
kehitaman dengan ujung membulat dan adanya petechiae pada kapsul ginjal (Artois et
Fase sub akut dapat terlihat gejala klinis seperi kehilangan nafsu makan, depresi,
sedikit mengalami demam namun berfluktuasi, pada kasus postmortem terlihat adanya
perikarditis serosa. Babi yang mengalami klinis sub akut biasanya dapat pulih setelah 1
bulan, umumnya gejala klinis pada fase ini tidak terlihat jelas dengan tingkat kematian
babi biasanya terjadi pada hari ke 7-20 mencapai 30-70 % sedangkan fase kronis babi
biasanya menunjukan gejala klinis seperti demam ringan, gangguan pernapasan ringan,
gejalah klinis postmortem seperti nekrosis caseosa, perikarditis fibrinosa, kelenjar geta
bening sedikit bengkak dengan tingkat kematian kurang dari 30% (OIE (2020).
2.6 Patogenesis
Virus ASF masuk ke babi melalui kontak langsung maupun kontak tidak
langsung dan masuk ke sel target yaitu retikolo-endotel dan melakukan replikasi.
Replikasi virus pada endothelial sel akan menyebabkan produksi dan pelepasan
edotelial dan lisisnya sel-sel darah merah sehingga terjadi reaksi agregasi dan pelepasan
platelet, selain itu adanya virus pada sel target secara patofisiologi terjadi pelepasan
makrofag. Pada kasus ini makrofag akan melepaskan produk cyclo-oxygenase dan
memecah asam arachidonik dan terjadi peningkatan prostaglandin agonis poten (PGE2)
sehingga berkontribusi terjadinya hemoragi, edema dan kolaps sirkulasi. Rusaknya sel
dijelaskan. Diagnosa klinik pada tahap awal infeksi ASFV dapat dikelirukan dengan
beberapa penyakit. Tidak ada diagnosa yang pasti dari tanda klinis yang terjadi sampai
klinis hampir sama seperti ASF antara lain Classical Swine fever (CSF), PRRS
Classical Swine fever (CSF) atau dikenal hog cholera merupakan penyakit pada
babi yang disebabkan oleh Pestivirus dari family Flaviviridae. CSF memiliki satu
serotipe berbeda dengan ASF yang memiliki banyak serotype. Adapun gejala klinis
yang muncul yaitu nafsu makan berkurang, depresi, perdarahan, konjungtivitis, lemah,
kulit terlihat berwarna merah keunguan, pernafasan dangkal, adanya edema pada ginjal,
kelenjar geta bening dan kantong empedu, serta persentasi kematian mencapai 100%.
Perbedaan kedua penyakit ini hanya dapat dikonfirmasi dengan uji laboratorium. Untuk
ASF dapat dicegah dengan vaksinasi, Titer antibodi protekif telah terbentuk satu
minggu setelah vaksinasi dan bertahan selama 2-3 tahun (Tarigan et al., 1997; Tizard
2000). Vaksinasi terhadap anak babi yang induknya belum divaksin dilakukan pada
umur 14-21 hari, sedangkan untuk anak babi yang induknya sudah pernah divaksin,
dilakukan vaksinasi pada umur 30 hari (Subronto, 2003). Pemberian vaksin tidak hanya
melindungi hewan terhadap gejala klinis, tetapi juga mencegah terjadinya infeksi
nama penyakit telinga biru. PRRS disebabkan oleh virus genus arterivirus. Adapun
gejalah klinis yang ditemukan yaitu pneumonia, aborsi bagi babi yang bunting, kulit
memerah khususnya pada telinga merah kebiruan, dan diare, tingkat mortalitas tinggi,
demam tinggi, batuk, dyspenia, kepincangan, anoreksia, sianosis dan tanda klinis hasil
nekropsi berupa lesi paru-paru, pembengkakan dan perdarahan kelenjar getah bening
babi yang disebabkan oleh virus circovirus. PDNS memiliki gejala klinis hampir sama
yaitu anoreksia, depresi, lesi pada kulit dengan warna merah keunguan khususnya pada
bagian ekor dan perineum, adanya nekrosis vaskulitis, edema kelenjar geta bening.
Indonesia
rhusiopathiae. Penyakit ini dapat bersifat akut pada ternak babi usia mudah ditandai
dengan adanya kematian mendadak dengan lesi kulit yang berhubungan dengan
nekrosis vaskulitis. Pada kasus postmortem diketahui adanya edema limpa, nekrosis
paru-paru, kelenjar getah bening perifer, hemoragi pada korteks ginjal dan jantung.
reproduksi dan neurologis yang parah dan berdampak pada kematian mencapai 100%.
Gejala klinis yang muncul antara lain demam, kejang-kejang dan gemetar, lumpuh,
pernafasan dangkal, muntah, aborsi pada babi bunting, adanya lesi nekrotik,
yang umumnya menyerang hewan usia mudah. Gejala klinis yang timbul antara lain
sianosis telinga, ekor, kaki dan perut, hasil nekropsi ditemukan petekie pada ginjal,
edema jantung, limpa dan kelenjar getah bening, hepatomegali. Selain itu Poisoning
atau keracunan pada babi dapat menunjukan gejalah klinis yang sama seperti ASF
1. ELISA
Uji ELISA merupakan screening awal pengujian suatu penyakit, uji ini bertujuan
untuk mengidentifikasi antibody ASF dalam serum. Prinsip dasar uji ELISA adalah
analisis interaksi antara antigen dan antibody dengan menggunakan enzim sebagai
penanda reaksi (Yusrini, 2005). Prinsip kerja uji ELISA adalah adanya ikatan antara
antigen dan antibody kompleksDalam teknik ini ntibody ASF ditandai dengan enzim
tertentu. Uji ELISA memiliki indeks sensifitas, spesifitas dan kecepatan tinggi dengan
2. PCR
PCR digunakan untuk mendeteksi genom ASFV dalam sampel babi baik darah,
jaringan maupun organ. PCR memungkinkan diagnosis penyakit dalam beberapa jam
hal ini karena PCR memiliki sensitive, spesifik dan cepat untuk mendeteksi virus.
FAT digunakan untuk mendeteksi antigen ASFV dalam jaringan babi. Prinsip
FAT test adalah deteksi mikroskopis antigen virus pada apusan darah atau cryosection
organ yang tipis. Selain itu FAT juga digunakan untuk mendeteksi antigen ASFV
dalam kultur leukosit. Tes ini merupakan tes yang cukup kuat dalam menegakan
4. HA (Haemadsorption)
Isolasi virus didasarkan pada inokulasi sampel ke kultur sel primer, monosit
dan makrofag. Sampel yang mengandung ASFV akan bereplikasi dalam sel yg rentan
dan menghasilkan efek sitopatik (CPE) pada sel yg terinfeksi yg biasanya terjadi
dengan monolayer sel ginjal yg terinfeksi ASFV dan telah diadaptasi. Reaksi ntibody
spesifik dalam sitoplasma sel yang terinfeksi. Pemeriksaan meenggunakan uji IFA
kandang yang baik. Biosekurity dan biosafety kandang bertujuan menjaga penularan
baik dari hewan liar maupun transportasi yang masuk atau keluar dari peternakan, dan
akses orang yang dapat menjadi sumber penularan ASF. Selain itu higene dan sanitasi
kandang merupakan hal yang penting untuk mencega muncul dan berkembangnya
vector. Pakan yang berasal dari limba rumah tangga sebaiknya tidak diberikan kepada
ternak. Peningkatan SDM sangat penting dilakukan agar peternak lebih paham tentang
bahaya ASFV dan tindakan-tindakan pencegahan yang perlu dilakukan misalnya saat
BAB III
2.1 Materi
Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel darah babi yaitu
termometer, kapas, alcohol, ven-oject, tabung vacum non-EDTA,dan kamera.
Tempat pengambilan sampel dan pengiriman sampel
Pengambilan sampel darah dilakukan pada kandang babi di Desa Oeltua.
2.2 Metode
babi yang mempunyai gejala klinis menyerupai ASF pada vena jugularis. Kemudian
sampel darah dimasukkan ke dalam tabung non-EDTA, setelah serum terbentuk serum
4.1 Hasil
Data Pemilik
Nama Pemilik : Bapak Yohanes
Alamat : Desa Oeltua
Mahasiswa Koas : Katarina Sabu Leba
Data Hewan
Jenis hewan : Babi
Ras : Duroc
Umur : 11 bulan
Warna bulu : Putih
Anamnesa
Hasil anamnesa kepada pemilik menunjukkan bahwa babi sudah mengalami gejala
klinis sekitar 2 hari yang lalu. Populasi babi di kandang tersebut adalah 3 ekor babi, dua
ekor babi suda mati sehari sebelumnya. Berdasarkan keterangan dari pemilik babi belum
pernah divaksin.
Pemeriksaan Fisik
pada babi antara lain demam (39,70C), nafsu makan menurun, perdarahan pada kulit
(Hemoragi ecchymosis pada telinga dexter dan sinister), adanya sianosis (kebiruan) pada
area perut, kematian babi dalam populasi tersebut terjadi pada 4-10 hari, dan ada hewan
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium uji ELISA sampel babi suspect ASF yang dibawah ke
4.2 Pembahasan
negatif ASF. Hal ini dikelirukan dengan beberapa penyakit virus yang menyerang babi yang
memiliki gejalah klinis yang mirip seperti Classical Swine fever (CSF), PRRS (Porcine
gejalah klinis yang mirip diatas yang pernah dilaporkan di Indonesia adalah Classical
Classical Swine fever (CSF) atau dikenal hog cholera merupakan salah satu penyakit
yang disebabkan oleh virus dari keluarga Flaviviridae, genus Pestivirus. Hog cholera
memiliki gejala klinis yang hampir sama sepeti ASF yaitu demam, tidak mau makan, muncul
bercak-bercak kemerahan (Hemoragi ptekie) dan sianosis pada bagian kulit telinga,
punggung, perut dan kaki (OIE, 2020). Babi berjalan sempoyongan dan tidak bisa berdiri.
Secara patologi anatomi ASF dan CSF memiliki sedikit perbedaan seperti terdapat pada
Tabel 1. Namun, perbedaan kedua penyakit ini hanya dapat dikonfirmasi dengan uji
laboratorium. Untuk Hog cholera dapat dicegah dengan vaksinasi, sedangkan ASF belum
memiliki vaksin (Tizard 2000). Berdasarkan anamnesis, dan gejalah klinis babi milik babak
Yohanes diduga tertular CSF. Hal ini dinilai dari status vaksinasi yaitu ternak babi belum
perna di vaksin. Selain itu menurut laporan teknis Balai Besar Veteriner Denpasar tahun
2019 dan studi epidemiologi , CSF atau hog cholera merupakan penyakit endemis di NTT.
Tabel 1. Perbandingan Gejalah Klinis Dan Patologi Anatomi Organ ASF dan CSF
7. Diare Ya Ya hyperemic Ya Ya
splenomegaly
Selain itu penyakit Erysipelas sering dikelirukan dengan penyakit ASF apabila dilihat
dari gejalah klinis. Erysipelas merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Erysipelothrix rhusiopathiae. Penyakit ini dapat bersifat akut pada ternak babi usia mudah
ditandai dengan adanya kematian mendadak dengan lesi kulit (kemerahan) yang
NTT. ASF juga sering dikelirukan dengan penyakit salmonellosis apabila ditinjau dari gejala
klinis. Salmonelosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. yang
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
ASF merupakan salah satu penyakit babi yang memiliki dampak kematian
hingga 100%, memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan penyakit Classical
hanya melihat gejala klinis. Uji laboratorium merupakan salah satu teknik diagnose
yang penting dalam menegakan diagnose. Penyakit ASF belum ada obat maupun
vaksinasi untuk itu pencegahan merupakan hal penting yang harus dilakukan seperti
Alcrodo DB, Arias M, Gallardo , Kramer SA. 2017. African Swine Fever Detection
and Diagnosis a Manual for Veterinarian. Food and Agriculture Organization of the United
Nations. Hal. 19-78.
Dixon LK., Escribano JM., Martins C., Rock DL., Salas ML, Wilkinson PJ. (2005). In:
Virus Taxonomy, VIII th Report of the ICTV, Fauquet C.M., Mayo M.A., Maniloff J,
Desselberger U.& Ball L.A., eds. Elsevier/Academic Press, London, UK, 135–143.
Gregg, D. 2002. Update on Classical Swine Fever (Hog Cholera). Journal of Swine
Health and Production., 10(1):33-37.
Malogolovkin, A., Burmakina, G., Titov, I., Sereda, A., Gogin, A., Baryshnikova, E. &
Kolbasov, D. 2015. Comparative analysis of African swine fever virus genotypes and
serogroups.
OIE Manual of Diagnostic Test and Vaccines for Terrestial Animal. 2019. Home/eng/animal-
healt-in-the-World/docs/pdf/disease-cards/Africa Swine Fever.pd diakses pada 20 maret
2020.
OIE Manual Terrestial. 2019. Africa Swine Fever (Infection Africa Swine Fever Virus).
Chapter 3.8.1, hal. 1-18.pdf.
OIE. 2020. Classical Swine Fever dalam OIE Terrestrial Manual www.oie.int. hal
1092-1106.
Retnaningsih T W. 2019. Mengenal Demam Babi Afrika atau African Swine Fever
(ASF). Medik Veteriner Muda
LAPORAN KOASISTENSI
KASUS MANDIRI VIROLOGI
BABI SUSPECT African Swine Fever (ASF)
OLEH
Nim. 1509010023
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN
KUPANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Ternak babi merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat efisien dan
mempunyai arti ekonomi sebagai ternak potong karena persentase karkas babi cukup
tinggi, yaitu dapat mencapai 65-80%, sedangkan karkas sapi hanya 50–60 % (Berata et
al., 2009). Usaha peternakan babi merupakan bagian kebudayaan dalam kehidupan
Timur (NTT). Berdasarkan hasil statistik yang diperoleh dari Direktorat Jenderal
Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi dengan populasi ternak babi tertinggi di
Indonesia.
Umumnya masyarakat yang beternak babi secara tradisional memiliki pengetahuan
yang masih kurang mengenai masalah manajemen, kesehatan, pakan, serta perkandangan.
Hal tersebut menyebabkan sering dijumpai masyarakat yang mengalami kegagalan dalam
beternak babi, terutama terkait dengan masalah kesehatan atau penyakit ternaknya
2013). Oleh karena itu pentingnyang pengetahuan tentang penyakit yang sering muncul
penyakit. Penyakit yang saat ini sering menyerang babi khususnya di pulau NTT
diantaranya African Swine Fever (ASF) dan Classical Swine Fever (CSF) atau Hog
Cholera.
African Swine Fever (ASF) atau dikenal dengan demam babi Afrika merupakan
penyakit infeksius pada babi bersifat hemoragik yang disebabkan oleh virus DNA
beruntai ganda, dalam family Asfarviridae dan genus Asfivirus. Virus ini menyebabkan
demam berdarah dengan tingkat kematian yang tinggi pada babi domestik dan babi liar.
Hog cholera adalah penyakit viral pada babi yang bersifat menular, penyakit ini
disebabkan oleh virus dari genus Pestivirus, familia Flaviviridae, yang menyerang babi
dari segala umur (Sarosa et al., 2004). Kedua jenis penyakit ini memiliki potensi untuk
berdampak negatif pada sosial ekonomi, menyebabkan kematian hewan yang tinggi dan
menyebabkan keresahan pada masyarakat. Penyakit ini memiiki tingkat morbiditas dan
1.2 Tujuan
penanggulangannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
Penyakit ASF disebabkan oleh virus ASF, yang merupakan virus DNA beruntai ganda
genus Asfivirus. Hingga saat ini virus ASF hanya memiliki satu serotipe meskipun terdapat
23 genotipe dengan virulensi yang bervariasi (Rodriguez et al. 2015). Meskipun virus ASF
mempunyai satu serotipe, namun penelitian terakhir menyatakan bahwa virus ASF dapat
membedakan dengan virus Classical Swine Fever (CSF) (Malogolovkin et al. 2015).
Virus ASF bertahan dalam waktu yang lama pada suhu rendah, namun dengan
pemanasan 56°C selama 70 menit dan 90°C selama 30 menit virus ini akan inaktif, selain itu
virus ini bertahan lama dalam darah, feses, jaringan dan dapat berkembang biak dalam vektor
Ornithodoros sp.). Penyimpanan virus ASF pada suhu -80°C dapat bertahan selama bertahun-
tahun, sedangkan pada suhu -20°C bertahan hingga 65 minggu. Virus ini juga tahan terhadap
beberapa bahan kimia seperti tripsin dan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). Virus
ASF dalam darah (viraemia) yang disimpan dalam keadaan dingin dapat bertahan selama 75
minggu, sedangkan pada medium transport dapat bertahan selama 12 hari. Oleh karena itu,
transportasi sampel lapang harus mengikuti sistem rantai dingin agar virus tetap hidup. Virus
ini juga tidak tahan hidup dalam kondisi antara pH 3,9 hingga 13,4. Berdasarkan sifat
kimianya, virus ini akan inaktif terhadap eter, kloroform, natrium hidroksida, hipoklorit,
0,5% klorin, 3/1000 formalin selama 30 menit, 3% orthophenylphenol selama 30 menit dan
Virus ASF dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama dalam darah, feses dan
jaringan, produk daging babi mentah atau kurang matang. Virus ASF dapat terdeteksi pada
daging dengan dan tanpa tulang dan daging giling selama 105 hari, pada daging yang
diasinkan 182 hari, daging yang diasap 30 hari, daging yang dimasak (minimal 30 menit pada
70°C) 0 hari, daging kering 300 hari, daging dalam keadaan dingin 110 hari, daging beku
1.000 hari, jeroan babi 105 hari, kulit/lemak (bahkan dikeringkan) 300 hari, darah disimpan
pada suhu 4°C 18 bulan, kotoran pada suhu kamar 11 hari, darah membusuk 15 minggu dan
tergantung dari virulensi strain dan status antibodi yang menginfeksi, yaitu :
Bentuk per akut ASF menunjukkan gejala klinis seperti kematian sangat
erithrema (pada sekitar telinga dan badan), diare (terkadang disertai darah),
muntah, batuk dan sesak nafas, leukopenia dan trombositopenia (pada 48-72
makan hilang, dan depresi, kadang disertai dengan abortus pada babi bunting.
Bentuk kronis menunjukkan gejalan klinis seperti nafsu makan tidak ada,
tidak demam atau suhu normal, pernapasan cepat, nekrosis kulit, borok kulit
Penyakit ASF sering dikelirukan dengan penyakit lainnya seperti Classical Swine
Fever (Hog Cholera), Pig Respiratory and Reproductive Syndrome (PRRS) disebabkan oleh
pneumonia dan rentan terhadap infeksi bakteri namun PRRS belum ditemukan di Indonesia,
Erysipelas dan penyakit babi yang menyebabkan septikemia lainnya. Gejala penyakit Hog
Cholera di lapangan sering mirip dengan penyakit ASF, sehingga pemeriksaan laboratorium
2015).
2.1.3 Patogenesis
Penularan penyakit ASF dapat terjadi melalui kontak langsung maupun tidak
langsung dan melalui gigitan kutu caplak (Ornithodorus sp) yang telah mengandung virus
ASF. Penularan secara kontak langsung melalui cairan tubuh hewan yang terinfeksi seperti
air liur, sekresi pernapasan, urin dan feses, sedangkan kontak tidak langsung melalui fomit
atau benda-benda lain yang tercemar virus ASF termasuk pemberian pakan sampah (swill
feeding) baik dari pesawat maupun restoran yang mengandung daging babi yang tercemar
virus ASF, kendaraan pengangkut babi yang terinfeksi, pakaian dan peralatan makan babi
yang telah tercemar virus ASF dan melalui lalu lintas babi sakit (Kipanyula & Nong’ona
2017).
Faktor utama penyebab terjadinya siklus penularan ASF adalah populasi babi yang
tinggi, sistim peternakan ekstensif dan biosekuriti yang tidak ketat serta penggunaan swill
feeding sebagai pakan babi, melalui jalur transportasi, melalui rantai penjualan babi di pasar
seperti rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan akan penyakit ASF seperti gejala klinis,
2.1.3 Epidemiologi
Penyakit ASF pertama kali ditemukan di Afrika Kenya pada tahun 1921, yang
sehingga penyakit ini menjadi endemik di Afrika pada babi (FAO 2018). Situasi ASF di Asia,
pertama kali terjadi di Cina pada tahun 2018 (Zhao et al. 2019), penyakit ini telah menyebar
ke Mongolia (Januari 2019), Vietnam (Februari 2019), Kamboja (Maret 2019), Hongkong
dan Korea Utara (Mei 2019), Laos (Juni 2019) dan kemudian ke Myanmar (Agustus 2019),
Philipina, Korea Selatan dan Timor Leste (September 2019) (OIE 2019). Indonesia masih
dinyatakan bebas ASF hingga bulan September 2019, namun pada bulan Oktober 2019
dilaporkan banyak kematian pada babi di Sumatera Utara. TTS (Timor Tengah Selatan),
Kabupaten Kupang, kota Kupang, Kabupaten Lembata, Kabupaten Sikka dan Kabupaten
pemeriksaan post mortem. Uji virologis yang cepat dan akurat sangat diperlukan untuk
Deteksi antibodi terhadap ASF dapat dilakukan dengan uji serologi seperti uji ELISA,
Hemaglunisasi Inhibisi dan Immunodot blot. Sedangkan uji deteksi virus ASF dilakukan
dengan uji fluorescent antibodi (DFA), real time PCR (RT-PCR), Fluoresce Antibody Test
(FAT), . Namun PCR dan ELISA merupakan diagnosis baku dan paling sering digunakan
Sampel yang dapat dikoleksi diantaranya serum untuk pemeriksaan serologi dan
untuk uji virologik berupa organ seperti limpa, hati, tonsil, ginjal, limfoglandula, jantung dan
paru atau darah dalam EDTA, swab nasal dan swab rektal. Untuk pengujian RT-PCR, dapat
menggunakan sampel seperti tanah yang telah terkontaminasi cairan tubuh babi atau tempat
pemotongan babi secara tradisional, air minum babi, sisa makanan atau tempat pembuangan
feses/manure (Chenais et al. 2017). Pemeriksaan FAT menggunakan inokulasi leukosit babi
Pencegahan dan kontrol penyakit ASF belum dapat dilakukan dengan vaksinasi
maupun obat antiviral karena belum tersedia secara komersial. Bagi negara yang masih
dinyatakan bebas ASF, maka beberapa pencegahan yang dapat dilakukan antara lain
peningkatan karantina dan biosekuriti yang ketat, membatasi lalu lintas babi dan pengurangan
populasi ternak babi yang sakit dan terpapar. Disamping penerapan biosekuriti yang baik,
mengurangi kontak dengan pakan/ alat yang tercemar seperti penggunaan swill feeding
sebagai pakan ternak babi dan pengolahan limbah pesawat, serta pengetatan barang bawaan
penumpang pesawat dan kapal laut perlu dilakukan. Hingga saat ini belum ditemukan vaksin
untuk ASF.
2.2.1 Etiologi
Hog cholera (HC) atau classical swine fever (CSF) adalah penyakit viral yang sangat
menular pada babi yang sudah didomestikasi dan babi liar (Sus domestica and Sus scrofa)
(Donahue et al., 2012). Penyakit hog cholera disebabkan oleh virus dari familia Flaviviridae
dan genus Pestivirus. Virus ini memiliki hubungan kedekatan dengan bovine viral diarrhoea
(BVD) dan Border Disease (BD) (OIE, 2020). Virus ini berbentuk bundar dengan diameter
berkisar 40-50 nm, memiliki nukleokapsid yang berbentuk heksagonal dengan ukuran sekitar
29 nm dan mengandung material genetik RNA berbentuk single stranded berpolaritas positif.
Virus hog cholera merupakan virus yang sangat rentan terhadap keadaan lingkungan.
kelembapan, pH, keberadaan organisme lainnya serta paparan bahan kimia (Edwards, 2000).
Virus ini dapat diinaktifkan dengan cara memanaskan daging pada suhu 65,50 C selama 30
menit atau 90-1000C selama satu menit. Virus ini dapat bertahan hidup berbulan-bulan dalam
daging dingin dan bertahun-tahun dalam daging beku. Virus juga dapat bertahan pada daging
yang diawetkan dengan metode penggaraman dan pengasapan selama 17 sampai 180 hari.
Virus ini stabil pada pH 5-10 dan inaktif dengan cepat pada pH 10 (OIE, 2020). Virus ini
dapat bertahan dengan baik di kandang selama kondisi dingin (hingga 4 minggu di musim
dingin). Bertahan 3 hari pada suhu 50 ° C dan 7-15 hari pada suhu 37 ° C. Selain itu, virus ini
dapat bertahan 3-4 hari di organ yang membusuk dan 15 hari di darah dan sumsum tulang
yang telah membusuk (OIE, 2020). Namun demikian, virus ini sangat sensitif terhadap
2.2.2 Patogenensis
Virus hog cholera (HC) diketahui hanya dapat menyerang babi yang sudah
didomestikasi dan babi liar (Sus domestica and Sus scrofa) (Donahue et al., 2012). Jalur
utama penularannya adalah melalui oronasal yaitu dengan kontak langsung maupun tidak
langsung dengan babi yang terinfeksi HC ataupun lewat makanan yang telah terkontaminasi
virus ini (Moennig et al., 2003). Virus ini disebarkan melalui cairan mulut, mata, hidung, urin
maupun feses ternak yang terinfeksi. Virus HC juga dapat menular melalui peralatan
peternakan ataupun pekerja kandang. Selain itu, CSFV dapat pula menular secara vertikal
dari induk ke anak. Infeksi kongenital HC yang terjadi apada awal kebuntingan dapat
mengakibatkan aborsi. Apabila induk terinfeksi virus HC pada masa kebuntingan 42-67 hari
maka tinggi resiko terjadi mumifikasi dan stillborn dan bila induk terinfeksi pada hari 6 ke-68
sampai 88 dari kebuntingan maka anak akan lahir dengan viremia (Dewulf et al.,2001). Pada
peternakan dengan tingkat kepadatan yang tinggi, virus HC lebih cepat menyebar.
Pada umumnya, HC relatif lebih gampang menyerang babi muda namun babi dewasa
yang belum pernah mendapat vaksinasi juga sangat rentan terhadap infeksi CSF (Dahle dan
Liess, 1992). Penularan virus dapat terjadi dari hewan yang belum menunjukan gejala klinis
dan hewan yang terinfeksi ke hewan lain. Pada babi yang sembuh dari infeksi HC namun
belum memiliki antibodi protektif, virus masih dapat ditularkan ke babi lain. Pada hewan
yang menderita HC akut, virus virulen dapat disebarkan ke lingkungan selama 10-20 hari
sedangkan Pada hewan yang menderita HC kronis, virus disebarkan secara intermitten ke
lingkungan.
demam (41°C), anoreksia, lesu, hiperemia multifokal atau lesi hemoragik pada kulit,
anggota badan, ekor, moncong), konstipasi sementara diikuti oleh diare, sesekali muntah,
dispnea, batuk, ataksia, paresis, kejang, babi berkerumun bersama, kematian terjadi 5-25 hari
setelah timbulnya penyakit, dan mortalitas pada babi muda dapat mendekati 100% (OIE,
2020).
Gejala klinis variasi bentuk kronis pada strain virus yang kurang virulen dan babi
dengan status imun sebagian, meliputi nafsu makan berubah-ubah, demam, diare hingga 1
bulan, pertumbuhan yang lambat, performa reproduksi yang buruk, pemulihan nyata dengan
kambuh dan kematian akhirnya dalam waktu sekitar 3 bulan. Bentuk kongenital tergantung
pada virulensi jenis virus dan tahap kebuntingan dengan beberapa gejala, yaitu: kematian
janin, mumifikasi, stillbirth, aborsi, tremor, kelemahan, pertumbuhan yang buruk selama
beberapa minggu atau bulan dan menyebabkan kematian, dilahirkan secara klinis normal
tetapi viremia persisten tanpa respons antibodi yang menyebabkan kematian dalam waktu 6-
2.2.4 Epidemiologi
Kejadian hog cholera di Indonesia dicurigai berasal dari Malaysia dan dilaporkan
untuk pertama kali di Sumatra Utara pada tahun 1994 (Leslie et al., 2015) dan secara
bertahap menyebar ke Jawa pada awal tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun
1995 dan terus menyebar luas ke wilayah timur Indonesia (Ratundima et al., 2012).
Hog cholera pertama kali masuk ke wilayah NTT pada tahun 1997 di wilayah Pulau
Sumba dan Pulau Flores. Namun pada saat itu belum diperoleh informas yang pasti.
Identifikasi dan konfirmasi ini baru diperoleh pada kasus hog cholera di Kota Kupang pada
tahun 1998. Sejak saat itu wilayah NTT masuk dalam daftar provinsi yang terinfeksi hog
Tindakan yang paling efektif untuk mencegah atau mengendalikan penyakit adalah
melakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin aktif yang sudah diatenuasi. Keberhasilan
program vaksinasi sangat tergantung dari strain, dosis dan aplikasi vaksin serta status
kesehatan hewan yang divaksinasi. Pengendalian dapat dilakukan dengan melalui tindakan
karantina. Tindakan penutupan sementara dilakukan terhadap farm tertular. Semua babi yang
pernah kontak dan tertular HC dilakukan isolasi, stamping out atau tindakan pemotongan
bersyarat. Lalu lintas ternak babi dan hasil olahannya dari daerah tertular dilarang keluar atau
diperjual belikan. dan di lokasi kasus dicantumkan tanda larangan “Awas Penyakit Menular”.
Sesuai dengan peraturan International Terrestial Animal Health Code (OIE) dan European
Community (EC) negara pengekspor babi dan hasil olahannya ke negara bebas HC harus
BAB III
METODOLOGI
3.1 Materi
kecamatan Kupang Tengah. Sampel darah yang telah diambil selanjutnya dibawa ke
Alat dan bahan yang digunakan adalah thermometer, kapas, venoject, tabung vacuum
3.2 Metode
Metode pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara mengambil darah pada babi
yang menunjukkan gejala sakit pada vena jugularis, lalu sampel darah dimasukkan
kedalam tabung non-EDTA. Setelah serum darah yang telah terbentuk dalam tabung
BAB IV
4.1 Hasil
a. Data Pemilik
Nama Pemilik : Bapak Alex
Alamat : Desa Mata Air, Kecamatan Kupang Tengah
Mahasiswa Koas : Maria Taroci Ka’auni
b. Data Hewan
Jenis hewan : Babi
Ras : Duroc
Umur : 8 bulan
Warna bulu : Putih
c. Keadaan Umum Hewan
Berdasarkan pengamatan di lapangan, gejala yang tampak pada babi kasus
adalah lemas dan tidak mampu untuk berjalan, tidak makan dan hanya minum air,
terdapat bintik-bintik merah diseluruh tubuh, suhu tubuh mencapai 40,60C.
d. Anamnesa
Hasil anamnesa kepada pemilik menunjukkan bahwa babi sudah mengalami
gejala klinis selama 1 hari. Beberapa babi dengan gejala yang sama sudah mengalami
kematian disekitar daerah tersebut, lalu bangkai babi tersebut dibuang disekitar daerah
tersebut. Pemilik mengatakan bahwa babi tersebut sudah pernah diberi vaksin hoc
cholera. Babi yang sakit dipisahkan dari babi sehat.
e. Pemeriksaan laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dari sampel darah babi yang
dibawa ke UPT Veteriner menunjukkan bahwa hasilnya negatif. Namun berdasarkan
hasil wawancara, pemeriksaan fisik dan gejala klinis yang ditunjukkan oleh hewan
kasus, maka suspect babi tersebut mengarah ke African Swine Fever (ASF).
Gambar 1. Hasil pemeriksaan suhu dan gejala klinis pada babi
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala klinis yang ditunjukkan oleh babi
tersebut, maka suspect mengarah ke African Swine Fiver (ASF). Hal ini karena dilihat dari
status epidemiologi mengenai penyebaran penyakit ASF, dimana untuk saat ini kejadian ASF
sedang meningkat di kota kupang. Selain itu juga, pernyataan dari pemilik ternak bahwa babi
tersebut sudah pernah diberi vaksin Hoc Cholera sehingga hal ini memungkinkan bahwa babi
tersebut terinfeksi ASF. Namun jika dilihat dari perubahan gejala klinis, ASF dan Hoc
cholera sulit untuk dibedakan. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
ke-20) ke-20)
9 Tingkat kematian 100% Tingkat kematian 100%
10 - Konjungtivitis
11 - Bergerombol
12 Babi pingsan atau lemas Babi pingsan atau lemas
Sumber: OIE (2020)
Tabel 2. Perbedaan perubahan patologi anatomi ASF dan hog cholera pada babi
menjadi hitam dan petekie pada adanya pembendungan dan infark pada
permukaannya. limpa.
5 Hemoragi dan juga titik berwarna Perdarahan ptekie pada submukosa dan
pulmo.
7 - Ensefalomeitis
8 - Tonsilitas
9 - Petekhie eccimose epiglottis, kandung
Penyebaran ASF yang terjadi di kota kupang dapat terjadi melalui kontak langsung
antar ternak yang terinfeksi melalui cairan tubuh hewan seperti air liur, sekresi pernapasan,
urin dan feses, sedangkan kontak tidak langsung melalui fomit atau benda-benda lain yang
tercemar virus ASF termasuk pemberian pakan sampah (swill feeding) baik dari pesawat
maupun restoran yang mengandung daging babi yang tercemar virus ASF, kendaraan
pengangkut babi yang terinfeksi, pakaian dan peralatan makan babi yang telah tercemar virus
ASF dan melalui lalu lintas babi sakit (Kipanyula & Nong’ona 2017).
Faktor utama penyebab terjadinya siklus penularan ASF adalah populasi babi yang
tinggi, sistim peternakan ekstensif dan biosekuriti yang tidak ketat serta penggunaan swill
feeding sebagai pakan babi, melalui jalur transportasi, melalui rantai penjualan babi di pasar
seperti rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan akan penyakit ASF seperti gejala klinis,
Hingga saat ini belum ditemukan adanya vaksin untuk ASF. Sehingga perlu dilakukan
pencegahan dan kontrol penyakit ASF dimana bagi negara yang masih dinyatakan bebas
ASF, maka beberapa pencegahan yang dapat dilakukan antara lain peningkatan karantina dan
biosekuriti yang ketat, membatasi lalu lintas babi dan pengurangan populasi ternak babi yang
sakit dan terpapar. Disamping penerapan biosekuriti yang baik, mengurangi kontak dengan
pakan/ alat yang tercemar seperti penggunaan swill feeding sebagai pakan ternak babi dan
pengolahan limbah pesawat, serta pengetatan barang bawaan penumpang pesawat dan kapal
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis, gejala klinis dan anamnesa yang diperolah
maka kondisi hewan kasus tersebut mengarah pada suspect terinfeksi penyakit African Swine
Fever (ASF).
DAFTAR PUSTAKA
fever virus infection in Classical swine fever subclinically infected wild boars. BMC
breaches and within-farm virus contamination. Trop Anim Health Prod. 49:337-346.
Indonesia.
infection with classical swine fever virus in pregnant sows:transmission of the virus,
course of the disease, antibody response and effect on gestation. Journal of Veterinary
2000. Classical swine fever: the global situation. Veterinary microbiology, 73(2), 103-
119.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2018. African Swine Fever
I8805EN/i8805en.pdf.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2021. ASF (African Swine
Fever) situation in asia and pacific update. [Internet]: [accessed 4nd February 2021].
Available from:
http://www.fao.org/ag/againfo/programess/en/empres/ASF/situation_update. Html.
Kementrian Pertanian. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta: subdit pengamatan
penyakit hewan.
Kipanyula MJ, Nong’ona SW. 2017. Variations in clinical presentation and anatomical
distribution of gross lesions of African swine fever in domestic pigs in the southern
Leslie EE, Geong M., Abdurrahman M., Ward MP dan Toribio JAL. 2015. A description of
2015. Comparative analysis of African swine fever virus genotypes and serogroups.
OIE. (2019). Classical Swine Fever Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial
setting/terrestrial-manual/access-online
OIE. 2019. Classical Swine Fever: Aetiology Epidemiology Diagnosis Prevention and
https://www.oie.int/en/animal-health-in-the- world/animal-diseases/Classical-swine-
fever/
OIE. 20202. Classical Swine Fever. [Internet]: [accessed 4nd February 2021].
https://www.oie.int/animal-health-in-the-world/official-disease-status/classical-swine-
fever
Sanchez-Vizcano JM, Mur L, Gomez-Villamandos JC, Carrasco JL. 2015. An update on the
Sendow Indrawati, A Ratnawati, NLPI Dharmayanti dan M Saepulloh. 2020. African Swine
Simarmata YTRMR, Tophianong TC, Amalo FA, Nitbani H, Lenda V. 2020. Gambaran
patologi anatomi pada babi landrace suspect african swine fever (asf) di kabupaten
Rodriguez JM, Moreno LT, Alejo A, Lacasta A, Rodriguez F, Salas ML. 2015. Genome
sequence of African swine fever virus BA71, the virulent parental strain of the
African swine fever virus isolated in China. Emerging Microbes Infect. 8:438-447.
LAPORAN KOASISTENSI
OLEH
JESSICA V. E. MAUBANA, S. KH
Nim. 1509010033
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Mendiagnosa penyakit berdasarkan pemeriksaan klinis dan uji laboratorium.
BAB II
MATERI DAN METODE
2.1 Materi
Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel dan pengiriman sampel
adalah darah babi yang diambil dari Vena Auricularis, syringe 3 ml, tabung darah tutup
merah, kapas, alkohol, tabung ependorf.
Tempat pengambilan sampel dan pengiriman sampel
Pengambilan sampel darah dilakukan di rumah warga Tanah Putih, Kupang Timur.
setelah itu dilakukan persiapan sampel dan selanjutnya sampel darah dibawa ke
Laboratorium UPT Veteriner Oesapa, Kupang.
2.2 Metode
Metode pengambilan sampel
Metode pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara mengambil darah babi
yang mempunyai gejala klinis menyerupai African Swine Fever (ASF) pada vena
auricularis.
Kemudian sampel darah dimasukkan ke dalam tabung non-EDTA (tabung tutup
merah) untuk mendapatkan serum yang kemudian dimasukan dalam tabung
ephendorf.
Kemudian serum darah tersebut di bawa ke Laboratorium UPT Veteriner Oesapa,
Kupang untuk dilakukan pemeriksaan dengan ELISA.
Metode Pemeriksaan Sampel
Pemeriksaan sampel dilakukan oleh petugas Laboratorium UPT Veteriner Oesapa,
Kupang.
BAB III
a. b.
c. d.
Gambar 2. Keadaan Umum Hewan Kasus - (A) Babi kasus terlihat fatigue (B)Adanya
erythema di daun telinga babi serta dilakukannya pengambilan darah dari
vena auricularis; (C) Pengecekan suhu 41,5oC (demam) (D) Babi kasus
terlihat fatigue.
2.4 Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan serum darah babi yang dilakukan oleh Laboratorium
UPT Veteriner Oesapa menunjukkan bahwa serum darah babi kasus dinyatakan negatif.
Berdasarkan keterangan dari pemilik, babi belum pernah di vaksinasi dan terdapat
beberapa kematian di tetangga sekitar dengan gejala serupa.
Salah satu uji serologis yang dapat digunakan untuk mendeksi Virus ASF adalah
ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) Prinsip utama teknik ELISA adalah
penggunaan indikator enzim untuk reaksi imunologi. ELISA digunakan untuk mendeteksi
IgG yang diproduksi setelah infeksi (Akonor et al., 2018). Beberapa karakteristik yang
paling menonjol dari metode ini adalah tingginya indeks sensitivitas dan spesifitas,
kecepatan tinggi, biaya rendah dan interpretasi hasil yang mudah dan cepat memproses
hasil dari populasi yang besar. Dalam teknik ini, antibodi ditandai dalam teknik tertentu.
Saat antigen dan antibodi berikatan satu sama lain, enzim menyebabkan reaksi yang
menghasilkan perubahan warna dengan demikian dapat mengidentifikasi dan melihat
adanya ASF (Beltran et al., 2017).
Hasil negatif pada tes ELISA yang didapat menunjukkan bahwa di dalam serum babi
kasus yang dicurigai ASF karena gejala yang ditimbulkan tidak menunjukan adanya
antibodi terhadap virus ASF. Hasil negatif ini berarti bisa dikatakan gejala klinis yang
timbul bukanlah disebabkan oleh ASF. Beberapa penyakit pada babi memiliki gejala
serupa ASF. Sehingga diagnosa banding yang dapat diberikan adalah penyakit Hog
Cholera (CSF), cacar babi (swinepox), ptyriasis rosea, dermatitis vegetative, alergi kulit
(Kementan, 2014).
Penyakit Hog Cholera memiliki gejala klinis yang sama dengan kasus yaitu pada
bentuk klasik HC merupakan infeksi akut yang disertai demam tinggi, kelesuan,
penurunan nafsu makan, lesi merah pada kulit dan pada bentuk akut ditandai dengan
anoreksia, depresi, suhu meningkat sampai 41-42º C berlangsung selama 6 hari. Jumlah
leukosit menurun (leukopenia) dari 9.000 menjadi 3.000/ml darah. Penyakit swine pox
juga memiliki gejala klinis yang sama yaitu demam dan erythema pada kulit. Sementara
itu adanya lesi pada kulit juga dapat dikelirukan dengan alergi kulit, erysipelas, ptyriasis
rosea, dermatitis vegetatif, scabies, kelainan nutrisi dan infestasi ektoparasit lainnya
(Kementan, 2014).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan serologi serum darah ayam, dapat diambil kesimpulan
bahwa babi kasus tidak terinfeksi ASF.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Akonor M., Kwasi O., Paa T., & Holly S. (2018). Widespread exposure to infectious
bronchitis virus and Mycoplasma gallisepticum in chickens in the Ga-East district of
Accra, Ghana. Coagent Foof & Agriculture, (4) 1439260,1-11.
Beltrán-Alcrudo D, Arias M, Gallardo C, Kramer S, Penrith ML. 2017. African swine fever:
detection and diagnosis – A manual for veterinarians. FAO Animal Production and
Health Manual No. 19. Rome (Italy): Food and Agriculture Organization of the United
Nations.
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. 2020.“Cegah
Penyebaran Kasus, Kementan Petakan Kasus Kematian Babi Di NTT”.Diakses tanggal
8 Juni 2020.
Montgomery E. 1921. On a form of swine fever occurring in British East Africa (Kenya
colony), J Comparative Path Therapeu. 24:159-191.
OIE, (OIE) The World Oragnisation for Animal Health. 2019. “African Swine Fever.” ASF
Situation. Vol. 27. Paris. https://doi.org/10.1016/j.
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI African Swine Fever (ASF) PADA TERNAK BABI
OLEH
Nim. 1509010037
KUPANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut disebabkan karena ternak babi
merupakan sumber protein dan salah satu usaha rumah tangga yang penting sebagai
sumber penghasilan. Beberapa penyakit yang menyerang babi sering disebabkan oleh
virus, bakteri dan parasit. Salah satu penyakit virus yang pada saat ini telah banyak
menyebabkan kematian ternak babi di Kota Kupang adalah African Swine Fever (ASF).
Kejadian ASF yang terjadi di pulau timor diduga berasal dari Timor Leste. Pemerintah
Dili telah melaporkan outbreak ASF di Dili pada tanggal 9 februari dan terkonfirmasi
merupakan virus ASF pada tanggal 26 september 2019. Kemudian virus ASF mulai
mewabah di Kota Kupang sejak bulan Februari 2020 dan telah dilaporkan kematian
mendadak pada ribuan ternak babi di berbagai wilayah di pulau timor terkhususnya Kota
Kupang. Akibat wabah tersebut kerugian ekonomi cukup besar dirasakan oleh peternak
African Swine Fever adalah penyakit menular pada babi yang dapat menyebabkan
kematian pada babi hingga 100% sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat
besar. ASF disebabkan oleh african swine fever virus (ASFV) yang merupakan satu-
satunya spesies virus dalam famili Asfarviridae dan genus Asfivirus.Gejala klinis dari
ASF meliputi demam tinggi, nafsu makan menurun, perdarahan pada kulit dan organ
dalam, dan kematian pada 4-10 hari, dan ada hewan yang ditemukan mati tanpa gejala
linked immunosorbent assay (ELISA). Prinsip dari uji ELISA adalah mendeteksi antibodi
terhadap ASF dengan sampel darah dari babi yang diduga terinfeksi ASF. Kelebihan dari
uji ELISA adalah dapat dilakukan dalam waktu empat jam, tidak menggunakan virus
hidup, tidak memerlukan laboratorium dengan fasilitas biosekuriti yang tinggi, dan dapat
dilakukan dalam jumlah sampel yang lebih banyak. (Fenner et al, 1993). ELISA dan Real
time PCR merupakan diagnosis baku dan paling sering digunakan (Chenais et al. 2017).
1.2 Tujuan
Untuk menegakkan diagnosa penyakit berdasarkan gejala klinis dan hasil pengujian
laboratorium.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. African Swine Fever (ASF)
a. Etiologi
African swine fever (ASF) atau dikenal dengan demam babi Afrika merupakan
penyakit infeksius pada babi bersifat hemoragik yang disebabkan oleh virus DNA
beruntai ganda, dalam family Asfarviridae dan genus Asfivirus. Virus ASF hanya
bervariasi (Rodriguez et al. 2015). Meskipun virus ASF mempunyai satu serotipe,
b. Karakteristik Virus
Virus ASF sangat tahan terhadap perlakuan fisik seperti beku cair, ultrasonografi
dan suhu rendah, namun dengan pemanasan 56°C selama 70 menit dan 90°C
selama 30 menit, virus ini akan inaktif. Penyimpanan virus ASF pada suhu -80°C
hingga 65 minggu. Virus ini juga tahan terhadap beberapa bahan kimia seperti
tripsin dan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). Virus ASF dalam darah
minggu, sedangkan pada medium transport dapat bertahan selama 12 hari. Oleh
karena itu, transportasi sampel lapang harus mengikuti sistem rantai dingin agar
virus tetap hidup. Virus ini juga tidak tahan hidup dalam kondisi antara pH 3,9
hingga 13,4. Berdasarkan sifat kimianya, virus ini akan inaktif terhadap eter,
kloroform, natrium hidroksida, hipoklorit, 0,5% klorin, 3/1000 formalin selama
Virus ASF dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama dalam darah, feses dan
jaringan, produk daging babi mentah atau kurang matang. Virus ASF dapat
terdeteksi pada daging dengan dan tanpa tulang dan daging giling selama 105
hari, pada daging yang diasinkan 182 hari, daging yang diasap 30 hari, daging
yang dimasak (minimal 30 menit pada 70°C) 0 hari, daging kering 300 hari,
daging dalam keadaan dingin 110 hari, daging beku 1.000 hari, jeroan babi 105
hari, kulit/lemak (bahkan dikeringkan) 300 hari, darah disimpan pada suhu 4°C
18 bulan, kotoran pada suhu kamar 11 hari, darah membusuk 15 minggu dan
Panasiuk et al. 2019b). Sedangkan pada pinjal berkulit lunak (soft ticks) seperti
c. Gejala Klinis
bentuk perakut, akut, sub akut dan kronis. Pada bentuk perakut biasanya hewan
ditemukan mati tanpa gejala apapun. Pada penyakit bentuk akut, masa inkubasi
berlangsung lebih singkat (3-7 hari), ditandai dengan demam tinggi hingga 42 °C,
pada kulit dan organ dalam, abortus pada babi bunting, sianosis (warna kulit
kebiruan), muntah, dan diare. Kematian biasanya terjadi dalam 5-10 hari setelah
muncul gejala klinis. Angka kematian dapat mencapai 100% dan terkadang
yang rendah, tanda klinis yang muncul lebih ringan dan berlangsung dalam
periode waktu yang lebih lama. Tingkat kematian lebih rendah, berkisar antara
demam intermiten atau berkala, gangguan pernapasan, ulser pada kulit, dan
radang sendi. Bentuk ini jarang ditemukan pada kejadian wabah penyakit.
d. Epidemiologi
Penularan penyakit ASF dapat terjadi melalui kontak langsung maupun tidak
langsung dan melalui gigitan kutu caplak (Ornithodorus sp) yang telah
mengandung virus ASF. Penularan secara kontak langsung melalui cairan tubuh
hewan yang terinfeksi seperti air liur, sekresi pernapasan, urin dan feses,
sedangkan kontak tidak langsung melalui fomit atau benda-benda lain yang
tercemar virus ASF termasuk pemberian pakan sampah (swill feeding) baik dari
pesawat maupun restoran yang mengandung daging babi yang tercemar virus
ASF, kendaraan pengangkut babi yang terinfeksi, pakaian dan peralatan makan
babi yang telah tercemar virus ASF dan melalui lalu lintas babi sakit (Kipanyula
e. Diagnosa
Deteksi antibodi terhadap ASF dapat dilakukan dengan uji serologi seperti uji
ELISA, Hemaglunisasi Inhibisi dan Immunodot blot (Balyshev et al. 2018; Zhao
et al. 2019). Sedangkan uji deteksi virus ASF dilakukan dengan uji fluorescent
antibodi (DFA) dan real time q-PCR (Balyshev et al. 2018; Mazur-Panasiuk &
Woźniakowski 2019a) dan konvensional PCR. Real time PCR dan ELISA
merupakan diagnosis baku dan paling sering digunakan (Chenais et al. 2017).
Sampel yang dapat dikoleksi diantaranya serum untuk pemeriksaan serologi
(Chenais et al. 2017) dan untuk uji virologik berupa organ seperti limpa, hati,
tonsil, ginjal, limfoglandula, jantung dan paru atau darah dalam EDTA, swab
nasal dan swab rektal (Sanchez-Vizcano et al. 2015; Beltran-Alcrudo et al. 2017).
Untuk pengujian RT-PCR, dapat menggunakan sampel seperti tanah yang telah
terkontaminasi cairan tubuh babi atau tempat pemotongan babi secara tradisional,
air minum babi, sisa makanan atau tempat pembuangan feses/manure (Chenais et
al. 2017).
a. Etiologi
Penyakit Classical Swine Fever atau dikenal sebagai hog cholera termasuk
single stranded dan polarity positif (Horzinek, 1981). Virus ini stabil pada pH
antara 4-10 dan peka pada suhu 60°C. virus ini memiliki amplop dan peka
(OIE, 2020). Penyakit Hog cholera pada ternak babi bersifat sangat menular
yang disebabkan oleh virus dan dapat terjadi secara akut, sub akut maupun
kronis dan disertai dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi (OIE, 2020).
b. Gejala Klinis
Menurut OIE (2020), gejala klinis pada babi terdiri atas perakut, akut, subakut
dan kronis.
Bentuk sub akut, ditandai dengan suhu tubuh sedikit lebih ringan dan
Bentuk kronis, akan terlihat batuk, nafsu makan menurun, suhu tubuh
c. Epidemiologi
Cara penularan penyakit ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung.
Secara Lengsung
pembawa virus (carrier), produk asal babi atau bahan dan makanan
tercemar, limbah dari tempat pemotongan hewan atau sisa hotel yang
dan pakaian petugas, serta alat suntik yang dipakai berulang. Jalur
penularan penyakit ini terbagi atas dua yaitu penularan vertical yang
d. Diagnosis
ELISA antigen, dan PCR. Deteksi antibodi dapat dilakukan dengan beberapa
Diagnosa Banding penyakit ini dapat dikelirukan dengan African Swine Fever
a. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus PRRS. Virus PRRS dimasukkan kedalam
genus Asterivirus dari family Togaviridae. Virus ini masuk dalam satu grup
b. Gejala Klinis
Nafsu makan menurun, lesu, sesak nafas, kulit bercak kebiruan. Tingkat
kebuntingan rendah, babi bunting ditandai dengan keguguran, fetus lahir mati,
mumifikasi fetus, anak yang dilahirkan dalam keadaan lemah, anak sedang
c. Epidemiologi
Penyakit ditularkan melalui pernafasan, udara tercemar paling potensial
menyebarkan virus, disamping itu juga melalui semen pada saat kawin alam
atau inseminasi buatan. Penyakit ini terutama menyerang ternak babi semua
umur, akan tetapi yang paling banyak terserang adalah yang berumur muda.
diketahui bahwa penyakit ini dapat bersifat imunosupresif karena babi- babi
pleuropneumoniae. Demikian pula infeksi yang terus menerus dari PRRS dan
Paramyxovirus.
Penyakit ini pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1987,
setelah itu dilaporkan di Kanada, Inggris, Eropa, Asia Tenggara, Malta dan
(Deptan. 2014).
d. Diagnosis
patologis, isolasi dan identifi kasi virus. Virus dapat disolasi secara in vitro
pada biakan sel, selanjutnya virus diidentifi kasi dengan flourescent antibody
(Deptan. 2014)
BAB III
3.1. Materi
Alat
Bahan
Bahan yang digunakan sebagai sampel adalah babi kampung yang diduga
3.2. Metode
darah babi yang mempunyai gejala klinis menyerupai ASF pada vena
auricularis.
mendapatkan serum.
4.1 Hasil
Data Pemilik
Alamat : Tarus
Data Hewan
Ras : Duroc
Umur : 8 Bulan
Warna : Putih
Anamnesa
dipelihara berjumlah 11 ekor, beberapa babi dipelihara pada kandang menyusui dan
beberapa babi digabung pada 1 kandang besar, diketahui babi sudah pernah divaksin
hog cholera saat dibeli, pakan yang diberikan adalah pakan toko, jarak kandang
dengan peternak babi lain ± 100m. Menurut keterangan pemilik, babi mulai tidak
napsu makan 6 hari sebelum dilakukan pengambilan sampel, babi lebih sering minum
air, diketahui tidak ada pergantian pakan yang diberikan, mulai timbul bercak-bercak
merah pada beberapa bagian tubuh, selain itu babi terlihat lemas, beberapa hari
kemudian 6 ekor babi yang dipelihara di kandang tersebut mati mendadak. Pada hari
ke 4 sebelum pengambilan sampel pada 5 babi yang tersisa mulai muncul gejala yang
sama yaitu bercak-bercak merah pada beberapa bagian tubuh. Pada saat di lokasi babi
terlihat lemas dan tidak bisa berdiri, kemudian dilakukan pemeriksaan suhu rektal
Diketahui 2 hari setelah pengambilan sampel, 3 ekor babi termasuk babi yang
diambil sampelnya mati, dan hari berikutnya 2 ekor babi yang tersisa mati.
GAMBAR KETERANGAN
Hasil laboratorium :
4.2 Pembahasan
Berdasarkan gejala klinis yang nampak yaitu babi terlihat lemas, tidak napsu makan,
muncul hemoragi pada kulit di beberapa bagian tubuh, serta demam. Diduga bahwa babi
tersebut mengalami sakit bukan akibat keracunan pakan, Jika dilihat dari pakan yang
diberikan berupa pakan toko, saat diperiksa tidak ditemukan adanya pakan yang berjamur
akan menimbulkan gejala demam, muntah, lemas, diare dan pada beberapa gejala
menimbulakan hepatotoksik (Lucas, 1959), oleh karena bukan disebabkan oleh toksik
akibat pakan yang tercemar sehingga diduga gejala klinis yang timbul akibat terinfeksi
Berdasarkan gejala klinis yang timbul, terdapat satu gejala klinis yang mirip dengan
gejala pada ASF dan Hog Cholera yaitu hemoragi yang muncul pada kulit di beberapa
bagian tubuh. Menurut Retnaningsih (2019) babi yang terinfeksi ASF ditandai dengan
demam tinggi hingga 42 °C, depresi, nafsu makan menurun, malas bergerak, cenderung
berkumpul, hemoragi pada kulit dan organ dalam, abortus pada babi bunting, sianosis
(warna kulit kebiruan), muntah, dan diare. Begitu pun dengan gejala klinis yang timbul
oleh babi yang terinfeksi penyakit hog cholera/CSF pada kasus akut.
Jika dilihat dari beanyaknya kasus yang telah muncul hampir diseluruh wilayah di
pulau timor, gejala pada babi yang terserang penyakit ini mirip dengan gejala ASF yang
mulai mewabah hingga menumbulkan ribuan babi mati mendadak dangan ciri yang sama.
Pada kasus ini babi yang diperiksa mati setelah 6 hari sejak menunjukkan gejala, diduga
gejala yang timbul pada kasus ini adalah akut, dikarenakan hewan menunjukkan gejala
dan mati tiba-tiba, hal ini didukung oleh pernyataan Retnaningsih (2019) Gejala klinis
pada babi terdiri atas perakut, akut, subakut dan kronis. Pada kasus akut, kematian
biasanya terjadi dalam 5-10 hari setelah muncul gejala klinis, selain itu angka kematian
Selain itu riwayat babi telah divaksin hog cholera juga memperkecil kemungkinan
jika babi tersebut terjangkit penyakit hog cholera walaupun tidak menutup kemungkinan
penyakit ini dapat terjadi walaupun babi telah divaksin. Jika dilihat dari gejala yang
timbul maka akan sulit untuk membedakan kedua jenis penyakit tersebut jika hanya
melakukan pemeriksaan klinis dikarenakan gejala yang timbul hampir sama. Oleh karena
menggunakan diagnosis ELISA, teknik diagnosis ELISA merupakan salah satu teknik
serologi yang dapat digunakan untuk mendeteksi patogen secara efektif dan efisien (Halk
&De Boer, 1985). Teknik pengujian ini mampu memeriksa sampel dalam jumlah yang
besar dalam waktu yang singkat, sehingga ideal untuk kepentingan screening.
Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa titer antibodi babi negatif dalam pengujian
ELISA. Penentuan negatif atau positif berdasarkan presentase hasil yang keluar. Jika nilai
dibawah batas yaitu 40% titer antibodi untuk Hog Cholera. Hal ini menunjukan bahwa
babi yang tidak divaksinpun ada kemungkinan ditemukan antibodi. Hal ini bisa terjadi
karena babi sudah mengalami infeksi alam ataupun sudah memiliki maternal antibodi dan
maternal antobodi mampu mentralrisir antigen yang masuk sehingga jumlah titer antibodi
Pada kasus ini sangat sulit untuk membedakan penyakit yang diduga ASF hanya dengan
pemeriksaan klinis, selain itu hasil laboratorium yang negatif menunjukkan babi tersebut
negatif ASF walaupun gejala yang timbul mirip dengan gejala yang timbul akibat wabah
ASF di Kota Kupang. Sehingga diperlukan diagnosa banding penyakit yang mirip
Kedua penyakit ini mirip serta menimbulkan gejala yang sama dengan ASF yaitu : Nafsu
makan menurun, lesu, sesak nafas, kulit bercak kebiruan. Namun pada penyakit PRRS
dapat menunjukkan gejala pernafasan yang berat. Jika dilihat dari mortalitasnya, ASF
dan CSF dapat menimbulkan tinggkat kematian hingga 100% pada babi yang terinfeksi
tergantung pada gejala yang timbul, Pada penyakit PRRS memiliki morbiditas dan
mortalitas yang sama tinggi, selain itu pada gejala pernapasan babi dapat berlangsung
beberapa bulan artinya babi masih memiliki rentan hidup yang lebih lama jika
dibandingkan ASF dan CSF pada kasus akut, penyakit PRRS ini lebih bersifat
penyebaran penyakit PRRS lewat udara dan melalui cairan semen, sedangkan penyakit
ASF dan CSF dapat melalui kontak langsung maupung tidak langsung.
Perbedaan antara penyakit ASF dan CSF :
bangun.
dan leukopenia
Patologi Limpa Limpa berwarna hitam Ptekie dan infark pada Limpa
dan bengkak
Patologi Usus Hemoragi pada dinding Ulcerasi nekrotik pada
usus mukosa
Patologi Ginjal Hemoragi pada ginjal Ptecie pada sub mukosa dan
fluorescent antibodi
2017).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah babi, disimpulkan bahwa babi pada kasus ini
tidak terinfeksi virus ASF, sehingga diagnosa banding dari kasus ini adalah CSF atau
dikelas sebagai Hog Cholera dan PRRS berdasarkan kemiripan gejala klinis yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA
Balyshev VM, Vlasov ME, Imatdinov AR, Titov I, Morgunov S, Malogolovkin AS. 2018.
Biological properties and molecular-genetic characteristics of African Swine Fever
virus isolated in various regions of Russia in 2016–2017. Russ Agric Sci. 44:469-473.
Beltrán-Alcrudo D, Arias M, Gallardo C, Kramer S, Penrith ML. 2017. African swine fever:
detection and diagnosis – A manual for veterinarians. FAO Animal Production and
Health Manual No. 19. Rome (Italy): Food and Agriculture Organization of the
United Nations.
Boinas FS, Wilson AJ, Hutchings GH, Martins C, Dixon LJ 2011. The persistence of African
Swine Fever Virus in field-infected Ornithodoros erraticus during the ASF endemic
period in Portugal. PLoS ONE. 6:e20383.
Fenner F.J., E. P.J. Gibbs, F.A. Murphy, R. Rott, M.J. Studdert and d.o. White. 1993.
Orthomyxoviridae. In: Veterinary Virology. 2ed. Academic Press Inc. California. pp.
545 – 557
Halk, E.L. & De Boer, S.H. 1985. Monoclonalantibodies in plant disease research. Annu.Rev.
Phytopathol, 23: 321-350
Kipanyula MJ, Nong’ona SW. 2017. Variations in clinical presentation and anatomical
distribution of gross lesions of African swine fever in domestic pigs in the southern
highlands of Tanzania: a field experience. Trop Anim Health Prod. 49:303-310.
Lucas.F.C.1995. Toksikologi dasar: Asas, organ sasaran, dan penilaian resiko. Terjemahan
dari Basic Toxicology: Fundamentals, target organs, and risk assesment, oleh
Nugroho, E. Bustami, Z.S dan Darmansyah, I. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Mazur-Panasiuk N, Woźniakowski G. 2019a. The unique genetic variation within the O174L
gene of Polish strains of African swine fever virus facilitates tracking virus origin.
Arch Vir. 164:1667-1672.
Retnaningsih T W. 2019. Mengenal Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF).
Medik Veteriner Muda
Rodriguez JM, Moreno LT, Alejo A, Lacasta A, Rodriguez F, Salas ML. 2015. Genome
sequence of African swine fever virus BA71, the virulent parental strain of the
nonpathogenic and tissue-culture adapted BA71V. PLoS One. 10:p.e0142889.
Sanchez-Vizcano JM, Mur L, Gomez-Villamandos JC, Carrasco JL. 2015. An update on the
epidemiology and pathology of African swine fever. J Comp Pathol. 15:9-21.
Van Oirschot, JT. 2003. Vaccinology of Classical Swine Fever: From Lab to Field.
Veterinary Microbiology 96, 367-384.
Zhao D, Liu R, Zhang X, Li F, Wang J, Zhang J, Liu X, Wang L, Zhang J, Wu X, Guan Y,
Chen W, Wang X, He X Bu Z.2019. Replication and virulence in pigs of the first
African swine fever virus isolated in China. Emerging Microbes Infect. 8:438-447.