Anda di halaman 1dari 130

LAPORAN KASUS MANDIRI

KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIUM VIROLOGI


16-27 MARET 2020

OLEH:

1. KATARINA SABU LEBA, S.K.H 1509010004


2. NOFRIANI R.W NDUN, S.K.H 1509010010
3. FRIST B. HERMANUS FRANCIS, S.K.H 1509010019
4. MARIA TAROCI KA’UNI, S.K.H 1509010023
5. SELVIANI T. DANGUR, S.K.H 1509010028
6. JESSICA V.E. MAUBANA, S.K.H 1509010033
7. ROCHY J. AKAL, S.K.H 1509010034
8. PEDRO Ch. YONATHAN. NOPE, S.K.H 1509010037

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2020

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN


KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIUM VIROLOGI

NO NAMA MAHASIAWA NIM TANDA TANGAN


1. KATARINA SABU LEBA, S.K.H 1509010004 (…………………..)
2. NOFRIANI R.W NDUN, S.K.H 1509010010 (…………………..)
3. FRIST B. H. FRANCIS, S.K.H 1509010019 (…………………..)
4. MARIA TAROCI KA’UNI, S.K.H 1509010023 (……………...…...)
5. SELVIANI T. DANGUR, S.K.H 1509010028 (…………………..)
6. JESSICA V.E. MAUBANA, S.K.H 1509010033 (………………….)
7. ROCHY J. AKAL, S.K.H 1509010034 (………………….)
8. PEDRO Ch. Y. NOPE, S.K.H 1509010037 (………………….)

Mengetahui, Menyetujui,
Koordinator Ketua Program Studi Dokter Hewan,

Dr. drh. Annytha I.R. Detha, M.Si drh. Chyntia D. Gaina, M.Trop,V.Sc
NIP: 19810816 200801 2 013 NIP. 19860605 200912 2 005

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Koasistensi Diagnostik Laboratorium Virologi dengan baik
serta dapat menyelesaikan laporan ini. Laporan ini merupakan pertanggung jawaban tertulis
atas pelaksanaan Koasistensi Diagnostik Laboratorium Virologi yang telah dilaksanakan pada
tanggal 16 Maret 2020 sampai dengan 27 Maret 2020. Pelaksanaan Koasistensi Diagnostik
Laboratorium Virologi ini dapat terlaksana dengan baik dan berjalan dengan lancar berkat
bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan
pengarahan dalam pelaksanaannya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada dosen pengampu mata kuliah Koasistensi Diagnostik Laboratorium Virologi yang
mengarahkan penulis dalam kegiatan koasistensi dan penulisan laporan serta kritik, saran,
dan segala dukungan yang telah diberikan untuk menyempurnakan laporan ini. Penulis
menyadari bahwa laporan ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan diterima dengan senang hati untuk perbaikan lebih lanjut.

Kupang, 4 Maret 2020

Penulis

BIODATA ANGGOTA KELOMPOK KOASISTENSI G2


1. Nama : Katarina Sabu Leba
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Riangbaring, 29 April 1995
Alamat Asal : Desa Riangbaring, Kab. Flores Timur
Alamat Sekarang : Desa Oeltua, Kec. Taebenu, Kab. Kupang
Agama : Katolik
Nomor Telpon : 082359540993

2. Nama Lengkap : Nofriani R. W. Ndun


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Kupang, 12-November-1997
Alamat Asal : Kupang.
Alamat Tinggal di Kupang : Jl. Hevhotan, Lasiana, Kupang.
Nomor Handphone : 082247568878
Alamat Email : ndunnodun@gmail.com

3. Nama Lengkap : Frits Benyamin Hermanus Francis


Nama Panggilan : Frits
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/tanggal lahir : Waingapu, 29 Maret 1998
Alamat Asal : Jalan Hayam Wuruk, Waingapu – Sumba Timur
Alamat Tinggal di Kupang : Jln. Sejahtera 1, Liliba, Kupang
Nomor Handphone : 082340887885
Alamat email : fritsfrancis1402@gmail.com

4. Nama Lengkap : Maria Taroci Ka’auni


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Kefamenanu, 04-Maret-1997
Alamat Asal : Kemamenanu
Alamat Tinggal di Kupang : Jl. Alfa Omega, Lasiana, Kupang.
Nomor Handphone : 082247568900
Alamat Email : tarocikaauni@gmail.com

5. Nama Lengkap : Selviani Trivoningsi Dangur, S.K.H


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/tanggal lahir : Kakor-Pau, 26 November 1996
Alamat Asal : Jln. Dahlia, Ruteng-Manggarai
Alamat Tinggal di Kupang : Jln. Prof. Herman Johanes, Penfui
Nomor Handphone : 085253457223
Alamat email : selvianidangur@gmail.com

6. NamaLengkap : Jessica Vicri Elizabeth Maubana


JenisKelamin : Perempuan
Tempat/tanggalLahir : Kupang, 24 Maret 1999
AlamatAsal : Jl. SaptaMarga II No. 4 Kuanino-Kupang
AlamatTinggal di Kupang : Jl. SaptaMarga II No. 4 Kuanino-Kupang
No. HP : 082247194500
Alamat Email : jessicamaubana12@gmail.com

7. Nama Lengkap : Rochy Jimyanto Akal


Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/Tanggal Lahir : Kalabahi, 06 Juni 1997
Alamat Asal : Jl. Sakura No. 2 Motongbang, Kalabahi-Alor
Alamat Tinggal di Kupang : Perumahan BTN-Kolhua Blok EF 2 No. 220
No. Handphone : 082146459629
Alamat Email : rochyjimyantoakal@gmail.com

8. Nama : Pedro Christovel Yonathan Nope


Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat Tanggal Lahir : Waikabubak, 21 Mei 1997
Alamat Asal : Jl. Sejahtera 1, Liliba
Alamat Sekarang : Jl. Sejahtera 1, Liliba
Agama : Kristen Protestan
Nomor Telpon : 0821 4650 6976

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................................i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ii
BIODATA AGGOTA KELOMPOK..........................................................................iii
DAFTAR ISI...............................................................................................................vii
LAPORAN KASUS MANDIRI KELOMPOK AYAM……......................................1
LAPORAN KASUS MANDIRI KELOMPOK BABI…………………………….….

LAPORAN KOASISTENSI

KOAS DIAGNOSTIK LABORATORIK VIROLOGI


ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Newcastle Disease PADA AYAM BROILER

OLEH

NOFRIANI R W NDUN, S. K. H.

Nim. 1509010010

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peternakan unggas di Indonesia, pada umumnya sampai saat ini masih mengalami
kendala terutama dalam hal penanganan penyakit. Berbagai penyakit unggas setiap saat dapat
mengancam dan sangat merugikan peternak. Salah satu diantaranya adalah Newcastle
Disease merupakan salah satu penyakit unggas yang sangat merugikan peternak dan bersifat
endemik di seluruh Indonesia. Newcastle Disease disebabkan oleh Paramyxovirus-1 (PMV-
1) dan dibedakan menjadi 3 strain, yakni velogenik, mesogenik dan lentogenik (Saif, 2003;
Tjahjati, 2014). Wabah ND umumnya terjadi karena perubahan lingkungan, seperti kenaikan
jumlah populasi yang tidak kebal, perubahan iklim yang menyebabkan stress, perubahan
musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya (musim pancaroba) dan pakan kurang baik
atau sanitasi dan tatalaksana yang kurang baik (Tjahjati, 2014). Sari (2007). Tjahjati (2014),
berpendapat bahwa gejala klinis ND tergantung pada virulensi virus yang menulari, gejala
klinis yang ditimbulkan juga bermacam- macam, mulai dari asymptomatis, gejala pernafasan
ringan disertai dengan gangguan syaraf, atau kombinasi gangguan respirasi, syaraf dan
digesti. Gejala penyakit ini ditandai dengan hilangnya nafsu makan, diare yang kadang
disertai darah, lesu, sesak nafas, megap-megap, ngorok, bersin, batuk, paralysis partialis atau
komplit dan sekali-sekali tortikolis. Produksi telur menurun atau terhenti sama sekali. Angka
kematian mencapai 80 - 00100% yang disebabkan oleh strain velogenik type Asia. Penularan
ND dapat terjadi dari satu hewan ke hewan lain melalui kontak dengan hewan yang sakit dan
bangkai penderita. Newcastle Disease didiagnosa berdasarkan atas epizootologi, gejala klinis,
patologis, virologis serta peneguhan diagnosa melalui pemeriksaan laboratorium dangan
pemeriksaan serologis yaitu isolasi dan identifikasi (Alexander, 2001; Adi et al., 2010).

1.1.1 Data Pemilik


Nama Pemilik : Mama Anastasia Suek
Alamat : Bimoku Lasiana
Mahasiswa Koas : Nofraini R W Ndun
1.1.2 Data Hewan
Jenis hewan : Ayam
Ras : Broiler
Umur : 1 bulan
Warna bulu : Putih

1.1.3. Keadaan Umum Hewan


Hasil anamnesa kepada pemilik menunjukkan bahwa ayam sudah mengalami
gejala klinis sekitar 5 hari yang lalu. Beberapa ayam dengan gejala yang sama sudah
dipisahkan dan berikan kepada tetanggga disekitar tempat pemeliharaan. Pakan yang
diberikan adalah pelet CP 112 dicampur dengan jagung giling dan air minum secara
adlibitum. Pemilik mengatakan ayam pernah diberi vaksin namun tidak diketahui jenis
vaksin yang diberikan, pemilik mengatakan dia membeli vaksin tersebut ditoko
Multiprima. Sebelumnya pernah terjadi gejala penyakit yang sama pada bulan
November 2019.

1.1.4. Anamnesa
Berdasarkan pengamatan di lapangan, gejala yang tampak pada ayam kasus
adalah lemah, adanya leleran dari hidung, dyspnea, ngorok, nafsu makan menurun
dan bulu kusam.
1.1.5 Materi dan Metode
 Materi
 Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel dan pengiriman
sampel adalah darah ayam, syringe 3 ml, tabung vacum non-EDTA, kapas,
alkohol, tabung ependorf.
 Tempat pengambilan sampel dan pengiriman sampel
Pengambilan sampel darah dilakukan pada kandang ayam di Bimoku
Lasiana. Selanjutnya sampel serum darah dibawa ke Unit Pelaksaan Teknis
Veteriner (UPT Veteriner) untuk pengujian HA/HI.
 Metode
 Metode pengambilan sampel
 Metode pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara mengambil
darah ayam yang mempunyai gejala klinis menyerupai Newcastle
Disease (ND) pada Vena brachialis dengan menggunakan syringe 3ml.
Kemudian sampel darah dimasukkan ke dalam tabung non-EDTA untuk
mendapatkan serum selanjutnya tabung diposisikan miring untuk
mempercepat keluarnya serum. Setelah serum terbentuk kemudian
dipindakah kedalam tabung ependorf. Kemudian serum darah tersebut
dibawa ke UPT Veteriner untuk dilakukan pengujian HA/HI.
 Metode Pemeriksaan Sampel
Pemeriksaan sampel dilakukan oleh UPT Veteriner Kupang.

BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN


2.1 Hasil Pemeriksaan
Berdasarkan hasil pemeriksaan serum darah ayam, didapatkan hasil Negatif (Tabel
1). Berdasarkan pengamatan di lapangan, gejala klinis yang tampak pada ayam kasus
adalah lemah, adanya leleran dari hidung, dyspnea, ngorok, nafsu makan berkurang dan
bulu kusam Keadaan umum hewan dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1. Hasil Pengujian Serum Darah Ayam

No Kode Pemilik Kab/Kota Desa Hewan Status Newcastle


Sampel Vaksin Disease
HA/HI
1 1A Novi Kota Lasiana Ayam Vaksin Negatif
Ndun Kupang

Gambar 1. Keadaan umum hewan kasus. (A,B) Keluarnya leleran dari hidung (C)
Bulu kusam (D) ayam tampak lemas

2.2 Pembahasan

Berdasarkan gejala klinis yang terlihat maka dilakukan pengujian serologis untuk
mendeteksi virus ND. Pengujian serologis yang dilakukan di UPT Veteriner Kupang adalah
pengujian HA/HI. Pada Kasus dugaan Newcastle Disease dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan uji HA/HI yang berfungsi untuk mendeteksi ada tidaknya antigen virus.
Kencana et al. (2012) mengungkapkan bahwa virus famili Paramyxoviridae yang merupakan
virus penyebab penyakit ND mempunyai sifat yang dapat mengaglutinasi sel darah merah
unggas. Hemaglutinasi terjadi akibat adanya aktifitas hemaglutinin pada dinding virus.
Adanya aktivitas hemaglutinasi dari virus ND sehingga mampu mengaglutinasi sel darah
merah hewan tertentu, menjadi prinsip dasar dalam uji hemaglutinasi (HA) (WHO, 2013).
Pada prinsipnya uji HI adalah reaksi ikatan antara antibodi yang terkandung dalam serum
yang diperiksa dan jumlah antigen hemaglutinin ND dan AI yang digunakan sebanyak 4 HU
(Haemagglutination Unit). Perlekatan spesifik antara antibodi dan antigen pada molekul HA
akan menghambat perlekatan antara HA virus dan reseptor pada eritrosit. Efek penghambatan
hemaglutinasi ini yang dijadikan dasar untuk uji HI (Hewajuli dan Dharmayanti, 2008).

Hasil pemeriksaan yang dilakukan di UPT Veteriner kupang menujukan hasil negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa di dalam tubuh ayam tersebut tidak ditemukan adanya antibodi
terhadap virus ND, kemungkinan karena ayam belum pernah terinfeksi virus ND sehingga
dalam tubuhnya tidak ditemukan antibodi, bisa juga ayam tersebut terinfeksi oleh virus ND
tetapi antibodi belum terbentuk atau masih sedikit sehingga tidak cukup untuk memberikan
hasil reaksi positif. Kemungkinan yang lain bahwa ayam pernah terinfeksi oleh virus ND
namun kejadiannya sudah lama sekali sehingga antibodi dalam tubuhnya sudah menurun atau
tinggal sedikit sehingga tidak mampu memberikan hasil reaksi positif pada uji (Andrewes dan
Pereira, 1972).

Diagnosa banding untuk penyakit ND mirip dengan penyakit yang menyerang


gangguan pernapasan seperti: Avian Influenza (AI), Infectious Bronchitis (IB), Infectious
Laringo Tracheitis (ILT), Chronic Respiratory Disease (CRD) dan kolera unggas. Penyakit –
penyakit lain yang menyebabkan gangguan saraf dapat juga dikelirukan dengan ND misalnya
Avian Encephalomyelitis (AE) dan ensepalitis karena jamur dan defisiensi vitamin E
(ensefalomalasia) (Tabbu, 2000; Ressang, 1984). Berdasarkan gejala klinis pada ayam
diperiksa yaitu adanya leleran pada hidung, terdengar suara ngorok, dyspnea, penurunan
nafsu makan dan bulu kusam. Berdasarkan gejala yang telah disebut mengarah kepenyakit
Infectius bronchitis (IB). IB merupakan penyakit pernapasan akut dan sangat menular pada
ayam. IB disebabkan oleh virus IB yang tergolong genus Coronavirus dari famili
Coronaviridae. (OIE, 2012; Dortmans et al., 2011). Ayam broiler merupakan Spesies rentan
terhadap penyakit IB. Penyakit ini ditandai dengan adanya gejala pernapasan, seperti
terengah-engah, batuk, ngorok, dan keluarnya sekresi hidung, gejala ini biasanya berlangsung
Selama 10-14 hari (Reddy et al., 2015) Selain itu juga terlihat konjungtivitis dan terkadang
pembengkakan pada wajah, terutama bersamaan dengan infesksi sekunder yang disebabkan
oleh bakteri pada organ sinus.

Lendir yang keluar dari saluran pernapasan diakibatkan oleh Virus bronkitis
menginfeksi dan bereplikasi di saluran pernapasan bagian atas yang menyebabkan hilangnya
sel pelindung yang melapisi sinus dan trakea. Setelah bereplikasi pada saluran pernapasan
virus menyebar ke jaringan lain karena viremia selain itu virus ini juga dapat menginfeksi
sejumlah kecil makrofag saluran pernapasan yang memungkinkan juga penyebaran IBV di
luar saluran pernapasan yang melibatkan sistem limfatik dan makrofag yang terinfeksi.
Reddy et al., (2016) menunjukkan bahwa strain IBV nefropatogenik dapat menginfeksi
monosit darah dan monosit ini dapat memfasilitasi penyebaran IBV ke organ viseral,
termasuk ginjal.

Morbiditas pada ayam biasanya mencapai 100% dan Mortalitas pada ayam biasanya
25-30%. Kematian biasanya sangat rendah, kecuali adanya infeksi sekunder oleh
Mycoplasma gallisepticum atau terkait faktor imunosupresi dan kualitas udara yang buruk.
Umumnya masa inkubasinya dari penyakit ini berlangsung cepat tergantung rute infeksi.
Pada kasus rute infeksi melalui jalur trakea yaitu 18 jam, dan infeksi melalui mata yaitu masa
inkubasinya 36 jam dan ekskresi virus dari saluran pernapasan berlangsung 3-5 hari setelah
infeksi. (Cavanagh., 2008). Virus IB ditularkan oleh ayam yang terinfeksi melalui kotoran
dan dapat juga ditularkan melalui aerosol, menelan pakan dan air yang terkontaminasi, dan
kontak dengan peralatan dan pakaian yang terkontaminasi sehingga sangat cepat untuk
penularannya, hal ini juga sesuai dengan pengamatan dimana ayam yang dipeliharan pada
kandang tersebut banyak yang menunjukan gejala yang sama. Diagnosa banding untuk IB
adalah ILT, ND, Mycoplasma gallisepticum dan Snot berdasarkan gejala pernafasan.

Infeksi IB terbagi atas tiga bentuk yaitu bentuk pernapasan, bentuk reproduksi dan
bentuk ginjal. Patologis-anatomis terkait dengan IB bentuk pernafasan yakni adanya radang
saluran pernapasan bagian atas. IB bentuk ginjal ditandai dengan kerusakan ginjal sebagai
akibat infeksi dengan strain nephropathogenic. Ginjal ayam yang terinfeksi akan pucat dan
bengkak. Pada bentuk reproduksi yang terjadai pada layer, kuning telur dalam rongga tubuh
akan berkembang menjadi encer di dalam ovarium. Infeksi pada anak ayam sangat muda
dapat mengakibatkan perkembangan cystic dalam oviduct. Dinding oviduct menjadi tipis dan
transparan pada area sistik.

Tabel 2. Patalogi anatomi Infectius brinchitis dan New Castle disease

No Infectius brinchitis New Castle disease

Ginjal
sekum
Ginjal pucat bengkak dan terdapat
cekum yang terinfeksi terdapat
hemoragi pada ayam yang terinfeksi IBV
hemoragi echimoses, sekum menebal,
edema, dan terjadi radang.

Trakea

Adanya sekresi mukoid, kongesti, dan Proventrikulus


hiperemia di trakea
Proventrikulus ayam yang terinfeksi
menunjukkan beberapa perdarahan
echimoses pada ujung kelenjar
proventrikular
3

Ovarium Usus

Distensi saluran telur dan akumulasi cairan Lesi patologis pada usus ayam yang
(anak panah). terinfeksi ND menunjukkan ulkus
seperti kancing yang ditandai dengan
beberapa jaringan limfoid terkait usus
yang menebal, edematosa dan
hemoragik.

Paru-paru Paru-paru

Lesi multifokal pada paru-paru Kongesti dan perdarahan pada paru-


paru

BAB III

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan serologis serum ayam broiler menujukan hasil negatif
hal ini menunjukan ayam tidak tidak mengalami penyakit ND. Adapun penyakit yang dapat
dipilih sebagai diagnosa banding berdasarkan gejala klinis dan kesamaan anamesa adalah
penyakit Infectius Bronchitis

DAFTAR PUSTAKA
Adi, AAA, M Astawa, NM. Putra, KSA. Hayashi, and Y. Matsumoto. 2010. Isolation and
characterization of a pathogenic newcastle disease virusfrom a natural case in
Indonesia. J. Vet. Med. Sci. 72(3):313-319

Alexander DJ. 2001. Newcastle Disease. The Gordon Memorial Lecture.Br.Poult.Sci 42 : 117
– 128.Bilal, E. S. A., Elnasri, I.M., Alhasan, A.M., Khalifa, K.D., Elhag, J.I., Ahmed,
S.O. 2014. Biologycal Phatotyping of Newcstle disease Viruses in Sudan 2008-2013.
Journal of Veterinary Medicine,volume 2014.

Cavanagh D and J. Gelb, “Infectious bronchitis,” in Diseases of Poultry, pp. 117–135,


Wiley-Blackwell, 12th edition, 2008.

Dortmans JCFM, Koch G, Rottier PJM, Peeters BP. 2011. Virulence of Newcastle disease
virus:what is know so far?. Veterinary Research 2011,42:122.

Hewajuli DA, Dharmayanti NPLI. 2008. Karakteristik dan Identifikasi Virus Avian
Influenza. Wartozoa. 18(2).

Kencana GAY, IM Kardena, dan IGNK Mahardika, 2012. Peneguhan diagnosis penyakit
newcastle disease lapang pada ayam buras di Bali menggunakan teknik RT-PCR. J.
Ked. Hewan. 6(1):28-31

Office International des Epizooties (OIE). 2012. Terrestial Manual Chapter 2.3.14. Newcastle
Disease Pp 1-19..

Reddy VRA, Ivan T, Lowlese MD, Yewel L, Sebastian T dan Hans JN. 2015. Productive
Replication of Nephropathogenic Infectious Bronchitis Virus in Peripheral Blood
Monocytic Cells, A Strategy For Viral Dissemination and Kidney Infection in
Chickens. VetRes, 47(70): 2-19.

Syukron MU, IN Suartha dan NS Dharmawan. 2013. Serodeteksi penyakit tetelo pada ayam
di Timor Leste. Indonesia Medicus Veterinus. 2(3):360-368

Saif, YM, 2003. Disease of Poultry. 11 thed. Iowa State University Press, USA

Sari PM. 2007.Evaluasi Penggunaan Bubuk Bawang (Allium sarivum) terhadap Kandungan
Lemak Darah Ayam Kampung Yang Diinfeksi Cacing Ascaridia galli [Skripsi].
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut pertanian
Bogor, Bogor

WHO. (2013). Serological detection of Avian Influenza (H7N9) Virus infection by Turkeys
Haemmaglutination-Inhibition Assay. National Institute for Viral Disease Control and
Prevention, China CDC.

LAPORAN KOASISTENSI
DIAGNOSTIK LABORATORIK VIROLOGI
STUDI KASUS MANDIRI
NEWCASTLE DISEASE

OLEH

SELVIANI TRIVONINGSI DANGUR, S.K.H

Nim.1509010028

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Newcastle disease (ND) merupakan penyakit menular yang sangat
merugikan peternak ayam. Penyakit ini dapat bersifat akut sampai kronis dan juga dapat
menyerang semua jenis unggas terutama ayam, baik ayam ras maupun ayam bukan ras
(Kencana et al., 2012). Penyakit ND disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1
(APMV-1), genus Avulavirus famili Paramyxoviridae, merupakan virus RNA dengan
genom serat tunggal (single stranded) dan berpolaritas negatif (OIE, 2002).
Gejala klinis dan masa inkubasi penyakit ND pada ayam cukup beragam dan
bergantung pada strain virus dan status kebal ayam saat terinfeksi. Infeksi virus strain
lentogenik bersifat subklinis atau ditandai dengan adanya gangguan ringan pada respirasi
seperti bersin dan keluar leleran dari hidung. Pada infeksi virus strain mesogenik bersifat
akut ditandai dengan gangguan respirasi dan kelainan saraf. Gejala klinis yang
ditunjukkan pada ayam ditandai dengan penurunan nafsu makan, jengger dan pial
sianosis, pembengkakan di daerah kepala, bersin, batuk, ngorok, dan diare putih
kehijauan. Infeksi virus strain velogenik bersifat fatal, seringkali diikuti dengan angka
kematian yang tinggi. Gejala tersebut sangat bervariasi, diawali dengan konjungtivitis,
diare serta dikuti dengan gejala saraf seperti tremor, tortikolis, atau kelumpuhan pada
leher dan sayap (Ghiamirad et al., 2010).
Pemeriksaan penyakit ND dapat dilakukan dengan uji serologis. Uji serologis yang
biasa digunakan untuk deteksi ND dan sebagai indikator derajat kekebalan kelompok
ayam dalam suatu peternakan adalah uji hambatan hemaglutinasi (HI) secara beta
prosedur yaitu prosedur virus konstan dengan berbagai konsentrasi serum (Mohhamed et
al., 2013; Mahardika et al., 2015).

1.1.1 Data Pemilik


Nama Pemilik : Ibu Angela Hale
Alamat : Matani-Kabupaten Kupang
Mahasiswa Koas : Selviani T. Dangur

1.1.2 Signalemen
Jenis hewan : Ayam
Ras : Broiler
Umur : 1 bulan
Warna bulu : Putih
1.1.3 Keadaan Umum Hewan
Ayam kesulitan bernapas (dispnea) dan ngorok, bulu kusam dan kotor, terdapat
leleran kental agak kekuningan dari nasal, lemas, tidak nafsu makan, malas bergerak,
ditemukan feces dengan konsistensi encer (diare), serta di sekitar nasal dan paruh
terdapat kerak yang diduga berasal dari leleran yang mengering.
1.1.4 Anamnesa
Berdasarkan informasi yang diberikan pemilik tidak diketahui secara pasti waktu
terjadinya gejala sakit pada ayam tersebut. Diinformasikan pula bahwa ayam sudah
divaksin sejak dibeli dari perusahaan. Adapun kondisi kandang pemeliharaan yang
diamati adalah populasi ayam cukup padat sehingga ayam berdesak-desakan di dalam
kandang. Perlakuan pemberian pakan diberikan 2 kali sehari dan jenis pakan yang
diberikan adalah pakan pelet komersial. Pemberian air minum dilakukan dengan cara air
diletakkan pada wadah khusus dan diberikan secara ad libitum. Terlihat juga kandang
yang cukup kotor karena adanya sisa feces dan pakan ayam yang tidak dibersihkan.
1.2 Materi dan Metode
1.2.1 Materi
Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel dan pengiriman
sampel adalah darah ayam, syringe 3 ml, tabung vacum non-EDTA, kapas, alkohol, dan
tabung ependorf.
1.2.2 Metode
1. Pengambilan sampel
Sampel ayam buras diperoleh dari daerah Matani dan jumlah sampel yang diambil
adalah 1 ekor ayam broiler.

2. Cara pengambilan sampel


a. Pengambilan darah ayam dengan cara ayam dibaringkan pada posisi rebah dorsal.
Selanjutnya darah diambil melalui vena brachialis (vena di daerah sayap) dengan
menggunakan spuit 3 mL. Darah yang telah diambil dimasukkan ke tabung non
koagulan. Serum akan keluar (30-60 menit) lalu dipisahkan dari bekuan darah dan
dimasukkan ke dalam eppendorf.
b. Selanjutnya sampel dikirim ke Laboratorium UPT Veteriner Nusa Tenggara
Timur untuk dilakukan uji Haemagglutination Assay/Haemagglutination
Inhibition (HA/HI) Newcastle Disease.

BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Hasil Pemeriksaan


2.1.1 Keadaan umum ayam broiler
Keadaan umum ayam broiler ditunjukkan pada Gambar 1. Ayam terlihat lemas
dan berbulu kusam dan kotor (A), kesulitan bernapas/ dispnea (B), terdapat leleran kental
agak kekuningan dari nasal dan mulut (C) dan terdapat kerak yang diduga berasal dari
leleran yang mengering di sekitar nasal dan paruh (D).

Gambar 1. Keadaan umum ayam broiler

2.1.2 Pengambilan sampel


Pengambilan sampel dilakukan pada bagian vena brachialis (vena di daerah
sayap) dengan menggunakan spuit 3 mL.

Gambar 2. Pengambilan darah ayam pada vena brachialis

2.1.3 Pemeriksaan laboratorium


Hasil pemeriksaan laboratorium ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan bahwa sampel serum negatif pada uji HA/HI ND.

Tabel 1. Hasil laboratorium Pengujian HA/HI ND


Nama Kelurahan Kode Sampel Hasil Uji Positif/Negatif
Pemilik
Novi Lasiana A3 4 Negatif
Ndun

2.2 Pembahasan
Gejala klinis yang ditunjukkan ayam broiler menyerupai gejala klinis yang
ditunjukkan pada kasus ND. Berdasarkan gejala klinis maka dilakukan pengujian HA/HI.
Uji HA digunakan untuk mendeteksi protein hemaglutinin pada virus. Hemaglutinin (H)
merupakan protein perlekatan virus ND yang berperan dalam mengaglutinasi eritrosit.
Virus yang memiliki protein hemaglutinin adalah AI dan ND. Uji HA sebagai dasar
untuk menentukan titer virus. Titer HA adalah pengenceran tertinggi yang masih dapat
mengaglutinasi eritrosit secara sempurna (Mahardika et al., 2015). Terjadinya aglutinasi
pada pengujian HA menunjukkan isolat sampel mampu mengaglutinasi sel darah merah
(Noah, 2009). Pengujian HI dilakukan pada sampel yang telah melalui pengujian HA.
Uji HI merupakan uji serologis cukup penting untuk mengidentifikasi penyakit ND,
karena cukup sederhana, murah dan efisien (Mohhamed et al., 2013; Mahardika et al.,
2015). Menurut OIE (2012), prinsip uji HI adalah reaksi ikatan antara antibodi pada
serum dengan antigen virus sehingga menghambat perlekatan Hemaglutinin virus dengan
asam sialat pada sel darah ungas sehingga pada dasar sumuran mikroplate terjadi
hambatan aglutinasi (running bottom / tear drop).
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil negatif pada pengujian HA/HI ND.
Hal ini menunjukkan bahwa di dalam tubuh ayam tersebut tidak ditemukan adanya
antibodi terhadap virus ND. Gejala klinis yang terlihat pada ayam dapat dikaitkan
dengan diagnosa banding dari penyakit ND. Akan tetapi, peneguhan diagnosa tidak dapat
dilakukan hanya dengan memperhatikan gejala klinis. Hal ini disebabkan karena terdapat
beberapa penyakit pada ayam yang menunjukkan gejala yang sama atau mirip sehingga
tetap diperlukan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh
beberapa peternak ayam di wilayah Matani bahwa jenis kejadian penyakit yang paling
sering terjadi adalah ayam dengan gejala ngorok dan umumnya menyerupai penyakit
snot. Milo et al., (2019) menemukan adanya ayam yang menunjukkan gejala snot pada
peternakan ayam di Kabupaten Kupang. Berdasarkan keadaan umum dan anamnesa yang
diperoleh pada ayam serta dengan mempertimbangkan informasi dari beberapa peternak
ayam di lokasi pengambilan sampel tersebut diatas dapat diambil diagnosa banding:
infectious coryza /snot dan chronic respiratory disease (CRD).
1. Infectious coryza/snot
Menurut Tangkonda et al. (2019), infectious coryza (snot) adalah penyakit
menular pada unggas, terutama ayam, yang disebabkan oleh Avibacterium
paragallinarum (Av. paragallinarum). Penyakit ini ditunjukkan dengan gejala
keluarnya eksudat dari hidung yang mula-mula berwarna kuning dan encer (serous),
tetapi lama-lama berubah menjadi kental dan bernanah dengan bau yang khas
(mukopurulen). Bagian paruh di sekitar hidung tampak kotor atau berkerak oleh sisa
pakan yang menempel pada eksudat. Gejala lain yang ditunjukkan adalah adanya
pembengkakan pada sinus infraorbitalis yang ditandai dengan pembengkakan sekitar
mata dan muka. Suara ngorok juga terdengar pada ayam penderita dan kesulitan untuk
bernapas. Selain itu, terjadi penurunan nafsu makan dan adanya diare sehingga
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ayam dan menjadi kerdil (Kusumaningsih
dan Poernomo, 2000).
Adapun faktor predisposisi dari penyakit ini dikaitkan dengan pergantian musim
atau adanya berbagai faktor yang menyebabkan stres, seperti cuaca, lingkungan
kandang, nutrisi, perlakuan vaksinasi, dan juga penyakit yang bersifat imunosupresif
(Direktorat Kesehatan Hewan, 2014 ). Diagnosis sangkaan terhadap snot dapat
didasarkan atas gejala klinis dan perubahan patologi yang ditimbulkan oleh penyakit
ini. Peneguhan diagnosa akhir dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri
dari kasus snot pada stadium akut yaitu antara 1-7 hari pasca infeksi (Tangkonda et
al., 2019).
Penyakit snot dijadikan sebagai diagnosa banding pada kasus ini berdasarkan
tinjauan dari gejala klinis dan hasil anamnesa pada ayam. Gejala klinis yang
ditunjukkan ayam, yaitu ayam mengalami dispnea dan ngorok, bulu kusam, terdapat
leleran kental agak kekuningan dari nasal, lemas dan tidak nafsu makan, ditemukan
feces dengan konsistensi encer (diare), serta di sekitar nasal dan paruh terdapat kerak
yang diduga berasal dari leleran yang mengering. Kondisi kandang pemeliharaan
yang padat dan kotor dapat menjadi pemicu terjadinya stres pada ayam dan menjadi
penyebab kualitas udara yang buruk. Faktor kondisi kandang yang buruk inilah yang
dapat menjadi faktor pendukung timbulnya penyakit ini pada ayam. Pertimbangan
lain dalam pemilihan diagnosa banding ini adalah informasi dari beberapa peternak
ayam di wilayah Matani menyebutkan bahwa kejadian penyakit paling sering
ditemukan adalah penyakit dengan gejala ngorok yang menyerupai gejala snot.

2. Chronic respiratory disease (CRD)


Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum. Wiedosari dan
Wahyuwardani (2015) mengemukakan gejala klinis khas pada kasus CRD adalah
ngorok dan penyakit ini dijumpai pada peternakan yang dipelihara pada situasi
kandang yang padat dengan kualitas udara yang buruk. Infeksi terjadi jika bakteri
Mycoplasma gallisepticum masuk ke saluran pernafasan bersamaan dengan aliran
udara yang telah terkontaminasi, dan menempel pada mukosa saluran pernapasan dan
merusak sel-selnya (Wiedosari dan Wahyuwardani, 2015). Selama beberapa minggu
bakteri tetap menetap dalam saluran pernafasan dan menginfeksi secara akut ketika
ayam mengalami stres (Soeripto, 2009). Apabila terserang CRD biasanya seluruh
kelompok ayam terkena meskipun memiliki perbedaan derajat keparahannya. Apabila
tidak disertai dengan komplikasi, ayam yang terserang CRD tidak menunjukkan
gejala klinis yang jelas (Direktorat Kesehatan Hewan, 2014).
Ayam dewasa menunjukkan tanda klinis berupa ditemukannya sekresi hidung
katar yang makin lama makin bertambah, batuk dan bersuara pada waktu bernafas.
Sebagian ayam yang terserang, menunjukkan muka bengkak akibat tertimbunnya
eksudat dalam sinus infraorbitalis, bulu kusam dan depresi (Direktorat Kesehatan
Hewan, 2014 ). Menurut Nneomaokwara (2016), gejala klinis yang ditunjukkan pada
kasus bervariasi dari subklinis sampai kesulitan pernafasan tergantung dari derajat
keparahan infeksi. Gejala klinis awal yang ditunjukkan adalah keluarnya cairan
eksudat bening (catarrhal) dari rongga hidung, bersin-bersin, batuk, ngorok dan
radang conjunctiva (conjunctivitis). Apabila infeksi terus berlanjut dan disertai dengan
infeksi sekunder maka eksudat hidung yang keluar menjadi agak kental. Gejala
pernapasan ini kemudian diikuti dengan turunnya nafsu makan, berat badan dan
produksi telur, sedangkan konversi pakan naik (Soeripto, 2009).
Gejala pernapasan ini tidak spesifik karena bisa dikelirukan dengan penyakit
pernafasan lain seperti Infectious coryza (Snot), Newcastle disease (ND) atau
Infectious bronchitis (IB). Kejadian penyakit CRD yang kompleks dengan infeksi lain
seperti infeksi Escherichia coli atau viral maka gejala klinis menjadi lebih parah
(Dinev, 2007). Faktor lain yang mendukung kejadian CRD yaitu kondisi manajemen
yang kurang memadai, kadar amoniak yang tinggi, kandang atau lingkungan yang
berdebu (Prasetyo et al., 2014).
Penyakit chronic respiratory disease (CRD) dijadikan sebagai diagnosa banding
pada kasus ini berdasarkan tinjauan dari gejala klinis dan hasil anamnesa pada ayam.
Gejala klinis yang ditunjukkan ayam, yaitu ayam mengalami dispnea dan ngorok,
bulu kusam, terdapat leleran kental agak kekuningan dari nasal, lemas dan tidak nafsu
makan. Kondisi kandang pemeliharaan yang padat dan kotor dapat menjadi pemicu
terjadinya stres pada ayam dan menjadi penyebab kualitas udara yang buruk. Faktor
kondisi kandang yang buruk inilah yang dapat menjadi faktor pendukung timbulnya
penyakit ini pada ayam. Pertimbangan lain dalam pemilihan diagnosa banding ini
adalah informasi dari beberapa peternak ayam di wilayah Matani menyebutkan bahwa
kejadian penyakit paling sering ditemukan adalah penyakit dengan gejala ngorok yang
merupakan salah satu ciri khas pada kejadian penyakit CRD. Pemeriksaan lanjutan
pada kasus CRD dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan bakteriologis, histopat dan
patologi-anatomi pada organ.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan serologi serum darah ayam broiler ditunjukkan
bahwa ayam tidak mengalami penyakit ND. Adapun penyakit yang diambil sebagai
diagnosa banding berdaarkan keadaan umum dan anamnesa pada kasus ini adalah
penyakit Infectious coryza/snot dan atau Chronic respiratory disease (CRD).

DAFTAR PUSTAKA

[OIE] Office International des Epizooties. 2012. Terrestial Manual Chapter 2.3.14. Newcastle
Disease: 1-19.
[OIE]. Office International des Epizooties 2002. Newcastle disease.
http://www.oie.int/eng/maladies/fiches/a_A160.html

Dinev, Ivan. 2007. Deseases Of Poultry. First edition. Bulgaria.

Direktorat Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Unggas. Direktorat Jenderal


Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Ghiamirad M, Pourbakhsh A, Keyvanfar H, Momayaz S, Charkhkar, and Ashtari A. 2010.


Isolation and characterization of Newcastle disease virus from ostriches in Iran.
African J. of Microbiology Research, 4(23):2492-2497.

Kencana GAY, Kardena IM, Mahardika IGNK. 2012. Peneguhan Diagnosis Penyakit
Newcastle Disease Lapang pada Ayam Buras di Bali menggunakan Teknik RT-PCR.
Jurnal Ked. Hewan, 6(1): 28-31.

Kusumaningsih A dan Poernomo S. 2000. Infeksius Coryza (Snot) pada Ayam di Indonesia.
Wartazoa,10(2): 72-76.

Mahardika IGNK, Astawa INM., Kencana GAY, Suardana IBK, Sari TK. 2015. Teknik Lab
Virus. Udayana University Press. Denpasar.

Mohhamed MH, Zahir AAH., Kadhim LI, Hasson MF. 2013. Conventional and Molecular
Detection of Newcastle Disease and Infectious Bursal Disease in Chickens. J
Wourld’s Poult Res, 3 (1) : 05-12.

Nneomaokwara. 2016. Avian Mycoplasmosis: A Review. IOSR-JAVS, 9( 5): 06-10.

Noah SA, Alsmadi MKS, Omar K. 2009. Back Propagation Algorithm: The Best Algorithm
Among the Multi-layer Perceptron Algoritma. International Journal of Computer
Science and Network Security, 9(4):378-383.

Prasetyo DW, Rudyanto MD dan Berata IK. 2014. Pengamatan Makroskopis Kadaver
Ayam Broiler di Rumah Pemotongan Unggas PT. Ciomas Adisatwa di Desa Kaba-
Kaba, Tabanan, Bali Yang Didasarkan Atas Kausa Primanya. Indonesia Medicus
Veterinus, 3(1): 73-83.

Soeripto. 2009. Chronic Respiratory Disease (CRD) pada Ayam. Wartazoa, 19(3): 134-142.

Tangkonda E, Tabbu CR, dan Wahyuni AETH. 2019. Isolasi, Identifikasi, dan Serotyping
Avibacterium Paragallinarum dari Ayam Petelur Komersial yang Menunjukkan
Gejala Snot. Jurnal Sains Veteriner 17(1):27-33.

Wiedosari E dan Wahyuwardani S. 2015. Studi Kasus Penyakit Ayam Pedaging di


Kabupaten Sukabumi dan Bogor. Jurnal Kedokteran Hewan, 9(1): 9-13.
LAPORAN KOASISTENSI VIROLOGI
STUDI KASUS MANDIRI
‘NEWCASTLE DISEASE’
OLEH
Rochy Jimyanto Akal, S.KH
1509010034

PROGRAM STUDI PROFESI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2020

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ayam broiler merupakan komoditas peternakan yang paling banyak dipelihara oleh
para peternak. Produk komoditas peternakan ini adalah sumber protein hewani yang dapat
dijangkau oleh lapisan masyarakat secara luas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah
penduduk, perubahan gaya hidup, kesadaran gizi, perbaikan tingkat pendidikan, permintaan
akan produk peternakan (telur, daging, dan susu) terus meningkat. Penyakit Newcastle
Disease (ND) merupakan salah satu penyakit akut dan mudah menular di sistem pernapasan
dan sistemik. Penyakit ND yang biasa disebut juga tetelo telah menyebar diseluruh Indonesia
dan menimbulkan kerugian yang sangat signifikan terhadap komoditas unggas, yang dimulai
dari angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi yakni mencapai 50-100%, gangguan yang
berat pada sistem saraf, pernapasan dan pencernaan pada unggas hingga kerugian ekonomi.
Virus Newcastle disease merupakan virus yang memiliki protein hemaglutini pada
amplopnya sehingga mendiagnosa penyakit tersebut dapat dilakukan uji
hemaglutinasi/hambatan hemaglutinasi (HA/HI) (Kencana, 2017). Jenis virus penyakit ini
memiliki sifat dapat mengaglutinasi sel darah merah hewan. Hemaglutinasi terjadi akibat
aktivitas hemaglutinin pada dinding virus (Mahardika et al, 2018). Terjadinya hemaglutinasi
ditandai dengan butiran berpasir akibat adanya ikatan antara sel darah merah dan protein
hemaglutinin pada amplop virus.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan pemeriksaan pada ternak ayam broiler
yang dijual pada Pasar Inpres Naikoten Kupang.
1.2 Tujuan
Studi kasus mandiri ini bertujuan untuk meneguhkan diagnosis penyakit Newcastle
disease dari kasus di lapangan berdasarkan uji HA/HI.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Newcastle Disease (ND)
Penyakit ND merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus ND yang sering
menyerang peternakkan unggas maupun burung liar dengan gangguan pencernaan,
pernapasan, dan syaraf. ND merupakan penyakit virus yang sangat menular yang biasanya
mendominasi penyakit unggas di daerah tropis (Williamson dan Payne, 1993). Secara
taksonomi, Virus ND dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Aldous et al., 2003):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Ordo : Mononegavirales
Family : Paramyxoviridae
Genus : Avulavirus
Species : Newcastle disease virus
Penyakit ND di Indonesia dikenal dengan istilah penyakit tetelo.Penyakit ini bersifat
akut sampai kronis, dapat menyerang semua jenis unggas termasuk ayam, baik ayam ras
maupun ayam buras.Oleh karena itu, ND merupakan ancaman serius bagi industri peternakan
di Indonesia (Santhia, 2003; Tabbu, 2000).
Penyakit ND ditemukan di Indonesia pertama kali oleh Kraneveld pada tahun 1962 di
Indonesia.Penyakit ND di Indonesia sering terjadi pada musim hujan atau musim peralihan
(Ressang, 1984).
2.1.1 Etiologi
Penyakit ND disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1 (APMV-1), genus
Avulavirus, famili Paramyxoviridae, merupakan virus RNA dengan genom serat tunggal
(single strandes/ss) dan berpolaritas negatif. Famili paramyxoviridae biasanya berbentuk
pleomorfik, bulat dengan diameter 100-500 nm, namun ada juga yang berbentuk filamen
dan beramplop. Terdapat 9 serotype avian Paramyxovirus yaitu, APMV-1 sampai
APMV-9 (OIE, 2002).
Gambar 1. Gambaran skematis struktur virus ND
Sumber: http://www.virologyj.com/content/10/1/170.html

Virus ND peka terhadap panas, akan rusak pada suhu 100 oC dalam 1 menit, 56 oC
dalam pemanasan selama 5 menit hingga 6 jam, suhu 37 oC akan tahan beberapa hari
hingga seminggu, 20oC-28oC akan tahan hingga berbulan-bulan. Virus inaktif dalam
formalin 1-2%, Fenol 1:20, kalium permanganat 1:5000, kresol 5% dan berbagai
desinfektan lainnya (Sudrajat, 1991).

2.1.2 Cara penularan


Penularan virus ND dapat terjadi secara langsung melalui kontak (persentuhan)
dengan hewan sakit, sekresi dan ekskresi dari hewan sakit, serta bangkai penderita
ND.Selain dari ayam, penularan juga dapat dilakukan oleh burung peliharaan atau
burung liar yang berada di lokasi peternakan.Sedangkan penularan tidak langsung dapat
terjadi melalui udara, pakan dan air minum, bahan, alat kandang, dan pekerja yang
tercemar virus ND.Penyakit ini dapat tersebar secara regional melalui impor unggas,
telur dan daging beku (Tabbu, 2000).
Kepadatan populasi di dalam kandang menyebabkan penyebaran virus yang lebih
cepat dan permasalah yang ditimbulkan lebih besar.Hal ini dikarenakan, kondisi kandang
yang kotor, lembab dan ayam berdesakan menyebabkan ayam rentan terkena ND
(Rupiper et al., 1998).Feses dapat mengandung virus ND dengan titer yang tinggi, pada
suhu 37oC virus masih inaktif hingga satu bulan lamanya.Keberhasilan penularan ND
erat kaitannya dengan kemampuan virus tersebut untuk bertahan dalam bangkai hewan
atau ekskresi hewan sakit (Tabbu, 2000).
2.1.3 Gejala klinis
Berdasarkan keganasannya virus ND dibagi menjadi dua tipe, yakni tipe Amerika
dan Asia.Virus ND tipe Asia merupakan tipe yang lebih ganas dan biasanya terjadi pada
musim hujan atau peralihan, dimana pada kondisi tersebut stamina ayam menurun
sehingga rentan terhadap masuknya virus ND (Tabbu, 2000).
Pada infeksi alami, masa inkubasi ND berkisar antara 2-15 hari (rata-rata 5-6
hari).Kecepatan timbulnya gejala bervariasi tergantung galur virus ND, jenis unggas,
status kekebalan, adanya infeksi campuran, faktor lingkungan, rute infeksi, dan dosis
virus (Ruppiper et al., 1998).
Secara umum gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit ND yaitu, hilangnya
nafsu makan, diare yang kadang disertai darah, lesu, sesak napas, ngorok, bersin, batuk,
paralisis parsialis atau komplit, dan sesekali tortikolis, produksi telur menurun atau
terhenti sama sekali, telur yang dihasilkan mengalami kelainan atau daya tetasnya sangat
rendah. Perubahan patologis yang dapat diamati adalah warna pial dan tulang kebiruan
(Tabbu, 2000).
Virus ND menurut Beard dan Hanson menurut keganasan dan gejala klinis yang
ditimbulkan yaitu: 1) Bentuk Doyle’s yang bersifat akut, ganas dan mematikan yang
menyerang semua kelompok umur dan saat dinekropsi muncul lesi hemoragi di saluran
pencernaan. Bentuk ini disebut sebagai Velogenic Viscerotropic Newcastle Disease
(VVND), 2) Bentuk Beach’s yang bersifat akut dan ganas pada semua kelompok umur
dengan gejala gangguan pernapasan dan syaraf dan disebut Velogenic Neurotropic
Newcastle Disease (VNND), 3) Bentuk Baudette’s bersifat kurang patogenik. Kematian
terjadi pada ayam usia muda dan yang menyebabkan adalah virus mesogenik, 4) Bentuk
Hitchner’s menyebabkan infeksi pernapasan ringan atau tanpa gejala klinis. Virus yang
menyebabkan penyakit pada kasus ini adalah virus lentogenik, dan 5) Asimptomatik
enteric terkait infeksi usus sub klinis oleh strai lentogentik yang menyerang saluran
pencernaan dengan tanda yang non spesifik (Tabbu, 2000).
2.1.4 Diagnosa penyakit
Diagnosa penyakit didasarkan pada gejala klinis, patologi anatomi, pemeriksaan
laboratorium yang meliputi pemeriksaan serologis antara lain dengan uji hemaglutinasi
inhibisi (HI), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan agar gel presipitasi
(AGP) serta pemeriksaan isolasi dan identifikasi virus (Fenner et al., 1995).
2.1.5 Diagnosa banding
Penyakit ND mirip dengan beberapa penyakit yang menyerang gangguan
pernapasan seperti: Avian Influenza (AI), Infectious Bronchitis (IB), Infectious
Laryngotracheitis (ILT), Chronic Respiratory Disease (CRD), dan kolera unggas.
Penyakit lainnya yang dikelirukan karena gejala syaraf yang muncul adalah Avian
Encepgalomyelitis (AE) dan ensepalitis karena jamur dan defisiensi vitamin E
(ensefalomalasia) (Tabbu, 2000).
2.2 UJI HA/HI TERHADAP VIRUS ND
Virus ND memiliki sifat yang dapat mengaglutinasi eritrosit ayam, marmot dan eritrosit
manusia tipe O. Hemaglutinasi terjadi karena virus ND mempunyai suatu protein yang
terdapat pada selubung virus yang disebut hemaglutinin.Mekanisme terbentuknya
hemaglutinasi disebabkan oleh terjadinya ikatan antara hemaglutinin virus ND dengan
reseptor sel, yaitu suatu mukoprotein yang terdapat pada permukaan eritrosit (Fenner et al.,
1993). Hemaglutinasi dapat terlepas oleh aktivitas neuroamidase yang terdapat pada spike
HN virus ND. Disamping itu, serum antibodi spesifik terhadap virus ND dapat menghambat
reaksi hemaglutinasi.Sifat tersebut dipakai dalam keperluan titrasi antibodi virus ND dalam
serum unggas yang diperiksa.Dengan demikian hambatan hemaglutinasi (HI) dapat
digunakan untuk mengukur titer antibodi virus ND (Senne, 1989).
Adanya antibodi pada indivisu bias diperoleh dari pemaparan oleh infeksi di alam atau
vaksinasi dengan agen spesifik serta dapat dihasilkan dari antibodi yang dibuat sebelumnya
(imunitas pasif). Perolehan imunitas aktif tergantung pada peran serta jaringan sel-sel hospes
sesudah bertemu dengan imunogen sehingga menyebabkan sintesis antibodi.Jenis imunitas
ini hanya timbuk selang beberapa waktu akibat pemaparan terhadap imunogen, jangka waktu
imunitas aktif dapat bertahan lama dan dalam beberapa kasus dapat sampai beberapa bulan
atau beberapa tahun (Bellanti, 1993).
Antibodi ND dapat bertahan sampai satu bulan atau satu tahun pada individu yang
sembuh dari infeksi virus ND yang dapat diukur dengan serum melalui uji HI (Tabbu, 2000).
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Pengambilan sampel darah ayam broiler dilaksanakan pada tanggal 18 maret 2020
yang bertempat di Pasar Inpres Naikoten Kupang dan dilakukan pengujian di
Laboratorium UPT Veteriner Provinsi Nusa Tenggara Timur.
3.2 Materi
Alat dan bahan yang digunakan dalam koleksi sampel darah yaitu spuit 1 ml,
tabung darah tanpa EDTA, eppendorf, sarung tangan, masker, kapas dan alcohol.
3.3 Metode
3.3.1 Pengambilan Sampel
1. Ayam teramati menunjukkan gejala Newcastle Disease (ND) darahnya
diambil untuk dilakukan pengujian.
2. Darah diambil menggunakan spuit 1 ml di bawah tendon pronator muskulus
(vena brachialis).
3. Darah yang diambil kemudian dimasukkan ke tabung tanpa EDTA
4. Serum akan keluar dengan sendirinya (30-60 menit) lalu dipisahkan dan
disimpan ke dalam eppendorf. Selanjutnya di bawah ke Laboratorium UPT
Veteriner untuk dilakukan pengujian HA/HI.
3.4 Keadaan Umum Hewan
3.4.1 Identitas Peternak
 Nama Peternak : Bapak Ama Joni
 Alamat : Oepura
 Pekerjaan : Penjual Ayam
3.4.2 Signalement
 Jenis Hewan : Ayam
 Bangsa atau Ras : Broiler
 Umur : 3 minggu
 Warna : Putih
3.4.3 Anamnesa dan Gejala Klinis
Berdasarkan wawancara dengan pemilik diketahui ayam yang dipelihara dan siap
dijual sebanyak 110 ekor dengan sistem pemeliharaan dengan cara dikandangkan dengan
ukuran kandang berukuran 2,5 x 1,5 m yang berjumlah 5 petak kandang.
Gambar 1. Gejala klinis yang nampak pada ayam, pengambilan darah ayam dan
kondisi kandang pada Pasar Inpress Naikoten Kupang

Berdasarkan data dari pemiliki terdapat 1 petak kandang ayam yang berjumalh 22
ekor ayam yang menunjukkan gejala klinis yang sama yaitu : terjadi kebengkakan pada
mata, keluarnya leleran pada mata berupa nanah, kebengkakan pada muka, ngorok,
kesulitan bernapas (terengah-engah), keluarnya leleran serous dari hidung dan mulut
berwarna kuning, nafsu makan yang menurun, diare berwarna hijau putih dan lemas
(Gambar 1). Ayam yang dipelihara dan siap diijual belum ini peternak belum
mengetahuui sudah pernah dilakukan vaksinasi atau belum. Karna peternak mengambil
ayam dari tangan kedua.
Selain dilakukan wawancara, dilakukan pengukuran suhu ayam dan hasilnya
42,5oC yang menunjukkan abnormalitas dari suhu normal ayam yang berkisar antara
39.9-41.5oC.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan Uji HA/HI pada pemeriksaan ND pada ayam
broiler di Pasar Inpres Naikoten Kupang menuunjukan bahwa hasilnya negatif, disajikan pada
tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengujian HAHI/ND serum ayam buras

Nama Kelurahan Kode Sampel Hasil Uji Positif/Negatif


Pemilik
Ama Joni Naikoten A2 0 Negatif

4.2 Pembahasan
Hasil pemeriksaan sampel serum ayam broiler yang diambil dari pasar inpres naikoten
menunjukkan gejala klinis ND. Ayam yang terinfeksi ND menunjukkan gejala klinis berupa
Anoreksia, diare yang kadang disertai darah, lesu, sesak napas, ngorok, bersin, batuk,
paralisis parsialis atau komplit, sesekali tortikolis, dan pembengkakan dan hemoragi pada
mata. Tetapi berdasarkan hasil yang diperoleh dari sampel serum ayam broiler memberikan
reaksi negatif pada uji HA/HI ND. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam tubuh ayam tersebut
tidak ditemukan adanya antibodi terhadap virus ND.
Menurut Amanu dan Rohi (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa kemungkinan
sampel serum ayam menunjukkan hasil negatif pada uji HI. Reaksi negatif pada uji HI pada
ayam mungkin disebabkan karena ayam belum pernah terinfeksi oleh virus ND sehingga
dalam tubuh ayam tidak ditemukan antibodi atau mungkin ayam tersebut terinfeksi virus ND
tetapi antibodi belum terbentuk atau masih sedikit sehingga tidak cukup untuk memberikan
hasil reaksi positif pada uji HI. Menurut Kencana (2017) menyatakan bahwa uji HA positif
ditandai dengan bentukan berpasir warna merah pada dasar plat mikro sebagai tanda
hemaglutinasi. Jika HA positif menunjukkan bahwa antigen yang diuji memiliki
hemaglutinin. Untuk memastikan virusnya dilanjutkan dengan uji HI. Uji HI positif ditandai
dengan pengendapan RBC 1%. Titer HI adalah pengenceran tertinggi serum yang mampu
menghambat terjadinya hemaglutinasi sempurna. RBC merupakan indikator uji HA/HI.
Prinsip uji HA  adalah terjadinya ikatan antara virus/antigen dengan sel darah merah
yang ditandai dengan adanya agglutinasi (butiran seperti pasir). Pembentukan  agglutinasi ini
disebabkan karena adanya ikatan virus/antigen  dengan sel darah merah. Titer virus/antigen
dapat diketahui dengan melihat adanya agglutinasi di dasar lubang dari microplate pada
lubang terakhir/pengenceran tertinggi, misal terjadinya agglutinasi sampai lubang ke 8, maka
titer virus/antigen tersebut adalah log 28 atau 256 HAU, sementara untuk well yang negatif
(tidak adanya virus/antigen) apabila microplate dimiringkan 45 derajat RBC akan turun.
Prinsip dari uji HI adalah hambatan aglutinasi RBC oleh virus akibat terikatnya virus
tersebut oleh antibodi spesifik. Oleh karena itu uji HI hanya bisa digunakan untuk virus yang
mengagglutinasi RBC, metode kerja uji HI adalah pengenceran bertingkat serum sampel
hingga pengenceran terbesar yang masih sanggup menghambat agglutinasi (RBC) oleh
antigen, sehingga dapat diketahui nilai titer antibodi dari serum sampel (Syukron et al.,
2013).
Gejala klinis yang terlihat pada ayam dapat dikaitkan dengan diagnosa banding dari
penyakit ND. Diagnosa penyakit tidak hanya dapat diteguhkan dengan melihat gejala klinis.
Hal ini disebabkan karena terdapat kejadian penyakit pada ayam yang menunjukkan gejala
yang sama atau mirip. Diagnosa banding dari kasus ini adalah kolera unggas (fowl cholera).
4.3 Diagnosa Banding
Diagnosa banding Newcastle disease adalah Infeksi lain yaitu kolera unggas (fowl
cholera) adalah penyakit bakterial yang mudah menular dan menyerang berbagai jenis
unggas, termasuk unggas yang disebabkan oleh bakteri pasteurella multocida, yang
merupakan gram negatif, non motil, tidak membentuk spora dan berbentuk batang tunggal,
berpasangan atau seperti cincin filament. Pasteurella multocida tahan hidup didalam tanah,
alas kandang atau bahan-bahan yang busuk selama beberapa bulan. Penularan penyakit ini
dapat terjadi melalui leleran hidung, mulut, kotoran ayam yang sakit, tempat pakan dan
minum, perlengkapan peternakan, alat pengangkut dan pekerja yang tercemar bakteri. Masa
inkubasi dari penyakit tersebut antara 3-9 hari. Gejala klinis hewan terinfeksi kolera unggas
yaitu terlihat lemas, anoreksia, hipertermia, suara ngorok yang basah akibat adanya eksudat
cair didalam saluran pernapasan bagian atas, diare berwarna putih kekuningan sampai
kehijauan bercampur mukus dan berbau tidak sedap, keluarnya cairan dari mulut yang
menggantung seperti tali, jengger dan pial mengalami kebengkakan berwarna ungu kebiruan
(Zainuddin, 2014).
Potogenesis penyakit kolera unggas secara molekuler belum diketahui
mekanismenya.Sercara ringkas,pada saat kuman P. multocida berhasil masuk kedalam flock
maka infeksi akan segera terjadi dengan konsentrasi kuman disaluran pernapasan atas,mulai
dari rongga mulut (paruh),trakea dan sekitar mata.Ayam yang terinfeksi secara kronis oleh
infeksi sebelumnya mempunyai peran penting sebagai sumber penularan dalam satu flock
karena akan mengeluarkan kotoran /feses yang mengandung kuman selama berada dalam
kelompok kandang tersebut.Ayam yang terinfeksi melalui paruh masuk ke trakea dan
paru,maka kuman P.multocida akan masuk kedalam sirkulasi darah dan berbiak secara cepat
didalam hati/limfa dan beredar didalam darah (bakterimia).Kuman dalam darah ini sangat
menentukan jalannya penyakit, karena komponen kapsula dan komponen LPS (Pcho residu)
sebagai penentu virulasi terhadap respon imunitas diperantarai komlemen dan fagositosis
pada ayam yang bersangkutan (Ressang,1984).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan studi kasus penyakit ND dapat disimpulkan bahwa pada sampel ayam yang
digunakan menunjukkan gejala klinis yang mirip dengan gejala ND. Akan tetapi, ketika
dikonfirmasi dengan uji HA/HI yang diperiksa menunjukkan hasil negatif maka
kemungkinan ayam terinfeksi penyakit lainnya yang memiliki gejala klinis yang mirip
dengan penyakit ND, yaitu kolera unggas (fowl cholera).
DAFTAR PUSTAKA

Andrewes SC dan Pareira HG. 1972. Viruses of Vertebrates. USA: Williams and Willkins
Company.
Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Edisi Bahasa Indonesia. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Fenner FJ, Gibs FA, Murphy R, Rott MJ, Studdert DO, White. 1995. Virology Veteriner edisi
II. San Diego: Academic Press Inc.
OIE. 2002. Newcastle Disease. www.oie.int
OIE. 2012. Newcastle Disease. www.oie.int
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner Edisi Kedua. Bali: Percetakan Bali.
Rupiper DJ, Boynton SE. 1998. Paramyxovirus.East Pataluma Hospital.
Senne DA. 1989. Virus Propagation in Embryonating Eggs. USA: Kendal Publishing
Company.
Tabbu CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya: Penyakit Bakterial, Mikal dan
Viral. Kanisius.Yogyakarta.
Tarmudji.2005. Penyakit Pernafasan pada Ayam, Ditinjau Dari Aspek Klinik dan Patologik
Serta Kejadiannya di Indonesia.Wartazoa.Vol. 15.No. 2. Hal: 72-83.
Zainuddin. 2014. Studi Kasus Kolera Unggas Ayam Broiler pada Usaha Ternak Masyarakat
di Banda Aceh Secara Patologi. Jurnal Medika Veterinaria. Vol. 8.No. 1. Hal: 56-
59.
LAPORAN KASUS
KOASISTENSI VIROLOGI
“PENGUJIAN HA/HI PADA SERUM DARAH AYAM KAMPUNG”

Frits Benyamin H. Francis S.KH


NIM. 1509010019

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Ayam kampung atau lebih dikenal sebagai ayam buras (bukan ras) merupakan salah
satu sumber plasma nuftah penggerak ekonomi pedesaan dikarenakan pola pemeliharaannya
sederhana, tidak memerlukan modal besar dalam pemeliharaannya serta menjadi sumber
penghasilan tambahan dan sumber protein keluarga yang berkualitas (Folise dkk, 1998). Pola
pemeliharaan ayam kampung yang masih tradisional serta tidak memiliki program vaksinasi
yang baik memungkinkan ayam kampung mudah terserang penyakit infeksius seperti
Newcastle disease (ND) dan avian influenza (AI).
Virus Newcastle disease (VND) termasuk ke dalam famili Paramyxoviridae, genus
Avulavirus, memiliki 10 serogoup, yaitu avian paramyxovirus (APMV)-1 sampai APMV-10.
VND dibagi menjadi 4 patotipe berdasarkan gejala klinis penyakit pada ayam, yaitu tipe
viscerotropic velogenic menyebabkan infeksi akut yang parah dengan gejala lesi hemoragi
pada organ pencernaan, tipe neurotropic velogenic dengan gejala gangguan pernafasan dan
saraf, tipe mesogenic yang kurang patogen dan biasanya menimbulkan gangguan pada hewan
muda, dan tipe lentogenic dengan gejala pernafasan ringan. Kedua tipe terakhir sering
dijadikan sebagai bahan pembuatan vaksin dan tipe asymptomatic enteric yang disebabkan
oleh infeksi sub klinis galur lentogenik (Alexander dan Senne, 2008).
Virus Newcastle Disease (VND) kadang-kadang bersama dengan Avian Influensa
Virus (AIV) menginfeksi unggas dan memiliki kesamaan yang signifikan dengan AIV dalam
menyebabkan kematian pada unggas di industri perunggasan (Gu et al., 2007). Gejala klinis
NDV pada unggas berupa gejala syaraf yang menonjol yang menunjukkan, ataksia, hilang
keseimbangan, kepala berputar-putar tidak beraturan (tortikolis) ataupun rebah di atas
punggung, paralisis kaki (Alexander and Senne, 2008; Cattoli et al., 2011). Gejala klinis
NDV tersebut mirip dengan gejala klinis pada unggas yang terinfeksi AIV (Cattoli et al.,
2011) dengan tingkat mortalitasnya mencapai 100% (Pattison et al., 2008).
 Sinyalemen
- Jenis Hewan : Ayam Kampung
- Nama :-
- Umur : 3 bulan
- Warna : hitam
- Jenis Kelamin : Betina
- Nama pemilik : Minto Taebenu
- Alamat : Fatukoa
 Anamnesa :
Hasil anamnesa diketahui bahwa pola pemeliharan ayam pada tempat tersebut
secara tradisional yaitu ayam dilepaskan bebas untuk mencari makan, menurut
pemilik ayam diketahui bahwa ayam didaerah tersebut sebelumnya belum pernah
divaksin, dan pada daerah tersebut terjadi kematian ayam mendadak dengan
jumlah ayam mati sudah melebihi 30 ekor dan yang tersisa masih hidup kurang
dari 15 ekor. Ayam yang mati tidak menunjukan gejala klinis yang khas atau
secara asimtomatis dengan kondisi kebanyakan ayam mati mendadak dan
diketahui mati pada pagi hri dengan kondisi mati bertengger di pohon. akan tetapi
menurut pemilik ayam ada beberapa ayam yang mati juga sebelumnya
menunjukan retraksi pada leher atau gejala tortikolis baru kemudian ayam mati.
 Pengambilan sampel darah
Dari anamnesa dan gejala klinis yang terlihat maka perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorik berupa pemeriksaan serologis agar dapat mengetahui
agen patogen penyebab penyakit. Sampel yang akan diambil berupa sampel darah.
Pengambilan darah pada ayam dilakukan pada vena brakialis dimana pembuluh
darah ini terletak pada bagian bawah sayap. Darah yang telah diambil kemudian
dimasukkan dalam tabung Non EDTA agar serum dapat terpisah.
1.1.1 Metodologi
 Waktu dan tempat
- Pengambilan sampel dilakukan di kelurahan Fatukoa, Kota Kupang pada 19 Maret
2020
- Pengujian HA / HI di lakukan di laboratorium UPT Veteriner Prov. NTT
 Materi
Alat dan bahan yang digunakan adalah Centrifuge, cool box, Syringe (1 ml), tabung
Non EDTA, tabung eppendorf, mikropipet, Ayam kampung, , kapas, masker, sarung
tangan, alcohol, sampel darah ayam, serum,
 Metode
Teknik pengambilan darah:
- Menyiapkan ayam yang akan diambil darahnya dengan posisi berbaring sambil
dipegang
- Menahan kepala ayam dan membuka sayap
- Membersihkan bagian yang akan diambil darahnya dengan kapas yang dibasahi
dengan alkohol
- Darah diambil secukupnya dengan cara menusukkan jarum ke vena brakialis
- Kemudian darah yang telah didapat dimasukkan ke dalam tabung Non EDTA
untuk memperoleh serum darah.
- Tabung Non EDTA kemudian dimasukkan ke dalam cool box
- Serum darah dimasukkan kedalam tabung eppendorf dan dicentrifuge selama
beberapa menit agar serum yang dihasilkan lebih jernih dan diberi kode
- Sample kemudian dikemas untuk dilakukan pemeriksaan pada Laboratorium UPT
Veteriner Provinsi NTT.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Keadaan Umum Hewan


Kondisi hewan saat dilakukan pengambilan sampel darah yaitu hewan terlihat
mengantuk, mengalami retraksi pada leher serta beberapa saat setelah diambil sampel
darahnya hewan tersebut mati.

1 2

3 4

Gambar 1. Keterangan : 1. Ayam ketika ditangkap, 2. Ayam mengalami gejala


mengantuk, 3. Ayam mengalami retraksi pada leher, 4. Ayam mati

2.2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Hasil pemeriksaan serum darah ayam dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium serum darah ayam.


N NAMA KEL KECAMATAN KODE HASIL POSTIF/
O PEMILIK SAMPEL UJI NEGATIF
4 Novi Lasiana Kelapa Lima A4 4 Negatif
Ndun
Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Sampel darah ayam

2.3 Pembahasan

Unggas merupakan salah satu hewan yang rentan terinfeksi oleh agent infeksius yang
salah satunya virus, virus yang biasanya menyerang unggas adalah Avian Influenza Virus
(AI), Newcastle Disease Virus (ND), Avian Encephalitis, Infectious Brongkhitis (IB) dan
lainnya, akan tetapi virus yang menyerang unggas dengan tingkat mortilitas dan morbitas
yang tinggi yaitu Newcastle Disease Virus dengan tingkat mortilitas dan morbiditasnya
mencapai 50 - 100% (Tabbu, 2000). Virus Newcastle Disease mempunyai gejala klinis pada
unggas berupa gejala syaraf yang menonjol yang menunjukkan, ataksia, hilang
keseimbangan, kepala berputar-putar tidak beraturan (tortikolis) ataupun rebah di atas
punggung, paralisis kaki (Alexander and Senne, 2008; Cattoli et al., 2011). Pada koasistensi
virology mahasiswa mendapat kasus di daerah fatukoa, dimana terjadi kematian ayam
kampung secara mendadak dengan gejala klinis yang muncul seperti retraksi pada leher,
ayam venderung mengantuk serta kadang ayam tidak menunjukan gejala yang asimtomatik
dan mati mendadak. Sehingga mahasiswa mengambil sampel darah pada daerah tersebut
untuk dilakukan pengujian serologis yaitu pengujian Haemaglutination/haemaglutination
inhibition test (HA-HI).

Haemaglutination/haemaglutination inhibition test (HA-HI) atau Uji hemaglutinasi


digunakan khusus untuk virus-virus yang memiliki protein hemaglutini pada amplopnya.
seperti Virus Newcastle Disease, Virus Avian Influenza, Parvo Virus. Reaksi hemaglutinasi
ditandai dengan adanya butiran berpasir akibat adanya ikatan antara sel darah merah 1%
dengan protein hemaglutinin pada amplop virus (Kencana, 2017). Aglutinasi eritrosit adalah
dasar pengujian hemaglutination (HA) dan hambatan aglutinasi dengan menggunakan
antiserum subtipe H yang spesifik adalah merupakan dasar pengujian HI. Uji ini digunakan
untuk mengidentifikasi lebih lanjut virus yang diuji pada uji HA. Prinsip pengujian HI adalah
antibodi terhadap virus akan mencegah pengikatan virus dengan sel darah merah
(Muflihanah, 2009). Dasar uji HI adalah reaksi ikatan antara antibodi yang terkandung dalam
serum (OIE, 2012). Uji HA positif ditandai dengan bentukan berpasir warna merah pada
dasar plat mikro sebagai tanda hemaglutinasi. Untuk memastikan agen virus dilanjutkan
dengan uji HI menggunakan serum standar. Uji HI positif ditandai dengan pengendapan sel
darah merah 1%.

Dari hasil pengujian sampel, didapat hasil negative terhadap virus Newcastle disease
yang mana dari gejala klinis yang muncul pada ayam kampung yang dijadikan sampel
merujuk pada gejala klinis ayam yang terserang Virus Newcastle Disease selain itu factor
ayam sebelumnya belum pernah divaksin juga mempengaruhi ayam mudah terinfeksi virus
ND. Oleh karena itu, dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa pada pemeriksaan HI
antibody dari ayam tersebut belum mencapai standar Menurut OIE (2012) yaitu serum yang
diperiksa akan dinyatakan positif apabila hasil uji HI menunjukkan titer antibody ≥ 2 4
sehingga tidak terdeteksi. Selain itu juga, factor human eror juga bisa mempengaruhi hasil
yang didapat dimana mungkin terjadi kesalahan pada saat proses pengemasan sampel
maupun pada saat pemeriksaan sampel.

Diagnoasa banding dari gejala klinis yang muncul yaitu merujuk pada Avian
Influensa Virus, dimana Virus AI memiliki gejala klinis seperti tortikolis, retraksi pada otot
leher, serta memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas mencapai 100 % ( Tabbu, 2000).
Namun untuk daerah NTT, menurut hasil surveilains AI tahun 2011 – 2015 oleh balai besar
veteriner (BBVET) menunjukan bahwa NTT masih bebas dari Avian Influenza Virus.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dari hasil pengujian , anamnesis dan gejala klinis pada unggas ayam kampung
yang diperiksa didapat hasil ayam Negative Newcastle Disease Virus dengan diagnosa
banding pada Avian Influenza Virus.
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, D.J. and Senne, D.A., 2008, Newcastle Disease, Other Avian Paramyxovirus and
Pneumovirus Infection In: Alexander and Senne, Y.M. (ed.), Disease of Poultry.
Blackwell Publishing. Iowa. 75-92.

Cattoli, G., Susta, L., Terregino, C. and Brown, C., 2011, Newcastle Disease : A Review of
Field Recognition and Current Methods of Laboratory Detection, J.Vet. Diagn. Invest.,
23: 637-658.

Gu, J,, Xie, Z,, Gao, Z., 2007, H5N1 Infection of The Respiratory Tract and Beyond: A
Molecular Pathology Study, Lancet, 370: 1137–1145.

Kencana GAY. 2017. Cara Mengisolasi Virus Dan Mengidentifikasi Dengan Uji Serologi
Hemaglutinasi. Modul training. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana.

Muflihanah. 2009. Serological Diagnostic of Avian Influenza Infections. Hasanuddin


University .Makasar.

Pattison, M., McMullin, P.F., Bradbury, J.M. and Alexander, D.J., 2008, Poultry Diseases,
6th Edition, Saunders Elsevier, China, pp: 298- 301.

OIE.2012 .OIE Terrestrial manual, Avian Influenza Chapter 2.3.4.

Tabbu CR 2000. Penyakit ayam dan Penanggulangannya. Penyakit Bakterial, Mikal dan
Viral. Volume 1. Penerbit kanisius, Yogyakarta.
LAPORAN KOASISTENSI
KASUS MANDIRI VIROLOGI
BABI SUSPEK ASF (AFRIKA SWINE FEVER)

KATARINA SABU LEBA, S.K.H


Nim.1509010004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan salah satu provinsi dengan populasi

ternak babi tertinggi di Indonesia. Daerah NTT merupakan daerah yang sangat

berpotensi untuk pemeliharaan dan pengembangan ternak babi (Wea, 2002). Hal ini

didukung oleh kondisi sosial budaya yaitu pemeliharaan babi yang merupakan suatu

kebiasaan turun temurun, babi banyak digunakan dalam upacara adat atau keagamaan,

serta daging babi sebagai sumber protein hewani utama bagi masyarakat NTT serta

beternak babi merupakan salah satu usaha rumah tangga yang penting sebagai sumber

penghasilan

Keberhasilan suatu usaha peternakan babi juga tidak terlepas dari berbagai kendala

yang sangat merugikan peternak. Salah satu kendala yang merupakan penyebab

kegagalan dalam hal produksi ternak babi adalah serangan penyakit baik yang bersifat

menular maupun tidak. Beberapa penyakit yang sering menyerang babi adalah penyakit

yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit. Salah satu penyakit virus yang pada

saat ini telah banyak menyebabkan kematian ternak babi di NTT adalah African Swine

Fever (ASF)

ASF (Africa swine fever) merupakan penyakit menular pada babi domestik maupun

babi liar yang disebabkan oleh ASFV (Afrika swine fever virus). Sindrom klinis

bervariasi dari acut, subacut dan kronis tergantung pada tingkat virulensi virus. ASFV

dapat menyebabkan kematian pada ternak babi sampai dengan 1OO% (OIE, 2019).

Penyebaran ASF didunia meluas mencapai 50 negara di tiga benua yaitu Afrika, Asia

dan Eropa. Di Indonesia ASF pertama kali masuk pada bulan September tahun 2019 di
daerah Sumatera (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019)

dan hingga kini diketahui ASF sudah meluas hingga ke NTT.

Adanya wabah ASF menyebabkan peternak babi dan petani merasakan dampak

kerugian ekonomi yang sangat besar. Hal ini karena penyakit ASF sulit untuk

diberantas karena belum ada vaksin dan obat khusus, serta penyebaran virus yang

sangat cepat. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OlE) memberikan kebijakan utama

bahwa tindakan yang paling tepat untuk pemberantasan penyakit tersebut adalah

pemusnahan semua populasi babi terancam dan pelarangan transportasi babi dari

daerah tertular terhadap daerah bebas. Di NTT ASF merupakan salah satu penyakit

baru pada babi, yang pada umumnya belum diketahui masyarakat. .

1.2 Tujuan

Untuk melakukan identifikasi sampel viral, mendiagnosa penyakit viral dan memahami

cara penanggulangannya
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Karakteristik ASFV (Africa swine fever Virus)

ASFV (african swine fever virus) merupakan satu-satunya spesies virus

dalam famili Asfarviridae genus Asfivirus (Dixon et al, 2005). ASFV termasuk virus

yang memiliki double-stranded DNA berselubung besar dengan morfologi icosahedral

dan ukuran 200 nm (OIE, 2019: Alcrudo, et al., 2017). Malogolovkin et al., (2015)

melaporkan bahwa berdasarkan Nasional Research Institut veterinary virology dan

mikrobiologi yang dilakukan dari 32 isolat ASFV ditemukan delapan serogrup yang

berbeda berdasarkan uji inhibisi hemadsorpsi (HAI). Karakteristik genetik dari semua

isolate virus ASF mencapai 23 genotipe (segmen dalam satu gen protein) yang berbeda

pada kelompok geografis, yang menggambarkan kompleksitas epidemiologi ASF.

Gambar 1. Karakteristik Virus

ASF

Babi yang terinfeksi ASFV mengeluarkan virus pada sekresi saliva, lakrimalis

(air mata), sekresi hidung, urin, feses dan sekresi saluran genital serta darah. Babi yang

terpapar agen infeksi akan menunjukkan gejala infeksi ASFV. Dalam lingkungan yang

cocok dan kaya protein ASFV akan stabil dan apabila hewan sehat terkontaminasi

maka akan ada penyebaran lebih lanjut. ASFV dapat bertahan pada daging dengan dan

tanpa tulang dan digiling 105 hari, daging asin 182 hari, daging kering 300 hari, daging

yang diasap 30 hari, daging beku 1000 hari, daging dingin 110 hari, jeroan 105 hari,
kulit atau lemak 300 hari, darah pada suhu 4 0C 18 bulan, kotoran pada suhu kamar 11

hari, darah busuk 15 minggu. ASFV diketahui dapat inaktif pada suhu 56 0C selama 70

menit atau 60°C selama 20 menit dengan pH <3,9, serta diketahui tahan terhadap

autolysis dan beberapa desinfektan, peka terhadap eter dan clorofom (Alcrudo, et al.,

2017),

2.3 Epidemiologi Penyakit ASF

Penyebaran ASF didunia meluas mencapai 50 negara di tiga benua yaitu Afrika,

Asia dan Eropa. ASF pertama kali diidentifikasi pada tahun 1921 di Kenya, Afrika

Timur, pada tahun 1957 ASF dilaporkan di Portugal, selanjutnya menyebar ke Eropa.

ASF ditemukan di Asia pada tahun 2010, selanjutnya dilaporkan pada bulan agustus

2018 dilaporkan wabah di Tiongkok dimana merupakan kasus pertama kali di Asia

Timur. Kasus ASF selanjutnya menyebar ke Negara Asia lainnya hingga dilaporkan di

Vetnam Februari 2019, Kamboja, Laos, Filiphina, Myanmar dan Timor Leste dan di

Indonesia ASF pertama kali masuk pada september 2019 di daerah Sumatera, dan

hingga kini diketahui ASF sudah meluas hingga ke Nusa Tenggara Timur (OIE,2020).

Berdasarkan data dari Food and Agriculture Organization (FAO, 2020), tingkat

kematian babi di NTT per 27 februari mencapai 2.825 ekor di lima kabupaten yaitu

Belu, Malaka, Timor Tenga Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten

Kupang dan Kota Kupang, sedangkan data dari harian kompas tertanggal 19 juli 2020

kematian babi mencapai 24.822 ekor.


Gambar 2. Peta Penyebaran ASF di Asia

2.4 Transmisi Penyakit

ASF dapat ditransmisikan atau ditularkan secara langsung maupun tidak

langsung. Secara langsung dapat melalui sekresi saliva, sekresi hidung, urin, feses dan

sekresi saluran genital dari satu ternak ke ternak babi yang lainnya. Sedangkan secara

tidak langsung ASF dapat ditularkan melalui bahan pakan dan prodak-prodak daging

babi yang terkontaminasi, vaksinasi antara babi yang sehat dan sakit menggunakan

jarum yang sama, serta biosafety dan biosecurity kandang yang kurang baik yang

menyebabkan adanya akses bebas.

Menurut Alcrudo, et al., (2017) dalam FAO Animal Production and Healt

menjelaskan bahwa siklus transmisi penyakit ada tiga yaitu siklus sylvatic atau

transmisi penyakit ASF yang terjadi dihutan, siklus pada babi domestik (peternakan

babi) dan siklus transmisi pada babi hutan. Siklus sylvatic diketahui hanya terjadi di

Afrika yang dimulai dari host alami ASFV yaitu warthogs dan vector caplak (kutu

halus) Ornithodoros moubata complex. Caplak Ornithodoros spp. yang menginfeksi

warthogs akan hidup 6 -8 minggu yang dapat menyebabkan viremia pada neonatus,

pada waktu yang pendek 2-3 minggu virus akan bertahan pada aliran darah namun
tanpa gejala klins. Di daerah endemik 100 % warthogs akan menghasilkan antibodi

ASFV, dan virus ASF dapat ditemukan pada limfonodus warthogs pada berbagai umur

dan bersifat laten pada kondisi infeksi virus rendah. Populasi caplak tetap terinfeksi dan

infektif untuk jangka waktu yang lama karena adanya trans stadial, transmisi kelamin

dan tranovarial virus dalam caplak yang memungkinkan virus ASF bertahan bahkan

tanpa host. Caplak yang terinfeksi ASF bertahan berbulan-bulan pada lubang tanah dan

beberapa tahun jika sudah memakan inang atau host yang terinfeksi.

ASF pertama kali menular pada babi terjadi di Semenanjung Liberia yang

diketahui ASF berasal dari Ornithodoros erraticus yang merupakan caplak berhabitat

di kandang babi. Beberapa spesies Ornithodoros spp. telah terbukti menjadi vector

yang memiliki potensi penyebaran ASF baik di lapangan maupun eksperimental

laboratorium seperti O. erraticus, O. marocanus, O. moubata complex,

O.puertoricensis, O. coriaceus, O. turicata, O. savignyi, O.sonrai.

Penyebaran ASF dari babi ke babi terjadi melalui kontak langsung dari babi yang

terinfeksi melalui rute oro nasal setelah kontak dengan ekskresi babi terinfeksi, dan

kontak tidak langsung melalui konsumsi daging babi atau prodak pangan yang

terkontaminasi dan fomite. Virus ASF ditularkan dari satu peternakan ke peternakan

lainnya karena adanya pergerakan atau perpindahan hewan, prodak-prodak hewan yang

terkontaminasi. Penyebaran ASF pada babi domestik dapat dihentikan dengan metode

stamping out namun di Eropa timur populasi babi liar atau babi hutan dapat menjadi

sumber penularan baru ASF. Hal ini dikarenakan dalam suatu farm atau peternakan

yang memiliki ASF pada babi diketahui telah menyebar melalui pakan yang terinfeksi

dibuang ke hutan dan biosecurity berupa pagar yang memungkinkan adanya kontak dari

babi liar dengan babi domestic, sehingga terjadi penularan pada babi liar.
Gambar 3. Siklus Transmisi ASF
2.5 Gejala Klinis

Penyakit ASF umumnya ditandai dengan adanya kematian mendadak pada babi

semua umur baik jantan maupun betina. Meskipun sangat mematikan ASF tidak terlalu

pathogen dibandingkan dengan penyakit mulut dan kuku. Gejala klinis ASF yang

muncul pada babi liar sama seperti gejala pada babi domestik. Tanda klinis yang terjadi

pada hewan yang terpapar ASF bervariasi tergantung pada beberapa faktor antara lain

tingkat virulensi virus, breed babi yang terinfeksi, rute paparan, dosis infeksi, dan status

endemisitas didaerah tersebut.

Berdasarkan tingkat virulensi ASFV diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu

isolate virulensi tinggi, sedang dan virulensi rendah. Sedangkan bentuk klinis ASFV

terdiri dari peracut, akut, sub akut dan kronis. Pada fase preakut ditandai dengan

dengan suhu mencapai 41-420C, kehilangan nafsu makan dan tidak aktif, kematian

mendadak mungkin terjadi dalam hari ke 1-3 sebelum munculnya tanda klinis.

Sedangkan pada fase akut memiliki masa inkubasi 4-7 hari namun ada yang mencapai

14 hari masa inkubasi. Fase akut ASF menunjukan gejala klinis suhu 40-420C, kurang

nafsu makan, hewan terlihat lemas dan lesuh, berbaring dan meringkuk, serta adanya

peningkatan laju pernapasan. Pada fase ini kematian sering terjadi pada hari ke 6-9
untuk strain yang sangat virulen atau 11-15 hari untuk strain yang rendah virulen (OIE,

2020).

Tanda klinis pada fase akut antara lain adanya warna ungu kebiruan dengan

perdarahan seperti bintik atau memanjang (petekie) di telinga, perut dan kaki belakang,

adanya konstipasi atau diare hingga terbentuk melena, muntah, aborsi pada induk

bunting pada semua tahap kebuntingan, adanya darah dari hidung dan mulut, discharge

dari mata dan area sekitar ekor akan terlihat seperti ada kotoran darah. Selain gejala

klinis yang dapat diamat, temuan post mortem yang dapat ditemukan pada babi ASF

antara lain pembesaran kelenjar geta bening, endematous, gastrohapatik dan ginjal

membesar dan terlihat adanya gumpalan darah, limpah berwarna gelap atau merah

kehitaman dengan ujung membulat dan adanya petechiae pada kapsul ginjal (Artois et

al., 2002; Greg, 2002; Wirata et al., 2010).

Gambar 4. Gejala klinis ASF

Fase sub akut dapat terlihat gejala klinis seperi kehilangan nafsu makan, depresi,

sedikit mengalami demam namun berfluktuasi, pada kasus postmortem terlihat adanya

perikarditis serosa. Babi yang mengalami klinis sub akut biasanya dapat pulih setelah 1

bulan, umumnya gejala klinis pada fase ini tidak terlihat jelas dengan tingkat kematian

babi biasanya terjadi pada hari ke 7-20 mencapai 30-70 % sedangkan fase kronis babi

biasanya menunjukan gejala klinis seperti demam ringan, gangguan pernapasan ringan,
gejalah klinis postmortem seperti nekrosis caseosa, perikarditis fibrinosa, kelenjar geta

bening sedikit bengkak dengan tingkat kematian kurang dari 30% (OIE (2020).

2.6 Patogenesis

Virus ASF masuk ke babi melalui kontak langsung maupun kontak tidak

langsung dan masuk ke sel target yaitu retikolo-endotel dan melakukan replikasi.

Replikasi virus pada endothelial sel akan menyebabkan produksi dan pelepasan

prostaglandin anti-agregat prostasiklin terganggu yang berdampak pada kerusakan sel

edotelial dan lisisnya sel-sel darah merah sehingga terjadi reaksi agregasi dan pelepasan

platelet, selain itu adanya virus pada sel target secara patofisiologi terjadi pelepasan

makrofag. Pada kasus ini makrofag akan melepaskan produk cyclo-oxygenase dan

memecah asam arachidonik dan terjadi peningkatan prostaglandin agonis poten (PGE2)

yang menyebabkan vasodilator dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah

sehingga berkontribusi terjadinya hemoragi, edema dan kolaps sirkulasi. Rusaknya sel

endothelial, jaringan subendotelial dan kolagen menyebabkan terjadinya koagulasi

intravascular dan infark (Anderson, 1986).

Gambar 5. Patogenesis ASF

2.7 Diagnosa Banding


ASFV pada babi tidak selalu menunjukkan semua gejala klins seperti yang telah

dijelaskan. Diagnosa klinik pada tahap awal infeksi ASFV dapat dikelirukan dengan

beberapa penyakit. Tidak ada diagnosa yang pasti dari tanda klinis yang terjadi sampai

adanya konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Beberapa penyakit yang memiliki gejala

klinis hampir sama seperti ASF antara lain Classical Swine fever (CSF), PRRS

(Porcine Reproductive And Respiratory Syndrome), PDNS (Porcine dermatitis and

nephropathy syndrome, Erysipelas, Aujeszky’s disease, Salmonelosis dan Poisoning.

Classical Swine fever (CSF) atau dikenal hog cholera merupakan penyakit pada

babi yang disebabkan oleh Pestivirus dari family Flaviviridae. CSF memiliki satu

serotipe berbeda dengan ASF yang memiliki banyak serotype. Adapun gejala klinis

yang muncul yaitu nafsu makan berkurang, depresi, perdarahan, konjungtivitis, lemah,

kulit terlihat berwarna merah keunguan, pernafasan dangkal, adanya edema pada ginjal,

kelenjar geta bening dan kantong empedu, serta persentasi kematian mencapai 100%.

Perbedaan kedua penyakit ini hanya dapat dikonfirmasi dengan uji laboratorium. Untuk

ASF dapat dicegah dengan vaksinasi, Titer antibodi protekif telah terbentuk satu

minggu setelah vaksinasi dan bertahan selama 2-3 tahun (Tarigan et al., 1997; Tizard

2000). Vaksinasi terhadap anak babi yang induknya belum divaksin dilakukan pada

umur 14-21 hari, sedangkan untuk anak babi yang induknya sudah pernah divaksin,

dilakukan vaksinasi pada umur 30 hari (Subronto, 2003). Pemberian vaksin tidak hanya

melindungi hewan terhadap gejala klinis, tetapi juga mencegah terjadinya infeksi

(Biront dan Leunen, 1987).

PRRS (Porcine Reproductive And Respiratory Syndrome) atau dikenal dengan

nama penyakit telinga biru. PRRS disebabkan oleh virus genus arterivirus. Adapun

gejalah klinis yang ditemukan yaitu pneumonia, aborsi bagi babi yang bunting, kulit

memerah khususnya pada telinga merah kebiruan, dan diare, tingkat mortalitas tinggi,
demam tinggi, batuk, dyspenia, kepincangan, anoreksia, sianosis dan tanda klinis hasil

nekropsi berupa lesi paru-paru, pembengkakan dan perdarahan kelenjar getah bening

dan adanya petekie ginjal. PRRS belum ditemukan di Indonesia.

PDNS (Porcine dermatitis and nephropathy syndrome) merupakan penyakit pada

babi yang disebabkan oleh virus circovirus. PDNS memiliki gejala klinis hampir sama

yaitu anoreksia, depresi, lesi pada kulit dengan warna merah keunguan khususnya pada

bagian ekor dan perineum, adanya nekrosis vaskulitis, edema kelenjar geta bening.

Tingkat morbiditas rendah namun mortalitas tinggi. PDNS belum ditemukan di

Indonesia

Erysipelas merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Erysipelothrix

rhusiopathiae. Penyakit ini dapat bersifat akut pada ternak babi usia mudah ditandai

dengan adanya kematian mendadak dengan lesi kulit yang berhubungan dengan

nekrosis vaskulitis. Pada kasus postmortem diketahui adanya edema limpa, nekrosis

paru-paru, kelenjar getah bening perifer, hemoragi pada korteks ginjal dan jantung.

Aujeszky’s disease atau pseudorabies yang dapat menyebabkan gangguan

reproduksi dan neurologis yang parah dan berdampak pada kematian mencapai 100%.

Gejala klinis yang muncul antara lain demam, kejang-kejang dan gemetar, lumpuh,

pernafasan dangkal, muntah, aborsi pada babi bunting, adanya lesi nekrotik,

ensefalomielitis fokal, petekie pada hepar.

Salmonelosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp.

yang umumnya menyerang hewan usia mudah. Gejala klinis yang timbul antara lain

sianosis telinga, ekor, kaki dan perut, hasil nekropsi ditemukan petekie pada ginjal,

edema jantung, limpa dan kelenjar getah bening, hepatomegali. Selain itu Poisoning

atau keracunan pada babi dapat menunjukan gejalah klinis yang sama seperti ASF

namun tidak spesifik (Alcrudo, et al., 2017).


2.8 Teknik Diagnostik

1. ELISA

Uji ELISA merupakan screening awal pengujian suatu penyakit, uji ini bertujuan

untuk mengidentifikasi antibody ASF dalam serum. Prinsip dasar uji ELISA adalah

analisis interaksi antara antigen dan antibody dengan menggunakan enzim sebagai

penanda reaksi (Yusrini, 2005). Prinsip kerja uji ELISA adalah adanya ikatan antara

antigen dan antibody kompleksDalam teknik ini ntibody ASF ditandai dengan enzim

tertentu. Uji ELISA memiliki indeks sensifitas, spesifitas dan kecepatan tinggi dengan

biaya rendah dan interpretasi hasil dengan mudah.

2. PCR

PCR digunakan untuk mendeteksi genom ASFV dalam sampel babi baik darah,

jaringan maupun organ. PCR memungkinkan diagnosis penyakit dalam beberapa jam

hal ini karena PCR memiliki sensitive, spesifik dan cepat untuk mendeteksi virus.

PCR dapat menjadi alternative pemeriksaan ASF sehingga pencegahan dan

penyebaran dapat dilakukan sejak dini.

3. FAT (Direct Fluorescent Antibody)

FAT digunakan untuk mendeteksi antigen ASFV dalam jaringan babi. Prinsip

FAT test adalah deteksi mikroskopis antigen virus pada apusan darah atau cryosection

organ yang tipis. Selain itu FAT juga digunakan untuk mendeteksi antigen ASFV

dalam kultur leukosit. Tes ini merupakan tes yang cukup kuat dalam menegakan

diagnosis namun dengan adanya perkembangan pengguanaan PCR yang semakin


meluas, FAT dapat digantikan dengan PCR. Selain itu reagen untuk FAT tidak lagi

terjual secara luas.

4. HA (Haemadsorption)

Isolasi virus didasarkan pada inokulasi sampel ke kultur sel primer, monosit

dan makrofag. Sampel yang mengandung ASFV akan bereplikasi dalam sel yg rentan

dan menghasilkan efek sitopatik (CPE) pada sel yg terinfeksi yg biasanya terjadi

dalam waktu 48-72 jam.

5. IFA (Indirect Fluorescent Antibody)

Prinsip pemeriksaan IFA didasarkan pada deteksi antibody ASF yg berikatan

dengan monolayer sel ginjal yg terinfeksi ASFV dan telah diadaptasi. Reaksi ntibody

antigen dideteksi oleh konjugasi antibody sampel positif menunjukan flouresensi

spesifik dalam sitoplasma sel yang terinfeksi. Pemeriksaan meenggunakan uji IFA

memiliki sensitivitas danspesifisitas tinggi.

6. IPT (Indirect Immunoperoxidase Test

IPT adalah teknik imunohistokimia pada sel-sel tetap untuk menentukan

pembentukan kompleks antibody antigen melalui aksi peroksidase.

2.9 Pencegahan Penyakit

ASF dapat dicegah dengan melakukan tindakan biosafety dan biosecurity

kandang yang baik. Biosekurity dan biosafety kandang bertujuan menjaga penularan

baik dari hewan liar maupun transportasi yang masuk atau keluar dari peternakan, dan

akses orang yang dapat menjadi sumber penularan ASF. Selain itu higene dan sanitasi

kandang merupakan hal yang penting untuk mencega muncul dan berkembangnya

vector. Pakan yang berasal dari limba rumah tangga sebaiknya tidak diberikan kepada

ternak. Peningkatan SDM sangat penting dilakukan agar peternak lebih paham tentang
bahaya ASFV dan tindakan-tindakan pencegahan yang perlu dilakukan misalnya saat

wabah berlangsung, penanganan hewan mati dan tindakan stamping out.

BAB III

MATERI DAN METODE

2.1 Materi

 Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel darah babi yaitu
termometer, kapas, alcohol, ven-oject, tabung vacum non-EDTA,dan kamera.
 Tempat pengambilan sampel dan pengiriman sampel
Pengambilan sampel darah dilakukan pada kandang babi di Desa Oeltua.

Selanjutnya sampel darah dikirim UPT. Veteriner Kupang.

2.2 Metode

Metode pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara mengambil darah

babi yang mempunyai gejala klinis menyerupai ASF pada vena jugularis. Kemudian

sampel darah dimasukkan ke dalam tabung non-EDTA, setelah serum terbentuk serum

darah, dimasukkan ke dalam microtube.dan dibawah ke laboratorium untuk dilakukan

pemeriksaan uji ELISA.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

 Data Pemilik
Nama Pemilik : Bapak Yohanes
Alamat : Desa Oeltua
Mahasiswa Koas : Katarina Sabu Leba
 Data Hewan
Jenis hewan : Babi
Ras : Duroc
Umur : 11 bulan
Warna bulu : Putih

Anamnesa

Hasil anamnesa kepada pemilik menunjukkan bahwa babi sudah mengalami gejala

klinis sekitar 2 hari yang lalu. Populasi babi di kandang tersebut adalah 3 ekor babi, dua

ekor babi suda mati sehari sebelumnya. Berdasarkan keterangan dari pemilik babi belum

pernah divaksin.

Pemeriksaan Fisik

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan pemeriksaan fisik, gejala yang tampak

pada babi antara lain demam (39,70C), nafsu makan menurun, perdarahan pada kulit

(Hemoragi ecchymosis pada telinga dexter dan sinister), adanya sianosis (kebiruan) pada

area perut, kematian babi dalam populasi tersebut terjadi pada 4-10 hari, dan ada hewan

yang ditemukan mati tanpa gejala apapun.


Gambar 6. Hemoragi dan sianosis pada kulit dan telinga dexter dan sinister

Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium uji ELISA sampel babi suspect ASF yang dibawah ke

UPT Veteriner Provinsi NTT diasumsikan negatif ASF.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, babi milik Bapak Yohanes diasumsikan

negatif ASF. Hal ini dikelirukan dengan beberapa penyakit virus yang menyerang babi yang

memiliki gejalah klinis yang mirip seperti Classical Swine fever (CSF), PRRS (Porcine

Reproductive And Respiratory Syndrome), PDNS (Porcine dermatitis and nephropathy

syndrome, Erysipelas, Aujeszky’s disease, Salmonelosis. Beberapa penyakit yang memiliki

gejalah klinis yang mirip diatas yang pernah dilaporkan di Indonesia adalah Classical

Swine fever (CSF), Erysipelas dan Salmonelosis.

Classical Swine fever (CSF) atau dikenal hog cholera merupakan salah satu penyakit

yang disebabkan oleh virus dari keluarga Flaviviridae, genus Pestivirus. Hog cholera

memiliki gejala klinis yang hampir sama sepeti ASF yaitu demam, tidak mau makan, muncul

bercak-bercak kemerahan (Hemoragi ptekie) dan sianosis pada bagian kulit telinga,

punggung, perut dan kaki (OIE, 2020). Babi berjalan sempoyongan dan tidak bisa berdiri.

Secara patologi anatomi ASF dan CSF memiliki sedikit perbedaan seperti terdapat pada

Tabel 1. Namun, perbedaan kedua penyakit ini hanya dapat dikonfirmasi dengan uji

laboratorium. Untuk Hog cholera dapat dicegah dengan vaksinasi, sedangkan ASF belum

memiliki vaksin (Tizard 2000). Berdasarkan anamnesis, dan gejalah klinis babi milik babak
Yohanes diduga tertular CSF. Hal ini dinilai dari status vaksinasi yaitu ternak babi belum

perna di vaksin. Selain itu menurut laporan teknis Balai Besar Veteriner Denpasar tahun

2019 dan studi epidemiologi , CSF atau hog cholera merupakan penyakit endemis di NTT.

Tabel 1. Perbandingan Gejalah Klinis Dan Patologi Anatomi Organ ASF dan CSF

Perbandingan Gejalah Klinis Dan Patologi Anatomi Organ


N
O
Gejalah Klinis ASF CSF Patologi ASF CSF
Anatomi

1. Demam Ya Ya hemoragi pada Ya Ya


lambung, usus
dan hepar

2. Depresi Ya Ya Petekie lambung Ya Ya

3. Nafsu makan menurun Ya Ya hemoragi di usus Ya Ya


(duodenum,
jejenum dan
illeum)

4. Kemerahan pada kulit, Ya Ya Edema hati Ya -


telinga, perut dan kaki
(hemoragi eccimosis)

5. Sianosis berwarna Ya Ya limfonodus warna Ya Ya


biru keunguan menjadi hitam da
nada petekhie

6. muntah Ya Ya Splenomegali dan Ya Ya


terjadi perubahan
warna menjadi
kehitaman

7. Diare Ya Ya hyperemic Ya Ya
splenomegaly

8. Kematian dalam hari Ya Ya hemoragi dan Ya Ya


ke 6-13 (kadang hari juga titik
ke 20) berwarna
keunguan
(petekie) pada
kapsula ginjal

9. Tingkat kematian Ya Ya hemoragi pulmo Ya Ya


100%

10. konjungtivitis - Ya Ensefalomielitis - Ya

11. Bergerombol - Ya Tonsilitis - Ya

12. Babi pingsan ataau Ya Ya Petekhie - Ya


lemas eccimose
epiglottis,
kantung kemih,
ginjal dan rectum

Selain itu penyakit Erysipelas sering dikelirukan dengan penyakit ASF apabila dilihat

dari gejalah klinis. Erysipelas merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Erysipelothrix rhusiopathiae. Penyakit ini dapat bersifat akut pada ternak babi usia mudah

ditandai dengan adanya kematian mendadak dengan lesi kulit (kemerahan) yang

berhubungan dengan nekrosis vaskulitis. Namun Erysipelas belum pernah dilaporkan di

NTT. ASF juga sering dikelirukan dengan penyakit salmonellosis apabila ditinjau dari gejala

klinis. Salmonelosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. yang

umumnya menyerang hewan usia mudah.


BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

ASF merupakan salah satu penyakit babi yang memiliki dampak kematian

hingga 100%, memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan penyakit Classical

Swine fever (CSF),Erysipelas, dan salmonellosis sehingga sering dikelirukan apabila

hanya melihat gejala klinis. Uji laboratorium merupakan salah satu teknik diagnose

yang penting dalam menegakan diagnose. Penyakit ASF belum ada obat maupun

vaksinasi untuk itu pencegahan merupakan hal penting yang harus dilakukan seperti

menjaga biosekurty dan bisfety serta sanitasi kandang yan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Alcrodo DB, Arias M, Gallardo , Kramer SA. 2017. African Swine Fever Detection
and Diagnosis a Manual for Veterinarian. Food and Agriculture Organization of the United
Nations. Hal. 19-78.

Dixon LK., Escribano JM., Martins C., Rock DL., Salas ML, Wilkinson PJ. (2005). In:
Virus Taxonomy, VIII th Report of the ICTV, Fauquet C.M., Mayo M.A., Maniloff J,
Desselberger U.& Ball L.A., eds. Elsevier/Academic Press, London, UK, 135–143.

FAO. Situasi ASF dalam Pembaharuan Asia, 05 Maret 08.00 2020.


2020.http://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empress/ASF/situation_update.html
diakses pada 20 maret 2020.

Gregg, D. 2002. Update on Classical Swine Fever (Hog Cholera). Journal of Swine
Health and Production., 10(1):33-37.

Malogolovkin, A., Burmakina, G., Titov, I., Sereda, A., Gogin, A., Baryshnikova, E. &
Kolbasov, D. 2015. Comparative analysis of African swine fever virus genotypes and
serogroups.

OIE Manual of Diagnostic Test and Vaccines for Terrestial Animal. 2019. Home/eng/animal-
healt-in-the-World/docs/pdf/disease-cards/Africa Swine Fever.pd diakses pada 20 maret
2020.

OIE Manual Terrestial. 2019. Africa Swine Fever (Infection Africa Swine Fever Virus).
Chapter 3.8.1, hal. 1-18.pdf.

OIE. 2020. Classical Swine Fever dalam OIE Terrestrial Manual www.oie.int. hal
1092-1106.
Retnaningsih T W. 2019. Mengenal Demam Babi Afrika atau African Swine Fever
(ASF). Medik Veteriner Muda

Wensvoort, G .,Terpstra , C .,Boonstra , J .,Bloemraad, M ., Zaane, D. V. and Van, Z .


D.1986 . Production of monoclonal antibodies against swine fever virus dan their use in
laboratory diagnosis . Vet. Microbiol . 12 : 101-108.

LAPORAN KOASISTENSI
KASUS MANDIRI VIROLOGI
BABI SUSPECT African Swine Fever (ASF)

OLEH

MARIA TAROCI KA’AUNI, S. KH

Nim. 1509010023
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ternak babi merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat efisien dan

mempunyai arti ekonomi sebagai ternak potong karena persentase karkas babi cukup

tinggi, yaitu dapat mencapai 65-80%, sedangkan karkas sapi hanya 50–60 % (Berata et

al., 2009). Usaha peternakan babi merupakan bagian kebudayaan dalam kehidupan

masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya di Provinsi Nusa Tenggara

Timur (NTT). Berdasarkan hasil statistik yang diperoleh dari Direktorat Jenderal

Peternakan dan kesehatan hewan Kementerian Pertanian (Dirkeswan, 2017), Nusa

Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi dengan populasi ternak babi tertinggi di

Indonesia.
Umumnya masyarakat yang beternak babi secara tradisional memiliki pengetahuan

yang masih kurang mengenai masalah manajemen, kesehatan, pakan, serta perkandangan.

Hal tersebut menyebabkan sering dijumpai masyarakat yang mengalami kegagalan dalam

beternak babi, terutama terkait dengan masalah kesehatan atau penyakit ternaknya

sehingga akan menyebabkan terjadinya penurunan populasi ternak babi (Dharmawan,

2013). Oleh karena itu pentingnyang pengetahuan tentang penyakit yang sering muncul

akan sangat membantu dalam mengambil tindakan pencegahan dan pengendalian

penyakit. Penyakit yang saat ini sering menyerang babi khususnya di pulau NTT

diantaranya African Swine Fever (ASF) dan Classical Swine Fever (CSF) atau Hog

Cholera.

African Swine Fever (ASF) atau dikenal dengan demam babi Afrika merupakan

penyakit infeksius pada babi bersifat hemoragik yang disebabkan oleh virus DNA

beruntai ganda, dalam family Asfarviridae dan genus Asfivirus. Virus ini menyebabkan

demam berdarah dengan tingkat kematian yang tinggi pada babi domestik dan babi liar.

Hog cholera adalah penyakit viral pada babi yang bersifat menular, penyakit ini

disebabkan oleh virus dari genus Pestivirus, familia Flaviviridae, yang menyerang babi

dari segala umur (Sarosa et al., 2004). Kedua jenis penyakit ini memiliki potensi untuk

berdampak negatif pada sosial ekonomi, menyebabkan kematian hewan yang tinggi dan

menyebabkan keresahan pada masyarakat. Penyakit ini memiiki tingkat morbiditas dan

mortalitas yang tinggi, yaitu mencapai 100% (OIE, 2020).

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukan koasistensi virologi adalah untuk mendiagnosa penyakit

berdasarkan pemeriksaan klinis dan uji laboratorium serta memahami cara

penanggulangannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 African Swine Fever (ASF)

2.1.2 Etiologi

Penyakit ASF disebabkan oleh virus ASF, yang merupakan virus DNA beruntai ganda

genus Asfivirus. Hingga saat ini virus ASF hanya memiliki satu serotipe meskipun terdapat

23 genotipe dengan virulensi yang bervariasi (Rodriguez et al. 2015). Meskipun virus ASF

mempunyai satu serotipe, namun penelitian terakhir menyatakan bahwa virus ASF dapat

dikelompokkan menjadi 8 serogroup berdasarkan hemadsorption inhibition assay (HAI) pada


biakan jaringan. Adanya hemadsorption, merupakan patognomonik adanya virus ASF yang

membedakan dengan virus Classical Swine Fever (CSF) (Malogolovkin et al. 2015).

Virus ASF bertahan dalam waktu yang lama pada suhu rendah, namun dengan

pemanasan 56°C selama 70 menit dan 90°C selama 30 menit virus ini akan inaktif, selain itu

virus ini bertahan lama dalam darah, feses, jaringan dan dapat berkembang biak dalam vektor

Ornithodoros sp.). Penyimpanan virus ASF pada suhu -80°C dapat bertahan selama bertahun-

tahun, sedangkan pada suhu -20°C bertahan hingga 65 minggu. Virus ini juga tahan terhadap

beberapa bahan kimia seperti tripsin dan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). Virus

ASF dalam darah (viraemia) yang disimpan dalam keadaan dingin dapat bertahan selama 75

minggu, sedangkan pada medium transport dapat bertahan selama 12 hari. Oleh karena itu,

transportasi sampel lapang harus mengikuti sistem rantai dingin agar virus tetap hidup. Virus

ini juga tidak tahan hidup dalam kondisi antara pH 3,9 hingga 13,4. Berdasarkan sifat

kimianya, virus ini akan inaktif terhadap eter, kloroform, natrium hidroksida, hipoklorit,

0,5% klorin, 3/1000 formalin selama 30 menit, 3% orthophenylphenol selama 30 menit dan

senyawa yodium (OIE 2018).

Virus ASF dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama dalam darah, feses dan

jaringan, produk daging babi mentah atau kurang matang. Virus ASF dapat terdeteksi pada

daging dengan dan tanpa tulang dan daging giling selama 105 hari, pada daging yang

diasinkan 182 hari, daging yang diasap 30 hari, daging yang dimasak (minimal 30 menit pada

70°C) 0 hari, daging kering 300 hari, daging dalam keadaan dingin 110 hari, daging beku

1.000 hari, jeroan babi 105 hari, kulit/lemak (bahkan dikeringkan) 300 hari, darah disimpan

pada suhu 4°C 18 bulan, kotoran pada suhu kamar 11 hari, darah membusuk 15 minggu dan

kandang babi yang terkontaminasi 1 bulan (Sendow et al., 2020).

2.1.2 Gejala Klinis


Menurut OIE (2020) manifestasi infeksi ASF dibagi dalam 4 bentuk gejala klinis

tergantung dari virulensi strain dan status antibodi yang menginfeksi, yaitu :

 Bentuk per akut ASF menunjukkan gejala klinis seperti kematian sangat

cepat dan tiba-tiba, dengan gejala gejala klinis yang sedikit.

 Bentuk akut menunjukkan gejala klinis seperti demam mencapai 40,5–42°C,

anoreksia, lesu, sianosis, inkoordinasi, peningkatan nadi dan laju pernapasan,

erithrema (pada sekitar telinga dan badan), diare (terkadang disertai darah),

muntah, batuk dan sesak nafas, leukopenia dan trombositopenia (pada 48-72

jam), abortus pada babi bunting.

 Bentuk subakut menunjukkan gejala klinis seperti demam ringan, nafsu

makan hilang, dan depresi, kadang disertai dengan abortus pada babi bunting.

 Bentuk kronis menunjukkan gejalan klinis seperti nafsu makan tidak ada,

tidak demam atau suhu normal, pernapasan cepat, nekrosis kulit, borok kulit

kronis dan pembengkakan sendi.

Penyakit ASF sering dikelirukan dengan penyakit lainnya seperti Classical Swine

Fever (Hog Cholera), Pig Respiratory and Reproductive Syndrome (PRRS) disebabkan oleh

virus yang diklasifikasikan dalam genus Arterivirus, gejalanya kegagalan reproduksi,

pneumonia dan rentan terhadap infeksi bakteri namun PRRS belum ditemukan di Indonesia,

Erysipelas dan penyakit babi yang menyebabkan septikemia lainnya. Gejala penyakit Hog

Cholera di lapangan sering mirip dengan penyakit ASF, sehingga pemeriksaan laboratorium

sangat dibutuhkan untuk membedakan dengan penyakit tersebut (SanchezVizcano et al.

2015).

2.1.3 Patogenesis

Penularan penyakit ASF dapat terjadi melalui kontak langsung maupun tidak

langsung dan melalui gigitan kutu caplak (Ornithodorus sp) yang telah mengandung virus
ASF. Penularan secara kontak langsung melalui cairan tubuh hewan yang terinfeksi seperti

air liur, sekresi pernapasan, urin dan feses, sedangkan kontak tidak langsung melalui fomit

atau benda-benda lain yang tercemar virus ASF termasuk pemberian pakan sampah (swill

feeding) baik dari pesawat maupun restoran yang mengandung daging babi yang tercemar

virus ASF, kendaraan pengangkut babi yang terinfeksi, pakaian dan peralatan makan babi

yang telah tercemar virus ASF dan melalui lalu lintas babi sakit (Kipanyula & Nong’ona

2017).

Faktor utama penyebab terjadinya siklus penularan ASF adalah populasi babi yang

tinggi, sistim peternakan ekstensif dan biosekuriti yang tidak ketat serta penggunaan swill

feeding sebagai pakan babi, melalui jalur transportasi, melalui rantai penjualan babi di pasar

seperti rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan akan penyakit ASF seperti gejala klinis,

cara transmisi ASF diantara peternak babi dan pedagang.

2.1.3 Epidemiologi

Penyakit ASF pertama kali ditemukan di Afrika Kenya pada tahun 1921, yang

kemudian menyebar di sebagian besar sub-Sahara Afrika termasuk di Pulau Madagaskar,

sehingga penyakit ini menjadi endemik di Afrika pada babi (FAO 2018). Situasi ASF di Asia,

pertama kali terjadi di Cina pada tahun 2018 (Zhao et al. 2019), penyakit ini telah menyebar

ke Mongolia (Januari 2019), Vietnam (Februari 2019), Kamboja (Maret 2019), Hongkong

dan Korea Utara (Mei 2019), Laos (Juni 2019) dan kemudian ke Myanmar (Agustus 2019),

Philipina, Korea Selatan dan Timor Leste (September 2019) (OIE 2019). Indonesia masih

dinyatakan bebas ASF hingga bulan September 2019, namun pada bulan Oktober 2019

dilaporkan banyak kematian pada babi di Sumatera Utara. TTS (Timor Tengah Selatan),

Kabupaten Kupang, kota Kupang, Kabupaten Lembata, Kabupaten Sikka dan Kabupaten

Nele (FAO, 2021).


2.1.4 Diagnosa

Diagnosis ASF dapat didasarkan pada pengamatan gejala klinis, pengamatan

epidemiologi penyakit, pemeriksaan laboratorium, baik uji serologi, virologis maupun

pemeriksaan post mortem. Uji virologis yang cepat dan akurat sangat diperlukan untuk

penanganan infeksi ASF.

2.1.5 Pemeriksaan Laboratorium

Deteksi antibodi terhadap ASF dapat dilakukan dengan uji serologi seperti uji ELISA,

Hemaglunisasi Inhibisi dan Immunodot blot. Sedangkan uji deteksi virus ASF dilakukan

dengan uji fluorescent antibodi (DFA), real time PCR (RT-PCR), Fluoresce Antibody Test

(FAT), . Namun PCR dan ELISA merupakan diagnosis baku dan paling sering digunakan

(Chenais et al. 2017).

Sampel yang dapat dikoleksi diantaranya serum untuk pemeriksaan serologi dan

untuk uji virologik berupa organ seperti limpa, hati, tonsil, ginjal, limfoglandula, jantung dan

paru atau darah dalam EDTA, swab nasal dan swab rektal. Untuk pengujian RT-PCR, dapat

menggunakan sampel seperti tanah yang telah terkontaminasi cairan tubuh babi atau tempat

pemotongan babi secara tradisional, air minum babi, sisa makanan atau tempat pembuangan

feses/manure (Chenais et al. 2017). Pemeriksaan FAT menggunakan inokulasi leukosit babi

kultur sumsum tulang.

2.1.6 Pencegahan dan Pengendalian

Pencegahan dan kontrol penyakit ASF belum dapat dilakukan dengan vaksinasi

maupun obat antiviral karena belum tersedia secara komersial. Bagi negara yang masih

dinyatakan bebas ASF, maka beberapa pencegahan yang dapat dilakukan antara lain

peningkatan karantina dan biosekuriti yang ketat, membatasi lalu lintas babi dan pengurangan

populasi ternak babi yang sakit dan terpapar. Disamping penerapan biosekuriti yang baik,
mengurangi kontak dengan pakan/ alat yang tercemar seperti penggunaan swill feeding

sebagai pakan ternak babi dan pengolahan limbah pesawat, serta pengetatan barang bawaan

penumpang pesawat dan kapal laut perlu dilakukan. Hingga saat ini belum ditemukan vaksin

untuk ASF.

2.2 Hog Cholera

2.2.1 Etiologi

Hog cholera (HC) atau classical swine fever (CSF) adalah penyakit viral yang sangat

menular pada babi yang sudah didomestikasi dan babi liar (Sus domestica and Sus scrofa)

(Donahue et al., 2012). Penyakit hog cholera disebabkan oleh virus dari familia Flaviviridae

dan genus Pestivirus. Virus ini memiliki hubungan kedekatan dengan bovine viral diarrhoea

(BVD) dan Border Disease (BD) (OIE, 2020). Virus ini berbentuk bundar dengan diameter

berkisar 40-50 nm, memiliki nukleokapsid yang berbentuk heksagonal dengan ukuran sekitar

29 nm dan mengandung material genetik RNA berbentuk single stranded berpolaritas positif.

Virus hog cholera merupakan virus yang sangat rentan terhadap keadaan lingkungan.

Ketahanan CSFV di lingkungan dipengaruhi oleh variabel fisikokimia seperti suhu,

kelembapan, pH, keberadaan organisme lainnya serta paparan bahan kimia (Edwards, 2000).

Virus ini dapat diinaktifkan dengan cara memanaskan daging pada suhu 65,50 C selama 30

menit atau 90-1000C selama satu menit. Virus ini dapat bertahan hidup berbulan-bulan dalam

daging dingin dan bertahun-tahun dalam daging beku. Virus juga dapat bertahan pada daging

yang diawetkan dengan metode penggaraman dan pengasapan selama 17 sampai 180 hari.

Virus ini stabil pada pH 5-10 dan inaktif dengan cepat pada pH 10 (OIE, 2020). Virus ini

dapat bertahan dengan baik di kandang selama kondisi dingin (hingga 4 minggu di musim

dingin). Bertahan 3 hari pada suhu 50 ° C dan 7-15 hari pada suhu 37 ° C. Selain itu, virus ini

dapat bertahan 3-4 hari di organ yang membusuk dan 15 hari di darah dan sumsum tulang
yang telah membusuk (OIE, 2020). Namun demikian, virus ini sangat sensitif terhadap

kekeringan dan sinar ultraviolet (Edwards, 2000).

2.2.2 Patogenensis

Virus hog cholera (HC) diketahui hanya dapat menyerang babi yang sudah

didomestikasi dan babi liar (Sus domestica and Sus scrofa) (Donahue et al., 2012). Jalur

utama penularannya adalah melalui oronasal yaitu dengan kontak langsung maupun tidak

langsung dengan babi yang terinfeksi HC ataupun lewat makanan yang telah terkontaminasi

virus ini (Moennig et al., 2003). Virus ini disebarkan melalui cairan mulut, mata, hidung, urin

maupun feses ternak yang terinfeksi. Virus HC juga dapat menular melalui peralatan

peternakan ataupun pekerja kandang. Selain itu, CSFV dapat pula menular secara vertikal

dari induk ke anak. Infeksi kongenital HC yang terjadi apada awal kebuntingan dapat

mengakibatkan aborsi. Apabila induk terinfeksi virus HC pada masa kebuntingan 42-67 hari

maka tinggi resiko terjadi mumifikasi dan stillborn dan bila induk terinfeksi pada hari 6 ke-68

sampai 88 dari kebuntingan maka anak akan lahir dengan viremia (Dewulf et al.,2001). Pada

peternakan dengan tingkat kepadatan yang tinggi, virus HC lebih cepat menyebar.

Pada umumnya, HC relatif lebih gampang menyerang babi muda namun babi dewasa

yang belum pernah mendapat vaksinasi juga sangat rentan terhadap infeksi CSF (Dahle dan

Liess, 1992). Penularan virus dapat terjadi dari hewan yang belum menunjukan gejala klinis

dan hewan yang terinfeksi ke hewan lain. Pada babi yang sembuh dari infeksi HC namun

belum memiliki antibodi protektif, virus masih dapat ditularkan ke babi lain. Pada hewan

yang menderita HC akut, virus virulen dapat disebarkan ke lingkungan selama 10-20 hari

sedangkan Pada hewan yang menderita HC kronis, virus disebarkan secara intermitten ke

lingkungan.

2.2.3 Gejala klinis


Gejala klinis variasi bentuk akut pada strain virus virulen dan atau babi muda adalah

demam (41°C), anoreksia, lesu, hiperemia multifokal atau lesi hemoragik pada kulit,

konjungtivitis, pembesaran limfonodus, sianosis pada kulit terutama ekstremitas (telinga,

anggota badan, ekor, moncong), konstipasi sementara diikuti oleh diare, sesekali muntah,

dispnea, batuk, ataksia, paresis, kejang, babi berkerumun bersama, kematian terjadi 5-25 hari

setelah timbulnya penyakit, dan mortalitas pada babi muda dapat mendekati 100% (OIE,

2020).

Gejala klinis variasi bentuk kronis pada strain virus yang kurang virulen dan babi

dengan status imun sebagian, meliputi nafsu makan berubah-ubah, demam, diare hingga 1

bulan, pertumbuhan yang lambat, performa reproduksi yang buruk, pemulihan nyata dengan

kambuh dan kematian akhirnya dalam waktu sekitar 3 bulan. Bentuk kongenital tergantung

pada virulensi jenis virus dan tahap kebuntingan dengan beberapa gejala, yaitu: kematian

janin, mumifikasi, stillbirth, aborsi, tremor, kelemahan, pertumbuhan yang buruk selama

beberapa minggu atau bulan dan menyebabkan kematian, dilahirkan secara klinis normal

tetapi viremia persisten tanpa respons antibodi yang menyebabkan kematian dalam waktu 6-

12 bulan (OIE, 2020).

2.2.4 Epidemiologi

Kejadian hog cholera di Indonesia dicurigai berasal dari Malaysia dan dilaporkan

untuk pertama kali di Sumatra Utara pada tahun 1994 (Leslie et al., 2015) dan secara

bertahap menyebar ke Jawa pada awal tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun

1995 dan terus menyebar luas ke wilayah timur Indonesia (Ratundima et al., 2012).

Hog cholera pertama kali masuk ke wilayah NTT pada tahun 1997 di wilayah Pulau

Sumba dan Pulau Flores. Namun pada saat itu belum diperoleh informas yang pasti.

Identifikasi dan konfirmasi ini baru diperoleh pada kasus hog cholera di Kota Kupang pada
tahun 1998. Sejak saat itu wilayah NTT masuk dalam daftar provinsi yang terinfeksi hog

cholera (Christie, 2007; Leslie et al., 2015).

2.2.5 Pencegahan dan Pengendalian

Tindakan yang paling efektif untuk mencegah atau mengendalikan penyakit adalah

melakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin aktif yang sudah diatenuasi. Keberhasilan

program vaksinasi sangat tergantung dari strain, dosis dan aplikasi vaksin serta status

kesehatan hewan yang divaksinasi. Pengendalian dapat dilakukan dengan melalui tindakan

karantina. Tindakan penutupan sementara dilakukan terhadap farm tertular. Semua babi yang

pernah kontak dan tertular HC dilakukan isolasi, stamping out atau tindakan pemotongan

bersyarat. Lalu lintas ternak babi dan hasil olahannya dari daerah tertular dilarang keluar atau

diperjual belikan. dan di lokasi kasus dicantumkan tanda larangan “Awas Penyakit Menular”.

Sesuai dengan peraturan International Terrestial Animal Health Code (OIE) dan European

Community (EC) negara pengekspor babi dan hasil olahannya ke negara bebas HC harus

menunjukkan pernyataan bebas swine fever berdasarkan investigasi serologis.

BAB III

METODOLOGI

3.1 Materi

 Waktu dan Tempat


Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Maret di Desa Mata Air,

kecamatan Kupang Tengah. Sampel darah yang telah diambil selanjutnya dibawa ke

Laboratorium UPT Veteriner.

 Alat dan bahan yang digunakan adalah thermometer, kapas, venoject, tabung vacuum

non-EDTA, alat tulis dan kamera.

3.2 Metode

 Melakukan wawancara dengan peternak.

 Metode pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara mengambil darah pada babi

yang menunjukkan gejala sakit pada vena jugularis, lalu sampel darah dimasukkan

kedalam tabung non-EDTA. Setelah serum darah yang telah terbentuk dalam tabung

darah dituangkan kedalam microtube lalu dibawa ke laboratorium UPT Veteriner

untuk dilakukan pemeriksaan ELISA.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
a. Data Pemilik
Nama Pemilik : Bapak Alex
Alamat : Desa Mata Air, Kecamatan Kupang Tengah
Mahasiswa Koas : Maria Taroci Ka’auni
b. Data Hewan
Jenis hewan : Babi
Ras : Duroc
Umur : 8 bulan
Warna bulu : Putih
c. Keadaan Umum Hewan
Berdasarkan pengamatan di lapangan, gejala yang tampak pada babi kasus
adalah lemas dan tidak mampu untuk berjalan, tidak makan dan hanya minum air,
terdapat bintik-bintik merah diseluruh tubuh, suhu tubuh mencapai 40,60C.
d. Anamnesa
Hasil anamnesa kepada pemilik menunjukkan bahwa babi sudah mengalami
gejala klinis selama 1 hari. Beberapa babi dengan gejala yang sama sudah mengalami
kematian disekitar daerah tersebut, lalu bangkai babi tersebut dibuang disekitar daerah
tersebut. Pemilik mengatakan bahwa babi tersebut sudah pernah diberi vaksin hoc
cholera. Babi yang sakit dipisahkan dari babi sehat.
e. Pemeriksaan laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dari sampel darah babi yang
dibawa ke UPT Veteriner menunjukkan bahwa hasilnya negatif. Namun berdasarkan
hasil wawancara, pemeriksaan fisik dan gejala klinis yang ditunjukkan oleh hewan
kasus, maka suspect babi tersebut mengarah ke African Swine Fever (ASF).
Gambar 1. Hasil pemeriksaan suhu dan gejala klinis pada babi

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala klinis yang ditunjukkan oleh babi

tersebut, maka suspect mengarah ke African Swine Fiver (ASF). Hal ini karena dilihat dari

status epidemiologi mengenai penyebaran penyakit ASF, dimana untuk saat ini kejadian ASF

sedang meningkat di kota kupang. Selain itu juga, pernyataan dari pemilik ternak bahwa babi

tersebut sudah pernah diberi vaksin Hoc Cholera sehingga hal ini memungkinkan bahwa babi

tersebut terinfeksi ASF. Namun jika dilihat dari perubahan gejala klinis, ASF dan Hoc

cholera sulit untuk dibedakan. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium dan

perubahan patologi anatomi organ interna untuk mengetahui secara pasti.

Tabel 1. Perbedaan gejala klinis

No African Swine Fever Hog Cholera


1 Demam Demam
2 Depresi Depresi
3 Nafsu makan menurun Nafsu makan menurun
4 Kemerahan pada kulit, telinga, perut dan Kemerahan pada kulit, telinga, perut dan

kaki (hemoragi ecicimosis) kaki (hemoragi ecicimosis)


5 Sianosis berwarna biru keunguan Sianosis berwarna biru keunguan
6 Muntah Muntah
7 Diare Diare
8 Kematian dala hari ke 6-13 (kadang hari Kematian dala hari ke 6-13 (kadang hari

ke-20) ke-20)
9 Tingkat kematian 100% Tingkat kematian 100%
10 - Konjungtivitis
11 - Bergerombol
12 Babi pingsan atau lemas Babi pingsan atau lemas
Sumber: OIE (2020)

Tabel 2. Perbedaan perubahan patologi anatomi ASF dan hog cholera pada babi

No African Swine Fever Hog Cholera


1 Petekie dan ecchymosis pada lambung. Petekie pada lambung
2 Hemoragi di usus (duodenum, jejenum Perdarahan ptekie pada serosa usus,

dan illeum). ulserasi nekrotik pada mukosa usus besar.


3 Edema pada hati -
4 Pembesaran limpa, perubahan warna Perdarahan ptekie pada korteks limpa,

menjadi hitam dan petekie pada adanya pembendungan dan infark pada

permukaannya. limpa.
5 Hemoragi dan juga titik berwarna Perdarahan ptekie pada submukosa dan

keunguan (petekie) pada kapsula ginjal. subserosa pada kapsula ginjal.


6 Adanya hemoragi pada pulmo Adanya pembendungan dan infark pada

pulmo.
7 - Ensefalomeitis
8 - Tonsilitas
9 - Petekhie eccimose epiglottis, kandung

kemih, ginjal dan rectum


Sumber: Simarmata et al (2020) dan Manual penyakit hewan mamalia (2014).

Penyebaran ASF yang terjadi di kota kupang dapat terjadi melalui kontak langsung

antar ternak yang terinfeksi melalui cairan tubuh hewan seperti air liur, sekresi pernapasan,
urin dan feses, sedangkan kontak tidak langsung melalui fomit atau benda-benda lain yang

tercemar virus ASF termasuk pemberian pakan sampah (swill feeding) baik dari pesawat

maupun restoran yang mengandung daging babi yang tercemar virus ASF, kendaraan

pengangkut babi yang terinfeksi, pakaian dan peralatan makan babi yang telah tercemar virus

ASF dan melalui lalu lintas babi sakit (Kipanyula & Nong’ona 2017).

Faktor utama penyebab terjadinya siklus penularan ASF adalah populasi babi yang

tinggi, sistim peternakan ekstensif dan biosekuriti yang tidak ketat serta penggunaan swill

feeding sebagai pakan babi, melalui jalur transportasi, melalui rantai penjualan babi di pasar

seperti rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan akan penyakit ASF seperti gejala klinis,

cara transmisi ASF diantara peternak babi dan pedagang.

Hingga saat ini belum ditemukan adanya vaksin untuk ASF. Sehingga perlu dilakukan

pencegahan dan kontrol penyakit ASF dimana bagi negara yang masih dinyatakan bebas

ASF, maka beberapa pencegahan yang dapat dilakukan antara lain peningkatan karantina dan

biosekuriti yang ketat, membatasi lalu lintas babi dan pengurangan populasi ternak babi yang

sakit dan terpapar. Disamping penerapan biosekuriti yang baik, mengurangi kontak dengan

pakan/ alat yang tercemar seperti penggunaan swill feeding sebagai pakan ternak babi dan

pengolahan limbah pesawat, serta pengetatan barang bawaan penumpang pesawat dan kapal

laut perlu dilakukan.


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis, gejala klinis dan anamnesa yang diperolah

maka kondisi hewan kasus tersebut mengarah pada suspect terinfeksi penyakit African Swine

Fever (ASF).
DAFTAR PUSTAKA

Cabezón O, Muñoz-González S, Colom-Cadena A, PérezSimó M, Rosell R, Lavín S, Marco

I, Fraile L, de la Riva PM, Rodríguez F, Domínguez J, Ganges L. 2017. African swine

fever virus infection in Classical swine fever subclinically infected wild boars. BMC

Vet Res. 13:227.

Chenais E, Sternberg-Lewerin S, Boqvist S, Liu L, LeBlanc N, Aliro T, Masembe C, Ståhl K.

2017. African swine fever outbreak on a medium-sized farm in Uganda: Biosecurity

breaches and within-farm virus contamination. Trop Anim Health Prod. 49:337-346.

[DITJENAK] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.

2017. Statistik peternakan dan kesehatan hewan. Kementrian pertanian. Jakarta.

Indonesia.

Dewulf J, Laevens H, Koenen F, Mintiens K, dan De Kruif A. 2001. An experimental

infection with classical swine fever virus in pregnant sows:transmission of the virus,

course of the disease, antibody response and effect on gestation. Journal of Veterinary

Medicine, Series B, 48(8), 583- 591.

Edwards S, Fukusho A, Lefevre PC, Lipowski A, Pejsak Z, Roehe P dan Westergaard J.

2000. Classical swine fever: the global situation. Veterinary microbiology, 73(2), 103-

119.

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2018. African Swine Fever

threatens people ’s Republic of China: A rapid risk assessment of ASF introduction

[Internet]: [accessed 4nd February 2021]. Available from: http://www.fao.org/3/

I8805EN/i8805en.pdf.

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2021. ASF (African Swine

Fever) situation in asia and pacific update. [Internet]: [accessed 4nd February 2021].
Available from:

http://www.fao.org/ag/againfo/programess/en/empres/ASF/situation_update. Html.

Kementrian Pertanian. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta: subdit pengamatan

penyakit hewan.

Kipanyula MJ, Nong’ona SW. 2017. Variations in clinical presentation and anatomical

distribution of gross lesions of African swine fever in domestic pigs in the southern

highlands of Tanzania: a field experience. Trop Anim Health Prod. 49:303-310.

Leslie EE, Geong M., Abdurrahman M., Ward MP dan Toribio JAL. 2015. A description of

smallholder pig production systems in easternIndonesia. Preventive veterinary

medicine, 118(4), 319-327.

Malogolovkin A, Burmakina G, Titov I, Sereda A, Gogin A, Baryshnikova E, Kolbasov D.

2015. Comparative analysis of African swine fever virus genotypes and serogroups.

Emerg Infect Dis. 21:312-315.

Moennig V, Floegel-Niesmann G, dan Greiser-Wilke I. 2003. Clinical Signs and

Epidemiology of Classical Swine Fever: A Review of New Knowledge. The

Veterinary Journal, 165(1), 11-20.

OIE. (2019). Classical Swine Fever Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial

Animals. [Internet]: [accessed 4nd February 2021]. https://www.oie.int/standard-

setting/terrestrial-manual/access-online

OIE. 2019. Classical Swine Fever: Aetiology Epidemiology Diagnosis Prevention and

Control . [Internet]: [accessed 4nd February 2021]. References.

https://www.oie.int/en/animal-health-in-the- world/animal-diseases/Classical-swine-

fever/
OIE. 20202. Classical Swine Fever. [Internet]: [accessed 4nd February 2021].

https://www.oie.int/animal-health-in-the-world/official-disease-status/classical-swine-

fever

Sanchez-Vizcano JM, Mur L, Gomez-Villamandos JC, Carrasco JL. 2015. An update on the

epidemiology and pathology of African swine fever. J Comp Pathol. 15:9-21.

Sendow Indrawati, A Ratnawati, NLPI Dharmayanti dan M Saepulloh. 2020. African Swine

Fever: Penyakit Emerging yang Mengancam Peternakan Babi di Dunia. WARTAZOA.

Vol 30 (1). Hal 15-24.

Simarmata YTRMR, Tophianong TC, Amalo FA, Nitbani H, Lenda V. 2020. Gambaran

patologi anatomi pada babi landrace suspect african swine fever (asf) di kabupaten

kupang. Kupang. Jurnal Kajian Veteriner. Vol. 8 No. 2:136-146.

Rodriguez JM, Moreno LT, Alejo A, Lacasta A, Rodriguez F, Salas ML. 2015. Genome

sequence of African swine fever virus BA71, the virulent parental strain of the

nonpathogenic and tissue-culture adapted BA71V. PLoS One. 10:p.e0142889.

Zhao D, Liu R, Zhang X, Li F, Wang J, Zhang J, Liu X, Wang L, Zhang J, Wu X, Guan Y,

Chen W, Wang X, He X, Bu Z.2019. Replication and virulence in pigs of the first

African swine fever virus isolated in China. Emerging Microbes Infect. 8:438-447.
LAPORAN KOASISTENSI

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI VIRUS PADA BABI

DENGAN SUSPECT African Swine Fever (ASF)

OLEH

JESSICA V. E. MAUBANA, S. KH

Nim. 1509010033

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA


KUPANG

2020

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ternak babi merupakan salah satu hewan ternak yang diminati untuk dipelihara
oleh masyarakat di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hal ini disebabkan karena
ternak babi merupakan sumber protein dan menjadi sumber penghasilan masyarakat.
Suatu usaha peternakan babi yang berhasil tidak terlepas dari berbagai kendala yang
merugikan seperti salah satunya adalah serangan penyakit baik menular maupun tidak
yang dapat menyebabkan gagalnya produksi ternak babi. Penyakit-penyakit yang sering
menyerang babi disebabkan oleh virus, bakteri maupun parasit. Salah satu penyakit virus
yang pada saat ini telah banyak menyebabkan kematian ternak babi di Kabupaten kupang
adalah African Swine Fever (ASF).
African swine fever (ASF) atau dikenal dengan demam babi Afrika merupakan
penyakit infeksius pada babi bersifat hemoragik yang disebabkan oleh virus DNA
beruntai ganda, dalam family Asfarviridae dan genus Asfivirus. Virus ini menyebabkan
demam berdarah dengan tingkat kematian yang tinggi pada babi domestik dan babi liar.
African swine fever (ASF) pertama kali dilaporkan di Kenya pada tahun 1920
(Montgomery 1921) dan saat ini ASF telah menyebar ke Asia termasuk Indonesia. Di
Indonesia, kejadian ASF diumumkan secara resmi melalui Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi
Afrika (African Swine Fever) pada Beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera
Utara. Dinas Peternakan Provinsi NTT mencatat bahwa kasus kematian ternak babi milik
masyarakat di Pulau Timor hingga bulan Maret tahun 2020 mencapai 4.888 ekor akibat
terserang virus ASF (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2020).
Penyakit ASF ditularkan melalui gigitan kutu caplak (Ornithodorus sp) yang
terinfeksi, sehingga penyakit ini dikategorikan dalam arthropod borne disease (Boinas et
al. 2011). Penyakit ASF tidak bersifat zoonosis sehingga tidak menimbulkan risiko
terhadap kesehatan manusia, tetapi mempunyai dampak ekonomi yang sangat signifikan
bagi peternak babi di dunia karena morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi. Dampak
penyakit ASF juga dirasakan pada industri pakan babi dan pemasok bahan baku pakan
seperti yang terjadi di China. Oleh karena itu, penyakit ini termasuk dalam daftar OIE
notifiable disease dan juga dapat termasuk dalam bioterror untuk menghancurkan kondisi
ekonomi di suatu wilayah dengan populasi babi tinggi dan peternak yang hanya
mengandalkan mata pencarian dari beternak babi.
Gejala klinis dari ASF meliputi demam tinggi, nafsu makan menurun, perdarahan
pada kulit dan organ dalam, kematian pada 4-10 hari, dan ada hewan yang ditemukan
mati tanpa gejala apapun. Diagnosis dilakukan berdasarkan gejala klinis yang tampak,
perubahan patologis dan histopatologis serta pemeriksaan laboratorium. (OIE, 2019).
Laporan ini akan membahas tentang ternak babi warga yang ditemukan memiliki
suspect ASF dengan gejala serupa di wilayah Kabupaten Kupang.

1.2 Tujuan
Mendiagnosa penyakit berdasarkan pemeriksaan klinis dan uji laboratorium.
BAB II
MATERI DAN METODE
2.1 Materi
 Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel dan pengiriman sampel
adalah darah babi yang diambil dari Vena Auricularis, syringe 3 ml, tabung darah tutup
merah, kapas, alkohol, tabung ependorf.
 Tempat pengambilan sampel dan pengiriman sampel
Pengambilan sampel darah dilakukan di rumah warga Tanah Putih, Kupang Timur.
setelah itu dilakukan persiapan sampel dan selanjutnya sampel darah dibawa ke
Laboratorium UPT Veteriner Oesapa, Kupang.
2.2 Metode
 Metode pengambilan sampel
 Metode pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara mengambil darah babi
yang mempunyai gejala klinis menyerupai African Swine Fever (ASF) pada vena
auricularis.
 Kemudian sampel darah dimasukkan ke dalam tabung non-EDTA (tabung tutup
merah) untuk mendapatkan serum yang kemudian dimasukan dalam tabung
ephendorf.
 Kemudian serum darah tersebut di bawa ke Laboratorium UPT Veteriner Oesapa,
Kupang untuk dilakukan pemeriksaan dengan ELISA.
 Metode Pemeriksaan Sampel
 Pemeriksaan sampel dilakukan oleh petugas Laboratorium UPT Veteriner Oesapa,
Kupang.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.3 Hasil Pemeriksaan


a. Data Pemilik
Nama Pemilik : Ibu Yane
Alamat : Kupang Timur
Mahasiswa Koas : Jessica Maubana
b. Data Hewan
Jenis hewan : Babi
Ras : Babi Duroc
Umur : 1 tahun 2 bulan
Warna bulu : Hitam
c. Keadaan Umum Hewan
Berdasarkan pengamatan di lapangan pada 25 Mei 2020, babi dalam keadaan
bunting 2 bulan, gejala yang tampak pada babi kasus adalah fatigue (lemah, lemas,
dan tidak ingin bergerak) anoreksia, demam (41oC), dan terdapat erythema pada kulit.
Babi diikat di samping rumah bersama beberapa indukan lain, dan tidak
dikandangkan.
d. Anamnesa
Hasil anamnesa kepada pemilik menunjukkan bahwa babi sudah mengalami
gejala klinis sekitar 2 hari yang lalu sebelum didatangi. Beberapa babi disekitar rumah
milik tetangga sudah mengalami kematian dengan gejala serupa. Babi belum pernah
divaksin apa pun sebelumnya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan serum darah babi, didapatkan hasil negatif


(Tabel 1). Berdasarkan pengamatan di lapangan, gejala klinis yang tampak pada babi
kasus dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 1. Hasil Pengujian Serum Darah Babi

No Kode Pemilik Kab/Kota Desa Hewan Status ELISA ASF


Sampel Vaksin
1 4 Jessica Kota Tanah Babi Belum negatif
Maubana, Kupang Putih vaksin
S. K. H.

a. b.

c. d.

Gambar 2. Keadaan Umum Hewan Kasus - (A) Babi kasus terlihat fatigue (B)Adanya
erythema di daun telinga babi serta dilakukannya pengambilan darah dari
vena auricularis; (C) Pengecekan suhu 41,5oC (demam) (D) Babi kasus
terlihat fatigue.

2.4 Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan serum darah babi yang dilakukan oleh Laboratorium
UPT Veteriner Oesapa menunjukkan bahwa serum darah babi kasus dinyatakan negatif.
Berdasarkan keterangan dari pemilik, babi belum pernah di vaksinasi dan terdapat
beberapa kematian di tetangga sekitar dengan gejala serupa.
Salah satu uji serologis yang dapat digunakan untuk mendeksi Virus ASF adalah
ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) Prinsip utama teknik ELISA adalah
penggunaan indikator enzim untuk reaksi imunologi. ELISA digunakan untuk mendeteksi
IgG yang diproduksi setelah infeksi (Akonor et al., 2018). Beberapa karakteristik yang
paling menonjol dari metode ini adalah tingginya indeks sensitivitas dan spesifitas,
kecepatan tinggi, biaya rendah dan interpretasi hasil yang mudah dan cepat memproses
hasil dari populasi yang besar. Dalam teknik ini, antibodi ditandai dalam teknik tertentu.
Saat antigen dan antibodi berikatan satu sama lain, enzim menyebabkan reaksi yang
menghasilkan perubahan warna dengan demikian dapat mengidentifikasi dan melihat
adanya ASF (Beltran et al., 2017).
Hasil negatif pada tes ELISA yang didapat menunjukkan bahwa di dalam serum babi
kasus yang dicurigai ASF karena gejala yang ditimbulkan tidak menunjukan adanya
antibodi terhadap virus ASF. Hasil negatif ini berarti bisa dikatakan gejala klinis yang
timbul bukanlah disebabkan oleh ASF. Beberapa penyakit pada babi memiliki gejala
serupa ASF. Sehingga diagnosa banding yang dapat diberikan adalah penyakit Hog
Cholera (CSF), cacar babi (swinepox), ptyriasis rosea, dermatitis vegetative, alergi kulit
(Kementan, 2014).
Penyakit Hog Cholera memiliki gejala klinis yang sama dengan kasus yaitu pada
bentuk klasik HC merupakan infeksi akut yang disertai demam tinggi, kelesuan,
penurunan nafsu makan, lesi merah pada kulit dan pada bentuk akut ditandai dengan
anoreksia, depresi, suhu meningkat sampai 41-42º C berlangsung selama 6 hari. Jumlah
leukosit menurun (leukopenia) dari 9.000 menjadi 3.000/ml darah. Penyakit swine pox
juga memiliki gejala klinis yang sama yaitu demam dan erythema pada kulit. Sementara
itu adanya lesi pada kulit juga dapat dikelirukan dengan alergi kulit, erysipelas, ptyriasis
rosea, dermatitis vegetatif, scabies, kelainan nutrisi dan infestasi ektoparasit lainnya
(Kementan, 2014).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan serologi serum darah ayam, dapat diambil kesimpulan
bahwa babi kasus tidak terinfeksi ASF.
LAMPIRAN

ASF CSF /HOG CHOLERA


MASA INKUBASI 2-4 hari 3-21 hari
GEJALA KLINIS
Bentuk Perakut Ya Ya
(mortalitas 100%, stlh 7-10
hari pasca infeksi)
akut Ya Ya
(mortalitas 100%, stlh 6-13
hari pasca infeksi)
Sub akut Ya Ya
(mortalitas bervariasi
tergantung umur babi)
kronis Ya Ya
(mortalitas rendah)
Bentuk Perakut Demam tinggi Kematian yang sangat cepat
kelesuan dan tiba-tiba.
Penurunan nafsu makan
Konjungtivitis
muntah
diare
konstipasi
pneumonia
paresis
paralisis
letargi
tremor
Berputar / konvulsi

Bentuk Akut Anoreksia Anoreksia


Depresi Depresi
Babi menggigil Mukosa pucat
Konjungtivitis (Mucous + Erithematosa di berbagai
mukopurulen) bagian tubuh.
konstipasi Pendarahan.
diare (Encer, berlendir, Lesu
warna abu kekuningan) Sianosis
Suhu meningkat/demam Inkoordinasi
(41-42oC selama 6 hari) Peningkatan nadi
Laju pernapasan
Erithema (sekitar telinga
dan badan)
Diare
Muntah
Batuk
Sesak nafas
Leukopenia
Trombositopenia
Abortus
Demam (40,5-42oC)

Bentuk Subakut Masa inkuasi menjadi Demam ringan, nafsu


panjang dan kelangsungan makan hilang, depresi.
penyakit klinis yang lebih
lama dengan kematian
yang terjadi setelah
berminggu atau berbulan-
bulan.
Hewan Bunting Kematian fetus abortus
mumifikasi
Lahir prematur
anomali
Lahir dalam keadaan
lemah dan tremor

Bentuk Kronis Anoreksia, depresi, suhu Nafsu makan tidak ada


tubuh naik, & leukopenia. tidak demam
Setelah beberapa minggu pernapasann cepat
nafsu makan dan keadaan nekrosis kulit
umum membaik, suhu borok kulit kronis
tubuh turun ke normal. pembengkakan sendi.
Kemudian terlihat ada
gejala nafsu makan
menurun, depresi suhu
tubuh meningkat sampai
terjadi kematian babi. Jika
selamat, Babi memiliki
lesi pada kulit,
apostotonus, babi dapat
bertahan hidup lebih dari
100 hari.
DIAGNOSIS
Melihat dengan Ya ya
Gejala Klinis
Pemeriksaan Patologi Ya Ya
Anatomi Paru : pembendungan dan Kulit : erythema
infark. Paru : edema
Limpa : ptekie pada Limpa : bengkak, hiperemi,
korteksnya, adanya hitam.
pembendungan dan infark. Hati : bengkak
Hati : pembendungan dan Jantung : cairan pada
infark. pericard, ada
Ginjal : ptekie pada ptechie/haemorrhages.
submukosa dan subserosa Ginjal : ptechie
pada kapsula ginjal. /haemorrhages.
Usus : ptekie serosa usus Limphonodul : ptechie
Mukosa usus besar : /haemorrhages.
ulserasi nekrotik,
pneumonia dan enteritis
Sumsum tulang :
pembendungan dan infark.
Pemeriksaan
Laboratorium
ELISA Ya Ya, Paling sering
digunakan.
HI Ya ya
Immunodot blot - ya
DFA ya
q-PCR Ya Ya, Paling sering
digunakan.
FAT (Fluorescent Ya -
antibody technique)
Agar Gel Ya -
Precipitation Test
(AGPT)
Completment Fixation Ya -
Test (CFT)
(Kementan, 2014; Sendow, I. et al., 2020).

DAFTAR PUSTAKA

Akonor M., Kwasi O., Paa T., & Holly S. (2018). Widespread exposure to infectious
bronchitis virus and Mycoplasma gallisepticum in chickens in the Ga-East district of
Accra, Ghana. Coagent Foof & Agriculture, (4) 1439260,1-11.

Beltrán-Alcrudo D, Arias M, Gallardo C, Kramer S, Penrith ML. 2017. African swine fever:
detection and diagnosis – A manual for veterinarians. FAO Animal Production and
Health Manual No. 19. Rome (Italy): Food and Agriculture Organization of the United
Nations.
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. 2020.“Cegah
Penyebaran Kasus, Kementan Petakan Kasus Kematian Babi Di NTT”.Diakses tanggal
8 Juni 2020.

[KEMENTAN]. Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Manual


Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat
Kesehatan Hewan. Hal. 35-41 dan 30-35.

Montgomery E. 1921. On a form of swine fever occurring in British East Africa (Kenya
colony), J Comparative Path Therapeu. 24:159-191.

OIE, (OIE) The World Oragnisation for Animal Health. 2019. “African Swine Fever.” ASF
Situation. Vol. 27. Paris. https://doi.org/10.1016/j.

Sendow I. Ratnawati A. Dharmayanti NLPI. Saepulloh M. 2020. African Swine Fever:


Penyakit Emerging yang Mengancam Peternakan Babi di Dunia. Wartazoa, 30(1):15-
24.

LAPORAN KASUS MANDIRI

KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK VIROLOGI

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI African Swine Fever (ASF) PADA TERNAK BABI
OLEH

PEDRO CH. Y. NOPE, S. KH

Nim. 1509010037

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020

BAB I

PENDAHULUAN

1.3 Latar Belakang


Babi merupakan salah satu hewan ternak yang diminati untuk dipelihara oleh

masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut disebabkan karena ternak babi

merupakan sumber protein dan salah satu usaha rumah tangga yang penting sebagai

sumber penghasilan. Beberapa penyakit yang menyerang babi sering disebabkan oleh

virus, bakteri dan parasit. Salah satu penyakit virus yang pada saat ini telah banyak

menyebabkan kematian ternak babi di Kota Kupang adalah African Swine Fever (ASF).

Kejadian ASF yang terjadi di pulau timor diduga berasal dari Timor Leste. Pemerintah

Dili telah melaporkan outbreak ASF di Dili pada tanggal 9 februari dan terkonfirmasi

merupakan virus ASF pada tanggal 26 september 2019. Kemudian virus ASF mulai

mewabah di Kota Kupang sejak bulan Februari 2020 dan telah dilaporkan kematian

mendadak pada ribuan ternak babi di berbagai wilayah di pulau timor terkhususnya Kota

Kupang. Akibat wabah tersebut kerugian ekonomi cukup besar dirasakan oleh peternak

skala besar maupun skala kecil.

African Swine Fever adalah penyakit menular pada babi yang dapat menyebabkan

kematian pada babi hingga 100% sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat

besar. ASF disebabkan oleh african swine fever virus (ASFV) yang merupakan satu-

satunya spesies virus dalam famili Asfarviridae dan genus Asfivirus.Gejala klinis dari

ASF meliputi demam tinggi, nafsu makan menurun, perdarahan pada kulit dan organ

dalam, dan kematian pada 4-10 hari, dan ada hewan yang ditemukan mati tanpa gejala

apapun (OIE, 2019).

Deteksi ASF dapat dilakukan dengan menggunakan teknik diagnostik Enzyme

linked immunosorbent assay (ELISA). Prinsip dari uji ELISA adalah mendeteksi antibodi

terhadap ASF dengan sampel darah dari babi yang diduga terinfeksi ASF. Kelebihan dari

uji ELISA adalah dapat dilakukan dalam waktu empat jam, tidak menggunakan virus

hidup, tidak memerlukan laboratorium dengan fasilitas biosekuriti yang tinggi, dan dapat
dilakukan dalam jumlah sampel yang lebih banyak. (Fenner et al, 1993). ELISA dan Real

time PCR merupakan diagnosis baku dan paling sering digunakan (Chenais et al. 2017).

1.2 Tujuan

Untuk menegakkan diagnosa penyakit berdasarkan gejala klinis dan hasil pengujian

laboratorium.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. African Swine Fever (ASF)

a. Etiologi

African swine fever (ASF) atau dikenal dengan demam babi Afrika merupakan

penyakit infeksius pada babi bersifat hemoragik yang disebabkan oleh virus DNA

beruntai ganda, dalam family Asfarviridae dan genus Asfivirus. Virus ASF hanya

memiliki satu serotipe meskipun terdapat 23 genotipe dengan virulensi yang

bervariasi (Rodriguez et al. 2015). Meskipun virus ASF mempunyai satu serotipe,

namun penelitian terakhir menyatakan bahwa virus ASF dapat dikelompokkan

menjadi 8 serogroup berdasarkan hemadsorption inhibition assay (HAI) pada

biakan jaringan. Adanya hemadsorption, merupakan patognomonik adanya virus

ASF yang membedakan dengan virus Classical Swine Fever (CSF)

(Malogolovkin et al. 2015).

b. Karakteristik Virus

Virus ASF sangat tahan terhadap perlakuan fisik seperti beku cair, ultrasonografi

dan suhu rendah, namun dengan pemanasan 56°C selama 70 menit dan 90°C

selama 30 menit, virus ini akan inaktif. Penyimpanan virus ASF pada suhu -80°C

dapat bertahan selama bertahun-tahun, sedangkan pada suhu -20°C bertahan

hingga 65 minggu. Virus ini juga tahan terhadap beberapa bahan kimia seperti

tripsin dan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). Virus ASF dalam darah

(viraemia) yang disimpan dalam keadaan dingin dapat bertahan selama 75

minggu, sedangkan pada medium transport dapat bertahan selama 12 hari. Oleh

karena itu, transportasi sampel lapang harus mengikuti sistem rantai dingin agar

virus tetap hidup. Virus ini juga tidak tahan hidup dalam kondisi antara pH 3,9

hingga 13,4. Berdasarkan sifat kimianya, virus ini akan inaktif terhadap eter,
kloroform, natrium hidroksida, hipoklorit, 0,5% klorin, 3/1000 formalin selama

30 menit, 3% ortho-phenylphenol selama 30 menit dan senyawa yodium (Mazur-

Panasiuk et al. 2019b; OIE 2018)

Virus ASF dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama dalam darah, feses dan

jaringan, produk daging babi mentah atau kurang matang. Virus ASF dapat

terdeteksi pada daging dengan dan tanpa tulang dan daging giling selama 105

hari, pada daging yang diasinkan 182 hari, daging yang diasap 30 hari, daging

yang dimasak (minimal 30 menit pada 70°C) 0 hari, daging kering 300 hari,

daging dalam keadaan dingin 110 hari, daging beku 1.000 hari, jeroan babi 105

hari, kulit/lemak (bahkan dikeringkan) 300 hari, darah disimpan pada suhu 4°C

18 bulan, kotoran pada suhu kamar 11 hari, darah membusuk 15 minggu dan

kandang babi yang terkontaminasi 1 bulan. (Beltrán-Alcrudo et al. 2017: Mazur-

Panasiuk et al. 2019b). Sedangkan pada pinjal berkulit lunak (soft ticks) seperti

Ornithodoros erraticus dapat bertahan hingga 5 tahun. Sementara itu, umur O.

erraticus dapat mencapai 20 tahun (Boinas et al. 2011).

c. Gejala Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan menurut Retnaningsih (2019), terbagi dalam

bentuk perakut, akut, sub akut dan kronis. Pada bentuk perakut biasanya hewan

ditemukan mati tanpa gejala apapun. Pada penyakit bentuk akut, masa inkubasi

berlangsung lebih singkat (3-7 hari), ditandai dengan demam tinggi hingga 42 °C,

stress, nafsu makan menurun, malas bergerak, cenderung berkumpul, hemoragi

pada kulit dan organ dalam, abortus pada babi bunting, sianosis (warna kulit

kebiruan), muntah, dan diare. Kematian biasanya terjadi dalam 5-10 hari setelah

muncul gejala klinis. Angka kematian dapat mencapai 100% dan terkadang

kematian terjadi bahkan sebelum tanda klinis dapat diamati.


Pada bentuk subakut dan kronis yang disebabkan oleh virus dengan virulensi

yang rendah, tanda klinis yang muncul lebih ringan dan berlangsung dalam

periode waktu yang lebih lama. Tingkat kematian lebih rendah, berkisar antara

30-70%. Manifestasi penyakit bentuk kronis di antaranya penurunan berat badan,

demam intermiten atau berkala, gangguan pernapasan, ulser pada kulit, dan

radang sendi. Bentuk ini jarang ditemukan pada kejadian wabah penyakit.

d. Epidemiologi

Penularan penyakit ASF dapat terjadi melalui kontak langsung maupun tidak

langsung dan melalui gigitan kutu caplak (Ornithodorus sp) yang telah

mengandung virus ASF. Penularan secara kontak langsung melalui cairan tubuh

hewan yang terinfeksi seperti air liur, sekresi pernapasan, urin dan feses,

sedangkan kontak tidak langsung melalui fomit atau benda-benda lain yang

tercemar virus ASF termasuk pemberian pakan sampah (swill feeding) baik dari

pesawat maupun restoran yang mengandung daging babi yang tercemar virus

ASF, kendaraan pengangkut babi yang terinfeksi, pakaian dan peralatan makan

babi yang telah tercemar virus ASF dan melalui lalu lintas babi sakit (Kipanyula

& Nong’ona 2017).

e. Diagnosa

Deteksi antibodi terhadap ASF dapat dilakukan dengan uji serologi seperti uji

ELISA, Hemaglunisasi Inhibisi dan Immunodot blot (Balyshev et al. 2018; Zhao

et al. 2019). Sedangkan uji deteksi virus ASF dilakukan dengan uji fluorescent

antibodi (DFA) dan real time q-PCR (Balyshev et al. 2018; Mazur-Panasiuk &

Woźniakowski 2019a) dan konvensional PCR. Real time PCR dan ELISA

merupakan diagnosis baku dan paling sering digunakan (Chenais et al. 2017).
Sampel yang dapat dikoleksi diantaranya serum untuk pemeriksaan serologi

(Chenais et al. 2017) dan untuk uji virologik berupa organ seperti limpa, hati,

tonsil, ginjal, limfoglandula, jantung dan paru atau darah dalam EDTA, swab

nasal dan swab rektal (Sanchez-Vizcano et al. 2015; Beltran-Alcrudo et al. 2017).

Untuk pengujian RT-PCR, dapat menggunakan sampel seperti tanah yang telah

terkontaminasi cairan tubuh babi atau tempat pemotongan babi secara tradisional,

air minum babi, sisa makanan atau tempat pembuangan feses/manure (Chenais et

al. 2017).

2.2. Classical Swine Fever (CSF)

a. Etiologi

Penyakit Classical Swine Fever atau dikenal sebagai hog cholera termasuk

familia Flaviviridae, genus Pestivirus, berbentuk bundar dengan diameter

berkisar antara 40-50 nm, memiliki nucleocapsid berbentuk hexagonal

berukuran sekitar 29 nm, dan mengandung material genetik RNA berbentuk

single stranded dan polarity positif (Horzinek, 1981). Virus ini stabil pada pH

antara 4-10 dan peka pada suhu 60°C. virus ini memiliki amplop dan peka

terhadap sinar ultraviolet, deterjen, desinfektan, alkali dan pelarut lainnya

(OIE, 2020). Penyakit Hog cholera pada ternak babi bersifat sangat menular

yang disebabkan oleh virus dan dapat terjadi secara akut, sub akut maupun

kronis dan disertai dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi (OIE, 2020).

b. Gejala Klinis

Menurut OIE (2020), gejala klinis pada babi terdiri atas perakut, akut, subakut

dan kronis.

 Bentuk perakut, ditandai dengan kematian mendadak, tidak ditemukan

gejala klinis dan perubahan patologi.


 Bentuk akut, ditandai dengan demam, suhu tubuh meningkat sampai

dengan 42°C, tingkat kematian bisa mencapai 100%, gangguan

pernapasan dan batuk, disentri dan diare, konjungtivitis, hiperemi kulit

dengan bercak-bercak warna merah ungu, gerakan kaki tidak

koordinasi dan konvulsi dimana hewan tidak bisa bangun.

 Bentuk sub akut, ditandai dengan suhu tubuh sedikit lebih ringan dan

rendah 40-40,50C, pada hewan bunting terjadi mumifikasi fetus, lahir

dini atau keadaan lemah dan anak babi terlihat gemetar.

 Bentuk kronis, akan terlihat batuk, nafsu makan menurun, suhu tubuh

turun naik depresi dan leukopenia

c. Epidemiologi

Cara penularan penyakit ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak

langsung.

 Secara Lengsung

melalui kontak langsung dengan ternak yang terinfeksi atau secara

tidak langsung melalui eksresi dan sekresi babi yang terinfeksi.

Masuknya penyakit Hog Cholera ke suatu daerah, karena adanya babi

pembawa virus (carrier), produk asal babi atau bahan dan makanan

tercemar, limbah dari tempat pemotongan hewan atau sisa hotel yang

mengandung daging babi yang tidak dimasak.

 Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui alat transportasi, sepatu

dan pakaian petugas, serta alat suntik yang dipakai berulang. Jalur

penularan penyakit ini terbagi atas dua yaitu penularan vertical yang

terjadi dari induk kepada anak babi, dan penularan transplasental


terjadi pada kebuntingan 68 dan 88 hari, ditandai dengan viremia pada

anak babi yang dilahirkan dan mati setelah 1-8 minggu

d. Diagnosis

Metode pengujian yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi virus Hog

Cholera yaitu uji antibodi fluoresens/ Fluorescent Antibody Test (FAT),

ELISA antigen, dan PCR. Deteksi antibodi dapat dilakukan dengan beberapa

uji serologis seperti Agar Gel Double Diffusion Precipitin (AGDP),

Immunoelectroosmophoresis (IEOP) dan ELISA.

Diagnosa Banding penyakit ini dapat dikelirukan dengan African Swine Fever

(ASF), salmonellosis sepsis, pasteurellosis, streptokokosis, erysipelas dan

infeksi Haemophilus somnus.

2.3. Porcine Reproductive and Respiratory Syndrom (PRRS)

a. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh virus PRRS. Virus PRRS dimasukkan kedalam

genus Asterivirus dari family Togaviridae. Virus ini masuk dalam satu grup

dengan Lactate dehydogenase elevating virus, equine arteritis virus dan

simasn hemeorrhagic fever virus (Deptan. 2014).

b. Gejala Klinis

Nafsu makan menurun, lesu, sesak nafas, kulit bercak kebiruan. Tingkat

kebuntingan rendah, babi bunting ditandai dengan keguguran, fetus lahir mati,

mumifikasi fetus, anak yang dilahirkan dalam keadaan lemah, anak sedang

menyusui kematiannya tinggi dan gejala pernafasan yang berat. Gejala

pernafasan ini dapat berlangsung dalam beberapa bulan (Deptan. 2014).

c. Epidemiologi
Penyakit ditularkan melalui pernafasan, udara tercemar paling potensial

menyebarkan virus, disamping itu juga melalui semen pada saat kawin alam

atau inseminasi buatan. Penyakit ini terutama menyerang ternak babi semua

umur, akan tetapi yang paling banyak terserang adalah yang berumur muda.

Patogenesis dari virus PRRS tidak diketahui dengan lengkap. Namun

diketahui bahwa penyakit ini dapat bersifat imunosupresif karena babi- babi

yang terserang PRRS terjadi pula peningkatan kejadian penyakit, seperti

penyakit yang disebabkan oleh bakteri haemophilus parasui, Streptococcus

suis, Salmonella spp, pasteurella multocida atau Actinobacillus

pleuropneumoniae. Demikian pula infeksi yang terus menerus dari PRRS dan

Streptococcus suis akan meningkatkan mortalitas, serta meningkatkan

kejadian Porcine respiratory coronavirus, Infl uenza virus HL NL dan

Paramyxovirus.

Penyakit ini pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1987,

setelah itu dilaporkan di Kanada, Inggris, Eropa, Asia Tenggara, Malta dan

Siprus. Secara klinis ditemukan di Kab. Siborong-borong, Sumatera Utara

tahun 2007/2008 dan secara serologis PRRS tersebar di beberapa daerah,

seperti Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Kupang)

(Deptan. 2014).

d. Diagnosis

Penyakit dapat didiagnosa berdasarkan data epidemiologi, gejala klinis,

patologis, isolasi dan identifi kasi virus. Virus dapat disolasi secara in vitro

pada biakan sel, selanjutnya virus diidentifi kasi dengan flourescent antibody

technique (FAT) sedangkan antibodi dapat dideteksi dengan berbagai uji

serologis seperti FAT tak langsung (IFA), serum netralisasi (SN),


immunoperoxidase (IP)dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)

(Deptan. 2014)
BAB III

MATERI DAN METODE

3.1. Materi

 Alat

Alat yang digunakan untuk pemeriksaan dan pengambilan sampel adalah

Syiringe 3 ml, Tabung Non-EDTA, tabung ependof, Kapas alkohol,

Termometer, stiker label

 Bahan

Bahan yang digunakan sebagai sampel adalah babi kampung yang diduga

terinfeksi virus ASF

3.2. Metode

Metode pengambilan sampel

 Metode pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara mengambil

darah babi yang mempunyai gejala klinis menyerupai ASF pada vena

auricularis.

 Kemudian sampel darah dimasukkan ke dalam tabung non-EDTA untuk

mendapatkan serum.

 Setelah serum terbentuk, di masukkan kedalam tabung ependof.

 Kemudian serum darah tersebut diantar ke UPT Veteriner untuk

dilakukan pengujian ASF


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

 Data Pemilik

Nama Pemilik : Bapak Adolf

Alamat : Tarus

Mahasiswa Koas : Pedro Nope

 Data Hewan

Jenis hewan : Babi

Ras : Duroc

Umur : 8 Bulan

Jenis Kelamin : Betina

Warna : Putih

 Anamnesa

Berdasarkan hasil anamnesa dan pengamatan di lapangan, diketahui babi yang

dipelihara berjumlah 11 ekor, beberapa babi dipelihara pada kandang menyusui dan

beberapa babi digabung pada 1 kandang besar, diketahui babi sudah pernah divaksin

hog cholera saat dibeli, pakan yang diberikan adalah pakan toko, jarak kandang

dengan peternak babi lain ± 100m. Menurut keterangan pemilik, babi mulai tidak

napsu makan 6 hari sebelum dilakukan pengambilan sampel, babi lebih sering minum

air, diketahui tidak ada pergantian pakan yang diberikan, mulai timbul bercak-bercak

merah pada beberapa bagian tubuh, selain itu babi terlihat lemas, beberapa hari

kemudian 6 ekor babi yang dipelihara di kandang tersebut mati mendadak. Pada hari

ke 4 sebelum pengambilan sampel pada 5 babi yang tersisa mulai muncul gejala yang

sama yaitu bercak-bercak merah pada beberapa bagian tubuh. Pada saat di lokasi babi
terlihat lemas dan tidak bisa berdiri, kemudian dilakukan pemeriksaan suhu rektal

dan hasilnya 39,7°C kemudian dilakukan pengambilan sampel darah.

Diketahui 2 hari setelah pengambilan sampel, 3 ekor babi termasuk babi yang

diambil sampelnya mati, dan hari berikutnya 2 ekor babi yang tersisa mati.

Gejala Klinis yang nampak pada saat dilakukan pemeriksaan :

GAMBAR KETERANGAN

Hemoragi pada daerah mata

Hemoragi pada daerah vulva

Suhu rektal 39,7°C


Beberapa ekor babi nampak lemas, dan

tidak napsu makan

Hasil laboratorium :

Berdasarkan hasil pemeriksaan serum darah babi menggunakan metode diagnosis

ELISA yang dilakukan di UPT Veteriner, didapatkan hasil negatif.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan gejala klinis yang nampak yaitu babi terlihat lemas, tidak napsu makan,

muncul hemoragi pada kulit di beberapa bagian tubuh, serta demam. Diduga bahwa babi

tersebut mengalami sakit bukan akibat keracunan pakan, Jika dilihat dari pakan yang

diberikan berupa pakan toko, saat diperiksa tidak ditemukan adanya pakan yang berjamur

(mikotoksikosis). Apabila hewan mengonsumsi pakan yang tercemar mikotoksin maka

akan menimbulkan gejala demam, muntah, lemas, diare dan pada beberapa gejala

menimbulakan hepatotoksik (Lucas, 1959), oleh karena bukan disebabkan oleh toksik

akibat pakan yang tercemar sehingga diduga gejala klinis yang timbul akibat terinfeksi

bakteri atau virus.

Berdasarkan gejala klinis yang timbul, terdapat satu gejala klinis yang mirip dengan

gejala pada ASF dan Hog Cholera yaitu hemoragi yang muncul pada kulit di beberapa

bagian tubuh. Menurut Retnaningsih (2019) babi yang terinfeksi ASF ditandai dengan

demam tinggi hingga 42 °C, depresi, nafsu makan menurun, malas bergerak, cenderung

berkumpul, hemoragi pada kulit dan organ dalam, abortus pada babi bunting, sianosis
(warna kulit kebiruan), muntah, dan diare. Begitu pun dengan gejala klinis yang timbul

oleh babi yang terinfeksi penyakit hog cholera/CSF pada kasus akut.

Jika dilihat dari beanyaknya kasus yang telah muncul hampir diseluruh wilayah di

pulau timor, gejala pada babi yang terserang penyakit ini mirip dengan gejala ASF yang

mulai mewabah hingga menumbulkan ribuan babi mati mendadak dangan ciri yang sama.

Pada kasus ini babi yang diperiksa mati setelah 6 hari sejak menunjukkan gejala, diduga

gejala yang timbul pada kasus ini adalah akut, dikarenakan hewan menunjukkan gejala

dan mati tiba-tiba, hal ini didukung oleh pernyataan Retnaningsih (2019) Gejala klinis

pada babi terdiri atas perakut, akut, subakut dan kronis. Pada kasus akut, kematian

biasanya terjadi dalam 5-10 hari setelah muncul gejala klinis, selain itu angka kematian

dapat mencapai 100%.

Selain itu riwayat babi telah divaksin hog cholera juga memperkecil kemungkinan

jika babi tersebut terjangkit penyakit hog cholera walaupun tidak menutup kemungkinan

penyakit ini dapat terjadi walaupun babi telah divaksin. Jika dilihat dari gejala yang

timbul maka akan sulit untuk membedakan kedua jenis penyakit tersebut jika hanya

melakukan pemeriksaan klinis dikarenakan gejala yang timbul hampir sama. Oleh karena

itu untuk menegakkan diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk

mendeteksi agen penyebab penyakit.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab panyakit dapat

menggunakan diagnosis ELISA, teknik diagnosis ELISA merupakan salah satu teknik

serologi yang dapat digunakan untuk mendeteksi patogen secara efektif dan efisien (Halk

&De Boer, 1985). Teknik pengujian ini mampu memeriksa sampel dalam jumlah yang

besar dalam waktu yang singkat, sehingga ideal untuk kepentingan screening.

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa titer antibodi babi negatif dalam pengujian

ELISA. Penentuan negatif atau positif berdasarkan presentase hasil yang keluar. Jika nilai
dibawah batas yaitu 40% titer antibodi untuk Hog Cholera. Hal ini menunjukan bahwa

babi yang tidak divaksinpun ada kemungkinan ditemukan antibodi. Hal ini bisa terjadi

karena babi sudah mengalami infeksi alam ataupun sudah memiliki maternal antibodi dan

maternal antobodi mampu mentralrisir antigen yang masuk sehingga jumlah titer antibodi

lebih rendah dari 40 % (Van Oirschot, 2003).

4.3 Diagnosa Banding

Pada kasus ini sangat sulit untuk membedakan penyakit yang diduga ASF hanya dengan

pemeriksaan klinis, selain itu hasil laboratorium yang negatif menunjukkan babi tersebut

negatif ASF walaupun gejala yang timbul mirip dengan gejala yang timbul akibat wabah

ASF di Kota Kupang. Sehingga diperlukan diagnosa banding penyakit yang mirip

dengan penyakit ASF ini yaitu :

1. Classical Swine Fever/Hog Cholera

2. Porcine Reproductive and Respiratory Syndrom (PRRS)

Kedua penyakit ini mirip serta menimbulkan gejala yang sama dengan ASF yaitu : Nafsu

makan menurun, lesu, sesak nafas, kulit bercak kebiruan. Namun pada penyakit PRRS

dapat menunjukkan gejala pernafasan yang berat. Jika dilihat dari mortalitasnya, ASF

dan CSF dapat menimbulkan tinggkat kematian hingga 100% pada babi yang terinfeksi

tergantung pada gejala yang timbul, Pada penyakit PRRS memiliki morbiditas dan

mortalitas yang sama tinggi, selain itu pada gejala pernapasan babi dapat berlangsung

beberapa bulan artinya babi masih memiliki rentan hidup yang lebih lama jika

dibandingkan ASF dan CSF pada kasus akut, penyakit PRRS ini lebih bersifat

immunosupresif sehingga dapat menimbulkan penyakit sekunder akibat infeksi ikutan

dari bakteri dan menyebabkan kelainan pernapasan dan reproduksi. Diketahui

penyebaran penyakit PRRS lewat udara dan melalui cairan semen, sedangkan penyakit

ASF dan CSF dapat melalui kontak langsung maupung tidak langsung.
Perbedaan antara penyakit ASF dan CSF :

Perbedaan African Swine Fever Classical Swine Fever


Penyebab Asfivirus Pestivirus
Gejala Klinis  Gejala tidak nampak pada  Bentuk perakut, ditandai

kasus perakut dengan kematian

 Demam tinggi hingga 42 mendadak, tidak

°C, stress, nafsu makan ditemukan gejala klinis

menurun, malas dan perubahan patologi.

bergerak, cenderung  Bentuk akut, ditandai

berkumpul, hemoragi dengan demam, suhu

pada kulit dan organ tubuh meningkat sampai

dalam, abortus pada dengan 42°C, tingkat

babi bunting, sianosis kematian bisa mencapai

(warna kulit kebiruan), 100%, gangguan

muntah, dan diare. pernapasan dan batuk,

 Bentuk sub akut dan disentri dan diare,

kronis : penurunan berat konjungtivitis, hiperemi

badan, demam kulit dengan bercak-bercak

intermiten atau berkala, warna merah ungu,

gangguan pernapasan, gerakan kaki tidak

ulser pada kulit, dan koordinasi dan konvulsi

radang sendi dimana hewan tidak bisa

bangun.

 Bentuk sub akut, ditandai

dengan suhu tubuh sedikit

lebih ringan dan rendah


40-40,50C, pada hewan

bunting terjadi mumifikasi

fetus, lahir dini atau

keadaan lemah dan anak

babi terlihat gemetar.

 Bentuk kronis, akan

terlihat batuk, nafsu

makan menurun, suhu

tubuh turun naik depresi

dan leukopenia

Patologi Limpa Limpa berwarna hitam Ptekie dan infark pada Limpa

dan bengkak
Patologi Usus Hemoragi pada dinding Ulcerasi nekrotik pada

usus mukosa
Patologi Ginjal Hemoragi pada ginjal Ptecie pada sub mukosa dan

sub serosa Ginjal


Patologi Tonsil Pembengkakam Nekrosis pada Tonsil
Teknik Diagnosa Deteksi antibodi terhadap Deteksi antibodi dapat

ASF dapat dilakukan dilakukan dengan beberapa

dengan uji serologi seperti uji serologis seperti Agar Gel

Immunodot blot (Balyshev Double Diffusion Precipitin

et al. 2018; Zhao et al. (AGDP),

2019). Sedangkan uji Immunoelectroosmophoresis

deteksi virus ASF (IEOP), Complement fixation

dilakukan dengan uji test (CFT)

fluorescent antibodi

(DFA) dan real time q-


PCR (Balyshev et al.

2018; Mazur-Panasiuk &

Woźniakowski 2019a) dan

konvensional PCR. Real

time PCR dan ELISA

merupakan diagnosis baku

dan paling sering

digunakan (Chenais et al.

2017).

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan darah babi, disimpulkan bahwa babi pada kasus ini

tidak terinfeksi virus ASF, sehingga diagnosa banding dari kasus ini adalah CSF atau

dikelas sebagai Hog Cholera dan PRRS berdasarkan kemiripan gejala klinis yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA

Balyshev VM, Vlasov ME, Imatdinov AR, Titov I, Morgunov S, Malogolovkin AS. 2018.
Biological properties and molecular-genetic characteristics of African Swine Fever
virus isolated in various regions of Russia in 2016–2017. Russ Agric Sci. 44:469-473.

Beltrán-Alcrudo D, Arias M, Gallardo C, Kramer S, Penrith ML. 2017. African swine fever:
detection and diagnosis – A manual for veterinarians. FAO Animal Production and
Health Manual No. 19. Rome (Italy): Food and Agriculture Organization of the
United Nations.

Boinas FS, Wilson AJ, Hutchings GH, Martins C, Dixon LJ 2011. The persistence of African
Swine Fever Virus in field-infected Ornithodoros erraticus during the ASF endemic
period in Portugal. PLoS ONE. 6:e20383.

Chenais E, Sternberg-Lewerin S, Boqvist S, Liu L, LeBlanc N, Aliro T, Masembe C, Ståhl K.


2017. African swine fever outbreak on a medium-sized farm in Uganda: Biosecurity
breaches and within-farm virus contamination. Trop Anim Health Prod. 49:337-346.

Fenner F.J., E. P.J. Gibbs, F.A. Murphy, R. Rott, M.J. Studdert and d.o. White. 1993.
Orthomyxoviridae. In: Veterinary Virology. 2ed. Academic Press Inc. California. pp.
545 – 557

Halk, E.L. & De Boer, S.H. 1985. Monoclonalantibodies in plant disease research. Annu.Rev.
Phytopathol, 23: 321-350
Kipanyula MJ, Nong’ona SW. 2017. Variations in clinical presentation and anatomical
distribution of gross lesions of African swine fever in domestic pigs in the southern
highlands of Tanzania: a field experience. Trop Anim Health Prod. 49:303-310.

Lucas.F.C.1995. Toksikologi dasar: Asas, organ sasaran, dan penilaian resiko. Terjemahan
dari Basic Toxicology: Fundamentals, target organs, and risk assesment, oleh
Nugroho, E. Bustami, Z.S dan Darmansyah, I. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Malogolovkin A, Burmakina G, Titov I, Sereda A, Gogin A, Baryshnikova E, Kolbasov D.


2015. Comparative analysis of African swine fever virus genotypes and serogroups.
Emerg Infect Dis. 21:312-315.

Mazur-Panasiuk N, Woźniakowski G. 2019a. The unique genetic variation within the O174L
gene of Polish strains of African swine fever virus facilitates tracking virus origin.
Arch Vir. 164:1667-1672.

OIE, African Swine Fever, Timor-Leste, https://www.oie.int/wahis_2/public/wahid.


php/Reviewreport/Review?page_refer=MapFullEventReport&reportid=31960, (2019).

Retnaningsih T W. 2019. Mengenal Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF).
Medik Veteriner Muda

Rodriguez JM, Moreno LT, Alejo A, Lacasta A, Rodriguez F, Salas ML. 2015. Genome
sequence of African swine fever virus BA71, the virulent parental strain of the
nonpathogenic and tissue-culture adapted BA71V. PLoS One. 10:p.e0142889.

Sanchez-Vizcano JM, Mur L, Gomez-Villamandos JC, Carrasco JL. 2015. An update on the
epidemiology and pathology of African swine fever. J Comp Pathol. 15:9-21.
Van Oirschot, JT. 2003. Vaccinology of Classical Swine Fever: From Lab to Field.
Veterinary Microbiology 96, 367-384.
Zhao D, Liu R, Zhang X, Li F, Wang J, Zhang J, Liu X, Wang L, Zhang J, Wu X, Guan Y,
Chen W, Wang X, He X Bu Z.2019. Replication and virulence in pigs of the first
African swine fever virus isolated in China. Emerging Microbes Infect. 8:438-447.

Anda mungkin juga menyukai