Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH TRADISI BLOOD TABOO SUKU PAPUA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah antropologi kesehatan yang diampu

oleh:

Muhamad Sahli., SKM., M. Kes

Romdiyah., S.SiT., M.Kes

Disusun oleh : kelompok 6

Afriana Herniawati (2020200023)

Alifia Yogi Rismala (2020200035)

Annisa Nurul Fityani (2020200070)

Nur Ilmiyah (2020200037)

PROGAM D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SAINS AL-QURAN JAWA TENGAH DI WONOSOBO

2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmatnya-lah

kami berhasil menyelesaikan tugas makalah antropologi kesehatan

Makalah ini kami harapkan bisa menjadi refrensi bagi mahasiswa lain untuk belajar

tentang “tradisi blood taboo suku papua”. Semoga makalah ini dapat dipergunakan

dan membantu mahasiswa dalam memperluas wawasan dan memperdalam

pengetahuannya.kami menyadari bahwa walaupun kami telah berusaha sekuat

tenaga untuk mencurahkan segala tenaga dan pikiran dan kemampuan yang kami

miliki.Tapi tetap saja makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan

baik dari segi bahasa, pengolahan, maupun dalam penyusunannya.Oleh karena itu

kami sangat mengharapkan kritik yang sifatnya membangun demi tercapai suatu

kesemppurnaan dalam makalah kami.

Atas bantuan pembaca yang telah memberikan kritik dan saran, kami mengucapkan

terima kasih banyak.

Wonosobo, 15 Desember 2022

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar............................................................................................................................2
Daftar isi.....................................................................................................................................3
Bab I Pendahuluan......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan masalah.............................................................................................................6
1.3 Tujuan masalah.................................................................................................................7
Bab II Pembahasan.....................................................................................................................8
2.1 Kesehatan penduduk papua..............................................................................................8
2.2 Kasus ibu melahirkan di pendalaman papua.................................................................. 10
2.3 Tradisi blood taboo ........................................................................................................11
2.4 Kebijakan yang relevan dan menangani kasus ini .........................................................13
2.5 Peran pekerja sosial .......................................................................................................14
Bab III Penutup........................................................................................................................ 15
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................15
Daftar Pustaka......................................................................................................................16

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Memiliki topografi yang bervariasi seperti dataran tinggi yang masih dipadati

hutan hujan tropis, dataran rendah berawa, padang rumput, lembah, danau, dan lautyang

bersih membuat Papua menjadi salah satu tempat terindah di Indonesia. Namun,tak

selamanya keindahan itu membawa banyak manfaat. Keragaman topografi tersebut

ternyata menjadi tantangan tersendiri bagi Papua untuk berkembang. Salah  satu  hal 

yang paling dipengaruhi kondisi alam Papua adalah perkembangan kesehatan.

Tersebarnya masyarakat yang bermukim di dataran tinggi, dataran rendah,atau lembah

dan masih lekatnya adat istiadat dan kepercayaan masyarakat, membuat bidang kesehatan

sulit untuk berkembang.

AKI atau Angka Kematian Ibu di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia

Tenggara. Tingginya AKI di Indonesia yaitu 390 per 100.000 kelahiran hidup

(SDKI1994) tertinggi di ASEN. Salah satunya angka kematian ibu yang terjadi di Papua

dalam masa pra persalinan, saat proses persalinan, atau pun setelah persalinan masih

menjadi isu permasalahan yang penanganannya masih terus dilakukan. Adanya tema 

budaya yang mempengaruhinya pun tidak luput menjadi perhatian dalam proses 

penanganannya, khususnya pada daerah-daerah pedalaman Papua yang sulit dijamah oleh

petugas dan tenaga kerja di bidang kesehatan. Data Rumah Sakit Umum Daerah(RSUD)

Wamena dilansir dari web site tabloidjubi.com tentang tingkat angka kematian ibu hamil

dan bayi yang baru lahir di Papua sejak tahun 2015 hingga 2016 terus mengalami 

peningkatan.  Direktur RSUD Wamena, Dr. Felly G. Sahureka menyebutkan, pada 2015,

persalinan sebanyak 1.888 orang dan tujuh orang meninggal. Kemudian pada 2016,
4
sebanyak 2.009 orang yang melakukan persalinan dan enam orang  ibu  hamil

diantaranya meninggal dunia. Sedangkan untuk bayi yang baru dilahirkan dari tahun

2016 lalu, dari total 2.009 jiwa, hanya 293 bayi yang hidup.

Dokter spesialis kandungan RSUD Wamena, Dr. Charles C. Ratulangi, Sp.Og

mengatakan, angka kematian ibu dalam persalinan masih tinggi hingga tahun 2016.

Menurutnya, kematian tersebut disebabkan pendarahan, infeksi kehamilan dan masih

kekurangan gizi bagi ibu hamil. Menurutnya, untuk kematian yang diakibatkan karena

infeksi biasanya pasien datang terlambat atau tidak pernah melakukan pemeriksaan rutin.

Dari web site yang sama di dapat pula tambahan berita tahun 2015, menurut Sekretaris

Dinas Kesehatan Provinsi Papua Silwanus Sumule mengatakan kematian ibu tinggi

karena masih rendahnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Data Kementerian

Kesehatan RI pada tahun 2014 menunjukkan angka 42,76 persen. Angka ini

menunjukkan bahwa pertolongan persalinan kesehatan di Papua sangat  buruk,  dan

menjadi terendah dari semua Provinsi di Indonesia Timur, sementara angka nasional

telah mencapai 90,88 persen.

Selanjutnya, dilansir dari artikel berita tahun 2008 web site Kompas.com, Sri

Hermiyanti Yunizarman juga menyatakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

terjadinya  kematian  ibu  maupun  bayi  di  Papua  adalah  rendahnya akses pelayanan

kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang berkualitas, utamanya terkait dengan tiga pesan

kunci Making Pregnancy Safer, yaitu setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan

terlatih. Hal tersebut masih menjadi permasalahan di Papua seperti yang diinformasi

kandari artikel berita harian umum Metro Meraukeu tahun 2017, Kepala Dinas Kesehatan

Provinsi Papua, Aloysius Giyai, menyatakan Papua masih membutuhkan sekira 36.000

tenaga kesehatan untuk ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Tenaga kesehatan yang

sudah ada di Papua sekitar 12.000 orang, namun masih kurang 36.000 tenaga kesehatan
5
lagi yang masih dibutuhkan. Tenaga kesehatan yang dibutuhkan terdiri dari dokter

spesialis, dokter umum, dokter gigi hingga tenaga perawat, bidan, analis dan tenaga

kesehatan lainnya. Khususnya bidan dalam menangani kasus kematian ibu melahirkan

akibat persalinan dan kondisi kesehatannya. Aloysius Giyai juga menyebutkan bahwa

faktanya banyak daerah di Papua yang belum terjamah pelayanan kesehatan yakni yang

di balik-balik gunung, di kepulauan, di pesisir pantai, di sekitar sungai, sehingga terpuruk

kondisi kesehatannya. Oleh karena itu, perlu penambahan tenaga kesehatan dalam jumlah

banyak agar seluruh daerah terpencil terjamah.

Dalam salah satu jurnal, Mc Carthy and Maine menyatakan bahwa konsep yang

melatar belakangi kematian ibu tersebut adalah: pertama, status kesehatan ibu hamil itu

sendiri; kedua akses ke pelayanan kesehatan; dan ketiga perilaku ibu dalam memelihara

kesehatannya. Ketiga konsep itu dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial dan budaya.

Tema budaya menjadi salah satu faktor yang ternyata mempengaruhi kematian ibu di

Papua. Oleh karena itu, dalam laporan ini penulis ingin membahas kematian ibu di Papua

khususnya berkaitan dengan budaya yang menjadi salah satu faktor resiko kematian ibu

yang tinggi. Salah satu budaya dalam persalinan para ibu Papua yang menjadi  perhatian

penulis ialah mengenai tradisi Blood Taboo yang terjadi ketika proses persalinan dan

sangat membahayakan kondisi kesehatan ibu maupun bayinya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi kesehatan di Papua?

2. Apa itu tradisi Blood Taboo?

3. Bagaimana kasus ibu melahirkan di pedalaman Papua?

4. Apa saja kebijakan yang relevan untuk mengatasi masalah ini?

5. Apa saja peran pekerja social di Papua?

6
1.3 Tujuan

Mahasiswa mampu memahami konsep tradisi Blood Taboo Suku Papua,kebijakan

untuk mengatasi masalah dan kondisi kesehatan di papua

7
BAB II

Pembahasana

2.1 Kesehatan Penduduk Papua

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan penting bagi pembangunan

manusia di Papua meskipun terkadang pemahaman masyarakat mengenai pentingnya

kesehatan masih terbatas karena terbiasa menggunakan layanan kesehatan secara

tradisional.  Namun disinilah semakin pentingnya kehadiran pemerintah terutama 

melayanikesehatan pada daerah-daerah terpencil. Pemerintah menyediakan fasilitas

kesehatan dan melakukan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan di lapangan.

Di  wilayah  Indonesia bagian Timur, Papua merupakan daerah yang cukup

menyita  perhatian  dunia terkait masalah kesehatan. Buruknya tingkat kesehatan

diPapua ini antara lain mencakup empat hal, yakni kesehatan ibu dan anak dan gizi

masyarakat, penyakit menular malaria,tuberculosis (TB), dan HIV-Aids.

Sesuai pernyataan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih,

dr.Watofa, Sp.R.,  bahwa berdasarkan hasil riset kesehatan nasional dan daerah yang

dilakukan pada tahun 2013, angka kematian ibu dan anak di Papua dan Papua Barat

merupakan yang tertinggi di Indonesia. Sebuah penelitian di Timika, sebagai salah

satu contoh kasus, menunjukkan bahwa resiko malaria, seringkali infeksinya telah

dimulai saat lahir dan tanpa disengaja, dan menjadi faktor mortalitas (angka

kematian) ibu dan anak di wilayah tersebut.

Sementara itu, pada laporan yang lain, mengutip pernyataan Dirjen

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, 

Prof.Tjandra Yoga Aditama, kasus malaria di Indonesia bagian Timur, seperti

Papua,Papua barat, Maluku dan Nusa Tenggara Timur, masih terbilang tinggi 

dengan Annual  Parasitical Index (API) sebesar lebih dari 20 per 1.000 penduduk .


8
Di Papua, terutama di daerah pedalaman, kematian ibu melahirkan, bayi,

dananak balita, menjadi ancaman serius. AKI di Papua 362 per 100.000 kelahiran

hidup, diatas angka nasional 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi

diPapua pun tertinggi di Indonesia, 41 per 1.000 kelahiran hidup, jauh lebih tinggi da

ripadaangka nasional 34 per 1.000 kelahiran hidup.

Dalam salah satu artikel, kematian Ibu didefinisikan sebagai kematian

perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak

terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan, yakni kematian yang

disebabkan karena kehamilannya atau penanganannya, bukan karena sebab-sebab

lain seperti kecelakaan atau kasus insidentil. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan

indikator yang biasanya digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat.

AKI yang tinggi menggambarkan besarnya risiko yang dihadapi ibu hamil dalam 

persalinan juga mempunyai hubungan erat dengan kualitas bayi yang dilahirkan, 

sehingga AKI dan AKB (angka kematian bayi) saling berkaitan. Kondisi kesehatan

ibu sangat mempengaruhi proses kehamilan dan persalinan, pada akhirnya

menentukan baik buruknya kondisi bayi yang dilahirkan.

Berdasarkan data yang dilansir oleh Ditjen Bina Gizi dan KIA (2013)

menunjukan bahwa cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan yang

terlatih menurut provinsi di Indonesia pada tahun 2013, tiga provinsi dengan

cakupan tertinggi  adalah  provinsi  Jawa  Tengah  dengan  cakupan  99,89%,

Sulawesi Selatan 99,78%,  dan Sulawesi Utara 99,59%.  Sedangkan tiga provinsi

dengan cakupan terendah adalah Papua 33,31%, Papua Barat (73,20%),  dan Nusa

Tenggara Timur (74,08%)

Selanjutnya dalam Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014 yang di terbitkan

oleh Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2014, tiga provinsi dengan cakupan
9
tertinggi yaitu DI Yogyakarta (99,96%), Jawa Tengah (99,17%), dan Bali (97,66%).

Sedangkan tiga provinsi dengan cakupan terendah yaitu Papua Barat (44,73%),

Maluku (46,90%),dan Papua (63,15%).

Berdasarkan kedua data tersebut dapat terlihat jelas bahwa Papua masih

menjadi provinsi dengan cakupan pertolongan  persalinan yang rendah. Kemudian 

dalam Ringkasan Kajian UNICEF Indonesia mengatakan bahwa anak-anak dari ibu

yang kurang berpendidikan umumnya  memiliki angka kematian yang lebih tinggi 

dari pada mereka yang lahir dari ibu yang lebih berpendidikan. Selama kurun waktu

1998-2007,angka kematian bayi pada anak-anak dari ibu yang tidak berpendidikan

adalah 73 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi pada anak-

anak dari ibu yang berpendidikan menengah atau lebih tinggi adalah 24 per 1.000 

kelahiran hidup. Perbedaan ini disebabkan oleh perilaku dan pengetahuan tentang

kesehatan yang lebih baik di antara perempuan-perempuan yang berpendidikan.

Hal ini juga menjadi alasan yang menyebabkan kematian ibu di Papua tinggi

dalam penanganan proses persalinan.

2.2 Kasus Ibu Melahirkan Di Pedalaman Papua

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan penting bagi pembangunan manusia di

Papua meskipun terkadang pemahaman masyarakat mengenai pentingnya kesehatan

masih terbatas karena terbiasa menggunakan layanan kesehatan secara tradisional. 

Namun disinilah semakin pentingnya kehadiran pemerintah terutama untuk melayani

kesehatan pada daerah-daerah terpencil. Pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan

dan melakukan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan di lapangan. Di Papua,

terutama di daerah pedalaman, kematian ibu melahirkan, bayi, dananak balita,

menjadi ancaman serius. AKI di Papua 362 per 100.000 kelahiran hidup, diatas

angka nasional 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi di Papua  pun
10
tertinggi di Indonesia, 41 per 1.000 kelahiran hidup, jauh lebih tinggi dari pada

angka nasional 34 per 1.000 kelahiran hidup.

2.3 Tradisi Blood Taboo

Tradisi blood taboo atau tindakan isolasi perempuan yang didasari anggapan bahwa 

darah yang dikeluarkan perempuan pada saat menstruasi atau saat melahirkan

(persalinan) adalah darah yang membawa sial masih terjadi di berbagai wilayah

Papua, misalnya seperti yang terjadi di Suku Burate & suku rawa-rawa lainnya di

Nabire yang bila tiba saatnya untuk melahirkan tiba mereka diisolasi di luar 

kampungnya dan tidak boleh keluar dari pagar yang telah ditentukan. Penanggung 

jawab Balai KesehatanTerpadu Ibu dan Anak Mimika, dr. Tjondro Indarto yang juga

pendiri Gerakan Sayang Ibu Papua dalam artikel berita dari web site Indonesia

timur.co pada tahun 2013, menyatakan bahwa tradisi pengisolasian perempuan hamil

itu tidak terjadi hanya di pelosok-pelosok saja, namun juga di kota-kota besar

seperti Timika dan kota lainnya di Papua. Tentunya tradisi ini dapat dinilai kurang

menghargai ibu dan kesehatannya. Beliau juga mengatakan bahwa aktivitas seperti

makan, memasak, kebelakang, dan tidur selama kurang-lebih 2-3 minggu dalam

menunggu proses persalinan dilakukan sendirian ditengah hutan belantara atau di

pantai. Semua itu hingga masa persalinan tiba, dilewati sendiri oleh sang ibu di

lokasi isolasi di luar kampung.

Tradisi ini secara lebih lanjut juga dijelaskan dalam jurnal tentang Tema

Budaya yang Melatar belakangi Perilaku Ibu-Ibu Penduduk Asli dalam

Pemeliharaan Kehamilan dan Persalinan di Kabupaten Mimika oleh Qomariah  Alwi

tahun 2007, dijelaskan bahwa penduduk mempercayai darah dan kotoran persalinan 

dapat menimbulkan penyakit yang mengerikan bagi laki-laki dan anak-anak, karena 

itu ibu bersalin harus dijauhkan atau disembunyikan dengan kata lain diisolasi. Pada


11
penduduk yang masih tinggal di pedalaman, lokasi penyingkiran ibu bersalin ini

berada di luar radius 500 meter dari perkampungan. Di desa pemukiman baru ini

meskipun mereka sudah tinggal selama lebih dari 10 tahun, masih tetap ada akar

budaya ‘jijik’ atau ‘takut’ terhadap perempuan yang sedang bersalin. Hal ini terlihat

dari tempat ibu-ibu melakukan persalinan di rumah bisa; di dalam kamar mandi,

di dapur, di bawah rumah, atau ditempat khusus yang dibuat di belakang rumah/

hutan (bivak). Ini menunjukkan bahwa meskipun sudah tinggal di pemukiman baru,

para ibu tetap tidak berani melanggar tradisi dengan mengurung diri di bagian

belakang rumah, sementara suami dan anak-anak menunggu di ruang depan rumah.

Kepercayaan ini sangat memojokkan posisi perempuan dan sangat merugikan

kesehatannya,saat perempuan yang berjuang untuk tugas reproduksi yang berbahaya 

tidak mendapat perhatian dari suaminya. Cara penanganan persalinan juga sering ber

tentangan dengan cara pelayanan kesehatan moderen misalnya posisi jongkok di

toilet, pemotongan dan pengikatan tali pusat dengan tali rafia atau akar pohon.

Berdasarkan pembahasan di atas, tradisi tersebut sangat berbahaya untuk 

keselamatan ibu dan anak, selain lingkungan tempat persalinan yang tidak sehat dan

tidak dibantu dengan penanganan persalinan yang tepat, tidaklah diragukan kematian

ibu Papua dalam persalinan dapat terjadi. Kesadaran dan pendidikan terhadap

bahaya yang diakibatkan dari tradisi ini di daerah Papua masih rendah,

khususnya di pedalaman. Tidak adanya peran laki-laki yang seharusnya membantu

proses persalinan karena masalah persalinan dianggap urusan sesama perempuan

sehingga laki-laki tidak harus ikut campur dan kebebasan perempuan untuk memilih

keputusan tempat di manaibu melahirkan menjadi faktor pendukung tradisi ini.

Berbagai penanganan sudah dilakukan, namun masih belum efektif untuk me

ngatasi kematian ibu akibat kelalaian penanganan persalinan ini. Program pembangu
12
nan  penyediaan fasilitas rumah sakit, puskesmas, pemenuhan kebutuhan dokter dan

bidan, dan lain sebagainya pun masih berupaya dilakukan untuk daerah-daerah yang

sulit dijangkau.

2.4 Kebijakan Yang Relevan Dalam Menangani Kasus Ini

Pemerintah Papua sendiri telah mengeluarkan suatu kebijakan untuk 

mengurangi tingkat kematian ibu dan bayi, diantaranya adalah :

1.Making Pregnancy Saver (MPS)

Mengacu pada Indonesia Sehat 2010, telah dilakukan strategi Making Pregnancy

Saver (MDS) dengan tujuan untuk mempercepat penurunan AKI dan AKB.

Terfokus pada pendekatan perencanaan sistematis dan terpadu dalam intervensi

klinisdan sistem kesehatan serta penekanan pada kemitraan antar institusi

pemerintah,lembaga donor, swasta, masyarakat, dan keluarga. Perhatian khusus pada

penyediaan pelayanan yang memadai dan berkelanjutan dengan penekanan pada

ketersediaan penolong persalinan terlatih. Ada 4 strategi penurunan kesakitan dan

kematian ibu. Pertama, meningkatkan cangkupan akses dan pelayanan kesehatan

yang berkualitas dan cost effective. Kedua,membangun kemitraan yang efektif

melalui kerja sama lintas program, lintas sektor dan mitra lainnya. Ketiga,

mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan

dan perilaku sehat. Selain itu, isu gender dan hak-hak reproduksi wanita baik untuk

laki-laki maupun perempuan perlu terus ditekankan dan dipromosikan pada semua

level.

2. Gerakan Sayang Ibu Papua

Dirintis oleh kantor Menperta pada tahun 1996. Ruang lingkupnya meliputi advokasi

dan mobilisasi social. Dalam pelaksanaannya, GSIP mempromosikankegiatan yang

13
berkaitan dengan Kecamatan Sayang Ibu dan Rumah Sakit Sayang Ibu untuk

mencegah 3 keterlambatan yaitu:

1. Keterlambatan di tingkat keluarga dalam mengenali tanda bahaya dan membuat

keputusan untuk segera mencari pertolongan.

2. Keterlambatan dalam mencapai fasilitas pelayanan kesehatan.

3. Keterlambatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapat pertolongan yang

dibutuhkan.

2.5 Peran Pekerja Sosial

Seorang pekerja sosial dalam menyikapi kasus seperti ini sangat perlumengg

unakan metode pendekatan Indigenous In Social Service karena berhubungandengan

budaya lokal masyarakat. Oleh karena itu, banyak tradisi adat setempat yang perlu

diteliti lebih lanjut dalam pemberian penanganan kesehatan di Papua yang memiliki

keberagaman budaya unik yang tidak biasa dari leluhurnya khususnya dalam kasus

persalinan para ibu di suku pedalaman Papua. Beberapa penanganan yang sesuai

dengan pendekatan tersebut diantaranya mengembangkan tenaga ahli dari penduduk

khususnya para dukun untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan medis yang

tepat dalam penanaganan pra-persalinan, proses persalinan dan pasca persalinan.

Karena seperti yang kita tahu bahwa dukun anak dari daerah asal mereka lebih

dipercaya untuk menangani kasus persalinan pendududuk 

Lalu program berikutnya adalah berkaitan dengan kebiasaan penduduk yang

enggan pergi ke fasilitas kesehatan karena jarak tempuh yang cukupjauh, membuang

waktu kerja mereka untuk bercocok tanam dan lain sebagainya. Selain itu,membutuh

kan biaya yang tidak sedikit untuk menjangkaunya. Oleh karena itu banyak bidan

ataupun dokter yang datang secara khusus bertugas untuk mengunjungi rumah-

rumah penduduk.
14
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Sebagaimana tercantum pada pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 Tentang Kesehatan “Kesehatan adalah hak asasi manusia dan salah satu unsure

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita bangsa Indonesia”, serta 

pada Pasal 1 (1) yang menyatakan bahwa kesehatan merupakan faktor penting bagi

manusia untuk dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pasal

59 (3), dinyatakan pula bahwa setiap penduduk Papua memiliki hak untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan. Ketetapan dalam Undang-Undang tersebut

mencerminkan bahwa kesehatan merupakan masalah yang penting untuk ditanggapi

oleh kita semua. Penetapan kebijakan oleh pemerintah menunjukkan bagaimana

komitmen negara dalam menanggulangi masalah tersebut. Namun demikian, 

peraturan  mengenai pelayanankesehatan ini belum berjalan secara maksimal. Hal

ini terlihat dari peningkatan angkakesehatan di Indonesia belum menunjukkan

kecenderungan yang berarti.Dari kasus dan penjelasan mengenai angka kematian ibu

dan bayi di Papua,dapat kita ketahui bahwa masyarakat Papua terutama di daerah

pedalaman masih belum paham akan adanya suatu kebijakan yang di berikan ileh

pemerintah Papua.

Selain itu, penyebab mereka tidak pergi ke rumah sakit untuk bersalin karena

jarak tempuh yang lumayan jauh sehingga mereka lebih memilih melahirkan secara 

tradisional ( menurut kepercayaan adat masing-masing ).Perlu adanya suatu gebrakan

lebih serius dari pemerintah Papua dan pelaksanaan kebijakan kepada masyarakatnya.

15
Selain itu, perlu adanya suatu perencanaan lebihlanjut dari bidang kesehatan seperti

penambahan Sumber Daya Manusia dan penempatan posko-posko di berbagai wilayah

pedalaman untuk menghindari adanya kematian ibu dan anak

Daftar Pustaka

Wahyuni, Tri. 2015.Sulitnya Memberi Pelayanan Kesehatan di Papua.

Retrieved fromhttps://www.cnnindonesia.com/nasional/20151129164221-20-

94742/sulitnya-memberi- pelayanan-kesehatan-di-papua

Anonim. 2014. Meninjau Masalah Kesehatan Di Papua. Retrieved

fromhttp://halamanpapua.org/umum/pengantar/meninjau-masalah-kesehatan-di-

papua/

Anonim. 2012. Serius..Kematian.Ibu.dan.Anak.di.Indonesia  Retrieved

fromhttps://nasional.kompas.com/read/2012/11/12/08473097/Serius..Kematian.Ibu.d

an.Anak.di.Indonesia

Anonim. 2012. Pembangunan Kesehatan Di Papua Untuk Siapa?

http://www.aldp-papua.com/pembangunan-kesehatan-di-papua-untuk-siapa/

  Rosandrya Rindi. 2018.Masalah Kesehatan Papua Tanggung Jawab Bersama

http://www.neraca.co.id/article/96188/masalah-kesehatan-papua-tanggungjawab-

bersama

Alwi, Qomariah. 2007.[PDF] Tema Budaya yang Melatarbelakangi Perilaku

Ibu-Ibu Penduduk Asli dalam Pemeliharaan Kehamilan dan Persalinan Kabupaten

Mimika.Retrieved fromhttps://media.neliti.com/media/publications/67012-ID-tema-

budaya-yang-melatarbelakangi- perila.pdf 

16
Indarto, Tjodro. 2013.Tradisi Blood Taboo Persalinan Masih Berlaku Di

Papua. Retrieved fromhttps://indonesiatimur.co/2013/09/25/tradisi-blood-taboo-

persalinan-masih-berlaku-di-papua/

Mampioper, Dominggus. 2015.Tinggikah ? Angka Kematian Ibu dan Anak

di Provinsi Papua.Retrieved fromhttp://tabloidjubi.com/16/2015/09/11/tinggikah-

angka-kematian-ibu-dan-anak-di-provinsi-papua/

Anonim. 2008.Tinggi, Kematian Ibu Melahirkan dan Bayi di Papua.

Retrieved from kompas.com :https://nasional.kompas.com/read/2008/11/21/185601

81/tinggi.kematian.ibu.melahirkan.dan.bayi.di.papua

Lantipo, Yuliana. 2017.Tingkat Kematian Ibu Hamil dan Bayi di RSUD Wa

mena Meningkat .Retrieved fromhttp://tabloidjubi.com/m/artikel-7104-tingkat-

kematian-ibu-hamil-dan-bayi-di-rsud-wamena-meningkat.html

Abubar, Musa. 2017.Papua Butuh 36.000 Tenaga Kesehatan. Retrieved from

https://metromerauke.com/2017/07/07/papua-butuh-36-000-tenaga kesehatan/

Medika, Yohanes. 2016[PDF] Kajian Permasalahan Kesehatan Ibu di Papua

.Retrievedfromhttps://www.academia.edu/31172063/

KAJIAN_PERMASALAHAN_KESEHATAN_IBU_DI_ PAPUA

Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak (2012). Retrieved from web site

UNICEF Indonesia:https://www.unicef.org/indonesia/id/A5_ _B_Ringkasan_Kajian

_Kesehatan_REV.pdf 

Fernando, Leo. 2011.Proposal Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu.

 Retrieved fromhttps://www.scribd.com/doc/54600788/Proposal-Upaya-

Menurunkan-Angka-Kematian-Ibu

17
Madolan, Amrin. 2016.Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga

Kesehatan di 34 Provinsi di Indonesia Tahun 2014 . Retrieved from

https://www.mitrakesmas.com/2016/03/cakupan- pertolongan-persalinan-oleh.html

[PDF] Laporan Tahunan Indonesia 2014. Retrieved from web site UNICEF

Indonesia:https://www.unicef.org/indonesia/id/UnicefAnnualReport2014_FINALPR

EVIEW_INDONESIA.pdf 

18

Anda mungkin juga menyukai