Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem perkemihan merupakan salah satu sistem yang tidak kalah
pentingnya dalam tubuh manusia. Sistem perkemihan terdiri dari ginjal,
ureter, vesica urinaria dan uretra yang menyelenggarakan serangkaian proses
untuk tujuan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
mempertahankan keseimbangan asam basa dalam tubuh, mengeluarkan sisa-
sisa metabolism seperti urea, kreatinin, asam urat dan urin. Gangguan yang
terjadi pada sistemperkemihan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang
salah satunya disebabkan oleh adanya pembesaran pada prostat atau biasa
disebut Benigna Prostat Hiperplasia.
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa
pembesaran dari kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran
urine dan menimbulkan gangguan miksi. Lebih dari setengahnya orang yang
usianya diatas 50 tahun dan 75 % pria yang usianya 70 tahun menderita
gejala-gejala semacam pembesaran prostat (Long, 2002). Walaupun jarang
menyebabkan kematian tetapi dapat menurunkan kualitas hidup penderita
secara signifikan.
Sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan ada hubungan erat
dengan peningkatan hormon di hidrotestosteron dan proses ketuaan. Faktor-
faktor resiko terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa penelitian
mengarah pada predisposisi genetik atau perbedaan ras. Sekitar 50% laki-laki
berusia dibawah 60 tahun yang menjalani operasi BPH memiliki faktor
keturunan yang kemungkinan besar bersifat autosomal dominan, dimana
penderita dengan orangtua yang menderita BPH memiliki resiko 4x lipat lebih
tinggi dibandingkan dengan yang normal (Cooperberg dkk, 2012).
Ketika seseorang terkena BPH, kemudian terdapat gejala-gejala seperti
nyeri saat BAK, sering BAK tapi hanya menetes, retensi urine dan lain-lain.

1
Hal ini jika dibiarkan secara terus menerus, akan terjadi komplikasi-
komplikasi yaitu di antaranya Hidroureter dan Hidronefrosis. Jika hal ini
sampai terjadi maka therapy utama yang umum dilakukan adalah dengan
medikamentosa. Apabila dengan medikamentosa tidak berhasil baru
dilakukan tindakan operasi (Toha, 2007).
Angka kejadian penyakit pada sistem perkemihan terutama di Ruang
Bedah Darussalam 3 RS Al-Islam pada 3 bulan terakhir yaitu bulan
September-November selalu mengalami peningkatan dan mencapai peringkat
terbanyak dari penyakit lain yang dirawat diruangan tersebut. Dari hasil data
selama tiga bulan terakhir didapatkan jumlah sebanyak 155 pasien yang
menderita penyakit BPH.
Data ini menunjukan angka kejadian BPH yang begitu tinggi diruangan
tersebut. Untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul serta untuk
mencegah terjadinya tahap penyakit yang lebih lanjut seperti resiko kematian,
maka diperlukan pelayanan asuhan keperawatan secara komprehensif dan
sistematis yang meliputi aspek bio-psiko-sosial dan spiritual dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan.
Berdasarkan pemaparan di atas penulis tertarik melaksanakan Evidence
Based Practice dengan kasus BPH dengan judul “asuhan keperawatan dan
pelaksanaan Evidence Based Practice (EBP) dengan kasus BPH di Ruang
Bedah Darussalam 3 RS Al Islam”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah yang
penulis rumuskan adalah “Bagaimana asuhan keperawatan dan pelaksanaan
Evidence Based Practice (EBP) dengan kasus BPH di Ruang Bedah
Darussalam 3 RS Al Islam tahun 2018?”.

2
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan dan melaksanakan Evidence Based
Practice dengan kasus BPH di Ruang Bedah Darussalam 3 RS Al Islam
tahun 2018
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mengerti dan memahami konsep serta asuhan keperawatan
dengan kasus BPH
2) Mengerti dan memahami pelaksanaan EBP keperawatan dengan
kasus BPH

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
1) Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan
Hasil data dari pelaksanaan EBP dapat dijadikan sebagai sumber
pengetahuan serta informasi baru dalam bidang keperawatan
medikal bedah yaitu penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada
pasien BPH dengan keluhan inkontinensia urin dengan tindakan
pelvic floor muscle exercises.
2) Bagi STIKes Bhakti Kencana Bandung
Hasil dari penelitian dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan
serta informasi baru dalam bidang keperawatan khususnya bidang
keperawatan medikal bedah yaitu penatalaksanaan yang bisa
dilakukan pada pasien BPH dengan keluhan inkontinensia urin
dengan tindakan pelvic floor muscle exercises.
1.4.2 Manfaat Praktis
1) Bagi Rumah Sakit Al Islam Bandung
Hasil penelitian dapat menjadi bahan masukan dalam
implementasi keperawatan pada penyakit BPH yang mengalami
inkontinensia urin.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 KONSEP TEORI BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)


1. Definisi
Hiperplasia prostat atau BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau semua
komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika
(Muttaqin, 2012). BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Hiperplasia Prostat Benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
(secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, 2002).
Hiperplasia prostat jinak (benigna prostatic hypertrophy) merupakan
kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh meningkatnya
ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat (Grace, Pierce
A, dkk, 2007). Hiperplasia prostat jinak adalah pertumbuhan nodul-nodul
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari
bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan
menekan kelenjar normal yang tersisa (Price, 2005). Hiperplasia prostat
benigna adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan
gejala urinaria dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari bulu-
buli (Nursalam, 2006).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa BPH adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat
mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.

2. Anatomi Fisiologi
Kelenjar proatat adalah suatu jaringan fibromuskular dan kelenjar
grandular yang melingkari urethra bagian proksimal yang terdiri dari kelnjar

4
majemuk, saluran-saluran dan otot polos terletak di bawah kandung kemih
dan melekat pada dinding kandung kemih dengan ukuran panjang : 3-4 cm
dan lebar : 4,4 cm, tebal : 2,6 cm dan sebesar biji kenari, pembesaran pada
prostat akan membendung uretra dan dapat menyebabkan retensi urine,
kelenjar prostat terdiri dari lobus posterior lateral, anterior dan lobus medial,
kelenjar prostat berguna untuk melindungi spermatozoa terhadap tekanan
yang ada uretra dan vagina. Serta menambah cairan alkalis pada cairan
seminalis.

3. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab
terjadinya BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat
kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria
usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%,
dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011).
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesis yang
diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH
menurut Purnomo (2011) meliputi :
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis
dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel
prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel
yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa
kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat
normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan
jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH.

5
2. Teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron
sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan
antara kadar estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon
estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).
3. Faktor interaksi stroma dan epitel-epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut
Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT
dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang
selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan
autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
Basic Fibroblast Growth Factor (BFGF) dapat menstimulasi sel stroma
dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan
pembesaran prostad jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh adanya
mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-
sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Berkurangnya
jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem.
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu
sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif.

6
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone
androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan
terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan
sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

4. Klasifikasi
Menurut Rumahorbo (2000), terdapat empat derajat pembesaran
kelenjar prostat yaitu sebagai berikut :
1. Derajat Rektal
Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar
prostat ke arah rektum. Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas
teraba konsistensi elastis, dapat digerakan, tidak ada nyeri bila ditekan
dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada hipertropi prostat di
dapatkan batas atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat
diatas 35 gram.Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat
menentukan derajat rectal yaitu sebagai berikut :
1). Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm
2). Derajat I : Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm
3). Derajat II : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm
4). Derajat III : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm
5). Derajat IV : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm
2. Derajat Klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien
disuruh BAK sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi.
Urine yang keluar dari kateter disebut sisa urine atau residual urine.
Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :
1). Normal sisa urine adalah nol
2). Derajat I sisa urine 0-50 ml
3). Derajat II sisa urine 50-100 ml
4). Derajat III sisa urine 100-150 ml

7
5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama
sekali. Bila kandung kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan,
maka urine akan keluar secara menetes dan periodik, hal ini disebut
Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine
sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah
dan kadang-kadang terjadi hematuria.
3. Derajat Intra Vesikal
Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau
cystogram, panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra,
berarti telah sampai pada stadium tida derajat intra vesikal. Gejala yang
timbul pada stadium ini adalah sisa urine sudah mencapai 50-150 ml,
kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah pinggang serta
kemungkinan telah terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.
4. Derajat Intra Uretral
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk
melihat sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen
uretra. Pada stadium ini telah terjadi retensio urine total.

5. Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda
dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala
pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai
miksi), pancaran, miksi lemah. Intermiten (kencing terputus-putus),
dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

8
Keluhan akibat hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas
berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan
dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada
saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun
gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan
prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan,
keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada
epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan
volume residual yang besar.

6. Tahapan Perkembangan Penyakit BPH


Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan
De jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur
dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas
prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

7. Patofisiologi
Hiperplasia prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar
normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar
dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses

9
pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada
leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal
dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan
destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien
tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi
statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk, 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin
yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi
maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi).
Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami
iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa
bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang
mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan
frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin
berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih atau disuria
(Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan
obstruksi,akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan
refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagalginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktumiksi penderita
harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkanhernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapatmenyebabkan terbentuknya batu
endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi
dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan
De jong, 2005).

10
Pathway

11
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk
(2007) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH
meliputi :
1. Laboratorium
a. Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan
untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan
kultur urin berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan
sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
b. Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit kadar
ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin
ginjal dan status metabolic.
c. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini
keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy.
Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific
antigen density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka
sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA >
10 ng/ml.
2. Radiologis/pencitraan
a. Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu
opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya
bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya
retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat
kegagalan ginjal.
b. Pemeriksaan Pielografi intravena (IVP), untuk mengetahui
kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter yang
berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya
kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian

12
distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran
ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli
yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.
c. Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar
prostat, memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine,
menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal,
divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang
mungkin ada dalam buli-buli.
.
9. Penatalaksanaan Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan
BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis:
1. Berdasarkan Stadium
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat
ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasia prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau

13
sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan
pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi
untuk mengurangi tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan
alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut
Purnomo (2011) diantaranya :
a. Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin,
afluzosin atau yang lebih selektif alfa (Tamsulosin). Dosis dimulai
1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari.
Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat
mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas
detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan
pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat
sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat
memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan
aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai
memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing,
sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan
ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti antikolinergenik,
antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini mempunyai efek
pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.

14
b. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5
mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT
sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja
lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada
prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini
baru menunjukkan perbaikan sedikit 28 % dari keluhan pasien setelah 6-
12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat
memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat
ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
c. Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa
repeus. Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan
dapat memperkecil volum prostat.

10. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih.
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.

15
2.2 KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan salah satu dari komponen dari
proses keperawatan yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam
menggali permasalahan dari klien meliputi usaha pengumpulan data tentang
status kesehatan seorang klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat,
dan berkesinambungan.
Komponen pengkajian keperawatan secara komprehensif yang
dilaksanakan perawat secara umum meliputi; anamnesis pada klien, keluarga,
dan perawat lainnya, pemeriksaan kesehatan; pengkajian pemeriksaan
diagnostik; serta pengkajian penatalaksanaan medis (Muttaqin, Arif, 2010).
1) Identitas
BPH merupakan pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara
umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn,
E.D, 2000 ). Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, asuransi kesehatan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, serta diagnosis medis (Muttaqin, Arif, 2010).
2) Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang paling dirasakan oleh klien sehingga ia mencari
pertolongan. Keluhan yang diungkapkan klien pada umumnya yaitu
adanya rasa nyeri. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing. Hesitansi yaitu
memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang
disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu
beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama seperti
menanyakan tentang perjalanan sejak timbul keluhan hingga klien
meminta pertolongan. Misalnya: sejak kapan keluhan dirasakan, berapa
lama dan berapa kali keluhan tersebut terjadi, bagaimana sifat dan

16
hebatnya keluhan, di mana pertama kali keluhan timbul, apa yang sedang
dilakukan ketika keluhan ini terjadi, keadaan apa yang memperberat atau
memperingan keluhan, adakah usaha mengatasi keluhan ini sebelum
meminta pertolongan, berhasil atau tidakkah usaha tersebut, dan
sebagainya (Muttaqin, Arif, 2010).
4) Riwayat kesehatan dahulu
Perawat menanyakan tentang penyakit-penyakit yang pernah dialami
sebelumnya, terutama yang mendukung atau memperberat kondisi
gangguan sistem perkemihan pada klien saat ini seperti pernahkah klien
menderita penyakit kencing manis, hipertensi, penyakit kencing batu,
kencing berdarah, dan lainnya. Tanyakan: apakah klien pernah dirawat
sebelumnya, dengan penyakit apa, apakah pernah mengalami sakit yang
berat, dan sebagainya (Muttaqin, Arif, 2010).
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga
yang pernah menderita penyakit BPH atau tidak.
6) Riwayat Pengobatan
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko
terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin
banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar
risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH. Bila satu
anggota keluarga mengidap penyakit ini, maka risiko meningkat 2 kali
bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-
5 kali (Amalia, 2007).
7) Pengkajian psikososial
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan
pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat ini,
yang menentukan tingkat perlunya pengkajian psikososiospiritual yang
saksama.

17
Masalah kesehatan sistem perkemihan yang bersifat kronis akan
memberikan respon maladaptif terhadap konsep diri klien sehingga tingkat
stres emosional dan mekanisme koping digunakan berbeda-beda. Adanya
nyeri dari gangguan saluran kemih akan memberikan stimulus pada
kecemasan dan ketakutan pada setiap klien. Peran perawat sangat penting
diperlukan untuk menurunkan tingkat kecemasan klien (Muttaqin, Arif,
2010).
8) Pola persepsi dan tata laksana kesehatan
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan
pasien biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan
bahwa sakit yang dideritanya pengaruh umur yang sudah tua. Perawat
perlu mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa yang dideritanya
dan apa penyebab sakitnya saat ini (Amalia, Rizki, 2007).
9) Pola nutrisi dan metabolik
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada pre-operasi), maupun efek dari
anastesi pada post-operasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual,
muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi
masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya (Amalia, 2007).
10) Pola eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan pre operasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai
aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit,
frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada post-
operasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur
pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi
warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan
dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap
dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada
kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada post operasi BPH, karena
perubahan pola makan dan makanan (Amalia, 2007).

18
11) Pola tidur dan istirahat
Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu,
disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus
dimana hal ini dapat mengganggu kenyamanan klien. Jadi perawat perlu
mengkaji berapa lama klien tidur dalam sehari, apakah ada perubahan lama
tidur sebelum dan selama sakit/ selama dirawat (Amalia, Rizki, 2007).
12) Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan
terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan
perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, klien
juga merasa nyeri pada prostat dan pinggang. Klien dengan BPH
aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga (Amalia, 2007).
13) Pola persepsi dan konsep diri
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat
dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan
perilaku (Amalia, 2007).
14) Pola sensori dan pengetahuan
Klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya
terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien
mengalami hal itu, jadi perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra klien,
dan bagaimana status neurologis klien (Amalia, 2007).
15) Pola hubungan interpersonal dan peran
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang
dideritanya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien
dengan lingkungan sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan
klien dengan keluarga dan masyarakat sekitar, apakah ada perubahan
peran selama klien sakit (Amalia, 2007).
16) Pola reproduksi dan seksual
Pada pasien BPH baik pre-operasi maupun post-operasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim,

19
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat (Amalia, 2007).
17) Pola penanggulangan stres
Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena memikirkan
pengobatan dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak bisa
melakukan aktivitas seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari perubahan
tingkah laku dan kegelisahan klien. Perawat perlu mengkaji bagaimana
klien menghadapi masalah yang dialami, dan apakah klien menggunakan
obat-obatan untuk mengurangi stresnya (Amalia, 2007).
18) Pola tata nilai dan kepercayaan
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti gangguan
dalam beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya, karena BAK
yang sering keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu mengkaji apakah ada
pantangan dalam agama klien untuk proses pengobatan (Amalia, 2007).
19) Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik
pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-
buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya
pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang
merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume
prostat dengan DRE cenderung underestimate daripada pengukuran
dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa
ukuran sebenarnya memang besar. Disamping itu pada DRE diperhatikan
pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat
menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral (IAUI,
2008). Pada perabaan colok dubur harus diperhatikan konsistensi prostat
(pada BPH konsistensinya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada
prostat, apakah batas atas teraba. Kalau batas atas masih dapat teraba
secara empiris besar jaringan prostat kurang dari 60 g (Mansjoer, 2000).
20) Pemeriksaan laboratorium

20
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus
diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu,
infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan
hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan
informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan
Prostate Spesific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA ˂4
ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah
Prostate Spesific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan
volume prostat. Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA ˃ 10 ng/ml (Mansjoer, A, 2000).
21) Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi
intravena, USG dan sitoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah
untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-
buli dan volume residu urin dan mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak dengan BPH. Dari foto polos dapat dilihat
adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal ataunbuli-buli.
Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan
prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appreance (gambaran ureter
berbelok-belok di vesika), indentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu
urin, atau filling defect di vesika.
Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal,
mendeteksi residu urin, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli
(Mansjoer, A, 2000).

21
Analisa data
No Data Etiologi Masalah
1. Do : Hiperplasia Prostat Nyeri Akut
1) Klien mengeluh sakit saat miksi ↓
Otot destrutor menjadi lelah dan
2) Klien mengeluh miksi sedikit-
mengalami dekompensasi
sedikit dan lama-lama kencing ↓
tidak keluar Tidak mampu berkontraksi

Ds :
Spasme otot spingter
1) Kandung kemih tampak penuh ↓
2) Klien meringis menahan kencing Nyeri Akut

2. Do : Hiperplasia Prostat Gangguan


1) Klien mengeluh sudah beberapa ↓ eliminasi urin
Otot destrutor menjadi lelah dan
hari susah kencing.
mengalami dekompensasi
2) sedikit- sedikit dan lama-lama ↓
kencing tidak keluar Tidak mampu berkontraksi

Ds :
Spasme otot spingter
1) Pemeriksaan rectal toucher ↓
2) Dilakukan foto BNO Nyeri saat miksi

Disfungsi Saluran kemih

Gangguan eliminasi urin
3 Do : Hiperplasia Prostat Retensi urin
1) Klien mengeluh sudah beberapa ↓
Otot destrutor menjadi lelah dan
hari susah kencing.
mengalami dekompensasi
2) sedikit- sedikit dan lama-lama ↓
kencing tidak keluar Tidak mampu berkontraksi

Ds :
Spasme otot spingter
1) Kandung kemih tampak penuh ↓
2) Klien meringis menahan kencing kandung kemih penuh

Obstruksi

22
Retensi Urin
4 Ds : Hiperplasia Prostat Ansietas
1) Pasien merasa takut untuk ↓
Otot destrutor menjadi lelah dan
melakukan operasi.
mengalami dekompensasi
Do : ↓
1) Tidak ada Tidak mampu berkontraksi

Spasme otot spingter

kandung kemih penuh

Obstruksi

Dilakukan tindakan pembedahan
TUP-P

Ansietas

2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri Akut berhubungan dengan spasme kandung kemih.
2) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan sumbatan saluran
pengeluaran kandung kemih.
3) Retensi urine berhubungan dengan adanya obstruksi saluran kemih.
4) Ansietas berhubungan dengan dilakukan pembedahan dengan cara
TUP-P.

23
3. Intervensi Keperawatan
Perencanaan
No Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
1. Nyeri Akut Untuk mengurangi rasa nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Pengkajian nyeri dapat mengetahui
berhubungan pada pasien dengan komperhensif termasuk lokasi, nyeri pasien dan pada skala berapa.
dengan spasme mengontrol karakteristik, durasi, frekuensi dan 2. Observasi non verbal
kandung kemih Hasil Noc : kualitas. mengidentifikasikan bahwa pasien sedang
- Mampu mengontrol nyeri 2. Observasi reaksi non verbal dari dalam keadaan nyeri dan tidak nyaman
(mengetahui penyebab nyeri, ketidaknyamanan. seperti pasien meringis pada saat miksi.
mampu menggunakan teknik 3. Gunakan teknik terapeutik untuk 3. Komunikasi terapeutik merupakan
non farmakologi untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien komunikasi yang efektif untuk
mengurangi nyeri, mencari 4. Kurangi faktor presitivasi nyeri. berkomunikasi dengan pasien sehingga
bantuan) 5. Kolaborasi dengan dokter jika ada dapat mengetahui tingkat nyeri.
- Melaporkan bahwa nyeri keluhan dan tindakan nyeri tidak 4. Apabila faktor presitivasi nyeri di
berkurang dengan berhasil. kurangi maka nyeri juga akan berkurang.
menggunakan manajemen 5. Kolaborasi dengan dokter dalam
nyeri. pemberian obat pengurang nyeri atau
penghilang nyeri.

24
2. Gangguan Pasien dapat miksi secara 1. Sediakan waktu yang cukup untuk 1. Waktu yang cukup untuk kandung kemih
eliminasi urine bebas dan tidak sakit. mengosongkan kandung kemih (10 memungkinkan akan lebih mudah dalam
b.d sumbatan Hasil Noc menit ). pengeluaran urine.
saluran - Untuk mengkosongkan 2. Mengobservasi pengeluaran air 2. Observaasi air kencing dapat mengetahui
pengeluaran kandung kemih secara penuh kencing. kelainan yang terjadi dan mengetahui
kandung kemih- Tidak ada residu urine tidak 3. Memantau tingkat distensi apakan masih ada penyumbatan dalam
lebih dari 100-200cc. kandung kemih dengan palpasi. saluran kencing.
- Tidak ada spasme blader 3. Tingkat distensi memungkinkan adanya
penyumbatan dalam kandung kemih.
3. Retensi Urin Pasien dapat miksi secara 1. Monitor intake dan output 1. Intake dan output dapat mengetahui
berhubungan bebas dan tidak sakit. 2. Monitor derajat distensi bladder penyumbatan dan kelainan dalam
dengan adanya Hasil Noc : 3. Stimulasi reflex bladder dengan saluran kemih.
obstruksi - Untuk mengkosongkan kompres dingin pada abdomen. 2. Apabila masih ada distensi bladder maka
saluran kemih. kandung kemih secara penuh 4. Monitor tanda gejala ISK (panas, pengeluaran air kencih akan terganggu
- Tidak ada residu urine tidak hematuria, perubahan bau dan dan sedikit.
lebih dari 100-200cc. konsistensi urine) 3. Stimulasi reflex bladder memungkinkan
- Tidak ada spasme blader pasien terangsang utuk miksi

25
d. Dengan monitor tanda gejala ISK di
harapkan pasien terhindari dari penyakit
ISK.
4 Ansietas Pasien dapat mengendalikan 1. Penurunan ansietas dengan 1. Dengan cara memberikan informasi
berhubungan diri terhadap ansietas. Hasil meminimalkan kekhawatiran, mengenai tindakan pembedahan yang
dengan Noc : ketakutan, prasangka atau perasaan dilakukan.
dilakukan - Pasien tidak menjadi tidak tenang yang berhubungan dengan 2. Dengan memberikan informasi yang
pembedahan cemas. sumber bahaya yang diantisipasi dan jelas mengai tindakan pembedaha dan
dengan cara - Pasien akan meneruskan tidak jelas. melakukan diskusi.
TUP-P. aktivitas yang 2. Peningkatan koping dengan
dibutuhkan meskipun memantu pasien untuk beradaptasi
mengalami kecemasan. dengan persepsi stressor, perubahan,
- atau ancaman yang menghambat
pemenuhan tuntunan dan peran hidup

26
2.3 KONSEP TEORI PELVIC FLOOR MUSCLE EXERCISES
1. Pengertian Latihan Otot Lantai Pelvis
Otot lantai pelvis (pelvic floor) adalah kelompok otot pada pria dan
wanita yang menopang tulang punggung, membantu mengontrol kandung
kemih, dan membantu fungsi seksual. Dengan menemukan otot lantai
pelvis, melakukan senam Kegel (latihan otot lantai pelvis yang populer),
dan mempraktikkan latihan lantai pelvis lain, Anda bisa meningkatkan
kekuatan otot-otot ini. Seiring waktu, Anda bisa memperoleh manfaat dari
otot lantai pelvis yang kuat, termasuk berkurangnya inkontinensia,
berkurangnya nyeri punggung, meningkatkan kontrol otot inti, dan
kehidupan seks yang lebih baik.
Pelvic floor adalah kelompok otot dan ligamen yang mendukung rahim
(rahim), kandung kemih dan usus. Bukaan dari organ-organ ini, uretra dari
kandung kemih, vagina dari rahim dan anus dari usus melewati floor
panggul. Otot panggul floor melampirkan tulang kemaluan Anda di depan
dan tulang ekor pada bagian belakang dari dasar panggul.
2. Apa yang menyebabkan kelemahan otot panggul floor?
Beberapa penyebab umum kelemahan otot panggul floor:
 melahirkan-terutama setelah pengiriman besar bayi atau mendorong
berkepanjangan selama pengiriman Being kelebihan berat badan
sembelit (berlebihan melelahkan untuk buang) gigih angkat berat
 batuk berlebihan-menyebabkan berulang-ulang tegang
 perubahan dalam tingkat hormon menopause
 bertambah tua
3. Bagaimana saya memperkuat otot-otot panggul floor saya?
Disarankan untuk melakukan pelvic floor otot untuk mencegah
kelemahan atau meningkatkan kekuatan. Berolahraga lemah otot secara
teratur, selama periode waktu dapat menguatkan mereka dan membuat
mereka bekerja secara efektif lagi. Olahraga teratur lembut, seperti
berjalan juga dapat membantu untuk memperkuat otot-otot panggul floor.

27
a. Latihan 1 (tahan lama untuk kekuatan)
langkah 1
duduk, berdiri tinggi, berbaring telentang dengan lutut ditekuk dan
kaki nyaman terpisah.
Langkah 2
tutup mata Anda, Bayangkan otot akan mengencangkan untuk
menghentikan diri atau untuk 'menahan’ urin lewat. Jika Anda tidak
merasa berbeda pengetatan otot-otot, meminta bantuan dari
Fisioterapi kesehatan perempuan. Dia akan membantu Anda untuk
memulai.
Langkah 3
Sekarang bahwa Anda dapat merasakan otot panggul floor bekerja,
mengencangkan mereka di sekitar vagina, Bagian depan dan bagian
belakang sangat mungkin dan tahan selama tiga sampai lima detik.
Dengan melakukan ini, Anda harus merasakan otot panggul floor
'mengangkat' di dalam diri Anda dan merasa definite 'biarkan pergi'
seperti otot-otot rileks. Jika Anda dapat menahan lagi (tapi tidak lebih
daripada maksimal delapan detik), kemudian melakukannya. Ingat,
pemerasan harus tetap kuat dan Anda harus merasa definite 'biarkan
pergi'. Ulangi hingga sepuluh kali atau sampai Anda merasakan otot
panggul floor kelelahan. Istirahat selama beberapa detik di antara
setiap meremas.
Langkah satu sampai tiga dihitung sebagai satu latihan terletak. Jika
Anda bisa, melakukan tiga set per hari pada posisi yang berbeda.
Apakah Anda latihan dasar panggul setiap hari selama sisa hidup
Anda.

28
b. Latihan 2 (cepat meremas kekuasaan)
mengangkat otot panggul floor sebagai kuat dan secepat mungkin.
Jangan mencoba untuk berpegang pada kontraksi, hanya menekan dan
melepaskan. Istirahat selama beberapa detik di antara setiap meremas.
Ulangi ini 10 sampai 20 kali lipat atau sampai Anda merasakan otot
panggul floor kelelahan. Jika Anda bisa, melakukan latihan ini satu
hingga tiga kali per hari. Selama latihan kedua Anda harus:
 merasa otot-otot dasar panggul Anda 'mengangkat' di dalam diri
Anda, bukannya merasa gerakan kebawah
 bersantai paha dan bokong
 menjaga bernapas biasanya
 berhenti berolahraga jika otot-otot Anda kelelahan.

29
2.4 ANALISA JURNAL
Judul : The Effect Of Pelvic Floor Muscle Training On Incontinensia Problems After Radical Prostatectomy
Penulis/ Intrumen yang
Variabel
Tahun/ Tujuan Sampel Desain penelitian dipakai/detai Hasil Penelitian
yang diteliti
Negara eksperimen
Aylin Aydin Untuk mengetahui Kriteria Penelitian ini Variabel Sebelum Untuk hasil uji hipotesis I didapat
Sayilan and pengaruh sampel menggunakan bebas dalam diberikan memiliki nilai probabilitas (nilai
Ayfer penambahan inklusi pada desain pre test and penelitian ini perlakuan, p) hitung adalah 0,026. Dan hasil
Ozbas/ pemberian penelitian ini post test, dimana adalah pelvic kedua uji hipotesis II didapat memiliki
2018/ stimulasi faradik adalah, kelompok floor exercise kelompok nilai probabilitas (nilai p) hitung
American pada pelvic floor pasien stres perlakuan I dan stimulasi sampel di ukur adalah 0,034. Hal ini berarti nilai
excercise dalam inkontinensia diberikan latihan faradik frekuensi probabilitas kurang dari 0,05
menurunkan urin post pelvic floor sedangkan inkontinensia (p<0,05). Dari hasil uji tersebut
frekuensi TURP atau excercise yang Variabel urin dengan berarti tiap perlakuan pada
inkontinensia urin BPH tanpa berjumlah 3 orang, terikat dalam kuesioner responden yaitu pada kelompok
pada pasien stres penggunaan dan kelompok penelitian ini RUIS terlebih pelvic floor excercise maupun
inkontinensia urin duloxetine, perlakuan II adalah dahulu untuk kelompok pelvic floor excercise,
di RS PKU dan bersedia diberikan frekuensi mengetahui dan faradik terdapat pengaruh
menjadi penambahan tingkat dalam penurunan frekuensi

30
Muhammadiyah sampel stimulasi faradic inkontinensia frekuensi inkontinensia urin dari sebelum
Yogyakarta. penelitian pada pelvic floor urin. inkontinensia dan sesudah perlakuan.
selama 4 excercise yang urin.
minggu, berjumlah 3 Kemudian
Kemudian orang ,dilakukan setelah
kriteria perlakuan selama menjalani
ekslusinya empat minggu perlakuan
adalah pasien dengan frekuensi selama 4
dengan post tiga kali satu minggu, kedua
partus, minggu, uji kelompok
kegemukan, hipotesis 1 dan 2 perlakuan di
keganasan menggunakan ukur kembali
paired sample t test. tingkat
frekuensi
inkontinensia
urin dengan
kuesioner
RUIS

31
Judul: Early Recovery Of Urinary Continence After Radiasi Prostatectomy Using Early Pelvic Floor Electrical Stimulation And Biofeedback
Associated Treatment
Penulis/ Intrumen yang
Variabel
Tahun/ Tujuan Sampel Desain penelitian dipakai/detai Hasil Penelitian
yang diteliti
Negara eksperimen
Gianna Kami Sebanyak 60 Kelompok 1 vs Inkontenesial Kuesioner Berat kebocoran rata-rata
Mariotti, menganalisis pasien yang kelompok control urine dan internasional menjadi lebih rendah secara
Alessandro manfaat berturut turut kelompok 2. Digrup pelvic floor continence signifikan (P0,05) dalam
Sciarra, penggunaan pasien yang 1 a program kelompok
Alessandro kombinasi mmenjalani stimulasi listrik
Gentilucci, panggul radikal panggul ditambah
Stefano fusngsional secara prostatektomi biofeedback
Salciccia, dini rangsangan dimasukan dimulai 7 hari
Andrea listrik lantai dan dalm setelahnya
Alfarone, biofeedback penelitian penghapusan
Giovanni Di dalam hal waktu kateter 2 kali
Pierro and dalam pemulihan seminggu selama 6
Vincenzo dan kontensial mingu.Masing-
Gentile/ setelah

32
2009/ prostaktomi masih dalam dua
University radikal sesi perawatan
Sapienza Of
Roma, Italy
Judul: Pengaruh Penambahan Stimulasi Faradik Pada Pelvic Floor Exercise Terhadap Penurunan Frekuensi Inkontinensia Urin Pada Stress
Inkontinensia Urin Di RS PKU Muhammadiah Yogyakarta
Penulisan daftar pustaka :
Penulis/ Intrumen yang
Variabel
Tahun/ Tujuan Sampel Desain penelitian dipakai/detai Hasil Penelitian
yang diteliti
Negara eksperimen
Galih Adhi Penelitian ini Kriteria Penelitian ini Variabel Sebelum Untuk hasil uji hipotesis I didapat
Isak ditujukan untuk sampel menggunakan bebas dalam diberikan memiliki nilai probabilitas (nilai
Setiawan/ Untuk mengetahui inklusi pada desain pre test and penelitian ini perlakuan, p) hitung adalah 0,026. Dan hasil
2015/ pengaruh penelitian ini post test, dimana adalah pelvic kedua uji hipotesis II didapat memiliki
Indonesia penambahan adalah, kelompok floor exercise kelompok nilai probabilitas (nilai p) hitung
pemberian pasien stres perlakuan I dan stimulasi sampel di ukur adalah 0,034. Hal ini berarti nilai
stimulasi faradik inkontinensia diberikan latihan faradik frekuensi probabilitas kurang dari 0,05
pada pelvic floor urin post pelvic floor sedangkan inkontinensia (p<0,05). Dari hasil uji tersebut
excercise dalam TURP atau excercise yang Variabel urin dengan berarti tiap perlakuan pada

33
menurunkan BPH tanpa berjumlah 3 orang, terikat dalam kuesioner responden yaitu pada kelompok
frekuensi penggunaan dan kelompok penelitian ini RUIS terlebih pelvic floor excercise maupun
inkontinensia urin duloxetine, perlakuan II adalah dahulu untuk kelompok pelvic floor excercise,
pada pasien stres dan bersedia diberikan frekuensi mengetahui dan faradik terdapat pengaruh
inkontinensia urin menjadi penambahan inkontinensia tingkat dalam penurunan frekuensi
di RS PKU sampel stimulasi faradic urin. frekuensi inkontinensia urin dari sebelum
Muhammadiyah penelitian pada pelvic floor inkontinensia dan sesudah perlakuan.
Yogyakarta. selama 4 excercise yang urin.
minggu, berjumlah 3 Kemudian
Kemudian orang ,dilakukan setelah
kriteria perlakuan selama menjalani
ekslusinya empat minggu perlakuan
adalah pasien dengan frekuensi selama 4
dengan post tiga kali satu minggu, kedua
partus, minggu, uji kelompok
kegemukan, hipotesis 1,dan 2 perlakuan di
keganasan menggunakan ukur kembali
paired sample t test. tingkat
frekuensi

34
inkontinensia
urin dengan
kuesioner
RUIS
Judul: Effects of Combined Pelvic Floor Muscle Exercise and a Support Group on Urinary Incontinence and Quality of Life of
Postprostatectomy Patients
Penulis/ Intrumen yang
Variabel
Tahun/ Tujuan Sampel Desain penelitian dipakai/detai Hasil Penelitian
yang diteliti
Negara eksperimen
Laura A. Untuk menguji Populasi Penelitian ini Combined Instrumen yang Delapan puluh enam persen dari
Siminoff/ efek Pelvic Floor dalam merupakan Pelvic Floor digunakan peserta kelompok pendukung
2007/ Muscle Exercise penelitian ini penelitian Muscle berupa versus 46% dari peserta
Amerika dan kelompok adalah 2 deskriptif Exercise and kuesioner. kelompok kontrol berlatih Pelvic
Serikat pendukung pada rumah sakit korelasional a Support Sebuah Floor Muscle Exercise empat
postprostatectomy metropolitan dengan rancangan . Group on kuesioner semi hingga tujuh hari per minggu.
inkontinensia urin di Ohio timur Urinary terstruktur di Kelompok pendukung memiliki
dan kualitas laut. Incontinence gunakan untuk peringkat yang lebih rendah dari
hidup. Jumlah total and Quality of mengumpulka inkontinensia urin berdasarkan
29 pria Life n informasi skala rating analog visual 0- 10

35
dengan tentang point dari kontrol Grup. X = 3.2
inkontinensia demografi dan versus 4.7), dan lebih sedikit
urin praktik pelvic peserta grup pendukung yang
postprostatect floor muscle digunakan bantalan (50%) dari
omy. exercise peserta kelompok kontrol (85%)
Pengambilan (PFME), pada tiga bulan. Itu kelompok
sampel termasuk pendukung juga mendapat skor
dilakukan frekuensi, yang jauh lebih rendah pada
dengan cara durasi, dan tingkat keparahan inkontinensia
random efek yang masalah dari kelompok kontrol
sampling dan dilaporkan pada tiga bulan, terutama di
diperoleh 29 sendiri. hubungan dengan pasangan dan
responden. sosial outing, meskipun tidak ada
perbedaan kelompok di daerah-
daerah ini pada awal.

36
Judul : Metode Pelvic Floor Muscle Training Dalam Menurunkan Inkontinensia Urin Pada Lansia Di Desa Darungan Kecamatan Pare
Kabupaten Kediri
Penulis/ Intrumen yang
Variabel
Tahun/ Tujuan Sampel Desain penelitian dipakai/detai Hasil Penelitian
yang diteliti
Negara eksperimen
Didit Untuk Populasi Penelitian ini pelvic floor Instrumen Hasil penelitian di dapatkan P-
Damayanti, menurunkan dalam menggunakan muscle yang value 0,000 < α 0,05 yang
Linda inkontensia urin penelitian ini desain Quasy training dan digunakan berarti ada pengaruh metode
Ishariani/ pada lansia di adalah Lansia eksperiment Inkontinensia adalah pelvic floor muscle training
2018/ Desa Darungan di Desa dengan urin pada pemberian dalam menurunkan
Indonesia Kecamatan Pare Darungan memberikan Lansia intervensi inkontinensia urin pada lansia di
Kabupaten Kecamatan intervensi metode pelvic floor desa Darungan kecamatan Pare
Kediri. Pare pelvic floor muscle muscle kabupaten Kediri. Dengan
Kabupaten training pada lansia training. Uji latihan otot dasar panggul dapat
Kediri. dengan masalah statistic yang memeperkuat otot-otot dasar
Responden inkontinensia urin digunakan panggul terutama otot-otot
berjumlah 30 dan dianalisis adalah Uji pubocuccygeal dengan cara
orang lansia. dengan uji Wilcoxon. melatih cara berkontraksi dan
Wilcoxon.

37
merelaksasikan otot-otot dasar
panggul.
Judul: Effect of pelvic-floor re-education on duration and degree of incontinence after radical prostatectomy: a randomised controlled trial
Penulis/ Intrumen yang
Variabel
Tahun/ Tujuan Sampel Desain penelitian dipakai/detai Hasil Penelitian
yang diteliti
Negara eksperimen
M Van Untuk Sampel Penelitian ini pelvic floor Instrumen Dalam perbaikan kelompok
menggunakan yang
Kampen, W menyelidiki dalam re-education perlakuan dalam kedua durasi
desain Quasy digunakan
De Weerdt, apakah ada efek penelitian ini eksperiment dan adalah (uji log-rank, p = 0, 0001) dan
dengan pemberian
H Van menguntungkan yaitu pasien Inkontinensia tingkat inkontinensia (uji Wald,
memberikan intervensi
Poppel, D dari latihan untuk yang intervensi metode urin pelvic floor p = 0 · 0010) secara signifikan
pelvic floor muscle muscle
De Ridder, pasien dengan mengalami lebih baik daripada di kelompok
training pada lansia training. Uji
H Feys, L inkontinensia urin inkontinensia dengan masalah statistic yang kontrol. Interpretasi pelvic floor
inkontinensia urin digunakan
Baert/ 2000/ sebagai akibat urin setelah muscle exercisesharus
dan dianalisis adalah Uji
Belgium dari prostatektomi prostatektomi dengan uji Wilcoxon. dipertimbangkan sebagai pilihan
Wilcoxon.
radikal. radikal lini pertama dalam
sebanyak 102 menyembuhkan inkontinensia
pasien yang setelah prostatektomi radikal
dibagi

38
menjadi dua
kelompok
yaitu
kelompok
perlakuan (n
= 50) dan
kelompok
kontrol (n =
52).

39
BAB III
PEMBAHASAN

Evidence Based Nursing Practice atau EBNP adalah penggunaan bukti-


bukti yang diperoleh dari hasil penelitian kedalam praktek. Bukti-bukti yang
diperoleh dari hasil penelitian tersebut digabungkan dengan penilaian klinis
dan pilihan pasien sebelum digunakan dalam praktek keperawatan.
1. Step Zero (Cultivate a spirit of inquiry)
Dalam melakukan tindakan EBP ini didasari oleh latar belakang
permasalahan yang banyak ditemukan di Ruang Bedah Darussalam 3 RS
Al Islam serta didasari dengan semangat untuk melakukan tindakan
keperawatan terbaru yang dapat dilakukan pada pasien dengan penyakit
BPH yang mengalami inkontinensia urin.
2. Step One (Ask clinical questions in “PICOT” format)
P : Populasi dalam tindakan ini adalah pasien yang menderita penyakit
BPH. Sampel dalam tindakan EBP ini menggunakan accidental
sampling yakni pengambilan sampel berdasarkan adanya orang yang
dapat dijadikan sampel.
I : Intervensi yang dilakukan dalam EBP ini adalah latihan Pelvic
Floor Muscle
C : Tindakan ini membandingkan pre dan post pelaksanaan Pelvic
Floor Muscle exercises
O : Tindakan ini dilakukan untuk mengetahui hasil dari Inkontinensia
urin pada pasien BPH
T : Waktu dalam tindakan ini dilakukan selama 2 bulan
Pertanyaan : Apakah setelah dilakukan Pelvic Floor Muscle Exercises
pada pasien yang menderita penyakit BPH dapat mempengaruhi
inkontinensia urin dalam waktu 2 bulan?
3. Step Two (Search for the best evidence)
EBP ini didukung dengan beberapa literatur berupa jurnal yang
diakses melalui database google scholar.

40
4. Step Three (Critically appraise the evidence)
Hasil kajian EBP ini telah valid karena banyak data diambil dari
penelitian yang sama. Tindakan yang dilakukan dalam EBP ini yaitu
Pelvic Floor Muscle Exercise dapat memperbaiki kemampuan berkemih
dengan resiko yang lebih kecil. Selain itu teknik ini juga dapat di
intervensikan oleh perawat dalam menyembuhkan masalah sistem
perkemihan terutama dalam inkontinensia urin pada klien post operasi
prostatectomy.
5. Step Four (Integrate the evidence with clinical expertise and patient
preferences and values)
EBP ini mulai dikerjakan pada tanggal 10 November 2018 sampai
18 November 2018 dengan melakukan tindakan Pelvic Floor Muscle
Exercise pada pasien yang menderita penyakit BPH dengan keluhan
inkontinensia urin.
EBP ini dilaksanakan pada hari Jumat 16 November 2018 di Ruang
Bedah Darussalam 3 dan terdapat pasien dengan penyakit BPH namun
tidak dapat dilakukan implementasi jadi penulis hanya memberikan
edukasi dan memperagakan tindakan Pelvic Floor Muscle Exercise tanpa
klien ikut memperagakannya.
Pada hari Sabtu, 17 November 2018 penulis melakukan tindakan
EBP namun tidak ada klien yang dirawat dengan penyakit BPH. Penulis
hanya memberikan edukasi dan melakukan tindakan Pelvic Floor Muscle
Exercise kepada klien dengan penyakit sistem perkemihan yang lain yaitu
CKD.
Pada hari Minggu, 18 November 2018 tindakan EBP kembali
dilakukan, namun masih belum ada pasien yang dirawat dengan penyakit
BPH dan penulis hanya memberikan edukasi dan memperagakan
memberikan edukasi dan melakukan tindakan Pelvic Floor Muscle
Exercise kepada klien lansia yang menderita inkontinensia urin.

41
6. Step Five (Evaluate the outcomes of the practice decisions or changes
based on evidence)
EBP ini telah dikonsultasikan kepada pakar atau expert yaitu
kepada pembimbing akademik dan pembimbing lapangan.
7. Step Six (Disseminate EBP results)
Hasil dari EBP ini belum bisa dipastikan karena tindakan yang
dilakukan penulis kepada sampel belum sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan akibat keterbatasan sampel dan waktu yang terbatas. Penulis
hanya bisa menentukan hasil berdasarkan literatur jurnal yang telah
ditemukan bahwa tindakan Pelvic Floor Muscle Exercise dapat mengatasi
inkontinensia urin pada pasien dengan penyakit sistem perkemihan dan
lansia yang dilakukan selama 1-6 bulan.
Otot dasar panggul terdiri dari tiga lembaran otot yang masing-
masing menempel pada Bladder (Kandung kemih), vagina dan rectum
(Bent, Alfred E., 2008). Bagian akhir dari urethra disokong secara adekuat
oleh endopelvic fascia dan kontraksi musculus levator ani bekerja
mengatur suplai saraf secara normal. Senam otot dasar panggul ini
mampu menguatkan muskulus levator ani, menjaga lapisan endopelvic
dan keutuhan saraf yang dapat meningkatkan kesadaran dari otot dasar
panggul untuk menyesuaikan transmisi dari tekanan abdominal, serta
meningkatkan kemampuan otot tersebut dalam menyokong
bladder,vagina,dan rectum yang kemudian dapat meningkatkan
kemampuan tahanan pada sphincter urethra sehingga mampu
meningkatkan periode kontinen terhadap urin.
Selain itu tujuan terapetik lainnya dari latihan pelvic floor adalah
untuk mengajarkan “perineal lock”atau bagaimana caranya mengunci
perineum. Kemampuan dari perineum untuk mengunci spincternya,dan
kemampuan otot levator ani untuk berkontraksi terus mengalami
penurunan seiring dengan bertambahnya usia dan proses degeneratif.
Oleh karena itu latihan pelvic floor tersebut dilakukan dengan tujuan
untuk meningkatkan kekuatan, ketegangan serta mencegah terjadinya
atropi (Cammu, H et al.,2000).

42
Latihan otot dasar panggul (Pelvic Floor) ditemukan sebagai salah
satu manajemen non pembedahan yang terbukti efektif untuk mengatasi
jenis inkontinensia stress dan Inkontinensia urin (Yoon, Hae S et
al.,2002). Karena inkontinensia Stress itu sendiri bisa terjadi akibat
adanya kelemahan otot pelvis dan kelemahan sphincter sehingga tidak
mampu untuk menahan reflek berkemih ketika terjadi peningkatan
tekanan intra abdomen. Sedangkan pada inkontinensia urin terjadi akibat
adanya ketidak mampuan untuk menahan keluarnya urin ketika
rangsangan untuk berkemih tersebut datang secara tiba-tiba.

43
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hiperplasia prostat jinak (benigna prostatat hiperplasia) adalah
pembesaran kelenjar periurethral yang mendesak jaringan prostat keperifer
dan menjadi simpai bedah (pseudokapsul). BPH merupakan kelainan kedua
tersering yang dijumpai pada lebih dari 50% pria berusia diatas 60 tahun.
Hasil literatur jurnal yang didapatkan terkait EBP yang dilakukan
ditemukan bahwa tindakan Pelvic Floor Muscle Exercise dapat mengatasi
inkontinensia urin pada pasien dengan penyakit sistem perkemihan dan lansia
yang dilakukan selama 1-6 bulan. Otot dasar panggul terdiri dari tiga
lembaran otot yang masing-masing menempel pada Bladder (Kandung
kemih), vagina dan rectum (Bent, Alfred E., 2008). Bagian akhir dari urethra
disokong secara adekuat oleh endopelvic fascia dan kontraksi musculus
levator ani bekerja mengatur suplai saraf secara normal. Senam otot dasar
panggul ini mampu menguatkan muskulus levator ani, menjaga lapisan
endopelvic dan keutuhan saraf yang dapat meningkatkan kesadaran dari otot
dasar panggul untuk menyesuaikan transmisi dari tekanan abdominal, serta
meningkatkan kemampuan otot tersebut dalam menyokong
bladder,vagina,dan rectum yang kemudian dapat meningkatkan kemampuan
tahanan pada sphincter urethra sehingga mampu meningkatkan periode
kontinen terhadap urin.

4.2 Saran
Tindakan pelvic floor muscle exercises sebaiknya dilakukan sesuai
dengan waktu yang terdapat dalam jurnal agar efektifitasnya sesuai dengan
hasil yang diharapkan.

44
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif Dan Kumala Sari. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan System
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Long, B C. (1996). Keperawatan Medical Bedah: Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Hardjowidjoto. S. (1999). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press.
Surabaya.
Nuratif dkk (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis
Dan Nanda Nic_Noc Jilid 1. Jogjakarta: Mediaction
Purnomo, Basuki B. (2000). Dasar – Dasar Urologi. Malang: CV Infomedika.
Tambayong. (2000). Patofisiologi Keperawatan. Jakatra.EGC

45

Anda mungkin juga menyukai