Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ABORTUS

Disususn untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Maternitas yang di ampu oleh:

Marwiati.S.Kep.,Ns.,M.Kep

Ns.Anindita Paramastuti Azuma., S.Kep.,MMR.

Disusun oleh:

1. Alifia Yogi Rismala (2020200035)


2. Fikri Fatkhirrohman (2020200055)
3. Fityani Marma Hayati (2020200012)
4. Rizkina Slma Khoirunnisa (2020200034)

PRODI DIII KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS SAINS AL-QURAN JAWA TENGAH DI WONOSOBO

2022
BAB 1 ANATOMI FISIOLOGI

1. Anatomi dan Fisiologi Uterus


Uterus adalah organ genitalia femina interna yang memiliki panjang 8
cm, lebar 5 cm dan tebal 2-3 cm. Bagian-bagian uterus antara lain Corpus
uteri, Fundus uteri, Cervix uteri, serta Isthmus uteri yang menjadi penanda
transisi antara corpus dan cervix. Bagian memanjang di kedua sisi yang
merupakan penghubung antara corpus uteri dan ovarium disebut Tuba
uterina. Terdapat dua ruang dalam uterus, yaitu Cavitas uteri di dalam
Corpus uteri dan Canalis cervicis di dalam Cervix uteri. Dinding uterus
terdiri dari 3 lapisan. Dimulai dari yang terdalam yaitu Tunica mukosa atau
endometrium, kemudian lapisan otot yang kuat disebut Tunica muscularis
atau miometrium, dan lapisan terluar adalah Tunica serosa atau perimetrium
(Paulsen dan Waschke, 2013)
Posisi uterus normal memiliki sudut di bagian ventral terhadap vagina
dan Corpus uteri melekuk ke anterior Portio vaginalis cervicis atau disebut
posisi antefleksi. Hal ini mencegah adanya prolaps Uterus melalui Vagina
selama peningkatan tekanan intraabdominal saat batuk dan bersin (Paulsen
dan Waschke, 2013).
Otot polos uterus terdiri dari 2 sel penting, yaitu sel-sel otot polos dan
sel intersisial yang disebut telocyte. Sel-sel ini dapat ditemukan di organ lain
seperti jantung, trakea, placenta, pembuluh darah, dan lain-lain (Cretoiu, et
al.,2013).
Perkembangan uterus dipengaruhi oleh hormon maternal dan
plasental. Pada saat lahir, besarnya Corpus uteri lebih kecil atau sama
dengan besar Cervix uteri. Saat dewasa, ukuran corpus uteri dua atau tiga
kali lebih besar dari cervix. Uterus divaskularisasi oleh 2 arteri uterina,
cabang dari arteri illiaca interna yang masuk mulai dari kedua sisi lateral
bawah uterus. Target steroid seks ovarium adalah endometrium.
Seiring dengan pertumbuhan folikel, terjadi perubahan histologik pada
endometrium. Ada 2 lapisan pada endometrium, yaitu lapisan basalis atau
nonfungsional dan lapisan fungsional. Lapisan basalis menempel pada
miometrium dan tidak banyak berubah selama siklus menstruasi. Disebut
nonfungsional karena tidak memberikan respon terhadap stimulus steroid
seks. Lapisan di atasnya adalah lapisan fungsional yang memberikan respon
terhadap stimulus sterois seks dan nantinya akan terlepas pada saat
menstruasi.

Pada hari ke-7 pascaovulasi terjadi peningkatan kadar estrogen


dan progesteron yang memicu sintesis prostaglandin sehingga permeabilitas
pembuluh darah kapiler meningkat dan terjadi edema stroma. Dengan
meningkatnya kadar estrogen, progesteron, dan prostaglandin, menyebabkan
7 proliferasi pembuluh darah spiralis yang berlangsung sampai hari 22. Sel
desidua mulai terbentuk pada hari 22-23 siklus (Noerpramana, 2011;
Samsulhadi, 2011).
Jika terjadi fertilisasi, uterus mengalami perubahan yang nantinya
mempengaruhi fisiologi hampir seluruh sistem dalam tubuh seperti
pernapasan, kardiovaskular, dan pencernaan. Volume uterus bisa membesar
hingga 1000 kali, dan beratnya lebih dari 20 kali pada masa kehamilan.
Pertumbuhan ukuran volume dan berat ini merupakan hasil dari hiperplasia
dan hipertropi (Maruyama, et al., 2012).

Regulasi aktivitas uterus selama masa kehamilan terbagi menjadi 4


fase :
a. Fase 0, yaitu masa dimana terjadi aktivitas inhibitor yang
menyebabkan uterus tidak berkontraksi. Inhibitor yang bekerja di
antaranya progesteron, prostacyclin, relaxin, parathyroid hormonerelated
peptide Nitric Oxide, kalsitonin, adrenomedullin, dan peptida intestinal
vasoaktif.
b. Fase 1 atau masa aktivasi myometrium dimana uterus mulai aktif
berkontraksi karena pengaruh dari uterotropin seperti estrogen.
Fase ini ditandai dengan menigkatnya ekspresi dari serangkaian
reseptor kontraksi seperti reseptor oksitosin dan prostaglandin,
aktivasi beberapa ion tertentu, dan peningkatan gap junction.
Adanya peningkatan gap junction adalah untuk pembentukan
kontraksi yang terkoordinasi.
c. Fase 2 atau fase stimulatorik, yaitu kelanjutan dari fase 1.
Kontraksi secara ritmis terjadi hingga menjelang partus. Hal ini
diperantarai oleh agonis uterotonik seperti prostaglandin dan
oksitosin.
d. Fase 3 atau fase involusi. Pada fase ini terjadi involusi uterus
setelah terjadi partus. Mekanisme ini paling dipengaruhi oleh
oksitosin(Safdar,etal.,2013).

2. Mekanisme Kontraksi

Kontraksi uterus memiliki fungsi penting dalam sistem reproduksi


wanita meliputi transport sperma dan embrio, menstruasi, kehamilan, dan
kelahiran. Kontraksi abnormal dan irreguler dapat menyebabkan masalah
infertilitas, kesalahan implantasi, dan kelahiran prematur. Sebaliknya, jika
kontraksi uterus tidak adekuat dan terkoordinasi, bayi akan sulit dilahirkan.
Lapisan yang paling berperan dalam kontraksi uterus adalah miometrium.
Pada dasarnya, uterus berkontraksi secara spontan dan reguler walaupun
tidak ada rangsangan hormonal. Selama masa kehamilan awal, uterus
cenderung dalam keadaan relaksasi. Kontraksi kuat akan muncul pada masa
menjelang partus di bawah pengaruh hormon oksitosin dan prostaglandin
(Rahbek, et al., 2014).
Sebagai sel eksitabel, proses kontraksi miometrium pada wanita yang
hamil dan tidak hamil melalui mekanisme yang sama, yaitu difasilitasi oleh
influks kalsium. Aktivitas listrik pada sel-sel miosit uterus terjadi karena
siklus depolarisasi dan repolarisasi yang terjadi pada membran plasma
uterus dan ini disebut dengan potensial aksi. Potensial aksi diperantarai oleh
9 beberapa jenis jalur, seperti VGCC (Voltage Gated Calcium Channel),
SOCE (store-operated calcium entry), ROCE (receptor- operated calcium
entry), dan atau melalui penyimpanan kalsium di ruang intrasel. Kontraksi
uterus dapat terjadi karena adanya aktivitas spontan pada otot polos uterus
yang disebabkan oleh potensial aksi tersebut dan sangat bergantung pada
peningkatan ion kalsium intraseluler, elemen kontraksi, serta sistem
konduksi antara sel-sel uterus (Chin-Smith, et al., 2014).

Rangsangan otot polos uterus sangat ditentukan oleh pergerakan ion


natrium (Na+), kalsium (Ca2+) dan klorida (Cl-) ke dalam sitoplasma dan
gerakan ion kalium (K+) ke dalam ruang ekstraseluler. Sebelumnya, ketiga
ion ini terkonsentrasi di luar miometrium. Membran plasma biasanya lebih
permeabel terhadap K+ yang nantinya mengubah gradien elektrokimia
hingga terjadi potensial aksi pada miosit. Selanjutnya, depolarisasi membran
plasma membuka VGCC (Voltage Gated Calcium Channel) atau L-type Ca²⁺
Channel yang mengakibatkan masuknya Ca²⁺ ke dalam sel. Ion
Kalsium kemudian membentuk ikatan kompleks dengan protein kalmodulin
dan mengaktifkan Myosin Light Chain Kinase (MLCK).

MLCK harus memfosforilasi rantai ringan 20-kDa dari myosin,


memungkinkan interaksi molekul myosin dengan aktin. Energi yang
dilepaskan dari ATP olehmyosin ATPase menghasilkan siklus cross-bridge
antara aktin dan myosin untuk menghasilkan kontraksi (Otaibi, 2014; Cretoiu,
et al., 2014).
Oksitosin dan stimulan rahim lainnya (seperti prostaglandin)
meningkatkan kontraksi dengan mengikat reseptor spesifik mereka pada
membran sel dan menyebabkan monomer kecil G-protein berikatan dengan
Guanosin-5-Trifosfat (GTP) dan mengaktifkan Phospholipase C (PLC). Hal
ini kemudian akan membelah phosphatidylinositol bifosfat (PIP2) di
membran sel dan menghasilkan inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol
(DAG) second messenger. IP3 kemudian mengikat reseptor spesifik pada
permukaan Retikulum Sarkoplasma dan dengan demikian meningkatkan ion
kalsium intrasel. DAG mengaktifkan protein kinase C (PKC) yang juga
akan meningkatkan kontraksi (Otaibi, 2014).
BAB II KONSEP DASAR

A. DEFINISI
Abortus (keguguran) merupakan pengeluaran hasil konsepei sebelum janin
dapat hidup diluar kandungan yang menurut para ahli sebelum usia 16 minggu
dan 28 minggu dan memiliki BB 400-1000 gram, tetapi jika terdapat fetus
hidup dibawah 400 gram itu diamggap keajaiban karena semakin tinggi BB
anak waktu lahir makin besar kemungkinan untuk dapat hidup terus (Sofian
dalam Nurarif dan Kusuma, 2015)
Definisi abortus menurut WHO adalah penghentian kehamilan sebelum
janin berusia 20 minggu karena secara medis janin tidak bisa bertahan di luar
kandungan. Sebaliknya bila penghentian kehamilan dilakukan saat janin sudah
berusia berusia di atas 20 minggu maka hal tersebut adalah infanticide atau
pembunuhan janin.

B. KLASIFIKASI
Menurut Mitayani, 2013 Berdasarkan kejaadiannya dapat dibagi atas dua
kelompok
1. Aborsi spontan
Terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor meknis ataupun medisnalis,
semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah.
Klasifikasi abortus spontan
a. Abortus iminens
Pada abortus ini terlihat perdarahan per vaginam. Pada 50% kasus,
perdarahan tersebut hanya sedikit berhenti setelah berlangsung
beberapa hari, dan kehamilan berlangsung secara normal. Meskipun
demikian, wanita yang mengalaminya mungkin tetap merasa khawatir
akan akibat perdarahan pada bayi. Biasanya kekhawatirannya akan
dapat diatasi dengan menjelaskan kalau janin mengalami gangguan,
maka kehamilannya tidak akan berlanjut: upaya perawatn untuk
meminta dokter membantu menenteramkan kekhawatiran pasien
merupakan tindakan yang bijaksana. Terapi yang dianjurkan pada
abortus iminens adalah tirah baring dan penggunaan sedatif selama
paling sedikit 48 jamdengan observasi cermat terhadap warna dan
jenis drah/jaringan yang keluar dari dalam vagina. Preparat enema dan
laksatif idak boleh diberikan. Pemeriksaan USG terhadap isi uterus
dikerjakan pada stadium ini. dan kemudian bisa diulangi lagi 2 minggu
kemudian. Pasangan suami-istri dianjurkan untuk tidak senggama
selama periode ini.
b. Abortus insipiens
Abortus ini ditandai oleh kehilangan darah sedang hingga
berat,kontraksi uterus yang menyebabkan nyeri kram pada abdomen
bagian bawah dan dilatasi serviks.
Jika abortus tidak terjadi dalam waktu 24 jam, uterus harus
dikosongkan dengan menggunakan forseps ovum, alat kuret dan
kanula pengisap; semua bahan yang dikirim untuk pemeriksaan
histologi. Antibiotik sering diberikan pada stadium ini
c. Abortus kompletus
Abortus ini terjadi kalau semua produk oembuahan seperti janin,
selaput ketuban dan plasenta sudah keluar. Perdarahan dan rasa nyeri
kemudian akan berhenti, serviks menutup dan uterus mengalami
involusi.
d. Abortus inkompletus
Abortus ini berkaitan dengan retensi sebagian produk pembuahan
(hampir selalu plasenta) yang tidak begitu mudah terlepas pada
kehamilan dini seperti halnya pada kehamilan aterm. Dalam keadaan
ini, perdarahan tidak segera berkurang sementara serviks tetap terbuka.

Terapi asuhan keperawatan dan observasi pada abortus ini


dilakukan sama seperti pada abortus insipiens. Namun demikian,
evakuasi uterus harus segers dilakukan setelah diagnosis ditegakkan
untuk mencegah perdarahan lebih lanjut.
Perhatian khusus diberikan pada higiene vulva. Pada sebagian
kasus, supresi laktasi mungkin diperlukan. Preparat gamaglobulin anti-
D diberikan pada wanita dengan Rh-negatif.

e. Missed abortion

Abortus ini terjadi kalau sesudah mengalami abortus iminens,


perdarahan per vaginam berhenti namun produk pembuahan
meninggal dan tetap berada dalam rahim. Tanda-tanda kehamilan
berkurang, yaitu: payudara menjadi lebih kecil dan lebih lunak,
pertumbuhan uterus terhenti, dan wanita tersebut tidak lagi ‘merasa’
hamil. Sesudah beberapa minggu, sekret kecoklatan dapat terlihat
keluar dari dalam vagina dan tanda-tanda eksternal kehamilan
menghilang. Hipofibrinogenemia dapat terjadi. Bekuan darah dari
perdarahan plasennta kadang-kadang memenuhi uterus untuk
membentuk mola karneosa.

Evakuasi spontan akhirnya terjadi pada sekitar usia kehamilan


18 minggu dan sebagian dokter beranggapan bahwa tindakan yang
lebih aman adalah menunggu evakuasi spontan. Namun demikian,
wanita meminta dokter untuk mengeluarkannya secepat mungkin
setelah menyadari bahwa bayinya sudah meninggal. Keadaan ini
memberikan situasi yang sangat sulit.

f. Abortus akibat inkompetensi serviks

Biasanya terjadi di sekitar usia kehamilan 20 minggu. Serviks


berdilatasi tanpa rasa nyeri dan kantong janin menonjol. Pada
kehamilan berikutnya, abortus dapat dicegah dengan membuat jahitan
seperti tali pada mulut kantong (purse-string suture) yang dilakukan
dengan pembiusan di sekeliling serviks pada titik temu antara rugae
vagina dan serviks yang licin (jahitan Shirodkar).
Jahitan tersebut dibiarkan sampai kehamilan berusia 38
minggu dan pada saat ini, jahitan dipotong sehingga persalinan
spontan diharapkan akan mulai terjadi. Angka keberhasilan jahitan
Shirodkar mencapai 80% pada kasus-kasus inkompetensi serviks
murni.

g. Abortus habitualis

Abortus ini digunakan kalau seorang wanita mengalami tiga


kali atau lebih abortus spontan yang terjadi berturut-turut. Penyebab
abortus habitualis lebih dari satu (multipel). Dan sering terdapat lebih
dari satu faktor yang terlibat

h. Abortus septik

Infeksi dapat mempersulit setiap jenis abortus karena resistensi


normal saluran genitalia pada hakikatnya tidak terdapat saat ini.
Abortus kriminalis (abortus ilegal yang dilakukan secara gelap) masih
menjadi penyebab infeksi yang paling serius karena tidak dilakukan
secara aseptik. Faktor lain yang terlibat adalah keberadaan produk
pembuahan, yaitu jaringan plasenta yang mati di dalam rahim. Infeksi
dapat menyerang endometrium dan menyebar ke bagian lain secara
langsung atau tidak langsung untuk menyebabkan peritonitis,
salpingitis, dan septikemia.

2. Abortus provokatus (induced abortion) terjadi karena sengaja dilakukam


dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat
Abortus ini terbagi menjadi dua kelompok
a. Abortus Medisinalis (Abortus therapeutica)
Merupakan abortus yang diinduksi secara buatan, baik untuk alasan
terapeutik (bila kehamilan dilanjutkan dapat membahayakan jiwa ibu)
maupun alasan lain.
b. Abortus Kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal
atau tidak berdasarkan indikasi medis.

C. ETIOLOGI
1. Abnormalitas embrio atau janin merupakan penyebab paling sering untuk
abortus dini dan kejadian ini kerapkali disebabkan oleh cacat kromosom
2. Abnormalitas uterus yang mengakibatkan kelainan kavum uteri atau
halangan terhadap pertumbuhan dan pembesaran uterus, misalnya fibroid,
malformasi kongenital, prolapsus atau retroversio uteri
3. Kerusakan pada serviks skibat robekan yang dalam pada saat melahirkan
atau akobat tindakan pembedahan (dilatasi, amputasi)
4. Penyakit-penyakit maternal dan penggunaan obat: penyakit mencakup
infeksi virus akut, panas tinggi, dan inokulasi, misalnya pada vaksinasi
terhadap penyakit cacar. Nefritis kronis dan gagal jantung dapat
mengakibatkan anoksia janin. Kesalahan pada metabolisme asam folat
yang diperlukan untuk perkembangan janin akan mengakibatkan kematian
janin. Obat-obat tertentu, khususnya preparat sitotoksik, akan mengganggu
proses normal pembelahan sel yang cepat. Prostaglandin akan
menyebabkan aortus dengan merangsang kontraksi uterus.
5. Trauma, tapi biasanya jika terjadi langsung pada kavum uteri. Hubungan
seksual, khususnya kalau terjadi orgasme, dapat menyebabkan abortus
pada wanita dengan menyebabkan abortus pada wanita dengan riwayat
keguguran berkali-kali
6. Faktor-faktor hormonal, misalnya penurunan sekresi progedteron
diperkirakan sebagai penyebab terjadinya abortus pada usia kehamilan 10-
12 minggu, yaitu pada saat plasenta mengambil alih fungsi korpus luteum
dalam produksi hormon.
7. Sebab-sebab psikomatik: stres dan emosi yang kuat diketahhui dapat
mempengaruhi fungsii uterus lewat sistem hipotalamus-hipofise. Banyak
dokter obstetri yang melaporkan kasus-kasus abortus spontan dengan
riwayat stres, dan biasanya mereka juga menyebutkan kehamilan yang
berhasil baik (pada wanita dengan riwayat stres berat) setelah kecemasan
dihilangkan.

D. MANIFESTASI KLINIS
Seorang wanita diduga mengalami abortus apabila dalam masa reproduksi
mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami haid yang
terlambat, juga sering terdapat rasa mulas dan keluhan nyeri pada perut bagian
bawah (Mitayani,2013:23).
Setelah dilakukan pemeriksaan ginekologi di dapatkan tanda-tanda
sebagai berikut
1. Inspeksi vulva: perdarahan pervaginam, ada/tidak jaringan hasil konsepsi,
tercium/tidak bau busuk dari vulva
2. Inspekulo : perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah
teertutup, ada/tidak jaringan yang keluar dari ostium, ada/tidak jaringan
yang berbau busuk dari ostium
3. Colok vagina : posio masih terbuka/sudah tertutup, teraba/tidak jaringan
pada uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak
nyeri saat porsio digoyangkan, tidak nyeri pada perabaan adneksia, kavum
douglasi tidak menonjol dan tidak nyeri.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes kehamilan dengan hasil positif bila janin masih hidup, bahkan 2-3
minggu stelah kehamilan
2. Pemeriksaan doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih
hidup
3. Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion
F. PATOFISIOLOGI
Pada awal abortus terjadi dalam desidua basalis, diikuti nekrosis jaringan
yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam
uterus. Sehingga menyebabkan uterus berkonsentrasi untuk mengeluarkan
benda asing tersebut. Apabila pada kehamilan kurang dari 8 minggu, nilai
khorialis belum menembus desidua serta mendalam sehingga hasil konsempsi
dapat dikeluarkan seluruhnya. Apabila kehamilan 8 sampai 4 minggu villi
khorialis sudah menembus terlalu dalam sehingga plasenta tidak dapat
dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak pendarahdan daripada
plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta tidak lengkap. Peristiwa ini
menyerupai persalinan dalam bentuk miniature.
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk,
adakalanya kantung amnion kosong atau tampak didalamnya benda kecil
tanpa bentuk yang jelas (missed aborted). Apabila mudigah yang mati tidak
dikelurakan dalam waktu singkat, maka ia dapat diliputi oleh lapisan bekuan
darah. Ini uterus dinamakan mola krenta. Bentuk ini menjadi mola karnosa
apabila pigmen darah telah diserap dalam sisinya terjadi organisasi, sehingga
semuanya tampak seperti daging. Bentuk lain adalah mola tuberose dalam hal
ini amnion tampak berbenjol-benjol karena terjadi hematoma antara amnion
dan khorion
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses
modifikasi janin mengering dan karena cairan amnion menjadi kurang oleh
sebab diserap. Ia menjadi agak gepeng (fetus kompresus). Dalam tingkat lebih
lanjut ia menjadi tipis seperti kertas pigmenperkamen
Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan ialah
terjadinya maserasi, kulterklapas, tengkorak menjadi lembek, perut membesar
karena terasa cairan dan seluruh janin berwarna kemerah-merahan.

G. PATHWAY
H. KOMPLIKASI
Komplikasi abortus (Farrer, Hellen, 2009)
1. Perdarahan (Hemorrage)
2. Perforasi sering terjadi di waktu dilatasi dan kuretase yang dilakukan oleh
tenaga yang tidak ahli seperti dukun anak, dll
3. Infeksi dan tetanus
4. Payah ginjal akut
5. Syok karena perdarahan banyak dan infeksi berat (sepsis)

I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Padila 2015, tindakan keperawatan mandiri dan kolaborasi pada
klien abortus yaitu istirahat tirah baring, menganjurkan ibu hamil untuk tidak
berhubungan seks dahulu selama 2 minggu , bersiihkan vulva minimal 2x
sehari dengan cairan antiseptik untuk mencegah infeksi, pemberian terapi
preabor, asam mefenamat dan asam folat, advis dokter yaitu dengan
pemberian progesteron.
BAB III RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Temukan data data yang dapat menunjang masalah keperawatan pasien dengan
anamneses, observasi dan pemeriksaan fisik.
a. Identitas
a) Identitas klien
Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, alamat, tanggal masuk
RS dan diagnose medis
b) Identitas penanggung jawab
Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat dan hubungan dengan pasien.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul pada penderita abortus adalah menstruasi tidak
lancar dan adanya perdarahan pervaginaan berulang
c. Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan Riwayat keluhan sampai pasien dating ke tempat pelayanan. Biasanya ibu
merasa menstruasinya tidak lancer adanya perdarahan pervaginaan diluar siklus
menstruasi
d. Riwayat penyakit dahulu
Terkait penyakit yang pernah diderita oleh pasien dan gangguan yang menjadi
pemicu munculnya abortus misalnya:
 Riwayat abortus pada kehamilan sebelumnya
 Riwayat hipertensi sebelumnya
 Riwayat penyakit kronis lainnya seperti DM, ginjal, anemia dsb.
e. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan penyakit yang pernah diderita oleh keluarga
f. Riwayat perkawinan
Tanyakan status perkawinan, umur saat menikah pertama kali, berapa kali menikah
dan berapa usia pernikahan saat ini.
g. Riwayat obstetri
Mencakup luaran pada kehamilan sebelumnya ataupun komplikasi maternal dan fetal
seperti gestasional dll
h. Riwayat haid
Tanyakan usia menarche (siklus menstruasi pertama), siklus haid, lama haid, dan
HPHT(hari pertama hari terakhir) saat ini
i. Riwayat kehamilan
Kaji tentang Riwayat kehamilan lalu dan saat ini. Tanyakan Riwayat ANC
(perawatan prenatal), keluhan saat hamil
j. Pemeriksaan fisik (head to toe)
1) Kepala leher
• Kaji kebersihan dan distribusi kepala dan rambut
• Kaji expresi wajah klien (pucat, kesakitan)
• Tingkat kesadan pasien baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kesadaran
kuantitatif diukur dengan GCS
• Amati warna sklera mata (ada tidaknya ikterik) dan konjungtiva mata
(anemis/ananemis)
• Amati dan periksa kebersihan hidung, ada tidaknya pernafasan cuping hidung,
deformitas tulang hidung
• Amati kondisi bibir (kelembaban, warna, dan kesimetrisan)
• Kaji ada tidaknya pembesaran kelenjar tifoid, bendungan vena jugularis
2) Thorak
• Paru
Hitung frekuensi pernafasan, inspeksi irama pernafasan, inspeksi
penggembangan kedua rongga dada simetris/tidak, auskultasi dan identifikaksi
suara nafas pasien
• Jantung dan sirkulasi darah
Raba kondisi akral hangat/dingin, hitung denyut nadi, identifikasi kecukupan
volume pengisian nadi, reguleritas denyut nadi, ukurlah tekanan darah pasien
berbaring/istirahat dan diluar his. Identifikasikan ictus cordis dan auskultasi
jantung, identifikasi bunyi jantung.
3) Payudara
Kaji pembesaran payudara, kondisi putting (putting rusak, menonjol, atau tidak),
kebersihan payudara dan reproduksi ASI
4) Abdomen
• Kaji pembesaran perut sesuai usia kehamilan /tidak
• Lakukan pemeriksaan leopold 1-4
• Periksa DJJ berapa kali denyut jantung janin dalam 1 menit
• Amati ada striae pada abdomen/tidak
• Amati apakah uterus tegang baik waktu his atau diluar his
• Ada tidaknya nyeri tekan
5) Genetalia
Kaji dan amati ada tidaknya perdarahan vagina
6) Ekstremitas
• Kaji ada tidaknya kelemahan
• Capilerry revile time
• Ada tidaknya oedema
• Kondisi akral hangat/dingin
• Ada tidaknya keringat dingin
• Tonus otot, ada tidaknya kejang
7) Pemeriksaan obstetric
Dituliskan hasil pemeriksaan leopold dan DJJ janin
2. Diagnosa keperawatan
Beberapa diagnosis yang dapat ditegakkan berdasarkan SDKI,2017 adalah:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
b. Ansietas berhubungan dengan Krisis situasional
c. Berduka berhubungan dengan kehilangan/kematian janin
d. Risiko hipovelemia berhubungan dengan perdarahan pervaginaan
e. Hipovelemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif/perdarahan
3. Perencanaan keperawatan/intervensi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
 Manajemen nyeri
O:
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
 identifikasi skala nyeri
 identifikasi respons nyeri non verbal
 identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
 monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
 monitor efek samping pengguanaan analgesik
T:
 berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
 control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 fasilitasi istirahat dan tidur
 pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
E:
 jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 jelaskan strategi meredakan nyeri
 anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 anjurkan mengguanakan analgesic secara tepat
 anjurkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
K:
 kolaborasi pemberian analgetic, jika perlu
 pemberian analgesic
O:
 identifikasi karakteristik nyeri
 identifikasi Riwayat obat alergi
 identifikasi kesesuaian jenis analgesic
 monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian anlgesik
 monitor efektifitas analgesik
T:
 diskusikan jenis analgesic yang disuaki untuk mencapai analgesia optimal, jika
perlu
 pertimbangkan pengguanaan infus kontinu, atau bolus oploid untuk
mempertahankan kadar dalam serum
 tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan respon pasien
 dokumentasikan respon terhadap efek analgesic dan efek yang tidak diinginkan
E:
 jelaskan efek terapi dan efek samping obat
K:
 kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesic, sesuai indikasi
b. Ansietas berhubungan dengan Krisis situasional
O:
 Identifikasi resiko keselamatan
 Identifikasi pencetus dan dinamika krisis
T:
 Sediakan tempat aman dengan suasana yang mendukung
 Lakukan tindakan pencegahan dari resiko bahaya fisik
 Bentuk tim intervensi krisis
 Fasilitasi mengekspresikan perasaaan dengan cara yang tidak destruktif
 Hindari memberikan kenyakinan yang salah
 Fasilitasi keterampilan koping untuk menyelesaikan masalah
 Fasilitasi memustukan tindakan untuk menyelesaikan krisis
 Rencanakan penggunaan keterampilan koping adaptif untuk menghadapi
situasi krisis selanjutnya
 Hubungkan pasien dan keluarga dengan sumber komunikasi,jika perlu
 Libatkan dalam kelompok yang telaha berhasil melalui masalah yang sama
E:

K:
 Jelaskan kemampuan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
 Jelaskan mekanisme masa lalu dan saat ini serta keefektifannya
 Jelaskan tindakan alternatif untuk menyelesaikan krisis
 Informasikan sistem pendukung yang tersedia
c. Berduka berhubungan dengan kehilangan/kematian janin
O:
 Identifikasikan reaksi awal terhadap kematian bayi
T:
 Lakukan kebiasaan kelahiran anak sesuai agama dan budaya
 Berikan pelaratan bayi termasuk catatan kelahiran anak (mis, stempel kaki dan
tangan,foto,perlengkapan bayi)
 Libatkan orang tua dalam penyelenggaraan jenazah bayi
 Pindahkan bayi ke kamar jenazah
 Persiapkan jenazah untuk dibawa oleh keluarga ke rumah duka
 Diskusikan pengambilan keputusan yang diperlukan
(mis,otopsi,konseling,genetik)
 Diskusikan karateristik berduka normal dan abnormal,termasuk presipitasi
perasaan
E:
 Informasikan bentuk bayi berdasarkan usia genetal dan lamanya kematian
 Informasikan kelompok pendukung yang ada,jika perlu
 Anjurkan orang tua mengendong bayinya saat akan meninggal,jika perlu
 Anjurkan keluarga melihat,menggendong dan bersama bayi selama yang
diinginkan
K:
 Rujuk kepada tokoh agama (mis,ustadz,pendeta),pelayanan sosial dan
konselor,jika perlu
d. Risiko hipovelemia berhubungan dengan perdarahan pervaginaan
O:
 Identifikasikan keluhan ibu (misal:keluar darah banyak ,pusing peradangan
tidak jelas)
 Monitor kesadaran dan tanda vital
 Monitor kehilangan darah
 Monitor kadar hemoglobin
T:
 Posisikan supine atau Trendelenburg
 Pasang oksimetri nadi
 Berikan oksigen via kanul nasal 3L/menit
 Pasang IV line dengan selang tranfusi
 Pasang kateter untuk mengosongkan kandung kemih
 Ambil darah untuk pemeriksaaan lengkap
E:

K:
 Kolaborasi pemberian uterotenika
 Kolaborasi pemberian antikoagulan
e. Hipovelemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif/perdarahan
O:
T:
E:
K:
4. Implementasit
Implementasi keperawatan adalah serangkain kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status Kesehatan yang diharapi lebih baik yang
menggambarkan kriteriahasil yang diharapkan (suarni, 2017).
5. Evaluasi
Tahap evalusai merupakan perbandingan yang sistemik dan terencana tentang Kesehatan
klien dengan tujuan yang telah diterapkan, dilakukan berkesinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga Kesehatan lainnya. Evaluasi dalam keperawatan merupakan
kegiatan dalam menilai Tindakan keperawatan yang telah dilakukan, untuk mengetahui
pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan
(suarni, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Aqsal.2005. Asuhan Keperawatan Abortus. Jakarta

PPNI, 2017 standart diagnosis keperawatan (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

PPNI, 2018. Standart intervensi keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI.
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai