Disusun Oleh :
2. Aprilia Mokodompit
3. Nopitri Sidampoy
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa Allah SWT karena telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas
rahmat dan hidayah-Nya lah penulis, dapat menyelesaikan makalah yang
bejudul Telemedicini (Online Medical Services) Dalam Era New Normal
Ditinjau Berdasarkan Hukm Kesehatan tepat waktu.
Makalah Telemedicini (Online Medical Services) Dalam Era New Normal
Ditinjau Berdasarkan Hukm Kesehatan disusun guna memenuhi tugas dosen
pada mata kuliah di kampus. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini
dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Telemedicini (Online Medical
Services) Dalam Era New Normal Ditinjau Berdasarkan Hukm Kesehatan
Penulis mengucapkan terimah kasih sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu selaku
dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan, ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................2
ABSTRAK...........................................................................................................4
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................5
1.1 Latar Belakang.......................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................6
BAB 2 PEMBAHASAN......................................................................................9
2.1 Telemedicine (Online Medical Services) Di Indonesia Ditinjau
Berdasarkan Hukum Kesehatan..........................................................9
2.2 Pertanggungjawaban Hukum Dokter,Tenaga Kesehatan,Dan Penyedia
Layanan Telemedicine (Online Medical Services) Di Indonesia......20
2.3 Penerapan Pelayanan Telemedicine (Online Medical Services) Dalam
Program Telemedicine Indonesia......................................................27
BAB 3 PENUTUP..............................................................................................40
Kesimpulan.................................................................................................40
Saran...........................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................44
3
ABSTRAK
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
5
mendapatkan pelayanan yang baik dari rumah sakit. Untuk menyikapi
permasalahan tersebut, Pemerintah memerlukan suatu upaya untuk selalu
meningkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia, salah satu bentuk dari upaya
tersebut adalah dengan menggunakan pemanfaatan teknologi informasi, yaitu
Telehealth atau Telemedicine.
Terlebih lagi, pada akhir tahun 2019, dunia mengenal adanya virus baru
yang menyerang sistem pernapasan atau dikenal dengan Virus Corona atau
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) atau
COVID-19. Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China ini telah
menyebar dengan sangat cepat dan penyebarannya secara global semakin
mengkhawatirkan. Penyebarannya telah dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization) sebagai pandemi pada sebagian besar
negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang menunjukkan
peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa dan
kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial,
ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu
6
kebijakan atau langkah luar biasa yang diambil oleh Pemerintah dan lembaga
terkait untuk mengurangi penyebaran dari virus ini yang terutama berkaitan
dengan kesehatan dari masyarakat.
7
informed consent, ataupun beberapa data atau rekam medis lainnya yang
dilakukan secara online. Oleh karena itu, diperlukan suatu penegakan hukum
tertentu yang mengatur secara tegas terkait pertanggungjawaban maupun
perlindungan hukum bagi para dokter, tenaga kesehatan, dan penyedia layanan
Telemedicine (Online Medical Services) ini.
Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk membahas mengenai
penerapan pelayanan Telemedicine (Online Medical Services) di era New
Normal dan pengaturan- pengaturannya ditinjau berdasarkan hukum kesehatan,
khususnya mengenai Program Telemedicine Indonesia (TEMENIN) di Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Selain itu, akan dibahas juga mengenai
pertanggungjawaban dan perlindungan hukum dari berbagai tenaga kesehatan
dan medis dalam penerapan pelayanan Telemedicine (Online Medical
Services) di Indonesia.
8
BAB 2
PEMBAHASAN
9
adalah serangkaian ketentuan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan
kesehatan, hubungan antara pasien atau masyarakat dengan tenaga kesehatan
dalam upaya pelaksanaan kesehatan. Menurut para ahli, seperti Prof.
H.J.J. Leenen, definisi dari hukum kesehatan ialah:
Hukum Kesehatan meliputi semua ketentuan hukum yang langsung
berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan dari
hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administratif dalam
hubungan tersebut. Pula pedoman internasional hukum kebiasaan
dan jurisprudensi yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan,
hukum otonom, ilmu dan literatur, menjadi sumber hukum kesehatan.
Selain itu, hukum kesehatan juga memiliki asas dan tujuan yang menjadi
landasan dan memberikan arah pembangunan kesehatan yang dilaksanakan
melalui upaya kesehatan untuk meningkatkan kesehatan, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi orang sehingga terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang optimal tanpa membedakan status sosialnya. Dalam Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa
pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,
keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan
kewajiban, keadilan, gender, dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.
Hukum Kesehatan juga dibangun atas tujuan pembangunan kesehatan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomis.
Berdasarkan tujuan tersebut, dalam masa pandemi Corona Virus Disease
(COVID- 19), diperlukan suatu solusi untuk melayani kesehatan masyarakat
tanpa menyalahi peraturan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) untuk mencegah penyebaran virus tersebut. Untuk itu, salah satu upaya
yang dapat dilaksanakan adalah dengan “berteman” atau memanfaatkan
teknologi informasi, yaitu dalam bentuk Telemedicine. Telemedicine, atau
10
dalam bahasa Indonesia disebut dengan Telemedis atau Telemedika, adalah
penggunaan teknologi dan komunikasi yang digabungkan dengan kepakaran
medis untuk memberikan layanan kesehatan, mulai dari konsultasi, diagnosis
sementara dan perencanaan tindakan medis, tanpa terbatas ruang atau
dilaksanakan dari jarak jauh. Pengertian lainnya dari Telemedicine, yaitu
pemberian pelayanan kedokteran jarak jauh oleh Dokter dan Dokter Gigi
dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran
informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian
dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk
kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.
Secara terminologi, Telemedis, berasal dari kata “tele” yang berarti “jarak
jauh”, dan “medis” yag berarti “bersifat kedokteran”. Secara keseluruhan,
layanan telemedis berarti layanan yang menggunakan fasilitas komunikasi
elektronik untuk memberikan pelayanan atau dukungan medis dari jarak yang
terpisah (tidak bertatap muka). Fasilitas komunikasi yang digunakan
bermacam-macam, dapat berupa telepon, panggilan video (video call), situs
internet, atau alat canggih lainnya. Selain itu, Telemedicine juga dapat diartikan
sebagai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (termasuk pula
elektronika, tele-komunikasi, komputer, informatika) untuk men-transfer
(mengirim dan/atau menerima) informasi kedokteran, guna meningkatkan
pelayanan klinis (diagnosis dan terapi) serta pendidikan.
Menurut Asosiasi Telemedik Amerika (ATA) yang berdiri pada tahun
1993, telemedik adalah pertukaran informasi dari satu tempat ke tempat lain
lewat komunikasi elektronik untuk kesehatan dan pendidikan, baik pada pasien
maupun orang yang berminat pada kesehatan dengan tujuan untuk memperbaiki
penanganan pasien. Sedangkan, definisi lainnya mengenai Telemedicine
dijelaskan oleh World Health Organization (WHO) sebagai:
11
technologies for the exchange of valid information for diagnosis, treatment and
prevention of disease and injuries, research and evaluation, and for the
continuing education of health care providers, all in the interests of advancing
the health of individuals and their communities.
12
untuk meningkatkan hasil dari pelayanan kesehatan.
Telemedicine dalam pelaksanaannya dapat dibagi menjadi dua bentuk atau
jenis, yaitu dengan konsep atau metode secara langsung/real time (synchronous)
dan secara tidak langsung/store-and-forward (asynchronous). Telemedicine
secara real time (synchronous telemedicine) bisa berbentuk sederhana seperti
penggunaan telepon atau bentuk yang lebih kompleks seperti penggunaan robot
bedah. Synchronous Telemedicine memerlukan kehadiran kedua pihak pada
waktu yang sama, untuk itu diperlukan media penghubung antara kedua belah
pihak yang dapat menawarkan interaksi real time sehingga salah satu pihak bisa
melakukan penanganan kesehatan. Bentuk lain dalam Synchoronous
Telemedicine adalah penggunaan peralatan kesehatan yang dihubungkan ke
komputer sehingga dapat dilakukan inspeksi kesehatan secara interaktif. Contoh
penggunaan teknologi ini adalah tele-otoscope yang memberikan fasilitas untuk
seorang dokter melihat ke dalam pendengaran seorang pasien dari jarak ‘jauh’.
Contoh lain adalah tele-stethoscope yang membuat seorang dokter
mendengarkan detak jantung pasien dari jarak jauh. Konsep layanan telehealth
secara langsung juga hampir sama dengan sistem tersebut, di mana digunakan
videoconferencing yang disampaikan pasien pada perawat dalam
menyampaikan masalahnya. Selanjutnya, pasien secara langsung berinteraksi
pada perawat mengenai masalahnya, kemudian mendapatkan umpan balik secara
langsung dari perawat.
13
Bentuk real time telemedicine seperti ini sangat cocok untuk digunakan
ketika terdapat situasi yang sangat mendesak atau darurat, yang menyebabkan
hasil langsung lebih penting melebihi kerugian, ketidaknyamanan, dan biaya.
Misalnya, jika terjadi suatu kasus cedera yang mengancam jiwa, maka
14
atau hasil laboratoriumnya pada perawat. Bentuk store-and-forward atau pre-
recorded telemedicine ini cocok untuk digunakan jika semua informasi yang
dibutuhkan dapat terpenuhi tanpa adanya gangguan bagi pihak dokter atau
tenaga medis maupun pasien yang menerimanya. Berikut adalah gambar sistem
store-and-forward atau asynchronous telemedicine:
15
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dalam Program
Telemedicine Indonesia (TEMENIN) yang dikembangkan oleh Kementerian
Kesehatan, dalam praktiknya bentuk store-and-forward justru lebih sering
digunakan dalam layanan permintaan Expertise kepada Rumah Sakit atau
Fasyankes Pengampu, karena lebih mudah dan efektif dalam mengirimkan hasil
foto atau konsultasi pasien kepada dokter di Rumah Sakit atau Fasyankes
Pengampu.
Telemedicine merupakan salah satu aspek dari penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi atau TIK dalam bidang kesehatan. Secara luas,
penggunaan TIK atau information and communication technologies (ICT)
diyakini memiliki potensi untuk meningkatkan perawatan klinis dan kesehatan
masyarakat. Selain dapat memfasilitasi pendidikan kodekteran, administrasi
dan penelitian, penggunaan TIK juga dapat bermanfaat sebagai berikut:(i)
Meningkatkan akses dalam perawatan kesehatan, (ii) Meningkatkan kualitas
pemberian layanan, (iii) Meningkatkan efektivitas kesehatan masyarakat dan
pelaksanaan atau intervensi perawatan primer, dan (iv) Meningkatkan
kekurangan global profesional kesehatan melalui kolaborasi dan pelatihan.
Selain itu, Telemedicine atau E-Health, yaitu penggunaan data digital yang
ditransmisikan secara elektronik untuk mendukung pelayanan kesehatan baik itu
di tingkat lokal maupun jarak jauh, juga memiliki beberapa keuntungan lainnya,
seperti berikut: (i) Meningkatkan akses kepada pasien, (ii) Mengurangi biaya
pasien, (iii) Mengurangi keterpencilan akan kebutuhan dokter, dan (iv)
Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan beberapa
keuntungan dan kelebihan dari Telemedicine tersebut, dapat disimpulkan
bahwa keberadaan Telemedicine dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi atau TIK akan membawa kebaikan dan perubahan besar di
dunia kesehatan, baik akan memperbaiki akses kesehatan masyarakat,
meningkatkan kualitas kesehatan, maupun menurunkan biaya kesehatan.
Namun, pada kenyataannya, penggunaan pelayanan Telemedicine yang masih
tergolong baru seringkali memiliki tantangan dan kendala dalam
16
pengembangan Telemedicine, seperti halnya dalam:
a) Aspek Teknologi, yakni berupa infrastruktur jaringan, dan berbagai
alat pendukung sistem informasi dan komunikasi
b) Aspek Ekonomi, berupa pembiayaan yang harus diperhitungkan
dalam pengembangan telemedis, termasuk bagaimana jasa bagi
praktisi yang berkecimpung dalam pelayanan telemedis
c) Aspek Instansi Kesehatan, yang terintegrasi dengan sistem ini
termasuk pengorganisasiannya
d) Aspek Sumber Daya Manusia, meliputi tenaga profesional medis dan
paramedis serta ahli bidang teknologi informasi yang akan menunjang
sistem telemedis
e) Aspek Kebijakan, meliputi dasar hukum dan perlindungan hukum,
serta kebiajakan politik pemerintah
Ditambah lagi, walaupun keberadaan teknologi telemedis menjanjikan
perubahan besar dalam pelayanan kesehatan, namun pengembangan telemedis
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terdapat sejumlah hambatan,
seperti berikut: (i) Kendala dalam pengembangan infrastruktur komunikasi, (ii)
Ketersediaan hardware dan software, (iii) Sumber daya manusia yang
memadai, (iv) Gap teknologi, (v) Regulasi yang mengatur masalah hukum
medik, (vi) Masalah otentikasi, privasi, dan keamanan data, (vii) Pembiayaan
jasa, (viii) Kualitas data dan pelayanan, dan (ix) Hubungan antara pasien dan
tenaga kesehatan, serta antar tenaga kesehatan.
Di Indonesia, keberadaan Telemedicine semakin berkembang seiring
dengan adanya masa pandemi Covid-19 yang sudah ditetapkan sebagai situasi
darurat wabah Covid-19 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.
HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus
(Infeksi 2019-nCoV) Sebagai Penyakit Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan
Upaya Penanggulangannya tertanggal 14 Februari2020 dan Keputusan Presiden
No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) tertanggal 31 Maret 2020. Dalam
17
memasuki era New Normal pun, keberadaannya tetap menjadi salah satu solusi
atau kunci utama dalam membantu pencegahan penyebaran Virus Corona
Disease. Hal ini karena, dengan semakin banyaknya korban yang tercatat dalam
beberapa waktu terakhir, maka Telemedicine menjadi suatu hal yang sangat
urgent saat ini, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Tim
Pelaksana Wantiknas, Ilham Akbar Habibie. Terlebih lagi, di tengah pandemi
Covid-19, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) juga
mendukung penuh pelayanan kesehatan secara daring atau online sehingga
masyarakat atau pasien tidak perlu keluar rumah untuk berkonsultasi terkait
kondisi tubuhnya. Terlebih Telemedicine sesuai dengan imbauan pemerintah
agar melakukan physical distancing guna memutus penyebaran Covid-19.
Dalam hal itu, pengaturan atau regulasi mengenai pelayanan Telemedicine
di Indonesia juga sudah mulai diberlakukan, dengan adanya dasar hukum dalam
digitalisasi kesehatan, yaitu sebagai berikut:
a) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
b) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 juncto. Undang-Undang No. 19
Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
c) Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik
d) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
e) Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
f) Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
g) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Sistem dan Transaksi Elektronik
h) Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi
Kesehatan
i) Peraturan Menteri Kesehatan No. 97 Tahun 2015 tentang Peta Jalan
Sistem Informasi Kesehatan Tahun 2015 – 2019
18
Namun, apabila dikaitkan dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, walaupun tidak terdapat definisi yang tepat mengenai telemedicine,
tetapi UU Kesehatan ini sudah mengatur mengenai teknologi kesehatan, yang
didefinisikan sebagai berikut:
Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang
ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan
penanganan permasalahan kesehatan manusia.
19
teknologi kedokteran.
Pengaturan mengenai Telemedicine di masa pandemi COVID-19 ini
sendiri dimulai dari aturan pelaksana yang pertama, yaitu munculnya Peraturan
Menteri Kesehatan No. 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dilanjutkan dengan Surat
Edaran Menteri Kesehatan RI No. 303 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Komunikasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID- 19, dan
didukung dengan adanya Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 74 Tahun
2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui
Telemedicine Pada Masa Pandemi COVID-19 di Indonesia.
20
perbuatan atau tindakan yang salah yang menunjukkan pada setiap sikap
tindakan yang keliru. Sedangkan, menurut John M. Echols dan Hassan Sadily
dalam Kamus Inggris Indonesia, “malpractice” berarti cara pengobatan pasien
yang salah. Adapun ruang lingkupnya mencakup kurangnya kemampuan untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban profesional atau didasarkan kepada
kepercayaan. Jadi, malpraktik merupakan salah satu penyebab
perselisihan/konflik antara dokter dengan pasien.
Gugatan malpraktik medis bermula dari dua pandangan yang berbeda antara
dokter yang menjanjikan terapi dan pasien yang mengharapkan (resultant
verbentenis). Dalam perspektif dokter, jasa yang mereka berikan merupakan
suatu transaksi upaya (therapeutic) sementara pasien memandang bahwa dokter
harus bertanggung jawab atas hasil tindakan medisnya, apalagi bila terjadi
kejadian yang tidak diharapkan (adverse event). Kejadian yang tidak
diharapkan tidak selalu merupakan malpraktik. Malpraktik selalu didahului
error kesalahan yang terjadi bisa berupa kesalahan diagnostic, kesalahan
pengobatan, kesalahan tidak melakukan pencegahan, dan kesalahan lain-lain
seperti kesalahan komunikasi.Selanjutnya, malpraktik terbagi menjadi dua
bentuk atau jenis, yaitu malpraktik etik dan malpraktik yuridis. Yang dimaksud
dengan malpraktik etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Lebih lanjut
bentuk-bentuk pelanggaran etik kedokteran adalah sebagai berikut:(i)
Pelanggaran etik murni, dan (ii) Pelanggaran etikolegal.
21
terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar
hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada
pasien.
b) Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice)
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau
mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang
cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang
meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktik pidana dapat dibagi
lagi menjadi tiga jenis, yaitu; malpraktik pidana karena kesengajaan
(intenstional), malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness),
dan malpraktik pidana karena kealpaan (negligence).
c) Malpraktik Administratif (Administrative Malpractice)
Malpraktik administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi, misalnya
berpraktik tanpa Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Tanda Registrasi
(STR) serta tidak membuat plang/papan nama di tempat praktik dokter
tersebut. Atau menjalankan praktik dokter dengan izin yang sudah
kadaluarsa dan menjalankan praktik tanpa membuat catatan
medik/rekam medik.
22
malpraktik dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu dari segi keperdataan,
kepidanaan, dan administrasi.
Dari pembagian pertanggungjawaban hukum tersebut, dalam pelayanan
Telemedicine juga terdapat pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadinya
malpraktik. Tanggung jawab hukum adalah kewajiban menanggung suatu
akibat menurut ketentuan hukum yang berlaku dan terdapat norma atau
peraturan hukum yang mengatur tentang tanggung jawab. Ketika ada perbuatan
yang melanggar norma hukum itu, maka pelakunya dapat dimintai
pertanggungjawaban sesuai dengan norma hukum yang dilanggar. Dalam
malpraktik perdata, ilustrasi kasus yang menyebabkan dokter pada layanan
medis berbasis online (Telemedicine) dapat dikenakan tuntutan wanprestasi dari
pasiennya jika pada fitur aplikasi telah dicantumkan jadwal praktik dokter pada
hari Sabtu dan jam pelayanannya antara pukul 15.00 – 17.00. Pencantuman
hari dan jam pelayanan seperti ini, dapat dianggap bahwa dokter berjanji untuk
memberikan pelayanan medisnya pada hari dan jam tersebut. Namun, pada
praktiknya dokter baru dapat memberikan pelayanan pada jam 18.00,
sementara pasien sudah menunggu dan mengakses layanan tersebut selama 1
jam, maka dokter tersebut dapat dituntut telah melakukan wanprestasi karena
terlambat melakukan apa yang dijanjikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1243
KUHPerdata.Selain itu, praktik kedokteran dalam pelayanan Telemedicine yang
juga merupakan praktik kedokteran jarak jauh yang dilakukan melalui sistem
elektronik Telemedicine, telah mengelaborasi kerjasama antara dokter spesialis
dengan dokter pelayanan primer (primer care physician/PCP). Dokter spesialis
memberikan pelimpahan wewenangan tindakan medis kepada dokter primer
untuk selanjutnya dokter primer atas pelimpahan wewenang tersebut dapat
melakukan tindakan medis kepada pasien. Dalam perspektif hukum perdata,
hubungan kerjasama ini melahirkan hubungan atasan dan bawahan akan
menimbulkan doktrin vicarious liability, dimana yang akan bertanggung gugat
adalah atasan, dikarenakan tindakan hamba (sevant) adalah tindakan tuan
(master). Oleh karena itu, tanggung gugat ini disebut juga dengan tanggung
23
gugat resiko (risico aanspraklikjheid), sebagaimana diatur dalam Pasal 1367
ayat (3) KUHPerdata. Dalam hukum kesehatan, doktrin ini juga dikenal
dengan nama respondeat superior yang diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang
No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 65 Undang-Undang No. 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dan Pasal 32 Undang- Undang No. 38
Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Dari segi pidana, malpraktik dalam penerapan Telemedicine, juga dapat
diilustrasikan apabila pada layanan medis berbasis online ini, ada seorang
dokter yang secara tidak sengaja memberikan diagnosa terhadap penyakit
pasien melalui konsultasi online. Sedangkan, menurut tata cara medis diagnosa
tidak dapat dilakukan tanpa didahului dengan pemeriksaan fisik terlebih
dahulu, maka perbuatan dokter tersebut telah bertentangan dengan prinsip
berhati-hati. Berdasarkan hal tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa
kesalahan dalam melakukan suatu diagnosis dapat berakibat fatal, seperti
menyebabkan luka, cacat, ataupun meninggal dunia. Tetapi, untuk mengatakan
telah dilakukan malpraktik pidana (criminal malpractice) seperti ini, juga harus
dibuktikan unsur-unsur tindak pidananya terlebih dahulu, yakni seperti: (i)
Apakah perbuatan (positive act atau negative act) merupakan perbuatan yang
tercela, dan (ii) Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens
rea) yang salah (sengaja, ceroboh, atau adanya kealpaan)
Selain itu, berkaitan dengan kerahasiaan rekam medis sebelumnya, hal ini
juga dapat digolongkan sebagai malpraktik pidana apabila terdapat kebocoran
dalam rahasia kedokteran ataupun rekam medis, sebagaimana diatur dalam
Pasal 322 ayat (1) KUHP, yaitu:
24
a) Pasal 322 KUHP, yaitu membocorkan rahasia kedokteran yang
diadukan oleh penderita
b) Pasal 359, 360, dan 361 KUHP, yaitu karena kelalaiannya sehingga
mengakibatkan kematian atau luka-luka
c) Pasal 531 KUHP, yaitu tidak memberikan pertolongan kepada orang
yang berada dalam keadaan bahaya maut.
Selanjutnya, mengenai sisi administrasi, maka hal yang paling penting
adalah keberadaan surat izin praktik dan surat tanda registrasi dari seorang
dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Selain itu, dalam penerapan pada
layanan Telemedicine, maka tanggung jawab hukum sebagai penyelenggara
sistem elektronik juga diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (6) huruf a Undang-
Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang
mengatur bahwa:
Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap orang, penyelenggara
negara, badan usaha, dan masyarakata yang menyediakan,
mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik, baik secara
sendiri-sendiri maupun
Dari ketentuan di atas, maka dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang
dapat dikategorikan sebagai bagian dari penyelenggara sistem elektronik
karena memenuhi unsur dalam pasal tersebut, maka segala akibat hukum yang
timbul dari upaya kesehatan yang diberikan kepada pasien melalui online dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan ketentuan UU ITE. Secara objektif
tanggung jawab seorang dokter pada pelaksanaan layanan medis online dalam
kaitannya sebagai penyelenggara sistem elektronik, lebih tepat jika
menempatkan prinsip kesalahan pembatasan tanggung jawab (limitation of
liability) sebagi dasar tanggung jawab dokter karena ada banyak permasalahan
25
yang dapat ditimbulkan pada layanan medis online ini yang diluar dari
kesalahan dokter dan tidak semua kesalahan yang terjadi pada layanan medis
online ini dapat dilimpahkan kepada dokter. Seperti halnya jika terjadi
kegagalan sistem pada layanan medis online yang menyebabkan sistem
tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, diperlukan juga berbagai perlindungan hukum bagi
pelayanan kesehatan terutama dalam penerapan Telemedicine pada era new
normal saat ini. Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu
diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum. Perlindungan hukum juga dapat diartikan sebagai
jaminan yang diberikan oleh pemerintah kepada semua pihak untuk
melaksanakan hak dan segala kepentingan hukum yang dimiliki, sehingga
setiap warga dapat melaksanakan hak dan kewajiban secara aman dan tertib.
Perlindungan hukum ini juga harus diiringi dengan campur tangan negara atau
pemerintah, karena tanggung jawab atau kewajiban pemerintah dalam
memajukan atau mengangkat derajat kesehatan masyarakat merupakan bagian
integral dari cita-cita dan tujuan nasional. Hal ini juga sejalan dengan
ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang
menyatakan bahwa:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
Perlindungan hukum juga menjadi hal yang sangat penting bagi para dokter,
dokter gigi atau tenaga kesehatan lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 50 huruf a Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, Pasal 57 huruf a UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan, dan Pasal 36 huruf a UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Mengenai tanggung jawab pemerintah, hal ini sudah diatur dalam Pasal 14 –
20 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di mana, dalam
26
Pasal 14 ayat (1) UU Kesehatan disebutkan bahwa Pemerintah bertanggung
jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi
penyelenggara upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat:
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam rangka penegakan ketentuan-
ketentuan hukum yang berkaitan dengan penyelenggaraan praktik kedokteran,
maka pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pengawasan, penyidikan,
serta membentuk badan-badan, lembaga dan/atau majelis yang berkaitan
dengan petugas yang melakukan penegakan di bidang penyelenggaraan praktik
kedokteran, misalnya seperti:
a) Badan Pertimbangan Kesehatan
b) Konsil Kedokteran Indonesia
c) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
d) Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
27
riset dan inovasi kesehatan yang dilakukan oleh anak bangsa.Oleh karena itu,
didirikan sebuah pusat riset dan penelitian untuk menjawab tantangan di
bidang kesehatan dan kedokteran di masa mendatang yang strategis bagi
pembangunan negara Indonesia, yaitu Indonesia Medical Education and
Research Institute atau lebih dikenal dengan sebutan IMERI FKUI.
Indonesian Medical Education and Research Institute atau IMERI FKUI
adalah pusat inovasi kesehatan Indonesia yang dipelopori oleh Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia dan merupakan lembaga pendidikan dan
penelitian kedokteran pertama di Indonesia, dengan visi untuk menciptakan
perawatan kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik melalui inovasi
disruptif dalam pendidikan dan penelitian kedokteran.
IMERIFKUI yang sudah berjalan selama kurang lebih tiga tahun ini juga
sudah memberikan kontribusi dalam peningkatan pelayanan Telemedicine,
yaitu dengan mengembangkan sebuah platform pelayanan kesehatan yang
menurut Richard Hadgson, berbasis tiga hal penting, yaitu genes atau genetic,
lifestyle, dan environment. Pada awal tahun 2019, National Health Services
juga mengeluarkan suatu penelitian yang menarik, yang menempatkan tiga hal
yang akan menjadi disrupsi terhadap pelayanan kesehatan, yaitu aspek
genomics, digital medicine, dan artificial intelligence and robotics.
IMERI FKUI dan beberapa mahasiswa dari Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia juga sudah berencana untuk membuat dan
mengembangkan suatu aplikasi pelayanan kesehatan telemedicine dengan
sebutan TelMed. Namun, untuk saat ini salah satu aplikasi layanan
Telemedicine yang sudah berjalan adalah Program Telemedicine Indonesia
atau TEMENIN. Program ini adalah sebuah layanan yang dikembangkan oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sebagai salah satu layanan medis
terpercaya yang dapat mewujudkan akses kesehatan terjangkau secara online.
Dalam program ini, layanan telemedis yang disediakan sudah mencakup 4
bidang utama, yaitu:
28
diagnosis, yang dikirim secara online dan digunakan oleh dokter
ahli radiologi untuk penanganan cepat.
b) tele-ekg, untuk pemeriksaan kesehatan terhadap aktivitas elektrik
jantung, ditujukan untuk menilai kerja jantung, hasil EKG dikirim
ke spesialis penyakit jantung untuk diagnosis cepat.
c) tele-usg, untuk membantu diagnosis ibu hamil yang ada di pelosok
daerah dan dihubungkan dengan dokter spesialis obgyn untuk
mempercepat rujukan.
d) tele-konsultasi, untuk mempertemukan pasien dengan dokter ahli
untuk konsultasi online, mengetahui kondisi pasien, dan membuat
rekomendasi pengobatan.
Program Telemedicine Indonesia (“TEMENIN”) ini juga sudah
bekerjasama dengan 56 rumah sakit dengan status pengampu dan 151 rumah
sakit atau puskesmas dengan status diampu. Beberapa contoh rumah sakit yang
telah bekerjasama dalam program ini adalah RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
RSU Dr. Mohammad Hosein, RSU Dr. Wahidin Sudirohusodo, RSUD Tarakan,
dan RSUP Fatmawati. Tidak hanya itu, beberapa puskesmas, seperti PKM
Long Bawan, PKM Long Layu, dan Puskesmas Tanjung Labu juga sudah ikut
bekerjasama dalam program ini. Selain itu, terdapat beberapa dokter yang juga
telah ikut serta dalam layanan Telemedicine dan sudah saling terkoneksi satu
sama lain, setidaknya berjumlah 135 dokter spesialis radiologi, 177 dokter
spesialis jantung, 131 dokter spesialis obgyn, dan 344 dokter umum. Menurut
dr. Ira Melati, M.K.M., Program TEMENIN ini sudah mulai berjalan pada
awal tahun 2012 terutama dalam bidang layanan medis teleradiologi, tetapi
masih memerlukan banyak penyesuaian dan pengembangan. Sehingga, pada
tahun 2016, mulai dikembangkan beberapa layanan medis lainnya, seperti
telek-EKG, tele-USG, dan tele-konsultasi.
29
Rumah sakit yang terletak di Jl. Diponegoro No. 71, Jakarta Pusat, DKI Jakarta
ini tidak terlepas dari sejarah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
karena perkembangan kedua instansi ini adalah saling tergantung dan saling
mengisi satu sama lain. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.HK.01.07/MENKES/650/2017 tentang Rumah Sakit dan
Puskesmas Penyelenggara Uji Coba Program Pelayanan Telemedicine,
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta sudah ditetapkan sebagai salah satu
rumah sakit pengampu telemedicine nasional dalam uji coba program
pelayanan telemedicine. Uji coba program pelayanan telemedicine tersebut
dilakukan dalam rangka konsultasi, diagnosa, dan tindakan medis yang
dilakukan dari jarah jauh berbasis tele-radiologi, tele-ultrasonografi, dan tele-
elektrokardiologi. Selain itu, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah
sakit pengampu Telemedicine nasional, juga memiliki tugas dan tanggung
jawab sebagai berikut:
a) Menjamin ketersediaan dokter spesialis radiologi untuk
melaksanakan pelayanan tele-radiologi sesuai dengan sistem dan
perangkat telemedicine yang tersedia
b) Menjamin ketersediaan dokter spesialis kebidanan dan kandungan
untuk melaksanakan pelayanan tele-ultrasonografi sesuai dengan
sistem dan perangkat telemedicine yang tersedia
c) Menjamin ketersediaan dokter spesialis jantung atau dokter
penyakit dalam dengan subspesialis jantung untuk melaksanakan
pelayanan tele- elektrokardiologi sesuai dengan sistem dan
perangkat telemedicine yang tersedia
d) Menetapkan nama dokter spesialis-subspesialis, tenaga kesehatan
lainnya, dan tenaga administrasi sebagai pelaksana pelayanan
telemedicine melalui keputusan kepala atau direktur rumah sakit
dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan
melalui Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian
Kesehatan
30
e) Menetapkan standar prosedur operasional pelayanan telemedicine
melalui keputusan kepala atau direktur rumah sakit
f) Menjamin dokter spesialis-subspesialis pelaksana pelayanan
telemedicine memberikan expertise dalam rangka konsultasi,
diagnosa, dan tindakan medis yang dilakukan dari jarak jauh
g) Mendokumentasikan hasil expertise ke dalam rekam medis sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
h) Menolak memberikan pelayanan expertise gambar radiografi,
gambar ultrasonografi, dan/atau gambar elektrokardiografi apabila
tidak dapat dinilai secara pengamatan profesional
i) Meminta dilakukan pemeriksaan ulang radiologi, ultrasonografi
dan/atau elektrokardiografi apabila diperlukan
j) Mengajukan klaim tagihan dan mendapatkan pembayaran atas jasa
pelayanan telemedicine kepada rumah sakit yang diampu dan/atau
puskesmas yang diampu
k) Merespon setiap keluhan atas pelayanan telemedicine
l) Menjaga kerahasiaan dokumen rekam medis pasien sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
m) Memberikan pelayanan rujukan medis spesialistik dan/atau
subspesialistik bidang radiologi, jantung, dan obstetri ginekologi
sesuai kebutuhan pada pelayanan telemedicine
n) Menyediakan sarana prasarana berupa jaringan internet yang
memadai, listrik, ruang kerja, dan sarana prasaran lain yang
diperlukan untuk menunjang kelancaran kegiatan operasional
pelayanan telemedicine berbasis tele- radiologi, tele-ultrasonografi,
dan/atau tele-elektrokardiologi.
Selain itu, di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, juga sudah terdapat
kurang lebih 30 dokter spesialis yang siap untuk membantu penerapan
Telemedicine dalam program ini, beberapa diantaranya adalah Dr. dr. Marcel
Prasetyo, SP.RAD, dr. Vally Wulani, SP.RAD, dr. Benny Zukarnaein, SP.RAD,
31
dr. Birry Karim, SP.PD, dan dr. Yudianto Budi Saroyo, SP.OG. Selain itu, saat
ini juga berkembang beberapa platform digital layanan konsultasi yang memiliki
konsep konsultasi online dengan para dokter. Namun, salah satu hal yang perlu
diperhatikan, ialah platform digital itu bukan merupakan penyelenggara
pelayanan kesehatan, melainkan hanya sebuah platform yang merupakan
sarana untuk memudahkan pencarian atas layanan kesehatan. Hal ini juga
diungkapkan oleh dr. Irwan Heriyanto, MARS sebagai Chief of Medical
Halodoc, yang menjelaskan bahwa pada dasarnya aplikasi atau platform seperti
Halodoc adalah salah satu tech-health company, yang bukan merupakan
fasyankes penyelenggara, tetapi merupakan perusahaan teknologi yang
bergerak di bidang kesehatan. Sehingga, memiliki tujuan untuk
menghubungkan antara patients, payers, dan providers. Salah satu
permasalahan yang dapat timbul dari tidak adanya salah satu platform atau
aplikasi tersendiri dari pelayanan Telemedicine, adalah pengaruhnya terhadap
kerahasiaan data dan rekam medis dari seorang pasien, yang belum tentu dapat
dipastikan akan terjaga secara aman.
Tidak hanya itu, perbedaan antara platform penghubung atau penyedia jasa
dengan pelayanan atau penyelenggara telemedicine juga dapat dilihat pada
Pasal 12 ayat (2) dan
(3) Peraturan Menteri Kesehatan No. 20 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
yang menyatakan bahwa aplikasi telemedicine hanya yang disediakan oleh
Kementerian Kesehatan. Namun, dalam hal pelayanan Telemedicine
menggunakan aplikasi yang dikembangkan secara mandiri, aplikasi tersebut
harus teregistrasi di Kementerian Kesehatan.Keistimewaan yang
terdapat pada Program TEMENIN ini ialah merupakan satu-satunya layanan
Telemedicine yang dikembangkan langsung oleh Kementerian Kesehatan. Di
sisi lain, beragam aplikasi kesehatan dari sejumlah perusahaan memiliki model
bisnis, standar layanan, dan risiko yang sangat berbeda dengan Program
TEMENIN pemerintah. Kementerian Kesehatan juga mengembangkan aplikasi
32
kesehatan yang menjembatani konsumen berkonsultasi dengan rumah sakit
vertikal milik Kementerian Kesehatan, yaitu Sehatpedia, tentunya dengan
model bisnis dan tujuan layanan yang berbeda.
Selain itu, dalam penerapan Telemedicine di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo juga memiliki subyek yang sama dalam hukum kesehatan,
yaitu tenaga kesehatan atau tenaga medis (dokter, perawat), penerima
pelayanan kesehatan (pasien), dan istansi terkait kegiatan pelayanan kesehatan.
Tidak hanya itu, dalam penerapan Telemedicine, salah satu subyek lainnya
yang berperan penting ialah fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam pelayanan Telemedicine,
fasyankes terbagi menjadi dua, yaitu fasyankes pemberi konsultasi dan
fasyankes peminta konsultasi.
Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, salah satu layanan telemedis yang
paling sering digunakan adalah tele-konsultasi klinis. Telekonsultasi klinis
merupakan pelayanan konsultasi klinis jarak jauh untuk membantu menegakkan
diagnosis, dan/atau memberikan pertimbangan/saran tata laksana.
Telekonsultasi klinis tersebut dapat dilakukan secara tertulis, suara, dan/atau
video.Telekonsultasi klinis tersebut juga harus terekam dan tercatat dalam
rekam medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam
telekonsultasi klinis, terdapat tata cara konsultasi yang juga digunakan dalam
layanan telemedis lainnya, seperti teleradiologi, telekardiologi, dan
teleultrasonografi, yaitu dengan langkah-langkah berikut:
33
pasien. Dari semua penerapan layanan telemedis tersebut, maka layanan
telemedicine di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dapat dikatakan sudah
sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, yaitu Peraturan
Menteri Kesehatan No. 20 Tahun 2019, Surat Edaran Menteri Kesehatan No.
303 Tahun 2020, dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 74 Tahun
2020. Salah satu halnya seperti pengaturan mengenai persyaratan
bagi fasyankes untuk menyelenggarakan pelayanan Telemedicine yang
meliputi;
a) Sumber daya manusia
b) Sarana, prasarana, peralatan
c) Aplikasi
Berdasarkan persyaratan pertama, maka RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
sudah memenuhi persyaratan sumber daya manusia, yang terdiri dari dokter,
dokter spesialis/dokter subspesialis, tenaga kesehatan lain, dan tenaga lainnya
yang kompeten di bidang teknologi informatika. Hal ini dapat dilihat dari tiga
puluh dokter spesialis yang sudah bekerja sama dan terdaftar dalam Program
TEMENIN yang siap untuk membantu penerapan layanan Telemedicine. Selain
itu, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo juga sudah memenuhi persyaratan
selanjutnya, yaitu sarana, prasarana, dan peralatan, dilihat dari kesiapan
meliputi listrik, jaringan internet yang memadai, dan peralatan medis dan non-
medis yang menunjang pelayanan Telemedicine. Mengenai persyaratan
terakhir, yaitu aplikasi, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo juga sudah
memiliki aplikasi layanan telemedicine dari Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, yaitu Program TEMENIN. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
penerapan Telemedicine juga tetap harus memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, terutama dalam hal kewenangan ataupun
kompetensi praktik kedokteran yang dilakukan oleh para tenaga medis.
Dalam praktiknya, hal yang paling penting untuk dipenuhi oleh para dokter
apabila ingin menerapkan layanan Telemedicine, adalah keberadaan Surat
Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Keberadaan keduanya
34
penting sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (4) Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran
Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) di Indonesia, yaitu sebagai berikut;
Dokter dan Dokter Gigi yang melakukan Praktik Kedokteran
melalui Telemedicine harus mempunyai Surat Tanda Registrasi
dan Surat Izin Praktik di Fasyankes sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Selain itu, pengaturan mengenai hal serupa juga diatur dalam Surat Edaran
Menteri Kesehatan No. 303 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam
Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19),
yang menyatakan bahwa;
Pelayanan telemedicine merupakan pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh Dokter dengan menggunakan teknologi informasi
dan komunikasi untuk mendiagnosis, mengobati, mencegah,
dan/atau mengevaluasi kondisi kesehatan pasien sesuai dengan
kompetensi dan kewenangannya, yang dibuktikan dengan Surat
Tanda Registrasi (STR) dengan tetap memperhatikan mutu
pelayanan dan keselamatan pasien.
35
keberadaan STR dan/ataupun SIP, maka tenaga medis atau tenaga kesehatan
tersebut dapat dikenakan sanksi dalam ketentuan pidana praktik kedokteran
sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat
(1) dan Pasal 76 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, dimana dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki STR dan SIP dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Selain pentingnya STR dan SIP, dalam penerapan layanan telemedicine,
para dokter dan tenaga kesehatan lainnya juga harus selalu memerhatikan
penilaian kelayakan pasien atau kondisi kesehatan yang dapat dan tidak dapat
dilayani. Dalam hal hasil penilaian ditemukan pasien dalam kondisi gawat
darurat, memerlukan tindakan diagnostik, dan atau terapi, dokter dan dokter
gigi harus merujuk ke Fasyankes disertai dengan informasi yang relevan. Hal
ini karena, dalam penerapan telemedicine, kewenangan diagnosis atau
pemeriksaan fisik hanya dapat dilakukan secara terbatas yang dilakukan
melalui audiovisual. Sehingga, dalam keadaan darurat, pasien sebaiknya
langsung dirujuk ke rumah sakit tertentu atau ke Fasyankes bukan dengan
penerapan telemedicine.
Selanjutnya, pasien yang berobat melalui telemedicine wajib memberikan
persetujuan (general/informed consent) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan. Sama halnya dengan praktik kedokteran secara langsung
atau tatap muka, general/informed consent juga memiliki peran penting dalam
layanan telemedicine. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dijelaskan bahwa;
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
36
a) Diagnosis dan tata cara medis
b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c) Alternatif tindakan lain dan risikonya
d) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Dari pentingnya general/informed consent tersebut, maka pelayanan
telemedicine juga menjunjung tinggi pentingnya perjanjian atau transaksi
terapeutik, yang harus sejalan dengan syarat sah perjanjian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan
atau malpraktik perdata dalam praktiknya, maka dapat diterapkan
pertanggungjawaban perdata baik secara Wanprestasi (Pasal 1239
KUHPerdata) atau Perbuatan Melanggar Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).
Tidak hanya itu, salah satu hal penting lainnya dalam penerapan pelayanan
telemedicine juga dapat dilihat dari pentingnya rekam medis. Hal ini
disebutkan dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 303 Tahun 2020, yaitu;
Hasil pelayanan telemedicine dicatatkan dalam catatan digital
atau manual yang dipergunakan oleh Dokter sebagai dokumen
rekam medik dan menjadi tanggung jawab dokter, harus dijaga
kerahasiaannya, serta dipergunakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
37
pertanggungjawaban hukum dalam praktik kedokteran secara langsung/tatap
muka. Namun, karena dalam layanan telemedicine, dokter juga termasuk ke
dalam salah satu penyelenggara sistem elektronik sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (6) huruf a Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), maka selanjutnya kewajiban dokter sebagai
penyelenggara sistem elektronik adalah sebagai berikut;
1) Setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan
sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab
terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya
2) Penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan sistem elektroniknya
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik
Walaupun demikian, apabila pada praktiknya dokter sebagai penyelenggara
sistem elektronik menimbulkan kerugian terhadap pasien, maka sehubungan
dengan itu tanggung jawab dokter sebagai penyelenggara sistem elektronik
harus diberi batasan hanya mengenai tanggung jawab yang berhubungan
dengan kewajiban profesinya atau yang hanya berhubungan dengan bidang
kesehatan pada layanan medis online tersebut, misalnya transaksi terapeutik
melalui online yang apabila dilanggar dan pihak pasien mengalami kerugian
maka dasar tuntutan ganti kerugiannya didasarkan pada wanprestasi dan Pasal
38 ayat (1) UU ITE, yang menyatakan bahwa Setiap orang dapat mengajukan
gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau
menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan, tanggung jawab
hukum dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan online apabila pasien
mengalami kerugian, baik itu karena kesalahan yang telah dilakukan dokter
dalam keadaan lalai atau sikap tidak berhati-hati, maka pihak yang dirugikan
38
(pasien) harus membuktikan terlebih dahulu bahwa benar adanya kesalahan
dokter dalam memberikan pelayanannya. Namun, karena tindakan yang
dilakukan dokter pada layanan medis online sebagian besar hanya menyangkut
konsultasi online saja, maka akan lebih sulit untuk membuktikan terjadinya
kesalahan profesi dalam layanan medis online. Untuk mensiasati pencegahan
dari malpraktik tersebut, dalam praktiknya sebagian besar dokter, dokter gigi,
dan tenaga kesehatan lainnya yang sudah terdaftar dalam Program
Telemedicine Indonesia (TEMENIN) di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo juga sudah mendapatkan pelatihan-pelatihan yang telah
dilengkapi oleh Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis)
untuk menyiapkan cara-cara yang tepat dalam menangani kasus- kasus secara
online atau melalui layanan Telemedicine. Tidak hanya itu, untuk mencegah
malpraktik dalam pelaksanaannya para dokter dan tenaga kesehatan lainnya
juga berhak untuk menolak apabila terdapat kekurangan informasi konsultasi
mengenai pasien yang akan ditangani, dan berhak memastikan bahwa
pelayanan Telemedicine hanya dapat digunakan untuk kasus non-gawat darurat
atau khusus untuk pasien dalam tahap stabil.
39
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
40
malpraktik dapat ditempuh berdasarkan pertanggungjawaban perdata,
pertanggungjawaban pidana, dan pertanggungjawaban administratif. Hal ini
hampir sama dengan penerapan pertanggungjawaban dan perlindungan hukum
praktik kedokteran secara tatap muka, hanya saja dalam layanan online seperti
Telemedicine pada Era New Normal, perlu diperhatikan adanya prinsip
kesalahan pembatasan tanggung jawab (limitation of liability) sebagai dasar
tanggung jawab dokter agar dapat dibedakan apabila terdapat kesalahan yang
bukan disebabkan dari profesi dokter tersebut, tetapi jika terjadi kegagalan
sistem pada layanan medis online. Selain itu, dalam Program Telemedicine
Indonesia (TEMENIN) sendiri, terdapat penerapan prinsip kehati-hatian dengan
adanya Petunjuk Teknis (Juknis) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan
pelatihan-pelatihan yang harus ditempuh oleh Dokter dan Tenaga Kesehatan
lainnya sebelum melaksanakan pelayanan Telemedicine tersebut untuk
mencegah terjadinya suatu malpraktik.
SARAN
Dalam pelaksanaannya, Program Telemedicine Indonesia (TEMENIN) di
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo sudah memberikan banyak manfaat
dan dampak yang dapat meningkatkan akses kesehatan di Indonesia, terutama
pada masa pandemi COVID-
19. Sudah terdapat banyak Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes) lainnya seperti Puskesmas yang telah bekerja sama dalam
pelayanan Telemedicine, serta para dokter, dokter gigi, dan tenaga kesehatan
lainnya yang dapat memberikan pelayanan terbaik secara jarak jauh. Dari
berbagai manfaat tersebut, salah satu kendala dalam pelaksanaannya hanya
terdapat dalam hal pembiayaan (tarif) atau pendanaan dalam pelayanan
Telemedicine, dan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) dalam ruang
lingkup Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang sangat dibutuhkan
dalam menjalankan pelayanan Telemedicine. Selain itu, empat layanan
Telemedicine yang terdapat dalam Program TEMENIN di Rumah Sakit Dr.
41
Cipto Mangunkusumo, seperti teleradiologi, telekardiologi, teleultrasonografi,
dan telekonsultasi klinis, juga sudah meningkatkan akses upaya kesehatan
secara online yang bermanfaat bagi pencegahan penyebaran virus COVID-19,
sebagaimana salah satu tujuan dari pembangunan kesehatan sendiri, yaitu untuk
meningkatkan upaya kesehatan yang diatur dalam Pasal 1 Angka 11 Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Oleh karena itu, Pelayanan Telemedicine di Indonesia yang sudah
merupakan kunci dalam peningkatan pelayanan kesehatan sudah seharusnya
mendapatkan regulasi khusus atau undang-undang khusus mengenai
pengaturan pelayanan Telemedicine. Selain itu, dalam pelaksanaannya,
sebaiknya Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia juga meningkatkan peluang bagi para Sumber Daya Manusia (SDM)
di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk membantu
pelaksanaan pelayanan Telemedicine, serta menerapkan alokasi dana secara
jelas dalam meningkatkan pembiayaan atau pendanaan Telemedicine, dan
mendukung program-program Telemedicine dalam hal meningkatkan sarana,
prasarana, dan aplikasinya, dan yang terakhir terdapat badan/otoritas hukum
yang mengatur dan mengawasi layanan kesehatan melalui Telemedicine.
Terakhir, Dalam pembentukan pelayanan Telemedicine (Online Medical
Services), juga diharapkan untuk membuat suatu platform khusus untuk
pelayanan Telemedicine di Indonesia, yang dapat menjamin kerahasiaan
data dari para pasien yang telah menggunakan layanan Telemedicine
tersebut, dengan cara melibatkan kerjasama antara Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia. Hal ini karena, dalam praktiknya masih
terdapat beberapa ketidaksesuaian dalam aplikasi atau platform Telemedicine,
dikarenakan data-data dari para pasien bisa saja terdaftar di Rumah Sakit atau
Fasyankes yang bersangkutan, di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
maupun beberapa terdapat juga di Kementerian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan bahwa Pemerintah, dalam hal
42
ini Kementerian Kesehatan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika
dapat membuat satu pintu khusus untuk masuknya para data pasien yang patut
dijaga kerahasiaannya.
43
DAFTAR PUSTAKA
Guwandi. Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1999.
44