Anda di halaman 1dari 72

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA

BALITA DI DESA PAYAMAN KECAMATAN MEJOBO KABUPATEN KUDUS

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan


Pendidikan Diploma III Kebidanan

Oleh :
1. Afifah Qomariyah 2015401001
2. Mita Faridatun Ni’mah 2015401011
3. Rohmatul Munazilah 2015401016
4. Siti Wisma Ikromah 2015401017

AKADEMI KEBIDANAN MUSLIMAT NU KUDUS


TAHUN 2023
HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA
BALITA DI DESA PAYAMAN KECAMATAN MEJOBO KABUPATEN KUDUS

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan


Pendidikan Diploma III Kebidanan

Oleh :
1. Afifah Qomariyah 2015401001
2. Mita Faridatun Ni’mah 2015401011
3. Rohmatul Munazilah 2015401016
4. Siti Wisma Ikromah 2015401017

AKADEMI KEBIDANAN MUSLIMAT NU KUDUS


TAHUN 2023
HALAMAN PERSETUJUAN

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA


BALITA DI DESA PAYAMAN KECAMATAN MEJOBO KABUPATEN KUDUS

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :
1. Afifah Qomariyah 2015401001
2. Mita Faridatun Ni’mah 2015401011
3. Rohmatul Munazilah 2015401016
4. Siti Wisma Ikromah 2015401017

Pembimbing Nama Tanda Tangan

Pembimbing I Syafrida Ainur, M.Tr.Keb ----------- -----------


NIDN. 0605049601
Pembimbing II Rina Novita, S.SiT., M.Kes ----------- -----------
NIDN. 0601118801

Telah dinyatakan memenuhi syarat untuk diseminarkan


pada tanggal ............……........ 2023

Direktur
AKBID Muslimat NU Kudus

Tiara Fatma Kumala, S.ST., M.PH.

ii
NIDN. 0607069101

HALAMAN PENGESAHAN

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA


BALITA DI DESA PAYAMAN KECAMATAN MEJOBO KABUPATEN KUDUS

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :
1. Afifah Qomariyah 2015401001
2. Mita Faridatun Ni’mah 2015401011
3. Rohmatul Munazilah 2015401016
4. Siti Wisma Ikromah 2015401017

Telah dipertahankan di depan penguji dan dinyatakan memenuhi syarat pada


tanggal ............……........ 2023

Penguji Nama Tanda Tangan

Penguji I Indayana Setiawati, S.ST., M.Kes -------------


NIDN. 0622108902
Penguji II Syafrida Ainur, M.Tr.Keb -------------
NIDN. 0605049601
Penguji III Rina Novita, S.SiT., M.Kes -------------
NIDN. 0601118801

Mengetahui,
Direktur
AKBID Muslimat NU Kudus

iii
Tiara Fatma Kumala, S.ST., M.PH.
NIDN. 0607069101

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Proposal Penelitian dengan judul. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung:
1. Ibu Tiara Fatma Kumala, S.ST., M.PH. selaku Direktur Akademi Kebidanan
Muslimat NU Kudus
2. Ibu Syafrida Ainur, M.Tr.Keb selaku pembimbing I yang telah membimbing penulis
dalam penyusunan Proposal Penelitian ini.
3. Ibu Rina Novita, S.SiT., M.Kes. selaku pembimbing II yang telah membimbing
penulis dalam penyusunan Proposal Penelitian ini.
4. Ny. R dan keluarga yang telah bersedia menjadi pasien dalam penulisan proposal
karya tulis ilmiah ini
5. Kedua orang tua dan teman-teman yang telah memberikan doa dan dukungan
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal karya tulis ilmiah ini masih
banyak kekurangan. Penulis mengharap saran dan kritik yang membangun dari
pembaca agar penulis bisa lebih baik lagi dalam pembuatan karya tulis ilmiah
berikutnya. Semoga proposal karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
utamanya bagi penulis sendiri.

Kudus, April 2023

Peneliti

v
DAFTAR ISI
Contents
HUBUNGAN...................................................................Error! Bookmark not defined.

HALAMAN PERSETUJUAN...........................................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................iii

BAB I............................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN............................................................................................................ 1

Latar Belakang Masalah.............................................................................................1

vi
DAFTAR TABEL

vii
DAFTAR SINGKATAN

viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan anak adalah sejauh mana individu atau kelompok anak mampu
untuk mengembangkan dan menyadari potensi, memuaskan kebutuhan, dan
mengembangkan kapasitas yang memungkinkan mereka untuk berhasil berinteraksi
dengan lingkungan biologis, lingkungan fisik, dan sosial (Koetaan D., et al, 2018).
Kesehatan optimal dipengaruhi oleh perkembangan kesehatan fisik dan
mental. Tingkat kesehatan optimal anak dapat diakses dengan dukungan imunisasi,
riwayat pemberian ASI, dan nutrisi yang baik. Kesehatan yang kurang optimal dapat
menyebabkan morbiditas hingga mortalitas anak (Zhang N., et al, 2018). Akibat jika
nutrisi tidak terpenuhi dengan baik, maka akan berdampak pada malnutrisi pada anak
hingga kematian (Napitupulu, 2018).
Angka kematian balita adalah kemungkinan seorang anak yang lahir pada
tahun atau periode tertentu akan meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun,
dinyatakan per 1.000 kelahiran hidup (World Health Organization, 2018). Pada tahun
2021, secara global angka kematian balita adalah 38 kematian per 1.000 kelahiran
hidup (United Nations Children’s Fund, 2023).
Pada tahun 2022, Indonesia memiliki angka kematian balita sebanyak 19,83
per 1.000 kelahiran hidiup yang bermakna bahwa dari setiap 1.000 anak yang lahir ada
19 anak yang meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun kematian akibat stunting
(SSGI, 2022).

Angka kematian balita di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2021 sebesar 9,0
per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan pada tahun 2022 turun menjadi 8,2 per 1.000
kelahiran hidup. Salah satu penyebab adanya kejadian kematian pada balita adalah
malnutrisi atau gizi buruk (Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2022).
Malnutrisi adalah kondisi kesehatan akibat mengonsumsi makanan yang
mengandung kalori, karbohidrat, vitamin, protein, atau mineral yang tidak mencukupi
atau terlalu banyak (Davis, J.N, et al., 2020). Keadaan tersebut dibuktikan dengan
kekurangan atau kelebihan nutrisi penting (Abate, K.H., et al, 2019).
Malnutrisi pada balita merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara
ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan makanan dan pelayanan kesehatan
(Drammeh W., et al, 2019). Malnutrisi akut dapat menyebabkan morbiditas, mortalitas

1
2

dan kecacatan, serta gangguan perkembangan kognitif dan fisik dengan peningkatan
risiko infeksi bersamaan (Wali N., et al, 2019).
Menurut laporan WHO (2020), sekitar 47 juta anak mengalami gizi kurang dan
14,3 juta gizi buruk, sementara 38,3 juta kelebihan berat badan atau obesitas. Menurut
Survei Demografi dan Kesehatan Afrika Selatan, tingkat prevalensi gizi kurang
ditemukan sebesar 2,5 % dan gizi buruk sebesar 6 %. Sekitar 45 % kematian yang
dilaporkan di antaranya balita terkait dengan kekurangan gizi (SADHS, 2016).
Malnutrisi sering terjadi pada balita karena usia mereka yang masih rentan
terhadap penyakit dan fungsi alat pencernaan yang belum sempurna, sehingga
mengakibatkan banyak kasus malnutrisi yang terjadi pada balita. Salah satu bentuk
malnutrisi adalah stunting (Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2016).
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia  Nomor 72 Tahun 2021,
stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan
gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya di
bawah standar yang sudah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan (Permenkes RI, 2021). Sedangkan
pengertian stunting menurut Kemenkes RI (2018) adalah anak balita dengan nilai z-
scorenya kurang dari -2.00 SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3.00 SD
(severely stunted) Kemenkes RI (2018).
Pada tahun 2020, secara global sekitar 22,0 % atau sebanyak 149,2 juta
balita mengalami stunting (WHO, 2021). Prevalensi stunting di Indonesia tahun 2022
adalah sebesar 21,6 %. Sedangkan angka stunting pada balita di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2022 yaitu sebesar 20,8 %. Sementara di Kabupaten Kudus sebesar
19,0 % (Survei Status Gizi Indonesia, 2022).
Stunting dalam jangka pendek akan berdampak terhadap pertumbuhan fisik
yaitu tinggi anak di bawah rata-rata anak seusianya. Selain itu, juga berdampak pada
perkembangan kognitif dikarenakan terganggunya perkembangan otak sehingga dapat
menurunkan kecerdasan anak (Kemenkes RI, 2022). Dampak jangka panjang
stunting akan menyebabkan anak menjadi rentan terjangkit  penyakit seperti penyakit
diabetes, obesitas, penyakit jantung, pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas di
usia tua. Selain itu, dampak jangka panjang bagi anak yang menderita stunting adalah
berkaitan dengan kualitas SDM suatu negara (Kemenkes RI, 2022).
Faktor penyebab stunting pada balita salah satunya yaitu asupan nutrisi yang
tidak sesuai seperti tidak diberikannya ASI eksklusif pada usia 0-6 bulan (Unicef
Framework, 2017) Menurut WHO, stunting dapat dicegah melalui upaya pertolongan
3

persalinan yang terampil, perawatan pasca kelahiran, vaksinasi, menyusui dan nutrisi
yang memadai, serta pemberian ASI eksklusif (WHO, 2021).
ASI eksklusif adalah ketika bayi hanya menerima ASI, tidak ada cairan atau
makanan padat lain yang diberikan - bahkan air, kecuali larutan rehidrasi oral, atau
tetes/sirup vitamin, mineral atau obat-obatan dari usia 0 sampai 6 bulan (WHO, 2016).
ASI mengandung protein yang kualitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan susu sapi karena kandungan asam amino lebih lengkap yang baik untuk
membantu meningkatkan perkembangan otak pada bayi. ASI juga tinggi karbohidrat
yang didalamnya terdapat laktosa sebesar 42 % untuk mencegah pertumbuhan bakteri
jahat dan melancarkan pencernaan dan penyerapan kalsium serta mineral (WHO,
2018).
Tinggi kandungan lemak berfungsi untuk menunjang perkembangan otak bayi
selama awal kehidupan. Terdapat juga kandungan karnitin dan vitamin berfungsi untuk
membangun sistem antibody tubuh dan menyediakan energi yang dibutuhkan bayi
untuk metabolisme tubuhnya (WHO, 2018).
Manfaat ASI bagi bayi yaitu ASI memberikan nutrisi ideal untuk bayi, ASI lebih
mudah dicerna dari pada susu formula, ASI mengandung kolostrum yang kaya
antibody untuk proteksi lokal pada permukaan saluran pencernaa, membantu ikatan
batin ibu dengan bayi, meningkatkan kecerdasan anak (Kemenkes RI, 2022).
ASI eksklusif selama 6 bulan akan menjamin tercapainya pengembangan
potensi kecerdasan anak secara optimal karena ASI mengandung nutrien khusus yang
diperlukan otak. Bayi yang diberi ASI lebih berpotensi mendapatkan berat badan ideal.
Menyusui dapat mencegah Sudden Infant Death Syndrome (SIDS), dapat menurunkan
risiko diabetes, obesitas, dan kanker tertentu (Kemenkes RI, 2022).
WHO dan UNICEF (2018), merekomendasikan ASI eksklusif selama 6 bulan
pertama kehidupan. Menurut Victoria C.G., et al (2016), pemberian ASI yang optimal
sangat penting sehingga dapat menyelamatkan nyawa lebih dari 823.000 balita setiap
tahun (Victoria C.G., et al, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti et.al (2019), menyatakan bahwa anak
yang tidak diberikan ASI eksklusif memiliki risiko 19,5 kali lebih besar untuk untuk
mengalami kejadian stunting. Penelitian ini juga menyatakan bahwa ASI eksklusif
dapat mencegah dari penyakit infeksi dikarenakan ASI dapat difungsikan sebagai anti
infeksi sehingga dapat mencegah dan menurunkan risiko kejadian stunting pada balita
(Yuniarti et.al, 2019).
4

Hal ini didukung oleh penelitian Gibney (2019) yang menyatakan bahwa
pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dapat menghasilkan pertumbuhan
tinggi badan yang optimal karena pada usia 0 – 6 bulan pertama bayi akan cepat
dalam memasuki fase pertumbuhan, sehingga bayi yang diberi ASI eksklusif akan
mampu memiliki kesehatan yang baik pada pertumbuhannya (Gibney et.al, 2019).
Penelitian oleh Kuchenbecker J, et al (2015) menemukan bahwa rata-rata Z-
score panjang-untuk-usia pada bayi yang disusui secara eksklusif secara signifikan
lebih tinggi daripada mereka yang tidak disusui secara eksklusif. Hal ini juga dapat
dijelaskan bahwa pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini akan meningkatkan
risiko stunting pada anak (Khasanah D.P. et al, 2016).
Hal ini didukung oleh penelitian Ni’mah dan Nadhiroh (2014) dengan nilai OR=
3,7 (CI 95%; 1,740-7,940) artinya balita dengan ASI eksklusif dapat menurunkan
kejadian stunting dibandingkan balita dengan ASI tidak eksklusif (Ni’mah dan
Nadhiroh, 2014).
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Rahmad dan Miko (2016)
bahwa tidak memberikan ASI eksklusif menyebabkan terjadinya stunting pada balita,
sekaligus bahwa tidak memberikan ASI eksklusif menjadi faktor dominan sebagai
penyebab resiko anak mengalami stunting (Rahmad dan Miko, 2016).
Penelitian oleh Campos, A.P., et al (2020) menemukan bahwa praktik
menyusui merupakan faktor protektif terhadap stunting. Namun dalam kaitannya
dengan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, studi oleh Uwiringiyimana V., et al
(2019) tidak menemukan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan dibandingkan
dengan anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Hal ini dipengaruhi oleh asupan
gizi dari MP-ASI, pemberian ASI eksklusif, dan pemberian obat cacing (Uwiringiyimana
V., et al, 2019).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan
Kejadian Stunting di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus.

B. Rumusan Masalah
1. Rumusan Masalah Umum
Apakah ada hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting
pada balita di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus ?
2. Rumusan Masalah Khusus
5

a. Bagaimana gambaran pemberian ASI eksklusif pada balita di Desa Payaman


Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus ?
b. Bagaimana gambaran kejadian stunting pada balita di Desa Payaman
Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus ?
c. Apakah ada hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting pada
balita di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
Stunting pada balita di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran pemberian ASI eksklusif pada balita di Desa
Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus.
b. Untuk mengetahui gambaran kejadian stunting pada balita di Desa Payaman
Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus.
c. Untuk mengetahui hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian Stunting
pada balita di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan pengalaman
yang berkaitan dengan hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting
pada balita
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan masukan, pengembangan pengetahuan dan informasi bagi Akademi
Kebidanan Muslimat NU Kudus tentang hubungan pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian stunting pada balita
3. Bagi Peneliti Lain
Sebagai bahan masukan dan referensi dalam rangka melaksanakan penelitian
selanjutnya yang sama
4. Bagi Responden
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah kepatuhan, pengetahuan dan
pengalaman bagi ibu yang memiliki balita di seluruh Indonesia
5. Bagi Masyarakat Umum
6

Diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai bahan informasi untuk


meningkatkan pemberian ASI ekslusif agar tidak stunting
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Balita
a. Pengertian balita
Balita adalah bayi yang berada pada rentang usia 0-5 tahun.
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. 7 perkembangan dan pertumbuhan di masa ini menjadi penentu
keberhasilan pertumbuhan perkembangan anak di periode selanjutnya
(Reni, 2019).
Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang
berlangsung cepat dan disebut golden age atau masa keemasan dan pada
masa ini harus mendapatkan stimulasi secara menyeluruh baik kesehatan,
gizi, pengasuhan dan pendidikan (Reni, 2019).
Pada masa ini, kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan
terdapatnya kemauan dalam perkembangan motorik (gerak dasar dan
gerak halus) serta fungsi ekskresi (pembuangan) (Kemenkes RI, 2016).
Setelah lahir, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan,
pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak masih berlangsung, dan
menjadi pertumbuhan serabut-serabut saraf dan cabangnya. Sehingga
terbentuk jaringan saraf dan otak yang kompleks, ini akan sangat
memengaruhi kinerja otak, mulai dari kemampuan belajar, berjalan,
berbicara dan bersosialisasi (Kemenkes RI, 2016).
b. Karakteristik balita
Berdasarkan karakteristiknya, balita usia 1 – 5 tahun dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu anak lebih dari 1 – 3 tahun yang dikenal
dengan “balita” dan anak usia lebih dari 3 tahun sampai 5 tahun yang
dikenal dengan usia “prasekolah” (Irianto, 2014).
Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak
usia 1- 3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah. Anak-anak usia 1-3
tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari
apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar
dari masa usia prasekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang
relatif. Namun perut yang masih kecil menyebabkan jumlah makanan yang
mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya

7
8

lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil
dengan frekuensi sering (Reni, 2019)
Pada masa usia prasekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka
sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai
bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah play group sehingga anak
mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan
mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan
“tidak” terhadap setiap ajakan. pada masa ini berat badan anak cenderung
mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan
pemilihan maupun penolakan terhadap makanann (Reni, 2019).
Menurut Snowman anak usia pra sekolah adalah anak usia 3-6
tahun yang merupakan 8 sosok individu, makhluk sosial cultural yang
sedang mengalami suatu proses perkembangan yang sangat fundamental
bagi kehidupan selanjutnya dengan memiliki sejumlah potensi dan
karakteristik tertentu (Reni, 2019)
Anak usia 1 – 3 tahun merupakan konsumen pasif yang artinya
anak memperoleh makanan berawal atas apa yang diberikan oleh orang
tua (Septiari, 2018).
c. Tumbuh kembang balita
Tumbuh kembang merupakan manifestasi yang lengkap dari
peralihan biokimia, marfologi, dan fisiologi yang terbentuk semenjak
konsepsi sampai maturitas/dewasa (Soetjiningsih, 2016). Istilah tumbuh
kembang mencakup 2 keadaan yang karakternya berbeda, akan tetapi
saling berhubungan dan rumit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan
perkembangan per definisi adalah sebagai berikut:
1) Pertumbuhan
Pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat
kuantitatif, yaitu bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat
sel, organ, maupun individu (Soetjiningsih, 2016).
Anak tidak hanya bertambah besar secara fisik, akan tetapi
juga meliputi ukuran dan struktur organ tubuh dan otak. Sebagai
contoh, anak mempunyai kapasitas yang lebih besar untuk belajar,
mengingat, dan mempergunakan akalnya adalah hasil dari
pertumbuhan otak. Jadi anak tumbuh baik secara fisik maupun mental
(Soetjiningsih, 2016).
9

Pertumbuhan fisik diperhitungkan dengan ukuran panjang (cm,


meter), ukuran berat (gram, pound, kilogram), umur tulang dan tanda-
tanda seks sekunder (Soetjiningsih, 2016).
2) Perkembangan
Perkembangan (development) adalah perubahan yang bersifat
kuantitatif dan kualitatif (Soetjiningsih, 2016). Bertambahnya keahlian
(skill) struktur dan fungsi organ yang lebih kompleks, dalam sistem atau
pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai pengaruh dari proses
pematangan adalah definisi dari perkembangan (Soetjiningsih, 2016).
Perkembangan menyangkut metode pembedaan sel tubuh,
jaringan tubuh, organ tubuh, dan sistem organ yang berkembang
secara sempurna sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.
Termasuk juga perkembangan kognitif, bahasa, motorik, emosi, dan
perkembangan perilaku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya
(Soetjiningsih, 2016).
Perkembangan merupakan perubahan yang bersifat, terarah,
dan terpadu/koheren. Progresif berisi arti maka perubahan atau
perkembangan yang timbul mempunyai tujuan khusus dan mengarah
maju atau tumbuh ke depan dan tidak akan kembali mundur ke
belakang (Soetjiningsih, 2016).
d. Pertumbuhan normal anak
1) Perubahan berat badan
Pada usia 0 – 6 bulan, berat bayi bertambah 682 gram per
bulan. Berat badan lahir bayi meningkat dua kali lipat ketika usia 5
bulan. Antara usia 6 – 12 bulan berat bayi bertambah 341 gram per
bulan. Berat lahir bayi meningkat tiga kali lipat saat berusia 12 bulan
dan akan menjadi empat kali berat badan lahir pada umur 2 tahun.
Pada masa pra sekolah kenaikan berat badan rata-rata 2 kg/tahun.
Kenaikan berat badan anak pada tahun pertama kehidupan jika
mendapat gizi yang baik berkisar sebagai berikut:
a) 700 – 1000 gram/bulan pada triwulan
b) 500 – 600 gram/bulan pada triwulan I
c) 350 – 450 gram/bulan pada triwulan III
d) 250 – 350 gram/bulan pada triwulan IV
(Adriana, 2013).
10

2) Perubahan tinggi badan


Tinggi badan rata-rata pada waktu lahir adalah 50 cm.
Secara garis besar, tinggi badan anak dapat diperkirakan sebagai
berikut:
a) 1 tahun 1,5 × TB lahir
b) 4 tahun 2 × TB lahir
c) 6 tahun 1,5 × TB lahir
d) 13 tahun 3 × TB lahir
e) Dewasa 3,5 × TB lahir (2 × TB 2 tahun)
Rumus prediksi tinggi akhir anak sesuai dengan potensi
genetic berdasarkan data tinggi badan orangtua, dengan asumsi
bahwa semuanya tumbuh optimal sesuai dengan potensinya adalah
sebagai berikut:
TB anak perempuan = (TB ayah – 13 CM) + TB Ibu
2
TB anak laki - laki = (TB ayah − 13 CM) + TB Ibu
2
*hasil koreksi + 8,5 cm.
3) Lingkar kepala atau lingkar fronto-oksipital (LFO)
Lingkar kepala pada waktu lahir rata-rata 34 cm. Antara
usia 0-6 bulan, lingkar kepala bertambah 1,32 cm per bulan, antara
usia 6 dan 12 bulan lingkar kepala meningkat 0,44 cm per bulan,
lingkar kepala meningkat sepertiganya dan berat otak bertambah 2,5
kali dari berat lahir. Pada umur 6 bulan lingkar kepala rata-rata
adalah 44 cm, umur 1 tahun 47 cm, umur 2 tahun 49 cm, dan
dewasa 54 cm (Adriana, 2013).
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang
Secara umum terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh
kembang anak menurut Soetjiningsih (2016), yaitu:
1) Faktor genetik
Faktor genetik merupakan bekal dasar dan memiliki
kedudukan pertama untuk memperoleh hasil akhir proses tumbuh
kembang anak. Pertumbuhan ditandai oleh kekuatan atau ketangguhan
dan kecepatan atau kecekapan pembelahan, status sensitivitas
jaringan yang akan rangsangan, umur pubertas, dan berakhirnya
11

pertumbuhan tulang. Faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis


kelamin, suku bangsa atau bangsa merupakan faktor genetik
(Soetjiningsih, 2016).
2) Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan komponen yang sangat memastikan
berhasil tidaknya potensi atau kemampuan genetik. Lingkungan yang
baik atau bermutu akan memungkinkan tercapainya potensi genetik,
sedangkan lingkungan yang tidak baik akan menghambatnya.
Lingkungan ini merupakan lingkungan biofisikopsikososial yang
mempengaruhi seseorang setiap hari, sejak dari konsepsi sampai ujung
jiwanya. Faktor lingkungan postnatal yang berpengaruh terhadap
tumbuh kembang terdiri dari (Soetjiningsih, 2016):
a) Lingkungan biologis
(1) Ras/etnik atau bangsa
Ras/etnik dari suatu bangsa tidak akan berubah menjadi
ras/etnik bangsa lain. Seperti ras Amerika tidak akan menjadi ras
Indonesia. Pertumbuhan somatik dipengaruhi oleh ras/suku
bangsa. Bangsa/ras Eropa mempunyai pertumbuhan somatik
lebih tinggi daripada bangsa Asia (Soetjiningsih, 2016).
(2) Jenis kelamin
Fungsi reproduksi pada anak perempuan berkembang
lebih cepat daripada laki-laki. Tetapi setelah melewati
masa pubertas, pertumbuhan anak laki-laki akan lebih cepat
(Soetjiningsih, 2016).
(3) Umur
Umur anak akan berpengaruh terhadap kecepatan
pertumbuhan anak. Anak usia balita akan tumbuh lebih cepat dari
dewasa. Umur yang paling rawan adalah umur satu tahun
pertama, karena pada masa itu anak sangat rentan terhadap
penyakit dan sering terjadi kurang gizi (Soetjiningsih, 2016).
(4) Gizi
Untuk tumbuh kembang balita, diperlukan zat makanan
yang adekuat. Gizi yang buruk akan berdampak pada
keterlambatan perkembangan (Soetjiningsih, 2016).
12

(5) Perawatan kesehatan


Mencakup pemeriksaan kesehatan, imunisasi, skrining
dan deteksi dini gangguan tumbuh kembang, stimulasi dini, serta
pemantauan tumbuh kembang (Soetjiningsih, 2016).
(6) Kerentanan terhadap penyakit
Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan
memberikan gizi yang baik, meningkatkan sanitasi, dan
memberikan imunisasi (Soetjiningsih, 2016).
(7) Penyakit kronis/kelainan bawaan
Yakni keadaan yang perlu perawatan terus menerus,
tidak hanya penyakit tetapi juga kelainan perkembangan. Anak
dengan kondisi kesehatan kronis sering mengalami gangguan
tumbuh kembang dan gangguan pendidikannya (Soetjiningsih,
2016).
(8) Fungsi metabolisme
Terdapat perbedaan proses metabolisme yang
mendasar diantara berbagai jenjang umur, maka kebutuhan akan
berbagai nutrient harus didasari atas perhitungan yang tepat atau
memadai sesuai tahapan umur (Soetjiningsih, 2016).
(9) Hormon
Hormon-hormon yang berpengaruh terhadap tumbuh
kembang antara lain adalah growth hormone, tiroid, hormon seks,
insulin, Insulin-like growth factors (IGFs), dan hormon yang
dihasilkan kelenjar adrenalin (Soetjiningsih, 2016).
(10) Lingkungan fisik dan kimia
Lingkungan sering disebut milieu adalah tempat anak
tersebut hidup yang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar
anak (provider). Sanitasi lingkungan yang kurang baik, kurangnya
sinar matahari, paparan sinar radio aktif, zat kimia tertentu
(mercuri, rokok, dll) mempunyai dampak yang negatif terhadap
pertumbuhan anak (Soetjiningsih, 2016).
b) Faktor fisik
(1) Cuaca, musim, dan keadaan geografis
Musim kemarau yang panjang, banjir, gempa bumi, atau bencana
alam lainnya dapat berdampak tumbuh kembang anak, sebagai
13

akibat kurangnya ketersediaan pangan dan meningkatnya wabah


penyakit (Soetjiningsih, 2016).
(2) Sanitasi
Kebersihan baik perorangan maupun lingkungan
memegang peranan penting dalam menimbulkan penyakit.
Sedangkan anak yang sering menderita sakit pasti tumbuh
kembangnya terganggu (Soetjiningsih, 2016).
(3) Keadaan rumah
Keadaan suatu rumah akan menjamin kesehatan
penghuninya (Soetjiningsih, 2016).
(4) Radiasi
Tumbuh kembang anak dapat terganggu akibat adanya
radiasi tinggi. Paparan radium dan sinar roentgen dapat
mengakibatkan kelainan pada janin seperti mikrosefali, spina
bifida, retardasi mental dan deformitas anggota gerak, kelainan
bawaan mata, kelainan jantung (Soetjiningsih, 2016).
c) Faktor psikososial
(1) Stimulasi
Anak dapat mendapatkan stimulasi yang terarah dan
teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak
yang kurang/tidak mendapatkan stimulasi. Stimulasi juga akan
mengoptimalkan potensi generik yang dipunyai anak
(Soetjiningsih, 2016).
(2) Motivasi belajar
Motivasi belajar dapat ditimbulkan sejak dini dengan
memberikan lingkungan yang kondusif untuk belajar
(Soetjiningsih, 2016).
(3) Ganjaran atau hukuman
Ganjaran dapat menimbulkan motivasi yang kuat bagi
anak untuk mengulangi tingkah laku yang baik, sementara
menghukum dengan cara yang wajar jika anak berbuat salah
masih dibenarkan. Anak diharapkan tahu mana yang baik,
sehingga dapat timbul rasa percaya diri pada anak yang penting
untuk perkembangannya (Soetjiningsih, 2016).
14

(4) Kelompok sebaya


Anak memerlukan teman sebaya untuk bersosialisasi
dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 2016).
(5) Stres
Anak yang mengalami stres akan menarik diri, rendah
diri, gagap, nafsu makan menurun, dan bahkan bunuh diri
(Soetjiningsih, 2016).
(6) Sekolah
Pendidikan yang baik dapat meningkatkan taraf hidup
anak kelak (Soetjiningsih, 2016).
(7) Cinta dan kasih sayang
Anak memerlukan kasih sayang dan perlakuan yang
adil dari orangtua agar tidak menjadi anak yang sombong dan
dapat memberikan kasih sayang kelak (Soetjiningsih, 2016).
(8) Kualitas interaksi dengan orangtua
Interaksi dengan orangtua akan menimbulkan
keakraban dan keterbukaan. Interaksi tidak ditentukan oleh
lamanya waktu tetapi kualitas interaksi. Kualitas interaksi adalah
pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya
optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi oleh
rasa saling menyayangi (Soetjiningsih, 2016).
d) Faktor adat dan istiadat
(1) Pekerjaan/pendapatan keluarga
Pekerjaan/pendapatan keluarga yang memadai akan
menunjang perkembangan anak, karena orangtua dapat
menyediakan kebutuhan dasar anak. Status sosial ekonomi yang
rendah dapat dilihat dari pendapatan yang rendah (Soetjiningsih,
2016).
Status ekonomi rendah berhubungan dengan
kemampuan dalam menyediakan makanan yang bergizi, tingkat
pendidikan ibu yang rendah, tingkat stres yang tinggi dan
stimulasi yang tidak adekuat di rumah (Soetjiningsih, 2016).
(2) Pendidikan ayah/ibu
Pendidikan orangtua yang baik akan mempengaruhi
penerimaan informasi seputar perkembangan anak. Terutama
15

informasi mengenai bagaimana cara pengasuhan yang baik,


cara menjaga kesehatan anak, serta cara mendidik anak.
Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan semakin baik
perkembangan anak (Soetjiningsih, 2016).
Pendidikan ibu yang rendah menpunyai risiko untuk
terjadinya keterlambatan perkembangan anak, disebabkan ibu
belum tahu cara memberikan stimulasi perkembangan anaknya.
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi lebih terbuka untuk
mendapatkan informasi dari luar tentang cara pengasuhan anak
yang baik, menjaga keseharan, dan pendidikan anak
(Soetjiningsih, 2016).
(3) Jumlah saudara
Jumlah anak yang banyak dapat menyebabkan
berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima anak,
lebih-lebih jika jarak kelahiran anak terlalu dekat (Soetjiningsih,
2016).
(4) Jenis kelamin dalam keluarga
Pada masyarakat tradisional perkembangan anak
perempuan akan lebih terhambat jika dibandingkan anak laki-
laki, dikarenakan pandangan status perempuan yang lebih
rendah dibandingkan laki-laki. Stabilitas rumah tangga,
perkembangan anak pada keluarga yang harmonis akan
berbeda jika dibandingkan perkembangan anak pada keluarga
yang kurang harmonis (Soetjiningsih, 2016).
(5) Kepribadian ayah/ibu
Kepribadian orangtua yang terbuka akan mempunyai
pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan anak jika
dibandingkan mereka yang mempunyai kepribadian tertutup
(Soetjiningsih, 2016).
(6) Pola pengasuhan
Anak yang dibesarkan dengan pola pengasuhan
permisif akan cenderung menjadi anak yang kurang tanggung
jawab, mempunyai kendali emosi yang buruk, dan berprestasi
rendah (Soetjiningsih, 2016).
16

Sementara itu, anak yang dibesarkan dengan pola


pengasuhan yang demokratis mempunyai penyesuaian pribadi
dan sosial yang lebih baik, mandiri, dan bertanggung jawab
(Soetjiningsih, 2016).
(7) Adat istiadat
Adat istiadat, norma, dan tabu yang ada di masyarakat
akan mempengaruhi perkembangan anak (Soetjiningsih, 2016).
(8) Agama
Pengajaran agama harus ditanamkan pada anak sedini
mungkin, sehingga tidak hanya perkembangan intelektual dan
emosi yang baik, tetapi juga perkembangan moral
etika/spiritualnya (Soetjiningsih, 2016).
(9) Urbanisasi
Dampak urbanisasi salah satunya adalah kemiskinan
yang nantinya akan berdampak pada perkembangan anak
(Soetjiningsih, 2016).
(10) Kehidupan politik
Anggaran untuk kesehatan dan pendidikan anak
ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Anak selayaknya
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam rangka
mendukung proses perkembangan anak (Soetjiningsih, 2016).
d. Tanda bahaya pada balita
Tanda bahaya menurut buku KIA (2020)
1) Diare
Menurut World Health Organization (WHO) penyakit diare
didefinisikan sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan
bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan
bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasanya yaitu
3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan
muntah atau tinja yang berdarah (Saputri, N. et.al. 2019).
Menurut Nelwan (2014), penyebab diare diantaranya terjadi
karena infeksi bakteri, virus, dan parasit.
2) Demam/panas tinggi
17

Demam adalah proses alami tubuh untuk melawan infeksi


yang masuk ke dalam tubuh ketika suhu meningkat melebihi suhu
tubuh normal (>37,5°C) (Hartini, 2015).
Suhu tubuh normal 36,5 -37,5 C. Hipertermia adalah
ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan panas maupun
mengurangi produksi panas akibat dari peningkatan suhu (Ribek et al.,
2018).
Penyebab Demam dengan peningkatan suhu yaitu Infeksi
(virus, jamur, bakteri, parasit), Reaksi radang paskaoperasi. Penyebab
demam tanpa perubahan suhu yaitu Gangguan hormon, metabolisme,
penggunaan obat-obatan,suhu lingkungan.
3) Muntah-muntah
Penyebab muntah yaitu infeksi virus, bakteri, parasit di saluran
pencernaan atau gastroenteritis (Kemenkes RI, 2020)
4) Tampak biru (sianosis)
Sianosis adalah kondisi perubahan warna kulit menjadi kebiruan
yang terjadi pada jari tangan atau kaki, kuku, bibir, dan selaput lendir.
Penyebab sianosis yaitu Paparan suhu dingin, gangguan pada
paru-paru, gangguan pada jalan napas, gangguan pada jantung,
penyakit arteri perifer (Buku Ilmu Kesehatan Anak, 2020).
5) Pembengkakan yang nyeri di belakang telinga
Penyebab pembengkakan di belakang telinga yaitu infeksi
tenggorokan, virus pilek atau flu, mononukleosis, otitis, konjungtivitis,
herpes, radang gusi, atau campak. perifer (Buku Ilmu Kesehatan Anak,
2020).
6) Perdarahan di hidung/kulit/BAB
Penyebab perdarahan di hidung akibat alergi karena jaringan
sangat tipis sekali, benturan, pukulan, bahkan bersin dengan tekanan
kuat, keganasan yang menyebabkan perdarahan dan trauma misal
mengorek hidung, strees, dan cuaca ekstrem (Kemenkes RI, 2020).
7) Sesak napas
Tanda / Gejala sesak yaitu gelisah, frekuensi napas lebih
cepat dari pada biasanya, tampak tarikan pada dindingbawah, bibir
tampak kebiruan, disertaisuaranapas tambahan seperti
18

mengiataumengorok., Bila sudah parah, kesadarananakakan menurun,


kejang, dan mukanya membiru.
Penyebab sesak pada paru yaitu infeksi, alergi termasuk
asma, tersedak benda asing, kelainan bawaan saluran napas (Buku
Ilmu Kesehatan Anak, 2020).
8) Kejang
Kejang adalah kondisi di mana otot-otot tubuhberkontraksi
secara tidak terkendali. Bentuk kejang umum yaitu Mata mendelik atau
terkadang berkedip-kedip, Kedua tangan dan kaki kaku, Mulut terkatup,
kadang berbusa Denyut jantung meningkat, Nafas tidak teratur, Bibir,
tangan, dan kaki dapat mengalami sianosis( kebiruan), Terkadang
diikuti kelojotan, dan Saat kejang anak tidak sadar, Tidak memberi
respons apabila dipanggil atau diperintah.
Penyebab kejang yaitu Hipoksemia, demam(pada anak-anak),
Cedera kepala, Hipertensi, Infeksi sistem syaraf pusat, Kondisi
metabolik toksik(gagal ginjal, hiponatremia, hipokalsemia, hipoglikemia),
Tumor otak, Kesalahan penggunaan obat & alergi (Buku Ilmu
Kesehatan Anak, 2020).
9) Tidak bisa minum
10) Malnutrisi (Gizi buruk)
Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
a) Marasmus
Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang
paling sering ditemukan pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir
dari tingkat keparahan gizi buruk. Tipe marasmus ditandai dengan
gejala tampak sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng dan
rewel meskipun setelah makan, kulit keriput yang disebabkan
karena lemak di bawah kulit berkurang, perut cekung, rambut tipis,
jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan
keriput (baggy pant) serta iga gambang.
b) Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein
yang berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau
tinggi namun asupan protein yang inadekuat.
19

Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala tampak sangat


kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh,
pertumbuhan terganggu, perubahan status mental, gejala
gastrointestinal, rambut tipis kemerahan seperti warna rambut
jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok, wajah membulat
dan sembab, kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan
garis-garis kulit yang lebih mendalam dan lebar, sering ditemukan
hiperpigmentasi dan persikan kulit, pembesaran hati serta anemia
ringan
c) Marasmus-Kwashiokor
Memperlihatkan gejala campuran antara marasmus dan
kwashiorkor. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein
dan energi untuk pertumbuhan normal. Pada penderita berat badan
dibawah 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor
seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit serta kelainan
biokimia
e. Kebutuhan gizi balita
Gizi yang harus dipenuhi pada masa balita diantaranya adalah
energi dan protein. Kebutuhan energi sehari untuk tahun pertama kurang
lebih 100 – 200 kkal/kg berat badan. Energi dalam tubuh diperoleh terutama
dari zat gizi karbohidrat, lemak dan protein. Protein dalam tubuh merupakan
sumber asam amino esensial yang diperlukan sebagai zat pembangun,
yaitu untuk pertumbuhan dan pembentukan protein dalam serum serta
mengganti sel-sel yang telah rusak dan memelihara keseimbangan cairan
tubuh (Dewi, 2013).
Lemak merupakan sumber kalori berkonsentrasi tinggi yang
mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai sumber lemak esensial, zat pelarut
vitamin A, D, E dan K serta memberikan rasa sedap dalam makanan.
Kebutuhan karbohidrat yang dianjurkan adalah sebanyak 60 – 70 % dari
total energi yang diperoleh dari beras, jagung, singkong dan serat makanan.
Vitamin dan mineral pada masa balita sangat diperlukan untuk mengatur
keseimbangan kerja tubuh dan kesehatan secara keseluruhan (Dewi,
2013).

f. Status gizi balita


20

Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi


makanan dan penggunaan zat gizi, dimana zat gizi sangat dibutuhkan oleh
tubuh sebagai sumber energi, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan
tubuh, serta pengatur proses tubuh (Auliya et al., 2015).
Menurut Kemenkes RI (2016), penentuan status gizi pada balita,
antara lain:
1) Pengukuran Berat Badan terhadap Tinggi Badan (BB/TB)
Untuk menentukan status gizi anak usia dibawah 5 tahun, apakah
normal, kurus, sangat kurus atau gemuk
2) Pengukuran Panjang Badan terhadap Umur atau Tinggi Badan
terhadap Umur (PB/U atau TB/U)
Untuk menentukan status gizi anak, apakah normal, pendek atau
sangat pendek
3) Pengukuran Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Untuk menentukan status gizi anak usia 5 – 6 tahun apakah anak
sangat kurus, kurus, normal, gemuk atau obesitas
g. Klasifikasi status gizi

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
Indeks Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
Berat badan sangat
kurang (severely ≤ -3 SD
Berat badan menurut underweight)
umur (BB/U) anak usia 0- Berat badan kurang
-3 SD sd <-2 SD
60 bulan (underweight)
Berat badan normal -2 SD sd +1 SD
Risiko berat badan lebih* > +1 SD
Sangat pendek (severely
Panjang badan atau stunted) <- 3 SD
Tinggi Badan menurut Pendek (stunting) -3 SD sd < -2 SD
Umur (TB/U) anak usia 0-
60 bulan Normal -2 SD sd +3 SD
Tinggi** >+3 SD
Gizi buruk (severely
<- 3 SD
wasted)
Berat Badan menurut Gizi kurang (wasted) -3 SD sd < -2 SD
Panjang Badan atau Gizi baik (normal) -2 SD sd +2 SD
Tinggi Badan (BB/PB atau Berisiko gizi lebih
BB/TB) anak usia 0-60 (possible risk of >+1 SD sd +2 SD
bulan overweight)
Gizi lebih (overweight) >+2 SD sd +3 SD
Obesitas (obese) >+3 SD
21

Gizi buruk (severely


<-3 SD
wasted)**
Gizi kurang (wasted) -3 SD sd <-2 SD
Indeks masa tubuh Gizi baik (normal) -2 SD sd +2 SD
menurut umur (IMT/U) Berisiko gizi lebih
anak usia 0-60 bulan (possible risk of >+1 SD sd +2 SD
overweight)
Gizi lebih (overweight) >+2 SD sd +3 SD
Obesitas (obese) >+3 SD
Sumber: Permenkes RI No. 2, 2020
Keterangan:
* Anak yang termasuk pada kategori ini mungkin memiliki masalah
pertumbuhan, perlu dikonfirmasi dengan BB/TB atau IMT/U
** Anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak menjadi
masalah kecuali kemungkinan adanya gangguan endokrin seperti tumor
yang memproduksi hormon pertumbuhan. Rujuk ke dokter spesialis anak
jika diduga mengalami gangguan endokrin (misalnya anak yang sangat
tinggi menurut umurnya sedangkan tinggi orang tua normal).
*** Walaupun interpretasi IMT/U mencantumkan gizi buruk dan gizi kurang,
kriteria diagnosis gizi buruk dan gizi kurang menurut pedoman Tatalaksana
Anak Gizi Buruk menggunakan Indeks Berat Badan menurut Panjang
Badan atau Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB)
h. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita menurut penelitian
Bunga et al. (2019)
1) Riwayat pemberian ASI eksklusif
Menurut Putri (2014) bahwa bayi yang diberi ASI secara
khusus terlindung dari serangan penyakit, sistem pernapasan dan
sistem pencernaan. Hal itu karena antibodi dalam ASI memberikan
perlindungan langsung melawan infeksi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Nilakesuma (2015) bahwa sebagian besar status gizi bayi normal
lebih banyak pada yang tidak diberi ASI esklusif (82,8%) daripada yang
diberi ASI esklusif (80%). Dari hasil uji analisis statistik dengan Chi
Square diperoleh nilai p-value 0,752 sehingga dapat disimpulkan tidak
ada huubungan yang bermakna secara statistik antara pemberian ASI
esklusif dengan status gizi bayi.
22

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang


dilakukan oleh Laelatunnisa (2016) didapatkan hasil uji statistik
dilakukan dengan menggunakan uji chi square dan diperoleh nilai p-
value 0,116 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara riwayat pemberian ASI dengan status gizi balita.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Lastanto (2015) bahwa berdasarkan hasil uji Chi-Square didapatkan p-
value 0,038 yang berarti ada hubungan antara pemberian ASI dengan
kejadian balita gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
Menurut asumsi peneliti tidak terdapat hubungan antara
riwayat pemberian ASI esklusif dengan status gizi dikarenakan
pemberian ASI esklusif bukan merupakan faktor mutlak penentu status
gizi bayi. Keluarga yang memberikan pola asuh baik terutama terhadap
kebutuhan zat gizi, maka akan mempengaruhi status gizi anak.
Pemberian MP-ASI yang tepat pada anak diatas usia 6 bulan sampai 2
tahun akan menurunkan risiko malnutrisi, karena pada usia tersebut
kebutuhan zat gizi anak tidak dapat tercukupi hanya dari ASI saja.
2) Riwayat penyakit infeksi
Menurut Adriani dan Wirjatmadi (2014) infeksi bisa
berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara, yaitu
memengaruhi nafsu makan, menyebabkan kehilangan bahan makanan
karena muntah/diare, atau memengaruhi metabolisme makanan. Gizi
buruk dan infeksi, keduanya dapat bermula dari kemiskinan dan
lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi buruk.
Penelitian yang dilakukan oleh Mubarak di Wilayah Pesisir
Kecamatan Soropia didapatkan hasil uji statistik chi-square diperoleh p-
value = 0,000 yang berarti ada hubungan antara penyakit infeksi
dengan status gizi anak balita di Wilayah Pesisir Kecamatan Soropia
(Mubarak, 2018).
Penilitian lain yang dilakukan di Puskesmas Seberang Padang
pada tahun 2014 diperoleh hasil uji statistik didapatkan p-value 0,001,
yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit
infeksi dengan status gizi pada anak balita (Handayani, 2017).
Menurut asumsi peneliti terrdapat hubungan antara riwayat
penyakit infeksi dengan status gizi balita, dikarenakan adanya riwayat
23

infeksi pada balita dimana balita pernah mengalami Infeksi pada


Saluran Pernapasan atau ISPA dan diare.
Semua penyakit yang pernah dialami oleh balita itu
dikarenakan faktor bakteri yang disebabkan oleh sumber makanan
serta sanitasi lingkungan yang tidak baik. Dengan riwayat penyakit
infeksi tersebutlah yang membuat terganggunya status gizi balita.
Infeksi penyakit juga dapat menyebabkan kurangnya nafsu
makan, makanan yang tercemar oleh berbagai bibit penyakit juga dapat
menimbulkan gangguan dalam penyerapan zat gizi. Sehingga bila
nafsu makan berkurang dan makanan tersebut tercemar oleh bibit
penyakit dapat menyebabkan status gizi balita menjadi kurang baik.
3) Pemberian makanan
Praktik pemberian makan merupakan perilaku orang tua dalam
memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi pada anak, pemberian makan
akan mempengaruhi asupan makan pada anak. Praktik pemberian
makan yang baik mengandung sumber energi, protein, lemak, vitamin,
serta mineral. Pola makan yang secara umum yaitu 3 × makanan
utama dan 2 × selingan (Hardinsyah dan Supariasa, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu
(2018) di Desa Joho Kecamatan Mojolaban Sukoharjo diperoleh hasil
dari kuisoner yang diperoleh pemberian makan yang kurang
disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya pola asuh orang tua
yang tidak tepat dan pengetahuan orang tua asuh tentang pemberian
makan yang baik kurang.
Hal itu juga disebabkan karena ibu terkadang masih
memberikan jenis makanan manis seperti kue, permen, dan es krim
kepada anak balitanya, karena balita lebih menyukai makanan yang dia
sukai dan ibu memberikan kebebasan dalam memilih makanan
menurut Purnama (2017).
Jika orang tua memberikan kebebasan terhadap anaknya
dalam memilih makanan yang anak sukai saja dapat menyebabkan
perilaku makan anak yang tidak sehat sehingga menyebabkan anak
cenderung kekurangan zat gizi yang terkandung dalam makanan lainya
sehingga dapat menyebabkan status gizi menjadi kurang (Rahayu,
2018).
24

Menurut asumsi peneliti terdapat hubungan antara perilaku ibu


dalam pemberian makanan balita dengan status gizi balita, dikarenakan
perilaku ibu seperti cara memasak sayuran yang kurang baik, menu gizi
yang tidak seimbang dan ibu yang memberikan makanan sesuai selera
anaknya akan berpengaruh terhadap status gizi balitanya.
Ibu yang memasak sayuran dengan cara yang kurang baik
akan menyebabkan kandungan gizi pada sayuran tersebut hilang.
Makanan yang diberikan kepada anak sesuai selera anaknya juga akan
menyebabkan anak kekurangan zat gizi yang terkandung dalam
makanan lainya sehingga dapat menyebabkan status gizi menjadi
kurang.
4) Sanitasi lingkungan
Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan
terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan dan
infeksi saluran cerna. Apabila anak menderita infeksi saluran cerna
maka penyerapan zat-zat gizi akan terganggu, hal ini akan
menyebabkan terjadinya kekurangan zat gizi. Kekurangan zat gizi
dalam tubuh akan menyebabkan mudah terserang penyakit sehingga
pertumbuhan akan terganggu (Supariasa et al., 2016).
Sanitasi lingkungan buruk terbukti sebagai faktor risiko
kejadian gizi kurang dan gizi buruk pada balita dengan OR 5,03, artinya
ibu yang mempunyai balita gizi kurang dan gizi buruk mempunyai risiko
5,03 kali untuk menderita gizi kurang dan gizi buruk bila dibandingkan
dengan ibu yang mempunyai balita gizi baik (Alamsyah, 2017).
Sanitasi lingkungan memiliki peran yang cukup dominan dalam
penyediaan lingkungan yang mendukung kesehatan anak dan proses
tumbuh kembangnya. Sanitasi lingkungan yang buruk akan
menyebabkan anak balita akan lebih mudah terserang penyakit infeksi
yang akhirnya dapat mempengaruhi status gizi anak (Alamsyah, 2017).
Hasil penelitian ini sejalan dengan Abeng (2014) dengan hasil
p value = 0,000 yang berarti ada hubungan antara sanitasi lingkungan
yang tidak memenuhi syarat dengan status gizi balita.
Menurut asumsi peneliti terdapat hubungan antara sanitasi
lingkungan dengan status gizi balita, dikarenakan perilaku masyarakat
yang membuang sampah ke sungai menyebabkan sungai tercemar dan
25

dapat menyebabkan penyakit, pengunaan air sungai untuk mencuci


pakaian, pengelolaan limbah rumah tangga yang kurang baik dapat
mempengaruhi status gizi. Sanitasi yang kurang baik dapat
menyebabkan balita mudah terserang penyakit sehingga dapat
mempengaruhi status gizi balita.

2. ASI Eksklusif
a. Pengertian ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) adalah air susu yang dihasilkan oleh ibu dan
mengandung zat gizi yang diperlukan oleh bayi untuk kebutuhan
pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2012, ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada
bayi sejak dilahirkan selama enak bulan tanpa tambahan makanan atau
minuman lain kecuali obat, vitamin, dan mineral (Kemenkes RI, 2019).
b. Manfaat ASI Eksklusif
Menurut Amalia dan Andarumi (2018), manfaat ASI eksklusif bagi ibu dan
bayi yang disusuinya yaitu:
1) Manfaat bagi bayi
a) Komponen sesuai dengan kebutuhan bayi ASI secara otomatis akan
mengubah komposisinya sesuai dengan perubahan kebutuhan bayi
di setiap tahap perkembangannya (Amalia dan Andarumi, 2018).
b) Mengandung zat protektif bayi yang mendapatkan ASI lebih jarang
sakit karena adanya zat protektif pada kandungan ASI. Zat protektif
yang terdapat pada ASI yaitu:
(1) Lactobacilius Bifidus
Berfungsi mengubah laktosa menjadi asam laktat dan asam
asetat. Kedua asam tersebut menjadikan pencernaan bersifat
asam sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme
(Amalia dan Andarumi, 2018).
(2) Coli dan Entamoeba Histolytica
Memerlukan zat besi untuk pertumbuhannya. Selain
menghambat bakteri tersebut, Laktoferin juga dapat menhambat
pertumbuhan jamur candida (Amalia dan Andarumi, 2018).
(3) Lisozim adalah enzim
26

Dapat mencegah dinding bakteri anti inflamasi. Lisozim


merupakan faktor protektif terhadap kemungkinan serangan
bakteri pathogen dan penyakit diare (Amalia dan Andarumi,
2018).
(4) Antibodi
ASI terutama kolostrum mengandung antibody immunoglobulin
SigA antibody dalam ASI dapat bertahan dalam saluran
pencernaan dan membuat lapisan pada mukosa sehingga
mencegah bakteri patogen dan enterovirus masuk ke dalam
mukosa usus (Amalia dan Andarumi, 2018).
(5) Imunitas seluler
ASI mengandung sel-sel sebagian besar 90% sel tersebut
berupa makro yang berfungsi membunuh dan memfagisitosis
mikroorganisme, membentuk C3 dan C4, lisozim dan laktoferin
(Amalia dan Andarumi, 2018).
(6) Tidak menimbulkan alergi pada bayi baru lahir sistem IgE
belum sempurna
Pemberian susu formula akan merangsang aktivitas sistem dan
dapat menimbulkan efek. Pemberian protein asing yang di
tunda sampai usia 6 bulan akan mengurangi kemungkinan
alergi (Amalia dan Andarumi, 2018).
c) Mempunyai efek psikologi yang menguntungkan
Efek psikologi yang ditimbulkan pada saat bayi menyusu
antara ibu dan bayi yang akan menciptakan rasa aman bagi bayi.
Perasaan aman ini penting untuk membangun dasar kepecayaan diri
yaitu dengan mulai percaya orang lain (ibu) maka selanjutnya akan
timbul rasa percaya pada diri sendiri. Setiap ibu pada saat menyusui
bayi harus memberikan perhatian penuh pada bayinya dan manatap
bayi dengan kasih sayang serta melakukan komunikasi untuk
menstimulasi pendengaran dan bicara anak (Amalia dan Andarumi,
2018).
d) Mengupayakan pertumbuhan yang baik
Merupakan penambahan ukuran fisik dari tubuh anak
secara keseluruhan maupun organ, baik penambahan jumlah sel
atau pembesaran. Pertumbuhan ditandai dengan bertambahnya
27

tinggi dan berat badan anak.Mengupayakan pertumbuhan yang


baik bayi yang mendapat ASI mempunyai kenaikan berat badan
yang baik setelah lahir, pertumbuhan setelah periode perinatal
yang baik dan mengurangi kemungkinan obesitas. mengukur dan
memantau pertumbuhan anak penting dilakukan agar orang tua
dapat mengambil langkah untuk demi mencegah gagal tumbuh dan
stunting (Amalia dan Andarumi, 2018).
Berikut cara mengukur dan memantau tinggi dan berat
badan anak untuk mencegah stunting menurut Buku KIA (2021):
(a) Pengukuran yang rutin
Pengukuran yang rutin merupakan kunci pemantauan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika pertumbuhan
melambat, orang tua dan pengasuh harus segera mengambil
tindakan. Berat dan tinggi badan anak mesti diukur setidaknya 1
bulan sekali (Buku KIA, 2021).
(b) Ketepatan pengukuran
Timbang berat badan serta ukur tinggi badan anak
dengan benar. Pengukuran dapat dilakukan posyandu,
puskesmas, klinik dokter, dan rumah sakit. Gunakan alat
pengukuran yang benar dan sudah dikalibrasi untyk
mendapatkan hasil yang tepat. Ketepatan hasil pengukuran
menentukan keberhasilan pemantauan (Buku KIA, 2021).
(c) Bandingkan dengan kurva pertumbuhan anak
Setelah mengukur berat dan tinggi badan anak,
letakkan hasil pengukuran pada kurva pertumbuhan anak yang
sudah disediakan oleh Kementerian Kesehatan maupun
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pertumbuhan yang baik
adalah pertumbuhan yang sesuai dengan kurva. Jika gerak
melandai atau menurun, segera ambil tindakan untuk mencegah
gagal tumbuh dan stunting (WHO, 2020).
(d) Tindakan mencegah gagal tumbuh dan stunting
Jika terdapat pertumbuhan anak yang tidak sesuai dengan
kurva, segera lakukan tindakan untuk meningkatkan pertumbuhan
anak. Memacu pertumbuhan anak dapat dilakukan dengan
28

memberikan nutrisi yang seimbang mulai dari karbohidrat, protein


hewani, lemak sehat, vitamin dan mineral (WHO, 2020).
2) Manfaat bagi ibu
Pemberian ASI eksklusif bermanfaat bagi ibu diantaranya:
sebagai kontrasepsi alami saat ibu menyusui sebelum ibu
mendapatkan menstruasi,menjaga kesehatan ibu dengan mengurangi
risiko terkena kanker payudara dan membantu ibu untuk menjalin
ikatan batin kepada anak, dapat membantu mengurangi pengeluaran
keluarga karena tidak membeli susu formula yang harganya mahal
(Walyani, 2015). Manfaat ASI eksklusif bagi ibu diantaranya:
(a) Mencegah perdarahan pasca persalinan rangsangan pada
payudara ibu oleh isapan bayi bayi akan diteruskan ke otak dan
kelenjar hipofisis yang akan merangsang terbentuknya hormone
oksitosin (Walyani, 2015).
(b) Mengurangi anemia pada saat menyusui secara eksklusif akan
menunda masa subur artinya menunda haid. Penundaan haid dan
berkurangnya perdarahan pasca persalinan akan mengurangi
angka kejadian anemia atau kekurangan zat besi pada ibu
(Walyani, 2015).
c. Komposisi ASI
ASI mengandung komponen makro dan mikro nutrisi yang penting
bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) yang terkandung dalam ASI menurut Walyani (2015) adalah:
1) Karbohidrat
Yang pertama terkandung dalam ASI adalah laktosa yang
berfungsi untuk sumber energy dalam otak. Kadar laktosa pada ASI
lebih banyak 2 kali lipat dibandingkan dengan susu formula atau susu
sapi. Kadar karbohidrat pada kolostrum tidak terlalu tinggi tetapi
meningkat terutama laktosa pada ASI transisi (7 hari sampai 14 hari
setelah melahirkan) sesudah melewati masa itu maka kandungan
karbohidrat dalam ASI relatif stabil (Walyani, 2015).
2) Protein
Kadar protein dalam ASI cukup tinggi dan berbeda dengan
protein yang terdapat di dalam susu sapi. Protein dalam ASI lebih
banyak terdiri dari protein yang lebih mudah diserap oleh usus halus.
29

Kualitas protein juga dapat dilihat dari asam amino. ASI mempunyai
jenis asam amino yang lebih lengkap di banding susu sapi. Salah satu
contohnya asam amino taurine berperan dalam perkembangan otak.
ASI juga kaya nekleotida (berbagai jenis senyawa organic yang
tersusun atas 3 jenis yaitu karbohidrat, nitrogen, dan fosfat) yang
berfungsi untuk meningkatkan kematangan dan pertumbuhan
usus,merangsang bakteri baik dalam usus, dan meningkatkan
penyerapan besi dan daya tahan tubuh (Walyani, 2015).
3) Lemak
Kadar lemak dalam ASI lebih tinggi dibandingkan dalam susu
formula atau susu sapi. Kadar lemak yang tinggi dibutuhkan untuk
pertumbuhan otak pada bayi. Profil lemak omega-3 dan omega-6
banyak ditemukan dalam ASI. Selain itu, ASI mengandung ARA (Asam
Arakidonat) dan DHA (Asam Dokosabeksanoik) yang berperan penting
pada perkembangan saraf dan retina mata. ASI juga mengandung
asam lemak jenuh dan tidak jenuh berbeda dengan susu formula yang
hanya mengandung asam lemak jenuh saja (Walyani, 2015).
4) Mineral
Mineral dalam ASI memiliki kualitas yang baik dibandingkan
mineral yang terdapat pada susu sapi. Bayi yang diberikan ASI
Eksklusif berisiko lebih kecil untuk kekurangan zat besi. Mineral yang
cukup tinggi terdapat pada ASI adalah selenium yang berfungsi pada
saat pertumbuhan anak cepat (Walyani, 2015).
5) Vitamin
ASI mengandung Vitamin A, D, E, dan K yang penting untyk
memenuhi kebutuhan bayi. Vitamin D dalam ASI bermanfaat bahwa
penyakit polio jarang di alami oleh bayi yang diberikan ASI. Vitamin E
dalam ASI bermanfaat untuk ketahanan dinding sel darah merah. ASI
mengandung vitamin A bermanfaat untuk kesehatan mata, mendukung
pembelahan sel, kekebalan tubuh, dan pertumbuhan. Vitamin K dalam
ASI bermanfaat sebagai faktor pembekuan darah (Walyani, 2015).
d) Jenis-jenis ASI
1) Kolostrum
Kolostrum keluar pada hari pertama sampai hari ketiga
kelahiran bayi, kolostrum berwarna kekuningan dan kental.
30

Kolostrum mengandung zat gizi dan antibodi lebih tinggi daripada


ASI matur. Kandungan gizi antara lain: protein 85 %, lemak 2,5 %,
karbohidrat 3,5 %, garam dan mineral 0,4 %, dan air 85,1 %
(Kemenkes RI, 2019).
2) ASI masa transisi
Air Susu Ibu yang keluar dari hari ke-14 sampai hari ke-
10 kelahiran bayi. Kadar protein semaki rendah sedangkan kadar
lemak, karbohidrat semakin tinggi dan volumenya meningkat
(Kemenkes RI, 2019).
3) ASI matur
Air Susu Ibu yang keluar dari hari ke- 10 sampai
seterusnya. Kadar karbohidrat ASI relatif stabil. Komponen laktosa
(karbohidrat) adalah kandungan utama dalam ASI sebagai sumber
energi untuk otak (Kemenkes RI, 2019).
e) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif
1) Dukungan keluarga
Merupakan faktor pendukung dalam keberhasilan ASI
Eksklusif. Dukungan keluarga merupakan kegiatan yang bersifat
emosional maupun psikologis yang diberikan kepada ibu menyusui
dalam memberikan ASI. Hal ini berkaitan dengan pikiran, perasaan,
dan sensasi yang dapat memperlancar produksi ASI (Hani, 2014).
2) Pengetahuan ibu
Merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang. Semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu
tentang ASI maka akan mempengaruhi pola piker ibu dan sikap ibu
sehingga akan berperilaku positif untuk memberikan ASI eksklusif
(Hani, 2014).
3) Adat budaya
Budaya akan mempengaruhi ibu untuk memberikan ASI
secara Eksklusif karena hal tersebut sudah menjadi budayadalam
keluarga. Budaya yang dilakukan oleh seseorang karena pengaruh
orang yanglebih tua seperti memberikan bayi makan pisang
sehingga bayi cepat besar dan tidak rewel (Maryunani, 2015).
4) Peran petugas kesehatan
31

Untuk menunjang keberhasilan menyusui dalam


manajemen laktasi maka dalam pelaksanaannya terutama dimulai
dari masa kehamilan, segera setelah melahirkan, dan masa
menyusui selanjutnya (Maryunani, 2015).

3. Stunting
a. Pengertian stunting
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau
tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini
menunjukkan status gizi yang kurang (malnutrisi) dalam jangka waktu yang
lama (kronis) (Candra, 2020).
Stunting pada anak menjadi permasalahan karena berhubungan
dengan meningkatnya risiko kesakitan dan kematian, gangguan pada
perkembangan otak, gangguan terhadap perkembangan motorik dan
terhambatnya pertumbuhan mental anak (Rahayu et al., 2018).
Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh
banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu hamil, kesakitan pada
bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi (Kementrian RI 2018).
Dampak yang ditimbulkan apabila seorang anak mengalami
stunting terbagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang.
Dampak jangka pendek yang akan dialami dapat meningkatkan kejadian
kesakitan dan kematian serta menghambat proses perkembangan kognitif,
motorik, dan verbal pada anak (WHO, 2017).
Sedangkan dalam jangka panjang, anak akan memiliki postur
tubuh yang tidak optimal (lebih pendek dari anak seusianya), meningkatnya
risiko terkena obesitas, dan menurunnya produktivitas dan kapasitas kerja
(WHO, 2017).
b. Tanda dan gejala
Berikut ini adalah beberapa tanda dan gejala stunting pada anak yang
perlu di ketahui dan di waspadai yaitu:
1) Pubertas terlambat
2) Pertumbuhan melambat
3) Proporsi tubuh anak cenderung normal tetapi tampak lebih muda dan
kecil untuk anak seusianya
32

4) Berat badan rendah untuk anak seusianya

5) Pertumbuhan tulang gigi tertunda

6) Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar


7) Usia 8 – 10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan
eye contact
(Kemenkes RI, 2018).
c. Penyebab
Penyebab langsung diantaranya adalah asupan makanan (konsumsi zat
gizi makro dan mikro) dan keadaan kesehatan (penyakit infeksi), sedangkan
penyebab tidak langsung meliputi ketahanan pangan rumah tangga, pola
asuh anak, 18 sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Faktor tersebut ditentukan oleh sumber daya manusia, ekonomi dan
organisasi melalui faktor pendidikan (Supariasa, 2017).
Kemenkes RI (2018) menyebutkan bahwa stunting berkembang dalam
jangka Panjang karena kombinasi dari beberapa atau semua factor-faktor
berikut:
1. Kurang gizi kronis dalam waktu lama
2. Retardasi pertumbuhan intrauterine

3. Tidak cukup protein dalam proporsi total asupan kalori

4. Perubahan hormon yang dipicu oleh stres

5. Sering menderita infeksi di awal kehidupan seorang anak


d. Klasifikasi
Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah
diukur panjang dan tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar dan
hasilnya berada di bawah normal. Secara fisik balita akan lebih pendek
dibandingkan balita seumurnya (Kemenkes, RI 2016).
Kependekan mengacu pada anak yang memiliki indeks TB/U
rendah. Pendek dapat mencerminkan baik variasi normal dalam
pertumbuhan ataupun defisit dalam pertumbuhan. Stunting adalah
pertumbuhan linear yang gagal mencapai potensi genetik sebagai hasil dari
kesehatan atau kondisi gizi yang suboptimal (Anisa, 2017).
33

Berdasarkan Permenkes Nomor 2 Tahun 2020, berikut ini


merupakan kategori status gizi PB/U atau TB/U beserta nilai ambang batas
yang ditetapkan oleh WHO:

Tabel 2.2 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak


Berdasarkan PB/U atau TB/U
Ambang Batas Z-
Indeks Status Gizi
Score
Sangat pendek
<- 3 SD
Panjang badan atau Tinggi (severely stunted)
Badan menurut Umur Pendek (stunting) -3 SD sd < -2 SD
(TB/U) anak usia 0-60 bulan Normal -2 SD sd +3 SD
Tinggi >+3 SD
Sumber: Permenkes RI No. 2, 2020
Keterangan:
Anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya
tidak menjadi masalah kecuali kemungkinan adanya gangguan endokrin
seperti tumor yang memproduksi hormon pertumbuhan. Rujuk ke dokter
spesialis anak jika diduga mengalami gangguan endokrin (misalnya
anak yang sangat tinggi menurut umurnya sedangkan tinggi orang tua
normal).
e. Patofisiologi

f. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stunting


34

Menurut UNICEF (2013) dalam Kemenkes RI (2018) beberapa


faktor yang dapat mempengaruhi stunting diantaranya adalah:
1) Penyebab langsung
a) Asupan makan kurang
Zat gizi sangat penting bagi pertumbuhan. Pertumbuhan
adalah peningkatan ukuran dan massa konstituen tubuh yang
merupakan salah satu hasil dari proses metabolisme. Asupan zat
gizi yang menjadi faktor risiko terjadinya stunting dapat
dikategorikan menjadi 2 yaitu asupan zat gizi makro atau
makronutrien dan asupan zat gizi mikro atau mikronutrien (Candra
dan Nugraheni, 2015).
Berdasarkan beberapa penelitian, asupan zat gizi makro
yang paling mempengaruhi terjadinya stunting adalah asupan
protein, sedangkan asupan zat gizi mikro yang paling
mempengaruhi kejadian stunting adalah asupan Vitamin A dan seng
(Aritonang et al., 2020).
b) Penyakit infeksi
Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak
adekuat dan penyakit (UNICEF, 2015). Manifestasi malnutrisi ini
disebabkan oleh perbedaan antara jumlah zat gizi yang diserap dari
makanan dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh (Rahayu et
al., 2018). Menurut Beal et al. (2018) infeksi klinis dan subklinis yang
termasuk ke dalam framework WHO antara lain penyakit diare,
kecacingan, infeksi saluran pernafasan, dan malaria. Berdasarkan
literatur yang ditemukan, beberapa penyakit/infeksi yang utama
terkait penyebab kejadian stunting adalah infeksi saluran pernafasan
dan penyakit diare. Penelitian Tandang et al. (2019) menunjukkan
bahwa semakin sering anak mengalami penyakit infeksi maka
semakin besar risiko balita tersebut untuk menderita stunting.
2) Penyebab tidak langsung
a) Ketahanan pangan
Masalah ketahanan pangan merupakan penyebab tidak
langsung yang mempengaruhi status gizi, dimana ketahanan
pangan keluarga akan menentukan kecukupan konsumsi setiap
anggota keluarga (UNICEF, 2013; BAPPENAS, 2018). Dalam
35

jangka panjang masalah kerawanan pangan dapat menjadi


penyebab meningkatnya prevalensi stunting, kondisi tersebut
mempengaruhi asupan gizi pada balita sehingga mengakibatkan
terjadinya kegagalan selama proses tumbuh kembang yang diawali
pada masa kehamilan (Kemenkes RI, 2018).
Ketahanan pangan (food security) pada suatu negara
merupakan aspek penting dalam upaya pencegahan stunting,
sehingga untuk meningkatkan ketahanan pangan diperlukan upaya
untuk menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan
pangan oleh masyarakat (BAPPENAS, 2018).
Pada masalah gizi, ketahanan pangan dapat diketahui dari
kemampuan rumah tangga untuk mengakses pangan dan
keragaman konsumsi pangan rumah tangga (Wardani et al., 2020).
Sedangkan akses pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan.
Aspek pendapatan mempengaruhi jenis pangan yang akan
dibeli baik secara kualitas maupun kuantitas. Semakin rendah
pendapatan keluarga, maka sebagian besar pengeluaran digunakan
untuk membeli makanan pokok (serealia), namun sebaliknya
semakin tinggi pendapatan keluarga maka semakin bervariasi
kebutuhan yang terpenuhi (Ulfa, 2018).
Oleh karena itu, kondisi ketahanan pangan keluarga yang
tercermin dari ketersediaan pangan untuk mencukupi kebutuhan
anggota keluarganya berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi
dan secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap status
gizi.
b) Pola asuh
Menurut UNICEF (2015) kondisi kekurangan gizi pada anak
tidak hanya disebabkan oleh kurangnya makanan bergizi yang
cukup tetapi juga karena praktik pola asuh yang tidak baik. Pola
asuh termasuk di dalamnya adalah inisiasi menyusu dini (IMD),
menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan, dan pemberian ASI
dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sampai
dengan usia 2 tahun (Kemenkes RI, 2018).
1) IMD (Inisiasi Menyusu Dini)
36

Proses inisiasi menyusu dini merupakan salah satu


indikator yang termasuk kedalam prinsip pemberian makan 16
yang baik bagi bayi dan anak, karena keberhasilan pemberian
ASI eksklusif berawal dari terlaksananya proses IMD secara
optimal (Fikawati et al., 2015).
IMD mempengaruhi kejadian stunting karena melalui
IMD bayi akan mendapatkan ASI pertama kali yang
mengandung kolostrum yang tinggi, kaya akan antibodi dan zat
penting untuk pertumbuhan usus, dan ketahanan terhadap
infeksi yang sangat dibutuhkan bayi demi kelangsungan
hidupnya (Permadi, 2016).
2) ASI eksklusif
ASI adalah makanan yang terbaik bagi bayi pada 6
bulan pertama kehidupannya karena semua kebutuhan nutrisi
yaitu protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral sudah
tercukupi dari ASI (Fikawati et al., 2015). Durasi pemberian ASI
eksklusif yang dianjurkan oleh WHO dimulai dari satu jam
pertama setelah lahir sampai bayi berusia 6 bulan, dimana pada
6 bulan pertama kehidupan merupakan periode pertumbuhan
otak yang paling cepat hingga bayi berusia 2 tahun (WHO,
2018). Hasil penelitian Putri (2018) menunjukkan bahwa balita
dengan riwayat pemberian ASI tidak eksklusif berisiko 2,444 kali
lebih besar untuk menjadi stunting dibandingkan dengan balita
yang mendapatkan ASI eksklusif.
3) Pemberian MP-ASI
Menurut UNICEF (2015) pemberian makanan
pendamping ASI merupakan faktor penting dalam kelangsungan
hidup anak terutama pada masa pertumbuhan dan
perkembangan. Meningkatkan pemberian makanan pendamping
ASI bersama dengan pemberian ASI yang berkelanjutan terbukti
efektif dalam meningkatkan pertumbuhan anak serta dapat
mengurangi terjadinya stunting pada anak.
c) Faktor lingkungan
1) Pelayanan kesehatan
37

Pelayanan kesehatan yang baik pada balita akan


meningkatkan kualitas pertumbuhan dan perkembangan balita.
Dalam program kesehatan anak, pelayanan kesehatan 18 bayi
minimal 4 kali, yaitu satu kali pada umur 29 hari-2 bulan, 1 kali
pada umur 3-5 bulan, 1 kali pada umur 6-8 bulan dan 1 kali pada
umur 9-11 bulan. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi
pemberian imunisasi dasar (BCG, DPT/HB1-3, Polio 1-4, dan
Campak), pemantauan pertumbuhan, Stimulasi Deteksi
Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK), pemberian vitamin
A pada bayi umur 6-11 bulan, penyuluhan pemberian ASI
eksklusif dan makanan pendamping ASI (MPASI). Sedangkan
pelayanan kesehatan anak balita adalah pelayanan kesehatan
bagi anak umur 12-59 bulan yang memperoleh pelayanan sesuai
standar, meliputi pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali
setahun, pemantauan perkembangan minimal 2 kali setahun dan
pemberian vitamin A sebanyak 2 kali setahun (Kemenkes RI,
2016).
2) Sanitasi lingkungan
Sanitasi lingkungan memiliki peran yang cukup dominan
terhadap kesehatan anak dan tumbuh kembangnya. Aspek
kebersihan baik perorangan maupun lingkungan, memegang
peranan yang penting dalam menimbulkan penyakit. Kebersihan
yang kurang dapat menyebabkan anak sering sakit, seperti
diare, kecacingan, demam tifoid, hepatitis, malaria, demam
berdarah, dan sebagainya (Simbolon, 2017).
Praktik higiene yang buruk menimbulkan risiko tinggi
munculnya bakteri. Bakteri-bakteri inilah yang akan masuk ke
tubuh anak melalui makanan yang biasa disajikan di rumah, dan
dapat berdampak terhadap timbulnya penyakit diare pada anak.
Durasi diare yang berlangsung lama akan membuat anak
mengalami kehilangan zat gizi, dan bila tidak diimbangi dengan
asupan zat gizi yang cukup maka akan terjadi gagal tumbuh
(Desyanti dan Triska, 2017)
g. Diagnosis stunting
38

Diagnosis stunting pada anak dapat dilakukan dengan cara


pengukuran antropometri. Antropometri adalah suatu metode yang
digunakan untuk menilai ukuran, proporsi, dan komposisi tubuh manusia.
Standar Antropometri Anak adalah kumpulan data tentang ukuran, proporsi,
komposisi tubuh sebagai rujukan untuk menilai status gizi dan tren
pertumbuhan anak. Standar Antropometri Anak didasarkan pada parameter
berat badan dan panjang/tinggi badan yang terdiri atas 4 (empat) indeks,
meliputi:
1) Berat Badan menurut Umur (BB/U)
2) Panjang/Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U)
3) Berat Badan menurut Panjang/Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB); dan
4) Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U).
Penggunaan indeks PB/U atau TB/U dapat mengidentifikasi anak-
anak yang pendek (stunted) atau sangat pendek (severely stunted),
sehingga indikator status gizi tinggi badan menurut umur (TB/U) atau
panjang badan menurut umur (PB/U) dapat menggambarkan masalah gizi
kronis pada anak.
Penilaian pertumbuhan anak dengan membandingkan
pertambahan panjang badan atau tinggi badan dengan standar
pertambahan panjang badan atau tinggi badan dilakukan dengan
menggunakan grafik Panjang/Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau
TB/U) dan tabel pertambahan panjang badan atau tinggi badan
(length/height increment).
a) Penilaian Pertambahan Panjang/Tinggi Badan Menggunakan Grafik
PB/U atau TB/U
Tren pertumbuhan anak mengindikasikan apakah seorang anak
tumbuh normal atau mempunyai risiko pertumbuhan yang harus dinilai
ulang. Anak dikatakan tumbuh normal bila grafik panjang/tinggi badan
sejajar dengan garis median
b) Penilaian Pertambahan Panjang Badan atau Tinggi Badan
Menggunakan Tabel
Pertambahan panjang Badan atau Tinggi Badan (length/height
increment) Penilaian pertumbuhan merupakan suatu proses
berkelanjutan yang dinamis dan bukan hanya potret satu titik. Artinya
pertambahan panjang badan atau tinggi badan harus selalu dinilai dari
39

waktu ke waktu sehingga dapat diidentifikasi segera adanya


perlambatan pertumbuhan sebelum terjadi stunting. Perlambatan
pertumbuhan, yang merupakan risiko terjadinya perawakan pendek
dapat dideteksi melalui penilaian tren pertumbuhan menggunakan garis
pertumbuhan dan tabel pertambahan panjang badan atau tinggi badan
(length/height increment) (Permenkes RI No. 2, 2020).
Langkah pengukuran panjang badan (PB) dan tinggi badan (TB)
balita dapat dilakukan dengan sebagai berikut:
(1) Panjang badan (PB) < 2 tahun
Pengukuran PB dilakukan pada anak berusia 0-24 bulan.
Apabila anak berusia 0-24 diukur dengan cara berdiri maka hasil
pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm.
pengukurang panjang badan dilakukan dengan cara telentang
dengan menggunakan alat ukur berupa papan kayu length board
(Helmyati et al., 2019).
Pengukuran panjang badan lebih baik dilakukan oleh dua
orang, seorang bertugas memegang kepala bayi agar tidak
bergerak, sedangkan seorang lain meluruskan posisi terlentang bayi
sambil menggeser papan skala. Dengan cara demikian pengukuran
panjang badan bayi dapat berlangsung lebih singkat dan
menghindari bayi rewel saat diukur (Helmyati et al., 2019).
(2) Tinggi badan (TB) > 2 tahun
Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan
alat microtoise yang memiliki ketelitian 0,1 cm. dalam melakukan
pengukuran TB, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
(1) Microtoise ditempelkan pada dinding yang lurus dan datar
setinggi tepat 2 m.
(2) Pengukurang TB dilakukan dengan melepas alas kaki, termasuk
kaus kaki.
(3) Anak berdiri tegak, kaki lurus, sedangkan tumit, pantat,
punggung, dan kepala bagian belakang menempel pada dinding.
Wajah menghadap lurus dengan pandangan ke depan.
(4) Microtoise diturunkan sampai rapat pada kepala bagian atas,
sedangkan bagian siku microtoise menempel pada dinding
(Helmyati et al., 2019).
40

Z score adalah nilai simpangan berat badan atau tinggi


badan dari nilai berat badan atau tinggi badan normal menurut baku
pertumbuhan WHO.  Status gizi yang didasarkan pada indeks tinggi
badan menurut umur (TB/U) yang merupakan gabungan dari istilah
sangat pendek dan pendek dengan Z score < -2 standar deviasi
(Dinas kesehatan Provinsi NTB, 2022)

Rumus Z-Score jika anak berusia ≥2 tahun :

1. Jika TB anak < median

2. Jika TB anak > median

Rumus Z-Skore jika anak berusia ≤2 tahun :

1. Jika PB anak < median

2. Jika PB anak > median

Sumber: Permenkes, 2020


e. Dampak Stunting
Dampak yang ditimbulkan akibat stunting dapat dibagi menjadi
dampak jangka pendek dan jangka panjang:
1. Jangka pendek
Terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan
pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh
41

peningkatan kejadian kesakitan dan kematian, perkembangan kognitif,


motorik, dan verbal pada anak tidak optimal dan peningkatan biaya
kesehatan (Pusat Data dan Informasi, 2018)
2. Jangka panjang
Akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh
sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit
diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker,
stroke, dan disabilitas pada usia tua (Kemenkes RI, 2017).
Postur tubuh tidak optimal saat dewasa, meningkatnya resiko
obesitas dan penyakit lainnya, menurunnya kesehatan reproduksi,
kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah
dan produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal Pusat Data dan
Informasi, 2018
f. Penanganan dan Pencegahan Stunting
Penanganan dan pencegahan stunting dapat dilakukan cara sebagai
berikut:
1. Selama kehamilan, ibu hamil meminum tablet tambah darah minimal 90
tablet selama kehamilan
2. Selama hamil, ibu mengkonsumsi makanan yang bergizi
3. Persalinan dengan dokter atau bidan yang ahli
4. Melakukan inisiasi menyusu dini
5. Berikan ASI eksklusif
6. Pantau pertumbuhan balita di Posyandu terdekat
7. Berikan imunisasi dasar lengkap dan vitamin A
8. Lakukan perilaku hidup bersih dan sehat (Kemenkes RI, 2017).
i. Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting Menurut Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 Tentang Percepatan
Penurunan Stunting
1) Pengertian
Percepatan penurunan stunting adalah setiap upaya yang
mencakup intervensi spesifik dan intervensi sensitif yang dilaksanakan
secara konvergen, holistik, integratif, dan berkualitas melalui kerja sarra
multisektor di pusat, daerah, dan desa.
42

Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting adalah


langkah-langkah berupa 5 (lima) pilar yang berisikan kegiatan untuk
Percepatan Penurunan Stunting dalam rangka pencapaian tujuan
pembangunan berkelanjutan melalui pencapaian target nasional
prevalensi Stunting yang diukur pada anak berusia di bawah 5 (lima)
tahun.
2) Pilar dalam Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting
a) Peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di
kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah
Daerah kabupatenfkota, dan Pemerintah Desa
b) Peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan
masyarakat
c) Peningkatan konvergensi Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif
di kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah
Daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah Desa
d) Peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu,
keluarga, dan masyarakat
e) Penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan
inovasi
3) Tujuan
a) Menurunkan prevalensi Stunting
b) Meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga
c) Menjamin pemenuhan asupan gizi
d) Memperbaiki pola asuh
e) Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan
f) Meningkatkan akses air minum dan sanitasi
4) Kelompok sasaran
Pelaksanaan Percepatan Penurunan Stunting dengan kelompok
sasaran meliputi:
a) Remaja
b) Calon pengantin
c) Ibu hamil
d) Ibu menyusui
e) Anak berusia 0 (nol) - 59 (lima puluh sembilan) bulan.
43

B. Penelitian yang Relevan

Subjek Teknik Analisis


No Peneliti Judul Hasil Perbedaan
Penelitian Data
1 Mirza Refky Hubungan Seluruh ibu Analisa data Nilai p = 1. Desain dan
Pratama Pemberian dan bayi menggunakan 0,001 dan PR teknik
dan Syahlis ASI Eksklusif yang berusia uji chi square = 0,5. Ada pengambila
Irwandi, dengan 6-23 bulan hubungan n sampel
2021 Kejadian yang berada yang 2. Jumlah
Stunting di di wilayah signifikan sampel
Puskesmas kerja UPT antara 3. Waktu,
Hinai Kiri, Puskesmas pemberian tempat, dan
Kecamatan Hinai Kiri ASI eksklusif objek
Secanggang, dengan penelitian
Kabupaten kejadian
Langkat stunting
2 Sofia Hubungan Ibu yang Analisis data Nilai p < 1. Desain dan
Mawaddah, Pemberian memiliki menggunakan 0,000 dan teknik
2019 ASI Eksklusif balita usia perhitungan nilai OR pengambila
dengan 24-36 bulan distribusi 29,558. Ada n sampel
Kejadian di beberapa frekuensi dan hubungan 2. Jumlah
Stunting Posyandu analisis yang sampel
pada Balita wilayah menggunakan bermakna 3. Waktu,
Usia 24-36 binaan uji Chi-Square antara tempat, dan
Bulan Puskesmas pemberian objek
Tampang ASI eksklusif penelitian
Tumbang dan kejadian
Anjir stunting pada
Kabupaten usia 24-36
Gunung Mas bulan
3 Sr. Anita Hubungan Semua balita Hasil penelitian Nilai p = 1. Desain dan
Sampe, Pemberian di Desa menggunakan 0.000 (0.000 teknik
SJMJ, ASI Eksklusif Penatangan, uji chi-square < 0.05). Ada pengambila
Rindani Dengan Ranteberang, dan dilanjutkan hubungan n sampel
Claurita Kejadian dan Kebanga menggunakan pemberian 2. Jumlah
Toban, Stunting yang uji odds ratio ASI eksklusif sampel
Monica Pada Balita berjumlah dengan 3. Waktu,
Anung Madi, 219 balita kejadian tempat, dan
2020 stunting pada objek
balita penelitian
4 Luh Herry Hubungan Populasi Analisis bivariat Nilai p = 1. Desain dan
Novayanti, Pemberian dalam menggunakan 0,536 (p > teknik
Ni Wayan ASI Eksklusif penelitian ini chi-square 0,05). Tidak pengambila
Armini, dengan adalah ada n sampel
Juliana Kejadian seluruh balita hubungan 2. Jumlah
Mauliku, Stunting dengan yang sampel
2021 pada Balita rentang umur signifikan 3. Waktu,
Umur 12-59 12-59 bulan antara tempat, dan
Bulan di yang ada di 3 pemberian objek
Puskesmas desa dengan ASI eksklusif penelitian
Banjar I angka dengan
Tahun 2021 stunting kejadian
44

tertinggi di stunting
wilayah kerja
Puskesmas
Banjar I pada
tahun 2021
5 Daeng Agus Pengaruh Populasi Analisis dataNilai p value 1. Desain dan
Vieya Putri Pemberian dalam menggunakan 0,0001. Ada teknik
dan Tanti Asi Ekslusif penelitian ini uji statistik chi-hubungan pengambila
Susanti Dengan adalah square yang n sampel
Lake, 2020 Kejadian semua anak bermakna 2. Jumlah
Stunting Di balita yang antara sampel
Desa Haekto ada di Desa pemberian 3. Waktu,
Kabupaten Haekto ASI Eksklusif tempat, dan
Timor Kabupaten (C) terhadap objek
Tengah Timor kejadian penelitian
Utara Tengah Utara stunting pada
Provinsi Provinsi NTT Balita di Desa
Nusa sebanyak Haekto
Tenggara 116 anak Kabupaten
Timur TTU
6 Mega Hubungan Ibu dengan Analisis bivariat Nilai p value 1. Desain dan
Purnamasari Pemberian balita usia menggunakan 0,0001). Ada teknik
dan Teti Asi Eksklusif 24-60 bulan uji chi square hubungan pengambila
Rahmawati, dengan di wilayah pemberian n sampel
2021 Kejadian kerja ASI eksklusif 2. Jumlah
Stunting Puskesmas dengan sampel
Pada Balita Selopampang kejadian di 3. Waktu,
Umur 24-59 Kabupaten wilayah kerja tempat, dan
Bulan Temanggung Puskesmas objek
pada bulan Selopampang penelitian
Januari tahun Kabupaten
2019 Temanggung
sebanyak
696 balita

C. Kerangka Teori
45

Penyebab langsung:
1. Asupan makan kurang Kejadian stunting
2. Penyakit infeksi

Penyebab tidak langsung:


1. Ketahanan pahan
2. Pola asuh:
a. IMD
b. ASI eksklusif Keterangan:

c. Pemberian MP-ASI Diteliti


3. Faktor lingkungan:
a. Pelayanan kesehatan Tidak diteliti
b. Sanitasi lingkungan

Sumber: Aritonang et al. (2020), BAPPENAS (2018), Beal et al. (2018), Candra
dan Nugraheni (2015), Desyanti dan Triska (2017), Fikawati et al. (2015),
Kemenkes RI (2016a; 2018b), Permadi (2016), Putri (2018), Rahayu et al. (2018),
Simbolon (2017), Tandang et al. (2019), Ulfa (2018), UNICEF (2013a; 2015b;
2018c), Wardani et al. (2020)

D. Hipotesis
Ha : Ada Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting di Desa
Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus
H0 : Tidak Ada Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting di
Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode yang di gunakan peneliti ini adalah kuantitatif. Penelitian
kuantitatif yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat posivitisme,
digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan
data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan
(Sugiyono, 2017).
2. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan gambaran umum peneliti yang akan
dilaksanakan oleh peneliti untuk mencapai tujuan tertentu (Indrawan, 2014).
Dalam penelitian ini menggunakan desain penelitian berupa pendekatan
cross sectional. Pendekatan cross sectional merupakan suatu penelitian untuk
mempelajari dinamika kolerasi antara faktor-faktor risiko dengan efek melalui
pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada saat yang sama
(Notoatmodjo, 2018).

B. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di Posyandu Balita Desa Payaman Kecamatan
Mejobo Kabupaten Kudus.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April - Mei 2023.

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Populasi adalah
Populasi dalam penelitian ini adalah balita di desa Payaman Kecamatan
Mejobo Kabupaten Kudus sebanyak 100 balita dari total keseluruhan terdapat
15 balita stunting.
2. Sampel

21
22

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Adapun ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30
sampai 500 (Sugiyono, 2017)
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel sebanyak 15 balita stunting di
desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus yang dapat mewakili
karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2016).
3. Kriteria Sampel
Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Kriteria Inklusi (kriteria yang layak diukur)
Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subyek penelitian mewakili
sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel. Pertimbangan
inilah yang harus menjadi pedoman dalam menentukan kriteria inklusi
(Hidayat, 2014).
Kriteria Inklusi pada penelitian ini sebagai berikut:
1) Balita yang tinggal di Wilayah Desa Payaman Mejobo Kudus.
2) Balita Usia 13 bulan - <59 bulan.
3) Orang tua yang bersedia menjadi responden.
b) Kriteria Eksklusi (kriteria yang tidak layak diteliti)
Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subyek penelitian tidak dapat
mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian
(Hidayat, 2014).
Kriteria Eksklusi pada penelitian ini sebagai berikut:
1) Balita yang mengalami masalah perkembangan sejak dalam
kandungan.
2) Balita yang sedang sakit atau mempunyai riwayat penyakit infeksi
seperti: diare, cacingan, malaria, ISPA (infeksi saluran pernafasan anak)
dalam 3 bulan terakhir.

D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independent (bebas)
Adalah variabel yang mempengaruhi atau nilainya menentukan variabel
lain. Suatu kegiatan stimulus yang di manipulasi oleh peneliti menciptakan
suatu dampak pada variabel dependent. Variabel bebas biasanya dimanipulasi,
diamati, dan diukur untuk diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap
variabel lain. Dijelaskan bahwa variabel bebas biasanya merupakan stimulus
23

atau intervensi yang diberikan kepada klien untuk mempengaruhi tingkat klien
(Nursalam, 2014). Pada penelitian ini variabel independent yang digunakan
adalah pemberian ASI Eksklusif.
2. Variabel Dependent (terikat)
Adalah variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan oleh variabel lain.
Variabel respon akan muncul sebagai akibat dari manipulasi variabel lain.
Dijelaskan bahwa variabel terikat adalah faktor yang diamati dan diukur untuk
menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas
(Nursalam, 2014). Pada penelitian ini variabel dependent yang digunakan
adalah stunting.

E. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel penelitian yaitu sebuah definisi
berdasarkan pada karakteristik yang dapat diobservasi dari apapun yang
didefinisikan atau mengubah konsep dengan kata-kata yang menguraikan
perilaku yang dapat diamati dan dapat diuji serta ditentukan kebenarannya
oleh seseorang (Nurcahyo & Khasanah, 2016)

Alat Skala
No Variabel Definisi Operasional Kategori
Ukur Data
1. ASI ASI eksklusif Lembar Nominal 1. Iya
Ekslusif adalah ASI yang observasi 2. Tidak
hanya diberikan
kepada Bayi sampai
usia enam bulan,
tanpa di berikan
makanan tambahan
apapun kecuali
vitamin, mineral dan
obat
2. Stunting Stunting adalah Lembar Nominal 1. Iya
kekurangan gizi pada observasi 2. Tidak
bayi di 1000 hari
pertama kehidupan
yang berlangsung
lama dan
menyebabkan
terhambatnya
perkembangan otak
dan tumbuh kembang
anak
24

F. Prosedur Pengumpulan Data


1. Jenis data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung didapatkan dari obyek yang
akan diteliti atau data yang langsung memberikan kepada peneliti. Data
primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari responden dengan
menggunakan panduan wawancara penelitian dan pengukuran
antropometri anak. Data yang dikumpulkan adalah identitas responden,
riwayat penyakit infeksi, pemberian ASI eksklusif dan pemberian MP-ASI
dan parameter status gizi balita.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang tidak di dapatkan langsung dari objek
yang akan diteliti atau data yang didapatkan dari orang lain atau dari
dokumen. Data sekunder dalam penelitian ini yaitu data yang diperoleh dari
Dinkes Kabupaten Kudus meliputi jumlah balita stunting di Kabupaten
Kudus dan data yang diperoleh dari Puskesmas Jepang yaitu data
mengenai meliputi jumlah balita stunting di wilayah kerja Puskesmas
Jepang dan jumlah balita stunting di desa payaman.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan instrumen
penelitian berupa panduan wawancara penelitian yang ditanyakan secara
langsung kepada responden. Pengumpulan data dilakukan dengan cara peneliti
hadir ke posyandu.

G. Metode Pengolahan Data


Analisis data menurut Sugiyono (2018) adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Sedangkan menurut Moleong (2017), analisis data adalah proses
25

mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan


uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
seperti yang disarankan oleh data.
Menurut Notoatmodjo (2018), analisa data dilakukan melalui pengolahan
data yang dilakukan melalui beberapa tahap yaitu editing, coding, entry, cleaning
data dan tabulating data.
1. Editing data
Secara umum editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan
perbaikan isi formulir atau kuesioner yang telah di isi. Dalam penelitian ini yang
dilakukan oleh peneliti adalah memeriksa kembali data responden yang
diperoleh atau dikumpulkan. Kemudian editing dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
2. Coding data
Bertujuan mengidentifikasi data yang terkumpul dan memberikan
angka. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam melakukan analisa
data. Dalam penelitian ini yang dilakukan oleh peneliti adalah setelah
kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan pengkodean atau
coding, yakni memberikan kode pada hasil jawaban pertanyaan masing-
masing responden.
3. Entry data
Setelah semua isian kuesionerterisi penuh dan benar, dan juga sudah
melewati pengkodingan, maka langkah selanjutnya adalah memproses data
agar dianalisis. Proses data dilakukan dengan cara meng-entry data dari
kuesioner ke perangkat komputer.
4. Cleaning data
Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientry
untuk melihat kemungkinan ada kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan
kemudian dilakukan koreksi. Setelah semua data diolah, peneliti melakukan
pengecekan kembali untuk memastikan tidak ada kesalahan kode atau
ketidaklengkapan.
5. Tabulating data
Merupakan kegiatan memasukkan data dalam tabel distribusi
frekuensi yang disajikan dalam prosentase sehingga diperoleh data dari
masing-masing variabel.
26

Peneliti dalam penelitian ini melakukan tabulasi data menggunakan


software SPSS versi 21. Menurut Kemendikbud RI (2014), SPSS (Statistical
Package for the Social Sciences) adalah sebuah program komputer yang
digunakan untuk membuat analisis statistika. SPSS dipublikasikan oleh SPSS Inc.
SPSS digunakan oleh peneliti pasar, peneliti kesehatan, perusahaan
survei, pemerintah, peneliti pendidikan, organisasi pemasaran, dan sebagainya.
Selain analisis statistika, manajemen data (seleksi kasus, penajaman file,
pembuatan data turunan) dan dokumentasi data (kamus metadata ikut dimasukkan
bersama data) juga merupakan fitur-fitur dari software dasar SPSS. Statistik yang
termasuk software dasar SPSS:
1. Statistik Deskriptif: Tabulasi Silang, Frekuensi, Deskripsi, Penelusuran,
Statistik Deskripsi Rasio
2. Statistik Bivariat: Rata-rata, t-test, ANOVA, Korelasi (bivariat, parsial, jarak),
Nonparametric tests
3. Prediksi Hasil Numerik: Regresi Linear
4. Prediksi untuk mengidentivikasi kelompok: Analisis Faktor, Analisis Cluster
(twostep, K-means, hierarkis), Diskriminan
SPSS dapat membaca berbagai jenis data atau memasukkan data secara
langsung ke dalam SPSS Data Editor. Bagaimanapun struktur dari file data
mentahnya, maka data dalam Data Editor SPSS harus dibentuk dalam bentuk baris
(cases) dan kolom (variables). Case berisi informasi untuk satu unit analisis,
sedangkan variable adalah informasi yang dikumpulkan dari masing-masing kasus.

H. Teknik Analisa Data


1. Analisis data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Analisis Univariat
Analisis deskriptif dilakukan dengan membuat tabel dan distribusi
frekuensi dari masing-masing variabel bebas dan terikat, yaitu pemberian
ASI eksklusif dan kejadian stunting (Notoatmodjo, 2014). Perhitungan
rumus besarnya persentase sebagai berikut:

Keterangan:
27

: hasil persentase

: frekuensi hasil pencapaian

: total seluruh observasi

Pada penelitian ini, analisis data disajikan dalam bentuk tabel


distribusi frekuensi dari variabel yang akan dianalisis secara univariat
adalah pemberian ASI eksklusif (ya atau tidak) dan kejadian stunting (ya
atau tidak). Pendeskripsian data diperkuat dengan penyajian Mean (nilai
rata-rata), Median (nilai tengah), dan Modus (nilai yang sering muncul).
1) Mean

Keterangan:

rata-rata sampel

penjumlahan seluruh skor sesuai distribusi

jumlah skor/subjek

2) Median
Median adalah nilai tengah dari kumpulan data yang tersusun secara
teratur (diurutkan menurut besarnya).
3) Modus
28

Keterangan:

tepi bawah kelas modus

selisih frekuensi kelas modus dengan frekuensi kelas sebelumnya

selisih frekuensi kelas modus dengan frekuensi kelas sesudahnya

interval kelas

b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkolerasi, yaitu dengan perilaku dan sikap dengan
perilaku dengan menggunakan uji statistik Chi Square yang dilakukan
secara komputerisasi. Menurut Riyanto (2017), batas atau tingkat
kemaknaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu nilai α 0,05. Apabila
nilai (ρ value) ≤ 0,05 maka perhitungan tersebut dinyatakan bermakna atau
ada hubungan antara dua variabel yang dianalisis, tetapi jika nilai (ρ value)
> 0,05 maka perhitungan tersebut dinyatakan tidak bermakna atau tidak ada
hubungan antara dua variabel yang dianalisis.
Menurut PAMU UEU (2019), ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi jika akan melakukan pengujian dengan Chi Square. Berikut
dijelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya:
1) Tidak ada cell dengan nilai frekuensi kenyataan atau disebut juga
actual count (Fₒ) sebesar 0 (Nol)

2) Apabila bentuk tabel kontingensi 2 2, maka tidak boleh ada 1 cell saja

yang memiliki frekuensi harapan atau disebut juga expected count


(“Fʰ”) kurang dari 5
29

3) Apabila bentuk tabel lebih dari 2 2, misal 2 3, maka jumlah cell

dengan frekuensi harapan yang kurang dari 5 tidak boleh lebih dari
20%
Ada beberapa rumus yang digunakan untuk menyelesaikan suatu
pengujian Chi Square. Seperti rumus Continuity Correction, Fisher Exact
Test, dan Pearson Chi Square. Berikut rincian penggunaan rumus-
rumusnya:

1) Jika tabel kontingensi berbentuk 2 2, maka rumus yang digunakan

adalah “Continuity Correction”

2) Apabila tabel kontingensi 2 2, tetapi cell dengan frekuensi harapan

kurang dari 5, maka rumus harus diganti dengan rumus “Fisher Exact
Test”

3) Rumus untuk tabel kontingensi lebih dari 2 2, rumus yang digunakan

adalah “Pearson Chi-Square”


Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan menggunakan
program SPSS versi 21. Dari statistik tersebut dapat ditetapkan:
a. H0 diterima = Signifikansi > 0,05 = secara statistik hubungan
pemberian ASI eksklusif dan kejadian stunting tidak signifikan
b. H0 ditolak = Signifikansi < 0,05 = secara statistik hubungan pemberian
ASI eksklusif dan kejadian stunting signifikan
DAFTAR PUSTAKA

Amalia Dan Andarumi. 2018. Buku Ajar Tentang Manfaat Dan Komposisi Pada ASI
Eksklusif. Bandung Raya.

Campos A.P., et al. 2020. Hubungan Antara Menyusui Dan Pengerdilan Anak Di


Meksiko. Kesehatan Ann Glob, vol. 86, no. 1, hlm. 145.
Cortes J.Z., et al. 2018. Poor Breastfeeding, Complementary Feeding And Dietary
Diversity In Children And Their Relationship With Stunting In Rural
Communities. Nutr. Hosp, no. 35, hlm. 271 – 278.

Dinkes Kabupaten Kudus. 2022. Tumbuh Kembang Anak Dengan ASI Eksklusif
Minimal 6 Bulan Pertama Kelahiran
Https://Www.Diskominfo.Kudus.Kab.Go.Id/Portal/Berita/Id.Com
Hani Dan Setyaningsih. 2014. Buku Ajar Tentang Jenis ASI Dalam Pemenuhan ASI
Eksklusif. Bandung Raya.

Kementerian Kesehatan RI. 2022. Hasil Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi


Pemerintah Tahun 2022. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
. 2019. Pedoman ASI Eksklusif. Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 33 Tahun 2012
. 2022. Buku Saku Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI)
Tingkat Nasional, Provinsi, Dan Kabuapten/Kota Tahun 2022. Jakarta: Badan
Kebijakan Pembangunan Kesehatan.

. 2019. Pedoman ASI Eksklusif. Menurut Peraturan Pemerintah


Nomor 33 Tahun 2012
. 2022. Buku Saku Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI)
Tingkat Nasional, Provinsi, Dan Kabuapten/Kota Tahun 2022. Jakarta: Badan
Kebijakan Pembangunan Kesehatan.
Abate KH, Belachew T. 2019. Chronic Malnutrition Among Under Five Children Of
Ethiopia May Not Be Economic. A Systematic Review And Meta-
Analysis. Ethiop J Health Sci, vol. 29, no. 2, hlm. 265 – 277.
Abeng, A.T., Ismail, D., Huriyati, E. 2014. Sanitasi, Infeksi, Dan Status Gizi Anak Balita
Di Kecamatan Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia, vol. 10, no. 3, hlm 159 – 168.
Adriana. D. (2013). Tumbuh Kembang & Terapi Bermain Pada Anak.Jakarta: Selemba
Adriani, M., Wirjatmadi, B. 2014. Gizi dan Kesehatan Balita Peranan Mikro Zinc Pada
Pertumbuhan Balita. Diakses dari http://googlebooks.go.id

50
Alamsyah, D., Mexitalia, M., Margawati, A., Hadisaputro, S., Setyawan, H. 2017.
Beberapa Faktor Risiko Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Pada Balita 12-59 Bulan
(Studi Kasus Di Kota Pontianak). Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas,
vol. 2, no. 1, hlm. 54 – 62.
Amalia Dan Andarumi. 2018. Buku Ajar Tentang Manfaat Dan Komposisi Pada ASI
Eksklusif. Bandung Raya.
Auliya C, Woro KH, Budiono I (2015). Profil Status Gizi Balita Ditinjau dari Topografi
Wilayah Tempat Tinggal (Studi di Wilayah Pantai dan Wilayah Punggung Bukit
Kabupaten Jepara). Unnes Journal of Public Health, vol. 4, no. 2, hlm. 108 –
116.
Campos A.P., et al. 2020. Hubungan Antara Menyusui Dan Pengerdilan Anak Di
Meksiko. Kesehatan Ann Glob, vol. 86, no. 1, hlm. 145.
Carolin, B. T., Saputri, A. R., & Silawati, V. 2020. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi
Status Gizi Balita (12-59 Bulan) Di Puskesmas Sukadiri Kabupaten Tangerang
Tahun 2018. Jurnal Ilmu dan Budaya, vol. 41, no. 66.
Clark H, Coll-Seck AM, Banerjee A, et al. 2020. A Future For The World's Children? A
WHO–UNICEF–Lancet Commission. Lancet, vol. 395, no. 10224, hlm. 605 –
658.
Cortes J.Z., et al. 2018. Poor Breastfeeding, Complementary Feeding And Dietary
Diversity In Children And Their Relationship With Stunting In Rural
Communities. Nutr. Hosp, no. 35, hlm. 271 – 278.
Davis JN, Oaks BM, Engle-Stone R. 2020. The Double Burden Of Malnutrition: A
Systematic Review Of Operational Definitions. Curr Dev Nutr, vol. 4, no. 9, hlm.
1 – 14.
Dewi, VNL. 2013. Asuhan Neonatus Bayi Dan Anak Balita. Jakarta: Salemba Medika.
Dinkes Kabupaten Kudus. 2022. Tumbuh Kembang Anak Dengan ASI Eksklusif
Minimal 6 Bulan Pertama Kelahiran
Https://Www.Diskominfo.Kudus.Kab.Go.Id/Portal/Berita/Id.Com
Drammeh W, Hamid NA, Rohana AJ. 2019. Determinants of household food insecurity
and its association with child malnutrition in sub-Saharan Africa: A review of the
literature. Curr Res Nutr Food Sci, vol. 7, no. 3, hlm. 610 – 623.
Handayani, R. 2017. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Pada
Anak Balita. Journal Endurance, vol. 2, no. 2, hlm. 217 – 224.
Hani Dan Setyaningsih. 2014. Buku Ajar Tentang Jenis ASI Dalam Pemenuhan ASI
Eksklusif. Bandung Raya.
Hardinsyah., Supariasa, I.D.N. 2016. Ilmu Gizi : Teori dan Aplikasi. Jakarta: EGC.
Hidayat, 2014. Metodologi Penelitian. Jakarta Salemba
Kementerian Kesehatan RI. 2022. Hasil Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah Tahun 2022. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Khan M.N., Islam M.M. 2017. Effect Of Exclusive Breastfeeding On Selected Adverse
Health And Nutritional Outcomes: A Nationally Representative Study. BMC
Public Health, vol. 17, no. 889.
Khasanah D.P., et al. 2016. Time Of Complementary Feeding Introduction Was
Associated With Stunting In Children 6-23 Months Old In Sedayu,
Bantul. Indones. J. Nutr. Die, vol. 4, no. 105.

51
Koetaan D, Et Al. 2018. The Prevalence Of Underweight In Children Aged 5 Years And
Younger Attending Primary Health Care Clinics In The Mangaung Area, Free
State. African J Prim Heal Care Fam Med, vol. 10, no. 1, hlm. 1 – 5. 
Kuchenbecker J., et al. 2015. Exclusive Breastfeeding And Its Effect On Growth Of
Malawian Infants: Results From A Cross-Sectional Study. Paediatr. Int. Child
Health, vol. 35, hlm. 14 – 23.
Laelatunnisa., Hartini, Th. N.S., Susanto, N. 2016. Hubungan Pemberian ASI dengan
Status Gizi Balita Usia 6-23 Bulan Di Kelurahan Klitren Gondokusuman
Yogyakarta Tahun 2016. Jurnal Medika Respati, vol. 11, no. 3, hlm. 42 – 53.
Lastanto. 2015. Analisis faktor yang mempengaruhi kejadian balita gizi kurang, Skripsi,
program Studi S1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada, Surakarta.
Medika.
Mubarak. 2018. Analisis Faktor Yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Balita Di
Wilayah Pesisir Kecamatan Soropia, vol. 5, no. 2, hlm. 454 – 463.
Napitupulu, D. M. (2018). Hubungan Status Gizi Dengan Perkembangan Motorik Kasar
Anak Balita 3-5 Tahun Di Puskesmas Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Medan
Amplas Tahun 2018. Hilos Tensados, vol. 1, hlm. 1 – 476.
Ni’mah, K. dan Nadhiroh, S. R. 2015. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Balita. Media Gizi Indonesia, vol. 10, no. 1, hlm. 13 – 19.
Nilakesuma, A., Jurnalis, Y.D., Rusjdi, S.R. 2015. Hubungan Status Gizi Bayi dengan
Pemberian ASI Esklusif, Tingkat Pendidikan Ibu dan Status Ekonomi Keluarga
Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir. Jurnal Kesehatan Andalas, vol. 4,
no. 1, hlm. 37 – 44.
Pomati M, Nandy S. 2020. Assessing Progress Towards SDG2: Trends And Patterns
Of Multiple Malnutrition In Young Children Under 5 In West And Central Africa.
Child Indic Res, vol. 13, no. 5, hlm. 1847 – 1873.
Purnama, D., Raksanagara, A.S., Arisanti, N. 2017. Hubungan Perilaku Ibu Dengan
Status Gizi Anak Balita di Kabupaten Garut. Jurnal Keperawatan BSI, vol. 5, no
2, hlm. 164 – 172.
Rahmad, A. H. AL, & Miko, A. (2016). Kajian Stunting Pada Anak Balita Berdasarkan
Pola Asuh dan Pendapatan Keluarga di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesmas
Indonesia, 8(2), 63–79.
Supariasa, I. D., Bakri, B., dan Fajar, I. 2016. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Tebeje NB, Biks GA, Abebe SM, Yesuf ME. 2017. Prevalence And Major Contributors
Of Child Malnutrition In Developing Countries: Systematic Review And Meta-
Analysis. J Child Obes, vol. 02, no. 04, hlm. 16.
Uwiringiyimana V., et al. 2019. Prediktor Stunting Dengan Fokus Khusus Pada Praktik
Pemberian Makanan Pendamping: Studi Cross-Sectional Di Provinsi Utara
Rwanda. Nutr. Hosp, vol. 60, hlm. 11 – 8.
Wali N, Agho K, Renzaho AMN. 2019. Past Drivers Of And Priorities For Child
Undernutrition In South Asia: A Mixed Methods Systematic Review
Protocol. Syst Rev, vol. 8, no. 1, hlm. 1 – 8.
Zhang N, Ma G. 2018. Interpretation Of WHO Guideline: Assessing And Managing
Children At Primary Health-Care Facilities To Prevent Overweight And Obesity
In The Context Of The Double Burden Of Malnutrition. Glob Heal J, vol. 2, no.
2, hlm. 1 – 13. 

52
LAMPIRAN

53
INFORMED CONSENT
BADAN PELAKSANA PENDIDIKAN MA'ARIF NU AZZAHRA KUDUS

Jl. Lambao Karang Sambung RT.01/ IV Bae Kudus 59327


SK. MENDIKNAS NO.244/D/0/2008; DEPKES RI NO .HK. 03.05/1/4/4325/2008

LEMBAR KONSULTASI

Nama Anggota Kelompok 4 : Afifah Qomariyah 2015401001


Mita Faridatun Ni’mah 2015401011
Rohmatul Munazilah 2015401016
Siti Wisma Ikromah 2015401017
Semester : VI (Enam)
Judul : Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
Stunting di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus
Pembimbing II : Rina Novita, S.SiT., M.Kes.

HARI, MATERI YANG SARAN TANDA TANGAN


NO
TANGGAL DIKONSULKAN PEMBIMBING PEMBIMBING
BADAN PELAKSANA PENDIDIKAN MA'ARIF NU AZZAHRA KUDUS

Jl. Lambao Karang Sambung RT.01/ IV Bae Kudus 59327


SK. MENDIKNAS NO.244/D/0/2008; DEPKES RI NO .HK. 03.05/1/4/4325/2008

LEMBAR KONSULTASI

Nama Anggota Kelompok 4 : Afifah Qomariyah 2015401001


Mita Faridatun Ni’mah 2015401011
Rohmatul Munazilah 2015401016
Siti Wisma Ikromah 2015401017
Semester : VI (Enam)
Judul : Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
Stunting di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus
Pembimbing I : Syafrida Ainur, M.Tr.Keb.
HARI, MATERI YANG SARAN TANDA TANGAN
NO
TANGGAL DIKONSULKAN PEMBIMBING PEMBIMBING
BADAN PELAKSANA PENDIDIKAN MA'ARIF NU AZZAHRA KUDUS

Jl. Lambao Karang Sambung RT.01/ IV Bae Kudus 59327


SK. MENDIKNAS NO.244/D/0/2008; DEPKES RI NO .HK. 03.05/1/4/4325/2008

LEMBAR KONSULTASI

Nama Anggota Kelompok 4 : Afifah Qomariyah 2015401001


Mita Faridatun Ni’mah 2015401011
Rohmatul Munazilah 2015401016
Siti Wisma Ikromah 2015401017
Semester : VI (Enam)
Judul : Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
Stunting di Desa Payaman Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus
Penguji : Indayana Setiawati, S.ST., M.Kes.

HARI, MATERI YANG SARAN TANDA TANGAN


NO
TANGGAL DIKONSULKAN PEMBIMBING PEMBIMBING

Anda mungkin juga menyukai