Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Acinetobacter baumannii

Acinetobacter baumannii adalah bakteri Gram negatif berbentuk kokobasil

yang mempunyai sifat aerobik dan non-motil, merupakan bakteri dengan katalase

positif, oksidase negatif dan non-fermenting lactose (Nugroho, 2012).

Gambar 2.1 Morfologi Acinetobacter baumannii dengan pewarnaan


gram (Gandham, 2012)

2.1.1 Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO), infeksi nosokomial didefinisikan

sebagai infeksi yang terjadi pada pasien yang menjalani perawatan di Rumah

Sakit dan muncul lebih dari 48-72 jam pasca perawatan. Infeksi nosokomial

dapat muncul karena kontaminasi dari fasilitas kesehatan yang terkontaminasi

bakteri penyebab infeksi. Sebab lain adalah terdapat proses inkubasi yang lama

akibat perawatan yang panjang sehingga bakteri oportunis tersebut dapat

bermutasi menjadi bakteri patogen. Infeksi nosokomial adalah penyebab terbesar

dari morbiditas, mortalitas dan peningkatan waktu dan biaya pengobatan pasien.

5
6

Pasien yang berada pada kondisi immunocompromized lebih rentan terkena

infeksi nosokomial, seperti pasien yang baru saja melaksanakan pembedahan

atau karena penyakit penyerta yang lain. Salah satu yang paling sering

menimbulkan infeksi nosokomial adalah pasien yang berada pada Intensive Care

Unit (ICU). Pada pasien ICU, kejadian infeksi nosokomial akan meningkat tiga

kali lebih tinggi daripada pasien non-ICU (Mohammed et al., 2014).

Manifestasi infeksi nosokomial yang disebabkan oleh bakteri

Acinetobacter baumannii antara lain bakteremia, pneumonia, meningitis

sekunder, Surgical Site Infection (SSI), Bloodstream Site Infection (BSI) dan

Urinary Tract Infection (UTI). Acinetobacter baumannii juga diketahui sebagai

penyebab tersering outbreaks infeksi nosokomial dan berada pada daftar enam

bakteri utama yang berbahaya berdasarkan Infectious Diseases Society of

America (IDSA) ( Cai et al., 2012).

Pada penelitian Baran, et al (2007) dari 123 pasien, 66 (53.7%) diantaranya

merupakan pasien yang berada pada ICU. 66 (53.7%) pasien tersebut,

mengalami infeksi nosokomial dikarenakan Imepenem Ressistant Acinetobacter

baumanni (IRAB) dan 57 (46,3%) sisanya yang merupakan pasien non-ICU

mengalami infeksi nosokomial Imepenem Sensitive Acinetobacter baumannii

karena (ISAB). Infeksi nosokomial tersebut paling banyak diduduki oleh penyakit

pneumonia (30,3%) dan Surgical Site Infection (28,8%) pada IRAB, pada kasus

ISAB, Surgical Site Infection muncul sebanyak 33,3% dan Blood Stream Infection

(BSI) muncul sebanyak 31,6% (Baran et al., 2007).

Pneumonia akibat Acinetobacter baumannii, dihubungkan dengan

penggunaan ventilator sebagai alat bantu pernapasan. Penggunaan ventilator

dapat meningkatkan kemungkinan kolonisasi bakteri memicu perubahannya


7

menjadi bakteri oportunis penyebab Ventilator Associated Pneumoniae (VAP)

(Mohammed et al., 2014).

Di Indonesia, pada penelitian yang dilakukan oleh beberapa RSUD,

didapatkan bahwa bakteri Acinetobacter baumannii masih menjadi penyebab

paling sering dari infeksi nosokomial. Berdasarkan laporan dari Laboratorium

Mikrobiologi pada tahun 2011 di ICU RS. Cipto Mangunkusumo telah terjadi

peningkatan jumlah infeksi Acinetobacter baumannii yang ditemukan yakni dari

11% menjadi sebanyak 23,3%. Pada penelitian Laboratorium Mikrobiologi RSUD

Arifin Achmad pada tahun 2013, Acinetobacter baumannii merupakan bakteri

terbanyak yang ditemukan pada kultur sputum di ICU yakni sebanyak 36,2%.

Penelitian di ICU RSUP Sanglah Denpasar pada Juli sampai Desember 2013

didapatkan hasil kultur bakteri terbanyak adalah Gram negatif yaitu Acinetobacter

baumannii (28,9%), P. aeruginosa (16,3%) dan K. pneumoniae (7,4%) kemudian

diikuti dengan bakteri gram positif yaitu CoNS (6%). Penelitian yang

dilaksanakan pada RSUD Riau pada tahun 2015, pola sebaran kuman pada ICU,

didapatkan 98% bakteri Acinetobacter baumannii yang di dapat pada sputum

pasien (Rahman dkk., 2015).

2.1.2 Taksonomi

Menurut Almasaudi (2016), taksonomi dari bakteri Acinetobacter

baumannii diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom/Domain : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gammaproteobacteria
Order : Pseudomonadales
Family : Moraxellaceae
Genus : Acinetobacter
Species : Acinetobacter baumannii
8

2.1.3 Morfologi dan Identifikasi

Spesies dari Genus Acinetobacter ini memiliki karakteristik morfologi yaitu

berbentuk pendek, bulat dan berdiameter 1.0-1.5 µm dan akan bertambah

menjadi 1.5-2.5 µm dalam masa pertumbuhannya (Jung & Park, 2015).

Acinetobacter merupakan bakteri tidak tahan asam dan dapat di tanam dan

dikembangbiakkan pada media yang ada di laboratorium regular. Pada Blood

Agar Plates (BAP), koloni dari bakteri ini menampakkan bentuk dan ukuran yang

tipikal, tidak berwarna (putih atau cream), lunak dan mukoid. Sementara pada

Eosin Methylen Blue Agar, koloni tersebut akan menampakkan warna kebiruan

sampai biru keabuan. Pada Herellea Agar, koloni dapat berwarna lavender

(keunguan) dan pada medium Acinetobacter, koloni akan menampakkan warna

pink atau ungu (Doughari et al., 2011). Katalase positif, ditandai dengan

terbentuknya gelembung-gelembung kecil sesaat setelah ditetesi dengan

H2O2. Uji katalase dimaksudkan untuk mengetahui apakah bakteri tersebut

merupakan bakteri aerob, fakultatif anaerob, atau obligat anaerob dan digunakan

untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan hidrogen

peroksida dengan menghasilkan enzim katalase. Bakteri yang memerlukan

oksigen manghasilkan hidrogen peroksida (H2O2) yang sebenarnya beracun bagi

bakteri sendiri. Namun mereka dapat tetap hidup dengan adanya anti metabolit

tersebut karena mereka menghasilkan enzim katalase yang dapat mengubah

hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Bakteri ini pada media cair,

merupakan non-lactose-fermenting kokobasil bakteri, terutama ketika masa

pertumbuhan awal bakteri. Dinding sel dari Acinetobacter merupakan tipe dinding

sel dari bakteri Gram negatif karena mengandung lipopolisakarida (Kurcik-

Trajkovska, 2009).
9

Acinetobacter merupakan saprofit yang hidup secara bebas dan hampir

ditemui dimana saja di sekitar lingkungan tergantung dari jenis spesiesnya.

Spesies atau genus tertentu yang berbeda bisa ditemui di tanah, air, makanan,

manusia ataupun binatang tergantung dari spesies atau genusnya (Kurcik-

Trajkovska, 2009; Doughari et al., 2011; Jung & Park, 2015).

Pada manusia, Acinetobacter baumannii secara umum merupakan flora

normal yang ada pada kulit (Towner, 2006), mukosa faring dan sekret dari traktus

respiratorius (Munoz-Price & Weinstein, 2008) dan merupakan penyebab

terbanyak dari infeksi lokal serta sistemik, meliputi pneumonia, septikemia dan

infeksi pada luka (Beggs et al., 2006). Selain itu, khususnya pada lingkungan

Rumah Sakit terlebih khusus lagi pada Intenstive Care Unit (ICU), salah satu

spesies dari Acinetobacter sp yaitu Acinetobacter baumannii, dapat ditemukan

pada peralatan kesehatan yang digunakan berkali-kali seperti tube untuk

intubasi, alat untuk mengukur tekanan arteri, humidifiers, washbasins, plastic

urinals dan respirometer karena sifat bakteri yang dapat bertahan dalam keadaan

kering dalam periode yang lama. (Kanafani & Kanj, 2014). Selain pada keadaan

kering, bakteri tersebut juga dapat ditemukan dalam keadaan lembap (moist)

contohnya pada tenaga kesehatan, tempat tidur yang ada di ruangan ICU dan

ventilator yang berada pada keadaan lembap. (Beggs et al., 2006; Kanafani &

Kanj, 2014).

2.1.4 Patogenesis

Mekanisme pasti dari infeksi yang disebabkan oleh Acinetobacter baumannii

sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Bakteri ini belum diketahui

dapat memproduksi toksin atau cytolysins, dan beberapa faktor virulensi yang
10

telah diindentifikasi. Sejauh ini, keberhasilan virulensi bakteri Acinetobacter

baumannii telah dikaitkan dengan berbagai faktor: (Chen et al., 2015)

(i) kemampuan untuk menempel pada permukaan biotik dan abiotik,

untuk membentuk biofilm yang membentuk matriks ekstraseluler atau

EPS (Extracelullar Polymeric Substances) untuk bertahan hidup

dengan jangka waktu yang lama. Kemudahan dalam menempel pada

berbagai macam peralatan medis atau pada epitel sel merupakan

faktor penting bagi bakteri ini untuk hidup terus menerus di rumah

sakit dan invasi ke host yang rentan

(ii) ada banyak faktor virulensi yang memfasilitasi infeksi pada manusia,

yang paling terkenal di Acinetobacter baumannii merupakan faktor

virulensi multifungsi, yaitu OmpA. Selain berperan dalam proses

adhesi dan pembentukan toksin, OmpA berkontribusi pada saat

invasi sel epitel, induksi apoptosis sel, dan resistensi serum. Seperti

basil gram-negatif lainnya, lipid A lipopolisakarida (LPS) dari bakteri

ini mudah menginduksi respon inflamasi melalui Toll-like receptor A.

Acinetobacter baumannii yang dipotong polisakaridanya

menunjukkan penurunan virulensi, hal ini menunjukkan bahwa

polisakarida berperan dalam patogenesis. Vesikel membran luar

(outer membrane vesicle) disekresikan oleh bakteri dan mengandung

OmpA, LPS, dan bahan periplasmic. Pada saat pemgiriman faktor

virulensi ke dalam sel host, gen resistensi juga ditransfer ke bakteri

lain dengan menggunakan vesikel membran luar, Siderophores,

senyawa yang mengikat molekul besi bermassa rendah,

memungkinkan Acinetobacter baumannii untuk memperoleh besi


11

didalam lingkungan yang kekurangan zat besi. Penelitian terbaru juga

menjelaskan bahwa kapsul polisakarida, fosfolipase D, atau penisilin-

pengikat protein juga berperan pada patogenitas Acinetobacter

baumannii.

(iii) kemampuan untuk mengatur resistensi terhadap antibiotik sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuannya untuk memperoleh bahan

genetik asing melalui lateral gene transfer dapat mendukung

kelangsungan hidupnya meskipun dalam tekanan antibakteri dan

imunitas host. Adanya mekanisme resistensi bawaan dan

kemampuan untuk mendapatkan kluster gen asing untuk ketahanan

Acinetobacter baumannii (dari plasmid, transposon, atau integrons)

adalah alasan munculnya resistensi terhadap keseluruhan obat

dengan cepat diseluruh dunia.

2.1.5 Stabilitas dan Viabilitas

Acinetobacter baumannii sudah terdaftar sebagai salah satu bakteri yang

mengalami Multi Drug Resistance Organism (MDRO) yang di definisikan resisten

pada hampir seluruh antibiotik yang ada seperti beta-lactam, fluoroquinolones,

tetracycline dan aminoglycosides (Cai et al., 2012).

Acinetobacter baumannii yang mengalami MDRO dewasa ini banyak

menjadi patogen nosokomial pada beberapa Rumah Sakit di seluruh dunia (Abbo

et al., 2005; Kanafani & Kanj, 2014). Selain istilah MDRO, ada juga yang disebut

dengan extensive drug resistance (XDR) atau dikatakan Acinetobacter baumannii

sudah mengalami XDR ketika mengalami resistensi pada carbapenem

(Manchanda et al., 2010).


12

Proses resistensi dari bakteri disebabkan karena adanya beberapa

kombinasi mekanisme resistensi seperti impermeabilitas membran sel, ekspresi

efflux pump yang meningkat dan produksi secara kromosomal yang berkaitan

dengan enzim beta-laktamase dan protein porin yang mengalami mutasi (Zarrilli

et al., 2013; Mohammed et al., 2014). Selain itu, resistensi Acinetobacter

baumannii yang mengalami XDR, yaitu resisten terhadap carbapenem ditemukan

pada penelitian di tahun 1985 dengan mekanisme adanya OXA-type enzyme

dengan carbapenemase, yaitu enzim yang menghambat aktivitas dari antibiotik

carbapenem. Sampai sekarang, resistensi ekstensif dari Acinetobacter

baumannii terjadi pada hampir seluruh daerah di dunia, diantaranya muncul di

Inggris, Perancis, Brazil, Irak, Yunani, Singapura dan Italia (Zarrilli et al., 2013).

Melihat realita bahwa Acinetobacter baumannii masih menjadi penyebab

yang cukup banyak untuk infeksi nosokomial, terdapat beberapa antibiotik yang

masih poten dalam mengobati bakteri ini antara lain : Carbapenem, sulbactam

(karena sulbactam mempunyai beta lactamase-inhibitor) dan colistin (Luna &

Aruj, 2007; Dinc et al., 2015). Hanya sedikit dari banyaknya antibioitk yang ada

yang masih poten dalam mengobati infeksi akibat Acinetobacter baumannii

tersebut, ditambah lagi, penggunaan carbapenem sudah mulai menimbulkan

resistensi di beberapa Negara di dunia (Zarrilli et al., 2013)

2.2 Beringin (Ficus benjamina)

Ficus merupakan salah satu jenis tumbuhan yang paling penting dari

ekosistem hutan. Secara umum masyarakat mengenal Ficus dengan nama

beringin, ara/aro, jilabuak atau sikalabuak dengan ciri khas pada bentuk dan

struktur buah yang disebut dengan fig atau syconium. Ficus terdiri dari hampir
13

800 jenis, yang tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak didapatkan pada

daerah tropis dan sebagian besar di Indo-Malesia. Ficus dapat ditemukan di

hutan yang ada di dataran tinggi sampai dataran rendah ataupun daerah terbuka.

Beberapa jenis spesies Ficus bisa ditemukan di dataran rendah atau dataran

tinggi, salah satu yang dapat ditemukan di dataran tinggi adalah jenis Ficus

benjamina (Nur’aini & Arbain., 2013).

Ficus benjamina adalah salah satu jenis dari beringin yang tersebar dan

berasal dari kawasan yang luas meliputi India, Cina bagian selatan, Asia

Tenggara termasuk Malaysia, Filipina dan Indonesia, bagian utara Australia dan

beberapa pulau di daerah Pasifik. Jika disimpulkan, Ficus benjamina atau biasa

disebut dengan beringin ini berasal dari daerah kawasan Asia-Pasifik (Starr et al.,

2003).

Pohon beringin (Ficus benjamina) memiliki ciri khas berupa akar gantung

yang menjulur dari atas ke bawah dalam jumlah banyak, sehingga tampak

seperti garis-garis vertikal yang menopang pohon tersebut (Hemmer et al., 2004).

Pohon beringin yang merupakan tanaman asli Asia Tenggara termasuk dari

Indonesia dan sebagian Australia ini banyak ditanam sebagai tanaman dekoratif

di fasilitas umum seperti alun-alun, lapangan umum, perindang jalan maupun

tanaman dekoratif di halaman kantor dan rumah (Heyne, 1987; Bauer & Speck,

2012). Hal tersebut dimaksutkan untuk meneduhkan dari sinar matahari karena

pohon beringin memiliki morfologi yang tinggi sampai 60 kaki sehingga dapat

digunakan untuk berteduh. Selain dimanfaatkan secara keseluruhan, tanaman

beringin (Ficus benjamina) dapat dimanfaatkan secara terpisah, seperti

pemanfaatan kayu, daun, ataupun akar gantung dari pohon beringin. Kayu

daripada tanaman beringin bisa digunakan sebagai kayu bakar, ataupun bahan
14

dekorasi ruangan, sedangkan akar gantungnya bisa digunakan sebagai bahan

dasar untuk membuat anyaman (Krisdianto & Balfas, 2016).

Apabila dilihat dari bidang kesehatan, bagian tanaman dari Ficus benjamina

yang sudah banyak diambil manfaatnya adalah daun dan bagian akar gantung

dari pohon beringin itu sendiri. Daun beringin berkhasiat sebagai obat influenza,

radang saluran nafas (bronkitis), batuk rejan (pertusis), malaria, radang usus

akut, disentri, dan kejang panas pada anak-anak (Hasti dkk., 2008). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Cahyani dkk., (2013) telah di gabung bahwa akar

gantung pohon beringin (Ficus benjamina) dapat memperbaiki sel-sel alveoli

yang mengalami penurunan fungsi karena paparan asap rokok pada populasi

tikus jenis Rattus norvegiccus.

2.2.1 Taksonomi dan Morfologi

Menurut Hutapea (1994), sistematika tanaman beringin diklasifikasikan

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Class : Dicotyledonae
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Ficus
Spesies : Ficus benjamina L

Pohon beringin memiliki tinggi hingga mencapai sekitar 20-25 m batang

tegak, bulat, percabangan simpodial, permukaan kasar, pada batang tumbuh

akar gantung berwarna coklat kehitaman. Daun tunggal, bersilang berhadapan,

lonjong, tepi rata, ujung runcing, pangkal tumpul, panjang 3-6 cm, lebar 2-4cm,

bertangkai pendek, pertulangan menyirip, hijau. Bunga tunggal, diketiak daun,

tangkai silindris, kelopak bentuk corong, hijau, benang sari dan putik halus,
15

kuning, mahkota bulat, halus kuning kehijauan, buah buni, bulat, panjang 0,5-

1cm, masih muda hijau setelah tua merah, masak hitam. Mempunyai biji yang

bulat, keras, dan berwarna putih. Akar tunggang dan berwarna coklat

menggangung ke bawah (Hutapea, 1994).

Gambar 2.2 Morfologi Ficus benjamina (Gandham, 2012)

2.2.2 Kandungan Akar Gantung Beringin

Akar gantung beringin diketahui memiliki beberapa kandungan essential

oil berdasarkan analisa Hydrostillation and Gas-chromatography mass

spectrometry (GC-MS), antara lain : methanamine, cyclopentanone, methyl-2

phenylindole, cyclopropaneoctanal, arsenous acid, hexadecanoic acid,

palmitic acid, dan 9,12-octadecadieonic acid (Imran et al., 2014)

Selain kandungan essential oil, akar gantung beringin juga memiliki

kandungan flavonoid, fenol, tanin yang memiliki potensi sebagai antioksidan

dan atau antimikroba yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif

pengobatan infeksi bakteri. (Dai et al., 2012). Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa akar gantung pada pohon beringin memiliki kandungan

bioaktif yang dapat berfungsi sebagai antimikroba, seperti flavonoid dan

tanin. (Jain et al., 2013; Imran et al., 2014).


16

Tabel 1. Total Kandungan Fenol dan Flavonoid pada bagian tanaman Ficus
benjamina (Imran et al., 2014)

Perhitungan Bagian tanaman


kandungan Jenis ekstrak Batang Akar Daun
antioksidan
Kandungan Methanol 539.17 ± 3.21e 573.06 ± 2.74d 531.76 ± 4.90e
Fenol Total n-butanol 735.11 ± 3.42a 705.48 ± 3.42b 650.17 ± 5.22c
(GAE Chloroform 90.28 ± 0.11j 122.87 ± 0.65i 66.76 ± 1.07k
mg/100 g) Ethyl acetate 263.85 ± 1.71f 237.19 ± 1.71g 157.19 ± 1.71h
n-hexane 7.80 ± 0.21lk 10.02 ± 0.21li 12.61 ± 0.21ll
Kandungan Methanol 724.60 ± 0.89f 1654.00 ± 8.93b 1592.20 ± 8.93c
flavonoid n-butanol 1566.40 ± 9.52d 1665.30 ± 9.52b 1780.80 ± 9.52a
total (CE Chloroform 103.20 ± 2.68k 491.20 ± 4.55h 262.70 ± 2.98j
mg/100 g) Ethyl acetate 329.60 ± 4.76i 807.90 ± 4.76e 552.20 ± 4.76g
n-hexane 4.50 ± 0.25lj 6.40 ± 0.12lj 8.40 ± 0.12lj

Tabel 2. Hasil ekstraksi Akar Gantung Beringin (Ficus benjamina) dengan


menggunakan berbagai macam pelarut untuk melihat kandungan zat
bioaktif (Jain et al., 2013)

Bahan Fitokomia Kandungan pada Ficus benjamina


Saponin -
Oil fat +
Tanin +
Karbohidrat ++
Glikosida +++
Phenolic compounds +++
Keterangan :

tanda ++ : terkandung senyawa lebih banyak

tanda + : terkandung senyawa

tanda - : tidak terkandung senyawa


17

Tabel 3. Hasil ekstraksi akar gantung beringin (Ficus benjamina) dengan


berbagai bahan pelarut (Rahama & Mashi, 2015)

Keterangan :

F1 : pengekstrak etanol F4 : pengekstrak metanol


F2 : pengekstrak chloroform F5 : pengekstrak aqueous
F3 : pengekstrak etil asetat
Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 96%. Menurut

Arifianti, dkk., (2014), etanol digunakan sebagai pelarut karena sifatnya yang

polar, universal dan mudah di dapat. Sesuai dengan konsep like dissolve like,

dimana senyawa yang bersifat polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa

yang bersifat non polar akan larut dalam pelarut non polar (Arifianti, dkk., 2014).

Ekstrak etanol dapat mengidentifikasi senyawa metabolit lebih banyak daripada

pelarut lain, hal ini dikarenakan ekstrak etanol mempunyai kesamaan tingkat

kepolaran dengan senyawa yang di dapatkan. Menurut Markham (1988),

flavonoid adalah polifenol yang mempunyai sejumlah gugus hidroksil, flavonoid

juga bersifat polar dan karenanya cukup larut dalam pelarut polar seperti etanol.

Penelitian dari Rahama & Mashi (2015), menyebutkan bahwa Ficus benjamina

sudah terbukti dapat menjadi agen antimikroba untuk bakteri Gram positif yaitu

Streptococcus pyogens, and Staphylococcus aureus (diameter inhibisi

17.73±0.36 mm) dan bakteri Gram negatif yaitu Escherichia coli (diameter inhibisi
18

13.75±0.08 mm) and Pseudomonas auriginosa, yang telah diuji menggunakan

metode kuantitatif difusi sumuran.

2.2.2.1 Flavonoid

Senyawa flavonoid merupakan senyawa metabolit tumbuhan yang sangat

melimpah di alam. Senyawa flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian

tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji.

Kebanyakan flavonoid ini berada di dalam tumbuh-tumbuhan, kecuali alga.

Flavonoid juga terdapat pada hewan, misalnya dalam kelenjar bau berang-

berang dan sekresi lebah. Struktur dasar dari senyawa flavonoid terdiri dari 2-

phenyl-benzol-pyrane atau flava nucleus yang terdiri dari dua cincin aromatik

benzena yang dihubungkan oleh 3 atom karbon, atau suatu fenilbenzopiran (C6-

C3-C6). Bergantung pada posisi ikatan dari cincin aromatik benzena pada rantai

penghubung tersebut, kelompok flavonoid dibagi menjadi tiga kelas utama,

flavonoid, isoflavonoid, dan neoflavonoid (Cushnie & Lamb, 2005).

Flavonoid merupakan senyawa sedang digemari untuk menjadi objek

penelitian. Senyawa ini diduga mempunyai banyak potensi dalam bidang

kesehatan, antara lain sebagai anti-inflamasi, aktivitas oestrogenic serta aktivitas

sebagai antimikroba (Khumar & Pandey, 2013).

Flavonoid mempunyai potensi sebagai antimikroba sebagai agen

bakteriostatika, yaitu menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri.

Mekanisme dari flavonoid sebagai antimikroba diklasifikasikan menjadi tiga cara

yaitu dengan menghambat sistesis asam nukleat bakteri, menghambat fungsi

membran sitoplasma dan menghambat metabolisme energi bakteri sehingga

pertumbuhan dan perkembangan bakteri terhambat karena komponen dari

pertumbuhan dan perkembangan di hentikan oleh flavonoid (Hendra dkk., 2011).


19

2.2.2.2 Tanin

Tanin merupakan zat organik yang sangat kompleks dan terdiri dari

senyawa fenolik. Istilah tanin pertama sekali diaplikasikan pada tahun 1796 oleh

Seguil. Tanin terdiri dari sekelompok zat – zat kompleks terdapat secara meluas

dalam dunia tumbuh – tumbuhan, antara lain terdapat pada bagian kulit kayu,

akar, batang, daun dan buah – buahan. Tanin yang dihasilkan dari tumbuh-

tumbuhan mempunyai ukuran partikel dengan range besar. Tanin ini disebut juga

asam tanat, galotanin atau asam galotanat. Tanin merupakan senyawa aktif

metabolit sekunder yang diketahui mempunyai beberapa khasiat diantaranya

sebagai astringen, antidiare, antibakteri dan antioksidan (Mabruroh, 2015).

Beberapa tahun terakhir, tanin juga sedang dikembangkan dan diteliti efeknya

sebagai antikanker melalui mekanisme tertentu (Doss et al., 2009).

Keberadaan metabolit sekunder menjadi faktor penting melalui

mekanismenya terhadap bakteri. Mekanisme tanin sebagai antibakteri yaitu

dengan mengganggu sintesa peptidoglikan sehingga pembentukan dinding sel

menjadi tidak sempurna. Keadaan tersebut akan mengakibatkan dinding sel

bakteri menjadi lisis karena adanya tekanan osmotik maupun tekanan fisik

sehingga sel bakteri akan mati (Safera, 2005). Menurut Naim (2004), mekanisme

kerja tanin sebagai antibakteri berhubungan dengan kemampuan tanin dalam

menginaktivasi adhesin sel bakteri (molekul yang menempel pada sel inang)

yang terdapat pada permukaan sel. Tanin yang memiliki target pada polipeptida

dinding sel akan mengakibatkan kerusakan pada dinding sel karena tanin adalah

salah satu senyawa fenol (Sari dkk., 2011). Kompleksasi dari ion besi dengan

tanin dapat menjelaskan toksisitas tanin. Mikroorganisme yang tumbuh di bawah

kondisi aerobik membutuhkan zat besi untuk berbagai fungsi, termasuk reduksi
20

dari prekursor ribonukleotida DNA. Hal ini disebabkan oleh kapasitas pengikat

besi yang kuat oleh tanin (Akiyama et al., 2001).

2.3 Bahan Antimikroba

Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi

mikroba pada manusia. Sedang antibiotika adalah senyawa kimia yang

dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan

secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri

dan organisme lain (Munaf, 1994). Berdasarkan sifat toksisitas, antimikroba

dibagi menjadi dua, yaitu bakteriostatik yang merupakan antimikroba yang dapat

menghambat pertumbuhan mikroba, dan bakterisidal yang merupakan

antimikroba yang dapat membunuh mikroba. Berdasarkan sifat toksisitas selektif,

ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal

sebagai aktivitas bakteriostatik; dan ada yang bersifat membunuh mikroba,

dikenal sebagai aktivitas bakterisidal. Berdasarkan mekanisme kerjanya,

antimikroba dibagi dalam lima kelompok, yaitu:

a. Antimikroba bakteriostatik yang mengganggu metabolisme sel

mikroba

b. Antimikroba bakterisidal yang menghambat sintesis dinding sel

bakteri dengan cara memecah dan menghambat pembentukan

enzim.

c. Antimikroba bakteriosidal dan bakteriostatik yang mengganggu

permeabilitas membran sel mikroba, dengan cara melisiskan sel

menghilangkan substansi seluler


21

d. Antimikroba bakteriosidal dan bakteriostatik yang menghambat

sintesis protein sel mikroba dengan cara menghambat tahap sintesis

protein pada sel kuman tanpa mempengaruhi sel normal tubuh

e. Antimikroba yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat

sel mikroba (DNA/RNA) (Kohanski et al., 2010).

2.4 Uji Sensitivitas Antibakteri

Tujuan pengukuran aktivitas antibakteri adalah untuk menentukan potensi

suatu zat yang diduga atau telah memiki aktivitas sebagai antibakteri dalam

larutan terhadap suatu bakteri (Brooks et al., 2007). Macam-macam metode uji

aktivitas antimikroba antara lain :

a. Metode pengenceran agar

Metode pengenceran agar sangat cocok untuk pemeriksaan sekelompok besar

isolate versus rentang konsentrasi antimikroba yang sama (Sacher &

McPherson, 2004). Kelemahan metode ini yaitu hanya dapat digunakan untuk

isolasi tipe organisme yang dominan dalam populasi campuran (Brooks et al.,

2007).

b. Metode difusi agar

Metode difusi digunakan untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan

yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami

mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih pada

permukaan media agar mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan

mikroorganisme oleh agen antimikroba (Pratiwi, 2008).

Metode difusi agar dibedakan menjadi dua yaitu cara Kirby Bauer dan cara

sumuran, antara lain :


22

1) Cara Kirby Bauer

Metode difusi disk (tes Kirby Bauer) dilakukan untuk menentukan aktivitas agen

antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar

yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar

tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan

mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar (Pratiwi,

2008). Keunggulan uji difusi cakram agar mencakup fleksibilitas yang lebih besar

dalam memilih obat yang akan diperiksa (Sacher & McPherson, 2004).

2) Cara sumuran

Metode ini serupa dengan metode difusi disk, di mana dibuat sumur pada media

agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi

agen antimikroba yang akan diuji (Pratiwi, 2008).

c. Metode dilusi

Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair dan dilusi padat.

1) Metode dilusi tabung

Metode ini mengukur KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh

Minimum). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen

antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji (Pratiwi,

2008).

2) Metode dilusi agar

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat

(solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang

diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008).

Anda mungkin juga menyukai