Anda di halaman 1dari 26

ARTIKEL APA YANG DI MAKSUT DENGAN RESISTENSI BAHKTERI

TERHADAP ANTI BIOTIK DAN BAGAIMANA MEKANISME RESISTENSI


SECARA UMUM

Oleh

Nama : elisabeth v. p. kalilago


Nim : 202370044

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PAPUA
SORONG
2023

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1. Bagaimana Mekanisme Resistensi Secara Umum.

Obat yang digunakan sebagai pengobatan penyakit infeksi telah diketahui


sejak abad ke – 17 yaitu ditemukannya kinin untuk pengobatan malaria dan
emetin untuk pengobatan amubiasis. Walaupun demikian kemoterapi sebagai
ilmu baru dimulai pada dekade pertama pada abad ke – 20 oleh Paul Ehrlich.
Penemuan sulfonamid yang segera digunakan di klinik pada tahun 1935 dapat
menanggulangi masalah infeksi dengan hasil yang memuaskan, dan kemudian
pada tahun 1940 diketahui bahwa Penisilin yang ditemukan oleh Alexander
Fleming pada tahun 1929 sangat efektif untuk pengobatan penyakit infeksi
(Brooks dkk, 1998).
Antibiotik merupakan bahan kimiawi yang dihasilkan oleh organisme
seperti bakteri dan jamur, yang dapat mengganggu mikroorganisme lain.
Biasanya bahan ini dapat membunuh bakteri (bakterisidal) atau menghambat
pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) atau mikroorganisme lain. Beberapa
antibiotik bersifat aktif terhadap beberapa spesies bakteri (berspektrum luas)
sedangkan antibiotik lain bersifat lebih spesifik terhadap spesies bakteri tertentu
(berspektrum sempit) (Bezoen dkk, 2001).
Antibiotik telah terbukti bermanfaat bagi kehidupan manusia sejak mulai
awal ditemukannya sampai sekarang. Namun penggunaannya yang terus
menerus meningkat dapat menimbulkan berbagai masalah. Masalah terpenting
adalah timbulnya galur bakteri resisten terhadap berbagai jenis antibiotik yang
dapat menyebabkan pengobatan penyakit infeksi dengan antibiotik tidak lagi
efisien atau bahkan menjadi lebih mahal. Selain hal tersebut di atas masalah lain
yang timbul adalah efek samping obat yang cukup serius dan dampak yang
paling buruk adalah bila kemudian tidak ada lagi antibiotik yang dapat

2
digunakan dan mampu untuk eradikasi bakteri penyebab infeksi sehingga dapat
mengancam jiwa penderita (Sudarmono, 1986).
Antibiotik tidak saja digunakan untuk keperluan terapi pada manusia,
namun juga digunakan pada berbagai bidang seperti pada bidang peternakan
yaitu dalam hal profilaksis infeksi pada hewan di berbagai peternakan hewan
atau penggunaan pada tanaman. Akibat dari hal tersebut maka timbul pemaparan
yang terus menerus dan berlebihan dari flora tubuh manusia dan hewan terhadap
antibiotik sehingga menyebabkan terjadinya proses seleksi bakteri yang resisten
terhadap antibiotik pada suatu populasi bakteri dan terjadi transfer dari satu jenis
bakteri ke bakteri yang lain (Parker, 1982).
Pemberian antibiotik berspektrum luas serta kombinasinya yang secara
rutin merupakan penatalaksanaan penyakit infeksi oleh para klinisi, merupakan
salah satu faktor penunjang terjadinya perubahan pola bakteri penyebab infeksi
dan pola resistensi terhadap berbagai antibiotik. Mortalitas dan morbiditas yang
tinggi pada penderita dengan infeksi serius yang dirawat di rumahsakit adalah
tantangan terbesar yang dihadapi para klinisi di rumahsakit dalam mengobati
penyakit infeksi (Jones, 1996).
2 Resistensi Bahkteri Terhadap Anti Biotik.

Resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan ancaman bagi


kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia, hal ini terjadi karena penggunaan
antibiotik yang relatif tinggi. Resistensi ini selain berdampak pada morbiditas
dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang
sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi
lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat, khususnya
Streptococcus pneumoniae (SP), Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli
(Kemenkes, 2011).
Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh
dunia, yaitu Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin-
Resistant Enterococci (VRE), Penicillin Resistant Pneumococci, Klebsiella
pneumoniae yang menghasilkan Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL),

3
Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii dan Multiresistant
Mycobacterium tuberculosis (Severin et al, 2010).
Di Eropa diperkirakan 25 ribu orang meninggal setiap tahun akibat
infeksi yang disebabkan bakteri yang multiresisten. Sekitar 2 juta orang di
Amerika Serikat terinfeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik setiap
tahunnya dan paling sedikit 23.000 orang meninggal tiap tahunnya akibat infeksi
tersebut (CDC, 2014). Hasil Penelitian Antimicrobial Resistance in Indonesia,
Prevalence and Prevention (AMRIN Study) yang merupakan penelitian
kolaborasi Indonesia dan Belanda di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUP
Dr. Kariadi Semarang

pada tahun 2001-2005 menunjukkan terdapat bakteri multi-resisten, seperti


MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus aureus) dan bakteri penghasil
ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases) (Severin et al., 2010)
Hasil penelitian di RSUP dr. M. Djamil Padang, dari 6387 spesimen yang
dilakukan uji sensitivitas, 3689 isolat termasuk ke dalam MDR (Multi Drug
Resistance). Bakteri yang termasuk ke dalam MDR adalah Klebsiella sp,
Staphylococcus aureus, Enterobacter sp, Pseudomonas sp, E. Coli, Proteus sp.
Persentase resistensi pada tahun 2010 (62%), 2011 (55%) dan 2012 (58%)
(Sjahjadi N R et al., 2015). Dari hasil penelitian diatas Pseudomonas sp
termasuk bakteri MDR, salah satu Pseudomonas sp yang patogen adalah P.
aeruginosa.

Bakteri P. aeruginosa bersifat opportunistik, dapat menyebabkan


berbagai jenis infeksi pada manusia di komunitas maupun di tempat perawatan.
Bakteri ini penyebab utama infeksi nosokomial dengan prevalensi yang
bervariasi (Tokajin et al., 2012). Menurut Chi et al (2012) P. aeruginosa
menyebabkan 12 % dari infeksi nosokomial. Pada tahun 2003, di rumah sakit
Dr. Moewardi Fakultas Kedokteran UNS Surakarta, penyebab tertinggi infeksi
nosokomial adalah P. aeruginosa (13 %). Di bangsal syaraf RSUP Dr. M.
Djamil Padang, P. aeruginosa salah satu penyebab infeksi nosokomial, 13,3 %
dari pasien yang dirawat terinfeksi P. aeruginosa (Umami, 2011).

4
Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi pada luka dan luka bakar,
menghasilkan nanah warna hijau biru; meningitis jika masuk melalui fungsi
lumbal; dan infeksi saluran kencing jika masuk melalui kateter dan instrument
atau karena larutan irigasi. Menyebabkan pneumonia akibat penggunaan
alat

respirator yang tercemar; otitis eksterna ringan pada perenang dan otitis eksterna
ganas pada pasien diabetes; pada bayi mungkin masuk ke aliran darah dan
mengakibatkan sepsis (Jawets et al, 2007).

Hasil isolasi dari sputum, darah dan urin pasien yang dirawat di Intensive
Care Unit rumah sakit Iran serta dari alat antara lain foley catheters, nasogastric
tubes dan endotracheal tubes didapatkan isolat P. aeruginosa 43.2% (Jamshidi
et al., 2009). Pada pasien luka bakar di Tohid Hospital Iran, ditemukan dari 176
spesimen klinik, 145 positif mengandung P. aeruginosa (Kalantar et al., 2012).
Bakteri ini juga penyebab utama infeksi pada luka terutama di negara
berkembang. Dari 300 spesimen luka ditemukan 100 yang mengandung P.
aeruginosa (Akingbade et al., 2012). Dari urin pasien di Uttar Pradesh India
ditemukan 132 dari 174 sampel mengandung P. aeruginosa (Prakash & Saxena,
2013). Ampisillin dan Tetrasiklin yang ditemukan di Nigeria atau karena
transportasi dan penyimpanan yang tidak sesuai. Selain itu juga karena jeleknya
diagnosa infeksi, sebagian besar rumah sakit tidak memiliki laboratorium
mikrobiologi sehingga tidak dapat memberikan informasi etiologi infeksi dan
sensitivitas patogen terhadap antibiotik yang akan diresepkan dokter, sehingga
pengobatan dilakukan secara empirik dengan antibiotik spektrum luas ( Jordi &
Pal, 2010).
Khan et al (2008) mengisolasi P. aeruginosa dari berbagai ruangan
rumah sakit di Afganistan, dari 4709 isolat, 6,6 % P. aeruginosa. Isolat paling
resisten terhadap ampisilin (98,4%), diikuti oleh ampisilin/sulbaktam (85,3%),
co- amoksiklav (83,8%) dan ofloksasin (68,4%) dan amikasin (24%). Ramana &

5
Chaudhury (2012) mengisolasi P. aeruginosa dari kateter urin, tip tabung
endotracheal, dan central venous catheter, didapatkan 290 isolat dengan
resistensi tertinggi terhadap sefotaksim dan gentamisin (40%), diikuti
siprofloksasin (39%), amikasin (26%), sefoperazon-sulbaktam (22%),
piperasilin- tazobaktam (16%) dan imipenem (14%). Sebanyak 33 isolat P.
aeruginosa yang diisolasi dari darah pasien di rumah sakit Houston multi
resisten. Semua resisten terhadap karbapenem dan aminoglikosida, 91 % resisten
penisillin/sefalosporin dan 21 % resisten terhadap aminoglikosida (Tam et al.,
2010).

Di RSUP dr. M. Djamil Padang juga ditemukan P. aeruginosa yang


resisten terhadap antipseudomonas. Isolat yang diisolasi dari 12 orang pasien
luka pasca operasi di bangsal bedah yang diuji resistensinya terhadap beberapa
antibiotik (Gentamisin, Siprofloksasin, Sefotaksim, Seftriakson, Seftazidim dan
Meropenem) didapatkan Meropenem yang paling sensitif dan Seftazidim yang
paling resisten (Rustini dkk., 2011). Sedangkan dari sputum dan swab
tenggorok

pasien yang dirawat di bangsal syaraf sensitif tertinggi terhadap meropenem dan
resisten terhadap sefotaksim (Umami., 2011). Resistensi P. aeruginosa terhadap
antibiotik dengan beberapa mekanisme antara lain dengan memproduksi enzim
β-laktamase yang dapat mendestruksi antibiotik, mengurangi permeabilitas
membran terluar dan membran sitoplasma, memproduksi enzim yang dapat
memodifikasi aminoglikosida, kehilangan porin D2 membran terluar (OprD),
penekanan mutasi kromosom AmpC, mendapat plasmid/transposon,
memodifikasi DNA gyrase, dan multi substrat efflux pumps (Tokajian et al.,
2012; Prinsloo, Straten & Weldhagen., 2008).

Untuk pengobatan infeksi P. aeruginosa dapat digunakan antibiotik


golongan β-laktam, aminoglikosida dan fluorokuinolon, yang paling banyak
digunakan adalah golongan β-laktam. Antibiotik ini bekerja pada dinding sel
bakteri dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri. Pada proses

6
pembentukan dinding sel, terjadi reaksi transpeptidasi yang dikatalis oleh enzim
transpeptidase dan menghasilkan ikatan silang antara dua rantai peptida-glukan.
Enzim ini dapat mengikat antibiotik β-laktam sehingga menyebabkan enzim
tidak mampu mengkatalisis reaksi transpeptidase walaupun dinding sel tetap
terus dibentuk. Dinding sel yang terbentuk tidak memiliki ikatan silang dan
peptidoglikan yang terbentuk tidak sempurna sehingga lebih lemah dan mudah
terdegradasi. Pada kondisi normal, perbedaan tekanan osmotik antara lingkungan
dan sel bakteri Gram negatif juga dapat menyebabkan terjadinya lisis sel. Selain
itu, kompleks protein transpeptidase dan antibiotik β-laktam akan
menstimulasi senyawa autolisin yang dapat mendigesti dinding sel bakteri
tersebut. Bakteri yang kehilangan dinding sel maupun mengalami lisis akan mati
(Poole, 2011).

Bakteri P. aeruginosa salah satu bakteri Gram negatif yang dapat


menghasilkan enzim β-laktamase yang dapat memecah cincin β-laktam pada
antibiotik tersebut dan membuatnya menjadi tidak aktif. Enzim β-laktamase
dapat memutus ikatan C-N pada cincin β-laktam sehingga antibiotik tidak dapat
berikatan dengan protein transpeptidase akibatnya terjadi kehilangan
kemampuan untuk menginhibisi pembentukan dinding sel bakteri. Gen penyandi
enzim β- laktamase ditemukan pada kromosom dan plasmid sehingga dapat
ditransfer antar spesies bakteri, hal ini yang menyebabkan resistensi terhadap
antibiotik β-laktam dapat menyebar dengan cepat (Basak et al., 2013).

Enzim β-laktamase pertama kali ditemukan di Yunani pada tahun 1960,


diberi nama TEM sesuai dengan nama pasien yang pertama terinfeksi bakteri ini
yaitu Temoniera. Bakteri ini resisten terhadap penisilin dan sefalosporin
generasi
I. Selanjutnya terjadi mutasi pada nukleotida dari gen yang mengkode enzim
tersebut sehingga bakteri menjadi resisten terhadap golongan antibiotik yang
lebih luas yaitu terhadap sefalosporin generasi II dan III serta monobaktam
(Aztreonam) (Chika et al., 2015). berkontribusi mengakibatkan terjadinya

7
MDRPA (Odumosu et al., 2013), sebagai mediator yang memfasilitasi dengan
cepat penyebaran resistensi bakteri (Raj, 2012). Fungsi penting plasmid bakteri
pertama kali diakui pada awal tahun 1960an, saat diketahui bahwa resistensi obat
dapat berpindah (Jayanthi & Jeya, 2014). Umumnya bakteri yang resisten
terhadap antibiotik disebabkan adanya gen resisten yang terletak pada
plasmid R. Resistensi yang dikode gen di dalam plasmid R disebabkan oleh
enzim yang menginaktivasi obat atau enzim yang secara aktif memompa obat
keluar sel (Tolan, 2008). Transfer plasmid R terjadi secara horizontal dengan
mekanisme konjugasi, dimana proses transfer bahan genetik terjadi dari sel yang
satu ke sel lainnya melalui kontak langsung (Pratiwi, 2008). Transfer plasmid R
dapat meningkatkan populasi bakteri resisten di alam dan mengurangi
efektivitas pengobatan karena transfer plasmid R terjadi tidak hanya dalam satu
spesies tetapi dapat terjadi di dalam satu genus (Wibowo et al., 2011). Plasmid R
dari strain bakteri yang resisten dapat mentransfer DNAnya melalui pillus ke
bakteri lain yang sensitif, sehingga dapat menimbulkan resistensi obat yang
sama dengan strain pendonor resistensi (Elias et al., 2013).
Mekanisme lain dari timbulnya resistensi pada P. aeruginosa karena
adanya efflux pump yaitu suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen protein,
yang dapat memompa keluar antibiotik yang masuk ke dalam sel bakteri dan
merusak aksesibilitas menuju target. Efflux pump tidak hanya dapat memompa
antibiotik tetapi juga dapat memompa senyawa non-antibiotik seperti pewarna,
deterjen, logam berat, dan pelarut organik. Bakteri memiliki 3 sistem efflux yaitu
MexAB-OprM, MexAB-oprN dan MexCD-oprJ. MexAB-OprM efflux pump
adalah sistem efflux yang terdapat pada bakteri yang resisten terhadap antibiotik
β-laktam. Sistem ini disandi oleh 3 jenis gen yaitu mexA, mexB dan mexR.
Penentuan MexAB-OprM efflux pump dilakukan dengan multiplex PCR. Dari 53
isolat yang berasal dari pasien septisemik semuanya mempunyai ketiga gen
(Grawi et al., 2012). Pourakbari et al (2016) menentukan ekspresi MexAB-
OprM efflux pump dari 45 isolat yang berasal dari anak, 28 (62%) dari isolat
positif mempunyai ketiga gen.
Penelitian tentang resistensi dan menganalisis hubungan resistensi

8
dengan faktor penyebabnya tidak banyak yang melakukan di Indonesia,
khususnya di RSUP Dr. M. Djamil Padang, sedangkan hal ini perlu ditentukan
untuk menjadi pedoman dalam pemilihan antibiotik untuk infeksi P. aeruginosa.
Dengan diketahuinya hubungan faktor penyebab dengan resistensi maka dapat
diatasi atau diminimalkan penyebaran resistensi sehingga dapat menekan laju
peningkatan resistensi P. aeruginosa.
Berdasarkan uraian diatas maka dirasa penting untuk melakukan
penelitian pola resistensi P. aeruginosa di RSUP dr. M. Djamil Padang dan
menganalisis hubungan faktor penyebab dengan resistensi. Faktor penyebab
resisten yang akan dideteksi adalah ESBL, Plasmid, gen pengkode ESBL var
gen blaTEM, blaOXA2 dan blaCTX pada DNA dan plasmid, dan deteksi
MexAB-OprM efflux pump. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi
pedoman dalam penggunaan antibiotik untuk infeksi P. aeruginosa,
meminimalkan faktor penyebab sehingga tidak terjadi peningkatan resistensi dan
mencari senyawa yang dapat menghambat kerja ESBL dan MexAB-OprM efflux
pump.
A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah


sebagai berikut :
1. Apakah P. aeruginosa yang diisolasi dari sampel klinis pasien RSUP
Dr.

M. Djamil Padang resisten terhadap antibiotik β-laktam, aminoglikosida


dan fluorokuinolon.

9
2. Apakah P. aeruginosa yang diisolasi dari sampel klinis pasien RSUP
Dr.

M. Djamil Padang menghasilkan enzim ESBL?

3. Apakah P. aeruginosa yang diisolasi dari sampel klinis pasien RSUP


Dr.

M. Djamil Padang memiliki plasmid ?

4. Apakah P. aeruginosa yang diisolasi dari sampel klinis pasien RSUP


Dr.

M. Djamil Padang memiliki var gen blaTEM, blaOXA2 dan blaCTX?

5. Apakah P. aeruginosa yang diisolasi dari sampel klinis pasien RSUP dr.
M. Djamil Padang memiliki MexAB-OprM efflux pump?
6. Apakah ada hubungan antara ESBL, plasmid, var gen blaTEM,
blaOXA2 , dan blaCTX pada DNA dan plasmid dan MexAB-OprM efflux
pump dengan resistensi P. aeruginosa
B. Tujuan Penelitian

1.1.1 Tujuan Umum

1. Membuktikan adanya P. aeruginosa yang diisolasi dari sampel klinis yang


resisten terhadap antibiotik β-laktam, aminoglikosida dan fluorokuinolon
2. Membuktikan adanya hubungan antara ESBL, Plasmid, var gen blaTEM,
blaOXA, blaCTX dan MexAB-OprM efflux pump dengan resistensi P.
aeruginosa
1.1.2 Tujuan Khusus

1. Menentukan resistensi P. aeruginosa terhadap antibiotik β- laktam,


aminoglikosida dan fluorokuinolon

10
2. Membuktikan bahwa P. aeruginosa menghasilkan enzim ESBL

3. Membuktikan bahwa P. aeruginosa memiliki Plasmid

11
4. Membuktikan bahwa P. aeruginosa memiliki gen blaTEM, blaOXA2 dan
blaCTX
5. Membuktikan bahwa P. aeruginosa memiliki MexAB-OprM

efflux pump

6. Membuktikan hubungan antara ESBL, Plasmid, var gen blaTEM, blaOXA2,


blaCTX dan MexAB-OprM efflux pump dengan resistensi P. aeruginosa
C. Manfaat Penelitian

1.1.3 Manfaat Terapan/Klinis

1. Hasil penentuan resistensi P. aeruginosa dapat direkomendasikan untuk


membantu Komite Farmasi dan Terapi RSUP Dr. M. Djamil Padang dalam
menyusun formularium Rumah Sakit.
2. Hasil penentuan ESBL, Plasmid dan MexAB-OprM efflux pump dapat menjadi
pedoman bagi pengambil kebijakan untuk menanggulangi infeksi yang
disebabkan oleh P. aeruginosa
1.1.4 Manfaat pengembangan ilmu pengetahuan

1. Untuk meningkatkan pengetahuan mengenai faktor penyebab timbulnya


resistensi P. aeruginosa terhadap antibiotik β-laktam seperti ESBL, Plasmid, var
gen blaTEM, blaOXA2, blaCTX dan MexAB-OprM efflux pump
2. Sebagai dasar untuk pencarian senyawa yang dapat sebagai inhibitor ESBL dan
MexAB-OprM efflux pum

12
BAB II
PEMBAHASAN

A. Antibiotik

Antibiotik dapat diklasifikasikan sesuai jenis bakteri mana obat tersebut


bekerja. Terdapat tiga golongan yaitu: Obat yang terutama aktif terhadap organisme
Gram Positif misalnya penisilin, eritromisin, dan linkomisin. Obat yang terutama
aktif terhadap organisme Gram Negatif misalnya polimiksin dan asam nalidiksat dan
Antibiotik spektrum luas yang aktif terhadap organisme Gram Positif dan Gram
Negatif, misalnya tetrasiklin, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin dan sulfamid
(Gould & Brooker, 2003).
B. Cara kerja antibiotik

Antibiotik bekerja dengan cara mematikan (bakterid) misalnya


aminoglikosida, sefalosporin dan polimiksin dan bekerja dengan cara mencegah
bakteri berkembang biak tetapi tidak mematikannya (bakteriostatik) misalnya
sulfonamide, tetrasiklin dan kloramfenikol. Banyak antibiotik yang bekerja terutama
sebagai bakteriostatik dapat menjadi bakterisid pada keadaan yang memungkinkan.
Faktor-faktor yang memungkinkan antara lain adalah konsentrasi obat dan jumlah
serta jenis bakteri yang ada. Antibiotik menimbulkan efek secara langsung pada
dinding sel bakteri atau menembusnya untuk mengganggu mekanisme di tingkat
intrasel. Pada semua bakteri, dinding sel terdiri dari lapisan molekul protein yang
disatukan oleh ikatan-ikatan silang, tetapi struktur halus bergantung pada
apakah

mereka termasuk Gram Positif atau Gram Negatif, di mana hal ini mempengaruhi
kepekaan terhadap berbagai golongan antibiotik (Gould & Brooker, 2003).
C. Reaksi Simpang Terhadap Antibiotik

Reaksi ini timbul akibat terjadinya toksisitas kimiawi langsung yang


diperantai oleh efek samping yang spesifik terkait dengan obat dan terjadi karena
superinfeksi. Superinfeksi timbul setelah pengobatan dengan semua antibiotik
terutama yang sering dijumpai pada pengobatan dengan antibiotik spektrum luas
yang diberikan dalam jangka panjang. Reaksi simpang terhadap antibiotik kemudia
disebut sebagai resistensi antibiotik.
D. Resistensi Antibiotik

Mikrooganisme resistensi antibiotik didefenisikan sebagai mikroorganisme


yang tidak dihambat atau dimatikan oleh antibiotik pada konsentrasi obat yang
tercapai dalam tubuh. Kerentanan alamiah banyak bakteri dapat berubah oleh
resistensi yang terbentuk akibat pajanan antibiotik (Gould D & Brooker C, 2003).
Selama lebih dari 60 tahun, obat anti bakteri telah dianggap sebagai obat
paling ampuh untuk menyembuhkan infeksi, padahal dalam pidato Nobelnya pada
tahun 1945 Alexander Fleming yang menemukan penisilin sudah memperingatkan
bahwa bakteri bisa menjadi resisten terhadap obat antibakteri. Penggunaan obat
antibakteri telah menyebar luas selama beberapa dekade dan penyalahgunaannya
juga telah banyak dilakukan. Akibatnya, obat antibakteri ini menjadi kurang efektif
atau bahkan tidak efektif dan menjadi sebuah kedaruratan kesehatan global yang
cepat melampaui pilihan pengobatan yang ada (WHO, 2014).
E. Mekanisme Resistensi terhadap Antibiotik

Gambar 1. Berbagai cara bakteri untuk melawan kerja Antibiotik


(Anderson, 2005)

Beberapa mikroorganisme patogen menjadi resisten terhadap antibiotik β-


laktam dengan memodifikasi antibiotik atau melepaskan beberapa enzim seperti
transferase yang menghambat atau memecah struktur kimia antibiotik. Pada
kelompok antibiotik β-laktam akan terjadi hidrolisis ikatan amida menjadi tidak
efekif oleh produksi enzim β-laktamase (Stankovic, 2017; Wright 2005). Dalam
kasus bakteri Gram Negatif kelompok antibiotik aminoglikosida menjadi tidak
efektif karena modifikasi molekul antibiotik melalui fosforilasi, adenilasi dan
asetilasi (Stankovic, 2017: Bush, 2011). Selanjutnya memodifikasi target dengan
cara mengubah sistem kerja antibiotik yang sebelumnya telah dipelajari oleh bakteri.
Cara kerja bakteri untuk membuat menjadi resistensi dengan mekanisme efflux
(pompa) yang dikodekan oleh gen untuk mengidentifikasi dan mengeluarkan bahan
kimia agen antibakteri dan senyawa struktural yang tidak terkait menghasilkan
konsentrasi antibiotik yang rendah menjadi tidak memiliki atau sedikit efek pada
pertumbuhan bakteri (Stankovic, 2017).
Mekanisme resistensi dikelompokkan menjadi: 1) mekanisme yang
diperantarai oleh plasmid berupa aktif efluks, enzim inaktivator yang dihasilkan
bakteri, pengaturan gen kromosom dan, 2) mekanisme yang diperantarai oleh
kromosom yaitu perubahan target antibiotika, peningkatan sintesis metabolit yang
bersifat antagonis serta pengembangan jalur mekanisme lama yang dihambat
antibiotik (Cita, 2011)
F. Jenis Bakteri Resisten
Salmonella typhi (S. typhi)
Gambar 2. Mikroskopis bakteri S. typhi (Rahma, 2018)

2.2.1.a. Klasifikasi
Kingdom : Bacteria Filum
: Proteobacteria
Kelas : Enterobacteriaceae

Ordo : Gamma Proteobacteria


Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : S. typhi (Jawetz, 2006)

Pada manusia, S. typhi adalah penyebab penyakit salmonellosis dan demam


enterik (tifoid) yang dihasilkan dari invasi bakteri ke aliran darah dan gastroenteritis
akut oleh intoksikasi dari makanan (Gillispie & Hawkey, 2005).
G. Karakteristik

Pada tahun 1880-an, Eberth yang mengamati pertama kali basil tifus bagian
limpa dan kelenjar getah bening mesenterika dari pasien yang meninggal karena
tifus. Robert Koch mengkorfirmasi temuan terkait oleh Gafky dan berhasil
membudidayakan bakteri ini pada tahun 1881. Salmonella berbentuk batang Gram
Negatif, bersifat fakultatif anaerobik dengan suhu optimum pertumbuhannya pada
370C dan pH 6-8, oksidatif-negatif, memfermentasi glukosa dan manosa tanpa
membentuk gas tetapi tidak memfermentasikan laktosa dan sukrosa, urease negatif,
sitrat dan asetil metal carbinol negatif (Todar, 2012). Salmonella menghasilkan H2S,
isolate pada media Salmonella-Shigella agar (SSA) pada suhu 370C membentuk
koloni cembung, transparan dan terdapat bercak hitam dibagian pusat (Jawetz,
2006).
H. Struktur dan Virulensi

S. typhi adalah bakteri yang selnya berbentuk batang berukuran 0,7-1,5 µm x


2,0-5,0 µm, bersifat Gram Negatif, mempunyai komponen outer layer (lapisan luar)
yang tersusun dari LPS (lipopolisakariada) dan dapat berfungsi sebagai endotoksin,
yang merupakan kompleks lipopolisakarida yang berperan penting pada patogenesis
demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik yang menyebabkan reaksi peradangan
di tempat perkembang biakan bakteri.

I. Patogenesis

S. typhi menyebabkan infeksi lokal dan saluran cerna tetapi bisa juga
berkembang biak dalam sistem retikuloendotel yang menyebabkan infeki sistemik
dan kematian. Salmonella menyerang sel inang dengan merusak trans-sel sebagai
sinyal host dan membuat penyusunan ulang sitoskeletal. Salmonella menyerbu
makrofag dan berpoliferasi dalam vakuola yang terikat membran (Jenkins &
Gillespie, 2006). Bakteri menginvasi ke jaringan limfosit melalui lambung dan usus,
terjadi bakterimia di aliran darah yang prosesnya selama 7 -14 hari (fase inkubasi).
Infeksi dapat terjadi di organ lain seperti jantung, tulang, paru, usus, ginjal empedu
dan organ lainnya. Penderita karier dapat terjadi setelah penyembuhan yang tidak
sempurna sehingga bakteri dapat tinggal di empedu (Kemenkes, 2006)
J. Epidemiologi

Pada awal abad ke -19, tifoid didefenisikan atas dasar tanda-tanda dan gejala
klinis dan perubahan patologis. Namun, pada saat ini segala penyakit yang berkaitan
dengan demam enterik dikarakteristikan sebagai “tifoid” (Todar, 2012). Menurut
data WHO menyebutkan bahwa terjadi 17 juta kasus demam tifoid per tahunnya dan
600 ribu di antaranya menyebabkan kematian.
Prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 358-810 kasus per 100.000
populasi pada tahun 2007 dengan rata-rata pertahunnya sebesar 500 per 100.000
populasi (Hatta & Ratnawati, 2008). Pemberian antibiotik pada pasien yang
terinfeksi merupakan penanganan terhadap penyakit yang disebabkan bakteri
patogen. Selama 70 tahun penanganan dengan menggunakan antibiotik terjadi
ketahanan bakteri (resistensi) terhadap beberapa jenis antibiotik (Levy, 1998).
K. Mekanisme Resisten Terhadap Agen Antibakteri

Mekanisme dapat terjadi karena bakteri menghasilkan inaktivator berupa


enzim β-laktamase, perubahan target, sehingga kekurangan Penicillins Binding
Protein (PBP) yang menyebabkan kegagalan dalam mengaktifkan enzim autolisis.
Perubahan target (ribosom) antibiotik menghasilkan invaktivator berupa enzim asetil
transferase yang menyebabkan antibiotik terdorong keluar dari sitoplasma. Bakteri
yang telah resisten terhadap satu jenis antibiotik dapat juga mengembangkan
resistensi terhadap antibiotik lain dengan mengembangkan jalur metabolisme lama
yang dihambat antibiotik dan meningkatkan sintesis metabolit yang bersiat antagonis
kompetitif melalui peningkatan sintesis PABA (para amino benzoic acid).
L. Pengobatan S. Typhi

Kloramfenikol saat ini masih menjadi antibiotik lini pertama untuk


pengobatan demam tifoid pada anak yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan
RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Saat ini di Negara-negara seperti Thailand,
Pakistan, dan Mesir telah banyak laporan adanya keadaan multidrug resistan S.typhi
(MDRST). Maka untuk kasus MDRST diberikan pilihan pengobatan lini kedua yaitu
seftriakson dan kuinolon (Satari & Sondang, 2010). Informasi tingkat resistensi
Salmonella terhadap antibiotik sangat penting dalam rangka penanggulangan
penyakit yang efektif dan efisien dan penentuan kebijakan tentang penggunaan
antibiotik (Mahatmi & Besung, 2013).
M. Mekanisme Resistensi Terhadap Agen Antibakteri

Resistensi terhadap metichillin terjadi karena perubahan protein pengikat


penicillin (PBP). Hal ini disebabkan karena gen mecA mengkode 78-kDa penicillin
pengikat protein 2a(PBP2a) yang memiliki afnitas yang kecil terhadap semua
antibiotik β-laktam. Hal ini memudahkan Staph.aureus bertahan pada konsentrasi
yang tinggi dari zat tersebut, resistensi terhadap metichillin menyebabkan resistensi
terhadap semua agen β-laktam termasuk chepalosporin (Anggraini, 2017). Sebuah
unsur genetik transposabel mobile yang disebut SCC mec, yang mengandung gen
mecA-resistant, bertanggung jawab untuk resistensi pada MRSA (Stankovic, 2017;
Wright 2005).

N. Pengobatan Staph. aureus

Pengobatan infeksi Staph. aureus biasanya menggunakan antibiotik turunan


penicillin seperti metichillin, amoxacillin dan oxacillin. Namun sebagian besar strain
Staph. aureus ditemukan telah resisten terhadap antibiotik penicillin sehingga
antibiotik turunan penicillin sudah jarang digunakan. Pemilihan antibiotik lain yang
sekarang digunakan untuk mengobati Staph. aureus yang telah resisten terhadap
turunan penicillin yaitu vankomisin dan teikoplanin. Kedua antibiotik ini digunakan
sebagai pilihan utama dalam mengobati infeksi yang disebabkan oleh MRSA. Sejak
tahun 2003, alternatif dengan vankomisin telah disetujui untuk pengobatan MRSA.
Beberapa strain sekarang resisten terhadap kebanyakan antibiotik konvensional dan
ada kekhawatiran bahwa antibiotik baru belum tersedia (Todar, 2012).
O. Alternatif Pengobatan Resistensi Antibiotik

Menghadapi kesulitan dan tantangan seperti itu, ada kebutuhan mendesak


untuk mencari molekul atau senyawa antibakteri yang baru dari sumber alami yang
memiliki spektrum aktivitas yang luas terhadap spesies bakteri (Stankovic, 2017).
Sejak awal peradaban manusia, apiterapi atau yang dikenal sebagai terapi lebah
dijadikan resep berbagai macam penyakit dan kesakitan, salah satu produk lebah
yang digunakan sebagai terapi adalah madu (Maryann,2000). Madu adalah suatu
cairan kental yang mempunyai rasa manis dan lezat yang dihasilkan oleh lebah.
Madu alami umumnya terbuat dari nektar yaitu suatu cairan di mahktota bunga yang
diolah menjadi bahan persediaan makanan utama bagi lebah (Kompas, 2009). Sifat
Antibakteri dan Komposisi Madu
Madu mengandung lebih dari 200 senyawa yang terdiri dari sekitar 38%
fruktosa, 31% glukosa, 10% jenis gula lainnya, 18% air dan 3% senyawa lainnya.
Namun, dalam 3% senyawa lainnya terdapat campuran senyawa penting yang
merupakan kandungan khusus dari madu yaitu, fenolik dan karotenoid (Alvarez-
suarez et al., 2010). Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik.
Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan membentuk senyawa kompleks
terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri
dengan cara mendenaturasi sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat
diperbaiki (Julianti, 2008).
Madu mengandung zat antibakteri sehingga baik untuk mengobati luka luar
dan penyakit infeksi. Madu mempunyai sifat higroskopis yaitu dapat menarik air
dari lingkungan sekitarnya yang sangat baik untuk proses penyembuhan pada luka
luar akibat infeksi. Madu juga mempunyai sifat osmolalitas yang tinggi (kental)
sehingga bakteri sulit untuk hidup. Sifat ini hanya terdapat pada madu murni dan
pada madu campuran bakteri masih bisa hidup (Suranto, 2004). Madu selama
berabad-abad memiliki tempat berharga dalam pengobatan tradisional, digunakan
dalam perawatan luka dan penyakit usus (Al-hajj et al., 2009). Manfaat madu
lainnya yang telah teruji klinis diduga karena madu memiliki osmolaritas yang
tinggi, kandungan hydrogen peroksida, kandungan air yang rendah serta pH yang
rendah sekitar 3,2–4,5 dapat menghambat pertumbuhan bakteri di kulit maupun di
saluran lain (Pusitasari, 2007). Uji Aktivitas Antibakteri Pada Madu Standart
Penilaian Diameter Zona Hambat Antibiotik
Penilaian zona hambat antibiotik menurut Clinical and Laboratory Standarts
Institute (CLSI) akan disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Zona Hambat Menurut CLSI
Kriteria Interpretasi Diameter Zona
Hambat
Antibiotik Kandungan
Cakram dalam mm
Susceptib Intermedie Resista
le te nt
Sulfamethoxazole 23,75 ≥16 11-15 ≤10
(SXT) µg
Tetracycline (TE) 30 µg ≥19 15-18 ≤14
Sumber : Clinical and Laboratory Standarts Institute (CLSI, 2017)
Kerangka Teori

Toksisitas Kimiawi

Pengobatan
dengan Reaksi Simpang
Penggunaan Antibiotik
Antibiotik

Superinfeksi
Bakteri

Resistensi Bakteri

Multidrug Resistant Methicillin-Resistant


Salmonella typhi Staphylococcus aureus
(MDR-S typhi) (MRSA)

Alternatif Pengobatan

Madu

Uji Aktivitas Antibakteri pada Madu

Gambar 4. Kerangka Teori


P. Kerangka Konsep

Diuji Aktivitas Antibakteri pada Madu


dengan semua konsentrasi

Madu konsentrasi 50%, 60%,


70%, 80%, 90% dan 100%

Diukur Zona Hambat yang terbentuk

Gambar 5. Kerangka Konsep

Q. Kesimpulan.

Sesuai dengan tinjauan penelitian di atas maka kesimpulan yang di ambil


dalam penelitian ini adalah Antibiotik tidak saja digunakan untuk keperluan terapi pada
manusia, namun juga digunakan pada berbagai bidang seperti pada bidang peternakan yaitu
dalam hal profilaksis infeksi pada hewan di berbagai peternakan hewan atau penggunaan
pada tanaman. Resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan ancaman bagi kesehatan
baik di Indonesia maupun di dunia, hal ini terjadi karena penggunaan antibiotik yang relatif
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Bywater, R., H. Deluyker, E. Deroover, A. D. Jong, H. Marion, M. McConville,


T. Rowan, T. Shryock, D. Shuster, V. Thomas, M Valle, dan J.
Walters. 2004. A European survey of antimicrobial susceptibility
among zoonotic and commensal bacteria isolated from food-
producing animals. Journal of Antimicrobiology and Chemistry.
54(4):744-754.
Soleha, T. U. 2015. Uji Kepekaan Antibiotik. Jurnal Kedokteran Unila
5(9): 119- 123.

Suandy, I. 2011. Antimikrobial Resistance in Eschericia coli isolated


from commercial broiler farms in Bogor District, West Java.
Thesis. Thailand: Chiang Mai University.

Susanto, E. 2014. E. coli yang resisten terhadap antibiotik yang di


isolasi dari ayam broiler dan ayam lokal di Kabupaten Bogor.
Thesis. Bogor: Pascasarjana IPB.

Suswati, E. dan D.C. Mufida. 2009. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi.


Jember: Fakultas Farmasi Universitas Jember.

Teuber, M. 2001. Veterinary Use and Antibiotic Resistance in


Microbiology.
Current Opinion in Microbiology. 4:493-499.

Tjay, T. H. dan K. Raharja. 2008. Obat-obat Penting, Khasiat,


Penggunaan dan Efek Sampingnya. Edisi VII. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Chambers, L. H., G. W. David, J. M. John, M. Cesar, L. Christine,


dan H. Charlene. 2001. Characterization of Antibiotic-Resistant
Bacteria in Rendered Animal Products. Avian Diseases. 45:953-
961.

Anda mungkin juga menyukai