Anda di halaman 1dari 36

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Nifas

Menurut Prawiroharjo (2009), Masa nifas atau puerperium dimulai setelah

plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan

sebelum hamil dan berlangsung selama kira-kira 6 minggu. Wiknjosastro (2006)

mengatakan masa puerperium atau masa nifas mulai setelah partus selesai, dan

berakhir setelah kira-kira 6 minggu. Dapat disimpulkan bahwa masa nifas adalah

masa dimulai sejak plasenta lahir dan berakhir setelah 6 minggu atau hingga ketika

alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil.

Manuaba (2009) mengatakan bahwa beberapa masalah kesehatan dapat

terjadi pada masa nifas, antara lain perdarahan postpartum, infeksi nifas

(puerperium), preeklamsi/eklampsi, thromboemboli, infeksi mammae dan

komplikasi perkemihan. infeksi nifas adalah semua peradangan yang di sebabkan

oleh masuknya bakteri kedalam alat genitalia pada waktu persalinan dan nifas

(Prawiroharjo, 2009). Weissenbacher et al. (2013) dan Patra (2013) mengatakan

bahwa Infeksi pada masa nifas sangat bergantung pada mekanisme pertahanan

rahim, karena terjadi perubahan konsentrasi hormon steroid termasuk estrogen,

progesteron, glukokortikoid dan metabolisme arachidonic acid saat mendekati

persalinan yang memiliki peranan penting dalam menekan fungsi leukosit, dan

diketahui pada saat awal masa nifas terjadi penurunan jumlah dan fungsi limfosit

seperti proliferasi sel, penurunan produksi antibodi dan sitokin. Terjadinya

penurunan pertahanan sistem imun pada masa nifas ini mengakibatkan

perubahan pada respon imun tertentu dan meningkatkan kerentanan terhadap

terjadinya infeksi.

6
Varney et al. (2008) menyebutkan beberapa faktor predisposisi infeksi nifas

pada wanita antara lain :

1. Ketuban pecah dini, persalinan lama dan bermacam-macam tindakan

pemeriksaan vagina selama persalinan.

2. Teknik aseptik yang tidak sempurna, kurang memperhatikan teknik cuci

tangan yang benar, perawatan perineum yang kurang memadai dan infeksi

vagina/servik yang tidak ditangani dengan benar

3. Manipulasi intrauteri ( eksplorasi uteri, plasenta manual), trauma jaringan

yang luas (luka terbuka) seperti laserasi yang tidak diperbaiki, retensi sisa

plasenta, hematoma dan perdarahan lebih dari 1000 ml

4. Persalinan operatif, terutama seksio sesaria

5. Persalinan pervagina traumatik dengan menggunakan alat (forsep) atau

manuver, pemeriksaan VT (Vaginal Touche) secara berulang tanpa ada

indikasi tertentu, penggunaan kortikosteroid, obesitas, diabetes, primipara

dan tingkat sosioekonomi rendah (Manuaba, 2009).

6. Semua keadaan yang dapat menurunkan daya tahan tubuh seperti,

perdarahan, preeklamsi dan juga infeksi lain seperti pneumonia dan penyakit

jantung (Prawiroharjo, 2009).

2.2. Bakteri Penyebab Infeksi Nifas

Infeksi nifas dapat terjadi karena adanya laserasi (trauma jaringan) dalam

saluran genitalia yang terinfeksi setelah persalinan, dan terdapat juga penyebaran

infeksi yang berasal dari infeksi lokal yang menyebar melalui jalur sirkulasi vena

atau limfatik yang mengakibatkan infeksi bakteri terjadi ditempat yang lebih jauh.

Area perluasan infeksi nifas meliputi selulitis panggul, salpingitis, oofaritis,

peritonitis, tromboflebitis panggul (femoral) dan bakteremia (Varney et al., 2008).

Pada persalinan pervagina, bakteri menginfeksi desidua dan tempat implantasi

7
plasenta terlebih dahulu, lalu menyebar ke miometrium, parametrium dan organ

terdekat, bakteri akan berkembangbiak dengan cepat dan agresif jika terdapat

hematoma dan jaringan mati (Tanto dkk., 2014)

Menurut Chen et al. (2006) dan Cunningham et al. (2014) bakteri yang

mendiami servik dan vagina mendapat akses ke cairan amnion pada saat

persalinan dan pasca persalinan, dengan cara menginvasi jaringan uterus yang

mati. Dan diketahui sekitar 10-20% pada wanita hamil terdapat kolonisasi bakteri

Staphylococcus aureus pada vaginanya, hal ini membuat bakteri tersebut mudah

berkembang pada wanita pasca persalinan atau nifas. Penelitian Guta (2013) yang

dilakukan selama 3 tahun, dilaporkan bahwa terdapat 343 pasien dengan kasus

infeksi pada genetalia, 153 kasus pasien dikarenakan bakteri Staphylococcus

aureus dimana 66 pasien terjadi pada trimester kehamilan dan 87 pasien terjadi

pada masa nifas.

Penelitan Arianpour et al. (2009) melakukan isolasi bakteri pada 461 pasien

yang mengalami infeksi nifas dan dikhususkan pada infeksi genetalia, ditemukan

beberapa bakteri penyebab infeksi diantaranya Streptococcus pyogenes 6.7%,

Streptococcus agalactie 7.3%, Enterococcus 11.8%, Peptostretococcus spp

12.4%, Peptococcus spp 10.7%, Staphylococcus aureus dan S.epididermis 7.9%,

Staphylococcus saprophyticus 5.8% dan beberapa bakteri lain. Berdasarkan hasil

penelitian ini salah satu bakteri penyebab terjadinya infeksi nifas adalah bakteri

Staphylococcus aureus.

2.3. Staphylococcus aureus

2.3.1. Pengertian

Staphylococcus aureus adalah sel berbentuk bola dengan diameter 0,8- 1

µm, merupakan bakteri gram posistif biasanya tersusun dalam berkelompok dan

tidak teratur, Koloni bakteri ini terlihat berwarna kuning keemasaan. Bakteri ini

8
mudah tumbuh pada berbagai pembenihan pada media cair dan mempunyai

metabolisme aktif, mampu memfermentasikan karbohidrat dan menghasilkan

bermacam-macam pigmen dari putih sampai kuning tua (Haryani, 2015).

Staphylococcus aureus merupakan salah satu dari spesies yang berbeda

dalam Staphylococcus, terdapat tiga klasifikasi spesies dalam genus

Staphylococcus yaitu Staphylococcus aureus yang menyebabkan sebagian besar

infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus pada manusia, Staphylococcus

epidermidis yang menyebabkan infeksi saluran kemih dan endokarditis bakterialis

sub akut dan Staphylococcus saprophyticus yang menyebabkan infeksi saluran

kemih terutama pada wanita usia lanjut (Virella, 1997; Johnson et al., 1994).

Staphylococcus aureus merupakan salah satu mikroflora normal didalam

rongga mulut. Bakteri ini bersifat patogen yang memiliki kemampuan untuk

menimbulkan penyakit pada manusia, apabila dipengaruhi faktor predisposisi

seperti perubahan kuantitas bakteri dan penurunan daya tahan tubuh host dan

merupakan bakteri fakultatif anaerob dapat menyebabkan abses, infeksi luka dan

invasi ke mukosa (Haryati, 2015).

Staphylococcus aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media

bakteriologi dibawah suasana aerobik atau mikroaerofilik. Dapat tumbuh dengan

cepat pada suhu 37oC dengan waktu pembelahan 0,47 jam, namun pembentukan

pigmen yang terbaik adalah pada suhu kamar (20-35oC), koloni pada media padat

berbentuk bulat, lembut dan mengkilat (Brooks dkk., 2005). Secara mikroskopis

bentuk dari bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat dari gambar 2.1 berikut

ini:

9
A B

Gambar 2.1 Staphylococcus aureus


Keterangan :(A)Staphylococcus aureus berkoloni dengan diameter 4 mm, konsistensi
padat, bulat, halus, menonjol dan tidak teratur, berwarna kuning
keemasaan, warna dari Staphylococcus aureus ini dihasilkan dari pigmen
lipochrom yang dibentuk oleh bakteri. (B) Setelah dilakukan pewarnaan
gram, bakteri ini mempertahankan zat warna biru kristal violet sehingga
dibawah mikroskop terlihat warna ungu (Joshi et al., 2014).

2.3.2. Klasifikasi

Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Brooks dkk. (2005) adalah

sebagai berikut :

Domain : Bacteria

Kindom : Eubacteria

Phylum : Firmicutes

Class : Cocci

Ordo : Bacillales

Family : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

2.3.3. Mekanisme Patogenesis

Bakteri Staphylococcus aureus termasuk bakteri ekstraseluler sehingga

mampu bereplikasi diluar sel inang, sering menghemolisis darah dan

mengkoagulasi plasma. Beberapa diantaranya tergolong flora normal kulit dan

10
selaput lendir manusia, bakteri ini juga bersifat patogen sehingga dapat

menyebabkan supurasi, pembentukan abses, berbagai infeksi piogenik hingga

septikemia yang fatal ( Jawetz et al., 1995). Patogenesis infeksi Staphylococcus

aureus merupakan hasil interaksi berbagai protein permukaan bakteri dengan

berbagai reseptor pada permukaan sel inang. Akan tetapi untuk menentukan faktor

virulen yang paling berperan sulit dilakukan karena terdapat banyak dan beragam

faktor virulen yang dimiliki oleh Staphylococcus aureus (Haryani, 2015).

Staphylococcus aureus adalah bakteri aerob tetapi bila sudah berpindah

ke tempat lain dapat bersifat anaerob fakultatif, mampu memfermentasikan manitol

dan menghasilkan enzim koagulase, hialurodinase, fosfatase, protease dan lipase.

Bakteri ini dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah karena mengandung

lisostafin. Staphylococcus aureus memiliki dinding sel yang terdiri dari kapsul,

peptidoglikan, asam teikoat, protein A, membran sitoplasma, clumping factor. Di

tunjukkan oleh gambar 2.2 berikut ini:

Gambar 2.2 Struktur Antigen Staphylococcus aureus


Keterangan :Struktur antigen Staphylococcus aureus mengandung polisakarida dan
protein, yang terdiri dari peptidoglikan, asam teikoat, protein A, membran
sitoplasma dan clumping factor (Brooks dkk., 2005).

11
Mekanisme infeksi dari Staphylococcus aureus menurut Jawetz et al.,

(1995), (a) pelekatan pada sel inang, struktur sel Staphylococcus aureus memiliki

protein permukaan yang membantu penempelan bakteri pada sel inang, yaitu

protein laminin dan fibronektin yang dapat membentuk matriks ekstraseluler pada

permukaan epitel dan endotel. Beberapa galur juga memiliki ikatan protein fibrin

dan fibrinogen yang dapat meningkatkan penempelan bakteri pada darah dan

jaringan. (b) invasi, invasi terhadap jaringan inang melibatkan banyak kelompok

eksraseluler, beberapa protein yang berperan penting dalam proses invasi

Staphylococcus aureus adalah α- toksin, β- toksin, γ-toksin, δ-toksin, leukosidin,

koagulase,stafilokinase dan berapa enzin protease, lipase DNAse dan enzim

pemodifikasi lemak. Otto (2004) dan Naber (2009) mengatakan invasi dapat dipicu

oleh adanya sistem imun yang terganggu, ketika terdapat kerusakan secara fisik

di kulit atau pada saat terjadi inflamasi (c) perlawanan terhadap ketahanan inang,

beberapa faktor pertahanan diri yang dimiliki oleh Staphylococcus aureus adalah

simpai polisakarida, protein A dan leukosidin.

Protein anti-opsonisasi (simpai polisakarida) yang dikeluarkan oleh bakteri

Staphylococcus aureus membuat bakteri ini dapat menghindari respon imun.

Sehingga mencegah fagositosis dari neutrofil, protein A berlokasi pada permukaan

sel dan memiliki bahan antifagosit, leukosidin (seperti Panton Valentin Leukocidin)

yang dapat melisiskan leukositosin (Haas, et al., 2004; Naber, 2009), (d)

pelepasan beberapa jenis toksin, toksin yang dilepaskan oleh Staphylococcus

aureus adalah eksotoksin, superantigen dan toksin eksfoliatin, (e) biofilm,

Staphylococcus aureus dapat meregulasi ekspresi gen untuk membentuk biofilm

yang tipis pada kulit yang rusak, pada peralatan medis, katup jantung yang sehat

maupun yang rusak. Makin berkurangnya nutrisi dan oksigen menyebabkan

bakteri dapat masuk ke bagian yang sedikit dilalui oleh beberapa antibiotik.

12
Variasi koloni kecil Staphylococcus aureus ketika menempel dan pada saat

fase stationery, menunjukkan hampir seluruhnya Staphylococcus aureus resisten

terhadap antimikroba. Matrik biofilm yang dimiliki oleh Staphylococcus aureus

memiliki proteksi terhadap sel imun dan mungkin membatasi penetrasi beberapa

antibiotik (Naber, 2009), (f) resistensi antibiotik, Staphylococcus aureus mampu

meningkatkan resistensinya terhadap antibiotik diantaranya penisilin,

cephalosporin, methicilin, vancomycin dan linezolid (Naber, 2009; Affifurrahman,

2014 ).

2.3.4. Resistensi Staphylococcus aureus Terhadap Antibiotik

Menurut Chambers (2009) Staphylococcus aureus merupakan patogen

sangat luar biasa mampu beradaptasi dengan terbuktinya kemampuan untuk

mengembangkan resistensi seperti pada gambar 2.3. Erosi yang stabil dari

efektivitas antibiotik β-laktam sejak penggunaannya, pertama kali ditemukan pada

akhir tahun 1960 yang lalu dan hal ini sangat mengkhawatirkan. Staphylococcus

aureus menghilangkan efek penisilin dengan menghasilkan β-lactamase, strain

MRSA telah memperoleh gen mec yang mengkode protein 2a pengikat penisilin

dan gen fem yang memberikan resistensi terhadap methicillin, penicillinase-

resisten penisilin dan cephalosporins (Naber, 2009).

Kebenaran resistensi vancomycin pada Staphylococcus aureus

memperlihatkan ketergantungan terhadap kemampuan gen vanA, dimana

mengurangi kerentanan vancomycin dosis setengah untuk Staphylococcus aureus

telah memiliki hubungan untuk mekanisme yang berbeda, mutasi secara struktur

atau gen regulator behubungan dengan jalur gen regulator dan resistensi linezolid

disebabkan oleh mutasi pada RNA ribosom Staphylococcus aureus

(Affifurrahman, 2014). Penelitian Chang et.al (2003) menunjukkan bahwa strain

Staphylococcus aureus yang telah resisten terhadap vankomisin diketahui telah

13
resisten juga terhadap klindamisin, eritromisin, gentamisin, levofloxacin, oksasilin,

penisilin, rifampin, dan Teicoplanin.

Penggunaan antibiotik yang salah atau tidak sesuai dengan kebutuhan dan

prosedur mau tidak mau berkontribusi terhadap berkembangnya resistensi

terhadap antibiotik (Chambers, 2009). Infeksi oleh MRSA atau Multiresistant

Staphylococcus aureus telah terbukti menjadi salah satu masalah yang paling

bermasalah yang dihadapi dokter berlatih di Long-Term-Care Facilities (LTCFs) di

Amerika, sehingga rekomendasi oleh Society for Healthcare Epidemiology of

America telah disusun untuk membantu mengontrol resistensi antibiotik di LTCFs.

Rekomendasi ini termasuk pembatasan penggunaan antibiotik, nontreatment

bakteriuria asimtomatik, meminimalisir penggunaan antibiotik topikal, mencuci

tangan, dan tindakan pencegahan infeksi yang benar untuk perawatan luka

(Bonomo, 2000). Gambar 2.3 berikut ini menunjukkan beberapa jenis molekul

yang berkontribusi terhadap virulensi dan patogenesis yang menyebabkan

Staphylococcus aureus resisten:

Gambar 2.3 Patogenesis dan Virulensi Staphylococcus aureus


Keterangan :Staphylococcus aureus dapat memproduksi beberapa jenis molekul yang
berkontribusi terhadap virulensi dan patogenesis. Salah satunya merupakan
penyebab resistensi Staphylococcus aureus kepada antimikroba
(Kobayashi et.al, 2015).

14
2.3.5. Faktor Virulensi

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat menimbulkan

penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan pembentukan banyak zat

ekstraseluler seperti pada gambar 2.4, zat yang berperan sebagai faktor virulensi

dapat berupa protein, enzim dan toksin, zat tersebut antara lain, eksotoksin,

leukosidin, enterotoksin, koagulse, katalase, hemolisin, dan zat-zat ekstraseluler

lainnya (Jawetz et al., 1995). Eksotoksin yang disekresikan oleh bakteri gram

positif bersifat sitotoksik dan membunuh sel dengan berbagai mekanisme kimiawi,

eksotoksin dapat mengganggu fungsi normal sel tanpa membunuhnya dan

merangsang produksi sitokin yang dapat menimbulkan penyakit, merusak fagosit,

jaringan setempat, susunan syaraf pusat hingga dapat menyebabkan kematian

(Baratawidjaya dan Rengganis, 2014). Eksotoksin yang dihasilkan oleh

Staphylococcus aureus seringkali dihubungkan dengan sindrom syok toksik. Pada

manusia toksin ini menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multi

sistem organ dalam tubuh (Haryani, 2015).

Leukosidin, yaitu zat yang dapat larut dan mematikan sel darah putih atau

leukosit. Merupakan protein yang berperan dalam proses invasi Staphylococcus

aureus yang membantu kolonisasi terhadap jaringan inang atau host (Todar,

2011). Koagulase yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus merupakan suatu

protein yang menyerupai enzim dan dapat menggumpalkan plasma oksalat atau

sitrat, dengan adanya suatu faktor dalam serum. Faktor serum beraksi dengan

koagulase untuk membentuk esterase dan aktivitas penggumpalan, dengan cara

yang sama ini mengaktifkan protrombin menjadi trombin. sehingga mampu

membentuk deposit fibrin pada permukaan bakteri yang dapat menghambat

fagositosis. Katalase yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus merupakan

enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap fagositosis, adanya

aktivitas katalase menjadi pembeda antara genus Staphylococcus atau

15
streptococcus. Hemolisin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus merupakan

toksin yang membentuk suatu zona hemolisis disekitar koloni bakteri, hemolisin

Staphylococcus aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisin dan delta

hemolisin (Jewetz et al., 1995). Hemolisin adalah protein heterogen yang dapat

melisiskan eritrosit dan merusak platelet sera dimungkinkan sama dengan faktor

letal dan faktor dermonekrotik dari eksotoksin, alfa hemolisin mempunyai aksi yang

sangat kuat terhadap otot polos vaskuler. Beta hemosidin menurunkan kadar

sfingomyelin dan toksik pada beberapa jenis sel, termasuk sel darah merah

manusia (Nober, 2009).

Menurut Abbas and Litchman (2015) Kapsul yang merupakan lapisan

terluar dinding sel Staphylococcus aureus diselubungi oleh kapsular polisakarida

yang berfungsi sebagai pelindung sehingga mampu bertahan terhadap

fagositosis. Diketahui bahwa bakteri berkapsul jauh lebih ganas dibandingkan

dengan bakteri yang tidak berkapsul dan kebanyakan kapsul yang ada pada

bakteri gram positif mengandung sialic acid yang dapat menghambat aktivasi

komplemen pada jalur alternatif. Selain itu perubahan produksi glycosidase

menyebabkan perubahan kimia pada permukaan Lipopolysacharida (LPS) dan

polisakarida yang lain, hal ini mengakibatkan bakteri dapat menghindar dari respon

imun host. Penelitian Gordon and Lowy, (2008) Staphylococcus aureus memiliki

pertahanan utama yaitu microcapsule antiphaphagocyitic yaitu serotipe 5 dan 8

dengan prevalensi masing-masing 25% dan 50% yang berfungsi membantu

menghindari respon imun host.

16
Gambar 2.4 Faktor Virulensi Staphylococcus aureus
Keterangan :Struktural dan produknya berperan sebagai faktor virulensi (A) permukaan
dan protein yang diproduksi, (B&C) bagian pelindung sel TSST-1, toxit
Shock Syndrom Toxin (Gordon and Lowy, 2008)

2.3.6. Respon Imun pada Bakteri Staphylococcus aureus

Saat terjadi infeksi , secara ilmiah respon imun tubuh berusaha untuk

melawan patogen melalui sistem pertahanan bawaan (non spesifik) dan sistem

pertahanan spesifik, yaitu :

1. Sistem imun bawaan atau nonspesifik

Imunitas bawan (innate immunity) yang dimiliki oleh tubuh kita merupakan

garis pertahanan pertama dari sistem imun setelah mampu melewati kulit dan

mukosa. Peranan aktivasi fagosit (neutrofil dan makrofag) dan komplemen pada

innate immunity memiliki peran yang sangat penting. Aktivasi fagosit (neutrofil dan

makrofag) menggunakan reseptor permukaan yaitu mannose, reseptor Fc dan

aktivasi Toll-like receptors (TLRs) berfungsi untuk mengenali bakteri ekstraseluler

dan meningkatkan fagositosis terhadap mikroba. Bakteri gram positif yang

mengandung peptidoglycan pada dinding selnya dan LPS dapat memicu aktivasi

komplemen pada jalur alternatif. Salah satu fungsi dari aktivasi komplemen pada

respon imun adalah opsonisasi yang meningkatkan fagositosis (Abbas and

Lichman., 2015).

17
Menurut Mayer (2016) fagositosis oleh fagosit (neutrofil dan makrofag)

berlangsung dalam 5 fase yaitu, fase pergerakan, perlekatan, penelanan

(ingestion), degranulasi dan pembunuhan (killing). Proses penelanan bakteri

terjadi karena fagosit membentuk tonjolan kemudian membentuk kantung yang

mengelilingi bakteri dan mengurungnya, sehingga bakteri tertangkap dalam

kantung (vakuola) yang disebut fagosom. Selanjutnya fagosom, berbagai enzim

dan protein lain dari granula intraseluler bergabung (fusi) sehingga menyebabkan

terjadinya degranulasi dari respiratory burst di dalam fagolisosom. Enzim dan

protein yang terdapat dalam granula mampu membunuh kuman, baik dengan

proses oksidatif maupun non-oksidatif.

Proses oksidatif dapat berlangsung dengan mieloperoksidase atau tidak,

sedangkan proses non-oksidatif berlangsung dengan bantuan protein sitolitik

misalnya flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin, lisozim, katepsin G, difensin dan

sebagainya. Pada saat proses pembunuhan mikrorganisme, pH dalam fagosom

meningkat menjadi alkalis untuk kemudian menurun lagi menjadi asam.

Mekanisme pembunuhan non-oksidatif ini dapat terjadi karena protein neutrofil

bermuara positif, sedangkan makrofag dalam suasana pH alkalis bersifat toksik

yang dapat merusak lapisan lemak dinding bakteri (Abbas and Lichman., 2015:

Mayer, 2016).

Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri ekstraseluler yang

mampu menembus epitel, sedangkan diketahui bahwa fungsi epitel adalah

menyediakan barier fisik, menghasilkan substansi anti mikroba dan menyimpan

limfosit yang dipercaya untuk membunuh mikroba dan sel yang terinfeksi.

Staphylococcus aureus akan masuk ke jaringan serta sirkulasi kemudian akan

terbaca oleh TLR2. Reseptor TLR2 mengenali komponen pada dinding sel bakteri

yang akan mengaktifkan makrofag dan neutrofil untuk fagositosis, dengan cara

memakannya ke dalam vesikel dan menghancurkannya (Abbas and Lichman.,

18
2015). Ditunjukkan pada gambar 2.5 TLR2 dilaporkan menjadi reseptor dominan

bagi Staphylococcus aureus dan bakteri gram positif lainnya dan TLR2 dapat

mengaktifasi jalur proinflamasi NF-kB, kemudian merangsang sel yang terinfeksi

untuk menghasilkan berbagai faktor inflamasi, seperti sitokin proinflamasi TNF-α,

IL-1β, IL-6 dan IL-8 (Ryu el.al., 2014).

Gambar 2.5 TLR Sebagai Reseptor Dominan Infeksi oleh Staphylococcus


aureus
Keterangan :TLR2 dan NOD2 dapat mengaktivasi jalur sinyal NF-kB dan MAPKs,
keduanya mengarah pada proses proinflamasi (Ryu el.al., 2014)

2. Sistem imun spesifik

Sel-sel dalam sistem imun spesifik pada reaksi terhadap mikroba, limfosit

B adalah sel dalam sistem imun spesifik yang mampu memproduksi antibody,

limfosit T adalah sel dalam sistem imun spesifik yang mengatur sintesis antibodi

serta sel T yang memiliki fungsi efektor sebagai sel T helper (Th1 dan Th2) dan

sel T sitolitik, ditunjukkan pada gambar 2.6. Pada Sel T untuk menghasilkan

antibodi, maka sel T helper dan sel B harus berinteraksi satu sama lain. Hal ini

diawali dengan tertangkapnya mikroba oleh makrofag yang berfungsi sebagai

Antigen Precenting Cell (APC) dan selanjutnya peptida antigen akan diproses dan

dipresentasikan melalui ikatan MHC-II kepada sel T helper CD4+, dimana sel T

helper CD4+ akan memproduksi sitokin yang dapat menginduksi inflamasi lokal,

19
meningkatkan fagositosis dan aktivitas mikrobisida dari makrofag dan neutrofil,

serta menstimulasi produksi antibodi (Abbas and Licthman., 2015).

Sel B dapat teraktivasi melalui dua cara yaitu T dependen dan T

independen. Aktivasi sel B melalui sel T dependen tergantung dari sitokin sel T (IL-

4, IL-5, IL-10 dan IL-13) dalam aktivasinya. Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2

akan meningkatkan proliferasi sel B dan akan berdiferensiasi menjadi sel plasma

yang akan memproduksi antibodi. Sedangkan untuk aktivasi sel B melalui sel T

independen yang berarti dalam hal ini sel B tidak membutuhkan sel T dalam

mengaktivasikannya untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma. Adapun

mekanisme efektor yang digunakan oleh antibodi untuk memerangi infeksi yaitu,

neutralisasi, opsonisasi dan fagositosis serta aktivasi komplemen pada jalur klasik.

Neutralisasi oleh antibodi dimediasi oleh peningkatan Immunoglobulin A (IgA)

yang merupakan salah satu bahan yang dibentuk oleh sel plasma yang banyak

ditemukan dalam cairan sekresi saluran nafas, cerna, kemih, air mata, keringat,

ludah dan air susu ibu berupa IgA sekretori (sIgA) (Baratawidjaja dan Rengganis,

2014).

Gambar 2.6 Respon Imun Adaptif terhadap Mikroba Ekstraseluler


Keterangan :Protein antigen dari bakteri ekstraseluler akan membuat aktivasi sel T
helper CD4+ melalui APC, kemudian akan menghasilkan sitokin yang akan
menyebabkan inflamasi lokal dan memperkuat proses fagositosis dan
mikrobisida dari makrofag (Abbas and Lichtman, 2015).

20
2.3.7. Dosis Pemberian Staphylococcus aureus

Dosis pemberian bakteri Staphylococcus aureus berdasarkan pada

penelitian Lazarenko et al. (2012) yang digunakan untuk menginfeksi mencit (Mus

musculus) adalah 5 x 107 CFU/ml dan diberikan secara pervagina, dengan dosis

tersebut bakteri Staphylococcus aureus mampu membuat mencit terinfeksi dan

berkoloni.

2.4. Inflamasi

Inflamasi diartikan sebagai reaksi lokal terhadap infeksi atau cedera dan

melibatkan banyak mediator dibanding sistem imun yang didapat. Merupakan

suatu respon yang normal terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan

cedera jaringan dan dapat terjadi secara lokal sistemik, akut dan kronik yang dapat

menimbulkan kelainan patologis (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Subowo

(2014) mengatakan peradangan ditandai dengan gejala rubor, kalor, dolor, tumor

dan function laesa.

Menurut Abbas and Litchman. (2015), salah satu respon dari sistem imun

bawaan terhadap infeksi dan kerusakan jaringan adalah sekresi sitokin oleh sel-

sel jaringan untuk menginduksi terjadinya respon inflamasi akut. Sitokin-sitokin

yang disekresikan oleh sistem imun bawaan yaitu TNF, IL-1 dan IL-6 dan yang

berperan dalam inflamasi akut (terutama TNF dan IL-1).

2.5. Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α)

2.5.1 Pengertian

Baratawidjaja dan Rengganis (2014) mengemukakan Tumor Necrosis

Factor (TNF) merupakan sitokin yang bertindak atau perespon utama apabila

terjadi inflamsi akut. Sehingga apabila terjadi infeksi yang berat maka akan

memicu produksi TNF dalam jumah yang besar yang dapat menimbulkan efek

21
sistemik. TNF-α secara historis adalah sebutan lain untuk TNF yang digunakan

untuk membedakan dengan TNF-β atau limfotoksin. Sumber utama TNF adalah

fagosit mononuklear dan sel T yang diaktifkan antigen, sel NK dan sel mast.

TNF-α mempunyai kemampuan inisiasi kaskade atau rangkaian terhadap

sitokin dan faktor lain yang berhubungan dengan respon inflamasi. TNF memiliki

efek biologik antara lain mampu mengerahkan neutrofil dan monosit ke tempat

infeksi, serta mengaktifkan sel-sel tersebut untuk menyingkirkan mikroba, dapat

merangsang sekresi kemokin oleh makrofag, menginduksi kemotaksis dan

pengerahan leukosit. TNF juga merangsang fagosit mononuklear untuk

mensekresikan IL-1 dengan efek seperti TNF yaitu, menginduksi apoptosis sel

pada lokus inflamasi dan merangsang hipotalamus menginduksi panas yang

disebut pirogen endogen, panas ini ditimbulkan karena pengaruh prostaglandin

yang diproduksi hipotalamus akibat rangsangan dari TNF dan IL-1.

TNF-α dapat meningkatkan faktor pembekuan darah yang berguna untuk

membatasi patogen yang memasuki darah dengan menghambat aliran darah

lokal, hal ini dikarenakan peran TNF-α pada sel endotel vaskular dapat

merangsang pembentukan platelet activating factor. TNF-α pada kadar rendah

dapat bekerja pada leukosit dan endotel yang menginduksi inflamasi akut, pada

kadar sedang berperan pada infeksi sistemik dan pada kadar tinggi dapat

menimbulkan syok septik. Cruse and Lewis (2004) mengatakan pelepasan TNF-α

yang berlebihan oleh makrofag ke dalam aliran darah dapat menyebabkan kondisi

yang berbahaya atau sepsis, selain itu pada pembuluh darah lokal juga dapat

terjadi pelebaran, vasodilatasi sistemik yang dapat menyebabkan kebocoran

cairan ke dalam jaringan dan kemudian terjadi pembekuan darah secara luas yang

dapat mengakibatkan syok septik dan dapat menyebabkan kegagalan organ dan

kematian, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.8.

22
2.5.2 Peran TNF-α pada Infeksi

Infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif salah satunya adalah

bakteri Staphylococcus aureus, diketahui produksi bakteri karena infeksi

Staphylococcus aureus berupa fragmen pada dinding sel peptidoglikan dan asam

lipoteikoat yang dapat menginduksi pelepasan Tumor Nekrosis Factor (TNF-α)

dan IL-1β. Aktivitas makrofag dipicu oleh pelepasan TNF-α, stimulasi makrofag

oleh peptidoglikan dan TNF-α, akan memicu traskripsi gen yang meningkatkan

kadar inducible Nitric Oxyde Synthase (iNOS), peningkatan iNOS akan diikuti oleh

pembentukan Nitrit Oksida (NO), sehingga peningkatan kadar TNF-α yang

berlebihan akan meningkatkan sekresi NO yang berlebihan pula, sehingga akan

terjadi syok septik dan kerusakan pada berbagai organ (Tjahjani dkk, 2015).

Respon inflamasi terjadi ketika sel host terinfeksi bakteri patogen, respon

lokal bertugas membersihkan patogen. Makrofag bertugas memfagositosis bakteri

dan menghasilkan sitokin proinflamsi. Respon ini merupakan respon sistem imun

bawaan (innate immunity) terhadap serangan bakteri patogen. Makrofag yang

terpolarisasi mulai menghasilkan sitokin proinflamasi yaitu IL-1β, TNF dan IL-6

serta kemokin-kemokin seperti IL-8. Kedua jenis substansi tersebut merekrut APC

seperti makrofag dan sel dendritik untuk memberitahu host adanya infeksi melalui

Pathogen Associated Molecular Patterns (PAMP). Molekul dikenali oleh Pathogen

Recognition Receptor (PRRs) pada APC dan meresponnya dengan mengeluarkan

sitokin yang berkontribusi pada respon inflamasi bawaan (Deborah et al., 2011;

Abbas and Litchman, 2015).

2.6. Interleukin 1β (IL-1β)

2.6.1 Pengertian

Interleukin 1 (IL-1) merupakan suatu sitokin yang terutama dihasilkan oleh

fagosit mononuklear yang teraktivasi, memiliki fungsi utama yaitu menjadi

23
perantara respon inflamasi host pada imunitas alami atau merupakan mediator

dari reseptor inflamasi akut dan memiliki aktivitas yang serupa dengan TNF. IL-1

terdiri dari 3 jenis yaitu IL-1α, IL-1β dan IL-1 reseptor antagonis (IL-1Ra), dua

bentuk IL-1 (α dan β) berikatan dengan reseptor yang sama dan memiliki efek

biologis yang identik, meliputi induksi pada molekul adhesi sel endotel,

menstimulasi produksi sitokin oleh sel endotel dan makrofag, stimulasi sintesis

acute phase reactant oleh liver dan panas, sedangkan IL-1Ra bersifat

menghambat efek biologis IL-1 atau disebut sitokin antiinflamasi (Abbas and

Licthman, 2015; Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Dua signal yang berbeda biasanya dibutuhkan dalam produksi IL-1,

pertama mengaktifkan transkripsi gen baru dan produksi 33-kD precursor pro IL-

1β polypeptide. Kedua, mengaktifkan inflammasome secara proteolitik untuk

menghasilkan 17-kD mature IL-1β protein. Transkripsi gen IL-1β diinduksi oleh

jalur signal Toll Like Receptor (TLR) dan NOD-Like Receptor (NLR) yang

mengaktifkan Nuklear Factor-Kappa beta (NF-kB), sedangkan Pro IL-1β dimediasi

oleh NLRP3 inflammasome. IL-1 memediasi efek biologis melalui membran

reseptor yang disebut reseptor IL-1 tipe I yang diekspresikan oleh kebanyakan

jenis sel, termasuk endotel, sel epitel dan leukosit. Reseptor ini merupakan integral

protein yang mengacu pada TLRs dan peristiwa signaling yang terjadi ketika IL-1

berikatan dengan reseptor IL-1 tipe I yang dipicu oleh TLRs dan menghasilkan

aktivasi NF-kB dan faktor transkripsi AP-1 (Abbas and Litchman, 2015).

IL-1 berperan dalam peningkatan suhu tubuh atau demam, timbulnya

demam sendiri merupakan fungsi neuroendokrin IL-1β karena terangsangnya

pusat panas pada hipotalamus, sehingga sitokin ini disebut pirogen endogen yaitu

agen host penyebab demam. Dampak biologis IL-1β bergantung pada jumlah

sitokin yang dilepaskan, pada kadar rendah berfungsi sebagai mediator inflamasi

lokal, sedangkan pada kadar tinggi akan memasuki sirkulasi peredaran darah dan

24
menyebabkan demam. Selain itu IL-1 merangsang ekspresi berbagai reseptor

antigen pada permukaan sel untuk meningkatkan respon imun spesifik, Interferon

gamma dan faktor kemotaktik (Kresno, 2010; Abbas and Litchman, 2015).

2.6.2 Peran IL-1β pada Infeksi

IL-1β merupakan salah satu sitokin proinflamasi dan IL-1β memiliki potensi

tinggi menyebabkan kerusakan pada jaringan host, sehingga sitokin ini diketahui

memiliki efek merugikan. Produksi IL-1β yang berlebihan dan tidak terkendali

dapat menyebabkan efek patologis pada manusia. IL-1β diketahui memberikan

perlindungan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur dengan

mengaktifkan beberapa respon termasuk perekrutan neutrofil secara cepat ke

tempat inflamasi seperti yang terlihat pada gambar 2.7, aktivasi molekul adhesi

endotel, induksi sitokin dan kemokin, induksi respon demam dan stimulasi dari

sistem imun adaptif seperti respon Th17 (Sahoo et al, 2011).

Gambar 2.7 Migrasi Leukosit ke Lokasi Infeksi


Keterangan :Pada lokasi infeksi makrofag dan sel dendritik yang telah bertemu dengan
mikroba memproduksi sitokin (seperti TNF dan IL-1) yang kemudian
mengaktivasi sel endotelial dari vena terdekat untuk memproduksi selectin,
ligan untuk integrin dan kemokin. Selectin memediasi ikatan lemah dan
perputaran netrofil darah pada endotelium, integrin memediasi adhesi kuat
dari neutrofil dan kemokin mengaktivasi neutrofil dan menstimulasi
migrasinya melalui endotel menuju lokasi infeksi. Monosit darah dan limfosit
T teraktivasi menggunakan metode yang sama untuk sampai pada lokasi
infeksi (Abbas and Licthman., 2015)

25
Gambar 2.8 Peran Sitokin pada Inflamasi Lokal dan Sistemik
Keterangan :TNF, IL-1 dan IL-6 memiliki efek pada inflamasi lokal dan sistemik. TNF dan
IL-1 bertindak pada leukosit dan endotelium untuk menginduksi inflamasi
akut. Kedua sitokin ini menginduksi ekspresi IL-6 dari leukosit dan jenis sel
lainnya. Ketiganya memediasi efek proteksi sistemik dari inflamasi termasuk
induksi demam, sistesis protein fase akut oleh hati dan peningkatan
produksi leukosit pada sumsum tulang. Peningkatan TNF secara sistemik
dapat menyebabkan kelainan patologis yang dapat menyebabakan syok
septik, menurunnya fungsi jantung, trombosis, kebocoran kapiler dan
kelainan metabolik akibat dari resistensi insulin (Abbas and Licthman, 2015)

2.7. Tanaman Turi Merah (Sesbania glandiflora L.Pers)

Tanaman turi atau Sesbania Glandiflora merupakan tanaman berbentuk

pohon kecil (tinggi mencapai 10 m) dan digolongkan ke dalam famili Fabeace.

Diduga tanaman ini berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara, akan tetapi telah

tersebar ke berbagai daerah tropis di dunia (Nasution dkk., 2010). Begitu pula di

Indonesia, tanaman ini telah banyak dikenal terutama di wilayah Indonesia bagian

tengah dan timur. Sehingga tanaman ini memiliki banyak istilah atau nama lain di

tergantung setiap daerah dan negaranya (Hayne, 1987).

Menurut Nasution dkk. (2010) tanaman turi merah diklasifikasikan sebagai

berikut, Kingdom (Plantae/Tumbuhan), Devisi (Mangnoliophyta/Tumbuhan

berbunga), Kelas (Magnoliopsida/ berkeping dua/dikotil), Ordo (Fobales), Famili

(Fabaceae), Bangsa (Robinieae), Genus (Sesbania) dan Spesies (Sesbania

Glandiflora L.Pers)

26
2.7.1 Morfologi Turi Merah

Nasution dkk (2010) mengatakan tanaman ini terglong tanaman yang relatif

tidak berumur panjang, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tanaman yang cepat,

perakalannya dangkal dan memiliki cabang yang menggantung. Bentuk tanaman

ini adalah bentuk pohon dengan percabangan yang jarang dan mendatar, batang

utamanya tegak, tajuk cenderung meninggi.

Daun tanaman turi berbentuk lonjong atau oval, bersifat majemuk menyirip

ganda dan letaknya tersebar. Panjang daun sekitar 20-30 cm dengan daun

penumpu, Anak daun bertangkai pendek dengan jumlah kurang lebih 20-50

pasang anak daun dalam satu tangkai. Helaian anak daun berbentuk ljorong

memanjang, tepi rata, panjang 3-4 cm, lebar 0.8-1.5 cm.

Bunganya tersusun majemuk dan mahkotanya berwarna putih, tipe kupu-

kupu khas Faboideae, serta terdapat buah yang berbentung polong dan

menggantung. Buah tanaman turi berwarna hijau ketika masih muda dan berwarna

kuning setelah tua. Polong tersebut memiliki bentuk yang ramping, lurus dan

bagian ujungnya meruncing. Panjang polong sekitar 30-50 cm.

Gambar 2.9 Tanaman Turi Merah


Keterangan :Tanaman turi merah dan putih dibedakan berdasarkan warna bunganya.
Bunga dari tanaman turi tumbuh pada ketiak daun dan berbentuk tandan,
kelopak bunga turi berbentuk bulan sabit, mahkota bunga berbentunk
lonceng dan menggantung (Kwen, 2011).

27
2.7.2 Kandungan Kimia Turi Merah

Ipteknet (2005) dan Masing-masing bagian dari tanaman turi merah

memiliki kandungan kimia yang berbeda yaitu :

Batang : Tanin, egatin, zantoegatin, basorin, resin, calcium oksalat, sulfur

dan zat warna

Kulit : Getah dan zat merah

Daun : Saponin, tanin, flavonoid, peroksidase, vitamin A dan Vitamin B,

selain itu terdiri dari karbohidrat, air, protein, serat, nitrogen,

lemak, kalsium, zat besi, fosor, natrium, kalium dan vitamin C.

Bunga : Kalsium, zat besi, zat gula, Flavonoid, saponin, Vitamin A dan

Vitamin B

Biji : 40-70% protein dan 6.5% nitrogen

Akar : β-Mercaptoethanol

2.7.3 Bahan Aktif Daun Turi Merah yang Diduga Memiliki Efek Aktibakteri

Kandungan kimia yang dimiliki oleh bagian dari daun turi merah, beberapa

diantara diduga mempunyai efek anti bakteri yaitu senyawa saponin, flavonoid dan

tanin (Yusniawati, 2015).

1. Saponin

Kurniawan (2012) mengatakan saponin diberi nama demikian

karena sifatnya menyerupai sabun “Sapo” berarti sabun. Saponin adalah

glikosida kompleks dengan berat molekul tinggi yang dihasilkan terutama

oleh tanaman, di masyarakat saponin banyak dimanfaatkan sebagai

pembuat sabun. Saponin dapat larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut

dalam eter, sehingga ekstraksi saponin dari tanaman yang paling baik

dengan menggunakan pelarut etanol 70%-96% atau pelarut metanol.

Saponin sebagai antibakteri dengan mengganggu stabilitas

membran sel bakteri, sehingga terjadi penurunan tegangan permukaan

28
dan mengakibatkan permeabilitas sel bakteri dalam penelitian ini bakteri

Staphylococcus aureus menjadi meningkat. Proses tersebut akan

mengakibatkan kerusakan membran sel dan menyebabkan keluarnya

berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri yaitu, protein, asam

nukleat dan nukleotida yang akhirnya akan menyebabkan lisisnya sel

bakteri (Darsana et al., 2012). Saponin selain diketahui memiliki efek

antimikroba juga dikenal dapat menghambat jamur dan melindungi

tanaman dari serangan serangga (Amelia, 2009). Saponin memiliki juga

sifat anti inflamatory, dibuktikan dapat menyembuhkan edema pada kaki

belakang tikus yang terinfeksi, dengan menghambat pembentukan eksudat

dan kenaikan permeabilitas vaskular (Fahrunnida, 2015; Fitriyani dkk.

2011). Penelitian Ahmad et al. (2014) mengatakan bahwa saponin efektif

bekerja sebagai anti inflamasi ditunjukkan dengan saponin dapat

mengurangi ekspresi Nfkb P65 dan P50, sehingga dengan berkurangnya

ekpresi tersebut maka akan menurunkan jumlah sitokin proinflamasi

seperti TNF-α, IL- 1β dan IL-6. Serta dalam penelitian Charali et al. (1987)

mengatakan saponin saat diberikan secara oral dapat meningkatkan

proliferasi sel dan menginduksi aktivitas sel T dan B independen yang

distimulasi oleh LPS.

Secara farmakokinetik saponin memiliki sifat fisikokimia yang tidak

menguntungkan dalam hal penyerapan seperti memiliki masa molekul

yang besar (>500 Da), kapasitas hydrogen-binding yang tinggi (>12) dan

flesibilitas molekul yang tinggi (>10).hal ini menyebabkan sulitnya

penyerapan oleh jaringan terutama yang terjadi didalam saluran

pencernaan usus halus dan menurunkan permeabilitas membran.

Penurunan permeabilitas membran menunjukkan konsentrasi saponin

pada jaringan lebih rendah dibandingkan dalam plasma (Keyu et al., 2012).

29
Saponin yang terkonsumsi bertemu dengan ligan potensial di dalam usus

halus seperti garam empedu, kolesterol, sterol membran sel mukosa dan

zat makanan ataupun antinutrisi, yang semuanya dapat menurunkan atau

menghambat efektifitasnya (Suparjo, 2011).

2. Flavonoid

Cushnie and Lamb (2005) mengatakan bioflavonoid atau flavonoid

merupakan jenis polifenol yang terdapat hampir pada seluruh tanaman baik

pada daun, kulit, buah, biji dan bunganya. Pada tanaman turi merah ini

diketahui terdapat pada bunga dan daunnya, senyawa fenol ini

bertanggung jawab terhadap karakteristik organoleptik dari tanaman, yaitu

berpengaruh pada warna, rasa dan kandungan nutrisi pada tanaman

tersebut. Hingga saat ini telah teridentifikasi 6000 jenis flavonoid, setiap

tanaman memilki jenis flavonoid yang unik, dengan efek yang mungkin

berbeda-beda. Penelitian bidang farmasi menunjukkan bahwa kandungan

flavonoid bisa menjadi antioksidan yang baik, flavones dan katekin

merupakan flavonoid yang paling kuat dalam menangkal Reactive Oxygen

Spesies (ROS) yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan

tubuh. Beberapa derivat flavonoid juga bisa digunakan untuk mengobati

berbagai jenis penyakit yaitu dengan efek antijamur, antivirus dan

antibakteri.

Senyawa flavoniod mampu menghambat pertumbuhan beberapa

bakteri, beberapa diantaranya adalah bakteri Staphylococcus aureus dan

Streptococcus mutans. Selain sebagai antibakteri kelebihan dari senyawa

flavonoid juga bersifat sebagai antioksidan, analgesik dan antiinflamasi

(Charyadie dkk., 2014). Senyawa fenol mempunyai sifat efektif

menghambat pertumbuhan virus, bakteri dan jamur. Bekerja dengan

merusak permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom dan lisosom dengan

30
berinteraksi dengan DNA bakteri serta flavonoid memiliki kemampuan

menghambat motilitas bakteri (Sabir, 2005).

Penelitian Azenda (2006) mengatakan flavonoid glycoside dari

rumput mutiara menjadi imunostimulator dengan cara meningkatkan

aktivitas fagositosis dengan memacu produksi IFN-γ. Penelitian lain

mengatakan licochalcone C merupakan senyawa fenolik, dikenal sebagai

flavonoid yang diperoleh dari Glycyrrhiza Glabra dapat mengurangi respon

inflamasi yang disebabkan oleh stimulasi LPS dan IFN -γ yang teraktifasi

secara signifikan dengan mengurangi ekspresi dan aktivitas iNOS melalui

NFκB (faktor nuklir kappa-B), dipengaruhi oleh produksi O2− ekstraseluler,

dan modulasi aktivitas jaringan antioksidan SOD (dismutase superoksida),

cat (catalase) dan aktivitas GPx (glutation peroksidase) (Franceschelli et

al., 2011), dan penelitian Fang et al., (2005) mengatakan kaempferol

glycoside yang merupakan turunan atau golongan dari senyawa flavonoid

pada ekstrak Cinnamomum osmophloeum mampu menghambat produksi

sitokin proinflamasi seperti TNF-α yang dihasilkan oleh makrofag dengan

adanya stimulasi dari LPS dan IFN-γ yang teraktifasi.

Chusnie and Lamb (2005) mengatakan terdapat tiga mekanisme

kerja flavonoid yaitu, mencegah sintesis asam nukleat yang

mengakibatkan sintesis DNA dan RNA bakteris terhambat, menghambat

fungsi sitoplasma bakteri dan menghambat metabolisme energi bakteri.

Flavonoid memiliki kandungan katekin yang memiliki aktivitas lebih besar

sebagai antibakteri baik pada bakteri gram negatif maupun bakteri gram

positif yaitu, bertindak dengan merusak membran bakteri dan mengganggu

fungsi barrier dari bakteri. Juliantina dkk. (2009) mengatakan flavonoid

bersifat sebagai koagulator protein, dan bekerja sebagai antibakteri

31
dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein

ekstraseluler yang mangganggu integritas membran sel bakteri.

Secara farmakokinetik flavonoid kecuali katekin yang ada pada

tumbuhan terkonjugasi dengan glikosida yaitu β-glycosides, yang

menentukan sebelum absorbsi terjadi apakah dari usus kecil atau usus

besar. Glucosides salah satu glikosida yang dapat diserap dari usus kecil.

Penyerapan pada usus kecil lebih efisien daripada penyerapan dari usus

besar, karena penyerapan dari usus kecil menyebabkan peningkatan nilai

plasma. Sebelum diserap oleh usus flavonoid harus dikeluarkan dari

tanaman dengan proses mengunyah, absorbsi dari flavonoid yang

dikeluarkan dari makanan tergantung pada sifat fitokimia seperti ukuran

molekul dan konfigurasi, lipofilisitas, kelarutan dan pKa. Sebagian besar

flavonoid dalam bentuk glikosida berikatan dengan molekul gula, sehingga

secara biologis usus akan memecahnya menjadi aglycon bebas gula. Hal

ini dikarenakan glikosida dianggap terlalu hidrofilik untuk penyerapan

secara pasif dalam usus kecil, dan hanya bentuk aglycon yang

memungkinkan dapat diserap dalam usus kecil. Setelah penyerapan dari

usus kecil, flavonoid terkonjungasi dengan glucoronic acid atau sulfate atau

terjadi dengan O-methylation. Reaksi konjungasi yang terjadi pada

absorbsi usus kecil bagian atas sangat efisien, dan tidak ditemukan

aglycon flavonoid bebas baik dalam plasma ataupun urine, kecuali katekin.

Setelah mengalami perpecahan, flavonoid yang tidak dapat diserap oleh

usus kecil akan mengalami fermentasi oleh bakteri yang ada di usus besar.

Flavonoid dimetabolisme di usus besar oleh bakteri mikroflora usus yang

bekerja dengan memecahkan struktur cincin flavonoid.

Kemudian metabolit diserap melalui membran gastrointestinal dan

dibawa menuju liver, metabolit flavonoid terjadi dihati, terkonjungasi

32
dengan glucuronic acid, sulfate atau glycine kemudian disekresikan dari

tubuh melalui urine dan empedu. Melalui ekresi urine ditemukan flavonoid

jumlah golongan flavonol rendah dan golongan quercetin tinggi (Hollman,

2004). Seperti yang terlihat pada gambar 2.10 berikut ini :

Gambar 2.10 Metabolisme Fenol dari Tanaman


Keterangan :Panah putih menggambarkan aliran flavonoid dengan sistem ring
didalam tubuh. Panah abu menggambarkan aliran metabolit kolon,
asam fenolik. Lebar panah menunjukkan kepentingan relatif dari
dua kelas yang berbeda dari metaolit (Hollman, 2004)

3. Tanin

Tanin merupakan senyawa polifenol yang bersal dari tumbuhan,

berasa pahit dan kelat, bereaksi dengan dan menggumpalkan protein, atau

berbagai senyawa organik lainnya termasuk asam amino dan alkaloid.

Tanin merupakan senyawa polifenol yang berukuran besar yang

mengandung cukup banyak gugus hidroksil dan gugus lain yang sesuai

(misalnya karboksil) untuk membentuk ikatan yang kompleks dan kuat

dengan protein dan makromolekul yang lain. Hampir semua makanan

nabati dan minuman mengandung tanin, dan bagian tumbuhan yang

mengandung tanin adalah kulit, batang, daun, akar, dan buah (Serrano et

al., 2009).

33
Naim (2004) mengatakan mekanisme kerja tanin sebagai anti

bakteri berhubungan dengan kemampuan tanin dalam menginaktivasi

molekul yang menempel pada hospes yang terdapat pada permukaan sel.

Enzim yang terikat pada membran sel dan polipeptida dinding sel

menyebabkan terjadinya kerusakan pada dinding sel, karena tanin adalah

senyawa fenol. Kerusakan dinding sel pada bakteri membuat sel bakteri

tanpa dinding yang disebut protoplast. Kerusakan pada dinding sel bakteri

menyebabkan kerusakan membran sel bakteri dengan hilangnya sifat

permeabilitas membran sel bakteri sehingga keluar masuknya zat-zat (air,

nutrisi dan enzim) tidak terseleksi. Jika zat keluar dari dalam sel bakteri,

akan terjadi hambatan metabolisme sel, kemudian akan menghambat

terbentuknya ATP yang dibutuhkan untuk perkembangbiakan dan

pertumbuhan sel bakteri, bahkan memungkinkan terjadinya kematian sel

bakteri (Hayati dkk., 2009).

Menurut Nuria dan Faizatun (2009) Tanin juga dapat menghambat

enzim reserve transcriptase dan DNA topoisomerase sehingga asam

amino pembentuk sel bakteri tidak dapat terbentuk. Selain sebagai anti

bakteri tanin diketahui juga sebagai anti inflamasi di tunjukkan pada

penelitian Kim et al. (2009) mengatakan gallotannins yang diisolasi dari

spesies Euphorbia (Euphorbiaceae) merupakan bagian dari senyawa tanin

diketahui memiliki efek penghambatan terhadap reaksi inflamasi yang

diinduksi oleh LPS ditunjukkan dengan berkurangnya produksi NO oleh

makrofag, menurunkan ekspresi gen dan produksi iNOS serta

menghambat aktivasi NF-kB seperti yang ditunjukkan oleh penghambatan

degradasi i-kBα, translokasi nuklear pada NF-kB, dan NF-kB yang

tergantung pada gen.

34
Wang et al. (2010) mengatakan secara farmokinetik tanin yang

berasal dari ekstrak tumbuhan diabsorbsi dengan cepat dari saluran cerna

lalu mengalami distribusi dan eliminasi yang cukup cepat pula.

Bioavailabilitasnya sangat rendah setelah pemberian peroral. Setelah 55

menit pemberian ekstrak yang mengandung tanin sebanyak 0,8 g/kgBB

konsentrasi tanin dalam plasma adalah 213 ng/ml. Hidrolisis tanin

kebanyakan terjadi pada usus besar pada pH alkalin. Pemberian ektrak

yang mengandung tanin tidak disarankan untuk diberikan bersamaan

dengan herbal yang mengandung alkaloid, karena pencampuran keduanya

akan mengakibatkan terjadinya presipitasi. Pemberian ekstak yang

mengandung tanin juga tidak disarankan diberikan dengan ekstrak yang

mengandung protein karena juga dapat mengakibatkan presipitasi yang

disebabkan oleh interaksi farmakologik sehingga mengurangi bioavabilitas

bahan aktif dari ekstrak (Haidari et al., 2009).

Didalam usus besar substrat tanin dicerna dan difermentasikan oleh

bakteri mikroflora dan dimetabolisme oleh enzim mikrobiota yang terdapat

pada usus besar, kemudian setelah proses metabolisme akan terjadi

kerusakan pada struktur asli tanin, pada metabolisme yang tidak dapat

diserap (mungkin bergantung pada berat molekul tanin) tetap berada

didalam lumen usus dimana mereka dapat menetralkan prooksidan dari

makanan dalam usus besar yang dihasilkan selama metabolisme mikroba

usus (Serrano et al., 2009).

2.7.4 Penelitian Tentang Tanaman Turi

Penelitian Yuswantina dkk. (2012) gel antiseptik tangan yang

dikembangkan dari daun turi merah yang diketahui mengandung senyawa

saponin, flavonoid dan tanin yang mempunyai sifat antibakteri, secara signifikan

mampu menurunkan jumlah koloni bakteri dan memiliki daya hambat yang

35
semakin besar dengan menggunakan konsentrasi gel yang semakin besar.

Penelitian Raharjo dkk. (2013) hasil uji aktifitas antibakteri ekstrak daun turi

(Sesbania glandiflora L.Pers) terhadap Escherichia coli menunjukkan bahwa

senyawa saponin dan flavonoid secara signifikan memiliki aktivitas antibakteri

pada bakteri Escherichia coli. Penelitian Failasufi (2008) ekstrak bunga turi merah

memiliki antibakteri terhadap Staphylococcus aureus secara invitro dengan Kadar

Hambat Minimum (KHM) 5% dan Kadar Bunuh Minimun (KBM) 6%, dan hasil

penelitian Yusniawati (2015) ekstrak etanol daun turi merah (Sesbania glandiflora

L.Pers) memiliki antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dengan Kadar

Hambat Minimum (KHM) konsentrasi 14%.

2.8. Sistem Imun Mukosa Vagina Traktus Genitalis

Vagina merupakan pintu masuk traktus genitalis wanita yang dilapisi oleh

epitel skuamus komplek non-keratininsasi. Permukaan epitel kulit manusia

memiliki struktur yang bervariasi, hal ini tergantung lokasi dan fungsinya.

Permukaan pada epitel vagina dan ektoserviks memiliki struktur yang sama, hal

ini berbeda dengan endoserviks yang dilapisi oleh sel epitel kolumner simpleks

yang memproduksi mukus yang akan membasahi dan melindungi epitel.

Proliferasi dan maturasi sel epitel dipengaruhi oleh regulasi hormonal. Infeksi,

trauma fisik dan kimiawi dapat menyebabkan rusaknya sel epitel dan dapat

menyebabkan rusaknya sel epitel dan dapat menjadi jalan masuknya patogen.

Kulit dan mukosa merupakan pertahanan pertama yang akan dilalui patogen jika

akan menginfeksi (Pudjiati, 2010; Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Pertahanan kedua yang akan dilalui patogen yaitu sistem imun bawaan

pada mukosa, sistem imun ini akan aktif setelah dipicu dengan adanya invasi dari

patogen. Pengenalan imun sendiri dimediasi oleh Pattern Recognition-Receptor

(PRR) yang terdiri dari Toll-Like Receptor (TLR), NOD-Like Receptor (NOD) dan

36
RNA helicases. Reseptor tersebut mendeteksi antigen melalui pengenalan protein

pemicu yang dimiliki oleh antigen tersebut yang disebut Pathogen Associated

Molecular Pattern (PAMP), misalnya lipopolisakarida yang diproduksi oleh bakteri

gram positif. Saat PRR teraktivasi oleh patogen atau produknya, sel epitel akan

melepaskan beberapa kemokin seperti IL-8, RANTES, MIP-1α dan β, dan SDF-1

yang akan merekrut sel imun yang lain menuju daerah yang terinfeksi. Disamping

itu juga dilepaskan beberapa sitokin proinflamasi seperti IL-1β dan TNF-α yang

akan mengaktivasi leukosit, serta sitokin IL-6, IL-15, TGF-β dan G-CSF yang akan

mempengaruhi deferensiasi dan regulasi respon limfosit T dan B. Sel-sel fagositik

merupakan komponen utama pada sisitem imun bawaan level seluler. Semua sel-

sel fagosit yang terdiri dari makrofag, neutrofil, eosinofil, sel mast, sel NK, sel

epithelial dan sel dendritik berada pada jaringan mukosa (Pudjiati, 2010).

Sesuai dengan Abbas and Licthman (2015) bahwa pertahanan imun

bawaan melawan invasi mikroba dan infeksi pada mukosa genitourinaria

tergantung dari lapisan epitel, sebagaimana barier mukosa lainnya, tingkatan

lapisan epitel skuamosa. Epitel vagina yang terdapat sel langerhans, sel dendritik

dan makrofag tersebar dibawah epitel vagina, endoservik dan uretra. Menurut

Baratawidjaja dan Rengganis (2014) dan Pudjiati (2010) Sistem imun adaptif yang

merupakan pertahanan ketiga dari patogen, terdiri dari imunitas humoral dan

seluler. Imunitas humoral dimediasi oleh antibodi yang diproduksi oleh sel plasma.

Setelah terstimulasi oleh antigen, sel B yang berada di jaringan limfoid

genitourinaria berdiferensiasi menjadi sel plasma, kemudian sel plasma

melepaskan IgA yang dapat tersekresi mukosa jaringan limfoid genitourinaria dan

disebut dengan sIgA. IgA merupakan antibodi dominan yang diproduksi sel plasma

pada mukosa saluran genitalia (Abbas and Licthman, 2015).

Abbas and Licthman (2015) menyatakan Imunitas seluler pada mukosa

merupakan kunci pertahanan terhadap patogen intraseluler. Pada mukosa vagina

37
juga terdapat sel B dan sel T. Terdapat regional kecil sistem imun adaptif yang

khusus pada mukosa genitourinaria, dimana terdapat Mucosal-Associated

Lymphoid Tissue (MALT) yang kurang menonjol. Menurut Baratawidjaja dan

Rengganis (2014) dan Pudjiati (2010) setelah sel dendritik/APC yang berada di

lamina propia teraktivasi oleh antigen, maka sel dendritik akan bermigrasi menuju

jaringan limfoid genitourinaria dan mempresentasikan antigen ke limfosit T dan

dimulailah suatu respon imun.

2.9. Mencit (Mus musculus)

Menurut Wales dan Jimmy (2009) menyatakan bahwa klasifikasi mencit

(Mus musculus) adalah sebgai berikut :

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Mencit (Mus musculus) merupakan kelompok Muridae yang berukuran

kecil, merupakan perenang dan penyelam yang ulung, perilaku yang semi akuatik,

hidup di saluran air bawah tanah, sungai dan area lain yang basah. Mencit (Mus

musculus) sangat mudah dijumpai dirumah-rumah dan dikenal sebagai hewan

pengganggu karena dapat merusak dan menggigit barang-barang yang berasal

dari kayu, serta bersarang di sudut-sudut lemari atau tempat tidur. Mencit sangat

mudah menyesuaikan diri dengan perubahan yang dibuat oleh manusia. Mencit

percobaan (laboraturium) dikembangkan dari mencit, melalui proses seleksi, dan

saat ini telah dikembangkan sebagai hewan peliharaan.

38
Mencit merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai model

yang digunakan dalam penelitian biomedis, pengujian dan pendidikan, kisarannya

antara 40%-80%. Hal ini disebabkan oleh mencit mudah untuk dibiakkan, siklus

hidupnya relatif pendek, jumlah anak perkelahiran banyak, variasi sifatnya tinggi,

mudah ditangani, serta tergolong murah. Disamping itu mencit juga memiliki

struktur organ dalam dan sistem imun yang menyerupai manusia.

Gambar 2.11 Mencit (Mus musculus)


Keterangan :Mencit (Mus musculus) berwarna putih dengan berat 18-35 gram/kg BB dan
termasuk dalam kelas mamalia (Kusumawati, 2004)

2.9.1 Karakteristik Mencit (Mus musculus)

Menurut Kusumawati (2004) mencit memiliki karakteristik sebagai berikut :

Lama hidup : 1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun

Lama produksi ekonomis : 9 bulan

Lama bunting : 19-20 hari

Kawin setelah beranak :1-24 jam

Umur dewasa : 35 hari

Umur sapih : 21 hari

Umur dikawinkan : 8 minggu (jantan dan betina)

Siklus estrus (menstruasi) : 4-5 hari

39
Lama estrus : 12-14 jam

Ovulasi : dekat akhir periode estrus, spontan

Fertilisasi : 2 jam sesudah kawin

Berat dewasa :20-40 gram jantan, 18-35 gram betina

Jumlah anak : rata-rata 6, bisa sampai 15

Suhu rektal : 37.5oC

Laju respirasi : 40

Deyut jantung : 165 x/menit

Jumlah sel darah merah : 7.7 ml/kg

Jumlah sel darah putih : 8.4-10.5 x 106/µl

Konsumsi pakan perhari : 5 g (umur 8 minggu)

Konsumsi air minum perhari : 6.7 ml (umur seminggu)

2.9.2 Masa Nifas Mencit (Mus musculus)

Mencit (Mus musculus) masa nifasnya terjadi acak diseluruh 24 jam

sedangkan ovulasi dan pembuahan sangat dipengaruhi oleh siklus cahaya,

kecenderungan ovulasi berkurangselama 12-18 jam setelah kelahiran. Kornifikasi

vagina belum lengkap pada periode ini, dan sel cornified dari smear biasanya tidak

pernah mencapai 100 %, selain itu juga berkurangnya cairan di dalam rahim jika

dibandingkan dengan estrus normal (Runner and Ladman, 1950). Fase nifas

estrus akan dimulai sekitar 10 dan 24 jam setelah melahirkan dan fase estrus ini

cenderung terjadi pada malam pertama dan berlangsung setelah 10 jam

melahirkan (Gilbert, 1984).

Long and Mark (1911) mengatakan interval antara kelahiran dan ovulasi

berikutnya pada mencit telah dilaporkan sekitar 14 sampai 28 jam. Adapun kondisi

berakhirnya masa nifas pada pada tikus juga dapat dipengaruhi oleh rangsangan

aroma kondisi berakhirnya masa nifas pada tikus juga dapat dipengaruhi oleh

rangsangan aroma dari pejantan disekitarnya yang membuat fase estrus menjadi

40
lebih cepat. Pada fase estrus, permukaan vagina berlendir, terjadi penurunan

ketinggian epitel dan pecahan sisa sel ada didalam lumen. Fase ini dengan

terlepasnya epitel bertanduk yang tidak berinti sehingga terlihat jumlahnya mulai

berkurang, kemudian terjadi keratinisasi sel epitel (epitel bergenerasi).

41

Anda mungkin juga menyukai