Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Judul Tema Kegawatdaruratan”

OLEH

NAMA
NIM.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG
MANGKURAT BANJARMASIN
2020
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN..............................................................................................................3
METODE............................................................................................................................4
ISI........................................................................................................................................5
A. Definisi..................................................................................................................5
B. Epidemiologi.........................................................................................................5
C. Etiologi..................................................................................................................6
D. Klasifikasi..............................................................................................................7
E. Faktor Resiko........................................................................................................7
F. Patofisiologi..........................................................................................................8
G. Manifestasi Klinis...............................................................................................11
H. Diagnosis.............................................................................................................13
I. Tata Laksana.......................................................................................................14
J. Komplikasi..........................................................................................................14
K. Pencegahan..........................................................................................................15
L. Prognosis.............................................................................................................16
KESIMPULAN................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................18

ii
PENDAHULUAN

3
METODE

A. Sumber dan Jenis Data

Sumber data berasal dari literatur berupa jurnal, guideline, buku, serta peraturan
pemerintah. Literatur. Data epidemiologi didapat dari pusat data dan informasi WHO dan
Kementerian Kesehatan serta lembaga pemerintah terkait.

B. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan literatur berupa buku, jurnal, dan
artikel ilmiah dari internet.

C. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan secara deskriptif argumentatif sesuai permasalahan yang
dijabarkan pada rumusan masalah.

D. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menganalisis tinjuan pustaka dan


menghubungkannya dengan permasalahan yang ada pada makalah.

4
ISI

A. Definisi

Dermatitis kontak akibat kerja merupakan salah satu kelainan kulit yang sering
dijumpai. Sekitar 85% sampai 98% dari seluruh penyakit kulit akibat kerja. Dermatitis
kontak ialah respon inflamasi akut ataupun kronis yang disebabkan oleh bahan atau substansi
yang menempel pada kulit. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit non
imunologik disebabkan oleh bahan kimia iritan. 1

B. Epidemiologi

Penyakit-penyakit akibat kerja telah lama dikenal dan diketahui, termasuk penyakit kulit
akibat kerja yang lebih dikenal dengan occupational dermatitis. Penyakit kulit akibat kerja
merupakan sebagian besar dari penyakit akibat kerja pada umumnya dan diperkirakan 50%-
75% dari seluruh penyakit akibat kerja.2
Dermatitis kontak akibat kerja merupakan salah satu kelainan kulit yang sering
dijumpai. Kelainan kulit ini dapat ditemukan sekitar 85% sampai 98% dari seluruh penyakit
kulit akibat kerja. Insiden dermatitis kontak akibat kerja diperkirakan sebanyak 0,5 sampai
0,7 kasus per 1000 pekerja per tahun. Dermatitis kontak akibat kerja biasanya terjadi di
tangan dan angka insiden untuk dermatitis bervariasi antara 2% sampai 10%.Perlu dicatat
bahwa 80% dari dermatitis kontak akibat kerja adalah iritan dan 20% alergi. Namun, data
terakhir dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa persentase dermatitis kontak
akibat kerja karena alergi mungkin jauh lebih tinggi, berkisar antara 50% dan 60%, sehingga
meningkatkan dampak ekonomi dari kerja DKAK.3
Besarnya insidensi penyakit kulit akibat kerja yang merupakan dermatitis kontak sebesar
92,5%, sekitar 5,4% karena infeksi kulit dan 2,1% penyakit kulit karena sebab lain. Pada
studi epidemiologi, di Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus adalah
dermatitis kontak, dimana 66,3% diantaranya adalah dermatitis kontak iritan dan 33,7%
adalah dermatitis kontak alergi.3
Prevalensi nasional dermatitis sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi dermatitis
cukup tinggi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka
Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur,

5
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo
(Riskesdas, 2010:45).4
Dermatitis kontak akibat kerja dapat terjadi pada pekerja salon, pekerja bahan logam,
pekerja industri makanan, petugas kebersihan, dan petugas kesehatan akibat seringnya
terpapar bahan-bahan iritan di tempat kerja (Behroozy, 2014). Petugas kesehatan termasuk
berisiko tinggi terjadinya DKAK terutama perawat, akibat sering kontak dengan bahan iritan
dan pekerjaan basah. Perawat yang bertugas di ruang bedah dan unit perawatan khusus,
angka kejadian DKAK cukup tinggi yaitu 18% sampai 57%. Dermatitis kontak akibat
kerjapada perawat kesehatan karena banyak agent atau bahan iritan di rumah sakit yang
menyebabkan dermatitis kontak iritan seperti air, pekerjaan basah, frekuensi mencuci tangan,
cairan antiseptik dan sabun, mengeringkan kulit menggunakan handuk kertas, menggunakan
sarung tangan oklusif untuk waktu yang lama dan bubuk sarung tangan .5

C. Etiologi

Penyakit kulit akibat kerja yang paling banyak dialami oleh penata rambut
adalah dermatitis kontak, baik iritan maupun alergi. Hal ini terjadi karena seorang
penata rambut sering terpapar langsung dengan bahan kimia yang terkandung dalam
produk-produk yang digunakan seperti sampo, cairan pengeriting rambut, cat rambut,
dan pewangi.6

6
Industri produksi pakan ternak merupakan industri yang memakai bahan kimia dalam
proses produksinya. Dari bahan-bahan yang digunakan terdapat bahan kimia yang dapat
menimbulkan kelainan kulit yaitu garam CuSO4. Bahan tersebut dapat mengakibatkan
kelainan kulit seperti ulcera, erythema, kulit kering, luka bakar kimia dan sebagainya.7
Proyek Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Juanda merupakan proyek
konstruksi yang sedang mengerjakan pembangunan hydrant system dan topping up.
Pekerjaan proyek tersebut mencakup penyambungan pipa dari tangki avtur ke
pelataran pesawat (apron) hingga finishing. Setiap tahap pekerjaan memungkinkan
pekerja berkontak dengan berbagai bahan, antara lain pipa, semen, dan cat dalam
waktu yang cukup lama. Walaupun sudah ada standar penggunaan bahan, namun
semua bahan tersebut mengandung zat kimia yang dapat bereaksi dengan kulit dan
berpotensi menimbulkan DKAK.8

D. Klasifikasi

Dermatitis kontak iritan dibedakan menjadi 2 antara lain:


(1) Dermatitis iritan akut
Reaksi yang timbul dapat berupa kulit menjadi berubah warna kemerahan atau cokelat
dan kemungkinan akan terjadi edema dan panas, atau ada pula papula, vesikula, dan
pustula. Dermatitis iritan kuat terjadi setelah satu atau beberapa kali olesan dengan
bahan - bahan iritan kuat, sehingga mengakibatkan terjadi adanya kerusakan epidermis
yang berdampak pada peradangan kulit. Zat kimia asam dan basa yang bersifat keras
pada penggunaan peindustrian pabrik akan menyebabkan terjadinya iritasi akut.
(2) Dermatitis iritan kronik
Dermatitis iritan kronik terjadi apabila kulit berkontak langsung dengan bahan – bahan
iritan yang tidak terlalu kuat, seperti sabun, deterjen dan larutan antiseptik. Gejala yang
ditimbulkan dari dermatitis akut yakni kulit kering, pecah-pecah, memerah, bengkak dan
terasa panas.9

E. Faktor Resiko

Ada 2 faktor resiko yaitu internal dan eksternal yaitu:


 Faktor internal:
 Pengetahuan yang kurang meningkatkan risiko terjadinya ataupun keparahan pada
pasien.

7
 Pola berobat yang kuratif.
 Perilaku konsumsi makanan yang kurang baik.
 Gaya hidup yang kurang baik.
 Tidak menggunakan APD.10
 Faktor eksternal :
 Keluarga kurang mengetahui tentang penyakit pasien.
 Lingkungan kerja menyebabkan pasien sering terpapar bahan iritan.10

Ada 2 faktor yaitu eksogen dan endogen yaitu:


 Faktor endogen:
1) Usia yang paling sering terjadi di usia dewasa.
2) Riwayat atopik berisiko dua kali lipat terkena dermatitis kontak iritan.
3) Personal hygiene yang tidak baik akan mudah terkena dermatitis kontak iritan.
4) Status gizi mempengaruhi karena dengan status gizi yang baik maka kekebalan tubuh
akan terjaga dan tidak mudah terserang penyakit.11
 Faktor eksogen:
1) Jenis iritan atau karakteristik bahan kimia.
2) Kelembapan yang tinggi akibat suhu yang tinggi tidak sesuai ketentuan.
3) Kontak langsung dengan bahan iritan secara terus menerus atau lama.
4) Lingkungan kerja.
5) Jumlah bahan iritan, semakin besar jumlahnya semakin mudah terkena DKI.
6) Musim mempengaruhi peluang terjadinya karena pada musim panas pekerja
terkadang tidak memakai APD karena tidak tahan dan musim hujan pekerja biasanya
malas mencuci tangan atau mandi setelah terpapar bahan kimia.11

F. Patofisiologi

Dermatitis kontak iritan merupakan hasil klinis dari peradangan akibat pelepasan sitokin
proinflamasi dari sel kulit (terutama keratinosit), hal ini sebagai respons terhadap rangsangan
kimiawi. Dermatitis kontak iritan muncul sebagai akibat aktivasi imunitas bawaan (innate
immunity) tanpa sensitisasi sebelumnya, yang membedakannya dari dermatitis kontak alergi
(adaptive immunity). Tiga perubahan patofisiologis utama dari dermatitis kontak iritan
meliputi gangguan sawar kulit, perubahan seluler epidermis, dan pelepasan sitokin. Dengan
konsentrasi atau durasi pemaparan yang cukup, berbagai macam bahan kimia dapat bertindak

8
sebagai iritan kulit. Bahan iritan kulit yang umum termasuk pelarut, iritan oksidatif dan
reduktif, debu, dan iritan mekanis. Kombinasi agen iritan, pekerjaan terkait dermatitis kontak
iritan, dan faktor risiko akan menyebabkan dimulainya rangkaian kejadian pathogenesis
dermatitis kontak iritan.12

Gambar 1. Patogenesis Dermatitis Kontak Iritan


a. Aktivasi kekebalan bawaan (innate immunity)
Kekebalan bawaan mengacu pada semua sel dan molekul yang mampu membedakan
'sinyal bahaya' dari infeksi, sifat fisik atau kimiawi, dan menginduksi reaksi inflamasi.
Peradangan memungkinkan individu untuk menghilangkan infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang disebabkan oleh agen fisik dan / atau kimia (penyembuhan luka). Oleh
karena itu, kekebalan bawaan identik dengan peradangan. Di dalam darah, sel imun bawaan
adalah sel hematopoietik, dengan pengecualian limfosit T dan B, yang membentuk respon
imun yang didapat. Di kulit, jumlah dari sel epidermis dan dermal merupakan kekebalan
bawaan. Pengenalan sinyal bahaya infeksius melibatkan satu set reseptor membran dan
interseluler disebut Toll-like (TLR) dan Nod-like receptors (NLR), yang menginduksi
aktivasi inflamasi dan jalur NF-kB, menghasilkan produksi sitokin inflamasi dan kemokin, di
antaranya adalah IL-1, IL-3, IL-6, IL-8, TNF-α. Molekul imunitas bawaan juga termasuk
komplemen, sistem enzim plasmatik dari koagulasi dan fibrinolysis.13,14
b. Mekanisme aksi

9
Penetrasi bahan kimia (irritant) melalui lapisan kulit yang berbeda, terutama epidermis
dan dermis bertanggung jawab atas pelepasan sejumlah besar sitokin dan kemokin oleh tipe
sel berbeda yang masing-masing perannya dalam menginduksi inflamasi masih belum
dipahami. Keratinosit mewakili 95% sel epidermis dan merupakan sel utama dan pertama
yang mengeluarkan sitokin setelah stimulus epikutan, sehingga memberi mereka peran
penting dalam inisiasi dan pengembangan dermatitis kontak iritan. Jenis sel lain diaktifkan
oleh bahan kimia dan berkontribusi pada induksi peradangan. Profil ekspresi sitokin selama
dermatitis kontak iritan memiliki variasi waktu tergantung pada alam, lingkungan dan dosis
bahan kimia [12]. Mediator dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan adalah IL-
1α (Interleukine-1α), IL-1β, IL-6, IL-8, TNF-α (Faktor Nekrosis Tumor-α), GM-CSF (Faktor
Stimulasi Granulosit / Makrofag-Koloni) dan IL-10, yang merupakan sitokin anti inflamasi.
Namun, pada peradangan awal mediator inflamasi yang berperan ialah IL-1α, TNF-α, dan
turunan asam arakidonat. IL-1α dan TNF-α adalah dua sitokin primer yang mampu
mendorong mediator sekunder lainnya (termasuk
banyak sitokin, kemokin, molekul adhesi, faktor pertumbuhan) untuk perekrutan leukosit ke
lokasi kulit yang terganggu. Dengan demikian rangkaian produksi mediator inflamasi terjadi
menyebabkan perubahan histologis kulit seperti: spongiosis, lichenification, hyperkeratosis,
dan inflamasi perivaskuler yang menyebabkan terjadinya gejala klinis eksim seperti: eritema,
ulserasi, rasa terbakar, pruritus, dan nyeri.
Pemaparan bahan iritan dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pemaparan secara akut
menyebabkan kerusakan sitotoksik secara langsung yang menyebabkan pelepasan mediator
inflamasi. Sedangkan, pemaparan kronik menyebabkan kerusakan pada membrane sel,
terganggunya pelindung kulit, denaturasi protein dan toksisitas selular. Dalam dermatitis
kontak iritan, bahan kimia tersebut secara langsung bertanggung jawab atas peradangan kulit
melalui sifat fisikokimia "toksik" yang bersifat pro-inflamasi. Analisis peradangan dermatitis
kontak iritan menemukan semua karakteristik reaksi inflamasi non spesifik, yaitu
hiperproduksi sitokin dan kemokin, adanya infiltrat inflamasi polimorfik dan lesi apoptosis /
nekrosis sel epidermis dengan proliferasi kompensasi keratinosit.12.14
c. Perbedaan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi
Perbedaan kedua penyakit ini terletak pada tahapan awal mekanisme kekebalan. Pada
dermatitis kontak iritan, bahan iritan bersifat pro-inflamasi dengan "toksisitas" langsung
pada sel-sel kulit yang mengaktifkan imunitas non spesifik yaitu imunitas bawaan (innate
immunity), sedangkan pada dermatitis kontak alergi bahan kimia memicu reaksi inflamasi

10
yang dimediasi oleh sel T spesifik (adaptive immunity). Tahap selanjutnya, kedua penyakit
ini menimbulkan gejala klinis yaitu lesi eksim yang sangat mirip. Hal ini dikarenakan kedua
penyakit ini melibatkan sitokin, kemokin, fenomena apoptosis, nekrosis seluler dan
perekrutan infiltrat inflamasi polimorfik. Hal ini menjelaskan mengapa lesi dermatitis kontak
iritan dan dermatitis kontak alergi sulit dibedakan secara klinis dan histologis, akan tetapi
dapat dibedakan atas dasar patofisiologis.14

Gambar 2. Perbedaan mekanisme kekebalan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak
alergi

G. Manifestasi Klinis

Dermatitis kontak dapat mengenai bagian apapun jika pada daerah khusus menunjukkan
kesan adanya kontak dengan objek tertentu.

11
Gambar 3. Petunjuk distribusi dermatitis kontak
Lesi akut dimulai sebagai eritematosa pruritik dan edema, plak mirip urtikaria yang
dengan cepat diikuti munculnya vesikel dan kadang-kadang juga bula. Eritema dan edema
masih terdapat pada fase subakut, namun vesikulasi menjadi samar-samar dan digantikan
oleh erosi, krusta, dan deskuamasi. Dalam kondisi lama, kasus kronis, kulit menjadi kering
dan terlihat kasar, fisura, keabuabuan, dan menebal dengan peningkatan garis kulit, proses
ini disebut likenifikasi.15
1. Dermatitis kontak iritan
Tipe klinis DKI bervariasi berdasarkan jenis bahan iritannya, missal ulserasi (asam
dan basa kuat), folikulitis (minyak), dan hiperpigmentasi (logam kuat). Terdapat 10 tipe
klinis DKI yang telah digambarkan, antara lain reaksi iritasi, DKI akut, iritasi akut tertunda,
DKI kronik kumulatif, iritasi subjektif, iritasi suberitema, dermatitis fraksional, reaksi
traumatik,reaksi akneiformis, dan eksim iritan asteatotik.
2. Dermatitis kontak alergi
Gejala klinis DKA terdiri dari 2 fase yaitu akut dan kronis:
a) Fase akut: timbulnya bercak eritema dengan batas jelas, diikuti edema, papulovesikel,
vesikel, dan bula. Jika vesikel atau bula pecah akan mengakibatkan erosi dan eksudat
yang ketika mengering akan menimbulkan krusta.
b) Fase kronis: kulit terlihat kering, timbul skuama, papul, likenifikasi, fisur, batas tidak
jelas, dan hiperpigmentasi.

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis dermatitis kontak alergi dan iritan


Dermatitis Kontak Alergi Dermatitis Kontak iritan
Kulit Kemerahan Pembengkakan ringan kulit
Kering, Bersisik Kulit terasa kaku dan keras
Bula Kulit kering dan pecah
Sensasi Terbakar Atau Perih Bula
Pembengkakan Reaksi terlokalisasi
Gatal-Gatal
Penggelapan Atau Kulit Pecah-Pecah

12
Reaksi Menyebar Diarea Tertentu

Disamping dilihat dari respon inflamasinya, lokasi gambaran klinis dermatitis kontak
juga dapat membantu menentukan etiologinya. Tangan merupakan lokasi yang paling sering
mengalami dermatitis kontak karena tangan merupakan bagian yang paling dominan kontak
dengan zat-zat terutama dalam proses kerja.16

Gambar 4. Dermatitis kontak pada telapak tangan

H. Diagnosis

Langkah-langkah penegakan diagnosis untuk penyakit dermatitis kontak iritan antara


lain:
1. Anamnesis

Anamnesis terarah tentunya diperlukan untuk mengeksplor riwayat pajanan terhadap


bahan atau substansi kimia tertentu. Onset penyakit sangat penting ditanyakan untuk
mengetahui tipe dermatitis kontak iritan. Onset penyakit sampai timbulnya gejala klinis
dalam hitungan menit sampai jam tergolong tipe simpel akut. Tipe akut lambat biasanya
dalam hitungan 8-24 jam. Tipe kumulatif cenderung merupakan konsekuensi dari pajanan
berulang dengan konsentrasi substansi yang rendah. Penting juga menyertai riwayat
keluarga atau orang di sekitar yang juga mengalami gejala yang sama. Riwayat atopik dan
alergi juga ditanyakan.17,18
2. Pemeriksaan klinis

Pemeriksaan klinis sangat penting untuk mengeksklusi pernyakit lain. Menentukan


lokasi dan efloresensi dengan jelas. Biasanya tempat predileksi DKI adalah pada tangan dan
lengan. Pemeriksaan tubuh secara menyeluruh sangat dianjurkan untuk melihat lesi di
tempat-tempat tertentu.17,18
3. Pemeriksaan penunjang

13
Pemeriksaan penunjang seperti patch test dapat dilakukan untuk eksklusi dermatitis
kontak alergi pemeriksaan penunjang dapat dilakukan patch test untuk mengeksklusi
dermatitis kontak alergi dan dapat dilakukan pemeriksaan KOH untuk mengeksklusi
penyakit jamur.17,18 Penunjang diagnostik yang akurat salah satunya adalah histopatologis.
Didapatkan gambaran intraselular edema atau spongiosis. Spongiosis tidak begitu tampak
jelas pada dermatitis kontak alergi. Gambaran parakeratosis juga bisa muncul pada
dermatitis kontak iritan kronik disertai hiperplasia sedang sampai berat, dan pemanjangan
rete ridges.18

I. Tata Laksana

Pengobatan DKI secara topikal dapat menggunakan kortikosteroid dimana sediaan yang
tersedia berupa losion atau krim, pemberian salep pelembap apabila pada efloresensi
deitemukan likenifikasi dan hiperkeratosis. Jenis kortikosteroid yang diberikan adalah
hidrokortison 2,5% dan flucinolol asetonide 0,025%. Antibiotik topikal diberikan pada kasus
yang terdapat tanda infeksi staphylococcus aureus dan streptococcus beta hemolyticus.
Pengobatan sistemik diberikan untuk mengurangi rasa gatal dan pada kasus gejala dermatitis
yang berat. Kortikosteroid oral diberikan pada kasus akut denga intensitas gejala sedang
hingga berat serta pada DKA yang sulit disembuhkan. Pilihan terbaik adalah prednisone dan
metilprednisolon. Dosis awal pemberian prednisone 30 mg pada hari pertama, kemudian
diturunkan secara berkala sebanyak 5 mg setiap harinya. Antihistamin diberikan untuk
mendapatkan efek sedatif guna mengurangi gejala gatal, dosis dan jenis antihistamin yang
diberikan ialah CTM 4 mg 3-4 kali sehari. Pada pasien ini diberikan terapi kortikosteroid
dikombinasikan dengan antibiotik yang pemberiannya secara topikal dan diberikan
antihistamin secara sistemik. Pasien juga diberikan edukasi agar menggunakan sarung tangan
saat berkerja agar tidak terpapar bahan iritan. Prognosis pada pasien ini baik apabila tidak
terpapar bahan iritan dan pengobatan diberikan secara teratur.19

J. Komplikasi

Jika tidak ditangani dengan benar, dermatitis kontak bisa menimbulkan komplikasi,
yaitu infeksi kulit. Infeksi dapat terjadi jika penderita terus-menerus menggaruk ruam pada
kulit sehingga ruam menjadi basah. kondisi ruam basah merupakan kondisi ideal bagi
berkembangnya bakteri dan jamur, yang dapat menyebabkan infeksi
Komplikasi lain, yang dapat terjadi pada dermatitis kontak iritan yaitu:

14
 Peningkatan risiko sensitisasi terhadap terapi topikal
 Lesi pada kulit dapat dikolonisasi oleh bakteri Staphylococcus aureus. Halini
dipermudah jika terjadi lesi sekunder, seperti fissure akibat manipulasiyang
dilakukan penderita.
 Secondary neurodermatitis (lichen simplex chronicus) akibat penderitadermatitis
kontak iritan yang mengalami stress psikis.
 Pada fase post inflamasi dapat terjadi hiperpigmentasi atau hipopigmentasi.
 Scar, biasanya setelah terkena agen korosif.20

K. Pencegahan

Pencegahan Dematitis Kontak Iritan Penceghan dilakukan dengan prinsip 5 level of


prevention yang saat ini pembagian tingkat primer, sekunder dan tersier. Pencegahan tingkat
primer bertujuan :
• Mencegah pajanan bahan yang menyebabkan sensitisasi di lingkungan kerja.
• Penghilangan atau modifikasi risiko dari pajanan bahan berbahaya sebelum penyakit
terjadi.
• Melakukan eliminasi dan reduksi pajanan zat berbahaya dan ditujukan pada
timbulnya penyakit: hindari bahan penyebab, pakai alat pelindung diri, tingkatkan
kapasitas pekerja yang dapat meminimalisasi risiko sebelum sensitisasi terjadi.
Contohnya: penyuluhan tentang perilaku kesehatan, faktor bahaya ditempat kerja,
perilaku kerja yang baik; olah Raga; gizi seimbang; pengendalian melalui perundang-
undangan, pengendalian administratif/organisasi (rotasi/pembatasan jam kerja),
pengendalian teknis (substitusi, isolasi, ventilasi), mengerti tentang MSDS dan cara
proses/kerja yanng baik dan benar, penggunaan alat pelindung diri yang terdiri dari
apron pelindung yang impermeable, sarung tangan yang tahan bahan kimia yaitu
jenis natural rubber, butyl rubber, chloroprene, nitrile, fluorocarbon; atau berbagai
plastik: polyvinyl chloride, polyvinyl alcohol, polyethylene. Pencegahan tingkat
sekunder bertujuan menilai dampak pekerjaan dan temukan penyakit sedini mungkin
dengan identifikasi perubahan preklinik suatu penyakit (mencegah penyakit atau
penyakit kambuh), contohnya: pemeriksaan pra-kerja dengan mencatat riwayat
penyakit kulit sebagai penyulit (dermatitis, psoriasis) pemeriksaan berkala,
surveilans, pemeriksaan lingkungan secara berkala, pengobatan segera bila
ditemukan adanya gangguan kesehatan pada pekerja, pengendalian segera ditempat

15
kerja dan return to wok. Perlindungan kulit perlu diperhatikan seperti mencuci tangan
dengan air biasa & bilas dengan sempurna, jangan mencuci tangan dengan deterjen,
gunakan sarung tangan yang utuh & bersih, dan sesuai dengan pajanan yang ada,
gunakan sarung tangan dalam waktu yang tidak lama, dan hindari penggunaan cincin
selama bekerja dan gunakan pelembab sewaktu & setelah bekerja pada seluruh
permukaan tangan & jari. Pencegahan tersier bertujuan untuk meminimalkan
komplikasi, menghindari kecacatan dan meningkatkan kualitas hidup agar dapat
menjalani kehidupan secara normal dan dapat diterima oleh lingkungan.21

L. Prognosis

Prognosis pada dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergi (DKA),
apabila bahan atau agen penyebab tidak dihindari atau di singkirkan dengan sempurna, maka
akan memberikan prognosis yang kurang baik (dubia ad malam) dan jika ditangani dengan
baik maka prognosisnya akan baik (dubia ad bonam).22

KESIMPULAN

Dermatitis kontak akibat kerja merupakan salah satu kelainan kulit yang sering
dijumpai. Sekitar 85% sampai 98% dari seluruh penyakit kulit akibat kerja. Dermatitis
kontak ialah respon inflamasi akut ataupun kronis yang disebabkan oleh bahan atau substansi

16
yang menempel pada kulit. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit non
imunologik disebabkan oleh bahan kimia iritan.
Besarnya insidensi penyakit kulit akibat kerja yang merupakan dermatitis kontak sebesar
92,5%, sekitar 5,4% karena infeksi kulit dan 2,1% penyakit kulit karena sebab lain. Pada
studi epidemiologi, di Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus adalah
dermatitis kontak, dimana 66,3% diantaranya adalah dermatitis kontak iritan dan 33,7%
adalah dermatitis kontak alergi.
Jika tidak ditangani dengan benar, dermatitis kontak bisa menimbulkan komplikasi,
yaitu infeksi kulit. Infeksi dapat terjadi jika penderita terus-menerus menggaruk ruam pada
kulit sehingga ruam menjadi basah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fitria Saftarina.Prevalensi Dermatitis Kontak Akibat Kerja dan Faktor yang
mempengaruhinya. Bandar lampung. Oktober 2015.  

17
2. Saftarina F, Sibero HT, Aditya M, Dinanti BR. Prevalensi Dermatitis Kontak Akibat
Kerja dan Faktor yang Mempengaruhinya pada Pekerja Cleaning Service di Rumah
Sakit Umum Abdul Moeloek. 2015;19–25. Tersedia pada: http://fk.unila.ac.id/wp-
content/uploads/2016/06/4.pdf
3. Nanto SS, Kedokteran F, Lampung U. Kejadian Timbulnya Dermatitis Kontak Pada
Petugas Kebersihan. 2015;4(November):147–52.
4. Laila F. HIGEIA : JOURNAL OF PUBLIC HEALTH. 2017;1(1):65–72.
5. Anshar R, Pramuningtyas R, Usdiana D. Hubungan Pekerja Basah Dengan Kejadian
Dermatitis Kontak Akibat Kerjapada Petugas Kesehatan Di Rumah Sakit X Tanjung,
Tabalong, Kalimantan Selatan. Biomedika. 2017;8(2):25–30.
6. Dinar VRM. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja
pada karyawan salon. J Agromed Unila. 2015;2(2):156-60.
7. Indrawan IA, Suwondo A, Lestantyo D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian dermatitis kontak iritan pada pekerja bagian premix di pt. x Cirebon. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 2014;2(2):110-8.

8. Wardani HK, Mashoedojo, Bustamam N. Faktor yang berhubungan dengan dermatitis


kontak akibat kerja pada pekerja proyek bandara. The Indonesian Journal of
Occupational Safety and Health. 2018;7(2): 249–259.

9. Kristanti L. Hubungan kualitas fisik air dan personal hygienedengan kejadian dermatitis
kontak alergi (Studi pada Masyarakat Tambak Rejo, Kelurahan Tanjung Mas
Semarang) (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Semarang). 2017.
10. Alfarizi ME, Nusadewiarti A. Penatalaksanaan holistic dermatitis kontak iritan pada
pekerja bangunan. Jurnal Medula. 2020;10(1):167-169.
11. Fauziyyah SW, Chairani A, Pasumoh WM. Kejadian dermatitis kontak iritan pada
pegawai laundry. Jurnal Kesehatan. 2020;11(1):71-77.
12. Fonacier L, Bernstein DI, Pacheco K, et al. Contact dermatitis: a practice parameter-
update 2015. J Allergy Clin Immunol Pract. 2015 May-Jun. 3 (3 Suppl):S1-39.
13. Higgins CL, Palmer AM, Cahill JL, Nixon RL. Occupational skin disease among
Australian healthcare workers: a retrospective analysis from an occupational
dermatology clinic, 1993-2014. Contact Dermatitis. 2016 Oct. 75 (4):213-22.
14. Nosbaum A, Vocanson M, Rozierens A, et al. Patophysiology of allergic and irritant
contact dermatitis. Eur J Dermatol. 2016;19(4):1-8.

18
15. Pradaningrum, S., Lestantyo, D., & Jayanti, S. (2018). Hubungan personal hygiene,
lama kontak, dan masa kerja dengan gejala dermatitis kontak iritan pada pengrajin tahu
Mrican Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (E-Journal), 6(4), 378-386.
16. Dewi, I. A., Wardhana, M., & Puspawati, N. M. (2019). Prevalensi dan Karakteristik
Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Nelayan di Desa Perancak Jembrana Tahun
2018. Jurnal Medika Udayana, 8(12), 1-6.
17. Hogan DJ. Contact Dermatitis, Irritant. eMedicine; 2009. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/762139.
18. Ngan V. Irritant Contact Dermatitis. DermNet NZ; 2008. Available at:
http://dermnetnz.org/dermatitis/contact-irritant.html. Bourke J, Coulson I, English
J. Guideline for the Contact Dermatitis: an Update. British Journal of
Dermatology. England; 2008. p. 946-55
19. Wijaya, I. P. G. I., Darmada, IGK., Rusyati, L. M. M. EDUKASI DAN
PENATALAKSANAAN DERMATITIS KONTAK IRITAN KRONIS DI RSUP
SANGLAH DENPASAR BALI TAHUN 2014/2015. SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Bali. Indonesia. 2016
20. Jimah, C. T., Toruan, V. M. L., & Nugroho, H. (2020). KARAKTERISTIK DAN
MANAJEMEN DERMATITIS KONTAK DI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
SAMARINDA. Jurnal Kedokteran Mulawarman, 7(2), 20-29.
21. Occupational Health and Safety Answer .Dematitis Irritant Contact. Diunduh dari
http://www.ccohs.ca/oshanswers/diseases/dermatitis.html 4/5 tanggal 31 agustus 2014
22. Witasari D. Sukanto H. Occupational Contact Dermatitis: Retrospective Study. Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 2014. 26(3), 1-7.

19

Anda mungkin juga menyukai