Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

STAPHYLOCOCCUS AUREUS

Dosen Pengampu :
Nur Chabibah, S.Keb., M.PH

DISUSUN OLEH:

Kelompok 1 :

1. Umi Hani Fuadiah (202102080004)


2. Erwin Novita Dewantari (202102080015)
3. Isadora Hellena Maldini (202102080018)

PRODI PENDIDIKAN SARJANA DAN PROFESI KEBIDANAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH
PEKAJANGAN PEKALONGAN 2022
PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah SWT, pencipta alam semesta, Wahai Dia yang
karenan-Nya terlepas simpul kesulitan, wahai Dia yang dari-Nya diperoleh jalan keluar
menuju jalan keselamatan, yang telah menganugerahkan Rahmat serta Inayah-Nya kepada
kami sehingga makalah kami dengan judul pembahasan “Staphylococcus Aureus”, ini
dapat terselesaikan walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Semoga shalawat serta
salam selalu tercurahkan kepada hambah-Nya yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian
alam, sang revolusioner sejati yang telah mengantarkan kita dari pengetahuan klasik
sampai kepada pengetahuan modern yaitu Baginda Nabi besar Muhammad SAW.

Makalah ini diajukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok pada
mata kuliah “Mikrobiologi Dan Parasitologi”. Makalah ini tidak akan pernah terwujud
tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, kami menghaturkan
banyak terima kasih kepada semua pihak.Tidak ada manusia yang sempurna, begitu pula
dengan makalah ini, masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat didalamnya.
Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritikan dari semua pihak yang sifatnya
membangun guna penyempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Pekalongan, 20 Mei 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

Contents
PRAKATA................................................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................................
1.1 Pendahuluan.....................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................5
1.3 Tujuan Masalah........................................................................................................5
1.4 Manfaat......................................................................................................................5
BAB II.......................................................................................................................................
TINJAUAN TEORI.................................................................................................................
A. Staphylococcus aureus.....................................................................................................
B. Patogenisitas.....................................................................................................................
D. Pengobatan......................................................................................................................
i. Kloramfenikol (Struktur Kimia)........................................................................11
E. Farmakokinetik..............................................................................................................
F. Mekanisme Kerja...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................
BAB I

1.1 Pendahuluan
Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan bakteri komensal dan patogen
pada manusia. Sekitar 30% dari populasi manusia dikolonisasi oleh Staphylococcus
aureus, umumnya bakteri ini terdapat pada kulit, saluran pernapasan dan saluran
pencernaan tanpa menyebabkan masalah kesehatan. Bakteri ini menjadi suatu masalah
ketika terdapat suatu fokus infeksi dan dapat menyebar dari satu orang ke orang lain
melalui kontak langsung atau melalui objek yang terkontaminasi. Staphylococcus
aureus yang patogen bersifat invasif. Infeksi Staphylococcus aureus dapat menyebabkan
bakterimia, endokarditis, osteoartikular, osteomielitis akut hematogen, infeksi pada kulit
dan jaringan lunak, meningitis, infeksi paru-paru dan infeksi yang terkait dengan
peralatan medis (Jawetz et al., 2005; Zeller, 2011; Tong et al., 2015).
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa infeksi akibat Staphylococcus aureus di
dunia meningkat pada dua dekade terakhir. Data di Amerika Serikat dan Eropa
menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen tersering
penyebab infeksi dengan prevalensi 18-30%, sedangkan di wilayah Asia Staphylococus
aureus dan Pseudomonas aeruginosa memiliki angka kejadian infeksi yang hampir
sama banyak (Mehraj et al., 2014; Tong et al., 2015).
Infeksi dari Staphylococcus aureus ini dapat menimbulkan penyakit dengan
kemampuannya menginvasi jaringan dan melalui pembentukan zat ekstraseluler, yaitu
protein yang berperan sebagai faktor virulensi (Jawetz et al.,2007)

1
Salah satu protein yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus adalah enzim β-
laktamase, yang berperan menghilangkan daya antibakteri terutama pada golongan
penisilin, dengan merusak cincin β- laktam yang menyebabkan antibiotik tersebut tidak
bekerja sehingga terjadi resistensi (Dwiprahasto, 2005 ; Klein et al., 2007).
Penelitian yang telah ada selama ini menyebutkan bahwa resistensiStaphylococcus
aureus disebabkan oleh aktivitas β- laktam pada bakteri ini, namun pada studi lain
didapatkan bahwa Staphylococcus aureus juga mempunyai faktor virulensi lain sehingga
dapat bertahan dari respon sistem imun host dan membentuk suatu fokus infeksi, yaitu
mampu membentuk koloni mikro rumit (intricate micro-colonies) yang disebut biofilm
(Archer et al., 2011).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Staphylococcus aureus?
2. Bagaimana patogenisitas pada bakakti . S. aureus?
3. Apa saja Faktor Virulensi S. aureus?
4. Bagaimana Pengobatan terhadap infeksi S. aureus?

1.3 Tujuan Masalah

Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan bagi penulis dalam memberikan asuhan
kebidanan pada penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.

Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu menganalisa kesenjangan antara teori dan kasus nyata dilapangan
serta alternatif pemecahan masalah (jika ada kesenjangan antara teori dan kasus nyata
dilapangan) pada kasus penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.

1.4 Manfaat

Dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman secara langsung dalam


menghadapi kasus penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.

5
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak
bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen
paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna
abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan
berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai
kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri
(Jawetz et al., 1995 ; Novick et al., 2000).

Gambar 1 Bentuk mikroskopis S. aureus (Wikipedia, 2006)


Klasifikasi S. aureus dalah sebagai
berikut: Kingdom :Procaryotae
Divisio : Bacteria
Kelas : Eubacteria
Ordo : Eubacteriales
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcusaureus

6
B. Patogenisitas

Sebagian bakteri stafilokokus merupakan flora normal pada kulit,saluran

pernafasan,dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga

ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. Aureus yang patogen bersifat

invasif, menyebabkan hemolisis,membentuk koagulase, dan mampu merugikan

manitol .

Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai

abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus

adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat

diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih,

osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama

infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al.,

1994; Warsa, 1994).

Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi

kulit di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Mula-mula

terjadi nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi koagulasi fibrin di sekitar lesi dan

pembuluh getah bening, sehingga terbentuk dinding yang membatasi proses

nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui pembuluh getah

bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan pada vena, trombosis,

bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan terjadinya endokarditis,

osteomielitis akut hematogen, meningitis atau infeksi paru-paru (Warsa, 1994;

Jawetz et al., 1995).

Kontaminasi langsung S. aureus pada luka terbuka (seperti

luka pascabedah) atau infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah

fraktur terbuka) dan meningitis setelah fraktur tengkorak, merupakan penyebab

7
infeksi nosokomial (Jawetz et al., 1995).

Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari S.aureus.

waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan aktif, tergantung pada daya

tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat

menyebabkan keracunan adalah 1,0 ug/gr makanan. ditandai oleh rasa mual,

muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam (Ryan, et al., 1994 ;

Jawetz et al., 1995).

Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba

dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan

gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari

permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada anak-

anak dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. S. aureus dapat diisolasi

dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan

dalam aliran darah (Jawetz et al., 1995).

C. Faktor Virulensi S. aureus

S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar

luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai

zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim

dan toksin, contohnya :

1. Katalase

Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses

fagositosis. Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda egnus

Staphylococcus dari Streptococcus (Ryan et al., 1994; Brooks et al., 1995).

8
9
2. Koagulase

Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena

adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim

tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan,

sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat

menghambat fagositosis (Warsa, 1994).

3. Hemolisin

Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona

hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa

hemolisin, beta hemolisisn, dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin

yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar

koloni

S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis

pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang terutama

dihasilkan Stafilokokus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis

pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah

toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek

lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba (Warsa, 1994).

4. Leukosidin

Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi

perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokus

patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan

dapat difagositosis (Jawetz et al., 1995).

1
0
5. Toksineksfoliatif

Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks

mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraeptelial

pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya kulit

(Warsa, 1994).

6. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)

Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok

toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, tokisn ini

menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ

dalam tubuh (Ryan, et al., 1994; Jawetz et al., 1995).

7. Enterotoksin

Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana

basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan

makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein

(Jawetz et al., 1995).

D. Pengobatan

Pengobatan terhadap infeksi S. aureus dilakukan melalui pemberian

antibiotik, yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses

maupun nekrotomi. Pemberian antiseptik lokal sangat dibutuhkan

untuk menangani furunkulosis (bisul) yang berulang. Pada infeksi yang cukup

berat, diperlukan pemberian antibiotik secara oral atau intravena, seperti penisilin,

metisillin, sefalosporin, eritromisin, linkomisin, vankomisin, dan rifampisin.

Sebagian besar galur Stafilokokus sudah resisten terhadap berbagai antibiotik


1
1
tersebut, sehingga perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti

1
2
Kloramfenikol, amoksilin, dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994; Jawetz et
al.,1995).

i. Kloramfenikol (Struktur Kimia)

Kloramfenikol adalah antibiotik yang diisolasi pertama kali pada tahun

1947 dari Streptomyces venezuelae. Penggunaan obat ini meluas dengan cepat,

karena mempunyai daya antibiotika yang kuat. Pada tahun 1950, diketahui bahwa

antibiotik ini dapat menimbulkan anemia aplastik yang faatl, sehingga

penggunaannya dibatasi (Mycek et al., 1992).

Gambar 2. Struktur kimia kloramfenikol (Depkes RI, 1995)


D-treo-(-)-2,2-Dikloro-N-[β-hidroksi-α-(hidroksimetil)-p-
nitrofenetil]asetamida C11H12 Cl2 N2O5 , BM 323,13

E. Farmakokinetik

Kloramfenikol yang diberikan secara intravena maupun oral

dapat diabsorpsi sempurna, karena bersifat lipofilik. Antibiotik ini didistribusikan

secara luas ke seluruh tubuh, termasuk ke jaringan otak, cairan serebrospinal, dan

mata. Waktu paruh kloramfenikol pada orang dewasa kurang lebih 3 jam,

sedangkan pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Sekiatr 50 %

kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin (Katzung, 1998).

Di dalam hati, kloramfenikol terkonjugasi dengan asam glukuronat oleh

aktivitas enzim glukuronil transferase, sehingga waktu paruh kloramfenikol pada

1
3
pasien gangguan fungsi hati dapat diperpanjang menjadi 24 jam, sekitar 80-90 %

kloramfenikol peroral dieksresikan melalui ginjal, 5-10 % diantaranya diekskresi

dalam bentuk aktif, sedang sisanya dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain

yang tidak aktif. Pada kasus gagal ginjal, waktu paruh kloramfenikol bentuk aktif

tidak berubah, tetapi terjadi akumulasi metabolitnya yang non toksik. Oleh karena

itu, pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan gagal ginjal, dosis antibiotik ini

perlu dikurangi (Setiabudy dkk., 1995).

F. Mekanisme Kerja

Kloramfenikol bekerja menghambat sintesis protein pada sel bakteri.

Kloramfenikol akan berikatan secara reversibel dengan unit ribosom 50 S,

sehingga mencegah ikatan antara asam amino dengan ribosom. Obat ini berikatan

secara spesifik dengan akseptor (tempat ikatan awal dari amino asil t-RNA) atau

pada bagian peptidil, yang merupakan tempat ikatan kritis untuk perpanjangan

rantai peptida (Setiabudy dkk, 1995; Katzung, 1998).

Asam amino

Gambar 3 Mekanisme kerja kloramfenikol dalam sintesis protein


(Katzung, 2004)
Keterangan : (1) tempat kerja kloramfenikol

1
4
Kloramfenikol merupakan antibiotika dengan spektrum luas yang efektif

terhadap Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes, Streptococcus

viridans, Haemophilus, Neisseria, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella,

Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kuman anaerob seperti

Bacillus fragilitis. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, tetapi pada

konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisidal (Setiabudy dkk, 1995;

Katzung, 1998).

Beberapa galur Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan

Neisseria meningitidis telah resisten terhadap antibiotik ini. S. aureus umumnya

sensitif terhadap antibiotik ini, sedangkan kebanyakan Enterobacteriaceae telah

resisten. Kebanyakan galur Seratia, Providencia, Proteus retgerii, Pseudomonas

aeruginosa dan galur tertentu Salmonella typhi juga resisten terhadap

kloramfenikol (Setiabudy dkk, 1995).

1
5
DAFTAR PUSTAKA

Brown, T.A. 1995. Gene Cloning. 3rd Ed. London: Chapman & Hall. p. 234-237.

Brooks, G.F., J.S. Butel, and L.N. Ornston. 1995. Medical Microbiology. 4th ed.
Conecticut: Appleton & Lange, Simon & Schuster Company. p.197-202.

Duta, G.N., Gogoi, Jully, Buragohain, and Jyoti. 2001. Inactivation of


Chloramphenicol by Staphylococcus aureus biotype C from humans and
animal. Avalaible at : http//www.Indian Journal of Medical Research
(diakses Mei 2006)

Fischetti, A.V., R.P. Novick, J.J. Ferreti, D.A. Portnoy, and J.I. Rood. 2000.
Gram Positif. Washington DC: ASM Press. p.315

Fluit, C. 2001. Molekular Detection of Antimicrobial


Resistance. www.cmr.asm.org (diakses Desember 2005).

Garna, H., N. Sekarwana, dan Azhali. 1989. Result of Salmonella typhi culture in
Patient with Suspected Typhoid Fever. Journal Pediatrica Indonesiana. 29,
hal. 105-111.

Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N.
Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa :
Nugroho & R.F.Maulany). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal.
211,213,215.

Karsinah, Lucky H.M., Suharto, dan Mardiastuti H.W. 1994. Batang Negatif
Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta :
Penerbit Binarupa Aksara. hal. 161-162.

Katzung, B.G. 1998. Basic and Clinical Pharmacology. 7th ed. USA: Prentice Hall
Inc, Appleton & Lange. p.743-745.

Madigan, M.T., J.M. Martinko, and J. Parker. 1997. Biology of Microorganism.


Eight ed. USA : Simon & Schuster, A Viocom Company. p.40-43,70,878.

Mycek, M.J., R.A. Harvey, and P.C. Champe, 1997. Inhibitor of Cell Wall
Synthesis In: Pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wikins. p.297-310.

Prescott, L.M., J.P. Harley, and D.A. Klein. 2003. Microbiology. 5th ed. New
York : Mc Graw Hill. p.809.

16
Retnoningrum, D.S. 1998. Mekanisme dan Deteksi Molekuler Resistensi
Antibiotika pada Bakteri. Bandung: Farmasi ITB. Hal. 1-5, 16-21.

Russell, A.D. and I. Chopra, 1990. Understanding Antimicrobial Action and


Resistance. England: Ellis Horword Limited. p.58,157-159

Ryan, K.J., J.J. Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt,
and C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology An Introduction to Infectious
Diseases. 3rd ed. Connecticut: Appleton&Lange. p.254.

Setiabudy, R. 1995. Pengantar Antimikroba. dalam: S.G. Ganiswarna, R.


Setiabudy, F.D. Suyatna, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV.
Jakarta:Gaya Baru. hal. 571-576.

Shanahan, P.M.A., M.V. Jesudason, C.J. Thomson, and S.G.B. Amyes. 1997.
Molecular Analysis of and Identification of Antibiotic Resistance Genes in
Clinical Isolates of Salmonella typhi from India. http://www. OJHAS 2004-
4-1 Shrikala Baliga, Drug Resistance in Salmonella Typhi Tip of the
Iceberg.htmL (diakses November 2005).

Sudarmono, P. 1993. Genetika dan Resistensi, Mikrobiologi Kedokteran FKUI,


Jakarta : Bina Rupa Aksara. h.254.

Tortora, G.J., B.R. Funke, and C.L. Case. 2001. Microbiology an Introduction. 7th
ed. USA : Addison Wesley Longman, Inc. p.50-51,89,240.

Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.


Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara. hal. 103-110.

17

Anda mungkin juga menyukai