STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Dosen Pengampu :
Nur Chabibah, S.Keb., M.PH
DISUSUN OLEH:
Kelompok 1 :
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah SWT, pencipta alam semesta, Wahai Dia yang
karenan-Nya terlepas simpul kesulitan, wahai Dia yang dari-Nya diperoleh jalan keluar
menuju jalan keselamatan, yang telah menganugerahkan Rahmat serta Inayah-Nya kepada
kami sehingga makalah kami dengan judul pembahasan “Staphylococcus Aureus”, ini
dapat terselesaikan walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Semoga shalawat serta
salam selalu tercurahkan kepada hambah-Nya yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian
alam, sang revolusioner sejati yang telah mengantarkan kita dari pengetahuan klasik
sampai kepada pengetahuan modern yaitu Baginda Nabi besar Muhammad SAW.
Makalah ini diajukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok pada
mata kuliah “Mikrobiologi Dan Parasitologi”. Makalah ini tidak akan pernah terwujud
tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, kami menghaturkan
banyak terima kasih kepada semua pihak.Tidak ada manusia yang sempurna, begitu pula
dengan makalah ini, masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat didalamnya.
Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritikan dari semua pihak yang sifatnya
membangun guna penyempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Penyusun
DAFTAR ISI
Contents
PRAKATA................................................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................................
1.1 Pendahuluan.....................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................5
1.3 Tujuan Masalah........................................................................................................5
1.4 Manfaat......................................................................................................................5
BAB II.......................................................................................................................................
TINJAUAN TEORI.................................................................................................................
A. Staphylococcus aureus.....................................................................................................
B. Patogenisitas.....................................................................................................................
D. Pengobatan......................................................................................................................
i. Kloramfenikol (Struktur Kimia)........................................................................11
E. Farmakokinetik..............................................................................................................
F. Mekanisme Kerja...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................
BAB I
1.1 Pendahuluan
Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan bakteri komensal dan patogen
pada manusia. Sekitar 30% dari populasi manusia dikolonisasi oleh Staphylococcus
aureus, umumnya bakteri ini terdapat pada kulit, saluran pernapasan dan saluran
pencernaan tanpa menyebabkan masalah kesehatan. Bakteri ini menjadi suatu masalah
ketika terdapat suatu fokus infeksi dan dapat menyebar dari satu orang ke orang lain
melalui kontak langsung atau melalui objek yang terkontaminasi. Staphylococcus
aureus yang patogen bersifat invasif. Infeksi Staphylococcus aureus dapat menyebabkan
bakterimia, endokarditis, osteoartikular, osteomielitis akut hematogen, infeksi pada kulit
dan jaringan lunak, meningitis, infeksi paru-paru dan infeksi yang terkait dengan
peralatan medis (Jawetz et al., 2005; Zeller, 2011; Tong et al., 2015).
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa infeksi akibat Staphylococcus aureus di
dunia meningkat pada dua dekade terakhir. Data di Amerika Serikat dan Eropa
menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen tersering
penyebab infeksi dengan prevalensi 18-30%, sedangkan di wilayah Asia Staphylococus
aureus dan Pseudomonas aeruginosa memiliki angka kejadian infeksi yang hampir
sama banyak (Mehraj et al., 2014; Tong et al., 2015).
Infeksi dari Staphylococcus aureus ini dapat menimbulkan penyakit dengan
kemampuannya menginvasi jaringan dan melalui pembentukan zat ekstraseluler, yaitu
protein yang berperan sebagai faktor virulensi (Jawetz et al.,2007)
1
Salah satu protein yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus adalah enzim β-
laktamase, yang berperan menghilangkan daya antibakteri terutama pada golongan
penisilin, dengan merusak cincin β- laktam yang menyebabkan antibiotik tersebut tidak
bekerja sehingga terjadi resistensi (Dwiprahasto, 2005 ; Klein et al., 2007).
Penelitian yang telah ada selama ini menyebutkan bahwa resistensiStaphylococcus
aureus disebabkan oleh aktivitas β- laktam pada bakteri ini, namun pada studi lain
didapatkan bahwa Staphylococcus aureus juga mempunyai faktor virulensi lain sehingga
dapat bertahan dari respon sistem imun host dan membentuk suatu fokus infeksi, yaitu
mampu membentuk koloni mikro rumit (intricate micro-colonies) yang disebut biofilm
(Archer et al., 2011).
Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan bagi penulis dalam memberikan asuhan
kebidanan pada penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.
Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu menganalisa kesenjangan antara teori dan kasus nyata dilapangan
serta alternatif pemecahan masalah (jika ada kesenjangan antara teori dan kasus nyata
dilapangan) pada kasus penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.
1.4 Manfaat
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak
bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen
paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna
abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan
berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai
kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri
(Jawetz et al., 1995 ; Novick et al., 2000).
6
B. Patogenisitas
manitol .
adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat
infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al.,
Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi
kulit di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Mula-mula
terjadi nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi koagulasi fibrin di sekitar lesi dan
nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui pembuluh getah
bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan pada vena, trombosis,
luka pascabedah) atau infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah
7
infeksi nosokomial (Jawetz et al., 1995).
waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan aktif, tergantung pada daya
tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat
menyebabkan keracunan adalah 1,0 ug/gr makanan. ditandai oleh rasa mual,
muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam (Ryan, et al., 1994 ;
Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba
dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan
gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari
permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada anak-
anak dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. S. aureus dapat diisolasi
dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan
luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai
zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim
1. Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses
8
9
2. Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena
adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim
sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat
3. Hemolisin
hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa
hemolisin, beta hemolisisn, dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin
koloni
S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis
pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang terutama
pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah
toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek
4. Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi
1
0
5. Toksineksfoliatif
(Warsa, 1994).
Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok
7. Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana
basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan
D. Pengobatan
antibiotik, yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses
untuk menangani furunkulosis (bisul) yang berulang. Pada infeksi yang cukup
berat, diperlukan pemberian antibiotik secara oral atau intravena, seperti penisilin,
1
2
Kloramfenikol, amoksilin, dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994; Jawetz et
al.,1995).
1947 dari Streptomyces venezuelae. Penggunaan obat ini meluas dengan cepat,
karena mempunyai daya antibiotika yang kuat. Pada tahun 1950, diketahui bahwa
E. Farmakokinetik
secara luas ke seluruh tubuh, termasuk ke jaringan otak, cairan serebrospinal, dan
mata. Waktu paruh kloramfenikol pada orang dewasa kurang lebih 3 jam,
sedangkan pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Sekiatr 50 %
1
3
pasien gangguan fungsi hati dapat diperpanjang menjadi 24 jam, sekitar 80-90 %
dalam bentuk aktif, sedang sisanya dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain
yang tidak aktif. Pada kasus gagal ginjal, waktu paruh kloramfenikol bentuk aktif
tidak berubah, tetapi terjadi akumulasi metabolitnya yang non toksik. Oleh karena
itu, pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan gagal ginjal, dosis antibiotik ini
F. Mekanisme Kerja
sehingga mencegah ikatan antara asam amino dengan ribosom. Obat ini berikatan
secara spesifik dengan akseptor (tempat ikatan awal dari amino asil t-RNA) atau
pada bagian peptidil, yang merupakan tempat ikatan kritis untuk perpanjangan
Asam amino
1
4
Kloramfenikol merupakan antibiotika dengan spektrum luas yang efektif
Katzung, 1998).
1
5
DAFTAR PUSTAKA
Brown, T.A. 1995. Gene Cloning. 3rd Ed. London: Chapman & Hall. p. 234-237.
Brooks, G.F., J.S. Butel, and L.N. Ornston. 1995. Medical Microbiology. 4th ed.
Conecticut: Appleton & Lange, Simon & Schuster Company. p.197-202.
Fischetti, A.V., R.P. Novick, J.J. Ferreti, D.A. Portnoy, and J.I. Rood. 2000.
Gram Positif. Washington DC: ASM Press. p.315
Garna, H., N. Sekarwana, dan Azhali. 1989. Result of Salmonella typhi culture in
Patient with Suspected Typhoid Fever. Journal Pediatrica Indonesiana. 29,
hal. 105-111.
Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N.
Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa :
Nugroho & R.F.Maulany). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal.
211,213,215.
Karsinah, Lucky H.M., Suharto, dan Mardiastuti H.W. 1994. Batang Negatif
Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta :
Penerbit Binarupa Aksara. hal. 161-162.
Katzung, B.G. 1998. Basic and Clinical Pharmacology. 7th ed. USA: Prentice Hall
Inc, Appleton & Lange. p.743-745.
Mycek, M.J., R.A. Harvey, and P.C. Champe, 1997. Inhibitor of Cell Wall
Synthesis In: Pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wikins. p.297-310.
Prescott, L.M., J.P. Harley, and D.A. Klein. 2003. Microbiology. 5th ed. New
York : Mc Graw Hill. p.809.
16
Retnoningrum, D.S. 1998. Mekanisme dan Deteksi Molekuler Resistensi
Antibiotika pada Bakteri. Bandung: Farmasi ITB. Hal. 1-5, 16-21.
Ryan, K.J., J.J. Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt,
and C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology An Introduction to Infectious
Diseases. 3rd ed. Connecticut: Appleton&Lange. p.254.
Shanahan, P.M.A., M.V. Jesudason, C.J. Thomson, and S.G.B. Amyes. 1997.
Molecular Analysis of and Identification of Antibiotic Resistance Genes in
Clinical Isolates of Salmonella typhi from India. http://www. OJHAS 2004-
4-1 Shrikala Baliga, Drug Resistance in Salmonella Typhi Tip of the
Iceberg.htmL (diakses November 2005).
Tortora, G.J., B.R. Funke, and C.L. Case. 2001. Microbiology an Introduction. 7th
ed. USA : Addison Wesley Longman, Inc. p.50-51,89,240.
17