Anda di halaman 1dari 12

MINI PAPER

BIOLOGI MOLEKULER

“Tahap Replikasi Pada Bakteri Staphylococcus aureus”

Dosen Pengampu : Putri Kartika Sari, M.Si.

Oleh :

Nama Mahasiswa Hafifah (AK1018016)

Putri Ameliya (AK1018044)

Rahmawati (AK1018046)

Raiyonia Arropisa (AK1018048)

Semester 3B

YAYASAN BORNEO LESTARI

AKADEMI ANALIS KESEHATAN BORNEO LESTARI

PRODI DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

BANJARBARU

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya kepada penulis sehingga makalah yang berjudul “Tahap Replikasi
Pada Bakteri Staphylococcus aureus” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Biologi Molekuler. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan
memberikan penjelasan tentang manusia dan perubahan sosial . Penulis menyadari
bahwa makalah ini belumlah sempurna. Untuk itu, saran dan kritik dari pembaca
sangat penulis harapkan. Atas saran dan kritiknya, penulis ucapkan terima kasih.

Banjarbaru, 24 November 2019

Penyusun

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Tujuan penulisan ...................................................................................... 1

BAB 2 ISI ............................................................................................................. 2


2.1 Staphylococcus aureus ............................................................................. 2
2.1.1 Morfologi .................................................................................... 2
2.1.2 Klasifikasi ................................................................................... 2
2.1.3 Patogenisitas .............................................................................. 3
2.1.4 Struktur Antigen.......................................................................... 3
2.1.5 faktor virulensi ............................................................................ 3
2.1.6 mekanisme keracunan Staphylococcus aureus ........................... 5
2.1.7 Tahapan replikasi ........................................................................ 6

BAB 3 PENUTUP................................................................................................ 8
3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 8
3.2 Saran. ......................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 9

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk

bulat berdiameter 0,7-0,9 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak

teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan

tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk

pigmen paling baik pada suhu kamar (20 -25 ºC). Koloni pada perbenihan padat

berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus,

menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus

yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam

virulensi bakteri.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui morfologi bakteri Staphylococcus aureus
2. Untuk mengetahui klasifikasi bakteri Staphylococcus aureus
3. Untuk mengetahui potogenisitas bakteri Staphylococcus aureus
4. Untuk mengetahui struktur antigen bakteri Staphylococcus aureus
5. Untuk mengetahui faktor virulensi bakteri Staphylococcus aureus
6. Untuk mengetahui mekanisme keracunan pada bakteri Staphylococcus
aureus
7. Untuk mengetahui tahapan replikasi pada bakteri Staphylococcus aureus

1
BAB 2

ISI

2.1 Staphylococcus aureus

2.1.1 Morfologi

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat


berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak
teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan
tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi
membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada
perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk
bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik
menghasilkan S. aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput
tipis yang berperan dalam virulensi bakteri. Berbagai derajat hemolisis
disebabkan oleh S. aureus dan kadang-kadang oleh spesies stafilokokus
lainnya. (Jawetz et al., 2008).

2.1.2 Klasifikasi

Dari Rosenbach (1884) klasifikasi Staphylococcus aureus yaitu:

Domain : Bacteria

Kerajaan : Eubacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Famili : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : S. aureus

Nama binomial : Staphylococcus aureus

2.1.3 Patogenisitas

Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada manusia. Hampir semua


orang pernah mengalami infeksi S. aureus selama hidupnya, dengan derajat
keparahan yang beragam, dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan
hingga infeksi berat yang mengancam jiwa.

2
Sebagian bakteri Stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran
pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga
ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat
invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu
meragikan manitol.

Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai


abses. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah
bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat
diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih,
osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama
infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Kusuma,
2009).

Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba
dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi,
dengan gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi
dalam lima hari permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan
tampon, atau pada anak anak dan pria dengan luka yang terinfeksi
stafilokokus. S. aureus dapat diisolasi dari vagina, tampon, luka atau infeksi
lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan dalam aliran darah (Jawetz et al,
2008).

2.1.4 Struktur Antigen

Protein A adalah komponen dinding sel pada banyak Staphylococcus aureus


yang berikatan dengan berbagai Fc dari molekul IgG kecuali IgG3. Bagian
Fab dari IgG yang terikat dengan protein A bebas berikatan dengan antigen
spesifik. Protein A menjadi reagen yang penting dalam imunologi dan
teknologi laboratorium diagnostik.

Beberapa strain S. aureus memiliki kapsul, yang menghambat fagositosis


oleh leukosit polimorfonuklear kecuali terdapat antibodi spesifik. Sebagian
besar strain S. aureus mempunyai koagulase atau faktor penggumpal, pada
permukaan dinding sel terjadi koagulase dengan fibrinogen secara
nonenzimatik, sehingga menyebabkan agregasi bakteri (Jawetz et al, 2008).

2.1.5 Faktor Virulensi

Staphylococcus aureus membuat tiga macam metabolit, yaitu yang bersifat


nontoksin, eksotoksin, dan enterotoksin. Metabolit nontoksin antara lain
adalah antigen permukaan, koagulase, hialuronidase, fibrinolisin, gelatinosa,
protease, lipase, tributirinase, fosfatase, dan katalase (Warsa, 1994).

3
Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui
kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan
berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor
virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya (Jawetz
et al, 2008)

a. Katalase

Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap
proses fagositosis. Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda genus
Staphylococcus dari Streptococcus.

b. Koagulase

Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat,


karena adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi
dengan enzim tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan
aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada
permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis.

c. Hemolisin

Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona


hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari
α-hemolisin, β-hemolisin, dan δ-hemolisin. α-hemolisin adalah toksin
yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar
koloni S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat
menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia. β-hemolisin
adalah toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus yang diisolasi dari
hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba dan sapi.
Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel darah
merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah
merah domba.

d. Leukosidin

Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan.
Tetapi perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena
Stafilokokus patogen tidak dapat mematikan sel sel darah putih manusia
dan dapat difagositosis.

e. Toksin eksfoliatif

Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan


matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan
intraepithelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif

4
merupakan penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang
ditandai dengan melepuhnya kulit.

f. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)

Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom


syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin
ini menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem
organ dalam tubuh.

g. Enterotoksin

Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap


suasana basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama
dalam keracunan makanan, terutama pada makanan yang mengandung
karbohidrat dan protein.

2.1.6 Mekanisme Keracunan Staphylococcus aureus

Mekanisme keracunan S. aureus yaitu dimulai dari tertelannya


Staphylococcal enterotoksin (SE) yang bersal dari pangan yang dimakan. SE
yang tertelan akan berikatan dengan antigen major histocompatability
complex (MHC) yang menstimulasi sel T hasil maturasi dari limposit oleh
timus untuk melepas cytokine (sitokin). Sitokin ini selanjutnya akan
menstimulasi neuroreseptor yang ada di saluran pencernaan, dan
rangsangan tersebut akan diteruskan ke sistem syarat pusat (central nervous
system) sehingga memicu pusat muntah (Vomic center) yang ada di sistem
syaraf pusat dan mengakibatkan terjadinya, mual, muntah, dan pusing.
Toksin akan cepat menyerang Vomiting reflex center dari otak,
kejang otot perut dan diare kemudian biasanya terjadi. Terjadinya diare pada
keracunan S. aureus efkenya sejalan dengan toksin kolera (Tortora, 1998),
toksin yang dihasilkan seringkali menyebabkan diare sekretory. Diare
sekretory terjadi karena enterotoksin menstimulasi sekresi cairan dan
elektrolit intestinal (usus) dengan meningkatkan sekresi anion aktif
(menghambat absorpsi NaCl) dan air, gangguan system transportasi air dan
elektrolit di usus mengakibatkan terjadinya diare. Pada diare sekretory tidak
terjadi kerusakan morfologi dari jaringan intestinal (toksin tidak merusak
jaringan usus). Bahaya dari diare ini adalah dapat menyebabkan
pengeluaran cairan tubuh yang berlebih pada penderita. Pemberian larutan
gula-garam (Na) secara oral dapat dilakukan untukmengganti cairan tubuh
yang hilang (mencegah dehidrasi) karena diare yang diinduksi oleh
enterotoksin ini.

5
Gejala klinis keracunan Staphylococcal Enterotoksin (SE) umumnya
muncul secara cepat dan dapat menjadi kasus serius tergantung respon
individu terhadap toksin, jumlah makanan terkontaminasi yang ditelan, dan
kondisi kesehatan korban secara umum. Keracunan makanan oleh SE
memiliki masa inkubasi yang pendek (hanya beberapa jam). Gejala
keracunan dapat terjadi dalam jangka waktu 30 menit sampai 6 jam, dan
puncaknya terjadi setelah 5 sampai 3 jam (Winarno, 2007). Gejala umum
dapat berupa mual, sakit perut, muntah (lebih dari 24 jam), diare, hilangnya
nafsu makan, kram perut hebat, distensi abdominal, dan demam ringan. Pada
beberapa kasus yang berat dapat timbul sakit kepala, kejang otot perut, dan
perubahan yang nyata pada tekanan darah serta denyut nadi.

2.1.7 Tahapan Replikasi

Merupakan proses penggandaan DNA untuk persiapan menuju fase


pembelahan pada siklus sel. Replikasi terjadi pada fase 5 pada tahap
interfase siklus sel.

a. Replikasi pada Prokariot


1. Tahap pelepasan untai ganda DNA. Ada tiga enzim yang berperan yakni
enzim helikase, SBB, dan Girase.
Replikasi dimulai pada lokasi spesifik yang disebut situs ori. Situs
ori merupakan susunan nukelotida tertentu yang dapat dikenali oleh
protein intiator (Dna A). Dna A mengikat susunan nukelutida pada situs
ori, akibatnya DNA mengendur sehingga mempermudah perakitan
protein lain dan menempelan enzim yang berperan dalam proses ini.
Untuk memulai replikasi, untai ganda DNA harus di pisahkan.
Disinilah dibutuhkan enzim helikase yang berfungsi untuk memotong
atau mehidrolisis ikatan hydrogen antara basa-basa nitrogen pada
susunan DNA. Dalam proses pembukaan untai ganda DNA yang
sebelumnya dalam keadaan berputar-putar, maka diperlukan enzim
gyrase untuk merilekskan atau mengurangi ketegangan pilihan DNA.
Agar posisi ini bertahan (untai DNA tidak merekat lagi), maka berperan
enzim SBB untuk menahan posisi ini.
2. Pembentukan garpu replikasi dan polimerisasi DNA
DNA replikasi merupakan proses bidicteiunal / 2 arah . Saat untai
DNA terbuka, akan dilanjutkan dengan polimerisasi DNA. Proses
replikasi senantiasi berjalan dari ujung 5’ ke 3’. Akibat terbukanya untai
ganda DNA, maka akan berlangsung replikasi 2 arah, yakni arah yang
searah dengan pembukaan untai ganda 5’ ke 3’ (leading strand) dan
berlawanan arah dengan pembukaan untai ganda DNA (lagging strand).
Yang berperan dalam polimerisasi DNA adalah DNA polymerase
III. Namun, Dna polymerase III ini tidak bisa mengawali polimirasi, dia

6
membutuhkan 3’ OH dari innovator . Dalam hal ini, berperanlah RNA
polymerase (primase) untuk membentuk RNA primer (susunan salinan
nukleotida pertama) pada rantai salinan. Setelah primer meyiapkan 3’OH
untuk dna polymerase, barulah DNA polymerase bisa melakukan
polymerase seperti yang dilakukan RNA polymerase. pada daerah leading
strand, polimerisasi DNA terjadi secara continue karena searah dengan
pembukaan unai ganda sehingga RNA primer yang dibutuhkan hanya satu
sampai kondon stop.
Namu, pada lagging strand, karena polimerisasi berjalan berlawan
arah, sementara daerah double heliks yang berlawanan arah menutup
kembali, maka polimerisasi harus berhenti dan harus dimulai lagi di
belakangnya ( tetap berlawanan arah dengan pembukaan namun
memajang dan menempati space yang telah dibuka oleh helikase)
akibatnya yang diutuhkan banyak.
3. Pengubahan RNA menjadi DNA dan penyambungan DNA
Setelah polimerisasi selesai, RNA primer yang menjadi awala – awalan
dari polimerisasi harus diubah menjadi DNA, karena yang dibutuhkan
adalah DNA, bukan RNA. Maka, DNA polimerase I berperan mengubah
RNA menjadi DNA pada. Pada daerah lagging strand, DNA polimerase I
bekerja keras karena jumlah RNA nya banyak.
Setelah menjadi DNA semua, fragmen- fragmen yang terputus (fragmen
okazaki) yang terbentuk pada lagging strand karena polimerase yang
discontinuwe harus di sabung. Penyambungan ini di lakukan oleh enzim
ligase
4. Proof reading: pengecekan yang dilakukan DNA polimerase guna
menghindari lesalahan. DNA yang salah akan dipotong
5. Terminasi: replikasi akan terhenti dilokasi terminasi khusus yang terdiri
urutan nukleotida tertentu. Situs ini diidentifikasi oleh protein khusu yaitu
TUS. Singkatnya, TUS menghalangi jalur helikase sehingga untai ganda
berhenti membuka. Akibatnya helikase jatuh proses selesai.

7
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah bakteri gram positif yang


menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak
menghasilkan sporadan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun
berkelompok, dengan diameter sekitar 0,8-1,0 µm. S. aureus tumbuh dengan
optimum pada suhu 37oC dengan waktu pembelahan 0,47 jam. S.
aureus merupakan mikroflora normal manusia. Bakteri ini biasanya terdapat
pada saluran pernapasan atas dan kulit.
Keberadaan S. aureus pada saluran pernapasan atas dan kulit pada individu
jarang menyebabkan penyakit, individu sehat biasanya hanya berperan sebagai
karier. Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang melemah karena
adanya perubahan hormon; adanya penyakit, luka, atau perlakuan
menggunakan steroidatau obat lain yang memengaruhi imunitas sehingga
terjadi pelemahan inang.
3.2 Saran
Saran yang dapat saya berikan, yaitu untuk mengcegah agar kita tidak
mengalami keracunan yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus
kita harus mencegah kebersihan tubuh dengan baik dan menjaga pola hidup
yang sehat. Akhir kata, semoga makalah inni dapat memberikan banyak
manfaat bagi kita semua.

8
DAFTAR PUSTAKA

Brown, T.A. 1995. Gene Cloning. 3rd Ed. London: Chapman & Hall. p. 234-237.

Brooks, G.F., J.S. Butel, and L.N. Ornston. 1995. Medical Microbiology. 4th ed.
Conecticut: Appleton & Lange, Simon & Schuster Company. p.197-202.

Duta, G.N., Gogoi, Jully, Buragohain, and Jyoti. 2001. Inactivation of


Chloramphenicol by Staphylococcus aureus biotype C from humans and animal.
Avalaible at : http//www.Indian Journal of Medical Research (diakses Mei 2006)

Fischetti, A.V., R.P. Novick, J.J. Ferreti, D.A. Portnoy, and J.I. Rood. 2000. Gram
Positif. Washington DC: ASM Press. p.315

Fluit, C. 2001. Molekular Detection of Antimicrobial Resistance.


www.cmr.asm.org (diakses Desember 2005).

Garna, H., N. Sekarwana, dan Azhali. 1989. Result of Salmonella typhi culture in
Patient with Suspected Typhoid Fever. Journal Pediatrica Indonesiana. 29,
hal. 105-111.

Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N.
Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke -20 (Alih bahasa : Nugroho
& R.F.Maulany). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal. 211,213,215.

Karsinah, Lucky H.M., Suharto, dan Mardiastuti H.W. 1994. Batang Negatif Gram
dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit
Binarupa Aksara. hal. 161-162.

Katzung, B.G. 1998. Basic and Clinical Pharmacology. 7th ed. USA: Prentice Hall
Inc, Appleton & Lange. p.743-745.

Anda mungkin juga menyukai