Anda di halaman 1dari 32

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI……...………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah...................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2

D. Manfaat Penulisan ..................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 4

A. Klasifikasi ................................................................................................... 4

B. Morfologi dan Fisiologi .............................................................................. 5

C. Identifikasi .................................................................................................. 6

D. Pertumbuhan dan Perbenihan .................................................................. 7

E. Metabolit Bakteri ....................................................................................... 9

F. Patogenesis ................................................................................................ 11

G. Mekanisme Infeksi ............................................................................... 13

H. Gejala Penyakit..................................................................................... 21

I. Pemeriksaan Laboratorium .................................................................... 24

J. Pengobatan, Pencegahan, dan Pengawasan .......................................... 26

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 28

A. Simpulan ................................................................................................... 28

B. Saran ......................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 29

ii
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

penulis kesempatan sehingga masih diberikan kesehatan untuk menyelesaikan

makalah ini. Salam dan salawat tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi

besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam penuh kegelapan

menuju ke alam yang penuh keterangan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen

penanggung jawab yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini

sehingga dapat terlaksana dengan baik dan tepat waktu. Alhamdulillah.

Akhir kata “Tiada gading yang tak retak” tak ada yang sempurna di dunia

ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, 29 November 2019

Penulis

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dua belas keluarga bakteri, telah diidentifikasi sebagai bagian mikroba yang

paling penting untuk dipantau lebih lanjut. Beberapa dari bakteri penting untuk

dipantau karena mereka adalah penyebab umum infeksi atau menyebar dengan

mudah, sementara yang lain penting dapat memiliki dampak signifikan pada

kesehatan seseorang ketika mereka memang menyebabkan infeksi.

Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah salah satunya.

S. aureus, biasa disebut 'golden staph', adalah bakteri yang sering hidup di

kulit atau hidung manusia. S. aureus dapat menyebabkan penyakit ketika ia

mendapatkan akses ke aliran darah atau memasuki tubuh melalui luka terbuka

atau cedera.

Berbagai manifestasi S. aureus dapat menyebabkan minor infeksi kulit,

seperti jerawat, impetigo yang dapat menyebabkan bisul (furunkel), selulitis

folliculitis, carbuncles ini adalah penyebab sindrom kulit tersiram air panas, dan

abses yang dapat menyebabkan infeksi paru-paru atau pneumonia.

1
2

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana morfologi, fisiologi, dan identifikasi dari S. aureus?

2. Apa saja patogenesis dari S. aureus dan bagaimana mekanisme

infeksinya?

3. Bagaimana cara pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi S.

aureus?

4. Bagaimana pengobatan, pencegahan dan pengawasan untuk S. aureus?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui morfologi, fisiologi, dan identifikasi dari S. aureus secara

menyeluruh.

2. Memahami patogenesis dari S. aureus dan mekanisme infeksinya.

3. Mengetahui cara pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi S.

aureus.

4. Memahami pengobatan, pencegahan dan pengawasan untuk S. aureus.

D. Manfaat Penulisan

1. Dapat menjelaskan morfologi, fisiologi, dan identifikasi secara

menyeluruh

2. Dapat memahami pengobatan, pencegahan dan pengawasan untuk S.

aureus
3

3. Dapat mengerti cara pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi

S. aures
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi

Gambar 1. Staphylococcus aureus yang dilihat dari mikroskop elektron. (Todar,

2008)

Dari Rosenbach (1884) klasifikasi Staphylococcus aureus yaitu:

Domain : Bacteria

Kerajaan : Eubacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Famili : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : S. aureus

Nama binomial: Staphylococcus aureus

4
5

B. Morfologi dan Fisiologi

Bakteri Staphylococcus berbentuk bulat. Koloni mikroskopik cenderung

berbentuk menyerupai buah anggur. Menurut bahasa Yunani, Staphyle berarti

anggur dan coccus berarti bulat atau bola. Salah satu spesies menghasilkan

pigmen berwama kuning emas sehingga dinamakan aureus (berarti emas, seperti

matahari). Bakteri ini dapat tumbuh dengan atau tanpa bantuan oksigen.

Pada tahun 1984, Rosenberg mengajukan tata nama berdasarkan pigmen

koloni Staphylococcus, yaitu Staphylococcus aureus untuk koloni berwama

kuning emas dan Staphylococcus albus untuk koloni berpigmen putih yang

sekarang dikenal dengan Staphylococcus epidermidis. Staphylococcus aureus

kebanyakan berkoloni di salumn hidung dan di bagian tubuh lain.

Staphylococcus aureus membentuk koloni berwarna kuning pada media yang

kaya nutrisi. Bersifat hemolitik pada media agar yang mengandung darah.

Staphylococcus bersifat anaerob fakultatif dan menghasilkan enzim katalase,

Staphylococcus aureus dapat tumbuh dalam larutan NaCl 15%, menghasilkan

enzim koagulase, dan bersifat patogen pada manusia.

Keracunan makanan akibat Staphylococcus dapat terjadi jika seseorang

mengkonsumsi makanan yang mengandung toksin yang berasal dari

Staphylococcus. Gejala muncul 6-8 jam setelah mengonsumsi makanan yang

terkontaminasi. Gejala umum yang timbul adalah mual, muntah, kram perut,

diare, dan lemas (Radji. 2019).

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang menyebabkan keracunan makanan

stafilokokus gastroenteritis dengan timbulnya gejala yang cepat. S. aureus


6

umumnya ditemukan di lingkungan (tanah, air dan udara) dan juga ditemukan di

hidung dan di kulit manusia (FDA. 2013).

C. Identifikasi

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat

berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur

seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak

bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk

pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat

berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol,

dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang

mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi

bakteri. Berbagai derajat hemolisis disebabkan oleh S. aureus dan kadang-kadang

oleh spesies stafilokokus lainnya. (Jawetz et al., 2008).

Uji enzim katalase juga dapat membedakan Staphylococcus dari

Streptococcus. Staphylococcus bersifat katalase positif, sedangkan Streptococcus

bersifat katalase negatif. Uji ini dapat dilakukan dengan menambahkan hidrogen

peroksida 3% pada koloni dalam lempeng agar atau agar miring. Biakan katalase

positif menghasilkan oksigen dan gelembung. Pengujian ini tidak dapat dilakukan

dalam agar darah karena darah sudah mengandung katalase (Radji. 2019).
7

D. Pertumbuhan dan Perbenihan

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup S. aureus tergantung pada sejumlah

faktor lingkungan seperti suhu, aktivitas air (aw), pH, keberadaan oksigen dan

komposisi nutrisi. Parameter pertumbuhan fisik ini bervariasi untuk strain S.

aureus yang berbeda (Stewart 2003).

Tabel 1. Limits for growth dari S. aureus dan produksi enterotoxin lain (ICMSF.

1996).

Kisaran suhu untuk pertumbuhan S. aureus adalah 7-48 ° C, dengan optimum

37 ° C. S. aureus tahan terhadap pembekuan dan bertahan dengan baik dalam

makanan yang disimpan di bawah -20°C; namun, viabilitas berkurang pada suhu -

10 hingga 0 ° C. S. aureus dapat dibunuh selama pasteurisasi atau memasak.

Pertumbuhan S. aureus terjadi pada kisaran pH 4.0-10.0, dengan optimal 6-7

(ICMSF 1996; Stewart 2003).

S. aureus secara unik resisten terhadap kondisi buruk seperti aw rendah, kadar

garam tinggi dan stres osmotik. Menanggapi aw rendah, beberapa senyawa

menumpuk di sel bakteri, yang menurunkan aw intraseluler agar sesuai dengan aw

eksternal (Montville dan Matthews 2008).


8

S. aureus adalah bakteri yang buruk dalam berkopetensi, tetapi

kemampuannya untuk tumbuh di bawah tekanan osmotik dan pH, ia mampu

berkembang dalam berbagai kondisi (Montville dan Matthews 2008).

S. aureus adalah anaerob fakultatif sehingga dapat tumbuh di kondisi aerob

dan anaerob. Namun, pertumbuhan terjadi pada tingkat yang jauh lebih lambat di

bawah kondisi anaerob. Untuk bakteri mesofilik non-sporing, S. aureus memiliki

ketahanan panas yang relatif tinggi (Stewart 2003).

Berbagai spesies Staphylococcus tumbuh dengan baik dalam kaldu biasa pada

suhu 37°C. Kisaran suhu pertumbuhan adalah 15-40°C dan suhu optimum adalah

35°C. Dalam lempeng agar biasa dengan suasana aerob dan suhu 37°C, bakteri ini

tidak menghasilkan pigmen. Dalam lempeng agar darah pada suhu 37°C,

pembentukan pigmen kurang baik. Akan tetapi, apabila koloni tersebut

dipindahkan ke agar biasa atau perbenihan Loeffler dan diinkubasi pada suhu

kamar, pembentukan pigmen akan sangat baik.

Koloni yang masih sangat muda tidak berwarna. Akan tetapi, pigmen yang

larut dalam alkohol, eter, dan kloroform akan terbentuk seiring pertumbuhan

bakteri. S. aureus membentuk koloni besar berwarna agak kuning dalam media

yang baik. Untuk mengisolasi Staphylococcus dari tinja, digunakan media agar

yang mengandung NaCl sampai 10% sebagai penghambat bakteri jenis lain dan

perbenihan yang mengandung manitol untuk mengetahui patogenisitas bakteri

(Radji. 2019).
9

E. Metabolit Bakteri

Staphylococcus aureus membuat tiga macam metabolit, yaitu yang bersifat

nontoksin, eksotoksin, dan enterotoksin. Metabolit nontoksin antara lain adalah

antigen permukaan, koagulase, hialuronidase, fibrinolisin, gelatinosa, protease,

lipase, tributirinase, fosfatase, dan katalase (Warsa, 1994).

a. Katalase

Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap

proses fagositosis. Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda genus

Staphylococcus dari Streptococcus.

b. Koagulase

Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena

adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim

tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas

penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri

yang dapat menghambat fagositosis.

c. Hemolisin

Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis

di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari α-hemolisin, β-

hemolisin, dan δ-hemolisin. α-hemolisin adalah toksin yang bertanggung

jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada

medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan

dan manusia. β-hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus

yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah
10

domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat

melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang

terhadap sel darah merah domba.

d. Leukosidin

Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi

perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokus

patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat

difagositosis.

e. Toksin eksfoliatif

Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks

mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepithelial

pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya

kulit.

f. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)

Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok

toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini

menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ

dalam tubuh.

g. Enterotoksin

Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana

basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan

makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein.


11

F. Patogenesis

Staphylococcus aureus menyebabkan berbagai jenis infeksi pada kulit, seperti

bisul dan furunkulosis;.infeksi yang lebih serius, seperti pneumonia, mastitis,

febitis, dan meningitis; dan infeksi pada saluran urin. Selain itu, Staphylococcus

aureus juga menyebabkan infeksi kronis, seperti osteomielitis dan endocarditis.

Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama infeksi mosokomial

akibat luka tindakan operasi dan pemakaian alat-alat perlengkapan perawatan di

rumah sakit. Staphylococcus aureus juga dapat menyebabkan keracunan makanan

akibat enterotoksin yang dihasilkannya dan menyebabkan sindrom renjat toksik

(toxic shock syndrome) akibat pelepasan superantigen ke dalam aliran darah

(Radji. 2019).

Staphylococcus aureus mempunyai beberapa faktor virulensi berikut (Radji.

2019):

 Protein permukaan yang berfungsi untuk memudahkan kolonisasi pada

jaringan inang.

 Beberapa protein invasin yang berfungsi untuk membantu invasi dan

penyebaran bakteri ke dalam tubuh, seperti leukosidin, kinase, dan

hialuronidase.

 Beberapa faktor permukaan yang dapat menghambat fagositosis, seperti

simpai dan protein A.

 Zat-zat biokimia lain yang diproduksi untuk meningkatkan pertahanan

terhadap fagositosis, seperti karotenoid dan katalase.


12

 Enzim koagulase dan faktor pembeku (clotting factor) yang memengaruhi

kerja imunoglobulin tertentu.

 Beberapa toksin yang berfungsi untuk melisis membran sel inang, seperti

hemolisin, leukotoksin, dan leukosidin.

 Beberapa eksotoksin yang mampu merusak jaringan sel inang sehingga

dapat memperberat gejala penyakit.

 Gen resistensi terhadap antimikroba tertentu sehingga bakteri kebal

terhadap antimikroba tersebut.

Staphylococcus aureus menyebabkan berbagai infeksi bernanah dan

keracunan pada manusia. lmpetigo atau bisul pada bayi baru lahir merupakan

penyakit kulit akibat infeksi Staphylococcus yang paling sering terjadi. Impetigo

sering terjadi pada anak-anak, biasanya di sekitar hidung. Penyebaran penyakit ini

cukup tinggi, terutama di daerah endemik.

Pneumonia Staphylococcus merupakan penyakit yang penting karena

menunjukkan tingkat kematian yang tinggi, yaitu lebih dari 50%. Sekitar 75%

kasus pneumonia terjadi pada bayi berusia kurang dari 1 tahun. Pneumonia

Staphylococcus terjadi jika bakteri menyerang aliran darah dan menyebabkan

septisemia. Septisemia dapat berakibat fatal, dan bakteri dapat menyebar ke

seluruh organ tubuh lain, seperti paru-paru, ginjal, hati, otot rangka, dan otak.

Infeksi Staphylococcus aureus dapat menginvasi dan menyerang setiap bagian

tubuh kita. Bakteri ini dapat ditemukan pada hidung, mulut, kulit, mata, jari, usus,

dan hati. Bakteri ini akan bertahan dalam waktu yang lama di berbagai tempat.

Staphylococcus aureus dapat tinggal sementara di daerah kulit yang basah dan
13

dimiliki oleh 20-50% manusia. Anak-anak, penderita diabetes, tenaga kesehatan,

dan pasien penyakit kulit biasanya berisiko tinggi mengalami infeksi

Staphylococcus aureus. Ini disebabkan infeksi Staphylococcus aureus biasanya

terjadi pada luka terbuka atau luka potong (Radji. 2019).

Gejala keracunan makanan stafilokokus biasanya memiliki onset cepat,

muncul di sekitar 3 jam setelah konsumsi (kisaran 1–6 jam). Gejala umum

termasuk mual, muntah, kram perut dan diare. Individu tertentu mungkin tidak

menunjukkan semua gejala terkait dengan penyakitnya. Dalam kasus yang parah,

sakit kepala, kram otot dan sementara perubahan tekanan darah dan denyut nadi

dapat terjadi. Pemulihan biasanya antara 1-3 hari (Stewart 2003; FDA 2012).

Kematian jarang terjadi (0,03% untuk masyarakat umum) tetapi kadang-kadang

dilaporkan pada anak-anak dan orang tua (tingkat kematian 4,4%) (Montville dan

Matthews 2008).

S. aureus dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang tidak

berhubungan dengan makanan seperti radang kulit (misal bisul dan gabus),

mastitis, infeksi saluran pernapasan, sepsis luka, dan syok toksik sindrom (Stewart

2003; Montville dan Matthews 2008).

G. Mekanisme Infeksi

Infeksi Staphylococcus aureus dapat terjadi dengan mekanisme: (a) pelekatan

pada protein sel inang; (b) invasi; (c) perlawanan terhadap sistem pertahanan

inang; dan (d) pelepasan beberapa jenis toksin (Radji. 2019).


14

a. Pelekatan pada protein sel inang

Struktur sel Staphylococcus aureus memiliki protein permukaan yang

membantu penempelan bakteri pada sel inang. Protein tersebut adalah laminin

dan fibronektin yang membentuk matriks ekstraseluler pada permukaan epitel

dan endotel. Selain itu, beberapa galur mempunyai ikatan protein

fibrin/fibrinogen yang mampu meningkatkan penempelan bakteri pada darah

dan jaringan. Sebagian besar galur Staphylococcus aureus mempunyai protein

ikatan terhadap fibronektin dan fibrinogen. Adhesin yang dapat berikatan

dengan kolagen ditemukan pada galur bakteri yang menyebabkan

osteomielitis dan artritis septik. Interaksi dengan kolagen penting untuk

penempelan bakteri pada jaringan.

Fakta bahwa protein pengikat matriks (matrix-binding protein) merupakan

faktor virulensi Staphylococcus aureus didasarkan pada suatu penelitian

menggunakan galur mutan Staphylococcus aureus yang tidak mempunyai

fibronektin dan protein pengikat fibrinogen (fibrinogen binding protein).

Virulensi Staphylococcus untuk endokarditis pada tikus percobaan ternyata

dapat berkurang karena ketidakmampuan galur mutan tesebut menempel pada

jaringan/sel inang. Selain itu, virulensi galur mutan Staphylococcus aureus

yang tidak mempunyai gen yang mengekspresikan protein pengikat kolagen

(collagen-binding protein) ternyata jauh lebih kecil sehingga tidak dapat

menyebabkan infeksi artritis septik pada tikus percobaan. Hal ini diduga

karena penempelan dan kolonisasi bakteri tidak efektif. Kegagalan ikatan

ligan dengan reseptor fibrinogen, fibronektin, dan kolagen juga telah


15

menghambat penempelan bakteri pada protein reseptor sel inang yang

bersangkutan.

b. Invasi

Invasi Staphylococcus aureus terhadap jaringan inang melibatkan

sejumlah besar kelompok protein ekstraseluler. Beberapa protein berperan

penting dalam proses invasi Staphylococcus aureus ke dalam sel inang.

 α-Toksin

α-Toksin adalah toksin yang paling dikenal sebagai toksin yang dapat

merusak membran sel/jaringan inang. Toksin ini merupakan monomer

yang berikatan dengan membran sel yang rentan. Sub-unit ini

kemudian akan beroligomerisasi membentuk cincin heksamerik

sehingga membentuk pori dalam membran sel yang mengakibatkan

membran sel bocor. Sel-sel yang rentan memiliki reseptor spesifik

untuk α-toksin sehingga toksin tersebut dapat terikat pada sel itu. Ini

menyebabkan terbentuknya pori-pori yang dapat dilewati kation-kation

monovalen. Pada manusia, platelet dan monosit sensitif terhadap α-

toksin. Setelah terikat dengan toksin ini, serangkaian reaksi sekunder

yang dapat menyebabkan pelepasan sitokin akan terjadi. Rangkaian

reaksi ini akan mempercepat pembentukan mediator inflamasi.

Kejadian ini dapat menyebabkan gejala-gejala renjat septik selama

infeksi Staphylococcus aureus yang berat,

 β-Toksin
16

Toksin adalah suatu spingomielinase yang merusak membran yang

kaya kandungan lipid. Uji klasik untuk menentukan β-toksin adalah

berdasarkan kemampuan toksin ini melisiskan eritrosit domba.

Sebagian besar Staphylococcus aureus yang diisolasi dari manusia

tidak terlihat menghasilkan β-toksin. β-Toksin dapat ditemukan dalam

bakteriofaga lisogenik.

 δ-Toksin

δ-Toksin adalah peptida pendek yang diproduksi oleh sebagian besar

galur Staphylococcus aureus. Toksin ini juga diproduksi oleh

Staphylococcus epidermidis. Peranan toksin ini pada penyakit belum

diketahui.

 γ-Toksin dan Leukosidin

γ-Toksin (yang dikenal sebagai leukotoksin) dan leukosidin adalah dua

kompleks protein toksin yang dapat merusak membran sel yang rentan.

Protein ini diproduksi secara terpisah, tetapi berperan bersamaan dalam

merusak membran. Tidak ada bukti bahwa protein-protein ini

membentuk multimer terlebih dulu sebelum penyisipan ke dalam

membran. Leukosidin berbeda dengan leukotoksin. Leukosidin

merupakan produk dari gen yang berbeda. Leukotoksin bersifat

hemolitik, sedangkan leukosidin tidak bersifat hemolitik, Hanya 2%

isolat Staphylococcus aureus menunjukkan adanya leukosidin dan

hampir 90% isolat yang diisolasi dari luka nekrotik kulit menunjukkan
17

adanya leukotoksin. Oleh karena itu, protein ini diduga merupakan

faktor penting pada infeksi nekrotik pada kulit.

 Koagulase

Koagulase adalah protein ekstraseluler yang dapat berikatan dengan

protrombin inang untuk membentuk sebuah kompleks yang disebut

stalilotrombin. Aktivitas spesifik protease dari trombin adalah

mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Uji koagulase merupakan salah

satu cara yang dilakukan di laboratorium klinik untuk mengidentifikasi

keberadaan Staphylococcus aureus dan untuk menunjukkan sifat

virulensi bakteri ini, yaitu dapat melindungi dirinya dari fagositosis

dan menghalangi kerja sistem imunitas inang.

 Stafilokinase

Stalokinase adalah suatu enzim yang diproduksi oleh Staphylococcus

aureus yang berfungsi sebagai aktivator plasminogen sehingga enzim

ini dapat melisiskan fibrin. Terbentuknya kompleks antara

stafilokinase dan plasminogen akan mengaktifkan plasmin yang akan

melarutkan kekuan fibrin. Walaupun belum ada bukti kuat bahwa

stafilokinase merupakan faktor virulensi, enzim yang bersifat

fibrinolisis ini dapat dikatakan dapat membantu penyebaran bakteri

dalam jaringan inang.

 Enzim ekstraseluler lain

Staphylococcus aureus memproduksi enzim protease, lipase,

deoksiribonuklease (DNAse), dan enzim pemodifikasi asam lemak


18

(fatty acid modifing enzyme, FAME). Enzim-enzim ini berperan

penting dalam pertahanan diri bakteri dan kemungkinan membantu

penyediaan nutrisi bagi bakteri.

c. Perlawanan Terhadap Sistem Pertahanan Inang

Staplylococcus aureus memiliki kemampuan mempertahankan diri

terhadap mekanisme pertahanan inang. Beberapa faktor pertahanan diri yang

dimiliki oleh Staphylococcus aureus dijelaskan berikut ini.

 Simpai polisakarida

Sebagian besar Staphylococcus aureus yang diisolasi secara klinis

memiliki polisakarida, yang terdapat pada permukaan selnya.

Polisakarida ini disebut sebagai mikrokapsul karena hanya dapat

dilihat dengan mikroskop elektron; hal ini berbeda dari simpai bakteri

lainnya yang dapat dilihat dengan mikroskop biasa. Staphylococcus

aureus yang diisolasi dari infeksi memiliki kadar polisakarida yang

tinggi. Akan tetapi, ketika dibiakkan dalam laboratorium; polisakarida

tersebut menghilang. Fungsi kapsul dalam virulensi bakteri tidak

terlalu jelas.Walaupun demikian, kapsul ini diduga dapat menghalangi

proses fagositosis.

 Protein A

Protein A adalah protein permukaan yang terdapat pada

Staphylococcus aureus yang berikatan dengan daerah Fc molekul IgG.

Di dalam serum, bakteri akan bergabung dengan molekul IgG dengan

orientasi yang keliru dengan permukaannya sehingga akan


19

mengganggu opsonisasi dan fagositosis bakteri. Galur mutan

Staphylococcus aureus yang tidak memiliki protein A akan lebih

mudah difagositosis secara in vitro dan memiliki virulensi yang lebih

rendah.

 Leukosidin

Leukosidin adalah toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus

yang secara spesifik ditujukan untuk menghalangi kerja

polimorfonuklear leukosit. Fagositosis merupakan pertahanan

terpenting untuk melawan infeksi Staphylococcus aureus. Oleh sebab

itu, leukosidin dapat dikatakan sebagai salah satu faktornya.

d. Pelepesan Beberapa Jenis Toksin

 Eksotoksin

Proses infeksi Staphylococcus aureus akan menghasiikan berbagai

jenis toksin yang bertanggung jawab atas gejala-gejala yang

ditimbulkan selama infeksi berlangsung. Jenis-jenis toksin yang dapat

merusak membran sel inang telah dibahas pada invasi. Beberapa toksin

tersebut dapat melisiskan eritrosit dan menyebabkan hemolisis.

Pelepasan α-toksin ke dalam sistem peredaran darah dapat

menyebabkan renjat (shock).

 Superantigen

Staphylococcus aureus menghasilkan dua tipe toksin yang memiliki

aktivitas superantigen yaitu enterotoksin yang memiliki enam tipe

antigenik (SE-A, SE-B, SE-C, SE-D SE-E dan SE-G) dan sindrom
20

renjat toksik (TSST-l). Enterotoksin merupakan penyebab diare, mual,

dan muntah, pada kasus keracunan makanan. TSST-l dapat

menyebabkan sindrom renjat toksik apabila dilepaskan ke dalam

peredaran darah, Demikian pula, enterotoksin dapat menyebabkan

sindrom renjat toksik jika berada dalam sistemik. TSST-l bertanggung

jawab atas 75% kasus sindrom renjat toksik. Lima puluh persen kasus

sindrom renjat toksik akibat enterotoksin disebabkan oleh SE-B dan

SE-C. Superantigen dapat menstimulasi sel T yang nonspesifik. Satu

dari 5 sel T akan terstimulasi oleh adanya superantigen, sedangkan

keberadaan antigen biasa umumnya hanya menstimulasi 1 dari 10.000

sel T. Dengan demikian, sitokin akan dilepaskan dalam jumlah besar;

hal inilah yang dapat menyebabkan terjadi gejala sindrom renjat

toksik.

 Toksin Eksfoliatin

Toksin ini menyebabkan sindrom kelainan kulit (scalded skin

syndrome) pada bayi, dengan gejala pembengkakan dan pengelupasan

epidemis. Toksin ini memiliki dua tipe antigenik, yaitu tipe A dan tipe

B. Toksin ini memiliki aktivitas esterase dan diduga juga memiliki

aktivitas protease. Akan tetapi, mekanisme enzim ini merusak lapisan

epidermis kulit, belum diketahui secara pasti. Toksin ini diduga

menyerang protein spesifik yang terlibat dalam pertahanan lapisan

epidermis sehingga terjadi pemisahan lapisan dermis dan epidermis

kulit.
21

H. Gejala Penyakit

Beberapa jenis penyakit yang ditimbulkan oleh infeksi Staphylococcus adalah

sebagai berikut (Radji. 2019):

 Impetigo

Impetigo adalah penyakit infeksi kulit yang menimbulkan bintil-bintil

berisi nanah.

 Folikulitis

Folikulitis adalah infeksi superfisial pada folikel-folikel rambut dan

mengeluarkan pustula berwarna putih. Tempat pustula-pustula itu

tumbuh akan terasa gatal selama 1 sampai 2 hari sebelumnya.

 Furunkel

Furunkel adalah infeksi Staphylococcus aureus yang menginvasi

bagian dalam folikel rambut. Furunkel merupakan peradangan yang

disertai pembengkakan dan menyakitkan. Walaupun dapat terjadi di

seluruh bagian tubuh, infeksi ini lebih dijumpai di daerah wajah, leher,

ketiak, dan anus. Furunkel dikenal dengan nama borok atau bisul.

 Karbunkel

Karbunkel adalah radang di bawah kulit, yaitu kumpulan peradangan

yang terikat satu dengan yang lain di bawah kulit. Karbunkel sering

ditemukan di bagian belakang leher dan lebih banyak dijumpai pada

pria dibandingkan pada wanita.

 Hidradenitis
22

Hidradenitis adalah infeksi pada kelenjar tertentu di wilayah ketiak dan

alat genital.

 Mastitis

Mastitis adalah infeksi pada payudara. Infeksi ini terjadi pada payudara

ibu yang sedang menyusui melalui luka atau melalui puting payudara

yang terluka. Infeksi ini menyebabkan luka yang menyakitkan.

 Selulitis

Selulitis adalah infeksi di bagian terdalam lapisan kulit. Walaupun

jarang terjadi, infeksi ini cukup serius. Selulitis biasanya disebabkan

oleh Streptococcus dan hanya beberapa yang disebabkan oleh

Staphylococcus; infeksi biasanya dimulai dari bengkak yang lunak,

kemerahan di sekitar luka, kemudian secara bertahap menyebar ke

jaringan terdekat. Garis merah yang memanjang dari daerah infeksi

sampai kelenjar getah bening, yang juga dapat terinfeksi, membengkak

2-3 kali ukuran normal. Kondisi yang serius disebut limfadenitis.

 Piomiositis

Piomiositis adalah infeksi pada otot. Infeksi ini umumnya terjadi di

daerah tropis.

 Endokarditis

Endokarditis adalah infeksi pada katup jantung. Infeksi ini dapat

terjadi jika Staphlococcus aureus menyerang endokardium yang

merupakan bagian paling dalam dari jantung. Kondisi ini

menyebabkan kerusakan permanen pada jantung. Hal ini terutama


23

terjadi pada pecandu narkoba yang menggunakan narkoba melalui

injeksi intravena.

 Osteomielitis

Osteomielitis merupakan infeksi pada tulang dan pada otot-otot di

sekitar tulang.

 Artritis Septik

Artritis septik adalah infeksi Staphylococcus aureus yang menyebar ke

pembuluh darah, tangan, kaki, dan punggung tempat abses kemudian

berkembang. Bagian-bagian yang terinfeksi akan membengkak dan

berisi nanah. Bila ini dibiarkan, bagian itu akan menjadi kaku.

 Pneumonia

Infeksi Staphylococcus aureus pada paru-paru dapat menyebabkan

pneumonia. Pneumonia dapat timbul setelah seseorang menderita flu.

 Sindrom Kulit Terbakar

Sindrom kulit terbakar merupakan infeksi pada kulit yang mengelupas

seperti terbakar. Sindrom ini sering menyerang bayi, anak-anak, dan

penderita gangguan sistem kebalan. Infeksi biasanya berupa keropeng

yang terisolasi, yang menyerupai impetigo, dan terjadi di daerah yang

tertutup popok atau di sekitar pusar (pada bayi lahir). Pada anak-anak

yang berusia 1-6 tahun, sindrom diawali dengan sebuah lempeng di

hidung atau telinga, diikuti dengan timbulnya daerah berwarna merah

tua di sekitar keropeng tersebut, dan membentuk lepuhan-lepuhan yang

mudah pecah.
24

 Biefaritis

Biefaritis adalah bentuk infeksi yang menyerang bagian tepi kelopak

mata. Infeksi ini dapat juga menyebabkan mata merah dan bernanah.

 Paronikia

Paronikia adalah jenis infeksi yang terjadi pada tepi-tepi kuku yang

dapat menyebabkan peradangan dan kulit melepuh atau dipenuhi

nanah.

 Sindrom Renjat Toksik

Sindrom infeksi ini menyebabkan demam tinggi, tekanan darah

rendah, kulit terkelupas, dan kerusakan organ-organ tertentu. Sindrom

ini dapat mengakibatkan kematian. Wanita yang menggunakan tampon

berisiko terkena infeksi ini.

 Keracunan Makanan

Kondisi ini biasanya terjadi karena makanan yang dikonsumsi

tercemar Staphylococcus aureus. Toksin yang dihasilkan oleh

Staphylococcus aureus dapat menyebabkan keracunan yang ditandai

dengan gejala mual, muntah, kejang perut., dan diare.

I. Pemeriksaan Laboratorium

1. Bahan pemeriksaan

Bahan untuk pemeriksaan laboratorium dapat diperoleh dari usap

tenggorokan, darah, nanah, sputum, atau cairan spinal.


25

2. Cara pemeriksaan

Pemeriksaan dapat dilakukan secara langsung atau dengan perbenihan.

3. Pemeriksaan langsung

Bakteri yang berasal dari nanah atau sputum langsung dibuat preparat dan

diperiksa dengan pewarnaan Gram. Di bawah mikroskop, bakteri yang bersifat

Gram-positif ini akan terlihat tersusun sendiri, berpasangan, atau bergerombol

menyerupai buah anggur.

4. Perbenihan

Bahan pemeriksaan ditanam dalam lempeng media agar darah. Koloni

yang khas akan terbentuk setelah diinkubasi pada suhu 37°C selama 18 jam.

Hemolisis dan pembentukan pigmen baru terlihat jelas setelah beberapa hari

dibiarkan pada suhu kamar. Jika bahan pemeriksaan mengandung berbagai

jenis mikroba, dapat dipakai suatu perbenihan yang mengandung NaCl 10%.

Pada media perbenihan telurit, Staphylococcus koagulase positif membentuk

koloni berwarna hitam karena dapat mereduksi telurit.

5. Uji Koagulase

Uji koagulase dapat dilakukan dengan menggunakan gelas objek atau

dengan tabung reaksi.

6. Menggunakan Gelas Objek

Cara ini digunakan untuk menentukan adanya reaksi koagulase atau

clamping factor. Cara ini tidak dianjurkan untuk keperluan pemeriksaan rutin

karena banyak faktor yang dapat memengaruhinya, antara lain harus


26

menggunakan plasma manusia segar dan diperlukan bakteri Staphylococcus

dalam jumlah yang cukup besar.

7. Menggunakan Tabung Reaksi

Cara ini dilakukan untuk menemukan adanya koagulase bebas dan cukup

menggunakan plasma kelinci. Hasil positif jika terjadi penggumpalan atau bila

tabung reaksi dibalik, gumpalan plasma tidak terlepas dan tetap melekat pada

dinding tabung.

8. Penentuan Tipe Bakteriofaga

Cara ini penting untuk menentukan tipe Staphylococcus yang diisolasi dari

lingkungan rumah sakit. Sebanyak 70-80% flora Staphylococcus dari rumah

sakit resisten terhadap penisilin. Selain itu, pemeriksaan tipe faga dapat

digunakan untuk menemukan jenis galur bakteri yang berasal dari manusia

atau hewan.

J. Pengobatan, Pencegahan, dan Pengawasan

Uji sensitivitas antibiotik diperlukan untuk memilih antibiotik yang tepat

untuk mengatasi infeksi. Penisilin atau derivatnya dapat diberikan, kecuali pada

pasien yang alergi. Terapi oral penisilin semisintetik, seperti kloksasilin atau

dikloksasilin, cukup berhasil untuk infeksi akut. Oksasilin dan nafsilin tidak

dianjurkan untuk terapi oral karena absorpsinya kurang baik dalam saluran cerna.

Jika penderita alergi terhadap penisilin, eritromisin dapat digunakan. Pengobatan

parenteral dengan injeksi nafsilin atau oksasilin dianjurkan untuk infeksi

Staphylococcus yang berat dan sistemik. Untuk pasien yang alergi, dapat diganti
27

dengan vankomisin atau sefalosporin. Pemberian antibiotik kadang kala harus

dilengkapi dengan tindakan bedah, baik untuk pengeringan abses maupun untuk

nekrotomi.

Belum ada vaksin yang tersedia untuk menstimulasi kekebalan tubuh manusia

melawan infeksi Staphylococcus. Serum hiperimun manusia dapat diberikan pada

pasien rumah sakit sebelum tindakan bedah. Upaya pengembangan vaksin dapat

dilakukan jika telah diketahui mekanisme molekuler interaksi antara protein

adhesin Staphylococcus dan reseptor spesifik pada jaringan inang. Komponen

yang dapat menghambat interaksi tersebut sehingga dapat mencegah penempelan

dan kolonisasi bakteri kemungkinan akan dirancang.

Di rumah dan terutama di rumah sakit, penyebaran infeksi Staphylococcus

hanya dapat dibatasi dengan meningkatkan sanitasi higienis, membuang barang-

barang yang terkontaminasi, dan mensterilkan alat-alat yang terkontaminasi.


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat

berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur

seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak

bergerak.

Staphylococcus aureus menyebabkan berbagai jenis infeksi pada kulit, seperti

bisul dan furunkulosis;.infeksi yang lebih serius, seperti pneumonia, mastitis,

febitis, dan meningitis; dan infeksi pada saluran urin. Selain itu, Staphylococcus

aureus juga menyebabkan infeksi kronis, seperti osteomielitis dan endocarditis.

B. Saran

Lebih memperhatikan lingkungan agar jauh dari penyakit dan bakteri,

lebih bisa mengenali jenis penyakit dan cara penanggulangannya selalu

mengecek kondisi rumah dan penghuni rumah dan juga selalu mmperhatikan

kebersihan sekitar agar senantiasa hidup sehat dan terhindar dari ancaman

penyakit.

28
DAFTAR PUSTAKA

FDA. 2012. Bad bug book: Foodborne pathogenic microorganisms and natural

toxins handbook, 2nd ed. US Food and Drug Administration: Silver

Spring.

ICMSF. 1996. Staphylococcus aureus. Ch 17 In: Microorganisms in food 5:

Microbiological specifications of food pathogens. London: Blackie

Academic and Professional.

Montville TJ, Matthews KR. 2008. Food microbiology: An introduction. 2nd ed.

Washington D.C: ASM Press.

Radji, Maksum. 2019. Buku Ajar Mikrobiologi: Panduan Mahasiswa Farmasi

dan Kedokteran. Jakarta: EGC.

Stewart CM. 2003. Staphylococcus aureus and staphylococcal enterotoxins. Ch

12 In:

Hocking AD (ed) Foodborne microorganisms of public health significance. 6th

ed. Sydney: Australian Institute of Food Science and Technology (NSW

Branch).

29

Anda mungkin juga menyukai