Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“BAKTERI VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS PADA IKAN DAN


UDANG”
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Ir. Arief Prajitno, MS.

Disusun oleh:
Rinata Entonnia Putri
NIM. 205080500111038

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah berjudul ‘Bakteri Vibrio Parahaemolyticus
Pada Ikan dan Udang’ sebagai salah satu prasyarat untuk memenuhi
tugas mata kuliah Parasit dan Penyakit Ikan tepat pada waktunya dan
dengan sebaik-baiknya. Melalui penyusunan tugas makalah ini, saya
berharap para pembaca dapat menambah wawasan serta pengetahuan
terkait pembelajaran mata kuliah Parasit dan Penyakit Ikan. Selain itu,
diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.
Sebagai penyusun, saya sepenuhnya sadar bahwa makalah yang
telah saya susun ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, dengan
segala kerendahan hati saya sangat terbuka untuk menerima saran dan
kritik dari para pembaca sekalian. Adapun saran dan kritik dari pembaca
akan sangat membantu untuk menyempurnakan makalah ini.

Malang, 22 April 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR..............................................................................iii

DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................iv

BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................2

1.3 Tujuan.....................................................................................2

BAB 2. PEMBAHASAN........................................................................3

2.1 Bakteri Vibrio parahaemolyticus.................................................3

2.2 Morfologi bakteri Vibrio parahaemolyticus...................................4

2.3 Faktor Pemicu Munculnya Bakteri Vibrio parahaemolyticus di


Perairan.............................................................................................5

2.4 Pencegahan dan Pengobatan Ikan atau Udang yang Terinfeksi


Bakteri Vibrio parahaemolyticus..........................................................7

BAB 3. PENUTUP................................................................................9

3.1 Kesimpulan...............................................................................9

3.2 Saran.......................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA............................................................................11

LAMPIRAN........................................................................................12
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
Gambar 1. Bakteri Vibrio parahaemolyticus (Chiang et al., 2005)...........3
Gambar 2. Udang normal (a); nekrosis pada kepala dan bercak hitam
pada kaki renang (b); bercak hitam pada kaki jalan dan ekor serta
nekrosis pada kepala (c); kulit rusak, nekrosis pada seluruh tubuh, dan
bercak hitam pada bagian kepala (d) (Jannah et al., 2018)......................4
Gambar 3. Bakteri V. Parahaemolyticus yang dikultur pada media TSB
(Yoon dan Lee, 2019)............................................................................5
Gambar 4. Pengaruh suhu dan salinitas terhadap keberadaan bakteri V.
Parahaemolyticus (Puspitasari et al., 2020).............................................6
Gambar 5. Pengaruh pH, NH3, NH4, dan NO2 terhadap keberadaan
bakteri V. Parahaemolyticus (Puspitasari et al., 2020)..............................7
Gambar 6. spons Agelas clathordes (iNaturalist, 2021)..........................8
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
Lampiran 1. Jurnal Arrazy & Primadini (2021).....................................12
Lampiran 2. Jurnal Azhari et al. (2018)...............................................12
Lampiran 3. Jurnal Chiang et al. (2005)..............................................13
Lampiran 4. Jurnal Jannah et al. (2018).............................................13
Lampiran 5. Jurnal Kusmarwati et al. (2017).......................................14
Lampiran 6. Jurnal Mulyani et al. (2013).............................................14
Lampiran 7. Jurnal Puspitasari et al. (2020)........................................15
Lampiran 8. Jurnal Yoon & Lee (2019)...............................................15
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Arrazy dan Primadini (2021) dalam artikel ilmiahnya menjelaskan
bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang
memiliki lebih dari 17.491 pulau dan 16.671 diantaranya telah didaftarkan
ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Luas perairan laut pedalaman dan
peraran kepulauan Indonesia mencapai 3.110.000 km 2, sedangkan luas
territorial, luas zona tambahan, luas zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan
luas landas kontinen Indonesia berturut-turut adalah 290.000 km 2,
270.000 km2, 3.000.000 km2, dan 2.800.000 km2. Besarnya wilayah
perairan yang dimiliki Indonesia dibuktikan dengan semua provinsi
Indonesia yang memiliki pantai. Hal tersebut menandakan besarnya
potensi maritim di Indonesia terutama pada sektor perikanan. Potensi
lestari sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 12,54 juta
ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sumberdaya ikan di laut
Indonesia meliputi 37% dari spesies ikan di dunia, dimana beberapa jenis
diantaranya mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti tuna, udang,
lobster, ikan karang, ikan hias, kekerangan, dan rumput laut.
Hal serupa juga terjadi pada sektor perikanan budidaya di
Indonesia. Potensi lahan perikanan budidaya di Indonesia diperkirakan
sebesar 17,92 juta hektar. Luas lahan tersebut meliputi budidaya air tawar
seluas 2,83 juta hektar, budidaya air payau seluas 2,96 juta hektar, dan
budidaya air laut seluas 12,12 juta hektar (Arrazy dan Primadini, 2021).
Untuk mencapai target produksi perikanan yang tinggi, akuakulturis di
Indonesia sering kali dihadapkan dengan berbagai permasalah yang
menghambat aktivitas budidaya ikan, salah satunya adalah kegagalan
produksi akibat serangan wabah penyakit ikan yang bersifat patogenik
baik yang timbul dari parasit, jamur, bakteri, maupun virus. Penyakit pada

1
ikan juga dapat berasal dari degradasi mutu lingkungan budidaya yang
semakin buruk, yang disebabkan oleh kegiatan budidaya itu sendiri
maupun dari luar lingkungan budidaya (Mulyani et al., 2013). Timbulnya
penyakit akibat lingkungan tersebut pada dasarnya sebagai akibat
terganggunya keseimbangan dan interaksi antara ikan, lingkungan yang
buruk, dan pathogen yang berkembang sehingga menyebabkan penyakit.
Maka dari itu, disusunlah makalah ini sebagai bentuk kajian tentang
bakteri yang menyerang ikan khususnya bakteri Vibrio parahaemolyticus
beserta cara penanggulangan dan penyembuhannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan bakteri Vibrio parahaemolyticus?
2. Bagaimanakah morfologi bakteri Vibrio parahaemolyticus?
3. Apasajakah faktor pemicu munculnya penyakit ikan yang
disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus?
4. Bagaimanakah upaya pencegahan dan pengobatan ikan yang
terinfeksi bakteri Vibrio parahaemolyticus?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi bakteri Vibrio parahaemolyticus.
2. Mengetahui morfologi bakteri Vibrio parahaemolyticus.
3. Mengetahui faktor pemicu munculnya bakteri Vibrio
parahaemolyticus di perairan.
4. Mengetahui upaya pencegahan dan pengobatan ikan atau udang
yang terinfeksi bakteri Vibrio parahaemolyticus.

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Bakteri Vibrio parahaemolyticus


Kusmarwati et al. (2017) dalam artikel ilmiahnya menejelaskan
bahwa Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri alami yang hidup di
lingkungan perairan payau dan pantai serta bersifat pathogen terhadap
komoditas ikan dan udang. Bakteri ini terdapat secara alami di lingkungan
perairan dan seringkali dijumpai di lingkungan budidaya udang. Bakteri ini
termasuk dalam bakteri patogenik Gram negatif yang dapat menyebabkan
penyakit Vibriosis pada ikan dan udang. Selain itu, penyakit Vibriosis yang
ditimbulkan oleh bakteri ini dapat menyebabkan 100% kematian pada
larva maupun ikan-ikan budidaya ukuran konsumsi dalam waktu 1-2 hari
(Azhari et al., 2018). Vibrio parahaemolyticus dapat menyebabkan lisisnya
sel-sel darah pada tubuh inang dan timbulnya bercak kemerahan pada
tubuh udang. Keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada produk
perikanan dapat menyebabkan penyakit bawaan pangan ( foodborne
disease) pada manusia melalui konsumsi pangan mentah atau pengolahan
yang kurang sempurna (Jannah et al., 2018).

Gambar 1. Bakteri Vibrio parahaemolyticus (Chiang et al., 2005)

Bakteri Vibrio parahaemolyticus hidup pada sekitar muara sungai


(brackish water atau estuaria) dan pantai (coastal waters) tetapi tidak
ditemukan hidup di air tawar (deep sea). Bakteri ini hidup pada perairan
yang memiliki kisaran suhu 5-43oC dan memiliki kandungan pH sebesar
4,8-11. Bakteri Vibrio parahaemolyticus memiliki dapat tumbuh dengan

3
optimal pada suhu 37oC dengan waktu generasi hanya 9-10 menit
(Charles-Hernandez, 2006).
Gejala-gejala yang timbul pasca udang diinfeksi oleh V.
parahaemolyticus yaitu tubuh berwarna pucat, kaki memerah, ekor
memerah, ekor merah kecoklatan lalu geripis, karapas lunak, usus kosong,
serta timbulnya bercak hitam pada tubuh khususnya kepala dan ekor serta
kaki renang. Selain itu, bakteri ini menyebabkan matinya jaringan otot
(nekrosis) hampir di seluruh tubuh udang yang ditandai dengan
berubahnya warna tubuh menjadi kemerahan. Usus kosong pada udang
yang terinfeksi bakteri Vibrio parahaemolyticus disebabkan karena
kurangnya nafsu makan pada udang.

Gambar 2. Udang normal (a); nekrosis pada kepala dan bercak hitam
pada kaki renang (b); bercak hitam pada kaki jalan dan ekor serta
nekrosis pada kepala (c); kulit rusak, nekrosis pada seluruh tubuh, dan
bercak hitam pada bagian kepala (d) (Jannah et al., 2018).

2.2 Morfologi bakteri Vibrio parahaemolyticus


Menurut Yoon dan Lee (2019), karakteristik morfologi bakteri Vibrio
parahaemolyticus pada saat kondisi kelaparan berkepanjangan memiliki
lebih sedikit crowding molekul dan membran sitoplasma yang tidak
terorganisir. Morfologi bakteri ini dapat bertransisi dari bentuk batang ke
bentuk coccoid dan berkembang pesat seiring dengan meningkatnya
konsentrasi NaCl di perairan. Terdapat banyak vesikel dalam matriks
sitoplasma dan celah spasial antara bagian luar dan membrane dalam
pada bakteri ini. Morfologi Vibrio parahaemolyticus dapat berubah akibat

4
perlakuan yang diberikan, misalnya kejutan suhu panas. Pengaruh kejutan
suhu panas pada morfologi permukaan bakteri Vibrio parahaemolyticus
menyebabkan perluasan lubang dinding sel dan gangguan pada sel. Sel
bakteri yang belum diberi perlakuan kejut suhu panas memiliki permukaan
dinding sel yang tampak lebih halus (Chiang et al., 2005). Adapun
klasifikasi bakteri Vibrio parahaemolyticus adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Ordo : Vibrionales
Famili : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Spesies : Vibrio parahaemolyticus

Gambar 3. Bakteri V. Parahaemolyticus yang dikultur pada media TSB


(Yoon dan Lee, 2019)

2.3 Faktor Pemicu Munculnya Bakteri Vibrio parahaemolyticus


di Perairan
Menurut Puspitasari et al. (2020), keberadaan bakteri Vibrio
parahaemolyticus sangat dipengaruhi oleh kualitas air yang digunakan
sebagai media budidaya ikan atau udang. Bakteri ini dapat tumbuh dan
berkembang biak dengan optimal pada air kolam yang sudah banyak
mengandung sisa moulting udang dan sisa pakan yang tidak termakan
oleh ikan atau udang. Selain itu, suhu pada perairan juga dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembang biakan bakteri Vibrio
parahaemolyticus. Suhu air tinggi yang berkisar pada 34 oC dapat

5
menyebabkan air lebih cepat menguap dan meningkatkan salinitas air
sehingga meningkatkan populasi bakteri pathogen seperti Vibrio
parahaemolyticus. Hasil penelitian yang dimuat dalam artikel ilmiah
Puspitasari et al. (2020) menjelaskan bahwa populasi bakteri Vibrio
parahaemolyticus dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu,
salinitas, dan suspensi air. Diantara ketiga faktor tersebut, salinitas air
memiliki korelasi yang signifikan dengan poulasi bakteri ini (P<0,05),
sedangkan suhu tidak memiliki korelasi yang signifikan (P>0,05).

Gambar 4. Pengaruh suhu dan salinitas terhadap keberadaan bakteri V.


Parahaemolyticus (Puspitasari et al., 2020)
Keberadaan NH4, NH3, NO2, dan pH di perairan juga mempengaruhi
keberadaan bakteri Vibrio parahaemolyticus. Bakteri ini akan semakin
banyak keberadaannya pada air yang memiliki kadar salinitas serta NH 4,
NH3, dan NO2 tinggi. Namun, bakteri Vibrio parahaemolyticus tidak banyak
ditemukan pada kolam yang memiliki kadar pH tinggi.

6
Gambar 5. Pengaruh pH, NH3, NH4, dan NO2 terhadap keberadaan
bakteri V. Parahaemolyticus (Puspitasari et al., 2020)

2.4 Pencegahan dan Pengobatan Ikan atau Udang yang


Terinfeksi Bakteri Vibrio parahaemolyticus
Menurut Jannah et al. (2018), salah satu alternatif pencegahan
terhadap penyakit Vibriosis adalah pemberian bakteri probiotik. Bakteri
probiotik merupakan mikroba hidup yang dapat meningkatkan
pemanfaatan nutrisi pakan, meningkatkan sistem imun, memperbaiki
kualitas lingkungan hidup inang, meningkatkan kelangsungan hidup ikan
dan udang, dan menekan populasi bakteri Vibrio parahaemolyticus.
Bakteri yang dapat dijadikan sebagai bakteri probiotik merupakan bakteri
dari kelompok Lactobacillus. Bakteri ini merupakan bakteri penghasil asam
laktat yang memproduksi antimicroba berupa bakteriosin yang dapat
menghambat pertumbuhan patogen dan memiliki fungsi dalam kecernaan
nutrisi pada system pencernaan ikan dan udang. Selain itu, pemberian
probiotik Lactobacillus dapat memberikan beberapa keuntungan,
diantaranya adalah meningkatkan nafsu makan, meningkatkan mikroba
dalam usus, mensintesis vitamin, dan menstimulasi sistem kekebalan
tubuh.

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Azhari et al. (2018)


menyatakan bahwa antibiotic juga dapat digunakan untuk mengobati ikan
dan udang yang telah terinfeksi bakteri Vibrio parahaemolyticus. Antibiotik
yang digunakan oleh para pembudidaya diantaranya adalah

7
Oxytetracycline, Tetracycline, Tuinolones, Tulphonamides, dan
Trimethoprim. Namun, krisis resistensi antibiotik telah memunculkan
kesadaran menggunakan antibiotik dari bahan alami untuk mengobati
penyakit ikan dan udang yang diakibatkan oleh bakteri Vibrio
parahaemolyticus ini. Antibiotik dari bahan alami dipilih karena mudah
terurai dan tidak meninggalkan residu. Selain itu, bahan-bahan alami
seperti spons memiliki kemampuan spesifik untuk menembus dinding sel
bakteri sehingga sangat berpotensi digunakan sebagai bahan antibakteri.
Penelitian yang dilakukan pada spons A. clathordes menunjukkan hasil
bahwa spesies spons tersebut memperlihatkan aktivitas antibakteri
terhadap Vibrio parahaemolyticus dengan zona hambat makin besar
seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak spons A. clathordes
yang diberikan.

Gambar 6. spons Agelas clathordes (iNaturalist, 2021)

8
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah berjudul “Bakteri Vibrio
parahaemolyticus Pada Ikan dan Udang” ini adalah sebagai berikut:

1. Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri alami yang hidup di


lingkungan perairan payau dan pantai serta bersifat pathogen
terhadap komoditas ikan dan udang.
2. Gejala-gejala yang timbul pasca udang diinfeksi oleh V.
parahaemolyticus yaitu tubuh berwarna pucat, kaki memerah, ekor
memerah, ekor merah kecoklatan lalu geripis, karapas lunak, usus
kosong, serta timbulnya bercak hitam pada tubuh khususnya
kepala dan ekor serta kaki renang.
3. Karakteristik morfologi bakteri Vibrio parahaemolyticus pada saat
kondisi kelaparan berkepanjangan memiliki lebih sedikit crowding
molekul dan membran sitoplasma yang tidak terorganisir.
4. Keberadaan bakteri Vibrio parahaemolyticus sangat dipengaruhi
oleh kualitas air yang digunakan sebagai media budidaya ikan atau
udang.
5. Alternatif pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit Vibriosis
adalah pemberian bakteri probiotik yang merupakan mikroba hidup
yang dapat meningkatkan pemanfaatan nutrisi pakan,
meningkatkan sistem imun, memperbaiki kualitas lingkungan hidup
inang, meningkatkan kelangsungan hidup ikan dan udang, dan
menekan populasi bakteri Vibrio parahaemolyticus.

3.2 Saran
Pengetahuan tentang parasit dan penyakit ikan khususnya yang
ditimbulkan oleh bakteri Vibrio parahaemolytichus pada ikan dan udang
yang dibudidayakan sangatlah penting untuk menunjang pengetahuan
terkait bidang mata kuliah Parasit dan Penyakit Ikan. Banyak sekali studi

9
kasus yang membahas tentang bakteri pada kolam budidaya yang telah
dilakukan oleh banyak ilmuan maupun akademisi. Oleh karena itu,
diperlukan lebih tulisan ilmiah dengan menggunakan lebih banyak literatur
acuan agar dapat menambah informasi dan wawasan tentang bakteri
Vibrio parahaemolytichus pada ikan dan udang serta upaya
penanggulangannya untuk pengembangan akuakultur agar meningkatkan
pengetahuan yang menunjang kegiatan budidaya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Arrazy, M., & R. Primadini. (2021). Potensi subsektor perikanan pada


provinsi-provinsi di Indonesia. Jurnal Bina Bangsa
Ekonomika, 14(1), 1-13.
Azhari, D., A. M. Makisake, A. M. Tomasoa, G. Lumiu, & W. Balansa.
(2018). Aktivitas antibakteri ekstrak kasar spons Agelas clathrodes
terhadap bakteri patogenik ikan Vibrio parahaemolyticus. Jurnal
Ilmiah Tindalung, 4(2), 53-56.
Charles-Hernández, G. L., E. Cifuentes, & S. J. Rothenberg. (2006).
Environmental factors associated with the presence of Vibrio
parahaemolyticus in sea products and the risk of food poisoning in
communities bordering the Gulf of Mexico. Journal of
Environmental Health Research, 5(2), 75.
Chiang, M. L., Yu, R. C., & Chou, C. C. (2005). Fatty acid composition, cell
morphology and responses to challenge by organic acid and sodium
chloride of heat-shocked Vibrio parahaemolyticus. International
journal of food microbiology, 104(2), 179-187.
Jannah, M., M. Junaidi, D. N. A. Setyowati, D. N. A. Setyowati, & F. A.
Fariq Azhar. (2018). Pengaruh pemberian Lactobacillus sp. dengan
dosis yang berbeda terhadap sistem imun udang vaname
(Litopenaeus vannamei) yang diinfeksi bakteri Vibrio
parahaemolyticus. Jurnal Kelautan, 11(2), 140-150.
Kusmarwati, A., Y. Yenni, & N. Indriati. (2017). Resistensi antibiotik pada
Vibrio parahaemolyticus dari udang vaname asal pantai utara Jawa
untuk pasar ekspor. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan
dan Perikanan, 12(2), 91-106.
Mulyani, Y., E. Bachtiar, & M. U. K. Agung. (2013). Peranan senyawa
metabolit sekunder tumbuhan mangrove terhadap infeksi bakteri
Aeromonas hydrophila pada ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Jurnal
Akuatika, 4(1), 1-9.
Puspitasari, I., C. D. Mulyasari, & I. G. R. Yudana. (2020). Korelasi
populasi vibrio terhadap faktor lingkungan pada kolam
pemeliharaan larva udang vannamei ( Litopenaeus vannamei) di
Situbondo, Indonesia. Chanos chanos, 18(2), 73-81.
Yoon, J. H., & S. Y. Lee. (2020). Characteristics of viable-but-
nonculturable Vibrio parahaemolyticus induced by nutrient-
deficiency at cold temperature. Critical Reviews in Food Science
and Nutrition, 60(8), 1302-1320.

11
LAMPIRAN

Lampiran 1. Jurnal Arrazy & Primadini (2021)

Lampiran 2. Jurnal Azhari et al. (2018)

12
Lampiran 3. Jurnal Chiang et al. (2005)

Lampiran 4. Jurnal Jannah et al. (2018)

13
Lampiran 5. Jurnal Kusmarwati et al. (2017)

Lampiran 6. Jurnal Mulyani et al. (2013)

14
Lampiran 7. Jurnal Puspitasari et al. (2020)

Lampiran 8. Jurnal Yoon & Lee (2019)

15

Anda mungkin juga menyukai