Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH ILMU PENYAKIT BAKTERIAL DAN MIKAL

PARAKOKSIDIOMIKOSIS

Anggota kelompok : Tanda tangan


Dinda Purnomo Putri 130210170031 ……………..
Daniswara Danindra D. 130210170034 ……………..
Vinne Chandra Sentosa 130210170041 ……………..
Khairunnisa Lazuardini 130210170046 ……………..

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan karunia-Nya MAKALAH ILMU PENYAKIT BAKTERIAL DAN
MIKAL dengan topik PARAKOKSIDIOMIKOSIS ini telah dapat diselesaikan
dengan cukup baik. Meskipun terdapat cukup banyak hambatan dalam proses
pengerjaannya, penulis telah berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada segenap dosen pengampu
mata kuliah Ilmu Penyakit Bakterial dan Mikal yang telah membantu memberikan
arahan serta bimbingan untuk mengerjakan makalah ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada para pemateri dan teman-teman sekalian yang telah memberikan
kontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam setiap prosesnya.
Tentunya ada hal-hal yang ingin penulis ke masyarakat melalui laporan ini.
Karena itu, penulis berharap semoga segenap isi dari makalah ini dapat diterima
hingga menjadi sesuatu yang berguna bagi kita bersama.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu, penulis sangat mengharapkan evaluasi berupa kritik dan saran yang bersifat
membangun.
Demikian makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Penyakit Bakterial dan Mikal.

Jatinangor, Desember 2019

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I: PENDAHULUAN ......................................................................... 1
I.1. Latar Belakang........................................................................... 1
I.2. Tujuan ...................................................................................... 2
I.3. Manfaat .................................................................................... 2
BAB II: ISI ................................................................................................. 3
II.1. Etiologi ................................................................................... 3
II.2. Inang (Host) ............................................................................ 4
II.3. Distribusi Geografis (Epidemiologi)........................................ 4
II.4. Cara Penularan......................................................................... 4
II.5. Gejala Klinis............................................................................. 4
II.6. Diagnosa................................................................................... 5
II.7. Diagnosa Differensial............................................................... 5
II.8. Treatment dan Pengendalian.................................................... 5
BAB III: PENUTUP .................................................................................. 7
III.1. Kesimpulan ........................................................................... 7
III.2. Saran ...................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Mikosis adalah infeksi jamur yang bisa mengenai manusia dan juga
hewan. Infeksi ini biasanya timbul dari spora-spora jamur yang terhirup
sehingga menjadi infeksi jamur pada paru-paru ataupun pada kulit. Mikosis
umumnya menyerang individu dengan sistem imun yang lemah. Adapun
mikosis yang paling yang paling umum ditemukan adalah ringworm
(dermatofitosis), sporotrikosis, dan aspergillosis; termasuk juga
parakoksidiomikosis. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya mikosis,
diantaranya: udara yang lembab, lingkungan yang padat, sosial ekonomi
yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit
sistemik, serta penggunaan obat antibiotik, steroid, sitostatika yang tidak
terkendali (Rao, 2006).
Mikosis dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, yaitu:
1. Mikosis superfisial
Mikosis superfisial adalah penyakit kulit yang disebabkan jamur
yang menyerang lapisan kulit paling atas (epidermis). Penyakit ini
dapat menyerang bagian kulit, rambut dan kuku. Beberapa penyakit
yang termasuk ke dalam mikosis superfisial yaitu: superficial
phaeohyphomycosis, tinea versicolor, black piedra, dan white
piedra.
2. Mikosis kutis
Mikosis kutis adalah infeksi yang disebakan oleh jamur yang
menyerang pada daerah superfisial yang terkeratinisasi seperti pada
kulit, rambut dan kuku; tetapi tidak ke jaringan yang lebih dalam.
Beberapa penyakit yang termasuk ke dalam mikosis kutis yaitu:
dermatofitosis dan dermatomikosis.
3. Mikosis subkutis
Mikosis subkutis adalah infeksi oleh jamur yang mengenai kulit,
lapisan bawah kulit (meliputi otot dan jaringan konektif (jaringan
subkutis)) serta tulang. Beberapa penyakit yang termasuk ke dalam
mikosis subkutis yaitu: kromoblastomikosis, rhinosporidiasis,

1
mycetoma, sporotrikosis, subcutaneous phaeohyphomycosis, dan
lobomikosis.
4. Mikosis sistemik (deep)
Mikosis sistemik adalah infeksi jamur yang mengenai organ
internal dan jaringan dalam. Seringkali tempat infeksi awal adalah
paru-paru, kemudian menyebar melalui darah (hematogenous).
Setiap jamur cenderung menyerang satu organ tertentu. Beberapa
penyakit yang termasuk ke dalam mikosis sistemik yaitu:
blastomikosis, histoplasmosis, koksidioidomikosis, dan
parakoksidiomikosis.
5. Mikosis oportunis
Mikosis oportunis adalah infeksi jamur yang biasanya tidak
menyebabkan penyakit pada hewan dengan sistem kekebalan tubuh
yang normal, tetapi dapat menyerang hewan dengan sistem
kekebalan tubuh yang buruk. Beberapa penyakit yang termasuk ke
dalam mikosis oportunis yaitu: candidiasis, kriptokokosis, dan
aspergillosis.
6. Mikosis lain
Mikosis lainnya, seperti otomycosis dan occulomycosis.
(Brooks et al., 2013)
I.2. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1.2.1 Mengetahui etiologi penyebab parakoksidiomikosis
1.2.2 Mengetahui inang (host) dari parakoksidiomikosis
1.2.3 Mengetahui distribusi geografis (epidemiologi) parakoksidiomikosis
1.2.4 Mengetahui cara penularan dan gejala klinis parakoksidiomikosis
1.2.5 Mengetahui diagnosa dan diagnosa differensial parakoksidiomikosis
1.2.6 Mengetahui treatment dan pengendalian parakoksidiomikosis

I.3. Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini adalah untuk memberikan edukasi dan
pemahaman mengenai parakoksidiomikosis dan langkah-langkah preventif
beserta pengobatan terhadap penyakit ini.

2
BAB II
ISI
II.1. Etiologi
Parakoksidiomikosis disebabkan oleh jamur Paracoccidioides
brasiliensis yang merupakan jamur patogen; berbentuk dimorfik yang hidup
di tanah pada suhu 37°C dan dapat membentuk miselium. Imbuhan kata
“Para-“ pada awal kata menunjukkan makna “mirip dengan” Coccoides sp.
pada koksidiomikosis.

Gambar 1. P. brasiliensis yeast (36 ℃ ), bentuk miselium (18 ℃ ) dan konidia.


Bentuk makroskopis koloni dari yeast (A) dan bentuk miselium (B). Mikroskopis
dari sel pada media kultur dari yeast (C) dan bentuk miselium (D). Analisis dengan
scanning electron microscopy dari sel konidia (E) dan (F) (panah putih: konidia
intercalary).

Klasifikasi ilmiah
Kingdom: Fungi
Divisi: Ascomycota
Kelas: Eurotiomycetes
Ordo: Onygenales
Famili: Ajellomycetaceae
Genus: Paracoccidioides
Spesies: P. brasiliensis
Nama binonial

3
Paracoccidioides brasiliensis
(Splend.) F.P.Almeida (1930)
Sinonim
Zymonema brasiliensis
Splend. (1912)
Coccidioides brasiliensis
F.P.Almeida (1929)

(Queiroz-Telles et al., 2011)


II.2. Inang (Host)
P. brasiliensis dapat menimbulkan penyakit pada berbagai jenis mamalia,
seperti: manusia, anjing, kucing, kambing, sapi, domba dan babi.
II.3. Distribusi Geografis (Epidemiologi)
Parakoksidiomikosis endemik di daerah tropis yang lembab dan daerah
subtropis di Amerika Latin, dimulai dari Mexico Selatan, Argentina,
Uruguay, Venezuela, Colombia, dan Brasil. 80% kasus terdeteksi terjadi di
Brasil (Martinez, 2015).
II.4. Cara Penularan
P. brasiliensis merupakan jamur dimorfik. Di lingkungan dengan suhu di
bawah 35°C, jamur ini akan berbentuk kapang yang menghasilkan konidia
sebagai bentuk infeksiusnya; sedangkan di dalam jaringan dengan suhu 37°C,
jamur ini berbentuk khamir. Infeksi terjadi setelah inhalasi spora jamur yang
terdapat di lingkungan. Umumnya, infeksi terjadi secara asimptomatis atau
timbul gejala mild respiratory disease (Martinez, 2015).
II.5. Gejala Klinis
Infeksi parakoksidiomikosis umunya tidak menunjukan simptom dari
kejadian penyakit. Penyakit infeksi ini dibagi ke dalam dua kelompok, yakni
akut-sub akut dan kronis. Bentuk akut-sub akut dari kejadian penyakit ini
ditunjukkan dengan adanya aktivitas sistem monosit-makrofag pada
limfonodus, liver, limpa, dan sumsum tulang. Sedangkan pada kejadian
penyakit yang sudah kronis, infeksi dapat berjalan unifocal maupun
multifocal. Parakoksidiomikosis juga berhubungan dengan imunosupresi,
terutama penyakit gangguan paru-paru kronis, stenosis, gangguan saluran
pernapasan atas, dan insufisiensi adrenal (Weber et al., 2006).

4
II.6. Diagnosa
Diagnosa untuk mengidentifikasi parakoksidimikosis dapat dilakukan
melalui serangkaian uji laboratorium, seperti uji serologi, kultur kapang dan
histopatologi, serta tes darah. Metode lain seperti rontgen dada, x-ray,
biopsi serta tes fungsi hati, urea, sodium, dan potassium juga dapat
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa (sebagai penunjang)
(Brummer et al., 1993).
II.7. Diagnosa Differensial
Adapun diagnosa differensial dari parakoksidimikosis, diantaranya:
1. Pulmonary tuberculosis dan atypical mycobacterioses
2. Sarcoidosis
3. Histoplasmosis
4. Idiopathic difuse interstitial pneumonitis
5. Silikosis kronis
6. Koksidioidomikosis
7. Kromoblastomikosis
8. Cutaneous and visceral leishmaniasis
9. Cutaneous and laryngeal leishmaniasis
10. Leprosi
(Marques, 2012)

II.8. Treatment dan Pengendalian


Treatment dan pengendalian dapat dilakukan dengan pengobatan
menggunakan antifungal. P. brasiliensis rentan secara in-vitro terhadap
sebagian besar agen antijamur/antifungal, tidak seperti infeksi jamur sistemik
lainnya. Bentuk ringan dan sedang dapat diobati dengan pemberian
itrakonazol selama 9 sampai 18 bulan. Itrakonazol telah terbukti lebih efektif
dengan durasi pengobatan yang lebih singkat dan lebih ditoleransi. Minuman
asam telah terbukti mengurangi penyerapan itrakonazol, jadi harus dihindari
selama masa pengobatan. Co-trimoxazole juga dapat diberikan sebagai
alternatif itrakonazol, terutama pada penderita gangguan otak dan individu
yang sedang hamil/bunting.

5
Untuk kasus yang parah, pengobatan secara intravena dengan
amfoterisin B diberikan selama rata-rata 2 hingga 4 minggu. Prednisolon
yang diresepkan bersamaan dapat mengurangi peradangan selama
pengobatan.
Pasien harus dirawat secara intensif hingga kondisi mulai stabil kembali,
yang disertai dengan peningkatan berat badan. Perhatikan juga asupan nutrisi
untuk mempercepat proses persembuhan. Pada penderita HIV/AIDS, sangat
disarankan untuk dirawat secara khusus dan diberi penanganan terhadap
kemungkinan komplikasi penyakit-penyakit lain, seperti: pneumonia dan
candidiasis. Selain itu, pengobatan dengan trimethoprim-sulfamethoxazole
(TMP-SMZ) juga sangat disarankan pada pasien HIV untuk profilaksis (F.
Franco et al., 1994; Restrepo et al., 2008).

6
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh berdasarkan isi makalah ini, yaitu:
1. Parakoksidiomikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
jamur patogen berbentuk dimorfik, Paracoccidioides brasiliensis.
2. P. brasiliensis dapat menimbulkan penyakit pada berbagai jenis
mamalia, seperti: manusia, anjing, kucing, kambing, sapi, domba
dan babi.
3. Parakoksidiomikosis merupakan penyakit mikosis yang endemik di
Amerika Latin, terutama di Brasil.
4. Parakoksidiomikosis umumnya terjadi secara asimptomatis dan
dapat dideteksi dengan uji serologis.
5. Treatment dan pengendalian dapat dilakukan dengan pengobatan
menggunakan antifungal, seperti: itrakonazol, co-trimoxazole,
ampoterisin B (dengan prednisolon), dan
trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMZ) sebagai profilaksis
bagi penderita HIV/AIDS.
III.2. Saran
Makalah ini diharapkan dapat dijadikan sarana untuk pengembangan
belajar. Selain itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi
kesempurnaan penulisan laporan di kemudian hari.

7
DAFTAR PUSTAKA
Brummer, E., Castaneda, E., & Restrepo, A. 1993. Paracoccidioidomycosis: an update.
Clinical Microbiology.
Brooks, G.F., Carroll K.C., Butel J.S., Morse, et al. 2013. Mikrobiologi. Kedokteran
Jawetz, Melnick, & Adelberg. Ed. 25. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
F. Franco, Marcello; Del Negro, Gildo; Lacaz, Carlos da Silva; Restrepo-Moreno,
Angela. 1994. Paracoccidioidomycosis. Boca Raton: CRC Press.
Martinez R. 2015 .Epidemiology of Paracoccidioidomycosis. Rev Inst Med Trop Sao
Paulo 2015;57 Suppl 19:11-20.
Marques, S. A. 2012. Paracoccidioidomycosis. Clinics in Dermatology, 30(6),
610–615.
Rao S.P.N. 2006. Introduction of Mycology. JJMMC. Davangere: Dept. of
Microbiology.
Restrepo, Angela; Tobón, Angela M.; Agudelo, Carlos A. 2008.
"Paracoccidioidomycosis", Diagnosis and Treatment of Human Mycoses,
Infectious Disease. Totowa: Humana Press. pp. 331–342,
Queiroz-Telles, Flavio; Escuissato, Dante. 2011. Pulmonary
Paracoccidioidomycosis. Seminars in Respiratory and Critical Care
Medicine. 32 (6): 764–774.
Weber S.A., Brasolotto A., Rodrigues L., Marcondes-Machado J., Padovani C.R.,
Carvalho L.R., et al. 2006. Dysphonia and laryngeal sequelae in
paracoccidioidomycosis patients: a morphological and phoniatric study. Med
Mycol.44:219–225.

Anda mungkin juga menyukai