Anda di halaman 1dari 10

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbagai metode dikembangkan dalam mempersiapkan jaringan agar dapat
dipelajari dan mirip dengan keadaan alaminya (Gartner dan Hiatt 2007). Salah
satu metode yang banyak digunakan adalah metode parafin. Metode parafin
merupakan suatu cara pembuatan preparat permanen dengan menggunakan
parafin sebagai media embedding (Gunarso 1986). Parafin meresap ke jaringan
dalam bentuk cair dan membeku dengan cepat ketika didinginkan. Hal ini
mencegah perubahan struktur jaringan selama di mikrotom. Metode parafin
memberikan pemotongan yang berkualitas dan cocok dengan sebagaian besar
pewarnaan baik umum ataupun pewarnaan khusus (Suvarna et al. 2008).
Tahapan dalam pembuatan sediaan histologi meliputi sampling, fiksasi,
dehidrasi dan clearing, infiltrasi, embedding, sectioning, dan stainning. Fiksasi
adalah proses pemeliharaan jaringan menggunakan agen kimia yang bertujuan
untuk menghambat perubahan jaringan menuju kematian (setelah di keluarkan
dari tubuh) dan juga untuk mempertahankan arsitektur normalnya (Gartner dan
Hiatt 2007). Setelah difiksasi, organ dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat
(dehidrasi) untuk menarik cairan jaringan. Kemudian dilakukan clearing untuk
menggantikan tempat alkohol dalam jaringan (Uray 2009). Reagen dalam proses
clearing bereaksi intermediet diantara zat pengdehidrasi dan penginfiltrasi.
Reagen clearing seharusnya larut di dalam kedua zat tersebut (Suvarna et al.
2008). Setelah di clearing, organ diinfiltrasi dan di embedding menggunakan
parafin, sehingga memudahkan organ untuk dipotong. Setelah didapatkan
potongan seperti yang diharapkan, selanjutnya dilakukan pewarnaan (Maynard et
al. 2014).
Untuk dapat membuat sediaan histologi maka dilakukan praktikum
pembuatan sediaan histologi pankreas menggunakan metode parafin. Dengan
praktikum ini juga diharapkan agar praktikan dapat memahami serangkaian proses
pembuatan sediaan histologi dengan baik dan mampu menganalisis hasil sayatan.
Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Membuat sediaan histologi dari organ pankreas tikus (Rattus norvegicus L.)
menggunakan 2 larutan fiksatif berbeda yaitu Bouin dan Paraformadehid.
2. Menganalisis sediaan histologi dari organ pankreas tikus (Rattus norvegicus
L.)

2 METODE
Waktu dan Tempat
Praktikum teknik histologi dilaksanakan dari bulan November 2015 sampai
bulan Januari 2016. Praktikum ini dilakukan di Laboratorium Histologi
Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah mikrotom, balok holder,
tutup pagoda, tissue cassette, inkubator, kaca objek, cover glass, sarung tangan,
masker, alat bedah, kertas label, gelas ukur, pipet tetes, spatula, bunsen, neraca
digital, kamera digital, dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah 2 ekor tikus
putih betina Sprague Dawley, larutan Bouin, larutan paraformaldehid, NaCl
fisiologis, larutan dehidrasi (alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95
%, dan alkohol absolut), larutan penjernih (xylol), parafin, hematoksilin, eosin,
Distiled Water, entelan (perekat), ketamine dan xylazine, kertas tissu.
Cara Kerja
Pengambilan Sampel Organ atau Sampling
Tikus dibius menggunakan ketamine dan xylazine. Penginduksian
ketamine dan xylazine dilakukan secara intraperitoneal. Ujung-ujung jari tikus
dipencet untuk memastikan apakah tikus sudah terbius sempurna. Jika tikus
sudah tebius sempurna, dilakukan pembedahan dan pengambilan sampel organ.
Fiksasi dan Stopping Point
Proses fiksasi dilakukan menggunakan 2 metode, yaitu metode perfusi dan
metode langsung. Tikus A difiksasi secara perfusi menggunakan larutan fiksatif
paraformaldehid sedangkan tikus B difiksasi secara nekropsi menggunakan
larutan fiksatif bouin. Organ-organ dari tikus A direndam selama 1 minggu dalam
larutan paraformadehid. Organ-organ tikus B direndam dalam larutan bouin
selama 24 jam. Organ disayat untuk membantu dan mempercepat proses fiksasi,
kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette, diberi label. Setelah difiksasi,
organ dimasukkan ke dalam alkohol 70% sebagai stopping point.
Dehidrasi
Organ dimasukkan kedalam alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama
24 jam, kemudian dimasukkan ke dalam alkohol absolut I selama 1 jam, alkohol
absolut II selama 1 jam, dan alkohol absolut III selama 1 jam.

Penjernihan atau Clearing


Proses ini dilakukan dengan menggunakan larutan xylol, yaitu dimulai dari
memasukkan pankreas kedalam xylol I selama 1 jam, kemudian xylol II selama 1
jam, xylol III dengan suhu kamar selama 30 menit, dan selama 30 menit
berikutnya di dalam inkubator suhu 37.
Penanaman Jaringan dalam Parafin atau Embeding
Tahapan ini terdiri dari tiga proses yaitu infiltrasi parafin, penanaman
jaringan, dan pembuatan blok jaringan. Proses pertama dilakukan dengan
memasukkan organ ke dalam parafin I selama 1 jam, parafin II selama 1 jam, dan
ke dalam parafin III selama 1 jam. Proses infiltrasi parafin dilakukan di dalam
inkubator.
Proses selanjutnya adalah penanaman jaringan ke dalam parafin
menggunakan alat Tissue Embedding Console. Proses ini di mulai dengan
mengolesi tutup pagoda dengan gliserin dalam kondisi hangat di atas hotplate
bersuhu 67C, kemudian parafin cair dituangkan ke dalam tutup pagoda secara
perlahan hingga permukaan parafin cembung. Jaringan dengan segera diletakkan
ke dalam parafin dengan menggunakan pinset secara hati-hati. Dalam satu tutup
pagoda dapat diisi dengan lebih dari satu sampel dan letaknya diatur sedemikian
rupa untuk memudahkan proses pemotongan. Setiap sampel diberi label
menggunakan kertas yang ditanamkan di bagian tepi tutup pagoda. Tutup pagoda
kemudian dipindahkan dari keadaan hangat ke bagian dingin (cold plate) selama
beberapa saat sampai membeku, dalam proses pemindahan ini perlu dijaga agar
organ-organ yang telah ditata tidak bergerak sehingga akan mengalami perubahan
posisi. Setelah dari cold plate, tutup pagoda dipindahkan ke dalam air untuk
membantu pembekuan parafin agar lebih sempurna.
Tahapan selanjutnya adalah pembuatan blok jaringan. Proses ini diawali
dengan mengeluarkan parafin dari tutup pagoda. Potongan parafin yang
membungkus jaringan dipotong sampai membentuk kotak. Pisau yang sudah
dipanaskan di atas bunsen digunakan untuk merapikan potongan parafin dan
menempelkannya pada balok kayu. Serpihan parafin diletakkan di atas blok kayu
untuk membantu penempelan parafin, kemudian serpihan parafin dilelehkan
menggunakan pisau yang telah dipanaskan. Sampel diletakkan di atas pisau panas
dan secara perlahan ditempelkan diatas balok kayu yang telah dialasi parafin cair.
Sampel siap untuk dipotong, blok parafin dapat disimpan dalam lemari es sebelum
dipotong dengan mikrotom.
Pemotongan atau Sectioning
Setelah jaringan ditanam di dalam parafin dan ditempelkan pada blok kayu,
jaringan siap dipotong menggunakan mikrotom. Blok parafin dipasang pada
mikrotom lalu posisinya diatur agar memperoleh hasil potongan yang optimal.
Sediaan dipotong dengan ketebalan maksimal 5 m. Sebelum dipotong, sediaan
ditrimming terlebih dahulu untuk membuang parafin yang tidak digunakan,
mendapatkan hasil sayatan yang baik serta mendapatkan potongan yang utuh.
Setelah dipotong, sayatan diambil dengan potongan kertas yang basah pada bagian
ujungnya lalu diapungkan di atas aquades untuk membuka lipatan. Kemudian
sayatan dipindahkan ke dalam air hangat dengan suhu 37 untuk menghilangkan

kerutan, lalu diletakkan pada gelas objek untuk dilihat hasilnya di bawah
mikroskop. Gelas objek yang terlekat oleh jaringan diberi label sesuai dengan
kode sampel dan dikeringkan. Sediaan disimpan di inkubator dengan suhu 37C
selama untuk dilanjutkan dengan proses pewarnaan.
Pewarnaan atau Stainning
Jaringan diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. Jaringan yang
akan diwarnai diletakkan di dalam inkubator 67 C selama 3 menit. Jaringan
kemudian dikelurkan dan diletakkan dalam suhu ruang selama 5 menit. Proses
selanjutnya adalah deparafinisasi dengan xylol yang bertujuan untuk
menghilangkan parafin pada jaringan. Dimulai dari memasukkan jaringan ke xylol
III selama 3 menit, xylol II selama 3 menit, dan xylol I selama 5 menit. Langkah
berikutnya adalah proses rehidrasi yang bertujuan mengembalikan cairan kedalam
jaringan dengan menggunakan larutan alkohol. Proses rehidrasi yang pertama
adalah memasukkan jaringan ke dalam alkohol absolut III, II, I masing-masing
selama 3 menit, kemudian jaringan dimasukkan ke dalam alkohol 95%, 90%, 80%
secara bergantian dan masing-masing selama 3 menit, kemudian dimasukkan
dalam alkohol 70% selama 5 menit. Setelah dimasukkan kedalam alkohol
bertingkat, langkah yang selanjutnya dilakukan adalah memasukkan jaringan
kedalam air kran selama 5-10 menit dan terakhir kedalam akuades selama 10
menit. Setelah masuk kedalam larutan akuades selama 10 menit, hematoksilin
dipipetkan ke jaringan selama 1 menit sampai pewarna berhasil mewarnai intisel.
Sediaan jaringan kembali direndam dalam air kran selama 10 menit dan di dalam
akuades selama minimal 5 menit. Pewarnaan kembali dilanjutkan dengan
memipetkan pewarna eosin selama 3 menit untuk mewarnai sitoplasma jaringan.
Sediaan jaringan kembali direndam dalam akuades selama 5 menit. Tahapan
berikutnya adalah dehidrasi yang bertujuan menarik air dari jaringan agar tetap
awet dan tidak cepat rusak. Sediaan jaringan dicelupkan 2-3 kali secara berurutan
kedalam larutan alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, absolut I dan absolut II, kemudian
di dalam absolut III selama 1 menit. Proses terakhir adalah penjernihan atau
clearing yaitu dimulai dengan mencelupkan jaringan 2-3 kali kedalam larutan
xylol I dan xylol II, kemudian dimasukkan ke dalam xylol III selama 1 menit.
Setelah melakukan pewarnaan, maka proses selanjutnya adalah mounting, yaitu
penutupan sediaan dengan menggunakan entelan sebagai perekat.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


I.Pembuatan Sediaan Histologi.
Dalam praktikum ini Proses fiksasi menggunakan 2 larutan yang berbeda,
yaitu larutan paraformaldehid dan bouin. Larutan paraformaldehid terdiri dari
formalin, NaCl, Aquades dan KOH sebagai penjernih. Larutan Bouin terdiri dari
Asam picrat, formalin, dan acetic acid glacial.
Cairan fiksasi dialirkan dengan menggunakan 2 metode. Metode pertama
adalah dengan nekropsi yang dilakukan segera setelah hewan coba sudah terbius
sempurna agar mencegah perubahan jaringan yang disebabkan autolisis sel.
Sedangkan metode kedua adalah perfusi.
Perfusi merupakan metode pada teknik histologi untuk mengalirkan cairan
fiksasi ke dalam jaringan dengan waktu yang relatif cepat, sehingga gambaran
histologi yang diperoleh mewakili keadaan sesaat sebelum kematian. Metode ini
membutuhkan peran pembuluh darah yang akan menyalurkan dan memberikan
akses ke setiap jaringan dalam waktu yang cepat. Sel akan memulai proses
autolisis segera setelah proses anoksia (kekurangan oksigen) terjadi. Jadi, semakin
cepat larutan fiksatif sampai ke setiap sel, maka proses autolisis pun semakin
cepat berhenti.

Gambar 1. Metode perfusi pada hewan coba. Keterangan: a. Ventrikel kiri, b.


Atrium kanan.
Perfusi diawali dengan menyayat bagian atas abdomen dari tikus yang
sudah dibius. Penyayatan dilanjutkan ke sekitaran daerah jantung tanpa mengenai
organ. Atrium kanan disayat sedikit dan ventrikel kiri segera dialiri dengan garam
fisiologi NaCl agar jantung tetap berdenyut dan darah yang hilang digantikan
dengan NaCl. Jika darah yang keluar dari atrium kanan telah bening maka cairan
NaCl digantikan dengan larutan fiksatif, sehingga larutan fiksatif ini dapat
mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah tikus.
Tahapan fiksasi berdasarkan Gage et. (2012) adalah dimulai dengan insisi
pada lateral melewati integument dan dinding abdomen, dilanjutkan insisi pada
diafragma dan daerah tersebut dipotong untuk mengekspos jantung. Kemudian
potongan paralel dibuat pada kedua sisi tulang iga (costae) hingga tulang
scapulae.

Gambar 2. Preparasi hewan coba (sumber : Gage et al. 2012)


Jarum perfusi diletakkan melalui potongan ventrikel menuju aorta asendens.
1 set hemostat yang lain dapat digunakan untuk klem aorta, yaitu kira-kira pada
ujung jarum untuk mencegah kebocoran. Selanjutnya gunakan gunting iris untuk
membuat insisi kecil pada akhir posterior ventrikel kiri. Kemudian buka katupnya
dan sambungkan dengan jarum yang sudah dimasukkan ke dalam jantung tikus.
Pastikan tidak ada gelembung udara di dalam saluran tersebut. Pompa dengan
tekanan 80 mmHg dan jaga tekanan hingga infus dapar selesai. Ketika dapar akan
selesai (200 ml), ganti alur katup dapar sehingga cairan fiksatif dapat masuk.

Gambar 3. Metode perfusi pada hewan coba (sumber : Gage et al. 2012).
Setelah difiksasi berdasarkan waktu yang telah ditentukan, organ
dimasukkan ke dalam alkohol 70% sebagai stopping point, dan dilanjutkan
dengan dehidrasi. Dehidrasi merupakan proses penarikan cairan jaringan dengan
menggunakan alkohol bertingkat. Kemudian dilakukan perjernihan atau clearing,
yaitu proses menggantikan alkohol dalam jaringan. Kemudian organ di infiltrasi
dan ditanam dalam parafin. Organ kemudian siap dipotong dan diwarnai.
Pewarnaan dengan menggunakan hematoksilin dan eosin merupakan
metode yang paling banyak digunakan dalam pembuatan preparat histologis.
Pewarnaan ini terdiri dari 2 jenis zat warna, yaitu hematoksilin yang fungsinya
untuk mewarnai inti sel menjadi biru. Sedangkan eosin fungsinya untuk mewarnai
sitoplasma menjadi merah.

II.
Sediaan Histologi Organ Pankreas Tikus
Hasil pengamatan pada sediaan histologi pankreas dengan pewarnaan
Hematoksilin Eosin (HE) dapat dilihat pada gambar 4. Hal utama yang dapat
dilihat dari sediaan pada gambar tersebut adalah pulau langerhans yang dikelilingi
oleh sel-sel acinar. Selain itu juga terdapat jaringan ikat dan pembuluh darah. Inti
sel bewarna biru gelap dengan sitoplasma sel bewarna merah sebagai ciri khas
dari pewarnaan HE. Hematoksilin merupakan zat warna yang bersifat basa
sehingga dapat mewarnai inti sel yang bersifat asam sedangkan eosin adalah zat
warna yang bersifat asam sehingga dapat mewarnai sitoplasma yang bersifat basa
(Banks 1993).

PL

PL
A

PL

Gambar 4. Histologi organ pankreas tikus pada pewarnaan HE.


Keterangan = A dan B : Histologi pankreas Tikus A difiksasi menggunakan
paraformaldehid, C : Histologi pankreas tikus B difiksasi menggunakan Bouin.
Pulau langerhan (PL).
Dalam proses pembuatan sediaan histologi, terdapat beberapa kesalahan
sehingga sediaan yang didapat menjadi tidak sempurna. Hal tersebut dapat dilihat
dari gambar 2.

L
P

Gambar 5. Hasil potongan yang kurang bagus. Keterangan: LP = Lipatan


Dari gambar 2 dapat dilihat hasil kesalahan dalam pengerjaan sediaan
histologi pankreas. Gambar A dan B menunjukkan potongan yang tebal sehingga
inti sel tidak terwarnai dengan baik. Pada gambar B juga terdapat lipatan yang
menunjukkan ketidaksempurnaan dalam proses merentangkan jaringan di dalam
air hangat ataupun kesalahan ketika proses pemindahan jaringan dari mikrotom
yang mengakibatkan lipatan tidak dapat dihilangkan. Pada gambar C diduga
jaringan terlalu lama dipanaskan sehingga mengakibatkan jarak diantara lobus
acinar lebih lebar.

4 KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan:
1. Pembuatan sediaan histologi pankreas tikus terdiri dari beberapa tahapan
yaitu sampling, fiksasi dan stopping point, dehidrasi, clearing, infiltrasi
dan embedding, pemotongan atau sectioning, pewarnaan.
2. Beberapa kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan sediaan
histologi adalah pemanasan jaringan yang berlebihan, sayatan yang terlalu
tebal, lipatan karena proses perentangan yang tidak sempurna, pewarnaan
yang tidak pas.
Saran
Disarankan untuk melakukan pemotongan jaringan dengan lebih tipis dan
menanggulangi kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Selain itu disarankan
untuk tidak melakukan pemotongan dengan tergesa-gesa.

10

DAFTAR PUSTAKA
Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Ed ke-3. USA: Mosby.
Gage GJ, Kipke DR, Shain W. 2012. Whole animal perfusion fixation for rodents.
J. Vis. Exp. e3564(65):1-9
Gartner LP, Hiatt JL. 2007. Color Textbook of Histology. Ed ke-3. Philadelphia:
Elsevier Inc.
Gunarso W. 1986. Pengaruh Dua Jenis Cairan Fiksatif yang Berbeda pada
Pembuatan Preparat dari Jaringan Hewan Dalam Metoda Mikroteknik
Parafin. Bogor: IPB Press
Maynard R, Downes N, Finney B. 2014. Histological Techniques an Introduction
for Beginners in Toxicology. UK: The Royal Society of chemistry
Cambridge.
Suvarna SK, Layton C, Bancroft JD. 2008. Bancrofts Theory and Practice of
Histological Techniques. Ed ke-7. London: Churchill Livingstone.
Uray AD. 2009. Profil sel pulau langerhans jaringan pankreas tikus diabetes
mellitus yang diberi virgin coconut oil (VCO) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai