Anda di halaman 1dari 19

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka kematian ibu (AKI) hamil di Indonesia masih tinggi yaitu 307/100.000
kelahiran hidup. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi
setelah persalinan dan 40% kematian masa nifas. Penyebab utama kematian ibu
disebabkan karena perdarahan (24%), infeksi (15%), aborsi tidak aman (13%),
tekanan darah tinggi (12%), dan persalinan lama (8 %). (Puspitaningtyas, 2011)
Infeksi nifas masih berperan sebagai penyebab utama kematian ibu terutama di
negara berkembang seperti Indonesia ini, masalah itu terjadi akibat dari pelayanan
kesehatan yang masih jauh dari sempurna. Faktor penyebab lain terjadinya infeksi
nifas diantaranya, daya tahan tubuh yang kurang, perawatan nifas yang kurang baik,
kurang gizi / mal nutrisi, anemia, hygiene yang kurang baik, serta kelelahan. Upaya
pemantauan yang melekat dan asuhan pada ibu dan bayi yang baik pada masa nifas
diharapkan dapat mencegah kejadian tersebut. (BKKBN, 2006)
Sepsis puerperalis merupakan infeksi yang berbahaya karena dapat mengakibatkan
kematian ibu nifas. Masalah sepsis puerperalis dapat ditimbulkan karena dalam
menolong persalinan memberi asuhan perawatan tidak menerapkan prinsip aseptik.
Tanda tanda dari sepsis puerperalis adalah keadaan penderita sakit keras, suhu tinggi
disertai infeksi lokal yang berpusat disekitar sumber primer dan apabila keadaan ini
berlanjut dapat mengakibatkan kematian. (Motherhood, 2002)
Infeksi puerperalis dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pada ibu
nifas. Oleh karena itu diharapkan dengan adanya makalah ini dapat mengupas
mengenai konsep dasar teori dan asuhan keperawatan infeksi puerperalis.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Masa Nifas
Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi, plasenta, serta
selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ kandungan seperti sebelum
hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu. Masa nifas (puerperium), berasal dari bahasa
latin, yaitu puer yang artinya bayi dan partus yang artinya melahirkan atau berarti masa
sesudah melahirkan.
Masa ini merupakan masa yang cukup penting bagi tenaga kesehatan untuk selalu
melakukan pemantauan karena pelaksanaan yang kurang maksimal dapat menyebabkan
ibu mengalami berbagai masalah, bahkan dapat berlanjut pada komplikasi masa nifas,
seperti sepsis puerperalis.
Periode masa nifas (puerperium) adalah periode waktu selama 6-8 minggu setelah
persalinan. Proses ini dimulai setelah selesainya persalinan dan berakhir setelah alat-alat
reproduksi kembali seperti keadaan sebelum hamil/tidak hamil sebagai akibat dari adanya
perubahan fisiologi dan psikologi karena proses persalinan. Asuhan masa nifas diperlukan
dalam periode ini karena merupakan masa kritis baik ibu maupun bayinya. Diperkirakan
bahwa 69% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian
masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama (Sitti, 2009).

2.1.2 Tahap Masa Nifas


Tahapan yang terjadi pada masa nifas adalah sebagai berikut.
a. Periode immediate postpartum
Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini sering
terdapat banyak masalah, misalnya pendarahan karena atonia uteri. Oleh karena itu,
bidan dengan teratur harus melakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran
lokia, tekanan darah, dan suhu.
b. Periode early postpartum (24 jam-1 minggu)
Pada fase ini petugas kesehatan memastikan involusi uteri dalam keadaan normal,
tidak ada perdarahan, lokia tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup
mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
c. Periode late postpartum (1 minggu- 5 minggu)
Pada periode ini petugas kesehatan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan
sehari-hari serta konseling KB (Sitti, 2009).
2.1.3 Tujuan Asuhan Keperawatan Masa Nifas
Asuhan yang diberikan kepada ibu nifas bertujuan untuk meningkatkan
kesejahtaraan fisik dan pisikologis bagi ibu dan bayi, pencegahan diagnosa dini dan
pengobatan komplikasi pada ibu, merujuk ibu keasuhan tenaga ahli bilamana perlu,
mendukung dan memperkuat keyakinan ibu serta meyakinkan ibu mampu melaksanakan
perannya dalam situasi keluarga dan budaya yang khusus, imunisasi ibu terhadap tetanus
dan mendorong pelaksanaan metode yang sehat tentang pemberian makan anak, serta
peningkatan pengembangan hubungan yang baik antara ibu dan anak.

2.2 Pengertian
Peuerperalis adalah semua peradangan yang disebabkan oleh masuknya kuman-
kuman ke dalam alat-alat genetalia pada waktu persalinan dan nifas (Sarwono, 2005).
Puerperalis adalah keadaan yang mencakup semua peradangan alat-alat genetalia
dalam masa nifas (Mochtar, 1998).
Infeksi peurperalis adalah infeksi yang terjadi di dalam struktur yang berhubungan
dengan persalinan setelah melahirkan (Barbara, 2004).
Infeki peurperalis adalah infeksi luka jalan lahir pasca persalinan, biasanya dari
endometrium bekas insersi plasenta (Sulaima, dkk., 2004).
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pengertian diatas adalah infeksi
peuerperalis merupakan suatu kondisi di mana terjadinya peradangan pada alat genetalia
yang disebabkan oleh masuknya kuman-kuman pada waktu persalinan dan nifas.

2.3 Epidemiologi
Angka kematian ibu (AKI) hamil di Indonesia masih tinggi yaitu 307/100.000
kelahiran hidup. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah
persalinan dan 40% kematian masa nifas. Penyebab utama kematian ibu disebabkan
karena perdarahan (24%), infeksi (15%), aborsi tidak aman (13%), tekanan darah tinggi
(12%), dan persalinan lama (8 %) (Puspitaningtyas, 2011).
Menurut Barbara (2004), infeksi peurperalisis merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas ibu. Insiden infeksi ini bervariasi dari 1% hingga 8% dari
seluruh kelahiran, tetapi terdapat insiden yang lebih tinggi pada kelahiran sesar
dibandingkan kelahiran normal.

2.4 Etiologi
Barbara (2004) menyatakan bahwa secara umum infeksi peurperalis dapat
disebabkan oleh teknik steril yang buruk, persalinan dengan manipulasi yang tidak sesuai,
kelahiran sesar, atau pertumbuhan flora lokal yang berlebihan. Infeksi peurperalisis juga
disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya:
1. Berdasarkan kuman yang menyebabkan infeksi peurperalisis
a. Streptococcus haematilicus aerobic
Masuknya kuman ini adalah secara eksogen yang akan menyebabkan terjadinya
infeksi berat bagi yang ditularkan dari penderita lain, alat alat yang tidak steril,
tangan penolong, dan sebagainya.
b. Staphylococcus aurelis
Masuknya kuman ini adalah secara eksogen yang akan menyebabkan infeksinya
sedang dan banyak ditemukan sebagai penyebab infeksi di rumah sakit.
c. Escherichia coli
Masuknya kuman ini adalah berasal dari kandung kemih dan rektum, sehingga
dapat menyebabkan infeksi.
d. Clostridium welchi
Masuknya kuman ini adalah secara anaerob, biasanya ditemukan pada kasus
abortus kriminalis dan partus yang ditolong oleh dukun.
2. Berdasar masuknya kuman ke dalam alat kandung
a. Bakteri Endogen
Bakteri ini (Streptococcus, Staphylococcus, E. coli) secara normal hidup di vagina
dan rektum tanpa menimbulkan bahaya. Bahkan jika teknik steril sudah digunakan
untuk persalinan, infeksi masih dapat terjadi akibat bakteri endogen. Bakteri
endogen juga dapat membahayakan dan menyebabkan infeksi jika:
1) Bakteri ini masuk ke dalam uterus melalui jari pemeriksa atau melalui instrumen
pemeriksaan pelvik.
2) Bakteri terdapat dalam jaringan yang memar, robek/laserasi, atau jaringan yang
mati (setelah persalinan traumatik atau setelah persalinan macet).
3) Bakteri masuk sampai ke dalam uterus jika terjadi pecah ketuban yang lama.
b. Bakteri eksogen
Bakteri ini (Streptokokus, Clostridium) masuk ke dalam vagina dari luar. Bakteri
eksogen dapat masuk ke dalam vagina dengan cara:
1) Melalui tangan yang tidak bersih dan instrumen yang tidak steril.
2) Melalui substansi atau benda asing yang masuk ke dalam vagina.
3) Melalui aktivitas seksual.
3. Faktor predisposisi
Menurut Sulaima, dkk. (2004), faktor predisposisi diakibatkan oleh:
a. Perdarahan
Perdarahan yang terjadi dapat menurunkan daya tahan tubuh ibu.
b. Trauma persalinan
Trauma pada persalinan merupakan media yang subur bagi mikroorganisme.
c. Partus lama
Partus lama akan mengakibatkan retensio plasenta sebagian atau seluruhnya akan
memudahkan terjadinya infeksi.
d. Keadaan umum
Keadaan umum ibu merupakan faktor yang ikut menentukan karena akan
mengakibatkan ibu mengalami melemahnya daya tahan tubuh, seperti anemi dan
malnutrisi.

2.5 Patofisiologi
Terjadinya infeksi disebabkan setelah kala III terdapat daerah bekas insersio
plasenta yang merupakan sluka dengan diameter kira-kira 4 cm. Daerah ini merupakan
tempat yang baik untuk bertumbuhnya kuman-kuman dan masuknya jenis-jenis patogen
dalam tubuh. Serviks sering mengalami perlukaan pada persalinan, demikian juga vulva,
vagina, dan perineum yang merupakan tempat masuknya kuman-kuman patogen. Proses
peradangan dapat terjadi pada luka-luka tersebut atau menyebar di luar luka.
Menurut Sulaima, dkk. (2004). infeksi peurpuralis dapat terjadi karena:
1. Tangan pemeriksa atau penolong yang tertutup sarung tangan pada pemeriksaan dalam
atau operasi membawa bakteri yang sudah ada dalam vagina ke dalam uterus.
Kemungkinan lain adalah bahwa sarung tangan atau alat-alat yang dimasukkan ke
dalam jalan lahir tidak sepenuhnya bebas dari kuman-kuman.
2. Sarung tangan atau alat-alat kesehatan yang digunakan terkena kontaminasi bakteri
yang berasal dari hidung atau tenggorokan dokter atau petugas lainnya yang berada di
ruangan tersebut. Oleh karena itu, hidung dan mulut petugas yang bertugas harus
ditutup dengan masker dan penderita infeksi saluran nafas dilarang memasuki kamar
bersalin.
3. Dalam rumah sakit selalu banyak kuman-kuman patogen, berasal dari penderita
dengan berbagai jenis infeksi. Kuman-kuman ini biasa dibawa oleh aliran udara
kemana-mana, antara lain melaui handuk, kain- kain yang tidak steril, dan alat-alat
yang digunakan untuk merawat wanita dalam persalinan atau pada waktu nifas.
4. Koitus pada akhir kehamilan tidak merupakan sebab infeksi penting, kecuali jika
menyebabkan pecahnya ketuban.
5. Infeksi Intrapartum sudah dapat memperlihatkan gejala-gejala pada waktu
berlangsungnya persalinan. Infeksi intraparum biasanya terjadi pada waktu partus
lama, apalagi jika ketuban sudah lama pecah dan beberapakali dilakukan pemeriksaan
dalam.

2.6 Manifestasi Klinis


Menurut Barbara (2004), infeksi puerperalis dapat dibagi menjadi golongan, yaitu:
1. Infeksi yang terbatas pada perineum, vulva, vagina, serviks, dan endometrium
a. Infeksi perineum, vulva, vagina dan serviks
1) Vulvitis
Pada infeksi bekas sayatan episiotomi atau luka perineum jaringan sekitarnya
membengkak, tepi luka menjadi merah dan bengkak, jahitan ini mudah terlepas
dan luka yang terbuka menjadi ulkus dan mangeluarkan pus.
2) Vaginitis
Infeksi vagina dapat terjadi secara langsung pada luka vagina melalui perineum.
Permukaan mukosa akan membengkak dan kemerahan, terjadi ulkus, dan
adanya nanah yang keluar dari daerah ulkus.
3) Servisitis
Infeksi serviks sering terjadi, akan tetapi biasanya tidak menimbulkan banyak
gejala. Luka serviks yang dalam dan meluas akan langsung kedasar ligamentum
latum yang dapat menyebabkan infeksi menjalar ke parametrium.
b. Endometritis
Jenis infeksi yang paling sering ialah endometritis. Kuman-kuman memasuki
endometrium, biasanya pada luka bekas insersio plasenta dan dalam waktu singkat
mengikutsertakan seluruh endometrium.

2. Penyebaran dari tempat tersebut melalui vena, jalan limfe dan permukaan, serta
endometrium
a. Septikemia dan piemia
Septikemia dan piemia merupakan infeksi umum yang disebabkan oleh kuman-
kuman patogen, yaitu Streptococcus haemolyticus golongan A. Infeksi ini sangat
berbahaya dan merupakan 50% dari semua kematian karena infeksi nifas.
Pada septikemia kuman-kuman di uterus, langsung masuk keperedaran darah
umum dan menyebabkan infeksi umum. Adanya septikemia dapat dibuktikan
dengan jalan pembiakan kuman-kuman dari darah.
Pada piemia terdapat tromboflebitis pada vena-vena diuterus serta sinus-sinus pada
bekas tempat plasenta. Tromboflebitis ini menjalar ke vena uterine, vena
hipogastrika, dan vena ovari (tromboflebitis pelvika), dari tempat-tempat thrombus
tersebut embolus kecil yang mengandung kuman-kuman dilepaskan. Setiap kali
dilepaskan, embolus masuk keperedaran darah dan dibawa oleh aliran darah
ketempat-tempat lain, di antaranya ke paru-paru, ginjal, otak, jantung, dan
sebagainya, sehingga mengakibatkan terjadinya abses-abses ditempat-tempat
tersebut.
b. Peritonotis
Infeksi nifas dapat menyebar melalui pembuluh limfe didalam uterus yang
langsung mencapai peritoneum dan menyebabkan peritonitis, atau melalui jaringan
diantara kedua lembar ligamentum latum sehingga menyebabkan parametritis
(sellulitis pelvika).
c. Selulitis pelvis
Peritonitis dapat pula terjadi melalui salpingo-ooforitis atau sellulitis pelvika.
Infeksi jaringan ikat pelvis dapat terjadi melalui tiga jalan yaitu:
1) Penyebaran melalui limfe dari luka serviks yang terinfeksi atau dari
endometritis.
2) Penyebaran langsung dari luka pada serviks yang meluas sampai kedasar
ligamentum.
3) Penyebaran sekunder dari tromboflebitis pelvika.

2.7 Tanda dan Gejala


Menurut Sulaima, dkk. (2004), gejala-gejala umum yang biasanya muncul pada
penderita infeksi peuerperalis adalah:
1. Kenaikan suhu.
2. Terjadi leukositosis.
3. Takikardi.
4. Denyut jantung janin meningkat.
5. Air ketuban menjadi keruh dan berbau.
6. Terjadi infeksi intra partum yang diakibatkan kuman-kuman memasuki dinding uterus
pada waktu persalinan dan dengan melewati amnion sehingga dapat menimbulkan
infeksi pada janin.
Tanda dan gejala yang muncul jika dilihat dari manifestasi klinisnya adalah:
1. Infeksi yang terbatas pada perineum, vulva, vagina, serviks d an endometrium
a. Infeksi perineum, vulva, vagina dan serviks
Tanda dan gejala:
1) Rasa nyeri dan panas pada tempat infeksi, disuria dengan atau tanpa distensi
urine.
2) Jahitan luka mudah lepas, merah, dan bengkak.
3) Bila getah radang bisa keluar, biasanya keadaan tidak berat, suhu sekitar 38 C,
dan nadi kurang dari 100x/menit.
4) Bila luka terinfeksi tertutup jahitan dan getah radang tidak dapat keluar, maka
demam bisa meningkat hingga 39-40 C, terkadang disertai menggigil.
b. Endometritis
Tanda dan gejala:
1) Terkadang lokhea tertahan dalam uterus oleh darah sisa plasenta dan selaput
ketuban yang disebut lokiametra.
2) Pengeluaran lokia bisa banyak atau sedikit, terkadang berbau, lokhea berwarna
merah atau coklat.
3) Suhu badan meningkat mulai 48 jam postpartum, menggigil, nadi biasanya
sesuai dengan kurva suhu tubuh.
4) Sakit kepala, sulit tidur, dan anoreksia.
5) Nyeri tekan pada uterus, uterus agak membesar dan lembek, his susulan
biasanya sangat mengganggu.
6) Leukositosis dapat berkisar antara 10.000-13.000/mm.
2. Penyebaran dari tempat tersebut melalui vena, jalan limfe dan permukaan, serta
endometrium
a. Septikemia dan piemia
Tanda dan gejala:
1) Pada septikemia, sejak permulaan klien sudah sakit dan lemah sampai 3 hari
postpartum, suhu meningkat dengan cepat yaitu 39-40C yang disertai
menggigil. Keadaan umum cepat memburuk, nadi sekitar 140-160x/menit atau
lebih. Klien juga dapat meninggal dalam 6-7 hari postpartum
2) Pada piemia, suhu tubuh klien tinggi disertai dengan menggigil yang terjadi
berulang-ulang. Suhu meningkat dengan cepat kemudian suhu turun dan lambat
laun timbul gejala abses paru, pneumonia, dan pleuritis.
b. Peritonitis
Tanda dan gejala:
1) Pada umumnya terjadi peningkatan suhu, nadi cepat, perut kembung dan nyeri,
serta ada defensif muskuler. Wajah klien mula-mula kemerahan, kemudian
menjadi pucat, mata cekung, kulit wajah dingin, serta terdapat facishipocratica.
2) Pada peritonitis yang terdapat di daerah pelvis, gejala tidak seberat peritonis,
umumnya klien demam, perut bawah nyeri, tetapi keadaan umum tetap baik.
c. Selulitis pelvis
Tanda dan gejala:
1) Suhu tinggi menetap lebih dari satu minggu yang disertai rasa nyeri di kiri atau
kanan dan nyeri pada pemeriksaan dalam, hal ini patut dicurigai adanya selulitis
pelvik.
2) Pada pemeriksaan dalam dapat diraba tahanan padat dan nyeri di sebelah uterus.
3) Di tengah jaringan yang meradang itu bisa timbul abses dimana suhu yang mula
mula tinggi menetap akan menjadi naik turun disertai menggigil.
4) Klien tampak sakit, nadi cepat, dan nyeri perut.

2.8 Penatalaksanaan
Menurut Barbara (2004). penatalaksanaan secara umum yang dapat dilakukan
adalah:
1. Meningkatkan resolusi proses infeksi
a. Inspeksi perineum dua kali sehari apakah ada kemerahann edema, ekimosis, dan
keluaran.
b. Evaluasi nyeri abdomen, demam, malaise, takikardi, dan lokia yang berbau tidak
enak.
c. Periksa spesimen untuk analisi laboratorium dan laporkan hasilnya.
d. Tawarkan diet yang seimbang, sering minum cairan, dan ambulasi dini.
e. Berikan antibiotik atau obat-obatan sesuai resep, catat respons klien.
2. Memberi penyuluhan klien dan keluarga.
Menjelaskan dan mendemonstrasikan perawatan diri, seperti melakukan personal
hygine perineum dan mencuci tangan.
3. Pengobatan dan penanganan
Pengobatan dan penanganan yang dapat dilakukan pada kala nifas adalah:
a. Sebaliknya segera dilakukan pengambilan (kultur) dari secret vagina, luka operasi,
dan darah, serta uji kepakaian untuk mendapatkan antibiotiika yang tepat dalam
pengobatan
b. Kombinasi antibiotik diberikan sampai pasien bebas demam selama 48 jam dan
kombinasi antibiotik beyang dapat diberikan adalah:
1) Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam.
2) Gentamisin 5 mg / kg berat badan IV setiap 24 jam.
3) Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam.
c. Berikan dalam dosis yang cukup dan adekuat
d. Karena hasil pemeriksaan memerlukan waktu, maka berikan antibiotikan spectrum
luas (broad spectrum) hingga menunggu hasil laboratorium.
e. Pengobatan akan mempertinggi daya tahan tubuh penderita infus atau tranfusi yang
diberikan perawatan lainnya sesuai dengan komplikasi yang ditemukan.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan yang dilakukan akan diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Jumlah sel darah putih (SDP) mengalami peningkatan.
2. Laju endap darah (LED) dan jumlah sel darah merah( SDM) sangat meningkat dengan
adanya infeksi.
3. Hemoglobin atau hematokrit (Hb/Ht) mengalami penurunan pada keadaan anemia.
4. Kultur (aerobik/anaerobik) dari bahan intrauterus atau intraservikal atau drainase luka
atau perwarnaan gram di uterus mengidentifikasi organisme penyebab.
5. Urinalisis dan kultur mengesampingkan infeksi saluran kemih.
6. Ultrasonografi menentukan adanya fragmen-fragmen plasenta yang tertahan
melokalisasi abses perineum.
7. Pemeriksan bimanual : menentukan sifat dan lokal nyeri pelvis, massa atau
pembentukan abses, serta adanya vena-vena dengan trombosis.

2.10 Komplikasi dan Prognosis


2.10.1 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada puerpuralis antara lain:
a. abses pada paru;
b. abses ginjal;
c. abses otak;
d. abses jantung
e. vulvitis;
f. vaginitis;
g. servisitis;
h. septikemia dan piemia;
i. peritonotis;
j. selulitis pelvis.

1.10.2 Prognosis
Prognosis bergantung pada virulensi kuman dan daya tahan tubuh penderita.
Prognosis baik jika diatasi dengan pengobatan yang sesuai. Menurut derajatnya,
septikemia merupakan infeksi paling berat dengan mortalitas tinggi diikuti peritonitis
umum (Sulaima, dkk., 2004).
BAB 3. PATHWAYS

Proses Tangan pemeriksa/penolong Alat-alat perawatan


melahirkan terkontaminasi terkontaminasi

Perlukaan pada Pertahanan primer


serviks, vulva, vagina, terganggu
dan perineum

Kuman patogen masuk

Terjadi peradangan

Penyebaran kuman patogen

perineum vulva vagina Serviks endometrium

peritonitis vulvanitis vaginitis servisitis endometritis

Reaksi Peradangan

Perawatan tidak Peningkatan Infeksi pada ujung Perubahan persepsi


adekuat metabolisme tubuh syaraf tentang penyakit

Peradangan menyebar Peningkatan Respon nyeri pada Muncul kecemasan


ke organ lain suhu tubuh tempat infeksi

Menyebar ke saluran Hipertermi Nyeri Akut Ansietas


kemih bawah

Kesulitan untuk Nyeri mengganggu Kekhawatiran ttg


Nyeri kemih saat tidur seksualitas individu
perawatan bayi

Ketidakefektifan
Gg Eliminasi Gg Pola Tidur
Performa Peran Ketidakefektifan
Urinarius Pola Seksualitas
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Pengkajian
1. Identitas
a. Nama : Tergantung pada pasien.
b. Umur : Biasanya terjadi pada wanita hamil.
c. Jenis kelamin : Wanita.
d. Pendidikan : Mempengaruhi personal hygine setiap individu.
e. Pekerjaan : Mengetahui taraf hidup sosial ekonomi yang
berhubungan dengan nutrisi dan penyebab terjadinya infeksi
peuerperalis.
f. Diagnosa medis: Infeksi peuritonitis.
2. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan suhu tubuh meningkat yang disertai menggigil, nyeri, disuria,
sakit kepala, sulit tidur, dan anoreksia.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat kehamilan sebelumnya dan riwayat penyakit yang berhubungan dengan
sistem kekebalan tubuh.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Munculnya tanda-tanda dan keluhan infeksi puerpuralis.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga berhubungan dengan penyakit-penyakit yang dapat
memicu terjadinyan infeksi puerpuralis.
4. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola nyeri
Pada umumnya pasien merasakan nyeri abdomen bawahatau uteri, nyeri lokal,
disuria, ketidaknyamanan abdomen, dan sakit kepala.
b. Pola nutrisi dan metabolism
Tejadi perubahan pola nutrisi yang diakibatkan nafsu makan menurun dan muntah.
c. Aktivitas
Pasien mengeluh malaise, letargi, kelelahan/keletihan yang terus menerus, letih,
dan aktivitas berat mengakibatkan nyeri abdomen.
d. Eliminasi
Pasien mengalami penurunan berkemih dan mengalami disuria dengan atau tanpa
distensi urine.
e. Pola tidur dan istirahat
Pasien mengalami kesulitan tidur.
f. Pola sensori dan kognitif
Pasien mengalami masalah masalah kognitif akibat kecemasan terhadap penyakit
yang dialaminya.
g. Pola persepsi diri
pasien menganggap dirinya sakit dan tidak dapat beraktivita seperti biasanya
h. Pola hubungan dan peran
Adanya kondisi kesehatan yang mempengaruhi hubungan interpersonal dan peran
akibat menjalankan perannya selama sakit.
i.Seksualitas
Pasien mengalami nyeri pada daerah genitalia, sehinga pola seksualitas terganggu.
j. Pola penanggulangan stress
Pasien membutuhkan dukungan emosional dan spiritual oleh keluarga atau pun
orang-orang terdekat.
k. Pola hygiene
Kebersihan kurang akibat akibat kelemahan dalam melakukan aktivitas.
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum: Pasien tampak sangat kesakitan hingga mengalami syok.
b. Kesadaran: Kesadaran penderita bervariasi dari kesadaran baik hingga koma
tergantung tingkat kesakitan.
c. Tanda-tanda vital: Tekanan darah tinggi, nadi teraba cepat, berat badan mengalami
penurunan, suhu tubuh akan meningkat.
d. Pemeriksaan head to toe
1) Kepala
Simetris dan pertumbuhan rambut normal.
2) Muka atau wajah
Keadaan bervariasi dari keadaan normal hingga terlihat pucat tergantung tingkat
kesakitan.
3) Mata
Konjungtiva normal, konjungtiva tidak anemis, pupil isokor, dan mata terlihat
cekung (kemungkinan dehidrasi).
4) Mulut
Bibir kering (kemungkinan dehidrasi).
5) Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar limfonodi dan kelenjar tiroid.
6) Dada
Pernafasan cepat, bentuk dada simetris, takikardi, dan tidak ada suara ronchi.
7) Abdomen
Perut terlihat lebih besar dari normal, adanya bekas jahitan yang tidak jadi atau
mengalami kebocoran, nyeri tekan lepas, dinding perut tegang dan kaku, serta
bising usus tidak terdengar
8) Genetalia
Teraba tahanan yang kenyal yang berfluktuasi dalam kavum douglasi dan
mengalami nyeri tekan
9) Ekstremitas
Teraba hangat samapi panas karena biasanya pasien demam, kulit teraba kering dan
lecet.

4.2 Diagnosa Keperawatan


a. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi sekunder trauma jalan lahir
akibat proses persalinan.
b. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi
c. Ansietas berhubungan dengan perubahan persepsi terhadap penyakit
d. Gangguan elimimasi urinarius berhubungan dengan nyeri saat berkemih (disuria)
e. Ketidakefektifan performa peran berhubungan dengan hambatan untuk perawatan
bayi karena sakit
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa tidak nyaman karena nyeri saat
tidur
g. Ketidakefektifan pola seksualitas berhubungan dengan kekhawatiran tentang
seksualitas individu
4.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 : Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi sekunder trauma jalan
lahir akibat proses persalinan
Tujuan : suhu tubuh pasien normal
Kriteria hasil: pasien menunjukkan suhu normal
Intervensi :
No. Intervensi Rasional
1. Monitoring TTV Memantau suhu setip saat apakah normal, atau
terjadi peningkatan.
2. Beri kompres air hangat Menurunkan suhu tubuh sampai batas normal.
3. Jaga lingkungan sekitar pasien Pasien tetap nyaman dengan mengatur suhu
ruangan.
4. Anjurkan keluarga memakaikan baju tipis Metabolisme dalam tubuh tidak meningkat.
5. Anjurkan keluarga untuk membatasi Untuk mempercepat proses penyembuhan
aktivitas klien
6. Kolaborasi dengan tim medis dalam Akan meredakan hipotalamus sebagai pusat
pemberian obat penurun panas,contoh mengatur panas sehinggapanas tubuh
paracetamol berangsur-angsur turun.

Diagnosa 2 :Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi


Tujuan : Nyeri berkurang sampai tidak ada nyeri
Kriteria hasil: pasien menunjukkan rileks dan mengatakan nyeri berkurang
Intervensi :
No. Intervensi Rasional
1. Bina hubungan saling percaya Mengenal klien dan mempermudah untuk
memberikan intervensi selanjutnya.
2. Kaji lokasi, lamanya, intensitas dan tingkat Mengetahui skala dan kualitas nyeri
skala nyeri
3. Atur posisi yang nyaman bagi klien Posisi yang nyaman akan membantu
memberikan kesempatan pada otot untuk
relaksasi seoptimal mungkin
4. Ajarkan pasien teknik relaksasi Teknik relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri
yang dirasakan pasien.
5. Berikan health education tentang penyebab pemahaman pasien tentang penyebab nyeri
nyeri yg dialami pasien yang terjadi akan mengurangi ketegangan
pasien dan memudahkan pasien untuk diajak
bekerjasama dalam melakukan tindakan.
6. Kolaborasi dengan dokter untuk Obat obat analgesik dapat membantu
pemberian analgesik. mengurangi nyeri pasien

Diagnosa 3 : Ansietas berhubungan dengan perubahan persepsi terhadap penyakit


Tujuan : a. Pasien dapat menghilangkan atau mengurangi perasaan khawatir dan
tegang dari sumber yang tidak dapat diidentifikasi
b. Pasien dapat mengetahui perjalanan penyakit yang dialaminya

Kriteria hasil: Klien menyatakan bahwa kecemasan berkurang dan tampak tenang
Intervensi :
No. Intervensi Rasional
1. Sediakan informasi aktual menyangkut Dengan mengetahuinya pasien akan merasa
dianosis, perawatan, dan prognosis. lebih tenang dan mengurangi rasa curiga pada
petugas kesehatan
2. Intruksikan pasien tentang penggunaan Penggunaan relaksasi dapat membuat tubuh
teknik relaksasi menjadi lebih rileks dan nyaman
3. Kolabirasikan dengan tim kesehatan lain Pemberian obat dapat dilakukan ketika terapi
dalam pemberian pengobatan untuk yang lain tidak efektif
mengurangi ansietas, sesuai dengan
kubutuhan
4. Dampingi pasien (misalnya selama Pasien akan merasa lebih nyaman dan aman
prosedur) untuk meningkatkan keamanan
dan mengurangi takut

5. Sarankan terapi alternatif untuk Terapi alternatif dapat digunakan sebagai


mengurangi ansietas yang dialami pasien. pilihan lain dari terapi-terapi yang telah
dilakukan

Diagnosa 4 : Gangguan elimimasi urinarius berhubungan dengan nyeri saat berkemih


(disuria)
Tujuan : a. Nyeri saat berkemih hilang atau berkurang
b. Pola eliminasi urine kembali seperti keadaan
Kriteria hasil: Klien mengungkapkan pola urin kembali normal dan tidak ada nyeri saat
berkemih
Intervensi :
No. Intervensi Rasional
1. Monitoring TTV Memantau kondisi umum pasien terhadap
adanya tanda-tanda penyebaran infeksi.
2. Kaji status nyeri yang dialami Mengetahui tingkat skala nyeri yang dialami
klien
3. Pertahankan kebijakan mencuci tangan Membantu mencegah kontaminasi silang.
dengan ketat untuk staf, klien dan
pengunjung
4. Demonstrasikan/anjurkan pembersihan Pembersihan melepaskan kontaminan
perineum yang benar setelah berkemih dan urinarius/fekal. Penggantian pembalut
defekasi, dan sering mengganti pembalut. menghilangkan media lembab yang
menguntungkan pertumbuhan bakteri.
5. Anjurkan kepada klien untuk tetap Mencegah terjadinya distensi urin
melakukan BAK
6. Kolaborasi Analgetik: mengurangi rasa nyeri yang
Berikan obat-obatan sesuai indikasi dialami
(analgetik, antibiotik, oksitosik, Antibiotik: menyerang organisme patogen,
antikoagulan). membantu mencegah penyebaran infeksi dari
jaringan sekitar dan aliran darah
Oksitosik: meningkatkan kontraktilitas
miometrium untuk memundurkan penyebaran
bakteri
Antikoagulan: pada adanya tromboflebitis
pelvis, antikoagulan mencegah atau
menurunkan pembentukan trombus tambahan
dan membatasi emboli septik.

4.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan yang
telah dibuat. Implementasi keperawatan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kebutuhan
dan keluhan utama pasien yang muncul. Pelaksanaan implementasi keperawatan harus
sesuai dengan standar operasional tindakan untuk mengurangi efeksamping dari
tindakan dan mencegah timbulnya dampak yang tidak diinginkan dari tindakan.

4.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan dilakukan ketika tindakan keperawatan telah dilakukan.
Evaluasi keperawatan bertujuan untuk mengetahui keefektifan tindakan dan pencapaian
tujuan tindakan. Evaluasi dilakukan sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah
dubuat di intervensi keperawatan. Evaluasi keperawatan dinyatakan berhasil ketika
tujuan dan kriteria hasil dari intervensi keperawatan telah dicapai.
BAB 5. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Infeksi peuerperalis merupakan suatu kondisi di mana terjadinya peradangan pada
alat genetalia yang disebabkan oleh masuknya kuman-kuman pada waktu persalinan dan
nifas. Insiden infeksi ini bervariasi dari 1% hingga 8% dari seluruh kelahiran, tetapi
terdapat insiden yang lebih tinggi pada kelahiran sesar dibandingkan kelahiran normal.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah kepada tenaga kesehatan agar memberikan
informasi-informasi kepada para ibu nifas tentang cara perawatan luka perineum,
sehingga para ibu akan mengetahui cara perawatan luka perineum yang benar.
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, Stright. 2004. Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir Edisi 3. Jakarta:


EGC

BKKBN. 2006. Hatihati dengan infeksi nifas.


(http://www.pikas.bkkbn.go.id/article_detail.php?aid diunduh 8
Februari 2014)

Mochtar, Rustam.1998. Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta: EGC

Motherhood, Safe. 2002. Modul sepsis puerperalis. EGC. Jakarta.

Puspitaningtyas. 2011. Hubungan Pengetahuan Teknik Perawatan dengan


Kesembuhan Luka Perineum pada Ibu Nifas di BPS Kota Semarang.
Jurnal 2011

Sarwono, Prawirohardjo. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakart : YBP-SP

Sastrawinata Sulaima, Martadisoebrata Dhamhoer, Wirakusanah Firman.


2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi Edisi 2. Jakarta:
EGC

Sitti, Saleha. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Selemba
Medika

Anda mungkin juga menyukai