Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 2


BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 4
A. Definisi Infeksi Nosokomial ................................................................................... 4
B. Epidemiologi Infeksi Nosokomial .......................................................................... 4
C. Etiologi Infeksi Nosokomial ................................................................................... 5
D. Klasifikasi Infeksi Nosokomial ............................................................................... 7
E. Penularan Infeksi Nosokomial ................................................................................ 9
F. Siklus Terjadinya Infeksi Nosokomial .................................................................. 11
G. Pengendalian Infeksi Nosokomial ........................................................................ 12
BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi nosokomial (Hospital Acquired Infection/Nosocomial Infection)
adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit atau ketika penderita itu dirawat di
rumah sakit. Nosokomial berasal dari kata Yunani nosocomium yang berarti
rumah sakit. Jadi kata nosokomial artinya "yang berasal dar irumah sakit”,
sementara kata infeksi artinya terkena hama penyakit1 . Infeksi ini baru timbul
sekurang-kurangnya dalam waktu 3 x 24 jam sejak mulai dirawat, dan bukan
infeksi kelanjutan perawatan sebelumnya3 . Rumah sakit merupakan tempat yang
memudahkan penularan berbagai penyakit infeksi(1)
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian
terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-
penyakit infeksi masih menjadi penyebab utamanya. Suatu penelitian yang
dilakukan oleh WHO tahun 2006 menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah
sakit dari 14 negara di Eropa, Timur tengah, dan Asia Tenggara dan Pasifik
terdapat infeksi nosokomial, khususnya di AsiaTenggara sebanyak l0%2(1).
Survei prevalensi yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO)
di 55 rumah sakit dari 14 negara yang mewakili 4 wilayah kerja WHO (Eropa,
Mediterania, Asia Tenggara dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% dari
pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami infeksi nosokomial dan frekuensi
tertinggi infeksi nosokomial dilaporkan dari rumah sakit di Asia Tenggara dengan
prevalensi 11%. Setiap saat, lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita
bukan hanya dari penyakit dasarnya melainkan juga dari komplikasi infeksi yang
diperoleh dari rumah sakit. Tingkat infeksi yang lebih tinggi ditemukan pada
pasien dengan peningkatan kerentanan karena faktor usia tua, sementara dalam
kemoterapi dan faktor penyakit kronis yang mendasari sehingga mengganggu
sistem kekebalan tubuh pasien (2).
Berbagai hal dan kondisi tersebut menjadi landasan utama untuk melatar
belakangi penulisan referat tentang infeksi nosokomial ini.

2
B. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai Infeksi Nosokomial
2. Mahasiswa dapat mengetahui epidemiologi terjadinya Infeksi
Nosokomial
3. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi dan klasifikasi Infeksi
Nosokomial
4. Mahasiswa dapat mengetahui cara penularan dan siklus terjadinya
Infeksi Nosokomial
5. Mahasiswa dapat mengetahui cara pengendalian Infeksi
Nosokomial

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Infeksi Nosokomial


Infeksi nosokomial atau yang disebut juga Hospital Acquired
Infection (HAI) adalah infeksi yang didapat di rumah sakit atau
difasilitas kesehatan lainnya(3).
Infeksi Nosokomial atau juga dikenal dengan nama Hospital
Acquired Infection (HAI) atau yang dikenal dengan sebutan nosocomion
dalam bahasa yunani, nosos yang artinya penyakit dan komeo yang
artinya merawat. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi
yang terjadi di rumah sakit dan menyerang penderita – penderita yang
sedang dalam proses asuhan keperawatan (2)
B. Epidemiologi Infeksi Nosokomial
Studi prevalensi yang dilakukan dengan bantuan World Health
Organization (WHO) pada 55 rumah sakit di 14 negara yang mewakili 4
wilayah WHO (Eropa, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik
Barat) mendapatkan rerata 8,7% pasien rumah sakit mengalami infeksi
nosokomial. Dari hasil survei tersebut didapatkan frekuensi tertinggi
infeksi nosokomial dilaporkan oleh rumah sakit di wilayah Mediterania
Timur dan Asia Tenggara berturut-turut 11,8% dan 10,0%, sedangkan
prevalensi di wilayah Eropa dan Pasifik Barat berturut-turut 7,7% dan
9,0%. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI
Jakarta menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi
nosokomial. 12 Kasus terbanyak infeksi nosokomial terjadi di negara
miskin dan negara berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih
menjadi penyebab utama (3).

Di ruang rawat intensif, infeksi nosokomial lebih sering terjadi


dibandingkan dengan di bangsal rawat biasa. Secara universal di seluruh
dunia, 5%-10% pasien memperoleh infeksi nosokomial, 20%-30% pasien
tersebut merupakan pasien yang menjalani perawatan di unit perawatan

4
intensif (ICU). Penelitian dari berbagai universitas di Amerika Serikat
menyebutkan bahwa pasien ICU mempunyai kekerapan infeksi
nosokomial 5-8 kali lebih tinggi. WHO menyatakan bahwa prevalensi
tertinggi infeksi nosokomial adalah ICU sebesar 28,2%, surgery sebesar
26,4%, mixed population sebesar 23,6%, pediatrics sebesar 18,2%, dan
other high risk patient sebesar 3,6%. Angka infeksi nosokomial pada
bangsal anak terjadi paling tinggi pada umur kurang dari 1 tahun. Angka
infeksi tertinggi (terutama infeksi sistemik) terjadi di NICU (Neonatal
Intensive Care Unit) karena risiko infeksi bertambah tinggi (pada bayi
berat badan lahir rendah). Bayi prematur 500-1000 gram jika mereka
hidup mempunyai risiko tinggi untuk infeksi (3).

C. Etiologi Infeksi Nosokomial


Terdapat banyak patogen berbeda yang dapat menyebabkan infeksi
nosokomial, yaitu, bakteri, virus, parasit dan fungi.

1. Bakteri
Dibawah ini adalah patogen infeksi nosokomial yang paling
sering dijumpai:

a. Commensal bacteria

Bakteri ini merupakan flora normal yang terdapat di dalam


tubuh manusia yang sehat, dan dapat dikatakan sebagai
pelindung tubuh yang cukup signifikan. Bakteri ini
berperan untuk mencegah kolonisasi dari mikroorganisme
patogen. Beberapa bakteri komensal dapat menyebabkan
infeksi jika faktor host terganggu. Sebagai contoh, cutaneus
coagulase-negative staphylococci menyebabkan infeksi
intravascular line, dan Escherichia coli merupakan
penyebab umum dari infeksi saluran kemih (4).

5
b. Pathogenic bacteria

Bakteri ini memiliki tingkat virulensi yang tinggi dan dapat


menyebabkan infeksi baik sporadik ataupun epidemik.
Beberapa cobtohnya adalah:

- Bakteri bentuk batang gram positif, misalnya


Clostridium, menyebabkan gangren.
- Bakteri gram positif (Staphylococcus aureus), yang
berkolonisasi di kulit dan hidung baik pada staff rumah
sakit maupun pada pasien merupakan penyebab berbagai
penyakit paru, tulang, jantung, dan pembuluh darah.
Bakteri ini juga sering resisten terhadap antibiotika.
- Bakteri gram negatif (Enterobacteriacae), seperti
Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Escherichia coli, dan
Serratia marcescen, akan berkolonisasi saat pertahanan
tubuh menurun dan menyebabkan infeksi serius,
terutama luka operasi dan infeksi perineum.
- Organisme gram negatif seperti Pseudomonas spp. sering
terisolasi dalam air dan tempat yang lembab, dan dapat
menginfeksi saluran pencernaan pasien rawat inap.
- Bakteri lainnya yang merupakan penyebab infeksi di
rumah sakit misalnya Legionella sp. yang merupakan
penyebab pneumonia baik sporadik maupun endemik
melalui inhalasi aerosol yang mengandung air yang telah
terkontaminasi, misalnya pada AC, shower, bahkan pada
terapi yang menggunakan aerosol (4).

2. Virus

Virus termasuk patogen penyebab infeksi nosokomial,


diantaranya virus hepatitis B dan C dengan media penularan
dari transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi. Respiratory
syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enterovirus yang

6
ditularkan lewat kontak tangan ke mulut maupun fecal-oral.
Rute penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme
lainnya, seperti melalui traktus gastrointestinal, traktus
respiratorius, kulit dan darah. Virus lain yang sering
menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus,
ebola, influenza virus, herpes simplex virus, dan varicella-
zoster virus (4).

3. Parasit dan Fungi

Beberapa parasit seperti Giardia lamblia ditularkan


dengan mudah terutama pada anak-anak. Jamur dan parasit
lain juga merupakan organisme oportunistik dan dapat
menyebabkan infeksi pada pasien dengan pengobatan
antibiotika spektrum luas dan imunosupresi berat.
Pencemaran lingkungan rumah sakit oleh organisme udara
seperti Aspergillus spp. yang berasal dari debu dan tanah
terutama selama pembangunan rumah sakit. Sarcoptes
scabies juga merupakan ektoparasit yang telah berulang kali
menyebabkan wabah di fasilitas kesehatan (4).

D. Klasifikasi Infeksi Nosokomial


Infeksi nosokomial dikelompokan berdasarkan tempat
distribusinya. Tempat-tempat utama terjadinya infeksi nosokomial dalam
tubuh pasien adalah:

1. Infeksi Traktus Urinarius


Ini merupakan infeksi nosokomial yang paling umum
dengan prevalensi mencapai 80%. Infeksi ini terjadi akibat
penggunaan kateter urin jangka panjang. Dibandingkan dengan
infeksi nosokomial lainnya, infeksi traktus urinarius ini tingkat
morbiditasnya terbilang rendah, namun terkadang infeksi ini
dapat menyebabkan bakteriemia sehingga berujung kematian.
Infeksi ini dibuktikan dengan kultur urin kuantitatif (≥105

7
mikroorganisme/ml, dengan maksimum 2 spesies bakteri
terisolasi). Bakteri tersebut berasal dari flora usus, baik flora
normal seperti Escherichia coli, ataupun yang diperoleh dari
rumah sakit seperti multiresisten Klebsiella (2).
2. Infeksi Luka Operasi (ILO)
Infeksi luka operasi juga merupakan infeksi nosokomial
yang sering terjadi. Insidensinya bervariasi dari 0,5% sampai
15% tergantung jenis operasi dan status dasar pasien.
Dampaknya adalah bertambahnya lama perawatan pasca
operasi sekitar 3 sampai 20 hari dan meningkatnya biaya
perawatan yang cukup banyak. Gambaran klinis infeksi ini
yaitu, adanya discharge purulent disekitar luka operasi. Bakteri
yang menyebabkan infeksi ini biasanya didapat selama operasi
berlangsung, baik secara eksogen (misalnya dari udara,
peralatan medis, dokter bedah, dan staf lainnya), ataupun secara
endogen (misalnya dari flora yang terdapat di kulit atau di
tempat operasi) (2).
3. Nosokomial Pneumonia
Pneumonia nosokomial terjadi pada kelompok pasien yang
berbeda. Prevalensi infeksi ini paling sering terjadi pada pasien
dengan ventilator di unit perawatan intensif. Kolonisasi dari
mikroorganisme ini terjadi di perut, saluran napas bagian atas,
dan bronkus. Faktor risiko nosokomial pneumonia ini diketahui
berkaitan dengan jenis dan durasi ventilasi, kualitas perawatan
pernapasan, keparahan kondisi pasien (ada atau tidaknya
kegagalan organ), dan penggunaan antibiotk sebelumnya (2).
Terlepas dari penggunaan ventilator, pasien dengan kejang
atau penurunan tingkat kesadaran juga berisiko terkena infeksi
nosokomial, bahkan jika tidak dilakukan intubasi. Viral
brochiolitis sangat umum terjani di unit perawatan pediatric,
sedangkan influenza dan bacterial pneumonia sekunder sering
terjadi pada unit geriatri (2).

8
4. Nosokomial Bakteriemia
Prevalensi infeksi nosokomial jenis ini terbilang cukup
rendah, yaitu hanya sekitar 5% dari total infeksi nosokomial,
namun kasus kematian akibat infeksi ini sangat tinggi hingga
mencapai lebih dari 50%. Infeksi ini dibagi menjadi dua
kategori utama:
a. Infeksi pembuluh darah primer (IADP), muncul tanpa
adanya tanda infeksi sebelumnya, dan berbeda dengan
organisme yang ditemukan dibagian tubuhnya yang lain.
b. Infeksi sekunder, muncul sebagai akibat dari infeksi dari
organisme yang sama dari sisi tubuh yang lain.

Mortalitas yang terjadi pada infeksi ini terutama disebabkan


oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotika seperti
Staphylococcus dan Candida. Infeksi dapat muncul di tempat
masuknya alat-alat seperti jarum suntik, kateter urin, dan
kateter vena sentral (CVC). Faktor utama penyebab infeksi ini
adalah panjangnya kateter, suhu tubuh saat dilakukannya
prosedur invasif, dan perawatan dari pemasangan kateter (4).

E. Penularan Infeksi Nosokomial


1. Penularan secara kontak
Penularan ini dapat terjadi baik secara kontak langsung, kontak
tidak langsung dan droplet. Kontak langsung terjadi bila sumber
infeksi berhubungan langsung dengan penjamu, misalnya person to
person pada penularan infeksi hepatitis A virus secara fekal oral.
Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek
perantara (biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati
tersebut telah terkontaminasi oleh sumber infeksi, misalnya
kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganisme (5)
2. Penularan melalui common vehicle

9
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh
kuman dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu pejamu.
Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan
intra vena, obat-obatan, cairan antiseptik, dan sebagainya (5)
3. Penularan melalui udara dan inhalasi
Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran
yang sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang
cukup jauh dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme
yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas akan membentuk debu
yang 10 dapat menyebar jauh (Staphylococcus) dan tuberkulosis(5).
4. Penularan dengan Perantara Vektor
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal.
Disebut penularan secara eksternal bila hanya terjadi pemindahan
secara mekanis dari mikroorganime yang menempel pada tubuh
vektor, misalnya shigella dan salmonella oleh lalat. Penularan secara
internal bila mikroorganisme masuk kedalam tubuh vektor dan dapat
terjadi perubahan biologik, misalnya parasit malaria dalam nyamuk
atau tidak mengalami perubahan biologik, misalnya Yersenia pestis
pada ginjal (flea) (5).
5. Penularan melalui makanan dan minuman
Penyebaran mikroba patogen dapat melalui makanan atau
minuman yang disajikan untuk penderita. Mikroba patogen dapat ikut
menyertainya sehingga menimbulkan gejala baik ringan maupun berat
(5).

10
F. Siklus Terjadinya Infeksi Nosokomial
Semua manusia rentan terhadap infeksi bakteri dan sebagian besar
jenis virus. Jumlah (dosis) mikroorganisme yang diperlukan untuk
menyebabkan infeksi pada pejamu/host yang rentan bervariasi sesuai
dengan lokasi. Risiko infeksi cukup rendah ketika mikroorganisme
kontak dengan kulit yang utuh dan setiap hari manusia menyentuh benda
di mana terdapat sejumlah mikroorganisme di permukaannya. Risiko
infeksi akan meningkat bila area kontak adalah membran mukosa atau
kulit yang tidak utuh. Risiko infeksi menjadi sangat meningkat ketika
mikroorganisme berkontak dengan area tubuh yang biasanya tidak steril,
sehingga masuknya sejumlah kecil mikroorganisme saja dapat
menyebabkan sakit (6)
Faktor faktor penting dalam penularan mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakit dari orang ke orang dapat dilihat dalam gambar di
bawah ini :
a. Reservoir
Agen Reservoir adalah tempat mikroorganisme patogen mampu
bertahan hidup tetapi dapat atau tidak dapat berkembang biak. Siklus
infeksi nosokomial digunakan dalam perawatan pasien dengan
gangguan pernafasan. Resevoir yang paling umum adalah tubuh
manusia. Berbagai mikroorganisme hidup pada kulit dan rongga
tubuh, cairan, dan keluaran. Adanya mikroorganisme tidak selalu
menyebabkan seseorang menjadi sakit. Carrier (penular) adalah
manusia atau binatang yang tidak menunjukan gejala penyakit tetapi
ada mikroorganisme patogen dalam tubuh mereka yang dapat
ditularkan ke orang lain. Misalnya, seseorang dapat menjadi carrier
virus hepatitis B tanpa ada tanda dan gejala infeksi (6)
b. Portal keluar (Port of exit)
Setelah mikrooganisme menemukan tempat untuk tumbuh dan
berkembang biak, mereka harus menemukan jalan ke luar jika mereka
masuk ke pejamu lain dan menyebabkan penyakit. Pintu keluar masuk

11
mikroorganisme dapat berupa saluran pencernaan, pernafasan, kulit,
kelamin, dan plasenta (6)
c. Cara penularan (Mode of transmision)
Cara penularan bisa langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung misalnya; darah/cairan tubuh, dan hubungan kelamin, dan
secara tidak langsung melalui manusia, binatang, benda-benda mati,
dan udara (6)
d. Portal masuk (Port of entry)
Sebelum infeksi, mikroorganisme harus memasuki tubuh. Kulit
adalah bagian rentang terhadap infeksi dan adanya luka pada kulit
merupakan tempat masuk mikroorganisme. Mikroorganisme dapat
masuk melalui rute yang sama untuk keluarnya mikroorganisme (6)
e. Kepekaan dari host (host susceptibility)
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap
agen infeksius. Kerentanan tergantung pada derajat ketahanan
individu terhadap mikroorganisme patogen. Semakin virulen suatu
mikroorganisme semakin besar kemungkinan kerentanan seseorang.
Resistensi seseorang terhadap agen infeksius ditingkatkan dengan
vaksin (6)

G. Pengendalian Infeksi Nosokomial


Infeksi nosokomial merupakan masalah serius bagi rumah sakit.
Kerugian yang ditimbulkan sangat membebani rumah sakit dan pasien.
Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial merupakan upaya
penting dalam meningkatkan mutu pelayanan medis rumah sakit (7).
Program pengendalian infeksi ini dapat dikelompokan dalam tiga
kelompok yaitu tindakan operasional, tindakan organisasi, dan tindakan
struktural. Tindakan operasional mencakup kewaspadaan standar dan
kewaspadaan berdasarkan penularan atau transmisi (8). Kewaspadaan
standar mempunyai komponen utama dalam standar pencegahan dan
pengendalian infeksi nosokomial dan tindakan operasional mencakup
kegiatan sebagai berikut (9):

12
A. Mencuci tangan
B. Menggunakan alat pelindung diri/APD seperti: sarung tangan, masker,
pelindung wajah, kacamata dan apron pelindung
C. Praktik keselamatan kerja
D. Perawatan pasien
E. Penggunaan antiseptik, penanganan peralatan dalam perawatan pasien
dan kebersihan lingkungan.
A. Mencuci tangan
Mencuci tangan sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir dan
dengan sabun yang digosokkan selama 15 sampai 20 detik. Mencuci
tangan dengan sabun biasa dan air bersih adalah sama efektifnya
mencuci tangan dengan sabun antimikroba. Ada beberapa kondisi yang
mengharuskan petugas kesehatan menggunakan sabun antiseptik ini,
yaitu saat akan melakukan tindakan invasif, sebelum kontak dengan
pasien yang dicurigai mudah terkena infeksi (misalnya: bayi yang baru
lahir dan pasien yang dirawat di ICU) (10).
Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum dan sesudah
memeriksa dan mengadakan kontak langsung dengan pasien, saat
memakai melepas sarung tangan bedah steril atau yang telah di
disinfeksi tingkat tinggi pada operasi serta pada pemeriksaan untuk
prosedur rutin, saat menyiapkan, mengkonsumsi dan setelah makan
juga pada situasi yang membuat tangan terkontaminasi (misal:
memegang instrumen kotor, menyentuh membran mukosa, cairan
darah, cairan tubuh lain, melakukan kontak yang intensif dalam waktu
yamg lama dengan pasien, mengambil sampel darah, saat memeriksa
tekanan darah, tanda vital lainnya juga saat keluar masuk unit isolasi)
(10)
B. Penggunaan Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri yang paling baik adalah yang terbuat dari bahan
yang telah diolah atau bahan sintetik yang tidak tembus oleh cairan.
Sarung tangan melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan
penyakit dan dapat melindungi pasien dari mikroorganisme yang

13
terdapat di tangan petugas kesehatan. Sarung tangan merupakan
penghalang (barrier) yang paling penting untuk mencegah penyebaran
infeksi. Satu pasang sarung tangan harus digunakan untuk setiap pasien
sebagai upaya menghindari kontaminasi silang (11).
Sarung tangan dipakai saat ada kemungkinan kontak dengan darah
atau cairan tubuh lain, membran mukosa atau kulit yang terlepas, saat
akan melakukan prosedur medis yang bersifat invasif (seperti:
pemasangan kateter dan infus intravena), saat menangani bahan-bahan
bekas pakai yang telah terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang
tercemar, serta memakai sarung tangan bersih atau tidak steril saat akan
memasuki ruang pasien yang telah diketahui atau dicurigai mengidap
penyakit menular(11).
Masker dipakai untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh
memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan, juga menahan cipratan
yang keluar sewaktu petugas kesehatan berbicara, bersin dan batuk.
Masker juga dipakai untuk mencegah partikel melalui udara atau
droplet dari penderita penyakit menular (tuberkulosis). Masker dilepas
setelah pemakaian selama 20 menit secara terusmenerus atau masker
sudah tampak kotor atau lembab (12).
Pelindung mata dan wajah harus dipakai pada prosedur yang
memiliki kemungkinan terkena percikan darah atau cairan tubuh.
Pelindung mata harus jernih, tidak mudah berembun, tidak
menyebabkan distorsi, dan terdapat penutup disampingnya. Pemakaian
gaun pelindung terutama untuk melindungi baju dan kulit petugas
kesehatan dari sekresi respirasi. Gaun pelindung juga harus dipakai saat
ada kemungkinan terkena darah, cairan tubuh (12).
Apron terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan
air sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan. Apron harus
dikenakan dibawah gaun pelindung ketika melakukan perawatan
langsung pada pasien, membersihkan pasien atau melakukan prosedur
saat terdapat risiko terkena tumpahan darah dan cairan tubuh. Hal ini
penting jika gaun tidak tahan air (12).

14
C. Praktik keselamatan kerja
Praktik keselamatan kerja berhubungan dengan pemakaian
instrumen tajam seperti jarum suntik. Hal ini meliputi : hindari menutup
kembali jarum suntik yang telah digunakan. Bila terpaksa dilakukan,
maka gunakan teknik satu tangan untuk menutup jarum, hindari
melepas jarum yang telah digunakan dari spuit sekali pakai, hindari
membengkokkan, menghancurkan atau memanipulasi jarum suntik
dengan tangan serta masukkan instrumen tajam ke dalam wadah yang
tahan tusukkan dan tahan air (9).
D. Perawatan pasien
Perawatan pasien yang sering dilakukan meliputi tindakan:
pemakaian kateter urin, pemakaian alat intravaskular, transfusi darah,
pemasangan selang nasogastrik, pemakaian ventilator dan perawatan
luka bekas operasi. Kateterisasi kandung kemih membawa risiko tinggi
terhadap infeksi saluran kemih (ISK). Penelitian menunjukkan bahwa
kebanyakan ISK nosokomial terjadi akibat instrumentasi traktus
urinarius, terutama pada tindakan kateterisasi. Pemasangan kateter urin
merupakan tindakan perawatan yang sering dilakukan di rumah sakit.
Prosedur pemasangan hingga pencabutan kateter urin harus dilakukan
sesuai prinsip aseptik untuk mencegah dan mengendalikan ISK
nosokomia (9).
Prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perawatan respiratori
seperti intubasi endotrakeal, pengisapan dan ventilasi mekanik memberi
kesempatan transmisi mikroorganisme dari bendabenda mati ke pasien
(pada komponen humidifier, nebulizer dan ventilator yang
terkontaminasi) serta pemindahan mikroorganisme melalui tangan
petugas kesehatan yang terkontaminasi, dari satu pasien ke pasien
lainnya. Prosedur lain yang dapat membahayakan saluran pernapasan
adalah pemberian oksigen, pengobatan pernapasan tekanan positif
intermitten, pemasangan dan pemeliharaan jalan napas buatan dan
pengisapan endotrakeal. Cara yang paling penting untuk mencegah
infeksi nosokomial adalah memutus cara penularan yang berhubungan

15
dengan prosedur perawatan peralatan. Dekontaminasi, pembersihan dan
sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi harus diperhatikan sebelum
peralatan digunakan kembali (9).
E. Penggunaan Antiseptik
Larutan antiseptik dapat digunakan untuk mencuci tangan terutama
pada tindakan bedah, pembersihan kulit sebelum tindakan bedah atau
tindakan invasif lainnya. Instrumen yang kotor, sarung tangan bedah
dan barang-barang lain yang digunakan kembali dapat diproses dengan
dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi
(DTT) untuk mengendalikan infeksi. Dekontaminasi dan pembersihan
merupakan dua tindakan pencegahan dan pengendalian yang sangat
efektif meminimalkan risiko penularan infeksi. Hal penting sebelum
membersihkan adalah mendekontaminasi alat tersebut. Sterilisasi harus
dilakukan untuk alat-alat yang kontak langsung dengan aliran darah
atau cairan tubuh lainnya dan jaringan. Sterilisasi dapat dilakukan
dengan menggunakan uap bertekanan tinggi (autoclafe), pemanasan
kering (oven), sterilisasi kimiawi dan fisik (13).

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Infeksi nosokomial atau yang disebut juga Hospital Acquired Infection


(HAI) adalah infeksi yang didapat di rumah sakit atau difasilitas kesehatan
lainnya. Secara universal di seluruh dunia, 5%-10% pasien memperoleh
infeksi nosokomial, 20%-30% pasien tersebut merupakan pasien yang
menjalani perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Penelitian dari
berbagai universitas di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pasien ICU
mempunyai kekerapan infeksi nosokomial 5-8 kali lebih tinggi dalam proses
asuhan keperawatan.
Terdapat banyak patogen berbeda yang dapat menyebabkan infeksi
nosokomial, yaitu, bakteri, virus, parasit dan fungi. Untuk pengendalian
infeksi nosokomial dapat membatasi transmisi organisme dari atau antara
pasien dengan cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan,
tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan, mengontrol resiko
penularan dari lingkungan, melindungi pasien dengan penggunaan
antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi, membatasi
resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif, pengawasan
infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Nugraheni R, Suhartono, Winarni S. Infeksi Nosokomial di RSUD


Setjonegoro Kabupaten Wonosobo. Media Kesehat Masy Indones
[Internet]. 2012;11(1):94–100. Available from:
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mkmi/article/view/6169

2. Caroline, Waworuntu O, Buntuan V. Potensi Penyebaran Infeksi


Nosokomial di Ruangan Instalasi Rawat Inap Khusus Tuberkulosis (Irina
C5) BLU RSUP PROF. DR. R. D. Kandau Manado. J e-Biomedik. 2016;4.

3. Tirmanidhana F, Raodhah S, Bujawati E. Analisis Pelaksanaan Pencegahan


dan Pengendalian Infeksi Nosokomial Di ICU RSUD Labuang Baji
Makassar. 2016;2010.

4. A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi I, Alwi MSK& SS. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam Jilid II. VI. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2014.

5. Haryanto Y. Hubungan Motivasi Perawat Dengan Perilaku Pencegahan


Infeksi Nosokomial Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit 50 Hospital Cinere
Tahun 2010. Skripsi. 2010;

6. Depkes RI. Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di


Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan terhadap Penerapan Standar
Operasional Prosedur Kesehatan Lainnya. 2009.

7. Kondoj., R.L.M. & Tumurang. M. Penerapan Standar Operasional Prosedur


Asuhan Keperawatan Berdasarkan Model Praktek Keperawatan Profesional
di Rawat Inap RSJ Prof DR. V. L Ratumbuysang Manado. Samratulangi
Manado. 2014;

8. Widyanita, A., Listiowati E. Hubungan Tingkat Pengetahuan Hand hygiene


dengan Kepatuhan Pelaksanaan Hand hygiene pada Peserta Program
Pendidikan Profesi Dokter. Biomedika.Vol.6.No.1. 2014;6.

18
9. Sasia D. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Mencuci
Tangan pada Dokter Program Pendidikan Spesialis di Ruang Rawat Inap
Gedung A RSCM Tahun 2015.(Skripsi). Jakarta:Universitas Esa Unggul.
2015;

10. Ernawati, E., R Asih., Wiyanto S. Penerapan Hand Hygiene Perawat di


Ruang Rawat Inap Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28,
Suplemen No. 1. 2014;28.

11. Chen J.K et al. Impact of implementation of the World Health Organization
multimodal hand hygiene improvement strategy in a teaching hospital in
Taiwan, American Journal of Infection Control 44 (2016) 222-7. Am J
Infect Control. 2016;

12. Nabavi M.,Mostafa A.M., Latif G. & MM. Knowledge, Attitudes, and
Practices Study on Hand Hygiene Among Imam Hossein Hospital’s
Residents in 2013, Iran Red Crescent Med J. 2015;17(10). 2015;

13. Santosaningsi D. Hand Hygiene Compliance, Knowledge, and Perception


among Healthcare Workers. Lab of Microbiology, Faculty of Medicine,
Brawijaya University, Infection Prevention and Control Committee, Dr.
Saiful Anwar Hospital PhD candidate, Erasmus University Medical Ce.
2016;

19

Anda mungkin juga menyukai