A. Latar Belakang
Infeksi nosokomial (Hospital Acquired Infection/Nosocomial Infection)
adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit atau ketika penderita itu dirawat di
rumah sakit. Nosokomial berasal dari kata Yunani nosocomium yang berarti
rumah sakit. Jadi kata nosokomial artinya "yang berasal dar irumah sakit”,
sementara kata infeksi artinya terkena hama penyakit1 . Infeksi ini baru timbul
sekurang-kurangnya dalam waktu 3 x 24 jam sejak mulai dirawat, dan bukan
infeksi kelanjutan perawatan sebelumnya3 . Rumah sakit merupakan tempat yang
memudahkan penularan berbagai penyakit infeksi(1)
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian
terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-
penyakit infeksi masih menjadi penyebab utamanya. Suatu penelitian yang
dilakukan oleh WHO tahun 2006 menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah
sakit dari 14 negara di Eropa, Timur tengah, dan Asia Tenggara dan Pasifik
terdapat infeksi nosokomial, khususnya di AsiaTenggara sebanyak l0%2(1).
Survei prevalensi yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO)
di 55 rumah sakit dari 14 negara yang mewakili 4 wilayah kerja WHO (Eropa,
Mediterania, Asia Tenggara dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% dari
pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami infeksi nosokomial dan frekuensi
tertinggi infeksi nosokomial dilaporkan dari rumah sakit di Asia Tenggara dengan
prevalensi 11%. Setiap saat, lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita
bukan hanya dari penyakit dasarnya melainkan juga dari komplikasi infeksi yang
diperoleh dari rumah sakit. Tingkat infeksi yang lebih tinggi ditemukan pada
pasien dengan peningkatan kerentanan karena faktor usia tua, sementara dalam
kemoterapi dan faktor penyakit kronis yang mendasari sehingga mengganggu
sistem kekebalan tubuh pasien (2).
Berbagai hal dan kondisi tersebut menjadi landasan utama untuk melatar
belakangi penulisan referat tentang infeksi nosokomial ini.
2
B. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai Infeksi Nosokomial
2. Mahasiswa dapat mengetahui epidemiologi terjadinya Infeksi
Nosokomial
3. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi dan klasifikasi Infeksi
Nosokomial
4. Mahasiswa dapat mengetahui cara penularan dan siklus terjadinya
Infeksi Nosokomial
5. Mahasiswa dapat mengetahui cara pengendalian Infeksi
Nosokomial
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
intensif (ICU). Penelitian dari berbagai universitas di Amerika Serikat
menyebutkan bahwa pasien ICU mempunyai kekerapan infeksi
nosokomial 5-8 kali lebih tinggi. WHO menyatakan bahwa prevalensi
tertinggi infeksi nosokomial adalah ICU sebesar 28,2%, surgery sebesar
26,4%, mixed population sebesar 23,6%, pediatrics sebesar 18,2%, dan
other high risk patient sebesar 3,6%. Angka infeksi nosokomial pada
bangsal anak terjadi paling tinggi pada umur kurang dari 1 tahun. Angka
infeksi tertinggi (terutama infeksi sistemik) terjadi di NICU (Neonatal
Intensive Care Unit) karena risiko infeksi bertambah tinggi (pada bayi
berat badan lahir rendah). Bayi prematur 500-1000 gram jika mereka
hidup mempunyai risiko tinggi untuk infeksi (3).
1. Bakteri
Dibawah ini adalah patogen infeksi nosokomial yang paling
sering dijumpai:
a. Commensal bacteria
5
b. Pathogenic bacteria
2. Virus
6
ditularkan lewat kontak tangan ke mulut maupun fecal-oral.
Rute penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme
lainnya, seperti melalui traktus gastrointestinal, traktus
respiratorius, kulit dan darah. Virus lain yang sering
menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus,
ebola, influenza virus, herpes simplex virus, dan varicella-
zoster virus (4).
7
mikroorganisme/ml, dengan maksimum 2 spesies bakteri
terisolasi). Bakteri tersebut berasal dari flora usus, baik flora
normal seperti Escherichia coli, ataupun yang diperoleh dari
rumah sakit seperti multiresisten Klebsiella (2).
2. Infeksi Luka Operasi (ILO)
Infeksi luka operasi juga merupakan infeksi nosokomial
yang sering terjadi. Insidensinya bervariasi dari 0,5% sampai
15% tergantung jenis operasi dan status dasar pasien.
Dampaknya adalah bertambahnya lama perawatan pasca
operasi sekitar 3 sampai 20 hari dan meningkatnya biaya
perawatan yang cukup banyak. Gambaran klinis infeksi ini
yaitu, adanya discharge purulent disekitar luka operasi. Bakteri
yang menyebabkan infeksi ini biasanya didapat selama operasi
berlangsung, baik secara eksogen (misalnya dari udara,
peralatan medis, dokter bedah, dan staf lainnya), ataupun secara
endogen (misalnya dari flora yang terdapat di kulit atau di
tempat operasi) (2).
3. Nosokomial Pneumonia
Pneumonia nosokomial terjadi pada kelompok pasien yang
berbeda. Prevalensi infeksi ini paling sering terjadi pada pasien
dengan ventilator di unit perawatan intensif. Kolonisasi dari
mikroorganisme ini terjadi di perut, saluran napas bagian atas,
dan bronkus. Faktor risiko nosokomial pneumonia ini diketahui
berkaitan dengan jenis dan durasi ventilasi, kualitas perawatan
pernapasan, keparahan kondisi pasien (ada atau tidaknya
kegagalan organ), dan penggunaan antibiotk sebelumnya (2).
Terlepas dari penggunaan ventilator, pasien dengan kejang
atau penurunan tingkat kesadaran juga berisiko terkena infeksi
nosokomial, bahkan jika tidak dilakukan intubasi. Viral
brochiolitis sangat umum terjani di unit perawatan pediatric,
sedangkan influenza dan bacterial pneumonia sekunder sering
terjadi pada unit geriatri (2).
8
4. Nosokomial Bakteriemia
Prevalensi infeksi nosokomial jenis ini terbilang cukup
rendah, yaitu hanya sekitar 5% dari total infeksi nosokomial,
namun kasus kematian akibat infeksi ini sangat tinggi hingga
mencapai lebih dari 50%. Infeksi ini dibagi menjadi dua
kategori utama:
a. Infeksi pembuluh darah primer (IADP), muncul tanpa
adanya tanda infeksi sebelumnya, dan berbeda dengan
organisme yang ditemukan dibagian tubuhnya yang lain.
b. Infeksi sekunder, muncul sebagai akibat dari infeksi dari
organisme yang sama dari sisi tubuh yang lain.
9
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh
kuman dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu pejamu.
Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan
intra vena, obat-obatan, cairan antiseptik, dan sebagainya (5)
3. Penularan melalui udara dan inhalasi
Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran
yang sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang
cukup jauh dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme
yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas akan membentuk debu
yang 10 dapat menyebar jauh (Staphylococcus) dan tuberkulosis(5).
4. Penularan dengan Perantara Vektor
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal.
Disebut penularan secara eksternal bila hanya terjadi pemindahan
secara mekanis dari mikroorganime yang menempel pada tubuh
vektor, misalnya shigella dan salmonella oleh lalat. Penularan secara
internal bila mikroorganisme masuk kedalam tubuh vektor dan dapat
terjadi perubahan biologik, misalnya parasit malaria dalam nyamuk
atau tidak mengalami perubahan biologik, misalnya Yersenia pestis
pada ginjal (flea) (5).
5. Penularan melalui makanan dan minuman
Penyebaran mikroba patogen dapat melalui makanan atau
minuman yang disajikan untuk penderita. Mikroba patogen dapat ikut
menyertainya sehingga menimbulkan gejala baik ringan maupun berat
(5).
10
F. Siklus Terjadinya Infeksi Nosokomial
Semua manusia rentan terhadap infeksi bakteri dan sebagian besar
jenis virus. Jumlah (dosis) mikroorganisme yang diperlukan untuk
menyebabkan infeksi pada pejamu/host yang rentan bervariasi sesuai
dengan lokasi. Risiko infeksi cukup rendah ketika mikroorganisme
kontak dengan kulit yang utuh dan setiap hari manusia menyentuh benda
di mana terdapat sejumlah mikroorganisme di permukaannya. Risiko
infeksi akan meningkat bila area kontak adalah membran mukosa atau
kulit yang tidak utuh. Risiko infeksi menjadi sangat meningkat ketika
mikroorganisme berkontak dengan area tubuh yang biasanya tidak steril,
sehingga masuknya sejumlah kecil mikroorganisme saja dapat
menyebabkan sakit (6)
Faktor faktor penting dalam penularan mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakit dari orang ke orang dapat dilihat dalam gambar di
bawah ini :
a. Reservoir
Agen Reservoir adalah tempat mikroorganisme patogen mampu
bertahan hidup tetapi dapat atau tidak dapat berkembang biak. Siklus
infeksi nosokomial digunakan dalam perawatan pasien dengan
gangguan pernafasan. Resevoir yang paling umum adalah tubuh
manusia. Berbagai mikroorganisme hidup pada kulit dan rongga
tubuh, cairan, dan keluaran. Adanya mikroorganisme tidak selalu
menyebabkan seseorang menjadi sakit. Carrier (penular) adalah
manusia atau binatang yang tidak menunjukan gejala penyakit tetapi
ada mikroorganisme patogen dalam tubuh mereka yang dapat
ditularkan ke orang lain. Misalnya, seseorang dapat menjadi carrier
virus hepatitis B tanpa ada tanda dan gejala infeksi (6)
b. Portal keluar (Port of exit)
Setelah mikrooganisme menemukan tempat untuk tumbuh dan
berkembang biak, mereka harus menemukan jalan ke luar jika mereka
masuk ke pejamu lain dan menyebabkan penyakit. Pintu keluar masuk
11
mikroorganisme dapat berupa saluran pencernaan, pernafasan, kulit,
kelamin, dan plasenta (6)
c. Cara penularan (Mode of transmision)
Cara penularan bisa langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung misalnya; darah/cairan tubuh, dan hubungan kelamin, dan
secara tidak langsung melalui manusia, binatang, benda-benda mati,
dan udara (6)
d. Portal masuk (Port of entry)
Sebelum infeksi, mikroorganisme harus memasuki tubuh. Kulit
adalah bagian rentang terhadap infeksi dan adanya luka pada kulit
merupakan tempat masuk mikroorganisme. Mikroorganisme dapat
masuk melalui rute yang sama untuk keluarnya mikroorganisme (6)
e. Kepekaan dari host (host susceptibility)
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap
agen infeksius. Kerentanan tergantung pada derajat ketahanan
individu terhadap mikroorganisme patogen. Semakin virulen suatu
mikroorganisme semakin besar kemungkinan kerentanan seseorang.
Resistensi seseorang terhadap agen infeksius ditingkatkan dengan
vaksin (6)
12
A. Mencuci tangan
B. Menggunakan alat pelindung diri/APD seperti: sarung tangan, masker,
pelindung wajah, kacamata dan apron pelindung
C. Praktik keselamatan kerja
D. Perawatan pasien
E. Penggunaan antiseptik, penanganan peralatan dalam perawatan pasien
dan kebersihan lingkungan.
A. Mencuci tangan
Mencuci tangan sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir dan
dengan sabun yang digosokkan selama 15 sampai 20 detik. Mencuci
tangan dengan sabun biasa dan air bersih adalah sama efektifnya
mencuci tangan dengan sabun antimikroba. Ada beberapa kondisi yang
mengharuskan petugas kesehatan menggunakan sabun antiseptik ini,
yaitu saat akan melakukan tindakan invasif, sebelum kontak dengan
pasien yang dicurigai mudah terkena infeksi (misalnya: bayi yang baru
lahir dan pasien yang dirawat di ICU) (10).
Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum dan sesudah
memeriksa dan mengadakan kontak langsung dengan pasien, saat
memakai melepas sarung tangan bedah steril atau yang telah di
disinfeksi tingkat tinggi pada operasi serta pada pemeriksaan untuk
prosedur rutin, saat menyiapkan, mengkonsumsi dan setelah makan
juga pada situasi yang membuat tangan terkontaminasi (misal:
memegang instrumen kotor, menyentuh membran mukosa, cairan
darah, cairan tubuh lain, melakukan kontak yang intensif dalam waktu
yamg lama dengan pasien, mengambil sampel darah, saat memeriksa
tekanan darah, tanda vital lainnya juga saat keluar masuk unit isolasi)
(10)
B. Penggunaan Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri yang paling baik adalah yang terbuat dari bahan
yang telah diolah atau bahan sintetik yang tidak tembus oleh cairan.
Sarung tangan melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan
penyakit dan dapat melindungi pasien dari mikroorganisme yang
13
terdapat di tangan petugas kesehatan. Sarung tangan merupakan
penghalang (barrier) yang paling penting untuk mencegah penyebaran
infeksi. Satu pasang sarung tangan harus digunakan untuk setiap pasien
sebagai upaya menghindari kontaminasi silang (11).
Sarung tangan dipakai saat ada kemungkinan kontak dengan darah
atau cairan tubuh lain, membran mukosa atau kulit yang terlepas, saat
akan melakukan prosedur medis yang bersifat invasif (seperti:
pemasangan kateter dan infus intravena), saat menangani bahan-bahan
bekas pakai yang telah terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang
tercemar, serta memakai sarung tangan bersih atau tidak steril saat akan
memasuki ruang pasien yang telah diketahui atau dicurigai mengidap
penyakit menular(11).
Masker dipakai untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh
memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan, juga menahan cipratan
yang keluar sewaktu petugas kesehatan berbicara, bersin dan batuk.
Masker juga dipakai untuk mencegah partikel melalui udara atau
droplet dari penderita penyakit menular (tuberkulosis). Masker dilepas
setelah pemakaian selama 20 menit secara terusmenerus atau masker
sudah tampak kotor atau lembab (12).
Pelindung mata dan wajah harus dipakai pada prosedur yang
memiliki kemungkinan terkena percikan darah atau cairan tubuh.
Pelindung mata harus jernih, tidak mudah berembun, tidak
menyebabkan distorsi, dan terdapat penutup disampingnya. Pemakaian
gaun pelindung terutama untuk melindungi baju dan kulit petugas
kesehatan dari sekresi respirasi. Gaun pelindung juga harus dipakai saat
ada kemungkinan terkena darah, cairan tubuh (12).
Apron terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan
air sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan. Apron harus
dikenakan dibawah gaun pelindung ketika melakukan perawatan
langsung pada pasien, membersihkan pasien atau melakukan prosedur
saat terdapat risiko terkena tumpahan darah dan cairan tubuh. Hal ini
penting jika gaun tidak tahan air (12).
14
C. Praktik keselamatan kerja
Praktik keselamatan kerja berhubungan dengan pemakaian
instrumen tajam seperti jarum suntik. Hal ini meliputi : hindari menutup
kembali jarum suntik yang telah digunakan. Bila terpaksa dilakukan,
maka gunakan teknik satu tangan untuk menutup jarum, hindari
melepas jarum yang telah digunakan dari spuit sekali pakai, hindari
membengkokkan, menghancurkan atau memanipulasi jarum suntik
dengan tangan serta masukkan instrumen tajam ke dalam wadah yang
tahan tusukkan dan tahan air (9).
D. Perawatan pasien
Perawatan pasien yang sering dilakukan meliputi tindakan:
pemakaian kateter urin, pemakaian alat intravaskular, transfusi darah,
pemasangan selang nasogastrik, pemakaian ventilator dan perawatan
luka bekas operasi. Kateterisasi kandung kemih membawa risiko tinggi
terhadap infeksi saluran kemih (ISK). Penelitian menunjukkan bahwa
kebanyakan ISK nosokomial terjadi akibat instrumentasi traktus
urinarius, terutama pada tindakan kateterisasi. Pemasangan kateter urin
merupakan tindakan perawatan yang sering dilakukan di rumah sakit.
Prosedur pemasangan hingga pencabutan kateter urin harus dilakukan
sesuai prinsip aseptik untuk mencegah dan mengendalikan ISK
nosokomia (9).
Prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perawatan respiratori
seperti intubasi endotrakeal, pengisapan dan ventilasi mekanik memberi
kesempatan transmisi mikroorganisme dari bendabenda mati ke pasien
(pada komponen humidifier, nebulizer dan ventilator yang
terkontaminasi) serta pemindahan mikroorganisme melalui tangan
petugas kesehatan yang terkontaminasi, dari satu pasien ke pasien
lainnya. Prosedur lain yang dapat membahayakan saluran pernapasan
adalah pemberian oksigen, pengobatan pernapasan tekanan positif
intermitten, pemasangan dan pemeliharaan jalan napas buatan dan
pengisapan endotrakeal. Cara yang paling penting untuk mencegah
infeksi nosokomial adalah memutus cara penularan yang berhubungan
15
dengan prosedur perawatan peralatan. Dekontaminasi, pembersihan dan
sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi harus diperhatikan sebelum
peralatan digunakan kembali (9).
E. Penggunaan Antiseptik
Larutan antiseptik dapat digunakan untuk mencuci tangan terutama
pada tindakan bedah, pembersihan kulit sebelum tindakan bedah atau
tindakan invasif lainnya. Instrumen yang kotor, sarung tangan bedah
dan barang-barang lain yang digunakan kembali dapat diproses dengan
dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi
(DTT) untuk mengendalikan infeksi. Dekontaminasi dan pembersihan
merupakan dua tindakan pencegahan dan pengendalian yang sangat
efektif meminimalkan risiko penularan infeksi. Hal penting sebelum
membersihkan adalah mendekontaminasi alat tersebut. Sterilisasi harus
dilakukan untuk alat-alat yang kontak langsung dengan aliran darah
atau cairan tubuh lainnya dan jaringan. Sterilisasi dapat dilakukan
dengan menggunakan uap bertekanan tinggi (autoclafe), pemanasan
kering (oven), sterilisasi kimiawi dan fisik (13).
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
17
DAFTAR PUSTAKA
18
9. Sasia D. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Mencuci
Tangan pada Dokter Program Pendidikan Spesialis di Ruang Rawat Inap
Gedung A RSCM Tahun 2015.(Skripsi). Jakarta:Universitas Esa Unggul.
2015;
11. Chen J.K et al. Impact of implementation of the World Health Organization
multimodal hand hygiene improvement strategy in a teaching hospital in
Taiwan, American Journal of Infection Control 44 (2016) 222-7. Am J
Infect Control. 2016;
12. Nabavi M.,Mostafa A.M., Latif G. & MM. Knowledge, Attitudes, and
Practices Study on Hand Hygiene Among Imam Hossein Hospital’s
Residents in 2013, Iran Red Crescent Med J. 2015;17(10). 2015;
19