Disusun Oleh:
Nama : Aurina Imah Haryoko S.Ked
NIM : 1513010019
NIPP : 1913020012
Pembimbing:
dr. Gama Sita Sp.S
i
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan Tutorial Klinik dengan judul
Gangguan Belajar Pada Epilepsi
Disusun Oleh:
Nama : Aurina Imah Haryoko S.Ked
NIM : 1513010019
NIPP : 1913020012
Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: , September 2020
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
ii
dr. Gama Sita Sp.S
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................5
BAB II......................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................7
2.1 Definisi Epilepsi...............................................................................................7
2.2 Epidemiologi..................................................................................................7
2.3 Etiologi...........................................................................................................8
2.4 Faktor Resiko..................................................................................................8
2.5 Patofisiologi....................................................................................................9
2.6 Klasifikasi.....................................................................................................11
Serangan parsial.....................................................................................................11
2. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu).........................................12
3. Serangan umum sekunder...............................................................................12
4. Serangan umum...............................................................................................12
5. Tak tergolongkan.............................................................................................12
Berkaitan dengan letak fokus.................................................................................12
2.7 Diagnosis......................................................................................................13
B. Riwayat Penyakit Dahulu...........................................................................13
2.8 Penatalaksanaan............................................................................................16
2.9 Komplikasi....................................................................................................18
2.10 Efek Kejang dan Epileptogenesis pada Otak sedang Berkembang............18
2.11 Gangguan Kognitif pada Penderita Epilepsi..............................................20
2.12 Mekanisme Gangguan Kognitif pada Epilepsi...........................................21
2.13 Penyebab Gangguan Kognitif pada Pasien Epilepsi...................................24
BAB III..................................................................................................................31
PENUTUP..............................................................................................................31
3.1 Kesimpulan...................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta
jiwa. Di Bagian llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta
didapatkan sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada
kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing 43,6% dan 48,670.5 Penelitian di RSU
dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 86 kasus epilepsi pada
anak. Penderita terbanyak pada golongan umur 1 - 6 tahun (46,5%), kemudian 6 -
10 tahun (29,1%), 10 - 18 tahun (16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%). Studi
7
prevalensi epilepsi pernah dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1984 dengan
sampel 1 wilayah. Hasil studi didapatkan prevalensi epilepsi sebesar 4,87 per 1000
penduduk (Aminoff et al, 2009)
2.3 Etiologi
Menurut (Anonymous 2003, Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005)
1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,
penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai
inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya
predisposisi genetik.
8
c. Kehamilan primipara / multipara
d. Pemakaian bahan toksik
2. Faktor Natal
a. Afiksia
b. BBL
c. Kehamilan premature / postmatur
d. Partus lama
e. Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, SC )
f. Perdarahan intrakranial
3. Faktor Postnatal
a. Kejang demam
b. Trauma kepala
c. Infeksi SSP
d. Epilepsy akibat toksik
e. Gangguan metabolik
4. Faktor keturunan
5. Kelainan Genetik
2.5 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila prose eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, dan pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion
channel openening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya
dalm hal inisiasi dan perambatan aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan imtraseluler, dan oleh gerakan
keluar masuk ion-ion menembus membran neuron (Zakiah et al, 2009)
Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk jga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptok di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Membedakan seorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain.
Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan
dosis rangsangan berbeda-beda.
Merupakan faktor pencetus terjadinya bnagkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang
kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan
reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang adalah :
membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion klaium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi (Zakiah et al, 2009)
11
2.6 Klasifikasi
Serangan parsial
1. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
2. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
- Gangguan kesadaran saat awal serangan.
3. Serangan umum sekunder
- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.
4. Serangan umum.
- Absans (lena)
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Atonik.
5. Tak tergolongkan.
12
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
2.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah
dapat ditegakkan. Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan
menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang
dialami penderita.
A. Anamnesis
14
C. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau
sinus. Sebabsebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui
pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.
D. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak
b. Neuroimaging
16
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
17
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat
tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah
serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi
sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali
ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-
tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan
obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat
mengatasi kejang
2) Terapi bedah Merupakan tindakan operasi yang dilakukan
dengan memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu
jaringan otak 24 yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan
terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap
pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi
berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak
dengan kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat
antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat.
Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak
penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik
dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak
prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih
ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan
derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah
makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah kebutuhan kalori harian
18
diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian 25
kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
antiepilepsi.
2.9 Komplikasi
Bila serangan epilepsy sering terjadi dan berlangsung lama,
maka akan terjadi kerusakan pada organ otak, dimana tingkat
kerusakan biasanya bersifat irreversible dan jika sering terjadi dengan
jangka waktuyang lama sering sekali membuat pasien menjadi cacat.
19
Kognitif merupakan salah satu aspek terpenting pada tumbuh
kembang anak, dan gangguan ini sering ditemukan pada anak dengan
epilepsi. Gangguan kognitif pada anak dengan epilepsi dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:1) faktor berhubungan
dengan kejang, 2) faktor yang tidak berhubungan dengan kejang, 3)
faktor yang berhubungan dengan terapi terutama obat anti epilepsi
(OAE) dan pembedahan, dan 4) faktor yang berhubungan dengan
komorbiditas (Bjornaes,2001;Rizzodkk,2004)
2.10.2 Atensi
2.10.3 Bahasa
20
Pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan
neurobehavior. Apabila terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan
kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan sulit dinilai
(Rizzo dkk, 2004; Eddy, dkk., 2011.).
2.10.4 Memori
23
mengalami kerusakan pada berbagai kondisi yang menyebabkan
autisme dan epilepsi. Kelainan ini termasuk CDKL5 pada sindroma
West, methyl-CpG binding protein 2 (MeCP2) pada sindroma Rett,
protein retardasi mental fragile X (FMRP) pada syndrome retardasi
mental fragil X, target mamalia dari rapamycin (mTOR) pada
tuberosklerosis, dan reelin pada lissensefali (Persad, dkk., 2005; Kayal,
2011) Plastisitas sinaps tergantung pada jenis protein gennya yang
mengalami kerusakan pada berbagai kondisi yang menyebabkan
autisme dan epilepsi. Kelainan ini termasuk CDKL5 pada sindroma
West, methyl-CpG binding protein 2 (MeCP2) pada sindroma Rett,
protein retardasi mental fragile X (FMRP) pada syndrome retardasi
mental fragil X, target mamalia dari rapamycin (mTOR) pada
tuberosklerosis, dan reelin pada lissensefali (Persad, dkk., 2005; Kayal,
2011)
25
a) Usia
Onset epilepsi Semakin muda onset epilepsi semakin besar
kemungkinan terjadi gangguan memori. Pembentukan sinaps-
sinaps yang kompleks sebagai reaksi terhadap informasi yang
didapat mencapai puncaknya pada usia 23 tahun, dan
kemampuan tersebut menurun sejalan dengan bertambahnya
usia. Semakin banyak kompleks sinaps-sinaps terbentuk
menandakan semakin banyak informasi yang disimpannya,
sehingga semakin cerdas anak tersebut. Kejang yang terjadi
pada usia lebih muda menyebabkan gangguan pada
pembentukan sinaps-sinaps yang optimal. Usia onset epilepsi
dibawah umur 3 tahun merupakan faktor prediktor sangat kuat
terjadinya gangguan memori (Fosgren, 2001; Eddy,dkk.,
2011).
b) Lama kejang
Kejang yang lama tidak terkendali akan menyebabkan
kerusakan neuron. Neuron yang rusak akan berdegenerasi
membentuk pertunasan baru yang bersifat eksitasi, sehingga
terjadi keadaan hipereksitasi. Gangguan yang timbul
tergantung pada letak neuron yang rusak. Gangguan yang
timbul di area yang mengatur daya ingat, maka daya ingat akan
terganggu. Kejang dikatakan lama jika berlangsung >15 menit.
Kejang lama juga akan menyebabkan menurunnya kesadaran
dan menimbulkan kelelahan pada penderita sehingga akan
mengganggu proses pengenalan informasi (Reddy, 2013).
c) Frekuensi kejang
Kejang pada epilepsi mengganggu fungsi daya ingat, karena
aktivitas listrik abnormal tersebut mengganggu sinaps-sinaps
yang telah terbentuk. Aktivitas listrik abnormal tersebut juga
mengganggu proses pengenalan dan penyimpanan memori.
Kejang yang sering berulang dapat mengakibatkan kelelahan
26
yang akan mengganggu konsentrasi sehingga proses
pengenalan terganggu. Timbulnya kebingungan pasca kejang
juga mengganggu daya ingat bekerja secara optimal.
d) Kesadaran saat kejang
Kejang yang disertai gangguan kesadaran dapat mengganggu
fungsi mental yang dapat berlangsung beberapa hari. Sebagian
besar epilepsi mengalami gangguan kesadaran pada saat
serangan kejang dan jika kejang berlangsung lama, maka bisa
terjadi penurunan kesadaran. Akibat kejadian itu maka terjadi
kematian neuron-neuron di otak dan semakin mengganggu
komunikasi antar neuron yang menimbulkan gangguan
kognitif dan kelainan neurologis lainnya (Kwan, 2011; Reddy,
2013)
e) Etiologi epilepsi
Epilepsi idiopatik sebagian besar tidak menyebabkan gangguan
memori atau mengalami gangguan kognitif ringan saja dan
tingkat intelegensia penderita juga pada umumnya dalam
rentang normal. Pada epilepsi simptomatik, misalnya tumor
atau lesi di lobus temporalis sinistra akan menyebabkan
gangguan memori verbal, lesi di lobus temporalis dekstra akan
menyebabkan gangguan memori visual. Lesi di lobus frontal
menyebabkan proses pengenalan informasi dan pengeluaran
kembali memori terganggu (Shorvon, 2007; Berg, dkk., 2012).
f) Gambaran EEG
Kejang dapat dibedakan menjadi kejang klinis yakni kejang
yang dapat dilihat dengan kasat mata secara klinis, sedangkan
kejang elektrografik (kejang elektrik) adalah kejang yang
hanya dapat dilihat pada gambaran elektroensefalogram (EEG)
yang dinamakan inter-ictal epilepticform discharge. Penderita
epilepsi dengan gambaran EEG abnormal (inter-ictal
epilepticform discharge=IED), terbukti mengalami gangguan
27
kognitif lebih berat dibandingkan dengan penderita dengan
EEG normal (Kayal, 2011; Berg, dkk., 2012
2.13 Penilaian Fungsi Kognitif pada pasien Epilepsi
Penilaian perkembangan kognitif anak menggunakan Mullen tes
(The Mullen Scales of Learning) AGS edition, merupakan tes
diagnostik perkembangan kognitif anak usia 0-68 bulan yang
dicetuskan oleh Eileen M Mullen. Skala pengukuran ini didasarkan
pada teori bahwa intelegensia anak terdiri dari lima komponen
penunjang yang harus dinilai secara terpisah yaitu motorik kasar
(gross motor), motorik halus (fine motor), bahasa ekspresif
(expressive language), bahasa reseptif (reseptive language), dan visual
reseptif (visual reseption). Setelah anak digolongkan dalam kelompok
umur yang akan dinilai kemudian dihitung skor/nilai yang didapat dari
masing-masing kategori kemudian disesuaikan lagi menurut umur.
Hasil akhir dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu very high
(composite standard score 49- 70), above average (composite standard
score 71-84), average (composite standard score 85-115), below
average (composite standard score 116-129), dan very low(composite
standard score ≥ 130). Anak dikatakan mengalami gangguan
perkembangan kognitif bila terdapat skor 1,5 standar deviasi (SD) di
bawah skor average (rata-rata).
Skala motorik kasar pada tes ini akan dinilai pusat kontrol dan
mobilitas pada posisi terlentang, telungkup, duduk, dan posisi berdiri
sesuai dengan tahapan umur anak. Skala resepsi visual, akan dinilai
kemampuan anak dalam memproses pola visual, diskriminasi dan
memori visual. Kemampuan visual ini melibatkan organisasi visual,
pengurutan visual dan kesadaran pemisahan visual termasuk konsep
posisi, bentuk dan ukuran. Motorik halus, yang diukur adalah
kemampuan memadukan kemampuan visual dengan motorik. Item
skala ini melibatkan diskriminasi visual dan kontrol terhadap gerakan
motorik. Pada sektor bahasa reseptif diukur kemampuan anak untuk
28
memproses input bahasa. Kemampuan primer yang tercakup dalam
skala ini adalah komprehensi audio dan memori audio. Kemampuan
ini melibatkan organisasi auditorik, pengurutan dan penggunaan
konsep spasial. Sedangkan bahasa ekspresif akan dinilai kemampuan
anak untuk menggunakan bahasa secara produktif. Kemampuan
primernya terletak pada kemampuan berbicara dan formasi bahasa
termasuk kemampuan untuk memverbalisasi konsep (Mullen, 1995).
2.14 Efek Obat Anti Epilepsi
Pengobatan antiepilepsi terkini ternyata memiliki pengaruh
buruk terhadap fungsi kognitif, namun ada juga melaporkan hal yang
sebaliknya. Gangguan kognitif dan tingkah laku, hampir selalunya
muncul pada anak-anak dengan epilepsi terutama pada epilepsi
resisten obat yang mendapatkan politerapi (Datta, dkk., 2011; Kwan,
2011). Obat anti epilepsi dapat dikelompokkan menjadi beberapa
golongan berdasarkan neurobiologi dan mekanisme kerjanya, antara
lain (Porter dan Meldrum, 2001):
a. Modulasi voltage gated ion channel melalui blokage voltage
dependent sodium channel atau kalsium channel.
b. Meningkatkan inhibisi sinapsis atau meningkatkan sistem GABA.
c. Inhibisi eksitasi sinaptik atau memblok neurotransmiter
glutamatergik.
Obat anti epilepsi (OAE) bekerja pada sistem sodium channel
memiliki efek samping pada 30 fungsi kognitif yang lebih ringan
dibandingkan yang bekerja pada sistem neurotransmitter sinaps,
khususnya yang meningkatkan aktivitas GABA (Stafstrom, 1998)
Beberapa OAE bekerja pada neurotransmitter terutama sistem
GABA, dengan meningkatkan aktivitas GABA di korteks serebri
terutama di lobus frontal. Dominasi GABAergic di lobus frontal atau
prefrontal dapat menyebabkan gangguan atensi. Perluasan efek GABA
ke arah dorsolateral termasuk area broca menyebabkan gangguan
modalitas berbahasa, seperti penurunan produksi kata (Aldenkamp,
29
2005). OAE yang bekerja sebagai anti glutaminergik juga dikaitkan
dengan gangguan memori dan proses belajar, khususnya yang bekerja
pada reseptor NMDA (Lagae, 2006).
Banyak penelitian yang mempelajari hubungan antara
penggunaan OAE dengan gangguan kognitif pada epilepsi anak.
Gangguan kognitif terutama terjadi pada epilepsi resisten obat, yang
mana sering harus mendapatkan OAE >2 macam atau politerapi
(Datta, dkk., 2011; Kati, dkk.,2011). Pasien dan keluarga serta
beberapa klinikus cenderung menyalahkan masalah gangguan kognitif
pada OAE, karena lebih dapat diidentifikasi dibandingkan dengan
faktor lain. OAE dapat memberikan pengaruh buruk terhadap fungsi
kognitif dengan menekan perangsangan neuronal atau meningkatkan
inhibisi neurotransmiter. Efek utama OAE terhadap kognitif adalah
mengganggu atensi, kewaspadaan dan kecepatan psikomotor, tetapi
efek sekunder dapat bermanifestasi pada fungsi kognitif yang lain
seperti memori (Sung-Pa Park, 2008; Ghaydaa, 2009).
Kognitif dapat dipengaruhi secara kronik oleh OAE dengan
mensupresi kemampuan eksitabilitas neuronal atau peningkatan
neurotransmiter inhibisi sehingga mengakibatkan perburukan atensi
atau konsentrasi, kewaspadaan dan gangguan kecepatan psikomotor.
Carbamazepin dan asam valproat berhubungan dengan risiko yang
lebih kecil terkena depresi dan di lain pihak dapat meningkatkan mood
yang berhubungan dengan efek serotoninergik pada obat ini
(Panaylotopoulos, 2010). Obat anti epilepsi memiliki efek ganda yakni
efek negatif dan positif terhadap kognitif.
Pada satu sisi OAE dapat meningkatkan kognitif, dimana
berkaitan dengan pengurangan aktifitas kejang dan efek modulasi
pada neurotransmiter serta efek psikotrofik. Pada sisi lain, OAE dapat
mengurangi iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi post-
sinaptik atau mengubah sinkronisasi jaringan saraf untuk menurunkan
eksitabilitas neuron dan penyebaran sekunder aktifitas kejang ke
30
sekitar jaringan otak normal. Namun pengurangan berlebihan
eksitabilitas neuronal dapat mengakibatkan kecepatan motorik dan
psikomotor melambat, atensi buruk dan terganggunya pengolahan
memori. Mekanisme ini merupakan efek samping umum pada OAE
yang bekerja dengan cara sodium channel blocker dan peningkatan
aktivitas inhibisi GABAergic (Ghaydaa, 2009). OAE yang bekerja
dengan meningkatkan sistem GABA antara lain diazepam,
fenobarbital, asam valproat dan vigabatrin, sedangkan sodium channel
blocker antara lain carbamazepin, phenitoin, topiramat, lamotrigin
(Kwan, 2011).
31
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
32
DAFTAR PUSTAKA