Anda di halaman 1dari 34

TUTORIAL KLINIK

“GANGGUAN BELAJAR PADA EPILEPSI”


Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan
Kepaniteraan Klinik Bagian Neurologi di RSUD
Salatiga

Disusun Oleh:
Nama : Aurina Imah Haryoko S.Ked
NIM : 1513010019
NIPP : 1913020012

Pembimbing:
dr. Gama Sita Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA

i
2020

HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan Tutorial Klinik dengan judul
Gangguan Belajar Pada Epilepsi

Disusun Oleh:
Nama : Aurina Imah Haryoko S.Ked
NIM : 1513010019
NIPP : 1913020012

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: , September 2020

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

ii
dr. Gama Sita Sp.S

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................5
PENDAHULUAN...................................................................................................5
BAB II......................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................7
2.1 Definisi Epilepsi...............................................................................................7
2.2 Epidemiologi..................................................................................................7
2.3 Etiologi...........................................................................................................8
2.4 Faktor Resiko..................................................................................................8
2.5 Patofisiologi....................................................................................................9
2.6 Klasifikasi.....................................................................................................11
Serangan parsial.....................................................................................................11
2. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu).........................................12
3. Serangan umum sekunder...............................................................................12
4. Serangan umum...............................................................................................12
5. Tak tergolongkan.............................................................................................12
Berkaitan dengan letak fokus.................................................................................12
2.7 Diagnosis......................................................................................................13
B. Riwayat Penyakit Dahulu...........................................................................13
2.8 Penatalaksanaan............................................................................................16
2.9 Komplikasi....................................................................................................18
2.10 Efek Kejang dan Epileptogenesis pada Otak sedang Berkembang............18
2.11 Gangguan Kognitif pada Penderita Epilepsi..............................................20
2.12 Mekanisme Gangguan Kognitif pada Epilepsi...........................................21
2.13 Penyebab Gangguan Kognitif pada Pasien Epilepsi...................................24
BAB III..................................................................................................................31
PENUTUP..............................................................................................................31
3.1 Kesimpulan...................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan.


Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hippokrates
adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan
menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya
gangguan di otak. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada
setiap orang di seluruh dunia (Tjahadi, 2007).
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi,
sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50:100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100:100,000. Di Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti tetapi
diperkirakan ada 900.000 - 1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangan
penyakit ini belum merupakan prioritas dalam Sistem Kesehatan Nasional., karena
cukup banyaknya penderita epilepsi dan luasnya aspek medik dan psikososial,
maka epilepsi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga
ketrampilan para dokter dan paramedis lainnya dalam penatalaksanaan penyakit ini
perlu ditingkatkan (Zakiah et al, 2009)
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan
pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi
harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan
sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis
epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi berdasarkan atas gejala dan tanda klinis
yang karakteristik. Jadi membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan
beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru informasi yang
diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien maupun
saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru
dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologi. Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi
telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan
5
diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan
kejang dan sindrom epilepsi (Sunaryo,2007).

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Epilepsi

Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya


bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang
terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara
paroksismal akibat berbagai etiologi.24 Bangkitan epilepsi adalah manifestasi
klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal,
berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan
kesadaran , disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf diotak yang
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked) (Sunaryo,2007).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang
terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus, kronisitas.
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh
3
berulanya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial.
Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan
di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis,
biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau
kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya
bangkitan kejang (Sunaryo,2007).

2.2 Epidemiologi
Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta
jiwa. Di Bagian llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta
didapatkan sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada
kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing 43,6% dan 48,670.5 Penelitian di RSU
dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 86 kasus epilepsi pada
anak. Penderita terbanyak pada golongan umur 1 - 6 tahun (46,5%), kemudian 6 -
10 tahun (29,1%), 10 - 18 tahun (16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%). Studi
7
prevalensi epilepsi pernah dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1984 dengan
sampel 1 wilayah. Hasil studi didapatkan prevalensi epilepsi sebesar 4,87 per 1000
penduduk (Aminoff et al, 2009)

2.3 Etiologi
Menurut (Anonymous 2003, Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005)
1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,
penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai
inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya
predisposisi genetik.

2. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui.


Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang
mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma
West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis
berupa ensefalopati difus.

3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang


mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan
saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan
pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan
neurodegeneratif.

2.4 Faktor Resiko


Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang
penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui
factor penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya factor genetik lebih berperan
pada epilepsi idiopati. Sedangkan epilepsi yang dapat ditentukan faktor
penyebabnya disebut epilepsi simtomatik.
Beberapa factor resiko terjadinya epilepsy antara lain :
1. Faktor Prenatal
a. Usia ibu saat hamil
b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi

8
c. Kehamilan primipara / multipara
d. Pemakaian bahan toksik
2. Faktor Natal
a. Afiksia
b. BBL
c. Kehamilan premature / postmatur
d. Partus lama
e. Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, SC )
f. Perdarahan intrakranial
3. Faktor Postnatal
a. Kejang demam
b. Trauma kepala
c. Infeksi SSP
d. Epilepsy akibat toksik
e. Gangguan metabolik
4. Faktor keturunan
5. Kelainan Genetik

2.5 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila prose eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, dan pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion
channel openening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya
dalm hal inisiasi dan perambatan aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan imtraseluler, dan oleh gerakan
keluar masuk ion-ion menembus membran neuron (Zakiah et al, 2009)

Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam


merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
9
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan dan
membangkitkan aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel


piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipocampus, yang
bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal
ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu
aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk jga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptok di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal


mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulnag-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian
melibatkan neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan
epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah neuron abniormal
muncul secar bersama-sama, membentuk suatu badai aktifitas listrik di dalam otak

Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi


yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantuk pada daerah dan fungsi otak
yang terkena dan terlibat.2,3
Sebagi penyebab terjadinya epilepsi, terdiri dari 3 kategori yaitu :2,7
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)

Membedakan seorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain.
Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan
dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED)


Kelainan ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas
10
timbulnya epileptiform activyti di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi
merupakan kerja sama SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF)

Merupakan faktor pencetus terjadinya bnagkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang
kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan
reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang adalah :
membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion klaium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi (Zakiah et al, 2009)

1. fungsi jaringan neuron penghamabat (neurotransmiter GABA dan Glisin) kurang


optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin)


berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimaal antara lain bila konsentrasi GABA
(gamma aminobutyric acid) tdak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi
ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi
potensial presinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor
GABA.

11
2.6 Klasifikasi

Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003,


Sirven, Ozuna 2005).

Serangan parsial
1. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
2. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
- Gangguan kesadaran saat awal serangan.
3. Serangan umum sekunder
- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.
4. Serangan umum.
- Absans (lena)
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Atonik.
5. Tak tergolongkan.

KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi (Kustiowati dkk 2003)

Berkaitan dengan letak fokus


1. Idiopatik (primer)
- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik benigna)

12
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

- Primary reading epilepsy“.


2. Simptomatik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progesif parsialis kontinua
3. Kriptogenik

2.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah
dapat ditegakkan. Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan
menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang
dialami penderita.

Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan


sesudahserangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi
yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan
tertentu.

A. Anamnesis

(auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan


- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
13
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

B. Riwayat Penyakit Dahulu.


Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan
informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan
dengan serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat
membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer 2004).

1. Apakah pasien lahirnormal dengan kehamilan genap bulan maupun


proses persalinannya?

2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory


distress”?

3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?

4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah


serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang
demam kompleks 13 %.

5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis,


ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang
disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat
adanya cysticercosis.

6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,


perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?

7. Apakah ada riwayat tumor otak?

8. Apakah ada riwayat stroke?

14
C. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau
sinus. Sebabsebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui
pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.

D. Pemeriksaan Penunjang

a. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering


dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal
bila :

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding


seharusnya

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,


misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG
bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu
15
atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).

b. Neuroimaging

Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis


bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan)
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan
maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.

16
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :

a. Tatalaksana fase akut (saat kejang) Tujuan pengelolaan pada fase


akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat,
mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang,
dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya
berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama
untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan
dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat
badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat
diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang
sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih
belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah
sakit.
b. Pengobatan epilepsi Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah
membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya.
Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan
sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus
menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan
terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi
dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien
tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi
epilepsi, yaitu :
1) Terapi medikamentosa Merupakan terapi lini pertama yang
dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru
terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa
diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin,

17
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat
tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah
serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi
sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali
ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-
tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan
obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat
mengatasi kejang
2) Terapi bedah Merupakan tindakan operasi yang dilakukan
dengan memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu
jaringan otak 24 yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan
terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap
pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi
berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak
dengan kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat
antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat.
Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak
penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik
dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak
prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih
ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan
derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah
makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah kebutuhan kalori harian

18
diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian 25
kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
antiepilepsi.

2.9 Komplikasi
Bila serangan epilepsy sering terjadi dan berlangsung lama,
maka akan terjadi kerusakan pada organ otak, dimana tingkat
kerusakan biasanya bersifat irreversible dan jika sering terjadi dengan
jangka waktuyang lama sering sekali membuat pasien menjadi cacat.

2.10 Efek Kejang dan Epileptogenesis pada Otak sedang Berkembang


Pada umumnya terdapat 3 penyebab utama yang berperan pada
onset dan progresivitas epilepsi; 1) faktor genetik, 2) gangguan
perkembangan dan atau malformasi susunan saraf pusat, 3) cedera
otak atau interaksi dari ketiga faktor tersebut. Perubahan seluler dan
molekuler yang terjadi akibat cedera otak dan menyebabkan kejang
berulang tanpa provokasi yang disebut juga sebagai epileptogenesis.
Kematian neuron-neuron di otak dipercaya sebagai faktor yang
digunakan sebagai media transmisi yang menyebabkan epilepsi dan
banyak bukti menunjukkan bahwa kematian neuron di otak
menyebabkan kejang dan sebaliknya kejang menimbulkan kematian
neuron. Perkembangan otak pada bayi dan anak, sangat rentan
terhadap kejang dan menimbulkan kerusakan pada neuron-neuron
dengan segala akibat dan manifestasinya (Kayal, 2011; Haut, dkk.,
2004)

Perubahan yang berhubungan kejang dan epileptogenesis terjadi


secara simultan dan mengganggu proses perkembangan otak seperti
synaptic pruning, dendrit dan axonal refinement, dan maturasi reseptor
serta saluran ion. Gangguan ini berakibat buruk terhadap plastisitas
sinap di otak, yang dapat terjadi mulai saat janin sampai kehidupan
selanjutnya,

19
Kognitif merupakan salah satu aspek terpenting pada tumbuh
kembang anak, dan gangguan ini sering ditemukan pada anak dengan
epilepsi. Gangguan kognitif pada anak dengan epilepsi dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:1) faktor berhubungan
dengan kejang, 2) faktor yang tidak berhubungan dengan kejang, 3)
faktor yang berhubungan dengan terapi terutama obat anti epilepsi
(OAE) dan pembedahan, dan 4) faktor yang berhubungan dengan
komorbiditas (Bjornaes,2001;Rizzodkk,2004)

2.10.1 Modalitas Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif adalah aktivitas mental secara sadar seperti


berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi
kognitif meliputi atensi, memori, bahasa, visuospatial serta
kemampuan eksekutif seperti: merencanakan, menilai, mengawasi,
dan melakukan evaluasi (Strub, dkk., 2000; Rizzo, dkk., 2004).

2.10.2 Atensi

Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau


memperhatikan satu stimulus tertentu (spesifik) dan mengabaikan
stimulus lain, baik internal maupun eksternal, yang tidak dibutuhkan.
Atensi dan konsentrasi dibutuhkan dalam mempertahankan fungsi
kognitif, terutama pada proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi
dapat memengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan
fungsi eksekutif (Rizzo dkk., 2004; Braakman., 2011). Gangguan atensi
dapat berupa: (1) tidak mampu mempertahankan atensi atau atensi
terpecah atau tidak atensi sama sekali; (2) inatensi spesifik unilateral
terhadap stimulus pada sisi tubuh kontralateral dari lesi otak (Rizzo
dkk, 2004; Datta, dkk., 2011)

2.10.3 Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas


dasar yang digunakan untuk membangun kemampuan fungsi kognitif.

20
Pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan
neurobehavior. Apabila terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan
kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan sulit dinilai
(Rizzo dkk, 2004; Eddy, dkk., 2011.).

2.10.4 Memori

Memori adalah proses bertingkat, informasi pertama kali


diterima oleh korteks area sensorik, kemudian diproses pada sistem
limbik sebagai proses pembelajaran baru. Memori selanjutnya
dibedakan menjadi tiga jenis (Hernandez, dkk., 2003; Rizzo dkk.,
2004), yaitu: a. Immediate memory: merupakan kemampuan untuk
mengingat kembali stimulus dalam interval waktu beberapa detik. b.
Recent memory: merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian
dalam frekuensi waktu yang lebih lama, beberapa jam hingga beberapa
hari (misalnya tanggal, apa yang dimakan saat sarapan tadi pagi, atau
kejadian kejadian baru lainnya). c. Remote memory: merupakan
kemampuan untuk mengingat kejadian yang telah tersimpan lama,
durasi beberapa bulan hingga beberapa tahun (misalnya tanggal lahir,
sejarah, nama teman lama, dll).

2.11 Gangguan Kognitif pada Penderita Epilepsi


Anak penderita epilepsi dengan maupun tanpa terapi OAE
berpotensi mengalami gangguan kognitif terutama pada epilepsi
refraklter (resisten obat). Beberapa domain kognitif yang sering
mengalami gangguan pada penderita epilepsi antara lain:

1. Memori Penderita epilepsi terutama epilepsi lobus temporal mesial,


dengan tipe bangkitan parsial kompleks paling sering mengalami
gangguan fungsi memori, dan yang paling terganggu adalah
memori jangka pendek (recent memory) (Rijckevorsel, 2006). Lesi
pada hemisfer otak dominan akan mengakibatkan gangguan
memori verbal sedangkan pada hemisfer non dominan akan
mengakibatkan gangguan memori non verbal (Hernandez dkk,
21
2003; Datta, dkk., 2011). Lesi struktural di luar lobus temporal,
seperti lesi lobus frontal, dapat mengalami gangguan memori, hal
ini disebabkan karena atensi dan bahasa diduga turut berperan
terhadap fungsi memori (Hernandez dkk, 2003).
2. Atensi dan Fungsi Eksekutif Gangguan atensi merupakan kondisi
yang paling sering ditemukan penderita epilepsi anak
(Rijckevorsel, 2006). Gangguan atensi merupakan faktor penting
yang menentukan kegagalan prestasi akademik, disamping
gangguan memori dan faktor sosial ekonomi (Williams, dkk.,
2001). Lesi pada lobus frontal atau pre-frontal seringkali
menimbulkan gangguan fungsi eksekutif. Gangguan dapat terjadi
secara langsung akibat fokus epilepsi di tempat tersebut maupun
secara tidak langsung akibat perluasan bangkitan kejang yang
berulang (Rijckevorsel, 2006). Fungsi lobus frontal terutama fungsi
eksekutif baru berkembang saat usia remaja, sehingga lesi
fungsional maupun struktural yang melibatkan lobus frontal
sebelum proses maturitas terjadi dapat menyebabkan gangguan
pada modalitas kognitif tersebut (Vingerhoets, 2006; Datta, dkk.,
2011).
3. Bahasa Penderita epilepsi anak khususnya dengan lesi struktural
pada hemisfer otak dominan sering mengalami gangguan
berbahasa, gangguan berbahasa yang umum dijumpai adalah:
keterbatasan kosa kata dan kesulitan penamaan. Gangguan lain
yang kadang-kadang dikeluhkan adalah kemampuan untuk
membaca dan menulis (Shinar, dkk., 2001; Rijckevorsel, 2006).

2.12 Mekanisme Gangguan Kognitif pada Epilepsi


Sekitar 30% anak yang menderita epilepsi juga menderita autisme
dan/atau gangguan intelektual dan perkembangan. Kejadian Intelectual
developmental disorders (IDD), Autism spectrum disorders (ASD), dan
epilepsi berasal dari mekanisme patofisiologi yang sama (Kayal, 2011).
Epilepsi, IDD, dan ASD dapat dipahami dari adanya mekanisme
22
plastisitas sinaps di otak yang mengakibatkan adanya perkembangan
yang tidak seimbang antara eksitasi dan inhibisi (Gbr.3). Hal ini dapat
merupakan akibat dari eksitabilitas abnormal dan gangguan plastisitas
sinaps pada otak yang sedang berkembang, seperti yang terjadi pada
sindrom fragil X (FXS), Sindrom Rett (RTT), mutasi pada cyclin
dependent kinase like-5 (CDKL5), kompleks tuberosklerosis (TSC),
mutasi neuroligin, dan ‘interneuropati’ yang berakibat pada gangguan
homeobox, mutasi terkait kromosom X (ARX) atau gen neuropilin 2
(NRP2). Semua kelainan tersebut dapat berakhir pada ASD, IDD dan
epilepsi (Rijckevorsel, 2006, Kayal, 2011).

Selain proses epilepsi (epileptogenesis), kejang spontan berulang


dapat menyebabkan plastisitas sinaps berubah yang menyebabkan
ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi turut berkontribusi pada
gangguan belajar dan perilaku. Kelainan pada plastisitas sinaps dapat
berasal dari kelainan reseptor, gangguan sinyal molekul, atau
neurotropin, yang selama ini dikenal sebagai beberapa penyebab kejang
pada usia neonatus dan suatu kondisi genetik yang berhubungan dengan
ASD dan epilepsi (Kayal, 2011; Vijayaraghavan, dkk., 2011).

Plastisitas sinaps didefinisikan sebagai proses dimana sinaps


menjadi makin kuat melalui berbagai pengalaman dan latihan. Apabila
sinaps diaktifkan, depolarisasi yang diperantarai oleh reseptor asam
propionate α-amino-3-hidroksi-5-methil-4- isoxazole (AMPA) yang
menyebabkan terjadinya pelepasan magnesium dan kalsium dapat
memasuki sinaps melalui reseptor N-methil-D-aspartat (NMDA). Hal
ini akan menyebabkan aktivasi kinase yang tergantung kalsium dan
jalur sinyal lain yang menyebabkan transkripsi gen dan perjalanan
reseptor yang dapat mempercepat koneksi sinaps. Hal ini dikenal
sebagai potensiasi jangka panjang (LPT) dan merupakan dasar
pembelajaran selular (Kayal, 2011).

Plastisitas sinaps tergantung pada jenis protein gennya yang

23
mengalami kerusakan pada berbagai kondisi yang menyebabkan
autisme dan epilepsi. Kelainan ini termasuk CDKL5 pada sindroma
West, methyl-CpG binding protein 2 (MeCP2) pada sindroma Rett,
protein retardasi mental fragile X (FMRP) pada syndrome retardasi
mental fragil X, target mamalia dari rapamycin (mTOR) pada
tuberosklerosis, dan reelin pada lissensefali (Persad, dkk., 2005; Kayal,
2011) Plastisitas sinaps tergantung pada jenis protein gennya yang
mengalami kerusakan pada berbagai kondisi yang menyebabkan
autisme dan epilepsi. Kelainan ini termasuk CDKL5 pada sindroma
West, methyl-CpG binding protein 2 (MeCP2) pada sindroma Rett,
protein retardasi mental fragile X (FMRP) pada syndrome retardasi
mental fragil X, target mamalia dari rapamycin (mTOR) pada
tuberosklerosis, dan reelin pada lissensefali (Persad, dkk., 2005; Kayal,
2011)

Gambar 1. Mekanisme gangguan kognitif pada epilepsi (dikutip dari Kayal,


2011)

Epilepsi dan kelainan belajar dan perilaku bisa disebabkan oleh


gangguan pada plastisitas sinaps selama masa perkembangan otak.
Plastisitas abnormal bisa disebabkan oleh kondisi genetik tertentu.
Selain itu, perkembangan menjadi epilepsi (epileptogenesis) dan/atau
kejang selama perkembangan post-natal dapat menyebabkan gangguan
plastisitas sinaps dan kontribusinya terhadap proses belajar dan
perilaku. Kelainan pada plastisitas sinaps dapat disebabkan oleh
gangguan pada reseptor, molekul sinyal, atau neurotropin. Banyak
molekul yang terganggu pada fase awal kejang dan kondisi genetik
yang dikaitkan dengan IDD, ASD dan epilepsi.

2.13 Penyebab Gangguan Kognitif pada Pasien Epilepsi


Beragam faktor dapat memengaruhi kognitif pada epilepsi
termasuk etiologi kejang, lesi serebral sebelum onset kejang, tipe
24
kejang, umur saat onset kejang, frekuensi, durasi dan keparahan kejang.
Faktor lain yang juga bisa berpengaruh adalah disfungsi fisiologi intra-
iktal dan inter-iktal, kerusakan struktur serebral disebabkan oleh kejang
berulang atau memanjang, faktor hereditas, faktor psikososial dan
sekuele pengobatan epilepsi termasuk obat anti epilepsi (OAE) dan
pembedahan epilepsi. Semua faktor yang saling berhubungan ini
berkonstribusi membuat kompleksnya defisit kognitif yang terjadi.
Secara umum, gangguan kognitif pada anak epilepsi dapat
dikelompokkan menjadi beberapa faktor yaitu:
1. Gangguan kognitif tidak berkaitan dengan kejang
Kelainan genetik yang mendasari sindrom epilepsi anak,
diduga mendasari adanya gangguan kognitif. Sekitar 30% penderita
epilepsi anak mengalami autism serta gangguan intelektual dan
tumbuh kembang (Tuchman, dkk., 2009). Kondisi ini diduga
disebabkan karena mekanisme patofisiologi yang mendasari sama,
yakni adanya kelainan plastisitas sinaps di otak, sehingga
mengakibatkan ketidakseimbangan jalur eksitasi dan inhibisi
(Kayal, 2011)
2. Faktor yang memengaruhi gangguan kognitif pada kejang
Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak dengan
epilepsi simptomatik sering disertai retardasi mental, sedangkan
anak-anak dengan epilepsi idiopatik juga memiliki kemampuan
kognitif dibawah batas rata-rata kognitif anak normal. Gangguan
kognitif pada epilepsi lebih cenderung berkaitan dengan adanya
kelainan patologi sebelumnya. Walaupun etiologi yang mendasari
merupakan salah satu prediktor kuat terjadinya gangguan kognitif,
beberapa penelitian menjelaskan bahwa kejang pada usia muda
menjadi faktor resiko mayor yang berkontribusi pada gangguan
kognitif (Vingerhoets, 2006).
Secara lebih rinci, gangguan kognitif yang yang disebabkan
oleh faktor yang berkaitan dengan kejang adalah sebagai berikut:

25
a) Usia
Onset epilepsi Semakin muda onset epilepsi semakin besar
kemungkinan terjadi gangguan memori. Pembentukan sinaps-
sinaps yang kompleks sebagai reaksi terhadap informasi yang
didapat mencapai puncaknya pada usia 23 tahun, dan
kemampuan tersebut menurun sejalan dengan bertambahnya
usia. Semakin banyak kompleks sinaps-sinaps terbentuk
menandakan semakin banyak informasi yang disimpannya,
sehingga semakin cerdas anak tersebut. Kejang yang terjadi
pada usia lebih muda menyebabkan gangguan pada
pembentukan sinaps-sinaps yang optimal. Usia onset epilepsi
dibawah umur 3 tahun merupakan faktor prediktor sangat kuat
terjadinya gangguan memori (Fosgren, 2001; Eddy,dkk.,
2011).
b) Lama kejang
Kejang yang lama tidak terkendali akan menyebabkan
kerusakan neuron. Neuron yang rusak akan berdegenerasi
membentuk pertunasan baru yang bersifat eksitasi, sehingga
terjadi keadaan hipereksitasi. Gangguan yang timbul
tergantung pada letak neuron yang rusak. Gangguan yang
timbul di area yang mengatur daya ingat, maka daya ingat akan
terganggu. Kejang dikatakan lama jika berlangsung >15 menit.
Kejang lama juga akan menyebabkan menurunnya kesadaran
dan menimbulkan kelelahan pada penderita sehingga akan
mengganggu proses pengenalan informasi (Reddy, 2013).
c) Frekuensi kejang
Kejang pada epilepsi mengganggu fungsi daya ingat, karena
aktivitas listrik abnormal tersebut mengganggu sinaps-sinaps
yang telah terbentuk. Aktivitas listrik abnormal tersebut juga
mengganggu proses pengenalan dan penyimpanan memori.
Kejang yang sering berulang dapat mengakibatkan kelelahan

26
yang akan mengganggu konsentrasi sehingga proses
pengenalan terganggu. Timbulnya kebingungan pasca kejang
juga mengganggu daya ingat bekerja secara optimal.
d) Kesadaran saat kejang
Kejang yang disertai gangguan kesadaran dapat mengganggu
fungsi mental yang dapat berlangsung beberapa hari. Sebagian
besar epilepsi mengalami gangguan kesadaran pada saat
serangan kejang dan jika kejang berlangsung lama, maka bisa
terjadi penurunan kesadaran. Akibat kejadian itu maka terjadi
kematian neuron-neuron di otak dan semakin mengganggu
komunikasi antar neuron yang menimbulkan gangguan
kognitif dan kelainan neurologis lainnya (Kwan, 2011; Reddy,
2013)
e) Etiologi epilepsi
Epilepsi idiopatik sebagian besar tidak menyebabkan gangguan
memori atau mengalami gangguan kognitif ringan saja dan
tingkat intelegensia penderita juga pada umumnya dalam
rentang normal. Pada epilepsi simptomatik, misalnya tumor
atau lesi di lobus temporalis sinistra akan menyebabkan
gangguan memori verbal, lesi di lobus temporalis dekstra akan
menyebabkan gangguan memori visual. Lesi di lobus frontal
menyebabkan proses pengenalan informasi dan pengeluaran
kembali memori terganggu (Shorvon, 2007; Berg, dkk., 2012).
f) Gambaran EEG
Kejang dapat dibedakan menjadi kejang klinis yakni kejang
yang dapat dilihat dengan kasat mata secara klinis, sedangkan
kejang elektrografik (kejang elektrik) adalah kejang yang
hanya dapat dilihat pada gambaran elektroensefalogram (EEG)
yang dinamakan inter-ictal epilepticform discharge. Penderita
epilepsi dengan gambaran EEG abnormal (inter-ictal
epilepticform discharge=IED), terbukti mengalami gangguan

27
kognitif lebih berat dibandingkan dengan penderita dengan
EEG normal (Kayal, 2011; Berg, dkk., 2012
2.13 Penilaian Fungsi Kognitif pada pasien Epilepsi
Penilaian perkembangan kognitif anak menggunakan Mullen tes
(The Mullen Scales of Learning) AGS edition, merupakan tes
diagnostik perkembangan kognitif anak usia 0-68 bulan yang
dicetuskan oleh Eileen M Mullen. Skala pengukuran ini didasarkan
pada teori bahwa intelegensia anak terdiri dari lima komponen
penunjang yang harus dinilai secara terpisah yaitu motorik kasar
(gross motor), motorik halus (fine motor), bahasa ekspresif
(expressive language), bahasa reseptif (reseptive language), dan visual
reseptif (visual reseption). Setelah anak digolongkan dalam kelompok
umur yang akan dinilai kemudian dihitung skor/nilai yang didapat dari
masing-masing kategori kemudian disesuaikan lagi menurut umur.
Hasil akhir dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu very high
(composite standard score 49- 70), above average (composite standard
score 71-84), average (composite standard score 85-115), below
average (composite standard score 116-129), dan very low(composite
standard score ≥ 130). Anak dikatakan mengalami gangguan
perkembangan kognitif bila terdapat skor 1,5 standar deviasi (SD) di
bawah skor average (rata-rata).
Skala motorik kasar pada tes ini akan dinilai pusat kontrol dan
mobilitas pada posisi terlentang, telungkup, duduk, dan posisi berdiri
sesuai dengan tahapan umur anak. Skala resepsi visual, akan dinilai
kemampuan anak dalam memproses pola visual, diskriminasi dan
memori visual. Kemampuan visual ini melibatkan organisasi visual,
pengurutan visual dan kesadaran pemisahan visual termasuk konsep
posisi, bentuk dan ukuran. Motorik halus, yang diukur adalah
kemampuan memadukan kemampuan visual dengan motorik. Item
skala ini melibatkan diskriminasi visual dan kontrol terhadap gerakan
motorik. Pada sektor bahasa reseptif diukur kemampuan anak untuk

28
memproses input bahasa. Kemampuan primer yang tercakup dalam
skala ini adalah komprehensi audio dan memori audio. Kemampuan
ini melibatkan organisasi auditorik, pengurutan dan penggunaan
konsep spasial. Sedangkan bahasa ekspresif akan dinilai kemampuan
anak untuk menggunakan bahasa secara produktif. Kemampuan
primernya terletak pada kemampuan berbicara dan formasi bahasa
termasuk kemampuan untuk memverbalisasi konsep (Mullen, 1995).
2.14 Efek Obat Anti Epilepsi
Pengobatan antiepilepsi terkini ternyata memiliki pengaruh
buruk terhadap fungsi kognitif, namun ada juga melaporkan hal yang
sebaliknya. Gangguan kognitif dan tingkah laku, hampir selalunya
muncul pada anak-anak dengan epilepsi terutama pada epilepsi
resisten obat yang mendapatkan politerapi (Datta, dkk., 2011; Kwan,
2011). Obat anti epilepsi dapat dikelompokkan menjadi beberapa
golongan berdasarkan neurobiologi dan mekanisme kerjanya, antara
lain (Porter dan Meldrum, 2001):
a. Modulasi voltage gated ion channel melalui blokage voltage
dependent sodium channel atau kalsium channel.
b. Meningkatkan inhibisi sinapsis atau meningkatkan sistem GABA.
c. Inhibisi eksitasi sinaptik atau memblok neurotransmiter
glutamatergik.
Obat anti epilepsi (OAE) bekerja pada sistem sodium channel
memiliki efek samping pada 30 fungsi kognitif yang lebih ringan
dibandingkan yang bekerja pada sistem neurotransmitter sinaps,
khususnya yang meningkatkan aktivitas GABA (Stafstrom, 1998)
Beberapa OAE bekerja pada neurotransmitter terutama sistem
GABA, dengan meningkatkan aktivitas GABA di korteks serebri
terutama di lobus frontal. Dominasi GABAergic di lobus frontal atau
prefrontal dapat menyebabkan gangguan atensi. Perluasan efek GABA
ke arah dorsolateral termasuk area broca menyebabkan gangguan
modalitas berbahasa, seperti penurunan produksi kata (Aldenkamp,

29
2005). OAE yang bekerja sebagai anti glutaminergik juga dikaitkan
dengan gangguan memori dan proses belajar, khususnya yang bekerja
pada reseptor NMDA (Lagae, 2006).
Banyak penelitian yang mempelajari hubungan antara
penggunaan OAE dengan gangguan kognitif pada epilepsi anak.
Gangguan kognitif terutama terjadi pada epilepsi resisten obat, yang
mana sering harus mendapatkan OAE >2 macam atau politerapi
(Datta, dkk., 2011; Kati, dkk.,2011). Pasien dan keluarga serta
beberapa klinikus cenderung menyalahkan masalah gangguan kognitif
pada OAE, karena lebih dapat diidentifikasi dibandingkan dengan
faktor lain. OAE dapat memberikan pengaruh buruk terhadap fungsi
kognitif dengan menekan perangsangan neuronal atau meningkatkan
inhibisi neurotransmiter. Efek utama OAE terhadap kognitif adalah
mengganggu atensi, kewaspadaan dan kecepatan psikomotor, tetapi
efek sekunder dapat bermanifestasi pada fungsi kognitif yang lain
seperti memori (Sung-Pa Park, 2008; Ghaydaa, 2009).
Kognitif dapat dipengaruhi secara kronik oleh OAE dengan
mensupresi kemampuan eksitabilitas neuronal atau peningkatan
neurotransmiter inhibisi sehingga mengakibatkan perburukan atensi
atau konsentrasi, kewaspadaan dan gangguan kecepatan psikomotor.
Carbamazepin dan asam valproat berhubungan dengan risiko yang
lebih kecil terkena depresi dan di lain pihak dapat meningkatkan mood
yang berhubungan dengan efek serotoninergik pada obat ini
(Panaylotopoulos, 2010). Obat anti epilepsi memiliki efek ganda yakni
efek negatif dan positif terhadap kognitif.
Pada satu sisi OAE dapat meningkatkan kognitif, dimana
berkaitan dengan pengurangan aktifitas kejang dan efek modulasi
pada neurotransmiter serta efek psikotrofik. Pada sisi lain, OAE dapat
mengurangi iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi post-
sinaptik atau mengubah sinkronisasi jaringan saraf untuk menurunkan
eksitabilitas neuron dan penyebaran sekunder aktifitas kejang ke

30
sekitar jaringan otak normal. Namun pengurangan berlebihan
eksitabilitas neuronal dapat mengakibatkan kecepatan motorik dan
psikomotor melambat, atensi buruk dan terganggunya pengolahan
memori. Mekanisme ini merupakan efek samping umum pada OAE
yang bekerja dengan cara sodium channel blocker dan peningkatan
aktivitas inhibisi GABAergic (Ghaydaa, 2009). OAE yang bekerja
dengan meningkatkan sistem GABA antara lain diazepam,
fenobarbital, asam valproat dan vigabatrin, sedangkan sodium channel
blocker antara lain carbamazepin, phenitoin, topiramat, lamotrigin
(Kwan, 2011).

31
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan


umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dukelainan
ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Bila
serangan epilepsi tidak ditangani dengan baik dan berlangsung
lama dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem otak dan syaraf
anak tersebut hingga dapat mengakibatkan kematian.

Epilepsi merupakan kondisi medis yang menimbulkan


dampak neurobiologik, kognitif, psikologik, dan sosial yang
bermaka terhadap pasiennya. Hal ini disebabkan karena bangkitan
yang terjadi dapat terus berulang sehingga menyebabkan kematian
sel-sel neuron secara luas. Oleh karena itu, pemberian obat
antiepilepsi (OAE) harus segera diinisiasi begitu diagnosis epilepsi
telah ditegakkan. Inisiasi pemberian OAE idealnya menggunakan 1
jenis obat dengan dosis terendah yang efektif untuk mengontrol
bangkitan, atau kita sebut juga dengan pemberian monoterapi.
Pemberian monoterapi secara umum mampu mencegah timbulnya
bangkitan pada 70% pasien

Obat antiepilepsi yang paling banyak digunakan sebagai


monoterapi adalah fenitoin, diikuti dan asam valproat dilaporkan
dapat menyebabkan dengan karbamazepin dan asam valproa
gangguan fungsi atensi dan memori, dengan efek yang t, sama
dengan hasil penelitian mengenai penggunaan OAE konvensional
lebih ringan dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh di
benzodiazepin dan fenobarbital .

32
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Z, Spencer S.S., 2004. An Approach to the Evaluation of a Patient for


Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55
Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology.2009 6th ed. New York: McGraw-Hill.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor Irawati S, edisi 11.
Jakarta: Balai Pnerbit EGC; 2008. Hal 345-6
Jones H.R., 2012. Chapter: Epilepsy. Netter’s Concise Neurology. Philadelphia:
Elseiver Saunders. pp: 181
Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of
Pediatrics. Philadelphia: Saundres Elsevier. 2008. 593(6)
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi. Dalam:
Markam Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang:
Binarupa Akasara; 2009: h. 103-113.
PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed:
6. Jakarta: EGC
Passat Jimmy. Epidemiologi Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael
Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999:
h.190-197
Sunaryo utoyo.2007. Diagnosis Epilepsi. Surabaya; Bagian neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in
Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005
Syeban Zakiah, Markam S, Harahap Tagor. Epilepsi. Dalam: Markam
Soemarmo,penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1 Tangerang:
Binarupa Akasara; 2009: h. 100-102
Tjahjadi Petrus, Dikot Yustiani, Gunawan Dede. Gambaran Umum Mengenai
Epilepsi. Dalam: Harsono, penyunting. Kapita Selekta Neurologi. Edisi-2.
Yogyakarta: Gajahmada University Press; 2007: h.119-133
Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005

Anda mungkin juga menyukai