Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINAJUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Infeksi Nosokomial

2.1.1 Pengertian

Infeksi nosokomial atau disebut juga Hospital Acquired Infection (HAI)

adalah infeksi yang didapatkan dan berkembang selama pasien di rawat di rumah

sakit (WHO, 2004). Menurut Jirkovsky, Hlavačova, Nikodemova, dan Tomova

(2014) infeksi nosokomial adalah infeksi yang berasal dari internal (endogen) dan

eksternal (eksogen), yang disebabkan oleh hubungan langsung dengan rawat inap

atau prosedur yang diberikan di fasilitas pelayanan kesehatan dalam periode

inkubasi yang sesuai.

Infeksi nosokomial dapat didefinisikan sebagai infeksi yang didapatkan

saat pasien dirawat dirumah sakit. Pasien dikatakan mengalami infeksi

nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteria atau batasan sebagai berikut:

pada saat pasien mulai dirawat dirumah sakit tidak didapatkan tandatanda klinik

dari infeksi, pada saat pasien mulai dirawat dirumah sakit, tidak sedang dalam

masa inkubasi dari infeksi (Kozier, 2010). Infeksi nosokomial menurut Brooker

(2008) adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit yang terjadi pada pasien yang

dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala

infeksi pada saat masuk rumah sakit.

Sebelum dirawat, pasien tidak memiliki gejala tersebut dan tidak dalam

masa inkubasi. Infeksi nosokomial bukan merupakan dampak dari infeksi

11
12

penyakit yang telah dideritanya. Pasien, pet ugas kesehatan, pengunjung dan

penunggu pasien merupakan kelompok yang paling berisiko terjadinya infeksi

nosokomial, karena infeksi ini dapat menular dari pasien ke petugas kesehatan,

dari pasien ke pengunjung atau keluarga ataupun dari petugas ke pasien (Husain,

2008).

2.1.2 Cara Penularan Infeksi Nosokomial

Mekanisme transmisi patogen ke pejamu yang rentan melalui tiga cara

(WHO, 2002) yaitu:

2.1.2.1 Transmisi dari flora normal pasien (endogenous infection)

Bakteri dapat hidup dan berkembang biak pada kondisi flora normal yang

dapat menyebabkan infeksi. Infeksi ini dapat terjadi bila sebagian dari flora

normal pasien berubah dan terjadi pertumbuhan yang berlebihan, misalnya:

infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter.

2.1.2.2 Transmisi dari flora pasien atau tenaga kesehatan (exogenous

crossinfection)

Infeksi didapat dari mikroorganisme eksternal terhadap individu, yang

bukan merupakan flora normal seperti melalui kontak langsung antara pasien

(tangan, tetesan air liur, atau cairan tubuh yang lain), melalui udara (tetesan atau

kontaminasi dari debu yang berasal dari pasien lain), melalui petugas kesehatan

yang telah terkontaminasi dari pasien lain (tangan, pakaian, hidung dan

tenggorokkan), melalui media perantara meliputi peralatan, tangan tenaga

kesehatan, pengunjung atau dari sumber lingkungan yang lain (air dan makanan).
13

2.1.2.3 Transmisi dari flora lingkungan layanan kesehatan (endemic or

epidemic exogenous environmental infection)

Beberapa jenis organisme yang dapat bertahan hidup di lingkungan rumah

sakit yaitu: dalam air, tempat yang lembab, dan kadang-kadang di produk yang

steril atau desinfektan (pseudomonas, acinetobacter, mycobacterium); dalam

barang-barang seperti linen, perlengkapan dan persediaan yang digunakan dalam

perawatan atau perlengkapan rumah tangga; dalam makanan; dalam inti debu

halus dan tetesan yang dihasilkan pada saat berbicara atau batuk.

2.1.3 Kriteria Infeksi Nosokomial

Kriteria infeksi nosokomial (Depkes RI, 2003), antara lain:

1. Waktu mulai dirawat tidak didapat tanda-tanda klinik infeksi dan tidak

sedang dalam masa inkubasi infeksi tersebut.

2. Infeksi terjadi sekurang-kurangnya 3x24 jam (72 jam) sejak pasien mulai

dirawat.

3. Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan yang lebih lama dari

waktu inkubasi infeksi tersebut.

4. Infeksi terjadi pada neonatus yang diperoleh dari ibunya pada saat persalinan

atau selama dirawat di rumah sakit.

5. Bila dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi

tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada

waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.
14

Infeksi rumah sakit sering terjadi pada pasien berisiko tinggi yaitu pasien

dengan karakteristik usia tua, berbaring lama, menggunakan obat imunosupresan

dan/atau steroid, imunitas turun misal pada pasien yang menderita luka bakar atau

pasien yang mendapatkan tindakan invasif, pemasangan infus yang lama, atau

pemasangan kateter urin yang lama dan infeksi nosokomial pada luka operasi

(Depkes RI, 2001). Infeksi nosokomial dapat mengenai setiap organ tubuh, tetapi

yang paling banyak adalah infeksi nafas bagian bawah, infeksi saluran kemih

infeksi luka operasi, dan infeksi aliran darah primer atau phlebitis (Depkes RI,

2003).

2.1.4 Etiologi

Mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial (WHO, 2002):

2.1.4.1 Conventional pathogens

Menyebabkan penyakit pada orang sehat, karena tidak adanya

kekebalan terhadap kuman tersebut: Staphylococcus aureus, streptococcus,

salmonella, shigella, virus influenza, virus hepatitis.

2.1.4.2 Conditional pathogens

Penyebab penyakit pada orang dengan penurunan daya tahan tubuh

terhadap kuman langsung masuk dalam jaringan tubuh yang tidak steril:

pseudomonas, proteus, klebsiella, serratia, dan enterobacter.

2.1.4.3 Opportunistic pathogens

Menyebabkan penyakit menyeluruh pada penderita dengan daya tahan

tubuh sangat menurun: mycobacteria, nocardia, pneumocytis.


15

2.1.5 Patogenesis dan Patofisiologi

Infeksi oleh populasi kuman rumah sakit terhadap seseorang pasien yang

memang sudah lemah fisiknya tidaklah terhindarkan. Lingkungan rumah sakit

harus diusahakan agar sebersih mungkin dan sesteril mungkin. Hal tersebut tidak

selalu bisa sepenuhnya terlaksana, karenanya tak mungkin infeksi nosokomial ini

bisa diberantas secara total (Yohanes, 2010).

Setiap langkah yang tampaknya mungkin, harus dikerjakan untuk menekan

risiko terjadinya infeksi nosokomial. Yang paling penting adalah kembali kepada

kaidah sepsis dan antisepsis dan perbaikan sikap/perilaku personil rumah sakit

(dokter, perawat) (Yohanes, 2010).

Pada pasien dengan daya tahan yang kurang oleh karena penyakit kronik,

usia tua, dan penggunaan imunosupresan, mikroorganisme yang awalnya non-

patogen dan hidup simbiosis berdampingan secara damai dengan penjamu, akibat

daya tahan yang turun, dapat menimbulkan infeksi oportunistik. Maka infeksi

nosokomial bisa merupakan suatu infeksi oportunistik (Yohanes, 2010).

2.1.6 Siklus Terjadinya Infeksi Nosokomial

Mikroorganinisme dapat hidup di manapun dalam lingkungan kita. Pada

manusia dapat ditemukan pada kulit, saluran pernafasan bagian atas, usus, dan

organ genital. Disamping itu, mikroorganisme juga dapat hidup pada hewan,

tumbuhan, tanah, air, dan udara. Beberapa mikroorganisme lebih pathogen dari

yang lain, atau lebih mungkin menyebabkan penyakit. Ketika daya tahan manusia

menurun, misalnya pada pasien dengan HIV/AIDS (Depkes, 2007).


16

Semua manusia rentan terhadap infeksi bakteri dan sebagian besar jenis

virus. Jumlah (dosis) mikroorganisme yang diperlukan untuk menyebabkan

infeksi pada pejamu/host yang rentan bervariasi sesuai dengan lokasi. Risiko

infeksi cukup rendah ketika mikroorganisme kontak dengan kuli yang utuh dan

setiap hari manusia menyentuh benda dimana terdapat sejumlah mikroorganisme

dipermukaannya. Risiko infeksi akan meningkat bila area kontak adalah membran

mukosa atau kulit yang tidak utuh. Risiko infeksi menjadi sangat meningkat

ketika mikroorganisme berkontak dengan area tubuh yang biasanya tidak steril,

sehingga masuknya sejumlah kecil mikroorganisme saja dapat menyebabkan sakit

(Depkes, 2007).

Agar bakteri, virus dan penyebab infeksi lain dapat bertahan hidup dan

menyebar, sejumlah faktor atau kondisi tertentu harus tersedia. Faktor-faktor

penting dalam penularan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dari

orang ke orang dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.

Gambar 2.1.6 Siklus infeksi nosokomial (Depkes, RI, 2007)


17

1. Reservoir agen

Reservoir adalah tempat mikroorganisme patogen mampu bertahan hidup

tetapi dapat atau tidak dapat berkembang biak. Pseudomonas bertahan hidup dan

berkembang biak dalam reservoir nebuliser yang digunakan dalam perawatan

pasien dengan gangguan pernafasan. Resevoir yang paling umum adalah tubuh

manusia. Berbagai mikroorganisme hidup pada kulit dan rongga tubuh, cairan,

dan keluaran. Adanya mikroorganisme tidak selalu menyebabkan seseorang

menjadi sakit. Carrier (penular) adalah manusia atau binatang yang tidak

menunjukan gejala penyakit tetapi ada mikroorganisme pathogen dalam tubuh

mereka yang dapat ditularkan ke orang lain. Misalnya, seseorang dapat menjadi

carrier virus hepatitis B tanpa ada tanda dan gejala infeksi. Binatang, makanan,

air, insekta, dan benda mati dapat juga menjadi reservoir bagi mikroorganisme

infeksius. Untuk berkembang biak dengan cepat, organism memerlukan

lingkungan yang sesuai, termasuk makanan, oksigen, air, suhu yang tepat, pH, dan

cahaya (Perry & Potter, 2005).

2. Portal keluar (Port of exit)

Setelah mikrooganisme menemukan tempat untuk tumbuh dan

berkembang biak, mereka harus menemukan jalan ke luar jika mereka masuk ke

pejamu lain dan menyebabkan penyakit. Pintu keluar masuk mikroorganisme

dapat berupa saluran pencernaan, pernafasan, kulit, kelamin, dan plasenta (Perry

& Potter, 2005).


18

3. Cara penularan (Mode of transmision)

Cara penularan bisa langsung maupun tidak langsung. Secara langsung

misalnya; darah/cairan tubuh, dan hubungan kelamin, dan secara tidak langsung

melalui manusia, binatang, benda-benda mati, dan udara (Perry & Potter, 2005).

4. Portal masuk (Port of entry)

Sebelum infeksi, mikroorganisme harus memasuki tubuh. Kulit adalah

bagian rentang terhadap infeksi dan adanya luka pada kulit merupakan tempat

masuk mikroorganisme. Mikroorganisme dapat masuk melalui rute yang sama

untuk keluarnya mikroorganisme (Perry & Potter, 2005).

5. Kepekaan dari host (host susceptibility)

Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen

infeksius. Kerentanan tergantung pada derajat ketahanan individu terhadap

mikroorganisme patogen. Semakin virulen suatu mikroorganisme semakin besar

kemungkinan kerentanan seseorang. Resistensi seseorang terhadap agen infeksius

ditingkatkan dengan vaksin (Perry & Potter, 2005).

2.1.7 Pengendalian Infeksi Nosokomial

Pengendalian infeksi nosokomial bertujuan untuk menekan dan

memindahkan perkembangan infeksi pada penderita yang sedang dirawat di

rumah sakit ataupun mengurangi angka infeksi yang terjadi dirumah sakit.

Sebagian infeksi nosokomial ini dapat dicegah dengan strategi yang telah tersedia

secara relatif murah, yaitu: 1) menaati praktik pencegahan infeksi yang

dianjurkan, terutama kebersihan dan kesehatan tangan serta pemakaian sarung


19

tangan, 2) memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat

untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor, diikuti

dengan sterilisasi atau desinfektan tingkat tinggi, 3) meningkatkan keamanan

dalam ruang operasi dan area berisiko tinggi lainnya sebagaiman kecelakaan

perlukaan yang sangat serius dan paparan pada agen penyebab infeksi sering

terjadi (Linda Tietjen, 2004; Darmadi, 2008).

2.1.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial

Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial yang

dikemukakan Darmadi (2008) adalah:

1. Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang berpengaruh dalam proses

terjadinya infeksi nosokomial seperti petugas pelayanan medis (dokter,

perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya), peralatan, dan material

medis (jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan lain-lain),

lingkungan seperti lingkungan internal seperti ruangan/bangsal perawatan,

kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan lingkungan eksternal adalah

halaman rumah sakit dan tempat pembuangan sampah/pengelolahan limbah,

makanan/minuman (hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita,

penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ruangan/bangsal

perawatan dapat merupakan sumber penularan), pengunjung/keluarga

(keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan).


20

2. Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) seperti umur,

jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit

lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya.

3. Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay),

menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam

satu ruangan.

4. Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan

merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber

penularan (reservoir) dengan penderita.

2.1.9 Faktor Keperawatan yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi

Nosokomial

Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat berkaitan

dengan terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dan perawat bertanggung

jawab menyediakan lingkungan yang aman bagi klien terutama dalam

pengendalian infeksi dalam proses keperawatan. Perawat juga bertindak sebagai

pelaksana terdepan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi

nosokomial (Potter & Perry, 2005).

Jumlah tenaga pelayanan kesehatan yang kontak langsung dengan pasien,

jenis dan jumlah prosedur invasif, terapi yang diterima, lama perawatan, dan

standar asuhan keperawatan mempengaruhi risiko terinfeksi. Faktor standar

asuhan keperawatan yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah

klasifikasi dan jumlah ketenagaan yang memiliki kemampuan dalam menjalankan


21

dan mempraktikkan teknik aseptik, peralatan dan obat yang sesuai, siap pakai dan

cukup, ruang perawatan yang secara fisik dan hygiene yang memadai, aspek

beban kerja dalam pembagian jumlah penderita dengan tenaga keperawatan, dan

jumlah pasien yang dirawat (Darmadi, 2008).

2.2 Konsep Cuci Tangan

2.2.1 Pengertian Cuci Tangan

Mencuci tangan adalah proses yang secara mekanis melepaskan kotoran

dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air yang

mengalir (Depkes RI, 2007). Cuci tangan pakai sabun (CTPS) merupakan suatu

kebiasaan membersihkan tangan dari kotoran dan berfungsi untuk membunuh

kuman penyebab penyakit yang merugikan kesehatan. Mencuci tangan yang baik

membutuhkan peralatan seperti sabun, air mengalir yang bersih, dan handuk yang

bersih (Wati, 2011).

Menurut WHO (2005) terdapat 2 teknik mencuci tangan yaitu mencuci

tangan dengan sabun dan air mengalir dan mencuci tangan dengan larutan yang

berbahan dasar alkohol (Wati, 2011). Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan

yang paling penting yang dapat dilakukan oleh semua orang untuk mencegah

penyebaran kuman. Mencuci tangan adalah tindakan aktif dan singkat menggosok

tangan dengan sabun dibawah air hangat yang mengalir (Depkes, 2013).

. Perilaku mencuci tangan adalah salah satu tindakan sanitasi dengan cara

membersihkan tangan dan jari-jemari dengan menggunakan air atau cairan lainnya

yang bertujuan agar tangan menjadi bersih. Mencuci tangan yang baik dan benar
22

adalah dengan menggunakan sabun karena dengan air saja terbukti tidak efektif

(Danuwirahadi, 2010).

Cuci tangan adalah tindakan membersihkan kedua tangan dari

mikoorganisme, debu, dan kotoran dengan cara menggosok kedua tangan dengan

menggunakan air dan sabun secara bersamaan kemudian dibilas dengan air

mengalir.

2.2.2 Tujuan Mencuci Tangan

Tujuan mencuci tangan menurut Depkes RI tahun 2007 adalah salah satu

unsure pencegahan penularan infeksi. Menurut Ananto (2006) mencegah

kontaminasi silang (orang ke orang atau benda terkontaminasi ke orang) suatu

penyakit atau perpindahan kuman.

Tujuan dilakukannya cuci tangan yaitu mengangkat mikroorganisme yang

ada di tangan, mencegah infeksi silang (cross infection), menjaga kondisi steril,

melindungi diri dan pasien dari infeksi, dan memberikan perasaan segar dan

bersih (Susiati, 2008).

2.2.3 Indikasi Waktu Mencuci Tangan

Cuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum (Tietjien, et al., 2004):

1. Memeriksa (kontak langsung) dengan pasien; dan

2. Memakai sarung tangan bedah steril atausebelum pembedahan atau sarung

tangan pemerikasaan untuk tindakan rutin.


23

Cuci tangan sebaiknya dilakukan setelah :

1. Situasi tertentu dimana kedua tangan dapat terkontaminasi, seperti:

memegang instrument yang kotor dan alat-alat lainnya; menyentuh selaput

lendir, darah, atau cairan tubuh lainnya (sekresi atau eksresi); kontak yang

lama dan intensif dengan pasien.

2. Melepas sarung tangan.

WHO (2009) mengindikasikan cucitangan sebagai berikut :

1. Cuci tangan dengan air dan sabun ketika terlihat kotor atau terpapar

dengan darah atau cairan tubuh lainnya atau setelah menggunakan toilet.

2. Sebelum dan sesudah menyentuh pasien.

3. Sebelum melakukan prosedur invasif dengan atau tanpa menggunakan

sarung tangan.

4. Setelah bersentuhan dengan kulit yang tidak intact , membrane mukosa,

atau balutan luka.

5. Bila berpindah dari satu bagian tubuh yang terkontaminasi ke bagian tubuh

yang lainnya dalam satu perawatan pada pasien yang sama.

6. Setelah kontak dengan peralatan medis.

7. Setelah melepaskan sarung tangan steril dan non steril.

8. Sebelum pemberian medikasi atau mempersiapakan makanan cuci tangan

menggunakan alcohol handrub atau cuci tangan dengan sabun anti

bacterial dengan air mengalir.


24

2.2.4 Prinsip Cuci Tangan

Cuci tangan menjadi salah satu langkah yang efektif untuk memutuskan

rantai transmisi infeksi, sehingga insidensi nosokomial dapat berkurang.

Pencegahan dan pengendalian infeksi mutlak harus dilakukan oleh perawat,

dokter dan seluruh orang yang terlibat dalam perawatan pasien. Salah satu

komponen standar kewaspadaan dan usaha menurunkan infeksi nosokomial

adalah menggunakan panduan kebersihan tangan yang benar dan

mengimplementasikan secara efektif.

Hand hygiene adalah istilah yang digunakan untuk membersihkan tangan

dari mikroorganisme dengan cara menggosok kedua tangan menggunakan air dan

sabun antiseptic ataupun menggunakan alcohol handrub. WHO (2009)

mencetuskan promosi global patient safety challenge dengan clean care is

safecare, yang artinya adalah perawatan yang bersih maupun higienis adalah

perawatan yang aman untuk keselamatan pasien (patient safety) dengan

merumuskan inovasi strategi penerapan hand hygieneatau kebersihan tangan

untuk petugas kesehatan dengan five moments for hand hygiene atau 5 momen

mencuci tangan, yaitu mencuci tangan di 5 momen krusial.

Lima momen mencuci tangan adalah sebagai berikut:

1. Sebelum kontak dengan pasien

Mencuci tangan sebelum menyentuh pasien ketika mendekati pasien dalam

situasi seperti berjabat tangan, membantu pasien bergeser ataupun

berpindah posisi, dan pemeriksaan klinis.


25

2. Sebelum melakukan tindakan aseptic

Mencuci tangan segera sebelum tindakan aseptik dalam situasi seperti

perawatan gigi dan mulut, aspirasi sekresi, pembalutan dan perawatan

luka, insersi kateter, mempersiapkan makanan, dan pemberian obat.

3. Setelah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien resiko tinggi

Mencuci tangan segera setelah terpapar dengan cairan tubuh pasien yang

beresiko tinggi atau setelah melepaskansarung tangan dalam situasi seperti

perawatan gigi dan mulut, aspirasi sekresi, pengambilan dan memeriksa

darah, membersihkan urin, feses, dan penanganan limbah.

4. Setelah kontak dengan pasien

Mencuci tangan setelah menyentuh pasien dan lingkungan sekitarnya dan

ketika meninggalkan pasien dalam situasi seperti berjabat tangan,

membantu pasien merubah posisi dan pemeriksaan klinik.

5. Setelah bersentuhan dengan lingkungan sekitar pasien

Mencuci tangan setelah menyentuh benda atau peralatan pasien di

lingkungan sekitarnya dan ketika meninggalkan ruangan pasien bahkan

bila tidak menyentuh pasien dalam situasi mengganti linen tempat tidur

pasien dan penyetelan kecepatan infus.


26

Gambar 2.2.4 Lima momen cuci tangan (WHO, 2009)

2.2.5 Prosedur Cuci Tangan

Prosedur mencuci tanganadalah sebagai berikut(Susiati, 2008) :

1. Lepaskan benda-benda atau perhiasan yang ada ditangan.

2. Atur posisi berdiri terhadap kran air agar diperoleh posisi yang nyaman.

3. Buka kran, atur temperatur air.

4. Tuangkan sabun cair ke telapak tangan.


27

5. Lakukan gerakan tangan, mulai meratakan sabun dengan kedua telapak

tangan.

6. Kedua punggung tangan saling menumpuk, bergantian, untuk

membersihkan sela-sela jari.

7. Bersihkan ujung-ujung kuku bergantian pada telapak tangan.

8. Bersihkan kuku dan daerah sekitarnya dengan ibu jari secara bergantian.

9. Bersihkan ibu jari bergantian.

10. Bersihkan lengan bergantian.

11. Bilas tangan sampai bersih sehinggatidak ada cairan sabun dengan ujung

tangan menghadap ke bawah.

12. Tutup kran air. Gunakan siku untuk menutup kran, bukan dengan jari.

13. Keringkan tangan dengan handuk.

Tietjen (2004) mengklasifikasikan prosedur atau langkah-langkah mencuci

tangan berdasarkan jenis cuci tangan, yaitu:

1. Cuci tangan rutin

Cuci tangan rutin adalah membersihkan tangan dari kotoran dan

mikroorganisme dengan cara menggosok menggunakan air dan sabun

biasa. Hal ini dilakukan pada kondisi pasien yang tidak terlalu rentan.

Langkah-langkah untuk cuci tangan rutin adalah:

a. Basahi kedua belah tangan.

b. Gunakan sabun biasa (bahan antiseptic tidak perlu).


28

c. Gosok dengan keras seluruh bidang permukaan tangan dan jari-jari

bersama sekurang-kurangnya selama 10 hingga 15 detik, dengan

memperhatikan bidang di bawah kuku tangan dan diantara jari.

d. Bilas kedua tangan selurunya dengan air bersih.

e. Keringkan tangan dengan lap kertas atau pengering dan gunakan lap

untuk mematikan kran.

2. Penggosok Cuci tangan bedah

Tujuan cuci tangan bedah adalah untuk menghilangkan kotoran, debu, dan

organisme sementara mekanikal dan mengurangi flora tetap selama

pembedahan yang bertujuan untuk mencegah kontaminasi luka oleh

mikroorganisme dari kedua tangan dan lengan dokter bedah dan

asistennya.

Langkah-langkah untuk cuci tangan bedah adalah sebagai berikut:

a. Lepaskan cincin, jam tangan, dan gelang.

b. Basahi kedua belah tangan dan lengan bawah hingga sikut dengan

sabun dan air bersih.

c. Bersihkan kuku dengan pembersih kuku dengan pembersih kuku.

d. Bilaslah tangan dan lengan bawah dengan air.

e. Gunakan bahan antiseptic pada seluruh tangan dan lengan sampai

bawah siku dan gosok tangan dan lengan bawah dengan kuat sekurang-

kurangnya 2 menit.

f. Angkat tangan lebih tinggi dari siku, bilas tangan dan lengan bawah

seluruhnya dengan air bersih.


29

g. Tegakkan kedua tangan ke atas dan jauhkan dari badan, jangan sentuh

permukaaan atau benda apapun dan keringkan keduatangan dengan lap

bersih dan kering atau keringkan dengan diangin-anginkan.

h. Pakailah sarung tangan bedah yang steril.

6 (enam) Langkah Mencuci Tangan (Protap RSUD Aceh Tamiang) RSUD

Aceh Tamiang, menerapkan Standar Operasional Prosedur tetap 6 (enam)

langkah mencuci tangan menurut WHO (2011) yang berlaku bagi seluruh

petugas kesehatan yang bekerja di RSUD Aceh Tamiang. 6 (enam)

langkah tersebut adalah sebagai berikut :

a. Langkah pertama, menggosok tangan dengan mempertemukan telapak

tangan dengan telapak tangan.

b. Langkah kedua, menggosok telapak tangan ke punggung tangan.

c. Langkah ketiga, kedua telapak tangan mengatup dan jari terjalin.

d. Langkah keempat, letakkan bagian belakang jari ke telapak tangan

dengan jari terkunci.

e. Langkah kelima, gosok dan putar ibu jari tangan kanan dan sebaliknya.

f. Langkah keenam, letakkan kelima jari tangan kiri di atas telapak tangan

kanan putar maju dan mundur, dan lakukan sebaliknya.


30

Gambar 2.2.5 Langkah cuci tangan (Jirkovsky, Hlavačova, Nikodemova, &

Tomova, 2014)

2.2.6 Frekuensi Cuci Tangan

Cuci tangan sangat penting dilakukan petugas rumah sakit untuk

mencegah infeksi nosokomial. Cuci tangan telah diperkenalkan lebih dari 100

tahun lalu oleh Semmelweis. Setelah saat itu, cuci tangan selalui digambarkan

sebagai sarana utama untuk mengurangi penuaran agen infeksius antara staf dan

pasien (Meengs, Giles, Chisholm, Cordell, & Nelson, 1994).


31

Sesuai dengan dengan promosi dari WHO (2009), terdapat lima momen

cuci tangan yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan dirumah sakit terutama

perawat. Adapun lima momen tersebut yaitu 1) sebelum kontak dengan pasien, 2)

sebelum melakukan tindakan aseptif, 3) setelah terkena cairan tubuh pasien, 4)

setelah kontak dengan pasien, dan 5) setelah kontak dengan lingkungan sekitar

pasien. Lima momen ini harus dilakukan perawat karean dapat mengurangi dan

mencegah resiko terjadinya infeksi nosokomial pada pasien.

2.2.7 Kualitas Cuci Tangan

Transmisi bakteri dari satu pasien ke pasien lain dapat melalui tangan

petugas kesehatan, pencucian tangan yang tidak adekuat tidak dapat

menghilangkan bakteri patogen yang ada ditangan (Boyce & Pittet, 2001). Untuk

mencegah terjadinya infeksi nosokomial harus melakukan cuci tangan dengan

benar.

Menurut WHO (2011) ada enam langkah cara melakukan cuci tangan pada

petugas kesehatan terutama perawat. Adapun 6 (enam) langkah tersebut yaitu:

1. Langkah pertama, menggosok tangan dengan mempertemukan telapak

tangan dengan telapak tangan.

2. Langkah kedua, menggosok telapak tangan ke punggung tangan.

3. Langkah ketiga, kedua telapak tangan mengatup dan jari terjalin.

4. Langkah keempat, letakkan bagian belakang jari ke telapak tangan dengan

jari terkunci.

5. Langkah kelima, gosok dan putar ibu jari tangan kanan dan sebaliknya.
32

6. Langkah keenam, letakkan kelima jari tangan kiri di atas telapak tangan

kanan putar maju dan mundur, dan lakukan sebaliknya.

Apabila perawat melakukan cuci tangan sesuai dengan langkah tersebut,

maka kualitas cuci tangan perawat dikatakan baik.

2.3 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

- Frekuensi
cuci tangan Angka kejadian
infeksi nosokomial
- Kualitas cuci
tangan

Skema 2.1 Kerangka penelitian hubungan antara frekuensi dan kualitas cuci

tangan perawat dengan angka kejadian infeksi nosokomial di RSUD

Aceh Tamiang

2.4 Hipotesis

Berdasakan kerangka penelitian terdapat dua hipotesa:

1. Hipotesa alternatif terdapat hubungan antara frekuensi dan kualitas cuci

tangan perawat dengan angka kejadian infeksi nosokomial di RSUD Aceh

Tamiang.

2. Hipotesa null yaitu tidak terdapat hubungan antara frekuensi dan kualitas cuci

tangan perawat dengan angka kejadian infeksi nosokomial di RSUD Aceh

Tamiang.

Anda mungkin juga menyukai