Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Praktek kedokteran forensik berhubungan dengan peningkatan resiko


penularan infeksi yang signifikan di banding praktek spesialis kedokteran lain,
baik penularan penyakit lewat udara maupun penularan penyakit melalui
parenteral.1Hal ini dikarenakan kasus meninggal karena penyakit infeksi saat ini
semakin meningkat terutama di negara berkembang.2 Beberapa studi menyatakan
terjadinya peningkatan prevalensi HIV, Hepatitis B, C, D, dan G, Tuberkulosis,
Penyakit Prion, Han-tavirus, Campak, Infeksi bakteri atau HTCV pada pekerja di
ruang autopsi.1
Prevalensi tuberkulosis di Romania pada populasi umum adalah 25/100.000
penduduk. Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan selama 32 tahun
tentang prevalensi tuberkulosis pada petugas kesehatan seperti dokter/perawat
ditemukan 60 kasus tuberkulosis diderita oleh perawat pada 220 tenaga
kesehatan yang diperiksa, 6 kasus pada dokter, dimana rata-rata pertahun adalah
1363/100.000 yaitu sepuluh kali lipat lebih tinggi dibanding populasi umum.3
Salah satu penyakit menular lain-nya yang saat ini menjadi perhatian di
Indonesia adalah HIV-AIDS, karena angka kejadian yang meningkat dengan
sangat cepat. Virus HIV masih tetap aktif selama kurang lebih empat jam
didalam tubuh penderita yang telah meninggal sehingga tetap berpotensi menular
pada orang disekelilingnya. Penularan dapat terjadi melalui cairan-cairan yang
keluar dari dalam tubuh jenazah.2 Beberapa studi telah melaporkan bahwa
dengan berakhirnya kehidupan seseorang, mikro-organisme patogenik tertentu
masih dapat dilepaskan dari tubuh jenazah, yang jika tidak diwaspadai dapat
ditularkan kepada orangorang yang menangani jenazah tersebut.6
Autopsy safety belum menjadi pertimbangan hingga tahun 1980-an ketika
kasus infeksi HIV pertama kali muncul. Pada awalnya hal tersebut ma-sih baru
ditekankan pada pencegahan infeksi dengan menegakkan kewas-padaan
universal dan pengembangan peraturan Occupational Safety and Health
Adminsitration (OSHA). Sejalan dengan itu diberlakukan peraturan-pera-turan
dan prosedur untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya luka dan tertu-suk
jarum. Bahaya-bahaya lainnya teridentifikasi seiring berjalannya waktu dan
penanganan yang sesuai diberlakukan dalam tingkatan yang bervariasi.4,5
Walaupun peraturan OSHA awalnya ditentang dan disambut dengan
keengganan, peraturan-peraturan tersebut pada akhirnya memiliki dampak yaitu
menciptakan kesadaran akan pentingnya autopsy safety. Hal ini sangat penting
karena sebagian besar kecelakaan kerja adalah disebabkan faktor kelalaian
manusia dan kesadaran akan perlindungan diri. Dalam autopsy safety semua telah
diatur sedemikian rupa agar mencegah terjadinya penularan infeksi, mulai dari
syarat-syarat kamar autopsi, alat pelindung diri yang digunakan dalam
pemeriksaan dan langkah-langkah disinfeksi kamar autopsi.4,5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi
2.2.1 Pengertian Infeksi

Infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan


bersifat sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup memiliki cara
bertahan hidup dengan berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok
dan mampu mencari reservoir lainnya yang baru dengan cara menyebar
atau berpindah. Penyebaran mikroba patogen ini tentunya sangat
merugikan bagi orang-orang yang dalam kondisi sehat, lebih-lebih bagi
orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit. Orang yang sehat akan
menjadi sakit dan orang yang sedang sakit serta sedang dalam proses
asuhan keperawatan di rumah sakit akan memperoleh tambahan beban
penderita dari penyebaran mikroba patogen ini.7
Secara garis besar, mekanisme transmisi mikroba patogen ke pejamu
yang rentan (suspectable host) dapat terjadi melalui dua cara.7
1. Transmisi langsung (direct transmission)
Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu masuk (port
dentre) yang sesuai dari pejamu. Sebagai contoh adalah adanya
sentuhan, gigitan, ciuman, atau adanya droplet nuclei saat bersin,
batuk, berbicara, atau saat transfusi darah dengan darah yang
terkontaminasi mikroba patogen.
2. Transmisi tidak langsung (indirect transmission)
Penularan mikroba patogen melalui cara ini memerlukan
adanya media perantara baik berupa barang / bahan, udara, air,
makanan / minuman, maupun vektor.
a. Vehicle-borne
Dalam kategori ini, yang menjadi media perantara penularan
adalah barang / bahan yang terkontaminasi seperti peralatan makan
dan minum, instrumen bedah / kebidanan, peralatan laboratorium,
peralatan infus / transfusi.
b. Vector-borne
Sebagai media perantara penularan adalah vektor (serangga), yang
memindahkan mikroba patogen ke pejamu dengan cara sebagai
berikut.
i. Cara mekanis
Pada kaki serangga yang menjadi vektor melekat kotoran/
sputum yang mengandung mikroba patogen, lalu hinggap pada
makanan / minuman, dimana selanjutnya akan masuk ke saluran
cerna pejamu.
ii. Cara biologis
Sebelum masuk ke tubuh pejamu, mikroba mengalami siklus
perkembangbiakan dalam tubuh vektor / serangga, selanjutnya
mikroba berpindah tempat ke tubuh pejamu melalui gigitan.
c. Food-borne
Makanan dan minuman adalah media perantara yang terbukti cukup
efektif untuk menjadi saran penyebaran mikroba patogen ke pejamu,
yaitu melalui pintu masuk (port dentre) saluran cerna.13
d. Water-borne
Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun kualitatif,
terutama untuk kebutuhan rumah sakit, adalah suatu hal yang mutlak.
Kualitas air yang meliputi aspek fisik, kimiawi, dan bakteriologis,
diharapkan telah bebas dari mikroba patogen sehingga aman untuk
dikonsumsi manusia. Jika tidak, sebagai salah satu media perantara, air
sangat mudah menyebarkan mikroba patogen ke pejamu, melalui pintu
masuk (port dentre) saluran cerna maupun pintu masuk lainnya.
e. Air-borne
Udara bersifat mutlak diperlukan bagi setiap orang, namun
sayangnya udara yang telah terkontaminasi oleh mikroba patogen
sangat sulit untuk dapat dideteksi. Mikroba patogen dalam udara
masuk ke saluran napas pejamu dalam bentuk droplet nuclei yang
dikeluarkan oleh penderita (reservoir) saat batuk atau bersin, bicara
atau bernapas melalui mulut atau hidung. Sedangkan dust
merupakan partikel yang dapat terbang bersama debu lantai/tanah.
Penularan melalui udara ini umumnya mudah terjadi di dalam
ruangan yang tertutup seperti di dalam gedung, ruangan/bangsal/
kamar perawatan, atau pada laboratorium klinik.
2.2 Infeksi Dapatan Dari Kamar Jenazah
2.2.1 Pengertian Infeksi Dapatan Dari Kamar Jenazah
Kamar mayat dapat menjadi suatu tempat yang berbahaya bagi
kesehatan. Namun akan lebih berbahaya lagi bila orang yang bekerja dalam
lingkungan ini tidak memperdulikan atau mengetahui potensi dari bahaya
yang bisa didapat dari kamar jenazah tersebut.
Infeksi dapatan dari kamar jenazah adalah infeksi yang didapat dari
jenazah, dimana di dalam tubuh jenazah masih terdapat kuman patogen yang
berpotensi menimbulkan sakit bila dapat berpindah atau menginfeksi manusia
yang masih hidup.14
Infeksi yang berpotensi untuk ditularkan adalah infeksi yang berasal
dari Hepatitis B Virus (HBV), Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan
Mycobacterium tuberculosis.16 Semua patogen ini dapat bertahan hidup
untuk waktu yang lama walau pasien tersebut telah meninggal.15
Penyakit-penyakit tersebut seringkali tidak menunjukkan gejala dan
dapat ditemukan tanpa bukti morfologi yang jelas pada jenazah.15
Mycobacterium tuberculosis memiliki resiko infeksi yang serius jika
terhirup dan kuman ini dapat ditularkan ke pekerja pemulasaran jenazah. Jika
ada di dalam tubuh, penanganan jenazah dan pemotongan jaringan yang
terinfeksi dapat mencetuskan agen aerosol yang selanjutnya dapat terhirup
oleh para petugas pemulasaran jenazah yang menangani jenazah tersebut.
Organisme dalam jenazah tidak dapat menular ke orang yang sehat melalui
kulit yang intak, tetapi tetap ada kemungkinan penularan tersebut dapat terjadi
melalui:
1. Cedera oleh karena tusukan jarum dengan alat yang terkontaminasi
atau f ragmen tulang yang tajam

2. Patogen usus dari mukosa lubang anal dan oral

3. Melalui dan dari lecet dan luka pada kulit

4. Aerosol yang terkontaminasi dari lubang tubuh atau luka, misalnya


basil tuberkel ketika kondensasi mungkin dapat tertekan keluar
melalui mulut.

5. Cipratan aerosol ke mata.

2.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Infeksi


Beberapa faktor yang dapat berperan dalam terjadinya infeksi dibagi
menjadi 4, yaitu:
1. Faktor intrinsik: seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum, resiko terapi,
adanya penyakit lain, tingkat pendidikan dan lamanya masa kerja.

2. Faktor ekstrinsik: seperti dokter, perawat, penderita lain, bangsal /


lingkungan, peralatan, material medis, pengunjung/keluarga, makanan dan
minuman.
3. Faktor keperawatan: lamanya hari perawatan, menurunnya standar perawatan,
dan padatnya penderita.
4. Faktor mikroba patogen: kemampuan invasi / merusak jaringan, dan lamanya
paparan
Tingkat pendidikan merupakan faktor predisposisi seseorang untuk berperilaku,
sehingga latar belakang pendidikan merupakan faktor yang penting untuk mendasari
dan memotivasi perilaku atau memberikan referensi dalam memberikan pengalaman
belajar.

3.1 Klasifikasi agen infeksius pada jenazah


Advisory committee on dangerous pathogens (ACDP) mengkategorikan agen
infeksius menjadi 4 kelompok bahaya (hazard group) berdasarkan tingkat virulensi
agen infeksi, tingkat penyebaran dan kemampuannya untuk menjadi epidemik,
tingkat pencegahan agen infeksi dan tingkat kesembuhan post infeksi. Berdasarkan
kelompok tersebut, pekerja di ruang autopsi lebih beresiko untuk terkena infeksi dari
hazard group 3 dan 4, sedangkan hazard group 2 lebih sering terjadi pada praktek
klinis dan akhir-akhir ini kejadian semakin meningkat pada pekerja di ruang
autopsi.12 Tabel dibawah ini menjelaskan tentang klasifikasi hazard group.
Dengan demikian Hazard group 1 ini kelompok yang tidak menimbulkan
penyakit pada manusia . Hazard group 2 merupakan agen infeksius seperti:
Methicillin Resistent Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin-resistent
Enterococci (VRE), Salmonella spp dan bakterik enterik patogen lainnya serta
Leptospira spp. Rute transmisi agen biologi ini melalui tangan ke mulut hand to
mouth. Prosedur higiene yang baik termasuk cara mencuci tangan yang benar dapat
mengurangi angka transmisi dari kelompok ini. Meskipun inokulasi dari
Staphylococcus, Meningococcus dan Streptococcus masih mungkin terjadi tetapi
dengan standar pencegahan universal modern hal ini bisa diminimalisir.12

Hazard group 3 merupakan infeksi dari kelompok ini disebabkan oleh agen
biologi yang bisa menimbulkan penyakit serius pada manusia dan memiliki bahaya
serius pada pekerja di ruang autopsi. Meskipun agen biologi memiliki resiko besar
untuk menyebar luas, pengobatan dan pencegahan yang efektif telah tersedia. Agen
biologi yang sering menimbulkan infeksi pada kelompok ini adalah tuberkulosis,
HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C.12
Hazard group 4 merupakan infeksi dari kelompok ini disebabkan oleh agen
biologi yang bisa menimbulkan penyakit serius pada manusia dan memiliki bahaya
serius pada pekerja diruang autopsi. Agen biologi ini memiliki resiko besar untuk
menyebar luas dan pengobatan serta pencegahan yang efektif tidak tersedia. Agen
biologi yang sering menimbulkan infeksi pada kelompok ini adalah Viral
Haemorraghic Fever (VHF), Marburg, Ebola, Lassa fever, Congo-crimea
haemorraghic fever. 12

A. Infeksi Mycobacterium Tuberculosis


a. Definisi dan Epidemiologi
Mycobacterium adalah salah satu bakteri yang banyak ditemukan di
masyarakat. Salah satu spesiesnya adalah Mycobacterium tuberculosis yang
dapat menularkan kuman tuberculosis melalui udara, percikan dahak atau ludah
yang terinfeksi oleh kuman tuberculosis.
Prevalensi tuberkulosis di Roma-nia pada populasi umum adalah
25/100.000 penduduk. Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan selama 32
tahun tentang prevalensi tuberkulosis pada petugas kesehatan seperti
dokter/perawat ditemukan 60 kasus tuberkulosis diderita oleh perawat pada 220
tenaga kesehatan yang diperiksa, 6 kasus pada dokter, dimana rata-rata pertahun
adalah 1363/100.000 yaitu sepuluh kali lipat lebih tinggi dibanding populasi
umum.9
b. Etiologi
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh kuman atau basil tahan asam (BTA)
yakni Mycobacterium tuberkulosis. Kuman ini cepat mati bila terkena sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa hari di tempat yang
lembab dan gelap. Beberapa jenis Mycobacterium lain juga dapat menyebabkan
penyakit pada manusia (Matipik). Hampir semua organ tubuh dapat diserang
bakteri ini seperti kulit, kelenjar, otak, ginjal, tulang dan paling sering paru.
c. Masa Inkubasi
Sejak masuknya kuman hingga timbul gejala adanya lesi primer atau
reaksi tes tuberculosis positif memerlukan waktu antara 2-10 minggu. Risiko
menjadi TB paru (breakdown) dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi
primer umumnya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten bisa
berlangsung seumur hidup. Pada pasien dengan imun defisiensi seperti HIV,
masa inkubasi bisa lebih pendek.
d. Masa Penularan
Pasien TB paru berpotensi menular selama penyakitnya masih aktif dan
dahaknya mengandung BTA. Pada umumnya kemampuan untuk menularkan
jauh berkurang apabila pasien telah menjalani pengobatan adekuat selama
minimal 2 minggu. Sebaliknya pasien yang tidak diobati atau diobati secara tidak
adekuat dan pasien dengan persistent AFB positive dapat menjadi sumber
penularan sampai waktu lama. Tingkat penularan tergantung pada jumlah basil
yang dikeluarkan, virulensi kuman, terjadinya aerosolisasi waktu batuk atau
bersin dan tindakan medis berisiko tinggi seperti intubasi, bronkoskopi.
Resiko penularan infeksi mycobacterium tuberculosis tidak hanya terjadi
saat penderita masih hidup, akan tetapi resiko tersebut masih bisa terjadi pada
penderita yang terinfeksi mycobacterium tuberculosis saat meninggal. Penularan
organisme dari jenazah ke petugas di ruang autopsi bisa melalui tubuh jenazah
yang terbuka dan kontaminasi dari permukaan yang berdekatan, juga bisa melalui
udara berupa droplet atau partikel kering dan melalui penetrasi bacillus kedalam
kulit pemeriksa yang mengalami trauma, atau melalui tusukan jarum. 8 Bacillus
ini bertahan selama 24-48 jam setelah jenazah yang terinfeksi dilakukan
embalming.

e. Gejala klinis
Gejala klinis penyakit TB paru yang utama adalah batuk terus menerus
disertai dahak selama 3 minggu atau lebih, batuk berdarah, sesak napas, nyeri
dada, badan lemah, sering demam, nafsu makan menurun dan penurunan berat
badan. Pada post mortem dapat ditemui granuloma tuberculosis yang berupa
nekrosis perkijuan dan kalsifikasi pada kelenjar getah bening dan terdapat lesi
pada paru-paru, hati, limpa, dan ginjal serta dapat juga ditemukan nodul pada
pleura dan peritoneum.
Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa minimal satu
dari lima petugas autopsi akan terinfeksi tuberkulosis sepanjang
hidupnya.11Resiko berkembangnya infeksi tuberkulosis pada petugas forensik
sangat dipengaruhi oleh banyaknya tindakan autopsi pada mayat dengan lesi
makroskopis, mikroskopis,serta alat pelindung diri pada saat autopsi yang kurang
memadai seperti tidak menggunakan masker sebagai alat pelindung diri minimal.
Dari 15.935 tindakan autopsi yang dilakukan di National Institute of Legal
Medicine dari tahun 2002 hingga 2009 didapatkan 316 kasus diantaranya positif
terinfeksi oleh tuberkulosis.

Infeksi Virus
Virus berasal dari bahasa Yunani venom yang berarti racun. Virus merupakan
suatu partikel yang masih diperdebatkan statusnya apakah ia termasuk makhluk hidup
atau benda mati. Virus dianggap benda mati karena ia dapat dikristalkan, sedangkan
virus dikatakan benda hidup, karena virus dapat memperbanyak diri (replikasi) dalam
tubuh inang. Para ahli biologi terus mengungkap hakikat virus ini sehingga akhirnya
partikel tersebut dikelompokkan sebagai makhluk hidup dalam dunia tersendiri yaitu
virus.16
Virus merupakan organisme non-seluler, karena ia tidak memilki kelengkapan
seperti sitoplasma, organel sel, dan tidak bisa membelah diri sendiri. Secara umum
virus merupakan partikel tersusun atas elemen genetik yang mengandung salah satu
asam nukleat yaitu asam deoksiribonukleat (DNA) atau asam ribonukleat (RNA)
yang dapat berada dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu secara intraseluler dalam
tubuh inang dan ekstrseluler diluar tubuh inang. Partikel virus secara keseluruhan
ketika berada di luar inang yang terdiri dari asam nukleat yang dikelilingi oleh protein
dikenal dengan nama virion. Virion tidak melakukan aktivitas biosinteis dan
reproduksi. Pada saat virion memasuki sel inang, baru kemudian akan terjadi proses
reproduksi. Virus ketika memasuki sel inang akan mengambil alih aktivitas inang
untuk menghasilkan komponen-komponen pembentuk virus. Virus dapat bertindak
sebagai agen penyakit dan agen pewaris sifat. Sebagai agen penyakit, virus memasuki
sel dan menyebabkan perubahan-perubahan yang membahayakan bagi sel, yang
akhirnya dapat merusak atau bahkan menyebabkan kematian pada sel yang
diinfeksinya. Sebagai agen pewaris sifat, virus memasuki sel dan tinggal di dalam sel
tersebut secara permanen. Berdasarkan sifat hidupnya maka virus dimasukan sebagai
parasit obligat, karena keberlangsungan hidupnya sangat tergandung pada materi
genetic inang.16
Bentuk dan Ukuran virus
Bentuk virus bervariasi dari segi ukuran, bentuk dan komposisi kimiawinya.
Bentuk virus ada yang berbentuk bulat, oval, memanjang, silindariis, dan ada juga
yang berbentuk T. Ukuran Virus sangat kecil, hanya dapat dilihat dengan
menggunakan mikroskop elektron, ukuran virus lebih kecil daripada bakteri.
Ukurannya berkisar dari 0,02 mikrometer sampai 0,3 mikrometer (1 m = 1/1000
mm). Unit pengukuran virusbiasanya dinyatakan dalam nanometer (nm). 1 nm adalah
1/1000 mikrometer dan seperjuta milimeter. Virus cacar merupakan salah satu virus
yang ukurannya terbesar yaitu berdiameter 200 nm, dan virus polio merupakan virus
terkecil yang hanyaberukuran 28 nm.16

Gambar Bentuk Virus


Susunan Tubuh
1. Kabsid
Kapsid adalah lapisan pembungkus tubuh virus yang tersusun atas protein.
Kapsidterdiri dari sejumlah kapsomer yang terikar satu sama lain.Fungsi sebagai
berikut :
a. Memberi bentuk virus
b. Pelindung dari kondisi lingkungan yang merugikan
c. Mempermudah penempelan pada proses penembusan ke dalam sel

Gambar Susunan Tubuh


2. Isi
Terdapat di sebelah dalam kapsid berupa materi genetik/ molekul pembawa
sifatketurunan yaitu DNA atau RNA. Virus hanya memiliki satu asam nukleat
saja yaitusatu DNA/ satu RNA saja, tidak kedua-duanya. Asam nukleat sering
bergabungdengan protein disebut nukleoprotein. Virus tanaman/ hewan berisi
RNA/ DNA,virus fage berisi DNA.
3. Kepala
Kepala virus berisi DNA, RNA dan diselubungi oleh kapsid. Kapsid
tersusun olehsatu unit protein yang disebut kapsomer.
4. Ekor
Serabut ekor adalah bagian yang berupa jarum dan berfungsi untuk
menempelkantubuh virus pada sel inang. Ekor ini melekat pada kepala kapsid.
Struktur virus ada2 macam yaitu virus telanjang dan virus terselubung (bila
terdapat selubung luar(envelope) yang terdiri dari protein dan lipid). Ekor virus
terdiri atas tabungbersumbat yang dilengkapi benang atau serabut. Khusus untuk
virus yangmenginfeksi sel eukariotik tidak memiliki ekor.
Pengembangbiakan Virus
Virus memanfaatkan metabolisme sel penjamu untuk membantu sintesis protein virus
dan virion baru; jenis sel yang dapat diinfeksi oleh virus dapat sedikit dapat banyak.
Untuk tujuan diagnosti, sebagian besar virus ditumbuhkan dalam biakan sel, baik
turunan sel sekunder atau kontinu, pemakaian telur embrionik dan hewan percobaan
untuk membiakan virus hanya dilakukan untuk investigasi khusus. Jenis biakan sel
untuk mengembangbiakan virus sering berasal dari jaringan tumor, yang dapat
digunakan secara terus menerus.16
Tahap-tahap replikasi :
1. Peletakan/ Adsorpsi adalah tahap penempelan virus pada dinding sel inang.
Virusmenempelkan sisi tempel/ reseptor site ke dinding sel bakteri
2. Penetrasi sel inang yaitu enzim dikeluarkan untuk membuka dinding sel
bakteri.Molekul asam.nukleat (DNA/RNA) virus bergerak melalui pipa ekor dan
masuk kedalam sitoplasma sel melalui dinding sel yang terbuka. Pada virus
telanjang, prosespenyusupan ini dengan cara fagositosis virion (viropexis), pada
virus terselubungdengan cara fusi yang diikuti masuknya nukleokapsid ke
sitoplasma.
3. Eklipase : asam nukleat virus menggunakan asam nukleat bakteri
untukmembentuk bagian-bagian tubuh virus
4. Pembentukan virus (bakteriofage) baru : bagian-bagian tubuh virus yang
terbentuk digabungkan untuk mjd virus baru. 1 sel bakteri dihasilkan 100 300
virus baru
5. Pemecahan sel inang : pecahnya sel bakteri. Dengan terbentuknya enzim
lisoenzimyang melarutkan dinding sel bakteri sehingga pecah dan keluarlah
virus-virus baruyang mencari sel bakteri lain.

HIV-AIDS
Penularan HIV/AIDS

Ada empat cara penularan HIV yaitu pertama, melalui hubungan seksual dengan
seorang pengidap HIV tanpa perlindungan atau menggunakan kontrasepsi (kondom). Cara
kedua, HIV dapat menular melalui transfusi dengan darah yang sudah tercemar HIV. Cara
ketiga, seorang ibu yang mengidap HIV bisa pula menularkannya kepada bayi yang
dikandung, itu tidak berarti HIV /AIDS merupakan penyakit turunan, karena penyakit
turunan berada di gen-gen manusia sedangkan HIV menular saat darah atau cairan vagina ibu
membuat kontak dengan cairan atau darah anaknya. Dan cara keempat adalah melalui
pemakaian jarum suntik, jarum tindik dan peralatan lainnya yang sudah dipakai oleh
pengidap HIV.17

Gambar 4 Diagram Cara Penularan Infeksi HIV (CDC, 2009)


Tabel 1 Cairan Tubuh yang Dapat Menjadi Media Penularan HIV
Media penularan HIV pada pasien hidup hampir sama dengan pada pasien yang telah
meninggal. Dalam hal ini yang memiliki resiko besar untuk mendapat paparan HIV adalah
ahli patologi, dokter yang melakukan otopsi dan asisten otopsi.17
Beberapa patolog yang terpapar infeksi HIV karena pekerjaan mereka. Pertama,
mereka secara etika wajib untuk mendiagnosis pasien yang hidup dengan virus tersebut.
Peran biopsi tersebut dalam kedokteran adalah untuk membatasi mortalitas dan tingkat
morbiditas AIDS. Dengan 40 juta kasus infeksi HIV di seluruh dunia, patolog,seperti tenaga
medis lainnya, beresiko terekspos darah dan jaringan yang terinfeksi retroviral dalam
pekerjaannya sehari-hari. Kedua, meskipun penelitian AIDS sedah berjalan dua dekade, ada
begitu banyak yang harus dipelajari dari moralitas yang terkait. Mereka yang memiliki
kesempatan untuk mempelajari penyakit ini selama otopsi mengakui banyak faktor tak
terduga. Banyak infeksi dan komplikasi neoplastik yang mungkin tidak diketahui selama
rentang kehidupan almarhum. Otopsi memungkinkan kita untuk melihat berbagai macam lesi
yang disebabkan oleh respon host yang lemah. Selanjutnya,penting untuk membangun
argumen untuk kebutuhan dari otopsi kasus AIDS. Dalam hal ini nilai informasi yang
cenderung diturunkan oleh otopsi harus dipertimbangkan kecuali ada bahaya nyata yang
terlibat (analisis risiko-manfaat). Dari tiga ratusan, atau lebih, kasus infeksi HIV okupasional
petugas kesehatan sebagian besar terjadi pada perawat dan petugas laboratorium.17
HIV yang menular ditemukan pada 5% dari sampel darah yang diperoleh dari pasien
AIDS pada 24 jam post mortem. Retrovirus yang infeksius juga ditemukan dari jaringan,
tulang dan darah enam hari post mortem, sedangkan dari limpa dua minggu post mortem.
Tingkat virulensi postmortem dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk potensi mematikan
dari virus, strain virus, terapi antivirus premortem dan suhu kamar mayat.17
Bahaya terbesar untuk patolog dan staf teknis dalam melaksanakan otopsi HIV-
positif berasal dari luka kulit akibat instrumen tajam dan spikula tulang, dan dari menghirup
patogen virulen seperti Mycobacterium tuberculosis. Infeksi oral dan konjungtiva juga
mungkin terjadi tapi dapat dicegah dengan cara sederhana. Secara umum dilaporkan bahwa
patolog mempertahankan tusukan sarung tangan selama 10% dari otopsi. Bahkan
pengetahuan sebelumnya tentang status HIV pasien belum terbukti mengurangi tingkat
paparan perkutan.17
Penelitian menunjukkan bahwa infektivitas HIV dalam sampel berkurang perlahan-
lahan seiring waktu. Infektivitas ini bervariasi tergantung pada faktor lingkungan dan virus.
HIV dapat tetap menular selama tiga minggu dan terdeteksi pada 51% dari plasma dan / atau
fraksi dari mononuklear sel darah yang terinfeksi HIV. HIV terdeteksi di tulang tengkorak
pada enam hari pasca-mortem, di spesimen limpa disimpan sampai 14 hari dan dalam darah
kadaver 16,5 hari setelah kematian. Oleh karena itu mayat HIV-positif harus dianggap
mengandung HIV menular. Kenyataannya, telah didokumentasikan bahwa teknisi kamar
otopsi mempunyai kemungkinan infeksi HIV karena pekerjaannya. Ada juga risiko pekerjaan
tertular infeksi lain dari mayat dengan HIV positif.17
Spektrum infeksi pada AIDS merupakan refleksi dari patogen yang lebih sering
terlihat di daerah geografis tertentu dan populasi penduduknya. Dalam keadaan
immunocompromised, organisme ini berkembang dan akibatnya spektrum infeksi pada
individu tersebut besar. Paparan terhadap sejumlah besar patogen dalam ruang otopsi yang
tertutup meningkatkan risiko untuk tertular penyakit yang sama antara staf ruang otopsi.18
Otopsi meningkatkan kemungkinan tertular infeksi melalui udara pada personel
laboratorium. Pemotongan dari paru-paru terinfeksi dengan pisau menghasilkan aerosol
partikel kecil. Sudah umum diketahui bahwa di antara para dokter, patolog memiliki kejadian
TB tertinggi. Karena otopsi terbuka lengkap memiliki risiko lebih besar terkena HIV dan juga
aerosolisasi dan penyebaran patogen oportunistik, sebuah otopsi lengkap tidak wajib
dipertimbangkan ketika diagnosis ante-mortem AIDS ditegakkan. Namun, jika prasarana
yang memadai dan fasilitas yang ada pemeriksaan dapat dipertimbangkan untuk tujuan
akademis.17
Karena ada kekurangan baik vaksin yang efektif dan obat untuk menghilangkan virus
dari tubuh, pencegahan adalah satu-satunya cara untukmenghentikan penyebaran HIV pada
petugas kesehatan. Sebuah "paparan" yang mungkin menempatkan petugas kesehatan di
risiko Infeksi HIVdidefinisikan sebagai:
cedera perkutan (misalnya, tertusuk jarum atau terpotong dengan benda tajam)
kontak mukosa atau kulit yang tidak utuh
kontak dengan kulit utuh dengan durasi kontak yang berkepanjangan (yaitubeberapa menit
atau lebih) atau melibatkan wilayah yang luas, dengan darah, jaringan, atau cairan tubuh
lainnya.17
Studi telah memperkirakan rata-rata risiko penularan HIV setelah pajanan
percutaneous sebesar 0,3%. Rata-rata 99,7% dari petugas kesehatan, yang terpapar HIV,
tidak akan terinfeksi. Untuk paparan mukosa risiko adalah 0,09% dan untuk kulit yang tidak
utuh bahkan kurang.Ini meningkat ketika kulit yang terkena pecah-pecah, terkelupas, atau
menderita dermatitis. Dalam konteks otopsi itu layak menyebutkan bahwa, kecuali darah,
beberapa tubuh lainnya cairan berpotensi menular:
air mani,
sekresi vagina, serebrospinal
cairan sinovial, pleural, peritoneal, perikardial, ketuban.
Meskipun ahli patologi menggunakan dua pasang sarung tangan, apabila ia
menderita luka terpotong pisau bedah maka akan beresiko. Sayangnya situasi seperti ini
cukup sering selama otopsi. Ini telah terbukti bahwa pada pemakaian kelima, sarung tangan
akan menyerap atau menjadi permeable selama nekropsi tersebut. Weston dan Locker
menunjukkan prevalensi 8% dari tusukan sarung tangan di Petugas kesehatan di kamar
mayat, dan peningkatan risiko tusukan 3 - 4 kali lipat jika seorang teknisi bukan ahli patologi
melakukan pembedahan tubuh. Namun, 31,8% dari tusukan sarung tangan tidak
diketahui, dan ini di mana bahaya kulit terpapar dengan bahan yang berpotensi terinfeksi
secara berkepanjangan. Meskipun tidak setiap hasil perforasi sarung tangan dalam cedera
tangan, otopsi pemotongan kulit tetap umum (terjadi di sekitar satu di sebelas otopsi yang
dilakukan oleh penduduk, dan satu dari lima puluh lima orang yang dilakukan oleh patolog
yang berpengalaman).17
Tercatat juga bahwa sekitar 67% dari luka pisau bedah didapatkan di daerah
tersebut terdiri dari jari kelingking, ibu jari dan jari tengah distal dari tangan tidak
dominan. Penggunaan sarung tangan Kevlar dengan dua lapisan sarung tangan lateks atau
rantai mail sarung tangan dianjurkan. Namun, jenis terakhir sarung tangan dikritik oleh
patolog karena kecanggungan, khususnya ketika memegang instrumen, dan
ketidakpastian tentang keberhasilan mereka dalam mencegah penetrasi dengan
tajam instrumen.17
Menurut Geller, sarung tangan tersebut memiliki peran dalam pemindahan isi
perut. Artinya, seringnya mengganti sarung tangan, meskipun ada/ tidak ada robekan
atau kebocoran dianjurkan untuk mengurangi risiko ahli patolog terinfeksi.17
Penelitian menyarankan bahwa beberapa faktor dapat mempengaruhi risiko
HIV transmisi setelah pemaparan dalam pekerjaan:
prosedur yang melibatkan jarum ditempatkan langsung divena atau arteri,
perangkat terlihat terkontaminasi dengan pasien darah,
cedera dalam,
Sumber-pasien dengan penyakit terminal
Virus HIV masih tetap aktif selama kurang lebih empat jam didalam tubuh penderita
yang telah meninggal sehingga tetap berpotensi menular pada orang disekelilingnya.
Penularan dapat terjadi melalui cairan-cairan yang keluar dari dalam tubuh jenazah. HIV
masih ditemukan pada 5% sampel darah yang diambil dari pasien AIDS setelah 24 jam
postmortem.Sedangkan pada penelitian lain dikatakan bahwa HIV ditemukan didarah
setelah 16,5 hari postmortem pada jenazah di dalam lemari pendingin. Sehubungan
dengan hal tersebut kepada orang-orang yang merawat jenazah dengan HIV-AIDS harus
tetap waspada guna menghindari penularan.
Infeksi retrovirus didalam jaringan, tulang dan darah setelah enam hari
postmortem dan dari limpa setelah dua minggu postmortem.
Hepatitis B
Hepatktis B mempunyai angka transmisi paling tinggi diantara virus
parenteral dengan rata-rata sekitar 100 kali lebih besar dari pada HIV. Hepatitis B
dapat menjadi infeksi laten dengan peningkatan resiko penyakit kronik dan karsinoma
hepatobilier atau infeksi akut dengan angka kesembuhan yang tinggi. Resiko
kontaminasi sangat tinggi untuk petugas kesehatan dari pada populasi umum. Resiko
paling tinggi terdapat pada orang yang berkontak dengan darah atau orang yang
melakukan tindakan invasif. CDC menemukan resiko infeksi umum per orangan pada
autopsi sekitar 5% sedangkan jika darahnya terkontaminasi dengan antigen HbeAg
terjadi peningkatan menjadi 30%.9 Di Austria resiko tertinggi teridentifikasi pada
perawat (30,6%), petugas pem-bantu dokter (30,4%), dokter (13,9%), petugas labor
(2,9%) dan lainnya (22,3%).Penelitian yang dilakukan di US menemukan resiko
paling tinggi untuk infeksi HBV adalah diantaranya dokter bedah dan dokter forensik
( sekitar 6%). HBV terdapat dalam semua cairan tubuh termasuk saliva, darah, cairan
semen dan cerebrospinal. Infeksi biasanya terjadi secara parenteral (lewat jarum
suntik) tetapi dapat juga terjadi lewat paparan jaringan mukosa dengan cairan
terinfeksi (partikel dari cairan tindakan selama pembukaan rongga kepala yang dapat
dengan mudah mencapai konjunctiva atau rongga mulut). Tidak seperti HIV, HBV
dapat hidup diluar tubuh selama 7 hari pada darah kering atau pada cairan tubuh yang
telah mengering.19

Infeksi Jamur

Jamur merupakan mikroorganisme saprofit pada manusia yang terdapat luas


pada permukaan tubuh maupun pada mukosa. Penelitian terhadap patofisiologi
infeksi jamur pada manusia, relatif masih sedikit dibandingkan dengan infeksi
patogen lain seperti bakteri dan parasit. Hal ini dikarenakan pada individu yang
imunokompeten, jamur tidak dapat menginvasi barier proteksi mekanis yang
merupakan barier pertama sistem imunitas alamiah. Infeksi jamur dapat bersifat
invasif dan menginduksi infeksi opportunistik pada pasien yang imunokompromais.20

Infeksi jamur penyebab kematian yang teridentifikasi saat otopsi memiliki


proporsi yang sangat sedikit, dari data epidemiologi didapatkan hanya 5,9 % di India
(Sarodeh et al., 1993) dan 16,4% di United State (Bond et al., 2003). Infeksi jamur
sulit didiagnosis pada saat masih hidup dan biasanya hanya ditemukan pada pasien-
pasien immunocompromised.21 Pada pasien yang immunocompromised, infeksi jamur
invasif atau Invasive Fungal Infection (IFI) adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas. Pneumocystosis, cryptococcosis, dan histoplasmosis yang berhubungan
dengan AIDS, tetapi jamur lain seperti Candida albicans dan Aspergillus spp juga
dapat memperparah infeksi HIV. IFI dianggap penyebab utama kematian ketika
infeksi melibatkan organ vital. Berdasarkan penelitian Antinori et al., 2009
didapatkan bahwa pada tahun 1984 sampai 1997 prevalensi terbanyak IFI saat otopsi
adalah pneumositosis dan yang paling terendah histoplasmosis.22

Anda mungkin juga menyukai