Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang

biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam

tubuh sehingga menyebabkan kerusakan organ. Penyakit infeksi bersifat dinamis atau

mudah menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitar nya. Salah satu penyakit infeksi

yang menjadi masalah penting di semua rumah sakit di dunia dan merupakan

penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality)

adalah infeksi nosokomial (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang

didapatkan dan berkembang selama pasien dirawat di rumah sakit (WHO, 2004).

Angka kejadian infeksi nosokomial di dunia pada umumnya masih tinggi. Survei

prevalensi yang dilakukan dengan bantuan World Health Organization (WHO) pada

55 rumah sakit di 14 negara yang mewakili 4 wilayah WHO (Eropa, Mediteranian

Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% pasien rumah

sakit mengalami infeksi nosokomial. Frekuensi infeksi nosokomial yang tinggi

dilaporkan dari Rumah Sakit di wilayah Asia Tenggara yaitu 10,0% (WHO, 2002).

Angka ini tidak jauh berbeda dengan yang ditemukan di Indonesia. Berdasarkan

penelitian di 10 Rumah Sakit Umum (RSU) pendidikan pada tahun 2010, infeksi

nosokomial di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 6-16% dengan ratarata 9,8%

(Jeyamohan, 2011). Di RSUP Dr. M. Djamil Padang berdasarkan data dari Komite

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi prevalensi infeksi nosokomial tahun 1996 dan

2002 adalah 9,1 % dan 10,6 % (Novelni, 2011).

Penyebab infeksi nosokomial umumnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu

faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi flora normal dari pasien itu

1
sendiri dan faktor eksternal meliputi lingkungan rumah sakit, makanan, udara,

pemakaian infus, pemakaian kateter terlalu lama dan tidak diganti-ganti, serta alat

dan bahan-bahan yang tidak steril (Kowalski, 2007). Selain itu, faktor eksternal yang

dapat menyebabkan infeksi nosokomial melalui perpindahan bakteri dari satu tenaga

medis ke tenaga medis lainnya, bakteri penyebab nosokomial yaitu melalui tangan

dan instrumen yang digunakan oleh pekerja kesehatan seperti stetoskop, termometer,

pena, keyboard komputer (Sepehri, 2009).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan infeksi ?

2. Bagaimana Upaya Pencegahan Penularan Penyakit Infeksi ?

3. Bagaimana Perawatan Pasien Sesuai Kewaspadaan Transmisi Infeksi ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan infeksi

2. Untuk Mengetahui Bagaimana Upaya Pencegahan Penularan Penyakit Infeksi

3. Untuk Mengetahui Bagaimana Perawatan Pasien Sesuai Kewaspadaan

Transmisi Infeksi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Infeksi

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen, dan

bersifat sangat dinamis. Secara umum proses terjadinya penyakit melibatkan tiga

faktor yang saling berinteraksi yaitu : faktor penyebab penyakit (agen), faktor

manusia atau pejamu (host), dan faktor lingkungan.

1. Penyebaran Penyakit Infeksi Dalam garis besarnya mekanisme transmisi

mikroba patogen ke pejamu yang rentan melalui dua cara:

a. Transmisi Langsung Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu

masuk yang sesuai dari pejamu. Sebagai contoh adalah adanya

sentuhan, gigitan, ciuman, atau adanya droplet nuclei saat bersin, batuk,

berbicara atau saat transfusi darah dengan darah yang terkontaminasi

mikroba patogen.

b. Transmisi Tidak Langsung Penularan mikroba patogen yang

memerlukan media perantara baik berupa barang/bahan, air, udara,

makanan/minuman, maupun vector

1) Vehicle Borne Sebagai media perantara penularan adalah barang/bahan

yang terkontaminasi seperti peralatan makan, minum, alat-alat

bedah/kebidanan, peralatan laboratorium, peralatan infus/transfusi.

2) Vektor Borne Sebagai media perantara adalah vektor (serangga) yang

memindahkan mikroba patogen ke pejamu adalah sebagai berikut:

 Cara Mekanis Pada kaki serangga melekat kotoran/sputum mikroba

patogen, lalu hinggap pada makanan/minuman, dimana selanjutnya

akan masuk ke saluran cerna pejamu.

3
 Cara Bologis Sebelum masuk ke tubuh pejamu, mikroba mengalami

siklus perkembangbiakkan dalam tubuh vektor/serangga, selanjutnya

mikroba dipindahkan ke tubuh pejamu melalui gigitan.

3) Food Borne Makanan dan minuman adalah media perantara yang

cukup efektif untuk menyebarnya mikroba patogen ke pejamu, yaitu

melalui saluran cerna.

4) Water Borne Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun

kualitatif, terutama untuk kebutuhan rumah sakit adalah mutlak.

Kualitas air yang meliputi aspek fisik, kimiawi, dan bakteriologis

diharapkan terbebas dari mikroba patogen sehingga aman untuk

dikonsumsi. Jika tidak, sebagai media perantara, air sangat mudah

menyebarkan mikroba patogen ke pejamu, melalui pintu masuk

saluran cerna atau yang lainnya.

5) Air Borne Udara sangat mutlak diperlukan oleh setiap orang, namun

adanya udara yang terkontaminasi oleh mikroba patogen sangat sulit

untuk dideteksi. Mikroba patogen dalam udara masuk ke saluran nafas

pejamu dalam bentuk droplet nuclei yang dikeluarkan oleh penderita

saat batuk atau bersin, bicara atau bernafas, melalui mulut atau

hidung. Sedangkan debu merupakan partikel yang dapat terbang

bersama partikel lantai/tanah. Penularan melalui udara ini umumnya

mudah terjadi di dalam ruangan yang tertutup seperti di dalam

gedung, ruangan/bangsal/kamar perawatan, atau pada laboratorium

klinik.

Dalam riwayat perjalanan penyakit, pejamu yang peka akan berinterksi dengan

mikroba patogen yang secara alamiah akan melewati 4 tahap:4

4
1. Tahap Rentan Pada tahap ini pejamu masih dalam kondisi relatif sehat

namun peka atau labil, disertai faktor predisposisi yang mempermudah

terkena penyakit seperti umur, keadaan fisik, perilaku/kebiasaan hidup, sosial

ekonomi, dan lain-lain. Faktor predisposisi tersebut mempercepat masuknya

mikroba patogen untuk berinteraksi dengan pejamu

2. Tahap Inkubasi Setelah masuk ke tubuh pejamu, mikroba patogen mulai

bereaksi, namun tanda dan gejala penyakit belum tampak. Saat mulai

masuknya mikroba patogen ke tubuh pejamu hingga saat munculnya tanda

dan gejala penyakit disebut inkubasi. Masa inkubasi satu penyakit berbeda

dengan penyakit lainnya, ada yang hanya beberapa jam, dan ada pula yang

bertahun-tahun.

3. Tahap Klinis Merupakan tahap terganggunya fungsi organ yang dapat

memunculkan tanda dan gejala penyakit. Dalam perkembangannya, penyakit

akan berjalan secara bertahap. Pada tahap awal, tanda dan gejala penyakit

masih ringan. Penderita masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Jika

bertambah parah, penderita sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas

sehari-hari.

4. Tahap Akhir Penyakit Perjalanan penyakit dapat berakhir dengan

5. alternatif, yaitu:

a. Sembuh sempurna Penderita sembuh secara sempurna, artinya bentuk dan

fungsi sel/jaringan/organ tubuh kembali seperti sedia kala.

b. Sembuh dengan cacat Penderita sembuh dari penyakitnya namun disertai

adanya kecacatan. Cacat dapat berbentuk cacat fisik, cacat mental,

maupun cacat sosial.

c. Pembawa ( carrier ) Perjalanan penyakit seolah–olah berhenti, ditandai

dengan menghilangnya tanda dan gejalan penyakit. Pada kondisi ini agen

5
penyebab penyakit masih ada, dan masih potensial sebagai sumber

penularan.

d. Kronis Perjalanan penyakit bergerak lambat, dengan tanda dan gejala

yang tetap atau tidak berubah.

e. Meninggal dunia Akhir perjalanan penyakit dengan adanya kegagalan

fungsi–fungsi organ.

B. Upaya Pencegahan Penularan Penyakit Infeksi

Tindakan atau upaya pencegahan penularan penyakit infeksi adalah tindakan

yang paling utama. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara memutuskan

rantai penularannya. Rantai penularan adalah rentetan proses berpindahnya mikroba

patogen dari sumber penularan (reservoir) ke pejamu dengan/tanpa media

perantara.10 Jadi, kunci untuk mencegah atau mengendalikan penyakit infeksi adalah

mengeliminasi mikroba patogen yang bersumber pada reservoir serta mengamati

mekanisme transmisinya, khususnya yang menggunakan media perantara.

Sebagai sumber penularan atau reservoir adalah orang/penderita, hewan,

serangga (arthropoda) seperti lalat, nyamuk, kecoa, yang sekaligus dapat berfungsi

sebagai media perantara. Contoh lain adalah sampah, limbah, ekskreta/sekreta dari

penderita, sisa makanan, dan lain–lain. Apabila perilaku hidup sehat sudah menjadi

budaya dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari–hari, serta sanitasi

lingkungan yang sudah terjamin, diharapkan kejadian penularan penyakit infeksi

dapat ditekan seminimal mungkin

C. Perawatan Pasien Sesuai Kewaspadaan Transmisi Infeksi

Meningkatnya kasus infeksi (new emerging, emerging & re-emerging disease),

wabah maupun kejadian luar biasa membuat fasilitas pemberi layanan kesehatan,

salah satunya rumah sakit wajib memberikan pelayanan yang bermutu, akuntabel,

transparan terhadap masyarakat, khususnya terhadap jaminan keselamatan pasien

6
atau patient safety. Rekomendasi upaya untuk menekan kejadian infeksi akibat

pelayanan di rumah sakit secara konsisten ini mengacu pada PMK 27 Tahun 2017

tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan yang bertujuan untuk menurunkan angka infeksi atau Healthcare

Associated Infections (HAIs), memutuskan rantai penularan di fasilitas pelayanan

kesehatan, serta mencegah terjadinya mikroba Multi Drug Resistant (MDR). Dalam

lingkup rumah sakit, Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) berperan

untuk meningkatkan mutu layanan dengan melakukan kajian manajemen

resiko, good clinical governance serta memastikan terjaminnya kesehatan dan

keselamatan kerja bagi civitas hospitalia.

Rumah sakit menjadi salah satu sumber infeksi terbesar dalam dunia kesehatan,

dimana infeksi dapat berasal dari pasien, petugas, maupun pengunjung dengan obyek

yang terkontaminasi berupa darah, saliva, sputum, cairan nasal, cairan dari luka, urin

dan eksresi. Guna menekan terjadinya infeksi, ada baiknya kita meningkatkan

kewaspadaan isolasi (isolation precautions) yang merupakan kombinasi dari

kewaspadaan standar (standard precautions) dan kewaspadaan berbasis transmisi

(transmission-based precautions). Kewaspadaan standar merupakan gabungan dari

kewaspadaan universal (universal precautions) dan isolasi tubuh (body substance

isolation) yang berlaku untuk semua pasien. Kewaspadaan standar yang wajib

dipersiapkan oleh pihak rumah sakit untuk mencegah terjadinya infeksi antara lain

dengan menjaga kebersihan tangan; menggunakan Alat Perlindungan Diri (APD)

berupa sarung tangan, masker, goggle, face shield, maupun gaun; sterilisasi peralatan

perawatan pasien; pengendalian lingkungan, penatalaksanaan linen; memberikan

perlindungan dan kesehatan karyawan; penempatan pasien sesuai

kebutuhan; hygiene respirasi/etika batuk; praktek menyuntik aman; serta praktek

pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi.

7
Berbeda dengan kewaspadaan standar, kewaspadaan berbasis transmisi

merupakan kewaspadaan terhadap pasien rawat inap dengan tanda infeksi baru yang

ditentukan berdasar kriteria klinis dan epidemiologis sebelum hasil laboratorium

mengkonfirmasi diagnosis. Kewaspadaan berdasar transmisi dibagi menjadi 3, yaitu

kewaspadaan kontak (contact), kewaspadaan percikan (droplet) dan kewaspadaan

udara (airborne). Kewaspadaan transmisi melalui kontak bertujuan menurunkan

risiko timbulnya HAIs karena kontak langsung atau tidak langsung, misalnya kontak

langsung dengan permukaan kulit yang terbuka dengan kulit terinfeksi atau

kolonisasi maupun kontak tidak langsung berupa kontak dengan cairan sekresi pasien

terinfeksi yang ditransmisikan melalui tangan petugas yang belum dicuci atau benda

di sekitar pasien. Untuk menekan infeksi, hindari menyentuh permukaan lingkungan

yang tidak berhubungan dengan perawatan pasien. Sedangkan jenis kewaspadaan

transmisi melalui percikan dilakukan dengan menempatkan pasien di ruang rawat

terpisah untuk membatasi terjadinya kontaminasi serta bila diperlukan, setiap kali

keluar ruangan, pasien diberi respirasi dan etika batuk. Pada tingkat kewaspadaan

transmisi melalui udara, perlu dilakukan cuci tangan (hand hygiene) sebelum

menggunakan APD serta bagi pasien diberikan masker bedah dan masker N95 bagi

petugas.

Adapun beberapa kunci kewaspadaan berbasis transmisi yang perlu kita

perhatikan antara lain pengaturan penempatan posisi pemeriksa, pasien dan ventilasi

mekanis dalam satu ruangan dengan memperhatikan arah suplai udara bersih;

penempatan pasien TB yang belum dapat OAT harus dipisahkan dari pasien lain,

sedang pasien yang telah dapat terapi OAT secara efektif berdasar analisis resiko

tidak berpotensi menularkan TB baru dapat dicampur; memberikan peringatan

tentang cara transmisi infeksi dan penggunaan APD penting dicantumkan di pintu

ruangan serta ruang rawat untuk TB/TBRO sebaiknya menggunakan ruangan

8
bertekanan negatif. Jika belum mampu, maka rumah sakit harus mampu

menyediakan ruang dengan ventilasi memadai minimal dengan pertukaran udara 12

kali / jam atau 12 airchanges per hour yang diukur menggunakan vaneo meter sesuai

dengan rekomendasi WHO.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen, dan

bersifat sangat dinamis. Secara umum proses terjadinya penyakit melibatkan tiga

faktor yang saling berinteraksi yaitu : faktor penyebab penyakit (agen), faktor

manusia atau pejamu (host), dan faktor lingkungan.

Tindakan atau upaya pencegahan penularan penyakit infeksi adalah tindakan

yang paling utama. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara memutuskan

rantai penularannya. Rantai penularan adalah rentetan proses berpindahnya mikroba

patogen dari sumber penularan (reservoir) ke pejamu dengan/tanpa media

perantara.10 Jadi, kunci untuk mencegah atau mengendalikan penyakit infeksi adalah

mengeliminasi mikroba patogen yang bersumber pada reservoir serta mengamati

mekanisme transmisinya, khususnya yang menggunakan media perantara.

B. Saran

Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah

selanjutnya yang kami buat dapat lebih baik dan semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi pembaca.

10
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono,B. (2008). Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktik

kedokteran. Yogyakarta: Kanisius.

Chandra, B. (2008). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta. EGC

Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial: Problematika dan pengendaliannya.

Jakarta: Salemba Medika.

Depkes RI. (2008). Pedoman manajerial pencegahan dan pengendalian infeksi di

rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Jakarta

11

Anda mungkin juga menyukai