Anda di halaman 1dari 21

Deteksi Helicobacteria Pylori Pada Penyakit Tukak Lambung Dengan

Menggunakan Teknik PCR Konvensional

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH :

SINDY PUSMITHA / A201901083

PROGRAM STUDI D4 TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS MANDALA WALUYA

KENDARI

2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Infeksi Helicobacter pylori adalah salah satu infeksi bakteri kronis yang
paling umum pada manusia yang mempengaruhi sekitar 4,4 miliar orang di
seluruh dunia. Bakteri ini ditemukan pada tahun 1983 oleh Marshall dan
Warren dari RS Royal Perth Australia. Setelah penemuan bakteri ini penyakit
lambung kronis yang dulunya tidak diketahui sekarang sudah terjawab
(Matsuo, Kido and Yamaoka, 2017).
Helicobacter Pylori merupakan bakteri yang memiliki bentuk spiral
dengan sifat gram negative. Helicobacter Pylori adalah bakteri yang hidup
dalam lingkungan mikroaerofilik didalam lapisan mukosa lambung, epitel
lambung, dan jaringan lain yang berada dalam lambung manusia.
Helicobacter Pylori yaitu bakteri yang dapat menyebabkan penyakit peptic
ulcur atau biasa disebut tukak lambung, gastritis kronis, dan kanker saluran
pencernaan seperti gastric carcinoma dan gastric lymphoma.
Saat ini diperkirakan kurang lebih dua pertiga penduduk dunia terinfeksi
Helicobacter pylori dengan prevalensi di Eropa Barat, Amerika Utara dan
Australia sebesar 25%. Di Amerika Serikat infeksi primer terutama terdapat
pada usia yang lebih tua yaitu sebesar 50%. Studi seroepidemiologi di
Indonesia menunjukkan prevalensi 36–46,1% dengan usia termuda 5 bulan. Di
kelompok usia di bawah 5 tahun, terinfeksi 5,3– 15,4% yang diduga infeksi
usia dini berperan sebagai faktor resiko timbulnya degenerasi maligna pada
usia yang lebih lanjut. Penelitian yang telah dilakukan oleh Mansyur Arif dan
Rifai Amirudin di Makassar menunjukkan prevalensi infeksi Helicobacter
pylori di populasi normal sebesar 23,5% (Hirlan, 2014).
Indonesia sebagai negara terpadat keempat di seluruh dunia dengan
prevalensi infeksi Helicobacter pylori dengan resistensi antibiotik yang tinggi
dan strain genotype yang lebih virulen sehingga infeksi Helicobacter pylori
merupakan penyakit yang menjadi masalah penting di Indonesia. Angka
kejadian infeksi Helicobacter pylori pada beberapa daerah di Indonesia
menunjukkan data yang cukup tinggi. Laporan dari kota Surabaya sebesar
31,2 %, Depansar 46 %, Makassar 12%, bahkan di Medan sebesar 91,6 %
(Miftahussurur and Yamaoka, 2016).
Infeksi yang disebabkan oleh Helicobacter Pylori dapat menyebabkan
tingginya kadar asam lambung sehingga membuat adanya lubang pada
mukosa lambung atau disebut dengan peptic ulcur. Infeksi bakteri oleh
Helicobacter Pylori masuk dalam kelompok karsinogen I yang dapat
menyebabkan kanker saluran pencernaan. Infeksi dapat disebabkan karena
adanya bakteri dalam mukosa lambung sehingga mengeluarkan sejumlah
besar molekul yang sangat antigenic seperti urease.
Bakteria Helicobacter Pylori dapat dideteksi dengan teknik biokimia
seperti urease, hispotalogi, kultur, endoskopi, dan Teknik bilogi molekuler.
Terdapat beberapa gen yang ikut berpartisipasi dalam menyebabkan timbulnya
infeksi antara lain yaitu gen untuk urease. Gen urease tersebut terdiri dari gen
ure A berukuran 411 pasang basa pb, gen ure B dan gen ure C yang memiliki
ukuran 294 pb. Selain gen urease, gen yang terdapat pada protein yaitu
sitotoksin cag A berukuran 298 pb.
Untuk mendeteksi atau melakukan uji diagnostic terhadap infeksi
Helicobacter Pylori dapat dilakukan dengan metode polymerase chain
reaction (PCR). Gen cagA akan melakukan pengkodean terhadap protein
CagA yang hasilnyaakan menemukan sejumlah strain Helicobacter Pylori
yang memiliki karakteristik dengan fenotip yang berbeda-beda yang akan
memproduksi zat sitotoksin. Sekitar 60% strain H. pylori memiliki cag A dan
merupakan gen pertama yang ditemukan di antara strain H. pylori. Antibody
pada protein cagA pun di temukan hingga 100% dalam serum pasien peptic
ulcer, tetapi hanya 60-62% pada pasien gastritis. Dengan demikian adanya
cagA akan berhubungan dengan kecenderungan infeksi Helicobacter Pylori
yang dapat menyebabkan timbulnya peptic ulcer baik secara statistic dan
klinik.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah deteksi Helicobacteria Pylori Pada Penyakit Tukak Lambung dapat
dilakukan dengan pendeteksian/diagnostic menggunakan metode PCR
konvensional?
1.3 Tujuan
Menjelaskan apakah deteksi Helicobacteria Pylori Pada Penyakit Tukak
Lambung dapat dilakukan dengan pendeteksian/diagnostic menggunakan
metode PCR konvensional?
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Helicobacter pylori


2.1.1 Definisi Helicobacter pylori
Helicobacter pylori telah menginfeksi manusia selama lebih dari
58.000 tahun sampai akhirnya bakteri ini berhasil dikultur oleh Robin
Warren dan Barry Marshall pada tahun 1982. Helicobacter pylori
merupakan bakteri penyebab gastritis kronis, ulkus duodenum,
adenokarsinoma lambung dan limfoma. International Agency for Research
on Cancer mengategorikan Helicobacter pylori sebagai karsinogen grup I
setara dengan merokok, radiasi dan asbes. Helicobacter pylori merupakan
bakteri pertama yang terbukti dapat menyebabkan kanker lambung
(Miftahussurur and Yamaoka, 2016).
Helicobacter pylori merupakan bakteri yang tergolong bakteri gram-
negatif, berbentuk spiral dan tumbuh dalam suasana mikroaerofilik.
Bakteri ini memiliki ukuran panjang 3 µm dan diameter 0,5 µm, serta
memiliki 4-6 flagel sehingga dapat bergerak bebas. Bakteri Helicobacter
pylori memiliki berbagai mekanisme pertahanan untuk dapat hidup di
lingkungan asam pada lambung (Warganegara dan bunga. 2016)
2.1.2 Epidemiologi

Di negara berkembang prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada


orang dewasa mencapai angka 80-90%. Sedangkan pada anak-anak jumlah
infeksi lebih tinggi. Di Negara maju, prevalensi infeksi kuman
Helicobacter pylori pada dewasa hanya sekitar 30-40%. Adapun prevalensi
infeksi pada anak-anak lebih rendah daripada orang dewasa
(Miftahussurur dan Yamaoka, 2016).

Studi epidemiologi di indonesia menunjukkan prevalensi 36- 46,1%


dengan usia termuda 5 bulan. Pada kelompok usia muda di bawah 5 tahun.
5,3 – 15,4% telah terinfeksi, dan diduga infeksi pada usia dini berperan
sebagai faktor risiko timbulnya degenerasi maligna pada usia lanjut.
Secara umum telah diketahui bahwa infeksi Helicobacter pylori
merupakan masalah global, tetapi mekanisme transmisi apakah oral-oral,
fekal-oral belum diketahui dengan pasti. Studi di indonesia menunjukkan
adanya hubungan antara tingkat sanitasi lingkungan dengan prevalensi
Helicobacter pylori, sedangkan di luar negeri menunjukkan hubungan
antara infeksi dengan penyediaan atau sumber air minum.

2.1.3 Patogenesis Infeksi Helicobacter pylori


Kolonisasi bakteri Helicobacter pylori pertama kali terbentuk pada
bagian antrum yang tidak terlalu asam. Helicobacter pylori dapat
merubah lingkungan mikro disekitarnya menjadi basa sehingga dapat
hidup di lapisan lendir mukosa lambung. Helicobacter pylori
menghasilkan enzim urease yang terdapat di bagian luar dan bagian
dalam sitoplasma bakteri. Enzim urease menguraikan urea menjadi
ammonia dan bikarbonat untuk mengubah suasana asam menjadi
suasana basa dalam lambung (Chmiela, 2019).
Helicobacter pylori menggunakan flagel yang berbentuk spiral
untuk menembus lapisan mukosa lambung agar memudahkan penetrasi
pada lipatan mukosa. Bakteri ini juga memproduksi adhesin untuk
menempel pada mukosa usus. Bakteri ini juga memiliki kemampuan
untuk memproduksi enzim protease, katalase, dan fosfolipase yang
dapat merusak pertahanan mukosa lambung sehingga menyebabkan
peradangan kronis (Chmiela, 2019). Gambaran atau karakteristik
relevansi klinis patofisiologi infeksi Helicobacter pylori adalah :
1. Eksotoksin Vac A disekresi oleh sebagian besar atau mayoritas
strain Helicobacter pylori. Polimorfisme gen Vac A berkaitan
dengan keadaan penyakit yang lebih berat.
2. Tingginya kadar fosfolipase A (PLA) memungkinkan
Helicobacter pylori memasuki atau penetrasi ke dalam mukus
gaster. Kadar PLA yang tinggi disekresi oleh strain
Helicobacter pylori yang diisolasi dari pasien-pasien kanker
lambung.
3. Helicobacter pylori menyebabkan peradangan pada antrum
(antritis) atau korpus (korpusitis) gaster, atau sering pula pada
keduanya (pangastritis). Pada antritis terjadi hipergastrinemia,
meningkatnya produksi asam, dan suatu risiko tinggi terjadinya
ulkus duodenum.
4. Duodenitis terjadi disebabkan kolonisasi pulau-pulau
metaplasia gaster di dalam bulbus duodenum, yang dicetuskan
(triggered) oleh tingginya produksi asam.
5. Korpusitis Helicobacter pylori berkaitan dengan ulkus gaster,
atrofi mukosa gaster, menurunnya sekresi asam sehingga
terjadi 2,5 kali peningkatan risiko kanker gaster.
2.1.4 Diagnosis Helicobacter pylori

Terdapat beberapa metode untuk deteksi bakteri Helicobacter


pylori pada lambung, yaitu metode invasif dan metode non-invasif.
Metode noninvasif terdiri atas tes serologi dan urea breath test (UBT).
Sedangkan metode invasif/endoskopi terdiri atas tes urease, histopatologi,
kultur, polymerase chain reaction (PCR).

1) Metode non-invasif
Metode tes napas urea dilakukan dengan meminum urea
karbon label-13 dan label-14. Karbon yang mengandung radiolabel
diubah menjadi karbondioksida dan ammonia oleh urease yang
dihasilkan oleh Helicobacter pylori. Tes napas urea bermanfaat
dalam mengidentifikasi infeksi aktif dengan sensitivitas 99% dan
spesifitas yang mencapai 98% (Ozbey, 2017). Pemeriksaan feses
juga baik dilakukan pada anak-anak atau bayi. Analisa antigen
Helicobacter pylori pada feses menggunakan antibodi monoklonal
dan poliklonal dengan tes ELISA memiliki sensitivitas 94% dan
spesifisitas 91,8% (Ozbey, 2017).
Tes serologi dengan menggunakan antigen Helicobacter
pylori dan antibody sekunder dapat digunakan untuk mendeteksi
IgG spesifik Helicobacter pylori. Namun hasil positif tidak dapat
digunakan untuk mendeteksi infeksi akut, meskipun tes serologi
tidak dipengaruhi oleh penggunaan antibiotik dan terapi
penghambat asam. Sehingga tes serologi hanya memiliki
sensitivitas 85% dan spesifitas 79%.
2) Metode invasif
Endoskopi merupakan suatu metode untuk melakukan
biopsi pada mukosa gaster. Biopsi dilakukan pada kurvatura mayor
korpus gaster, kurvatura mayor antrum dan par angularis.
Pewarnaan Giemsa dapat digunakan untuk melakukan identiikasi
bakteri, penilaian inflamasi dan menunjukkan metaplasia.
Pewarnaan Warthin-Starry dan Diff-Quik dapat dilakukan dalam
mengidentifikasi Helicobacter pylori. Histologi telah dianggap oleh
beberapa kalangan sebagai gold standar untuk mendeteksi
Helicobacter pylori. Namun, histologi tidaklah sempurna untuk
dijadikan gold standar untuk mendeteksi Helicobacter pylori,
karena ketergantungannya terhadap beberapa hal termasuk lokasi,
jumlah, dan ukuran biopsi lambung, metode pewarnaan, dan
tingkat pengalaman ahli patologi yang memeriksa.
Keuntungan pemeriksaan histologi yang paling bermakna
dibandingkan dengan pemeriksaan lain adalah kemampuannya
untuk mengevaluasi perubahan patologis yang dihubungkan
dengan infeksi Helicobacter pylori seperti inflamasi, atrofi,
metaplasia intestinal, dan malignansi. Bahkan, beberapa ahli
berargumentasi bahwa gastritis kronis tipe B (gastritis antrum
diffuse non atrofik atau pangastritis atrofik) dapat dijadikan
penanda pengganti dari adanya suatu infeksi, ketika organismenya
tidak dapat teridentifikasi. Tentunya ketiadaan gastritis kronik
merupakan suatu prediktor potensial bahwa tidak ada infeksi
Helicobacter pylori (Nishikawa et al, 2018).
Tes Rapid Urease dapat dilakukan dengan memanfaatkan
urease Helicobacter pylori. Prinsip tes ini menggunakan sampel
mukosa gaster yang diletakkan pada strip. Apabila mengandung
urease maka urea akan diubah menjadi ammonia sehingga
meningkatkan pH pada tes. Tes rapid urease ini memiliki spesivitas
93% dan spesifitas 98%. Kultur bakteri Helicobacter pylori
merupakan metode sengan spesifitas tinggi dalam menegeakkan
diagnosis. Namun teknik kultur cukup sulit karena bakteri
Helicobacter pylori membutuhkan waktu 5-7 hari dalam
membentuk sebuah koloni padat. Teknik PCR merupakan teknik
deteksi bakteri h. pylori dengan sensivitas 100% dan spesifitas
100%. Meskipun memiliki akurasi yang tinggi, kontaminasi dari
endoskopi yang tidak dibersihkan dengan benar dapat memicu
hasil negatif/positif palsu (Matsuo, Kido and Yamaoka, 2017).
2.1.5 Manifestasi Klinis Infeksi Helicobacter pylori

Manifestasi klinis akan sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala,


dispepsia fungsional, tukak peptik sampai kanker lambung. Pernah pula
dilaporkan dalam studi kasus kelola peran infeksi Helicobacter pylori pada
penyakit jantung koroner, tetapi peranan berbagai faktor risiko dinilai kecil
dengan od ratio 1,3 (Hirlan, 2014).

2.2 Tukak lambung


2.2.1 Definisi Tukak lambung

Tukak lambung mengacu pada gangguan gastrointestinal atas yang


membutuhkan asam dan pepsin untuk pembentukannya. Penyebab
penyakit ini adalah infeksi helicobacter pylori, penggunaan obat NSAID
dan kerusakan mukosa yang berhubungan dengan stress. Infeksi dari
bakteri helicobacter pylori merupakan penyebab utama dari penyakit tukak
peptik, selain itu efek samping dari penggunaan obat-obatan seperti
NSAID bisa ditandai dengan gejala perut terasa perih, mual dan muntah
(Dipiro et al., 2015).

Penyakit tukak lambung muncul dengan gejala gastrointestinal yang


mirip dengan dispepsia dan sulit dibedakan secara klinis. Penyakit ini
dapat berpotensi menjadi komplikasi yang serius seperti pendarahan atau
perforasi (terbentuknya lubang pada dinding lambung) dengan resiko
kematian yang tinggi.
2.2.2 Etiologi Tukak Lambung
Helicobacter pylori adalah penyebab utama tukak lambung,
pertama kali diidentifikasi oleh dua ilmuwan asal Australia pada tahun
1982. Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif bacilus, mikrofilik,
flagella dan bakteri berbentuk spiral (Majumdar et al., 2011). Helicobacter
phylori adalah bakteri gram negatif yang ada didalam mukosa lambung,
lalu berkembang menjadi gastritis dan berpotensi menjadi penyakit tukak
peptik dan kanker lambung.
Ada berbagai jenis ulkus yang paling umum adalah ulkus peptikum
yaitu tampaknya terlihat akibat kerusakan pada lapisan perut dan ulkus
duodenum yang dikaitkan dengan sekresi asal yang berlebihan oleh
lambung (Amandeep et al., 2012). Perforasi ulkus duodenum dapat terjadi
pada kondisi pasien seperti duodenal iskemia, duodenal diverticula,
penyakit menular dan pada kondisi autoimun seperti penyakit chron
(radang usus), scledorma (penyakit autoimun yang menyerang jaringan
ikat, sehingga membuat jaringan tersebut menebal dan mengeras) dan
abdominal vasculitis (Ansari et al., 2019).
2.2.3 Patofisiologis Tukak Lambung
Patogenesis ulkus duodenum dan lambung menyebabkan abnormalitas
patofisiologi dan faktor genetik lingkungan. Peningkatan sekresi asam
lambung dapat terjadi dengan tukak dodenum, tetapi pasien dengan tukak
peptik biasanya memiliki tingkat sekresi asam yang normal atau sedikit.
NSAID non selektif (termasuk aspirin) dapat menyebabkan kerusakan
mukosa lambung dengan dua mekanisme yaitu pertama mengiritasi
langsung atau secara topikal pada epitel lambung, dan yang kedua
penghambatan sistemik sintesis prostaglandin mukosa endogen (Dipiro et
al., 2015).
Peningkatan sekresi asam-cairan peptik dapat turut berperan terhadap
tukak. Pada kebanyakan orang yang menderita ulkus peptikum dibagian
awal duodenum, jumlah sekresi asam lambung lebih tinggi dari normal.
Walaupun setengah dari peningkatan asam ini mungkin disebabkan infeksi
bakteri, percobaan pada hewan ditambah bukti adanya perangsangan
berlebihan sekresi asam lambung oleh saraf pada manusia yang menderita
ulkus peptikum mengarah kepada sekresi cairan lambung yang berlebihan
untuk alasan apa saja (sebagai contoh, pada gangguan fisik) yang sering
merupakan penyebab utama ulkus peptikum.
Mekanisme pertahanan dan perbaikan mukosa normal termasuk lendir
dan sekresi bikarbonat, pertahanan sel epitel intrinsik, dan aliran darah
mukosa. Pemeliharaan integritas dan perbaikan mukosa dimediasi oleh
produksi prostaglandin endogen. Sel parietal mengeluarkan HCL, zinogen
mengeluarkan pepsinogen yang mana oleh HCL dirubah menjadi pepsin.
Fungsi pepsin adalah memecah protein dengan Ph < 4 (sangat agresif pada
mukosa lambung). HCL dan pepsin diketahui termasuk dalam faktor
agresif. Ketika histamin terangsang lalu mengeluarkan banyak HCL itu
menimbulkan dilatasi serta meningkatnya permeabilitas kapiler, dapat
menyebabkan kerusakan mukosa lambung, gastritis akut atau kronik, dan
tukak peptik.
Infeksi helicobacter pylori menyebabkan peradangan pada mukosa
lambung semua orang yang terinfeksi, tetapi hanya sebagian kecil yang
menderita maag atau kanker lambung. Cidera mukosa dihasilkan oleh
enzim pengurai bakteri (urease, lipase, dan protease), kepatuhan, dan
faktor virulensi helicobacter pylori. Helicobacter pylori menginduksi
peradangan lambung dengan mengubah peradangan respon inang dan
merusak sel-sel epitel (Dipiro et al., 2017). Bakteri ini mampu bertahan
disuasana asam dilambung, lalu terjadi penetrasi mukosa lambung dan
helicobacter pylori bermukim di lambung.
Penggunaan obat kortikosteroid tidak meningkatkan resiko terjadi
tukak atau komplikasi, tetapi resiko dapat berlipat ganda jika penggunaan
kortikosteroid dan NSAID dikonsumsi secara bersamaan. Merokok dapat
menyebabkan resiko tukak dan besarnya resikonya sebanding dengan
jumlah yang dihisap per hari. Secara psikologis stres belum terbukti dapat
menyebabkan tukak peptik tetapi pasien tukak bisa bertambah buruk
keadaannya jika dipengaruhi oleh kehidupan sekitar yang penuh dengan
tekanan (Dipiro et al., 2017).
2.2.4 Gambaran Klinis
Secara umum biasanya pasien tukak peptik mengeluh dispepsia.
Dispepsia adalah suatu penyakit saluran cerna yang menimbulkan
ketidaknyamanan diperut seperti nyeri ulu hati, sendawa, mual, muntah,
kembung, rasa terbakar, serta rasa penuh di ulu hati setelah makan dan
cepat merasakan kenyang. Gejala klasik dari tukak peptik adalah nyeri.
Pada tukak lambung rasa sakit timbul 30-90 menit sesudah makan, pada
tukak duodenum 2-3 jam sesudah makan. Makanan kecil yang tidak
mengiritasi dan yang terus menerus dimakan dalam selang waktu yang
pendek dapat mengurangi nyeri. Dengan pengobatan biasanya rasa sakit
menghilang dalam 10 hari, tetapi proses penyembuhan berlangsung selama
1-2 bulan.
Gejala dari tukak peptik yang paling sering adalah nyeri abnormal
yang sering kali digambarkan seperti rasa terbakar tetapi dapat timbul
sebagai ketidaknyamanan yang tidak jelas, perut terasa penuh atau kram.
Rasa nyeri pada malam hari yang dapat membangunkan pasien dari tidur
terutama antara jam 12 pagi dan jam 3 pagi. Mulas, bersendawa dan
kembung sering menyertai rasa sakit selain itu mual, muntah dan
anoreksia lebih sering terjadi pada tukak peptik daripada tukak duodenum.
Nyeri epigastrium seperti rasa digerogoti, panas terbakar, atau pegal,
bertambah berat pada malam hari dan 1 hingga 3 jam sesudah makan.
Terjadi gejala nausea, vomitus, kembung, sering bersendawa dan
penurunan berat badan, komplikasinya meliputi anemia, pendarahan,
perforasi, dan obstruksi (Mitchell, 2006). Pendarahan mungkin tidak
terlihat seperti melena (keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran
cerna bagian atas (SCBA) atau haematesis (muntah darah), tetapi perforasi
bisa dirasakan seperti rasa sakit yang tiba-tiba, tajam, dan parah dimulai
dari ulu hati lalu menyebar cepat ke seluruh perut.
2.3 PCR Konvensional
PCR digunakan untuk memperbanyak jumlah DNA pada target DNA
tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen
dengan molekul DNA target yang dituju. Perbanyakan fragmen DNA
dilakukan saecara selektif dan spesifik oleh sepasang oligonukleotida yang
dikenal sebagai primer. Beberapa komponen penting yang dibutuhkan dalam
reaksi PCR adalah template DNA, sepasang primer oligonukleotida, DNA
polymerase, deoksinukleosida trifosfat (dNTP), dan larutan buffer. Deteksi
secara PCR konvensional merupakan metode deteksi yang sangat sensitive
dan spesifik, dimana prosedur analisisnya mulai dari ekstraksi DNA/RNA,
amplifikasi dan elektroforesis harus dikerjakan secara aseptis di dalam
laboratorium yang khusus dan rumit (Fitri, dkk. 2021)

1. Template DNA

Template DNA adalah molekul DNA untai ganda yang


mengandung sekuen target yang akan diamplifikasi. Ukuran DNA
bukan merupakan faktor utama keberhasilan PCR, berapapun
panjangnya jika tidak mengandung sekuen yang diinginkan maka
tidak akan berhasil proses suatu PCR, namun sebaliknya jika ukuran
DNA tidak terlalu panjang tapi mengandung sekuen yang diinginkan
maka PCR akan berhasil (Pradnyaniti, dkk.2010)

2. Sepasang primer oligonukleotida

Susunan primer merupakan salah satu kunci keberhasilan PCR.


Pasangan primer terdiri dari 2 oligonukleotida yang mengandung 18-
28 nukleotida dan mempunyai 40-60% GC content. Sekuen primer
yang lebih pendek akan memicu amplifikasi produk PCR non
spesifik. Ujung 3' primer penting dalam menentukan spesifisitas dan
sensitivitas PCR. Ujung ini tidak boleh mempunyai 3 atau lebih basa
G atau C, karena dapat menstabilisasi annealing primer non spesifik.
Disamping itu ujung 3' kedua primer tidak boleh komplementer satu
dengan yang lain, karena hal ini akan mengakibatkan pembentukan
primer-dimer yang akan menurunkan hasil produk yang diinginkan.
Ujung 5' primer tidak terlalu penting untuk annealing primer,
sehingga memungkinkan untuk menambahkan sekuen tertentu
misalnya sisi restriksi enzim, start codon ATG atau sekuen promoter
(Pradnyaniti, dkk. 2010).

3. Deoxynucleotide Triphosphate (dNTP)

Deoxynucleotide Triphosphate merupakan material utama untuk


sintesis DNA dalam proses PCR yang terdiri dari dATP, dGTP,
dCTP, dan dTTP. Konsentrasi dntp masing-masing sebesar 20-200
µM dapat menghasilkan keseimbangan optimal antara hasil,
spesifisitas dan ketepatan PCR. Konsentrasi masing-masing dNTP
harus seimbang untuk meminimalkan kesalahan penggabungan.
Deoxynucleotide Triphosphate akan menurunkan Mg2+ bebas
sehingga mempengaruhi aktivitas polimerase dan menurunkan
annealing primer. Konsentrasi dNTP yang rendah akan
meminimalkan mispriming pada daerah non target dan menurunkan
kemungkinan perpanjangan nukleotida yang salah. Oleh karena itu
spesifisitas dan ketepatan PCR meningkat pada konsentrasi dNTP
yang lebih rendah (Pradnyaniti, dkk. 2010).

4. Larutan Buffer

Buffer yang digunakan biasanya mengandung 10 mM Tris-


HCl pH 8,3, 50 mM KCl, dan 1,5 mM MgCl2. Keberadaan ion
Mg2+ sangat penting. Konsentrasi ion Mg2+ ini sangat
mempengaruhi proses primer annealing, denaturasi, spesifisitas
produk, aktivitas enzim, dan fidelitas reaksi (Gaffar, 2007). Ion
Mg2+ bebas akan mengikat DNA template, primer dan membentuk
kompleks terlarut dengan dNTP untuk membuat subtrat yang
akan dikenali oleh enzim Taq Polymerase. PCR harus
mengandung 0,5-2,5 µM Mg2+ dari total konsentrasi dNTP
(Pradnyaniti, dkk. 2010).

PCR secara konvensional mempunyai prinsip cara kerja yaitu


mengamplifikasi Fragmen DNA tertentu dalam beberapa siklus,
berikut adalah tahapan pada proses PCR :

1. Denaturasi
Denaturasi merupakan reaksi yang berlangsung dalam suhu
tinggi, yaitu 95°C hingga 97°C yang bertujuan untuk memutus
ikatan hidrogen DNA atau terdenaturasi dan DNA menjadi
berutas tunggal
2. Annealing
Pada tahap ini, primer akan menuju daerah yang spesifik yang
komplemen dengan urutan primer. hidrogen akan terbentuk
antara primer degan urutan komplemen pada templat

3. Elongasi
Elongasi adalah proses perpanjangan rantai terjadi terjadi
pada suhu 72 0C karena merupakan suhu optimum Taq
polymerase. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami
perpanjangan pada sisi 3'nya dengan penambahan dNTP yang
komplemen dengan template oleh DNA polimerase
Dalam PCR ada beberapa metode salah satumya adalah
PCR RFLP (Retriction Fragment Lenght Polymorph), yaitu
Salah satu teknik dalam PCR yaiut analisis Fragmen yang
merupakan hasil amplifikasi PCR langsung digunakan dalam
reaksi digesti dengan menggunakan enzim restriksi. Daerah
DNA mitokondria hasil amplifikasi dengan PCR.
Multipleks PCR merupakan salah satu variasi dari teknik
PCR dengan beberapa primer yang digunakan bersama-sama
untuk amplifikasi pada beberapa daerah target (Jain 2007).
Multipleks PCR umum digunakan untuk analisis genotipe
yang memerlukan beberapa penciri secara simultan, deteksi
patogen, organisme rekayasa genetik (GMO) atau untuk
analisis mikrosatelit
PCR RAPD adalah penanda berbasis PCR dengan
menggunakan 10 basa primer acak. Teknik RAPD tidak
memerlukan pelacak DNA atau informasi mengenai sekuens
DNA yang dilacak. Prosedurnya sederhana dan mudah dalam
hal preparasi, dapat dilakukan secara maksimal untuk sampel
dalam jumlah banyak, jumlah DNA yang diperlukan relatif
sedikit (Lorenz, 2012).

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


3.1.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan agustus 2022 – oktober 2022.
3.1.2 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari
Sulawesi Tenggara.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian analitik
observasional dengan pendekatan cross sectional. Pada penelitian analitik
observasional memiliki tujuan untuk mencari hubungan antara variabel yang
satu dengan variabel yang lainnya tanpa memberikan intervensi pada variabel
yang akan diteliti. Penelitian dengan pendekatan cross sectional yaitu peneliti
melakukan observasi pada variabel yaitu dalam satu waktu tertentu (Hardani
et al., 2020). Penelitian ini dilakukan pada periode tertentu dan pengambilan
sampelnya dilakukan dalam satu kali dan tidak ada pengulangan dalam
pengambilan data dari responden.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah perempuan usia 20-35 tahun yang
menderita penyakit tukak lambung di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari
Sulawesi Tenggara. Populasi pada penelitian ini berjumlah 45 orang. Sampel
pada penelitian ini menggunakan rumus total sampling sehingga jumlah
sampel yaitu sejumlah 45 orang.
1. Kriteria Inklusi:
a. Perempuan yang berusia 20-35 tahun.
b. Menderita penyakit tukak lambung.
c. Menjalani pengobatan di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Sulawesi
Tenggara.
d. Tidak menderita penyakit lainnya selain tukak lambung.
e. Menggunakan pemeriksaan dengan Teknik PCR Konvensional.

2. Kriteria Eksklusi:
a. Hasil pemeriksaan Helicobacteris Pylori yang sudah melebih 1 bulan
setelah pengambilan sampel.
b. Hasil pemeriksaannya dikonfirmasi negative false.
3.4 Prosedur Pemeriksaan PCR Konvensional
1. Alat
a. Tabung PCR 200 mikro liter (atau PCR tertentu menggunakan 500
mikro liter).
b. Pepetman 0.5 – 10 mikro liter dan 10-200 mikroliter) dengan tip-nya
c. Mesin PCR
2. Bahan
a. dNTPs mix: yang merupakan campuran masing masing 10 mM dATP,
dCTP, dGTP, dTTP.
b. MgCl2
c. PCR buffer II
d. Forward primer
e. Reverse primer
f. DNA template
g. Air steril
h. Es batu
i. Elektroforesis set
3. Tatacara
1. Ke dalam tabung PCR (0.2 ml PCR tube) dimasukkan reagent sbb:
(sebaiknya DNA dimasukkan pada langkah terakhir sebelum
penambahan aquades steril).
a. 5 µL dNTPs yang merupakan campuran masing-masing 10 mM
dATP, dCTP, dGTP, dTTP) (konsentrasi akhir 10 mM setiap
dNTP).
b. 3.5 µL MgCl2 (75 mM) - 5 µL PCR buffer II (10X PCR buffer)
c. 5µL forward primer 10 pmol
d. 5 µL reverse primer 10 pmol
e. 0.25 µL TaqPolymerase (2.5U)
f. 1 µL DNA template (10-100 ng/ µL)
g. Air steril (air bebas mineral (deionized water) lebih baik) sampai
volume akhir 50 µL
2. Lakukan amplifikasi dengan kondisi silkus PCR sebagai berikut:
a. Pre-denaturasi pada suhu 95 o C selama 3 min
b. Diikuti dengan 30 siklus:
Denaturasi selama 30 detik pada suhu 95 o C, Annealing selama 30
detik pada suhu 50 o C, Extension selama 2 menit pada suhu 72.
c. Perpanjangan tambahan pada akhir siklus selama 10 menit pada 72
oC
d. Setelah PCR, ambil sampel dari tabung sebanyak 5 µL dan lakukan
elektroforesis pada agarose 1 % untuk mengecek hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amanda, K., Sari, R. And Apridamayanti, P. (2015). Optimasi Suhu Annealing
Proses Pcr Amplifikasi Gen Shv Bakteri Escherichia Coli Pasien Ulkus
Diabetik’, (10), Pp. 1–6.

Chmiela, M., & Kupcinskas, J. (2019). Review: Pathogenesis Of Helicobacter


Pylori Infection. Helicobacter, 24 Suppl 1(Suppl Suppl 1), E12638.

Fitri, Farida Dan Eko. (2021). Perbandingan Metode PCR Konvensioanal Dengan
Metode PCR Portable Kit Untuk Mendeteksi WSSV Pada Udang
Vannamei

Kurniati, Desak, Dan Ni Nyoman.(2019) Rapid And Spesific Detection Of


Mycobacterium. Journal Of Vocational Health Studies’, 03, Pp. 83–88.

Lorenz, T. C. (2012) ‘Polymerase Chain Reaction: Basic Protocol Plus


Troubleshooting And Optimization Strategies’, Journal Of Visualized
Experiments, (63), Pp. 1–15.

Matsuo, Y., Kido, Y. And Yamaoka, Y. (2017). Helicobacter Pylori Outer


Membrane Protein‐Related Pathogenesis. Jurnal Toxins,Vol 9 No 3 .

Miftahussurur, M. And Yamaoka, Y. (2016). Diagnostic Methods Of Helicobacter


Pylori Infection For Epidemiological Studies: Critical Importance Of
Indirect Test Validation. jurnal Biomed Research International.

Pradnyaniti, D. ., Wirajana, I. . And Yowani, S, C. (2010). Desain Primer Secara


In Silico Untuk Amplifikasi Fragmen Gen Rpob Mycobacterium
Tuberculosis Desain Primer Secara In Silico Untuk Amplifikasi Fragmen
Gen Rpob Mycobacterium Tuberculosis Dengan Polymerase Chain
Reaction ( PCR )’, Jurnal Farmasi Udayana, Pp. 124–130.

Reshetnyak,dan Tatiana. (2017). Significance Of Dormant Forms Of Helicobacter


Pylori In Ulcerogenesis. World journal Gastroenterology. Vol 23 No 27

Warganegara Dan Bunga. (2016). Pengaruh Infeksi Helicobacter Pylory Gaster


Terhadap Anemia Pernisioasa. Jurnal Majority Vol 5 No 3

Anda mungkin juga menyukai