Anda di halaman 1dari 20

POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI

HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Helicobacter pylori (H. pylori) merupakan kuman penyebab utama

penyakit gastritis pada manusia dan merupakan faktor etiologi gastric ulcer,

duodenal ulcer, gastric carcinoma dan primary gastric B-cell lymphoma. Infeksi

H. pylori sering ditemukan juga pada beberapa kasus nonulcer dyspepsia dan

merupakan prevalensi yang banyak ditemukan di dunia. Infeksi kronik dapat

terjadi sampai beberapa tahun dan dapat menyebabkan perubahan di dalam

mukosa gaster yang pada akhirnya dapat menyebabkan ulkus bahkan kanker

gaster. Habitat kuman H. pylori terbatas pada sel mukosa tipe gaster, terutama

daerah antrum dan ditetapkan paling sering pada lapisan paling dalam dari

mukosa yang melapisi sel epitel serta tidak akan terlihat apabila mukosa masih

menutupi sel epitel (Graham dan Graham, 2002; Liska, 2004; Gatta dkk., 2013).

Adanya kuman berbentuk spiral dalam lambung manusia sebenarnya

sudah dilaporkan sejak tahun 1875 oleh seorang sarjana Jerman yang

mendapatkan kuman berbentuk spiral pada mukosa lambung. Pada tahun 1893,

seorang sarjana Italia bernama Giulio Bizzozero melaporkan bakteri berbentuk

spiral yang hidup dalam lambung anjing yang bersuasana asam kuat. Hubungan

antara kuman spiral tersebut dengan penyakit lambung pertama kali diutarakan

oleh Professor Walery Jaworski dari Polandia yang meneliti kuman yang

ditemukan dalam sedimen cairan lambung pada tahun 1899 yang pada waktu itu

1
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dinamakan Vibrio rugula. Dalam usahanya untuk membuktikan bahwa kuman

spiral tersebut menyebabkan penyakit lambung, Marshall telah melakukan

percobaan terhadap dirinya sendiri. Dia telah menelan kuman H. pylori yang

dibiakkan dan beberapa hari kemudian dilakukan endoskopi dan ternyata terjadi

gastritis pada lambung Marshall yang disertai dengan adanya kuman H. pylori.

Marshall kemudian mengobati dirinya sendiri dengan gabungan garam Bismuth

dan Metronidazol selama 2 minggu dan akhirnya bebas dari kuman tersebut.

Dalam laporan Warren dan Marshall, kuman lambung berbentuk spiral ini

dinamakan Campylobacter pyloridis, dan kemudian dirubah menjadi

Campylobacter pylori (Holston, 2002).

Infeksi H. pylori dan keluhan dispepsia merupakan dua fenomena yang

umum terjadi pada komunitas besar. Beberapa penelitian dengan endoskopi

mengevaluasi prevalensi infeksi H. pylori pada pasien dispepsia non ulkus;

menunjukkan bahwa kedua fenomena ini sering berhubungan, dengan rerata

proporsi sekitar 50 – 60%pasien dengan dispepsia non ulkus menunjukkan adanya

H. pylori di dalam lambung. Pada penelitian prevalensi tersebut juga dikatakan

bahwa infeksi H. pylori pada individu tanpa gejala (asimtomatik) menunjukkan

prevalensi yang lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi pada pasien dengan

gejala dispepsia non ulkus tersebut. Beberapa penelitian uji klinik juga

menunjukkan adanya hubungan kausal antara terapi infeksi H. pylori dengan skor

pengurangan gejala dispepsia. Akan tetapi hal ini masih kontradiksi (Liska, 2004).

Prevalensi infeksi H. pylori sangat bervariasi antar negara maupun

kelompok populasi dalam satu Negara. Hasil studi klinis di Indonesia

2
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

menunjukkan bahwa prevalensi H. pylori pada pasien dengan ulkus peptikum

adalah 90-100%, dan pada pasien dispepsia non-ulseratif, prevalensi H. pylori

menjadi 20-40%. Dalam studi multicenter di 5 kota besar di Indonesia pada tahun

2003-2004, ditemukan bahwa prevalensi tertinggi di Yogyakarta (30,6%), dan

terendah di Jakarta (8%). Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian

sebelumnya di RS. M. Djamil Padang yang menemukan prevalensi H. pylori pada

pasien dispepsia sebesar 60% dengan uji serologis, dan 45% dengan uji

histopatologis (Utia dkk., 2010).

Secara keseluruhan prevalensi infeksi H. pylori mencapai 40%. Studi

sero-epidemiologi beberapa kota di Indonesia didapatkan frekuensi IgG anti

Hp positif yaitu Malang, Solo dan Medan (34 - 37%), Mataram 54%,

Denpasar 35%, Surabaya 36%, Jakarta 50-67%, Jakarta 52,3%, dan

Trenggalek 45,6% (Agung dkk., 2011). Laporan sementara dari studi

epidemiologi di Jakarta oleh Divisi Gastroenterologi menunjukkan bahwa

prevalensi infeksi H. pylori sebesar 52,3% dari 310 pasien, sedangkan di

Yogyakarta pada tahun 2009 sebesar 22,2% dari total pasien yang melakukan

gastroskopi di RSUP Dr. Sardjito (Utia dkk., 2010; Triwikatmani, 2014).

Terdapat beberapa regimen terapi eradikasi H. pylori yaitu terapi tripel

(PPI dan 2 antibiotik), terapi quadrapel (PPI, 2 antibiotik dan bismuth

subsalisilat), dan terapi sekuensial (PPI dan 3 antibiotik), dengan durasi 7-14 hari.

Di Indonesia, salah satu kendala terapi tripel adalah tingginya angka kekebalan

terhadap metronidazol. Dari 7 penelitian uji klinik dengan menggunakan plasebo

dan koloidal bismuth subsitrat pada terapi dispepsia non ulkus, 4 penelitian

3
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

menunjukkan perkembangan gejala dispepsia non ulkus secara klinis signifikan

dengan tingkat eradikasi H. pylori (Liska, 2004).

Penelitian lain menunjukkan bahwa eradikasi H. pylori tidak berhubungan

dengan perkembangan gejala dispepsia non ulkus. Dalam suatu penelitian

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada 12 bulan

follow-up antara kelompok perlakuan (15%) dan kelompok plasebo (11%). Kedua

kelompok menunjukkan tidak ada keluhan dispepsia pada akhir penelitian.

Sampai saat sekarang ini tidak terdapat terapi infeksi H. pylori dengan tingkat

keefektifan 100%. Beberapa antimikroba telah digunakan untuk terapi H. pylori

dengan tingkat kesuksesan yang berbeda-beda. Pada prinsipnya dalam eradikasi

H. pylori harus menggunakan kombinasi obat-obat sinergistik yang dapat

membunuh kuman H. pylori (Talley dkk., 1999; Soemohardjo, 2002).

Dalam memberikan terapi eradikasi yang menggunakan gabungan obat-

obat anti infeksi sedapat mungkin ada 2 komponen aktifitas obat yang penting,

yaitu obat-obat yang aktif intraluminal untuk membunuh kuman yang ada dalam

mukus, dan komponen obat yang aktif secara sistemik. Obat bismuth bekerja

secara intraluminal, sedangkan antibiotika berfungsi secara sistemik. Belakangan

timbul konsep baru dalam terapi eradikasi, yaitu gabungan antara obat

penghambat pompa asam dengan 2 jenis antibiotika yang lebih dikenal dengan

terapi tripel. Konsep ini berdasarkan pengertian bahwa banyak antibiotika yang

bekerja suboptimal pada pH rendah, ternyata dapat bekerja baik bila pH tersebut

dinaikkan mendekati enam. Obat penghambat pompa asam yang sering digunakan

adalah omeprazol (Marshall, 1993; Soemohardjo, 2002; Kho, 2010).

4
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa khasiat omeprazol juga

dapat menghambat kuman H. pylori, walaupun tidak dapat menimbulkan

eradikasi. Bila diberikan dalam dosis 40 mg/hari untuk individu dewasa selama 2

minggu dan kemudian dilakukan biopsi dan pembiakan untuk kuman H. pylori,

maka hasil biakan dapat negatif. Akan tetapi bila dilakukan biopsi dan biakan H.

pylori satu bulan kemudian, hasilnya akan kembali positif. Oleh karena itu

gabungan omeprazol dan antibiotika merupakan gabungan yang sinergistik

(Soemohardjo, 2002).

Keberhasilan eradikasi H. pylori dengan menggunakan berbagai rejimen

sebenarnya dipengaruhi 2 faktor, yaitu tingkat kepatuhan pasien dan sensitivitas

antibiotika yang digunakan. Kepatuhan pasien, pada prakteknya dipengaruhi

secara langsung oleh jumlah obat yang harus diminum setiap hari. Apabila tingkat

kepatuhan pasien rendah, ini akan mengakibatkan tingkat kesembuhan eradikasi

H. pylori menjadi lebih rendah. Terapi tripel untuk eradikasi H. pylori mempunyai

hubungan yang signifikan dengan tingkat kepatuhan dan kesembuhan eradikasi H.

pylori (Liska, 2004).

Faktor lain yang berpengaruh pada keberhasilan eradikasi H. pylori adalah

resistensi terhadap antimikroba yang digunakan. Masalah kekebalan H. pylori

terhadap antimikroba mula-mula terjadi pada metronidazol. Di negara-negara

barat,resistensi H. pylori terhadap antimikroba yang paling tinggi adalah jenis

imidazol, klaritromisin (72,8%) dan metronidazol (86,4%). Di negara-negara

sedang berkembang kekebalan terhadap metronidazol sudah mendekati 100%.

5
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Salah satu kendala terapi tripel di Indonesia adalah tingginya angka kekebalan

terhadap metronidazol (Soemohardjo, 2002; Gatta dkk., 2013).

Dalam penelitian meta-analisis tentang eradikasi infeksi H. pylori yang

dialukan oleh Gatta dkk.(2013) didapatkan hasil bahwa antara terapi eradikasi

sequensial lebih baik dibandingkan terapi tripel (baik selama 7 hari ataupun 10

hari), namun pada terapi selama 14 hari terapi tripel lebih baik daripada

sequensial namun tidak terlalu signifikan (81,3% banding 80,8%). Gatta dkk.

(2013) juga menyebutkan bahwa sequensial terapi lebih baik dibandingkan

dengan kuwadrapel terapi pada terapi selama 14 hari (86,2% banding 84,9%).

Soemohardjo (2009) menyatakan bahwa terdapat konsensus nasional

mengenai eradikasi H. pylori dari kelompok studi H. pylori Indonesia yang

ditandatangani pada tanggal 21 Desember 1996 di Jakarta menyatakan bahwa

eradikasi H. pylori :

1. Sangat dianjurkan pada ulkus duodeni, ulkus ventrikuli, pasca reseksi kanker

lambung dini, dan limfoma MALT.

2. Dianjurkan pada dispepsia tipe ulkus, gastritis kronik aktif berat, gastropati

AINS (NSAID), dan gastritis hipertrofik.

3. Tidak dianjurkan pada penderita asimtomatik.

Dari latar belakang tersebut dapat diketahui bahwa banyaknya pilihan

kombinasi terapi eradikasi H. pylori, baik dual, teripel ataupun kuwadrapel, serta

masih terdapat beberapa perbedaan pendapat terkait pemberian antibiotik pada

pasien terinfeksi H. pylori dengan diagnosis atau keadaan yang berbeda, oleh

karena itu hal tersebut akan mempengaruhi pola pengobatan dalam pemilihan

6
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

terapi eradikasi dan luaran klinis (terutama gejala yang terkait dengan peningkatan

asam) yang dihasilkan pada pasien yang terinfeksi H. pylori. Terapi eradikasi

yang diberikan harus tepat sesuai dengan kondisi pasien dikarenakan semakin

meningkatnya tingkat resistensi antibiotik, sehingga diperlukan modalitas tata

laksana terapi yang tepat dan menunjukkan luaran klinis yang membaik

berdasarkan konsensus para ahli dan pola pengobatan yang sesuai di setiap rumah

sakit.

Hubungan antara H. pylori dan keluhan yang dirasakan oleh pasien sangat

penting untuk diteliti, karena sebagian besar pasien positif H. pylori merasakan

keluhan dispepsia. Namun sampai saat ini di Indonesia jarang dilakukan

penelitian terkait penurunan gejala dispepsia pada pasien terinfeksi H. pylori

setelah dilakukan terapi. Hal inilah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian

ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah pola pengobatan pada pasien yang terinfeksi H. pylori

di Yogyakarta?

b. Bagaimanakah luaran klinis setelah diberikan terapi pada pasien yang

terinfeksi H. pylori?

7
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

C. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan asli karya penulis sendiri dan bukan

merupakan plagiat dari hasil penelitian orang lain. Penelitian tentang terapi

eradikasi H. pylori pernah dilakukan oleh:

a. Gottrand dkk. (2001) dalam penelitiannya yang berjudul “Omeprazole

Combined with Amoxicillin and Clarithromycin in the Eradication of

Helicobacter pylori in Children with Gastritis: A Prospective Randomized

Double-Blind Trial”.

Gottrand dkk. (2001), melakukan penelitian dengan terapi tripel

(omeprasol, amoksisilin, klaritromisin) dan terapi dual (amoksisilin dan

klaritromisin) selama 7 hari. Pada penelitian ini yang dinilai adalah tingkat

eradikasi, efek samping dan resistensi antibiotika. Alat diagnostik yang

digunakan adalah histopatologi, tes urese cepat, C-urea breath test. Pada

diagnosis pertama digunakan pemeriksaan histopatologi dan tes urese

cepat, dan pada saat evaluasi setelah akhir terapi digunakan alat diagnostik

C-urea breath test. Hasil dari penelitian tersebut yaitu, eradikasi H. pylori

pada kelompok I yang mendapatkan terapi tripel sebesar 74,2%,

sedangkan pada kelompok II yang mendapatkan terapi dual, hasil

eradikasinya sebesar 9,4%. Dari penelitian tersebut pula diketahui bahwa

resistensi klaritromisin sebesar 7,7%.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah Gottrand dkk. (2001)

membandingkan tingkat eradikasi, efek samping serta resistensi antibiotik

antara 2 rejimen (omperazol, amoksisilin, klaritromisin dibanding dengan

8
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

amoksisilin, klaritromisin) dengan metode prospektif sedangkan penelitian

yang dilakukan peneliti kali ini bersifat retrospektif dan tidak bisa

mengetahui efektivitas terapi eradikasi, melainkan untuk mengetahui pola

pengobatan serta luaran klinis (perbaikan keluhan) setelah diberikan

terapi.

b. Manes (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Empirical prescribing

for dyspepsia: randomized controlled trial of test and treat versus

omeprazole treatment”.

Penelitian ini merupakan penelitian dengan disain randomized controlled

trial yang bertujuan untuk membandingkan efektivitas dari tes H. pylori

dan memperlakukan strategi dengan percobaan empiris omeprazol pada

pasien dispepsia. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok

yang hanya mendapatkan terapi proton pump inhibitor (PPI), dan

kelompok yang mendapatkan PPI serta antibiotik. Hasil dari penelitian ini

adalah terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0,0001) antara kelompok

yang mendapatkan terapi antibiotik beserta obat golongan PPI

dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapatkan obat golongan

PPI terkait dengan perbaikan gejala dispepsia setelah 12 bulan.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manes (2003) adalah

mambandingkan perbaikan keluhan dispepsia yang diamati selama 12

bulan antara kelompok yang mendapatkan omeprazol, klaritromisin,

tinidazol dengan kelompok yang hanya mendapatkan omeprazol,

sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti dengan disain potong lintang

9
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dan retrospektif sehingga tidak bisa mengetahui perbaikan keluhan dalam

beberapa waktu kedepan, serta peneliti mengambil semua rejimen obat

yang digunakan, tidak spesifik hanya pada satu rejimen saja.

c. Liska (2004) dalam penelitiannya yang berjudul “Hasil Guna Terapi

Eradikasi Helicobacter Pylori Pada Anak Menggunakan Terapi Tripel

Dibanding Terapi Dual”.

Liska (2004) melakukan penelitian dengan terapi dual (omeprasol,

klaritromisin) dan terapi tripel (omeprasol, klaritromisin, amoksisilin).

Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas

antara terapi eradikasi dual dengan terapi eradikasi teripel. Diagnosis

infeksi H. pylori ditetapkan dengan pemeriksaan histopatologi melalui

pengambilan spesimen biopsi lambung dengan endoskopi. Efektivitas

terapi eradikasi dilihat dengan hasil pemeriksaan histopatologi spesimen

biopsi lambung sesudah terapi eradikasi H. pylori selama 2 minggu, yang

menunjukkan hasil negatif atau tidak ditemukan bakteri H. pylori.

Hipotesis dari penelitian ini ialah terapi dual lebih efektif jika

dibandingkan dengan terapi tripel.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah peneliti tidak

membandingkan efektivitas antar 2 rejimen obat, melainkan mengetahui

luaran klinis (perbaikan keluhan) setelah diberikan terapi, serta sampel

yang diambil adalah semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi (tidak dibataskan oleh usia).

10
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

d. Fischbach (2005) dalam “Nature Clinical Practice Gastroenterology and

Hepatology yang berjudul How Effective are Quadruple Therapies as first-

line H. pylori Eradication Therapies?: Meta-analysis”.

Fischbach (2005) melakukan penelitian pada 7151 pasien dengan disain

penelitian Meta-analysis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

tingkat eradikasi terapi kuwadrapel, efek samping obat, kepatuhan pasien

dan faktor yang mempengaruhi efektivitas terapi eradikasi. Hasil pada

penelitian ini menunjukkan bahwa terapi kuwadrapel dengan kombinasi

metronidazol, tetrasiklin, penghambat asam dan bismuth merupakan

regimen yang paling banyak dipakai (56%). Penggunaan omeprazol pada

tregimen tersebut menunjukan pengaruh tingkat eradikasi sebesar 6%.

Penggunaan regimen tersebut selama 10-14 hari dapat menghasilkan

tingkat eradikasi lebih dari 85%, bahkan pada pasien resisten

metronidazol. Suatu analisa regresi meta menunjukkan bahwa terapi

kuwadrapel pada pasien resisten metronidazol lebih efektif (11%) jika

dibandingkan dengan terapi tripel. Tingkat eradikasi terapi kuwadrapel

pada pasien resisten klaritromisin sebesar 90-100%, jika dibandingkan

dengan terapi tripel maka menunjukkan perbedaan sebesar 25-61%. Efek

samping yang dihasilkan antara penggunaan terapi tripel dan kuwadrapel

tidak jauh berbeda. Resistensi metronidazol dapat menurunkan tingkat

eradikasi sebesar 9%.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti kali ini adalah

peneliti hanya ingin mengetahui luaran klinis pasien setelah diberikan

11
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

terapi, sedangkan penelitian oleh Fischbach (2005) ingin mengetahui

tingkat eradikasi terapi kuwadrapel, efek samping obat, kepatuhan pasien

dan faktor yang mempengaruhi efektivitas terapi eradikasi pada terapi

kuwadrapel.

e. Agah dkk. (2009), dalam penelitiannya yang berjudul “Comparison of

Azithromycin and Metronidazole in a Quadruple-Therapy Regimen for

Helicobacter pylori Eradication in Dyspepsia”.

Agah dkk. (2009) melakukan penelitian double-blind RCT pada 60 pasien

dispepsia yang terinfeksi H. pylori. Diagnosis awal menggunakan tehkik

endoskopi dan Rapid Urea test. Pasien secara acak menerima terapi

kuwadrapel selama 2 minggu. Pada kelompok I (n=30) pasien menerima

metronidazol 500mg bid, amoksisilin 1g bid, omeprazol 20mg bid,

bismuth 240mg bid, dan kelompok II (n=30) menerima azitromisin 500mg

satu kali sehari selama 1 minggu, amoksisilin 1gr bid, omeprazol 20mg

bid dan bismuth 240mg bid selama 2 minggu. Efektivitas terapi eradikasi

dilihat dengan tehnik Rapid Urea Test setelah 2 bulan dilakukan eradikasi

terapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat eradikasi antara 2

kelompok tidak jauh berbeda yaitu 68% pada kelompok I, dan 69% pada

kelompok II.

Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Agah dkk., (2009) adalah

Agah dkk., (2009) membandingkan efektivitas antara azitromisin dan

metronidazol pada terapi kuwadrapel, sedangkan peneliti kali ini tidak

12
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

membandingkan efektivitas eradikasi, melainkan hanya mengetahui luaran

klinis (perbaikan gejala) pasien setelah diberikan terapi.

f. Hajiani (2009) dalam” Jundishapur Journal of Microbiology yang berjudul

Treatment for Helicobacter pylori infection, an overview”.

Hajiani (2009) melakukan penelitian untuk mengetahui tingkat eradikasi

H. pylori setelah diberikan terapi dengan durasi 2 minggu. Hasil penelitian

ini menunjukkan efektivitas terapi eradikasi 3 kombinasi obat yang

diberikan selama 7 hari (PPI based triple therapies) dengan kombinasi

omeprasol 20mg bid, amoksisilin 1gr, klaritromisin 500mg atau dengan

metronidazol 400mg, klaritromisin 250mg. Terdapat beberapa penelitian

yang menunjukkan kesamaan antara lansoprazol 30mg bid, rabeprazol

20mg satu kali sehari, pantoprazol 40mg bid, dan esomeprazol20mg bid,

dengan omeprazol pada terapi tripel. Eradikasi H. pylori pada terapi tripel

menggunakan metronidazol menunjukkan tingkat eradikasi sebesar 80-

90%. Resistensi metronidazol sebesar 70% (di Asia sebesar 62,7%),

klaritromisin dan furazolidon 10%, amoksisilin 20%, tetrasiklin dan

ciprofloksasin sebesar 5% pada pasien tukak peptik dan dispepsia yang

tidak resisten pada amoksisilin dan asam klavulanat. Terapi tripel dengan

kombinasi metronidazol, bismuth subsitrat dan tetrasiklin memiliki tingkat

eradikasi sebesar 80,7% pada pasien yang sensitif metronidazol dengan

resistensi metronidazol sebesar 64%. Terapi tripel dengan kombinasi

amoksisilin, tetrasiklin dan omeprazol dengan durasi 7-14 hari

menunjukkan tingkat eradikasi sebesar 86%.

13
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Terapi sekuensial dengan kombinasi 3 antibiotik menunjukkan tingkat

eradikasi yang lebih besar dibandingkan terapi standar (89% versus 77%),

namun hasil ini akan berbeda jauh pada pasien yang resisten klaritromisin

(89% versus 29%).

Terapi kuwadrapel dengan kombinasi PPI, bismuth 525mg qid, dan dua

antibiotik (misal metronidazol 500mg qid, tetrasiklin 500mg qid) selama 2

minggu. Suatu penelitian menggunakan 137 pasien yang mendapatkan

kapsul kombinasi 3 antibiotik (bismuth 140mg, metronidazol 125mg,

tetrasiklin 125mg) dan omeprazol 20mg bid (Kelompok I), yang

dibandingkan dengan 137 pasien yang mendapatkan terapi omeprazol

20mg, amoksisilin 1g, klaritromisin 500mg bid, dan bismut selama 10 hari

(Kelompok II), hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat

eradikasi antara 2 kelompok tidak jauh berbeda yaitu kelompok I sebesar

88% dan kelompok II sebesar 83%.

Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Hajiani (2009) adalah

Hajiani (2009) membandingkan efektivitas antara terapi teripel,

kuwadrapel dan sekuensial, sedangkan peneliti kali ini tidak

membandingkan efektivitas eradikasi, melainkan hanya mengetahui luaran

klinis (perbaikan gejala) pasien setelah diberikan terapi.

g. Utia dkk. (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Clinical Evaluation

of Dyspepsia in Patients with Functional Dyspepsia, with The History of

Helicobacter pylori Eradication Therapy in Ciptomangunkusumo

Hospital, Jakarta”.

14
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Utia dkk. (2010) dalam penelitiannya (cross-sectional study)

menggunakan 21 sampel pasien positif H. pylori. Penelitian ini dilakukan

untuk mengetahui perbaikan gejala dispepsia non-ulseratif setelah terapi

eradikasi, mengetahui status H. pylori setelah terapi eradikasi, dan untuk

mempelajari proporsi peningkatan gejala dispepsia pada pasien non-

ulseratif dengan H. pylori negatif.

Setelah dilakukan eradikasi, sebanyak 81% pasien ditemukan dengan

status H.pylori negatif, dan pada umumnya pasien mengalami perbaikan

gejala dispepsia. Persentase dari perbaikan gejala dispepsia pada pasien

dengan status H. pylori negatif setelah eradikasi adalah 76,4%.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Utia dkk. (2010) adalah

penelitian Utia dkk. (2010) merupakan penelitian prospektif menggunakan

Global Overall Symptoms of Dyspepsia Scale (GOS) dalam penilaian

perbaikan keluhan dispepsia, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti

merupakan penelitian retrospektif dan dalam menilai luaran klinis peniliti

melihat dari keluhan atau gejala dispepsia pasien yang tercatat di rekam

medis pasien.

h. Gatta dkk. (2013), dalam penelitiannya yang berjudul “Global Eradication

Rates for Helicobacter pylori Infection: Systematic review and meta-

analysis of sequential therapy”.

Gatta dkk. (2013) dalam penelitiannya menggunakan 46 RCT yang sudah

di review dan dianalisis. Penelitian ini membandingkan antara terapi

sekuensial dan terapi lain. Sebanyak 5666 pasien yang secara acak

15
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

menerima terapi sekuensial dan 7866 pasien menerima terapi lain. Secara

keseluruhan tingkat eradikasi terapi sekuensial ialah 84,3%. Terapi

sekuensial lebih baik jika dibandingkan dengan terapi tripel selama 7 hari

(86,5% versus 71,5%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 15%, tingkat

eradikasi sekuensial 24% lebih besar dari PPI-amoksisilin-klaritromisin,

dan 15,9% lebih besar dari PPI-amoksisilin-metronidazol).

Terapi sekuensial lebih baik jika dibandingkan dengan terapi tripel selama

10 hari (84,3% versus 75,3%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 9%).

Terapi sekuensial tidak jauh lebih baik jika dibandingkan dengan terapi

tripel selama 14 hari (80,8% versus 81,3%; perbedaan tingkat eradikasi

sebesar 0,5%).

Terapi sekuensial lebih baik jika dibandingkan dengan terapi kuwadrapel

dengan regimen bismuth (86,2% versus 84,9%; perbedaan tingkat

eradikasi sebesar 1,3%).

Terapi sekuensial lebih baik namun tidak terlalu signifikan jika

dibandingkan dengan terapi kuwadrapel tanpa menggunakan regimen

bismuth (81,7% versus 81,3%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 0,4%).

Tingkat eradikasi terapi sekuensial pada pasien yang resisten klaritromisin

ialah sebesar 72,8%, pada pasien resisten metronidazol sebesar 86,4%,

sedangkan pada pasien yang resisten klaritromisin dan metronidazol hanya

sebesar 37%.

Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Gatta dkk. (2013) adalah

Gatta dkk. (2013) membandingkan efektivitas antara terapi teripel,

16
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

kuwadrapel dan sekuensial, sedangkan peneliti kali ini tidak

membandingkan efektivitas eradikasi, melainkan hanya mengetahui luaran

klinis (perbaikan gejala) pasien setelah diberikan terapi.

i. Xu dkk. (2013), dalam penelitian yang berjudul “Symptom Improvement

after helicobacter pylori eradication in patients with functional dyspepsia-

A multicenter, randomized, prospective cohort study”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbaikan gejala pada pasien

dispepsia fungsional positif H. pylori. Total sampel sebanyak 644 psien

dispepsia fungsional yang kemudian dibagi dalam 2 kelompok yaitu

kelompok yang mendapatkan eradikasi dan kelompok yang tidak

mendapatkan eradikasi. Pada kelompok yang mendapatkan eradikasi,

dibagi lagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan terapi

tripel dan kelompok yang mendapatkan terapi kuwadrapel.

Satu bulan setelah eradikasi, dilakukan pengecekan kembali menggunakan

UBT dan didapatkan hasil total eradikasi sebanyak 76,36%. Tidak ada

perbedaan signifikan antara kelompok yang mendapatkan terapi tripel

dengan terapi kuwadrapel pada tingkat eradikasi H. pylori.

Dalam hal perbaikan gejala, kelompok yang mendapatkan terapi eradikasi

mengalami perbaikan gejala yang lebih baik dibandingkan dengan

kelompok yang tidak mendapatkan terapi eradikasi, namun tidak ada

perbedaan signifikan antara terapi tripel dan kuwadrapel dalam perbaikan

gejala dispepsia.

17
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Xu dkk. (2013) adalah Xu

dkk. (2013) dalam penilaian perbaikan keluhan menggunakan

Gastrointestinal Symptom Rating Scale yang dipantau secara berkala (4

minggu, 8 minggu, 12 minggu dan 52 minggu), perbaikan keluhan yang

dinilai spesifik yaitu pada pasien dengan keluhan postprandial distress

syndrome (PDS) dan pasien dengan keluhan epigastric pain syndrome

(EPS), sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian

retrospektif dan dalam menilai luaran klinis peniliti melihat dari keluhan

atau gejala dispepsia pasien yang tercatat di rekam medis pasien, serta

peneliti tmengambil semua keluhan yang dirasakan oleh pasien.

j. Onyekwere dkk. (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Rabeprazole,

clarithromycin, and amoxicillin Helicobacter pylori eradication therapy:

Report of an efficacy study”.

Penelitian ini bertuuan untuk mengetahui efektivitas pada terapi teripel

(rabeprazol, klaritromisin dan amoksisilin) dalam eradikasi H. pylori dan

mengetahui faktor yang mempengaruhi perbaikan klinis pasien dan hal-hal

yang merugikan terapi teripel.

Hasil dari penelitian ini adalah penggunaan kombinasi antara rabeprazol,

klaritromisin dan amoksisilin memberikan efek dan keamanan yang baik

dalam eradikasi H. pyloridengan nilai rata-rata eradikasi 87,2%, perbaikan

keluhan pasien sebesar 95%, serta jenis kelamin dan usia tidak

memberikan perbedaan yang signifikan dalam perbaikan klinis pasien,

baik pada durasi 7 hari ataupun durasi 10 hari (p=0,78).

18
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Perbedaan penelitian yang dilakukan Onyekwere dkk. (2014) merupakan

penelitian prospektif dengan menggunakan rejimen rabeprazol,

klaritromisin dan amoksisilin dengan durasi 7 dan 10 hari, sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini adalah peneliti mengambil

semua rejimen obat yang digunakan, baik yang menggunakan antibiotik

maupun tanpa menggunakan antibiotik.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang

bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Bagi pasien

Pasien bisa mendapatkan pengobatan dan penanganan yang lebih baik dari

klinisi, sehingga tingkat kesembuhan penyakit akan lebih besar serta frekuensi

dan keluhan dispepsia bisa berkurang.

2. Bagi keilmuan

Salah satu bahan acuan dalam penatalaksanaan terapi eradikasi H. pylori

sehingga para klinisi dapat memberikan pelayanan dan perawatan yang terbaik

kepada pasien terinfeksi H. pylori.

3. Bagi penelitian

Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya.

19
POLA PENGOBATAN DAN LUARAN KLINIS PADA TERAPI ERADIKASI PASIEN TERINFEKSI
HELICOBACTER PYLORI
DI YOGYAKARTA
Yanita Harliana A
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

E. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk :

a. Mengetahui pola pengobatan pada pasien yang terinfeksi H. pylori di

Yogyakarta.

b. Mengetahui luaran klinis pada pasien yang terinfeksi H. pylori di

Yogyakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai