Anda di halaman 1dari 15

ERADIKASI DINI HELICOBACTER PYLORI

MENGUBAH EPIGENETIK KEGANASAN LAMBUNG,


SUATU TANTANGAN KE DEPAN





UNIVERSITAS GADJAH MADA


Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada









Oleh:
Prof. dr. Mohammad Juffrie, SpA(K), Ph.D.
2
ERADIKASI DINI HELICOBACTER PYLORI
MENGUBAH EPIGENETIK KEGANASAN LAMBUNG,
SUATU TANTANGAN KE DEPAN






UNIVERSITAS GADJAH MADA


Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada


Disampaikan di Depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
pada Tanggal 2 Februari 2011
Di Yogyakarta




Oleh:
Prof. dr. Mohammad Juffrie, SpA(K), Ph.D.
3
Eradikasi Dini Helicobacter Pylori mengubah Epigenetik
Keganasan Lambung, suatu tantangan ke depan

Helicobacter pylori
Sejak pertama kali ditemukan Helicobacter pylori (H.pylori)
pada tahun 1982 oleh Marshall dan Warren, perkembangan
patogenesis kuman yang hidup di gaster ini menjadi lebih jelas
(Marshall and Warren, 1984). Sebetulnya organisme yang berbentuk
spiral ini sejak lama telah diteliti tepatnya sejak 1888. Pada saat itu
para peneliti berpendapat bahwa bakteri banyak menimbulkan
penyakit pada manusia. Dengan semakin bisa dijelaskan patogenesis
dan ditemukan isolasi H. pylori maka hal ini menjadi terobosan dalam
dunia kedokteran. Konsensus bahwa H. pylori merupakan bakteri
yang mempunyai peranan penting yang menyebabkan ulkus
gastroduodenal tercapai pada tahun 1994 (International Agency for
Research on Cancer Working Group on the Evaluation of
Carcinogenic Risks to Humans, 1994). Sekarang telah diakui bahwa
H. pylori merupakan penyebab gastritis kronis atropi tipe B yang
berhubungan dengan ulkus duodenum hampir pada 90% pasien.
Prevalensi H.pylori di setiap daerah sangat bervariasi. Pada
negara maju, prevalensi H.pylori tidak lebih dari 40% dengan usia
muda dan remaja mempunyai kejadian infeksi lebih rendah daripada
usia dewasa dan tua (Kusters et al., 2006). Tetapi hal ini berbeda pada
negara berkembang dimana prevalensinya lebih tinggi. Pada anak
berumur di bawah lima tahun, di negara-negara berkembang tersebut,
angka kejadian infeksi H.pylori meningkat secara cepat dan menetap
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi H.pylori terjadi pada saat
usia dini (Kusters et al., 2006). Di Indonesia prevalensi infeksi
H.pylori pada anak bervariasi di beberapa tempat, penelitian di J akarta
menemukan 20%, di Mataram menemukan 40%, di Yogyakarta
menemukan 25% dari pasien yang datang ke RS. Sardjito dengan
keluhan sakit perut berulang (J uffrie.,2003).
Infeksi bakteri H. pylori ini semakin mendapat perhatian besar
karena terbukti berhubungan dengan kejadian adenocarsinoma gaster.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa penderita dengan riwayat
4
atau infeksi H. pylori sekarang mengalami risiko kejadian kanker
gaster sebanyak 2,7 12 kali. Risiko ini meningkat terutama ketika
infeksi H. pylori terjadi pada usia muda. Hal ini dibuktikan dengan
penelitian yang melihat perpindahan penduduk dari negara dengan
kejadian kanker gaster yang tinggi ke negara dengan kejadian kanker
gaster yang rendah. Penduduk J epang, negara dengan kejadian kanker
gaster yang tinggi, yang berimigrasi ke Amerika Serikat, negara
dengan kejadian kanker gaster yang rendah, hanya mengalami sedikit
penurunan risiko kanker gaster walaupun penduduk tersebut pindah
pada saat umur mereka masih sangat muda. Sedangkan, imigran
generasi kedua mengalami risiko kanker gaster hampir sama dengan
negara yang mereka tempati (Kusters et al., 2006).
Diagnosis H. pylori ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang
ada yaitu adanya dispepsia. Diagnosis pasti dilakukan dengan
pemeriksaan adanya infeksi H. pylori yaitu dengan pemeriksaan
serologi, phenotyping, urea breath test dan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan serologi dilakukan dengan mengukur kadar antibodi
yang beredar didalam darah. Beberapa metode yang telah dipasarkan
adalah latex agglutination atau chromatography strips. Enzyme-linked
immunosorbent assay atau ELISA merupakan metode yang sering
digunakan untuk mengukur adanya antibodi dalam darah. Dengan
memakai cara ini dapat ditentukan adanya antibodi secara kwalitatif
ataupun kwantitatif. IgG mempunyai sensitivitas dan spesifitas >
90%. Dengan mengetahui kadar IgG dan IgA hampir semua pasien
yang terinfeksi bisa terdeteksi (J uffrie, 2004).
Pemeriksaan phenotyping H. pylori terdiri dari berbagai macam
cara yaitu biotyping, serotyping, haemagglutination, lectin typing,
profil protein membran luar seperti PCR (Protein Chain Reaction),
Immunoblotting. Terdapat beberapa pemeriksaan nonserologi, salah
satunya adalah test urease dimana test ini berdasarkan adanya
konsentrasi tinggi dari urease yang diproduksi oleh H. pylori.
Pemeriksaan urea breath test mempunyai sensitifitas dan spesifisitas
yang cukup tinggi. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan untuk
mengetahui adanya H. pylori pada mukosa gaster. Pemeriksaan dari
jaringan biopsi bisa dilakukan dengan langsung pada sediaan basah
dengan memakai lapangan pandang gelap atau fase kontras
5
mikroskop, atau setelah di fiksasi untuk pengecatan kimia dan
immunosito kimia. Kultur H. pylori membutuhkan waktu dan hanya
dipakai kalau membutuhkan tes sensitifitas antibiotik (J uffrie, 2004).
Pada umumnya penderita yang mempunyai gejala dan tanda
penyakit ini diberikan terapi jangka panjang Proton Pump Inhibitor
(PPI). Eradikasi penyakit ini dengan antibiotika yang tepat akan
mengurangi angka kekambuhan ulkus kurang dari 10%. Untuk
mencegah komplikasi yang lebih serius maka diperlukan diagnosis
yang tepat dan akurat dilanjutkan dengan terapi eradikasi (J uffrie,
2004).

Epigenetik
Epigenetik merupakan proses ekspresi genetik yang tidak
melibatkan urutan DNA dan disimpan di dalam sel, kemudian
dilanjutkan dengan berbagai perubahan yang terjadi pada DNA dan
kromatin. Informasi genetik tidak hanya dikode melalui urutan DNA
tetapi juga melalui modifikasi epigenetik dari struktur kromatin yang
meliputi metilasi DNA dan modifikasi kovalen protein yang mengikat
DNA (Barros and Offenbacher, 2009). Tanda epigenetik ini merubah
susunan kromatin untuk dapat mempengaruhi ekspresi gen (Barros
and Offenbacher, 2009). Metilasi terjadi secara alamiah di basa sitosin
pada sekuense CpG dan berperan dalam mengontrol ekspresi genetik
yang benar (Barros and Offenbacher, 2009). Sitosin yang bermetilasi
secara diferensial dapat membuat suatu pola spesifik untuk setiap tipe
jaringan dan status penyakit (Barros). Metilasi tersebut, Methylation-
variable position (MVPs), tidak terdistribusi secara merata di genom
namun hanya terkonsentrasi pada gen yang mengatur transkripsi,
metabolisme, diferensiasi dan onkogenesis. Perubahan di metilasi
MVP menciptakan pola epigenetik yang dapat meregulasi profil
ekspresi gen pada saat diferensiasi sel, pertumbuhan dan perkem-
bangan, juga kanker (Barros and Offenbacher, 2009).
Epigenetik dapat diubah polanya oleh faktor lingkungan seperti
toksin dan eksposur mikroba dan virus, sehingga terjadi perubahan
efek pada aktivasi gen dan fenotip sel. Karena metilasi DNA sering
tersimpan setelah pembagian sel, perubahan pola MVP di jaringan
6
menjadi terakumulasi dan dapat menyebabkan perubahan persisten di
metabolisme seluler yang stabil, respon terhadap stimulus atau retensi
fenotipe yang abnormal. Hal ini merefleksikan suatu konsekuensi
molekuler dari interaksi gen lingkungan. Oleh karena itu, epigenetik
DNA merupakan suatu link utama dalam genetik, penyakit dan
lingkungan (Barros and Offenbacher, 2009).
Epigenetik memberi suatu pemahaman yang baru bahwa proses
ekspresi genetik tidak hanya melibatkan urutan DNA. Oleh karena itu,
epigenetik menantang pemikiran kita mengenai evolusi, genetik dan
perkembangan. Terutama memberikan suatu pengertian bahwa faktor-
faktor lingkungan, seperti stress dan infeksi, dapat mempengaruhi
proses ekpresi genetik (Barros and Offenbacher, 2009).

Mekanisme epigenetik pada keganasan lambung akibat infeksi
H. pylori
Keganasan lambung merupakan hasil dari serangkaian proses
yang dipicu oleh infeksi H.pylori yang ditandai dengan akumulasi
gangguan molekuler. Awalnya, hubungan antara kejadian keganasan
lambung dengan infeksi H.pylori dipostulasikan berdasar penelitian
epidemiologis dan penelitian pada binatang. Berdasar meta analisis
dari Helicobacter and Cancer Collaborative Group (2001), infeksi H.
pylori, baik infeksi akut maupun riwayat infeksi sebelumnya,
berkaitan dengan meningkatnya risiko keganasan lambung (OR 3,0
(95% CI 2,3-3,8). Risiko ini makin meningkat pada subyek yang hasil
uji serologi untuk H. pylori positif 10 tahun sebelum diagnosis
keganasan lambung (OR 5.9; 95% CI 3.410.3). Dua mekanisme
perubahan molekuler yang berkaitan dengan terjadinya keganasan
adalah genetik dan epigenetik. Seperti telah dijelaskan sebelumnya
bahwa perubahan molekuler melalui mekanisme epigenetik terjadi
tanpa diikuti perubahan urutan DNA, sehingga perubahan molekuler
yang terjadi melalui mekanisme ini bersifat reversible bila agen
pemicunya dieradikasi dengan intervensi terapi dan agen kimiawi,
dengan demikian mekanisme epigentik ini merupakan target potensial
dalam pencegahan keganasan lambung (Zardo, 2005).

7
Epigenetik dapat mengalami perubahan melalui dua mekanisme
yaitu asetilasi histon dan metilasi DNA yang menyebabkan perubahan
struktur kromatin. Bagian kromatin aktif ditranskripsi bila terasetilasi
dan mengalami hipometilasi, sebaliknya bagian tersebut inaktif bila
terjadi deasetilasi dan hipermetilasi (Nardone et.al., 2007). Metilasi
DNA diperlukan dalam perkembangan fisiologis sel seperti emberio-
genesis dan diferensiasi sel yaitu dalam menjaga keseimbangan antara
sel pluripoten dan sel yang mengalami diferensiasi. Penyimpangan
metilasi pada gugus CpG menyebabkan pertumbuhan selektif yang
berlebihan sehingga terjadi pertumbuhan sel kanker, disamping itu
hipermetilasi gugus ini juga menginduksi inaktifasi tumor supressor
gene. Umumnya, pada sel tumor terjadi hipometilasi DNA global
dengan hipermetilasi regional (Suzuki, 2006). Sel epithel lambung
merupakan sel yang paling sering mengalami metilasi DNA pada
gugus CpG. Penjelasan terjadinya proses ini pada sel lambung masih
belum ditemukan, namun diduga akibat paparan agen eksogen yang
relatif mudah pada jaringan tersebut. Selain itu, mukosa lambung juga
secara endogen memproduksi reactive oxygen species (ROS) dan
nitric oxide (NO) yang dapat memetilasi gugus CpG (Kim et.al.,
2004). Infeksi H. pylori pada mukosa lambung akan menyebabkan
serangkaian proses imunologis dan proses radang dengan
dihasilkannya sejumlah sitokin, ROS dan NO. Agen ini diduga
mengaktifkan DNA methyltransferase sehingga terjadi hipermetilasi
gugus CpG dan menginduksi inaktivasi tumor supressor gene.
Metilasi DNA merupakan fenomena epigenetik tersering pada
genom organisme eukariotik, proses ini terjadi karena adanya penam-
bahan gugus metil pada posisi karbon ke 5 dari cincin sitosin dalam
dinukleotida CpG. Genome eukariot memiliki dinukleotida CpG yang
melimpah, namun dinokleotida ini berkurang dalam proses perkem-
bangan sel karena deaminasi spontan, dinukelotida yang tersisa sering
kali ditemukan pada regio promoter 5 dan disebut sebagai gugus CpG
(CpG island), gugus ini biasanya tidak termetilasi (Bird, 2002). Aspek
penting dari metilasi DNA adalah peranannya dalam pengaturan
ekspresi gen terutama represi transkripsi akibat terbentuknya trancrip-
tionally silent chromatin (J aenisch and Bird, 2003).

8
Keganasan lambung merupakan salah satu tumor dengan
frekuensi metilasi gugus
CpG yang tinggi. Oue et.al. (2003) menunjukkan adanya CpG
island methylator phenotype (CIMP) yang melibatkan target sejumlah
gene yang dipromotori hipermetilasi. Sato dan Meltzer (2006) mem-
buktikan bahwa indeks metilasi dari beberapa gen meningkat secara
signifikan sejalan dengan makin beratnya gejala, mulai dari gastritis
kronis hingga keganasan lambung. Dengan demikian terbukti bahwa
penyimpangan metilasi gugus CpG yang terjadi pada tahap awal
keganasan lambung akan cenderung meningkat sejalan dengan
tahapan penyakit. Penelitian yang dilakukan oleh Chan et.al. (2006)
membuktikan bahwa metilasi Ecadherin secara signifikan lebih sering
dijumpai pada subyek dengan infeksi H. pylori dibanding kontrol
yaitu 53% dibanding 6%, setelah terapi eradikasi H. pylori prosentase
ini menurun secara signifikan menjadi 19% berbanding 4%. Evaluasi
hingga 3 tahun pasca terapi, pada 10 subyek dengan infeksi H. pylori
yang masih persisten menunjukkan E-cadherin yang termetilasi,
sebaliknya pada 25 pasien yang pemeriksaan H. pylori negatif ,
perubahan E-chaderin termetilasi menjadi bentuk tak termetilasi
terjadi pada 10 pasien, namun bentuk termetilasi ini menetap pada 2
pasien dengan metaplasi intestinal dan terjadi perubahan dari bentuk
tak termetilasi menjadi termetilasi pada 4 pasien. Bukti ini
menunjukkan bahwa infeksi H. pylori dapat menginduksi perubahan
epigenetik yang dapat diperbaiki bila terapi diberikan secara memadai
dan tepat waktu. Sebaliknya pada infeksi persisten, perubahan
epigenetik dapat bersifat irreversible atau bahkan menginduksi
perubahan genetik meskipun terapi eradikasi telah diberikan (Chan et
al., 2006).

Hubungan eradikasi H. pylori dengan epigenetik kanker lambung
Mekanisme terbentuknya Ca gaster yang diinduksi oleh adanya
infeksi H. pylori merupakan proses yang panjang dan kompleks. Salah
satu gen yang diketahui berperan dalam pembentukan sel-sel kanker
pada gaster adalah gen E-cadherin. Gen E cadherin (CDH1) berlokasi
9
di kromosom 16q22.1 yang mengandung 16 exon. Hasil protein akhir
dari gen ini berupa molekul adhesi yang berperan penting dalam
perlekatan sel dan diferensiasi sel yang dibutuhkan dalam lingkungan
epitel gaster yang normal. Gangguan pada gen E-cadherin menyebab-
kan lepasnya ikatan antar sel, lepasnya sel-sel epitel serta mengganggu
sinyal proliferasi sel. Pada sel Ca gaster ditemukan gen E-cadherin
yang tidak berfungsi dan ini berhubungan dengan Ca gaster tipe difus.
Mutasi dan inaktivasi gen E-cadherin menyebabkan sindroma Ca
gaster. Secara epigenetik terjadinya inaktivasi E-cadherin oleh adanya
hipermetilasi promoter juga ditemukan pada sel Ca gaster dan infeksi
H. pylori. Menurut penelitian epidemiologis didapatkan bahwa sekitar
52% pasien yang positif terinfeksi H pylori memiliki hipermetilasi E
cadherin pada sel gaster (Leung et al., 2006).
Leung et al. (2006) mendapatkan bahwa eradikasi H. pylori
menyebabkan penurunan densitas metilasi pada gen E-cadherin baik
pada regio promoter dan exon (p<0,0001). Pada sel mukosa gaster
yang normal, ekspresi gen E-cadherin masih intak, walaupun telah
ditemukan adanya E-cadherin termetilasi. Sedangkan pada sel mukosa
gaster yang telah mengalami perubahan metaplasia, persentase
ekspresi E-cadherin yang hilang lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan sel mukosa tanpa metaplasia. (P=0,034).
Eradikasi H. pylori menyebabkan penurunan densitas metilasi pada
regio promoter dan exon 1 gen E-cadherin, menekan pemicu terhadap
metilasi gen, dan mengembalikan ekspresi aberan dari siklin D2 dan
p27 pada metaplasia usus.
Kabir (2009) menjelaskan bahwa selain penurunan promoter
hipermetilasi yang terjadi pada promoter gen E-cadherin, eradikasi H.
pylori juga menurunkan promoter hipermetilasi untuk beberapa gen
lain seperti p16, APC, dan DAPK. Bahkan untuk gen COX-2,
eradikasi H. pylori mengeliminasi secara sempurna promoter
hipermetilasi. Perubahan epigenetik yang terjadi bersifat tersebar dan
melibatkan sel mukosa normal maupun sel yang telah mengalami
metaplasia.
10

Keuntungan eradikasi H. pylori terhadap pencegahan kanker
lambung
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa terjadinya Ca gaster
yang dipicu oleh infeksi H. pylori merupakan proses yang panjang dan
bertahap. Hal ini merupakan kendala dalam melakukan penelitian uji
acak terkendali untuk menentukan keuntungan eradikasi H. pylori.
Follow up yang panjang dan jumlah subyek yang banyak menjadi
kendala utama apalagi memerlukan tindakan yang bersifat invansif.
Satu penelitian di Cina menunjukkan bahwa pada follow up 5 tahun,
eradikasi H. pylori menurunkan tingkat keparahan gastritis kronik.
Penelitian di Colombia yang melakukan kemoprevensi pada populasi
dengan risiko tinggi terhadap Ca gaster menunjukkan bahwa eradikasi
H. pylori dengan menggunakan triple drug therapy dapat mening-
katkan laju regresi terjadinya atrofi lambung dan metaplasia intestinal.
Regresi lesi prekanker terjadi pada 66% subyek yang tidak lagi
terinfeksi H. pylori dibandingkan hanya 14% dari kelompok yang
masih positif terinfeksi H. pylori. Efek dari eradikasi minimal pada
tahun-tahun pertama, namun meningkat pada tahun-tahun berikutnya.
Oleh karena itu untuk mengetahui keuntungan dari eradikasi H. pylori
dibutuhkan waktu follow up yang panjang.
Untuk mengetahui apakah eradikasi H. pylori berhubungan
dengan penurunan risiko Ca gaster dilakukan uji acak terkendali pada
1630 individu di China yang terinfeksi H. pylori. Ditemukan bahwa
tidak terdapat perbedaan bermakna dalam kejadian Ca gaster antara
kelompok yang diberi terapi eradikasi dan yang tidak. Namun setelah
dilakukan analisis subgroup di mana hanya kelompok individu yang
tidak menunjukkan lesi prekanker saat penelitian dimulai yang
dianalisis, didapat bahwa dari subyek tidak satupun subyek dari
kelompok intervensi berkembang menjadi Ca gaster, sedangkan enam
dari kelompok plasebo berkembang menjadi Ca gaster. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat "point of no return", di mana pada
individu dengan lesi prekanker, eradikasi H. pylori tidak berguna
dalam pencegahan Ca gaster. Temuan serupa juga didapat pada
penelitian lain yang dilakukan di China (dengan 453 subyek) dan di
11
Colombia (dengan 795 subyek).
Lee et al. (2008) menuliskan dari sudut pandang cost benefit
sehubungan dilakukannya eradikasi H. pylori. Secara cost effective,
eradikasi H. pylori pada tahap awal dengan melakukan uji tapis
melalui pengujian dan pengobatan sangat menguntungkan dengan cost
benefit yang tinggi, bahkan ketika hanya menurunkan angka kematian
sebesar 10%. Suatu penelitian uji acak terkendali yang dilakukan di
Cina menunjukkan terjadinya risk penurunan risiko terjadinya Ca
dengan melakukan pengobatan pencegahan (kemoprevensi) sebesar
37% setelah 7,5 tahun. Di negara maju di mana insidensi Ca gaster
masih rendah, eradikasi H. pylori ditujukan untuk mengurangi biaya
pengobatan dispepsia. Hal ini sangat berarti, oleh karena mening-
katkan quality of life penderita infeksi H.pylorus. Suatu penelitian
yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa eradikasi H. pylori
menurunkan biaya pengobatan yang berhubungan dengan dispesia
sampai dengan 30%. Pendekatan test and treat belum bermanfaat bila
dilakukan pada populasi secara umum namun terbukti bermanfaat
untuk menurunkan insidensi Ca gaster bila dilakukan pada populasi
dengan risiko tinggi infeksi H. pylori.

Penerapan di bidang Kesehatan Anak
Dengan hasil-hasil keuntungan eradikasi H. pylori untuk
mencegah terjadinya Ca gaster pada saat sebelum terjadinya lesi
prekanker maka merupakan hal yang masuk akal dan sangat penting
bila infeksi H. pylori diobati sejak anak-anak. Seperti yang telah
disebutkan pada sub bab pertama bahwa risiko utama terjadinya Ca
gaster adalah infeksi H.pylori pada usia dini. Lalu bagaimana caranya
menentukan siapa yang perlu obati dan bagaimana melakukan
manajemen yang tepat untuk mencapai eradikasi H. pylori?
Sebelum ditentukan terapi yang tepat, seorang dokter harus
menentukan populasi pasien yang berisiko tinggi terjadinya infeksi H.
pylori. Hal ini sesuai dengan temuan Lee et al., (2008) yang
menyatakan bahwa pendekatan test and treat hanya bermanfaat bila
dilakukan pada populasi dengan pasien berisiko tinggi. Menurut
Malfertheiner dan Megraud et al. (2002) pengujian untuk mengetahui
12
adanya infeksi H. pylori diperlukan pada anak dengan keluhan saluran
cerna seperti muntah, mual, diare, perdarahan saluran cerna, dan sakit
perut berulang di daerah epigastrium. Keluhan ekstra intestinal seperti
anemia yang tidak jelas penyebabnya juga merupakan gejala yang
perlu diinvestigasi lebih lanjut. Pemeriksaan deteksi infeksi H.pylori
juga diperlukan untuk kasus anemia defisiensi besi yang tidak dike-
tahui sebabnya dan pada pasien dengan Idiopathic Thrombocytopenic
Purpura (ITP) (Barabino 2002; Malfertheiner, Megraud et al. 2002).
Metode penegakan diagnosis infeksi H. pylori meliputi dua
metode utama yaitu metode invasif dan non invasif. Metode invasif
didapatkan melalui biopsi endoskopi yang diperiksa dengan cara
histologi, uji urease, kultur, dan polymerase chain reaction (PCR).
Pemeriksaan non invasive meliputi uji serologis (IgG dan IgM H.
pylori), uji napas dengan urea yang telah dilabel (Urea Breath Test),
pemeriksaan DNA H. pylori (dari feses, saliva atau gigi), antigastric
antibodies (AGA), dan pemeriksaan antigen H. pylori dalam feses
(HPSA).
Menurut ketentuan Maastricht dan rekomendasi Unit Kelompok
Kerja Gasrtohepatologi IDAI tahun 2010, terapi eradikasi H. pylori
dilakukan bila terpenuhi salah satu keriteria diagnosis seperti berikut:
1) ditemukannya H. pylori dalam hasil biopsi lambung, 2) hasil IgM
H. pylori yang positif, 3) urea breath test yang positif, 4) HPSA
positif, dan 5) rapid urea test positif. Setelah menentukan pasien yang
positif menderita H. pylori, dimulai pemberian terapi eradikasi dengan
pemberian lini pertama dengan pilihan triple drugs sebagai berikut: 1)
Proton pump inhibitor (1-2 mg/kg/hari) ditambah Amoxicillin (50
mg/kg/hari) ditambah Clarithromycin (15 mg/kg/ hari), 2) Proton
pump inhibitor (1-2 mg/kg/hari) ditambah Amoxicillin (50 mg/kg/hari)
ditambah Metronidazole (20 mg/kg/hari) 3) Proton pump inhibitor (1-
2 mg/kg/hari) ditambah Metronidazole (20 mg/kg/hari) ditambah
Clarithromycin (15 mg/kg/hari). Masing-masing regimen triple drugs
diberikan 2 kali sehari selama 10 sampai 14 hari. Bila dengan
pemberian triple drugs tidak membaik dapat diberikan regimen lini
kedua dengan quadriple drugs yaitu Proton pump inhibitor dan
Bismuth (Koloidal bismuth subsitrat) dengan amoksisilin atau
tetrasiklin ditambah dengan metronidazole.
13

Dengan memperhatikan pada data prevalensi dari beberapa
daerah di Indonesia maka, apabila dilakukan eradikasi terhadap semua
penderita yang positif infeksi H. pylori pada anak akan bisa mencegah
proses epigenetik keganasan (kanker) gaster (lambung) sehingga
kejadian kanker lambung pada saat dewasa bisa dihindari. Penentuan
eradikasi infeksi H. pylori pada masa anak-anak merupakan golden
period karena pada masa ini epithel gaster belum mencapai fase pre
kanker akibat proses epigenetik dari infeksi H. pylori, apabila
eradikasi dilakukan pada masa sesudah anak-anak dimana epithel
gaster sudah berada pada stadium pre kanker maka eradikasi ini tidak
bermanfaat untuk mengubah epigenetik kanker lambung. Ini merupa-
kan tantangan ke depan bagi para dokter spesialis anak untuk lebih
mencermati gejala tanda maupun pemeriksaan penunjang diagnosis
infeksi H.pylori sehingga diagnosis bisa ditegakkan sedini mungkin
kemudian eradikasi bisa dilakukan seawal mungkin sebelum ter-
lambat, dengan demikian kejadian kanker lambung bisa dicegah.
Hadirin yang saya hormati, sebagai kesimpulan dari pidato
pengukuhan ini adalah bahwa eradikasi infeksi H. pylori merupakan
upaya untuk mengubah mekanisme epigenetik kanker lambung,
terutama bila dilakukan diagnosis dini, yaitu pada masa anak-anak.
Pada akhir pidato pengukuhan guru besar saya ini perkenankan
saya menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu, mendukung dan membimbing saya sehingga
saya menjadi guru besar.

14
Daftar Pustaka

Barros, S. P,. and Offenbacher, S., (2009) Epigenetics: Connecting
Environment And Genotype To Phenotype And Disease. J Dent
Re; 88: 400-8.
Bird, A,. (2002) DNA methylation patterns and epigenetic memory.
Genes Dev; 16: 621.
Chan, A.O,. Peng, J .Z,. Lam, S.K,. Lai, K.C,. Yuen, M.F,. Cheung,
H.K,. Kwong, Y.L,. Rashid, A,. Chan,C.K,. Wong, B.C,. (2006)
Eradication of Helicobacter pylori infection reverses E-cadherin
promoter hypermethylation Gut; 55: 46368.
Helicobacter and Cancer Collaborative Group,. (2001) Gastric cancer
and Helicobacter pylori: a combined analysis of 12 case control
studies nested within prospective cohorts. Gut; 49: 34753.
International Agency For Research On Cancer Working Group On
The Evaluation Of Carcinogenic Risks To Humans,. (1994)
Helicobacter Pylori. Schistosomes, Liver Flukes, And
Helicobacter Pylori. Lyon: International Agency For Research
On Cancer.
J aenisch, R,. and Bird, A,. (2003): Epigenetic regulation of gene
expression: how the genome integrates intrinsic and
environmental signals. Nat Genet; 33 (supp l):245254.
J uffrie, M,. (2004). Helicobacter pylori. Presentasi pada Konas
BKGAI, Bandung
Kabir, S,. (2009): Effect of Helicobacter pylori eradication on
incidence of gastric cancer in human and animal models:
underlying biochemical and molecular events. Helicobacter;
14:159-71
Kim, T.Y,. J ong, H.S,. J ung, Y,. Kim, T.Y,. Kang, J .H,. and Bang,
Y.J ,. (2004) DNA hypermethylation in gastric cancer. Aliment
Pharmacol Ther; 20 (suppl 1):13142.
Kusters, J . G., Van Vliet, A. H,. and Kuipers, E. J ., (2006)
Pathogenesis Of Helicobacter Pylori Infection. Clin Microbiol
Rev: 19: 449-90.
Lee, Y., Lin, J ., Chen, T.H., and Wu, M., (2008) Is eradication of
Helicobacter pylori the feasible way to prevent gastric cancer?
15
New evidence and progress, but still a long way to go. J Formos
Med Assoc; (8): 107
Leung, W.K., Man, E.P.S., Yu, J ., Go, M.Y.Y., To, K., and Yamaoka,
Y., (2006) Effect of Helicobacter pylori eradication on
mehtylation status of E-cadherin Gene in noncancerous
stomach. Clin Cancer Res; (10): 12
Marshall, B. J ., and Warren, J . R., (1984) Unidentified Curved Bacilli
In The Stomach Of Patients With Gastritis And Peptic
Ulceration. Lancet ;1: 1311-5.
Nardone, G., Compare, D., de Colibus, P., de Nucci, G., and Rocco,
A., (2007) Helicobacter pylori and Epigenetic Mechanisms
Underlying Gastric Carcinogenesis. Dig Dis;25:2259
Oue, N., Oshimo, Y., Nakayama, H., Ito, R., Yoshida, K., Matsusaki,
K., and Yasui, W., (2003) DNA methylation of multiple genes
in gastric carcinoma: association with histological type and CpG
island methylator phenotype. Cancer Sci; 94: 901905.
Suzuki, K., Suzuki, I., Leodolter, A., Alonso, S., Horiuchi, S.,
Yamashita, K., and Perucho, M., (2006) Global DNA
demethylation in gastrointestinal cancer is age dependent and
precedes genomic damage. Cancer Cell; 9: 199207.
Zardo, G., Fazi, F., Travaglini, L., and Nervi, C., (2005) Dynamic and
reversibility of heterochromatic gene silencing in human
disease. Cell Res; 15: 67990.

Anda mungkin juga menyukai