Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Oleh: Prof. dr. Mohammad Juffrie, SpA(K), Ph.D. 2 ERADIKASI DINI HELICOBACTER PYLORI MENGUBAH EPIGENETIK KEGANASAN LAMBUNG, SUATU TANTANGAN KE DEPAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Disampaikan di Depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada Tanggal 2 Februari 2011 Di Yogyakarta
Oleh: Prof. dr. Mohammad Juffrie, SpA(K), Ph.D. 3 Eradikasi Dini Helicobacter Pylori mengubah Epigenetik Keganasan Lambung, suatu tantangan ke depan
Helicobacter pylori Sejak pertama kali ditemukan Helicobacter pylori (H.pylori) pada tahun 1982 oleh Marshall dan Warren, perkembangan patogenesis kuman yang hidup di gaster ini menjadi lebih jelas (Marshall and Warren, 1984). Sebetulnya organisme yang berbentuk spiral ini sejak lama telah diteliti tepatnya sejak 1888. Pada saat itu para peneliti berpendapat bahwa bakteri banyak menimbulkan penyakit pada manusia. Dengan semakin bisa dijelaskan patogenesis dan ditemukan isolasi H. pylori maka hal ini menjadi terobosan dalam dunia kedokteran. Konsensus bahwa H. pylori merupakan bakteri yang mempunyai peranan penting yang menyebabkan ulkus gastroduodenal tercapai pada tahun 1994 (International Agency for Research on Cancer Working Group on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, 1994). Sekarang telah diakui bahwa H. pylori merupakan penyebab gastritis kronis atropi tipe B yang berhubungan dengan ulkus duodenum hampir pada 90% pasien. Prevalensi H.pylori di setiap daerah sangat bervariasi. Pada negara maju, prevalensi H.pylori tidak lebih dari 40% dengan usia muda dan remaja mempunyai kejadian infeksi lebih rendah daripada usia dewasa dan tua (Kusters et al., 2006). Tetapi hal ini berbeda pada negara berkembang dimana prevalensinya lebih tinggi. Pada anak berumur di bawah lima tahun, di negara-negara berkembang tersebut, angka kejadian infeksi H.pylori meningkat secara cepat dan menetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi H.pylori terjadi pada saat usia dini (Kusters et al., 2006). Di Indonesia prevalensi infeksi H.pylori pada anak bervariasi di beberapa tempat, penelitian di J akarta menemukan 20%, di Mataram menemukan 40%, di Yogyakarta menemukan 25% dari pasien yang datang ke RS. Sardjito dengan keluhan sakit perut berulang (J uffrie.,2003). Infeksi bakteri H. pylori ini semakin mendapat perhatian besar karena terbukti berhubungan dengan kejadian adenocarsinoma gaster. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa penderita dengan riwayat 4 atau infeksi H. pylori sekarang mengalami risiko kejadian kanker gaster sebanyak 2,7 12 kali. Risiko ini meningkat terutama ketika infeksi H. pylori terjadi pada usia muda. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang melihat perpindahan penduduk dari negara dengan kejadian kanker gaster yang tinggi ke negara dengan kejadian kanker gaster yang rendah. Penduduk J epang, negara dengan kejadian kanker gaster yang tinggi, yang berimigrasi ke Amerika Serikat, negara dengan kejadian kanker gaster yang rendah, hanya mengalami sedikit penurunan risiko kanker gaster walaupun penduduk tersebut pindah pada saat umur mereka masih sangat muda. Sedangkan, imigran generasi kedua mengalami risiko kanker gaster hampir sama dengan negara yang mereka tempati (Kusters et al., 2006). Diagnosis H. pylori ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ada yaitu adanya dispepsia. Diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan adanya infeksi H. pylori yaitu dengan pemeriksaan serologi, phenotyping, urea breath test dan pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan serologi dilakukan dengan mengukur kadar antibodi yang beredar didalam darah. Beberapa metode yang telah dipasarkan adalah latex agglutination atau chromatography strips. Enzyme-linked immunosorbent assay atau ELISA merupakan metode yang sering digunakan untuk mengukur adanya antibodi dalam darah. Dengan memakai cara ini dapat ditentukan adanya antibodi secara kwalitatif ataupun kwantitatif. IgG mempunyai sensitivitas dan spesifitas > 90%. Dengan mengetahui kadar IgG dan IgA hampir semua pasien yang terinfeksi bisa terdeteksi (J uffrie, 2004). Pemeriksaan phenotyping H. pylori terdiri dari berbagai macam cara yaitu biotyping, serotyping, haemagglutination, lectin typing, profil protein membran luar seperti PCR (Protein Chain Reaction), Immunoblotting. Terdapat beberapa pemeriksaan nonserologi, salah satunya adalah test urease dimana test ini berdasarkan adanya konsentrasi tinggi dari urease yang diproduksi oleh H. pylori. Pemeriksaan urea breath test mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang cukup tinggi. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan untuk mengetahui adanya H. pylori pada mukosa gaster. Pemeriksaan dari jaringan biopsi bisa dilakukan dengan langsung pada sediaan basah dengan memakai lapangan pandang gelap atau fase kontras 5 mikroskop, atau setelah di fiksasi untuk pengecatan kimia dan immunosito kimia. Kultur H. pylori membutuhkan waktu dan hanya dipakai kalau membutuhkan tes sensitifitas antibiotik (J uffrie, 2004). Pada umumnya penderita yang mempunyai gejala dan tanda penyakit ini diberikan terapi jangka panjang Proton Pump Inhibitor (PPI). Eradikasi penyakit ini dengan antibiotika yang tepat akan mengurangi angka kekambuhan ulkus kurang dari 10%. Untuk mencegah komplikasi yang lebih serius maka diperlukan diagnosis yang tepat dan akurat dilanjutkan dengan terapi eradikasi (J uffrie, 2004).
Epigenetik Epigenetik merupakan proses ekspresi genetik yang tidak melibatkan urutan DNA dan disimpan di dalam sel, kemudian dilanjutkan dengan berbagai perubahan yang terjadi pada DNA dan kromatin. Informasi genetik tidak hanya dikode melalui urutan DNA tetapi juga melalui modifikasi epigenetik dari struktur kromatin yang meliputi metilasi DNA dan modifikasi kovalen protein yang mengikat DNA (Barros and Offenbacher, 2009). Tanda epigenetik ini merubah susunan kromatin untuk dapat mempengaruhi ekspresi gen (Barros and Offenbacher, 2009). Metilasi terjadi secara alamiah di basa sitosin pada sekuense CpG dan berperan dalam mengontrol ekspresi genetik yang benar (Barros and Offenbacher, 2009). Sitosin yang bermetilasi secara diferensial dapat membuat suatu pola spesifik untuk setiap tipe jaringan dan status penyakit (Barros). Metilasi tersebut, Methylation- variable position (MVPs), tidak terdistribusi secara merata di genom namun hanya terkonsentrasi pada gen yang mengatur transkripsi, metabolisme, diferensiasi dan onkogenesis. Perubahan di metilasi MVP menciptakan pola epigenetik yang dapat meregulasi profil ekspresi gen pada saat diferensiasi sel, pertumbuhan dan perkem- bangan, juga kanker (Barros and Offenbacher, 2009). Epigenetik dapat diubah polanya oleh faktor lingkungan seperti toksin dan eksposur mikroba dan virus, sehingga terjadi perubahan efek pada aktivasi gen dan fenotip sel. Karena metilasi DNA sering tersimpan setelah pembagian sel, perubahan pola MVP di jaringan 6 menjadi terakumulasi dan dapat menyebabkan perubahan persisten di metabolisme seluler yang stabil, respon terhadap stimulus atau retensi fenotipe yang abnormal. Hal ini merefleksikan suatu konsekuensi molekuler dari interaksi gen lingkungan. Oleh karena itu, epigenetik DNA merupakan suatu link utama dalam genetik, penyakit dan lingkungan (Barros and Offenbacher, 2009). Epigenetik memberi suatu pemahaman yang baru bahwa proses ekspresi genetik tidak hanya melibatkan urutan DNA. Oleh karena itu, epigenetik menantang pemikiran kita mengenai evolusi, genetik dan perkembangan. Terutama memberikan suatu pengertian bahwa faktor- faktor lingkungan, seperti stress dan infeksi, dapat mempengaruhi proses ekpresi genetik (Barros and Offenbacher, 2009).
Mekanisme epigenetik pada keganasan lambung akibat infeksi H. pylori Keganasan lambung merupakan hasil dari serangkaian proses yang dipicu oleh infeksi H.pylori yang ditandai dengan akumulasi gangguan molekuler. Awalnya, hubungan antara kejadian keganasan lambung dengan infeksi H.pylori dipostulasikan berdasar penelitian epidemiologis dan penelitian pada binatang. Berdasar meta analisis dari Helicobacter and Cancer Collaborative Group (2001), infeksi H. pylori, baik infeksi akut maupun riwayat infeksi sebelumnya, berkaitan dengan meningkatnya risiko keganasan lambung (OR 3,0 (95% CI 2,3-3,8). Risiko ini makin meningkat pada subyek yang hasil uji serologi untuk H. pylori positif 10 tahun sebelum diagnosis keganasan lambung (OR 5.9; 95% CI 3.410.3). Dua mekanisme perubahan molekuler yang berkaitan dengan terjadinya keganasan adalah genetik dan epigenetik. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perubahan molekuler melalui mekanisme epigenetik terjadi tanpa diikuti perubahan urutan DNA, sehingga perubahan molekuler yang terjadi melalui mekanisme ini bersifat reversible bila agen pemicunya dieradikasi dengan intervensi terapi dan agen kimiawi, dengan demikian mekanisme epigentik ini merupakan target potensial dalam pencegahan keganasan lambung (Zardo, 2005).
7 Epigenetik dapat mengalami perubahan melalui dua mekanisme yaitu asetilasi histon dan metilasi DNA yang menyebabkan perubahan struktur kromatin. Bagian kromatin aktif ditranskripsi bila terasetilasi dan mengalami hipometilasi, sebaliknya bagian tersebut inaktif bila terjadi deasetilasi dan hipermetilasi (Nardone et.al., 2007). Metilasi DNA diperlukan dalam perkembangan fisiologis sel seperti emberio- genesis dan diferensiasi sel yaitu dalam menjaga keseimbangan antara sel pluripoten dan sel yang mengalami diferensiasi. Penyimpangan metilasi pada gugus CpG menyebabkan pertumbuhan selektif yang berlebihan sehingga terjadi pertumbuhan sel kanker, disamping itu hipermetilasi gugus ini juga menginduksi inaktifasi tumor supressor gene. Umumnya, pada sel tumor terjadi hipometilasi DNA global dengan hipermetilasi regional (Suzuki, 2006). Sel epithel lambung merupakan sel yang paling sering mengalami metilasi DNA pada gugus CpG. Penjelasan terjadinya proses ini pada sel lambung masih belum ditemukan, namun diduga akibat paparan agen eksogen yang relatif mudah pada jaringan tersebut. Selain itu, mukosa lambung juga secara endogen memproduksi reactive oxygen species (ROS) dan nitric oxide (NO) yang dapat memetilasi gugus CpG (Kim et.al., 2004). Infeksi H. pylori pada mukosa lambung akan menyebabkan serangkaian proses imunologis dan proses radang dengan dihasilkannya sejumlah sitokin, ROS dan NO. Agen ini diduga mengaktifkan DNA methyltransferase sehingga terjadi hipermetilasi gugus CpG dan menginduksi inaktivasi tumor supressor gene. Metilasi DNA merupakan fenomena epigenetik tersering pada genom organisme eukariotik, proses ini terjadi karena adanya penam- bahan gugus metil pada posisi karbon ke 5 dari cincin sitosin dalam dinukleotida CpG. Genome eukariot memiliki dinukleotida CpG yang melimpah, namun dinokleotida ini berkurang dalam proses perkem- bangan sel karena deaminasi spontan, dinukelotida yang tersisa sering kali ditemukan pada regio promoter 5 dan disebut sebagai gugus CpG (CpG island), gugus ini biasanya tidak termetilasi (Bird, 2002). Aspek penting dari metilasi DNA adalah peranannya dalam pengaturan ekspresi gen terutama represi transkripsi akibat terbentuknya trancrip- tionally silent chromatin (J aenisch and Bird, 2003).
8 Keganasan lambung merupakan salah satu tumor dengan frekuensi metilasi gugus CpG yang tinggi. Oue et.al. (2003) menunjukkan adanya CpG island methylator phenotype (CIMP) yang melibatkan target sejumlah gene yang dipromotori hipermetilasi. Sato dan Meltzer (2006) mem- buktikan bahwa indeks metilasi dari beberapa gen meningkat secara signifikan sejalan dengan makin beratnya gejala, mulai dari gastritis kronis hingga keganasan lambung. Dengan demikian terbukti bahwa penyimpangan metilasi gugus CpG yang terjadi pada tahap awal keganasan lambung akan cenderung meningkat sejalan dengan tahapan penyakit. Penelitian yang dilakukan oleh Chan et.al. (2006) membuktikan bahwa metilasi Ecadherin secara signifikan lebih sering dijumpai pada subyek dengan infeksi H. pylori dibanding kontrol yaitu 53% dibanding 6%, setelah terapi eradikasi H. pylori prosentase ini menurun secara signifikan menjadi 19% berbanding 4%. Evaluasi hingga 3 tahun pasca terapi, pada 10 subyek dengan infeksi H. pylori yang masih persisten menunjukkan E-cadherin yang termetilasi, sebaliknya pada 25 pasien yang pemeriksaan H. pylori negatif , perubahan E-chaderin termetilasi menjadi bentuk tak termetilasi terjadi pada 10 pasien, namun bentuk termetilasi ini menetap pada 2 pasien dengan metaplasi intestinal dan terjadi perubahan dari bentuk tak termetilasi menjadi termetilasi pada 4 pasien. Bukti ini menunjukkan bahwa infeksi H. pylori dapat menginduksi perubahan epigenetik yang dapat diperbaiki bila terapi diberikan secara memadai dan tepat waktu. Sebaliknya pada infeksi persisten, perubahan epigenetik dapat bersifat irreversible atau bahkan menginduksi perubahan genetik meskipun terapi eradikasi telah diberikan (Chan et al., 2006).
Hubungan eradikasi H. pylori dengan epigenetik kanker lambung Mekanisme terbentuknya Ca gaster yang diinduksi oleh adanya infeksi H. pylori merupakan proses yang panjang dan kompleks. Salah satu gen yang diketahui berperan dalam pembentukan sel-sel kanker pada gaster adalah gen E-cadherin. Gen E cadherin (CDH1) berlokasi 9 di kromosom 16q22.1 yang mengandung 16 exon. Hasil protein akhir dari gen ini berupa molekul adhesi yang berperan penting dalam perlekatan sel dan diferensiasi sel yang dibutuhkan dalam lingkungan epitel gaster yang normal. Gangguan pada gen E-cadherin menyebab- kan lepasnya ikatan antar sel, lepasnya sel-sel epitel serta mengganggu sinyal proliferasi sel. Pada sel Ca gaster ditemukan gen E-cadherin yang tidak berfungsi dan ini berhubungan dengan Ca gaster tipe difus. Mutasi dan inaktivasi gen E-cadherin menyebabkan sindroma Ca gaster. Secara epigenetik terjadinya inaktivasi E-cadherin oleh adanya hipermetilasi promoter juga ditemukan pada sel Ca gaster dan infeksi H. pylori. Menurut penelitian epidemiologis didapatkan bahwa sekitar 52% pasien yang positif terinfeksi H pylori memiliki hipermetilasi E cadherin pada sel gaster (Leung et al., 2006). Leung et al. (2006) mendapatkan bahwa eradikasi H. pylori menyebabkan penurunan densitas metilasi pada gen E-cadherin baik pada regio promoter dan exon (p<0,0001). Pada sel mukosa gaster yang normal, ekspresi gen E-cadherin masih intak, walaupun telah ditemukan adanya E-cadherin termetilasi. Sedangkan pada sel mukosa gaster yang telah mengalami perubahan metaplasia, persentase ekspresi E-cadherin yang hilang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan sel mukosa tanpa metaplasia. (P=0,034). Eradikasi H. pylori menyebabkan penurunan densitas metilasi pada regio promoter dan exon 1 gen E-cadherin, menekan pemicu terhadap metilasi gen, dan mengembalikan ekspresi aberan dari siklin D2 dan p27 pada metaplasia usus. Kabir (2009) menjelaskan bahwa selain penurunan promoter hipermetilasi yang terjadi pada promoter gen E-cadherin, eradikasi H. pylori juga menurunkan promoter hipermetilasi untuk beberapa gen lain seperti p16, APC, dan DAPK. Bahkan untuk gen COX-2, eradikasi H. pylori mengeliminasi secara sempurna promoter hipermetilasi. Perubahan epigenetik yang terjadi bersifat tersebar dan melibatkan sel mukosa normal maupun sel yang telah mengalami metaplasia. 10
Keuntungan eradikasi H. pylori terhadap pencegahan kanker lambung Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa terjadinya Ca gaster yang dipicu oleh infeksi H. pylori merupakan proses yang panjang dan bertahap. Hal ini merupakan kendala dalam melakukan penelitian uji acak terkendali untuk menentukan keuntungan eradikasi H. pylori. Follow up yang panjang dan jumlah subyek yang banyak menjadi kendala utama apalagi memerlukan tindakan yang bersifat invansif. Satu penelitian di Cina menunjukkan bahwa pada follow up 5 tahun, eradikasi H. pylori menurunkan tingkat keparahan gastritis kronik. Penelitian di Colombia yang melakukan kemoprevensi pada populasi dengan risiko tinggi terhadap Ca gaster menunjukkan bahwa eradikasi H. pylori dengan menggunakan triple drug therapy dapat mening- katkan laju regresi terjadinya atrofi lambung dan metaplasia intestinal. Regresi lesi prekanker terjadi pada 66% subyek yang tidak lagi terinfeksi H. pylori dibandingkan hanya 14% dari kelompok yang masih positif terinfeksi H. pylori. Efek dari eradikasi minimal pada tahun-tahun pertama, namun meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui keuntungan dari eradikasi H. pylori dibutuhkan waktu follow up yang panjang. Untuk mengetahui apakah eradikasi H. pylori berhubungan dengan penurunan risiko Ca gaster dilakukan uji acak terkendali pada 1630 individu di China yang terinfeksi H. pylori. Ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna dalam kejadian Ca gaster antara kelompok yang diberi terapi eradikasi dan yang tidak. Namun setelah dilakukan analisis subgroup di mana hanya kelompok individu yang tidak menunjukkan lesi prekanker saat penelitian dimulai yang dianalisis, didapat bahwa dari subyek tidak satupun subyek dari kelompok intervensi berkembang menjadi Ca gaster, sedangkan enam dari kelompok plasebo berkembang menjadi Ca gaster. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat "point of no return", di mana pada individu dengan lesi prekanker, eradikasi H. pylori tidak berguna dalam pencegahan Ca gaster. Temuan serupa juga didapat pada penelitian lain yang dilakukan di China (dengan 453 subyek) dan di 11 Colombia (dengan 795 subyek). Lee et al. (2008) menuliskan dari sudut pandang cost benefit sehubungan dilakukannya eradikasi H. pylori. Secara cost effective, eradikasi H. pylori pada tahap awal dengan melakukan uji tapis melalui pengujian dan pengobatan sangat menguntungkan dengan cost benefit yang tinggi, bahkan ketika hanya menurunkan angka kematian sebesar 10%. Suatu penelitian uji acak terkendali yang dilakukan di Cina menunjukkan terjadinya risk penurunan risiko terjadinya Ca dengan melakukan pengobatan pencegahan (kemoprevensi) sebesar 37% setelah 7,5 tahun. Di negara maju di mana insidensi Ca gaster masih rendah, eradikasi H. pylori ditujukan untuk mengurangi biaya pengobatan dispepsia. Hal ini sangat berarti, oleh karena mening- katkan quality of life penderita infeksi H.pylorus. Suatu penelitian yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa eradikasi H. pylori menurunkan biaya pengobatan yang berhubungan dengan dispesia sampai dengan 30%. Pendekatan test and treat belum bermanfaat bila dilakukan pada populasi secara umum namun terbukti bermanfaat untuk menurunkan insidensi Ca gaster bila dilakukan pada populasi dengan risiko tinggi infeksi H. pylori.
Penerapan di bidang Kesehatan Anak Dengan hasil-hasil keuntungan eradikasi H. pylori untuk mencegah terjadinya Ca gaster pada saat sebelum terjadinya lesi prekanker maka merupakan hal yang masuk akal dan sangat penting bila infeksi H. pylori diobati sejak anak-anak. Seperti yang telah disebutkan pada sub bab pertama bahwa risiko utama terjadinya Ca gaster adalah infeksi H.pylori pada usia dini. Lalu bagaimana caranya menentukan siapa yang perlu obati dan bagaimana melakukan manajemen yang tepat untuk mencapai eradikasi H. pylori? Sebelum ditentukan terapi yang tepat, seorang dokter harus menentukan populasi pasien yang berisiko tinggi terjadinya infeksi H. pylori. Hal ini sesuai dengan temuan Lee et al., (2008) yang menyatakan bahwa pendekatan test and treat hanya bermanfaat bila dilakukan pada populasi dengan pasien berisiko tinggi. Menurut Malfertheiner dan Megraud et al. (2002) pengujian untuk mengetahui 12 adanya infeksi H. pylori diperlukan pada anak dengan keluhan saluran cerna seperti muntah, mual, diare, perdarahan saluran cerna, dan sakit perut berulang di daerah epigastrium. Keluhan ekstra intestinal seperti anemia yang tidak jelas penyebabnya juga merupakan gejala yang perlu diinvestigasi lebih lanjut. Pemeriksaan deteksi infeksi H.pylori juga diperlukan untuk kasus anemia defisiensi besi yang tidak dike- tahui sebabnya dan pada pasien dengan Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) (Barabino 2002; Malfertheiner, Megraud et al. 2002). Metode penegakan diagnosis infeksi H. pylori meliputi dua metode utama yaitu metode invasif dan non invasif. Metode invasif didapatkan melalui biopsi endoskopi yang diperiksa dengan cara histologi, uji urease, kultur, dan polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan non invasive meliputi uji serologis (IgG dan IgM H. pylori), uji napas dengan urea yang telah dilabel (Urea Breath Test), pemeriksaan DNA H. pylori (dari feses, saliva atau gigi), antigastric antibodies (AGA), dan pemeriksaan antigen H. pylori dalam feses (HPSA). Menurut ketentuan Maastricht dan rekomendasi Unit Kelompok Kerja Gasrtohepatologi IDAI tahun 2010, terapi eradikasi H. pylori dilakukan bila terpenuhi salah satu keriteria diagnosis seperti berikut: 1) ditemukannya H. pylori dalam hasil biopsi lambung, 2) hasil IgM H. pylori yang positif, 3) urea breath test yang positif, 4) HPSA positif, dan 5) rapid urea test positif. Setelah menentukan pasien yang positif menderita H. pylori, dimulai pemberian terapi eradikasi dengan pemberian lini pertama dengan pilihan triple drugs sebagai berikut: 1) Proton pump inhibitor (1-2 mg/kg/hari) ditambah Amoxicillin (50 mg/kg/hari) ditambah Clarithromycin (15 mg/kg/ hari), 2) Proton pump inhibitor (1-2 mg/kg/hari) ditambah Amoxicillin (50 mg/kg/hari) ditambah Metronidazole (20 mg/kg/hari) 3) Proton pump inhibitor (1- 2 mg/kg/hari) ditambah Metronidazole (20 mg/kg/hari) ditambah Clarithromycin (15 mg/kg/hari). Masing-masing regimen triple drugs diberikan 2 kali sehari selama 10 sampai 14 hari. Bila dengan pemberian triple drugs tidak membaik dapat diberikan regimen lini kedua dengan quadriple drugs yaitu Proton pump inhibitor dan Bismuth (Koloidal bismuth subsitrat) dengan amoksisilin atau tetrasiklin ditambah dengan metronidazole. 13
Dengan memperhatikan pada data prevalensi dari beberapa daerah di Indonesia maka, apabila dilakukan eradikasi terhadap semua penderita yang positif infeksi H. pylori pada anak akan bisa mencegah proses epigenetik keganasan (kanker) gaster (lambung) sehingga kejadian kanker lambung pada saat dewasa bisa dihindari. Penentuan eradikasi infeksi H. pylori pada masa anak-anak merupakan golden period karena pada masa ini epithel gaster belum mencapai fase pre kanker akibat proses epigenetik dari infeksi H. pylori, apabila eradikasi dilakukan pada masa sesudah anak-anak dimana epithel gaster sudah berada pada stadium pre kanker maka eradikasi ini tidak bermanfaat untuk mengubah epigenetik kanker lambung. Ini merupa- kan tantangan ke depan bagi para dokter spesialis anak untuk lebih mencermati gejala tanda maupun pemeriksaan penunjang diagnosis infeksi H.pylori sehingga diagnosis bisa ditegakkan sedini mungkin kemudian eradikasi bisa dilakukan seawal mungkin sebelum ter- lambat, dengan demikian kejadian kanker lambung bisa dicegah. Hadirin yang saya hormati, sebagai kesimpulan dari pidato pengukuhan ini adalah bahwa eradikasi infeksi H. pylori merupakan upaya untuk mengubah mekanisme epigenetik kanker lambung, terutama bila dilakukan diagnosis dini, yaitu pada masa anak-anak. Pada akhir pidato pengukuhan guru besar saya ini perkenankan saya menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, mendukung dan membimbing saya sehingga saya menjadi guru besar.
14 Daftar Pustaka
Barros, S. P,. and Offenbacher, S., (2009) Epigenetics: Connecting Environment And Genotype To Phenotype And Disease. J Dent Re; 88: 400-8. Bird, A,. (2002) DNA methylation patterns and epigenetic memory. Genes Dev; 16: 621. Chan, A.O,. Peng, J .Z,. Lam, S.K,. Lai, K.C,. Yuen, M.F,. Cheung, H.K,. Kwong, Y.L,. Rashid, A,. Chan,C.K,. Wong, B.C,. (2006) Eradication of Helicobacter pylori infection reverses E-cadherin promoter hypermethylation Gut; 55: 46368. Helicobacter and Cancer Collaborative Group,. (2001) Gastric cancer and Helicobacter pylori: a combined analysis of 12 case control studies nested within prospective cohorts. Gut; 49: 34753. International Agency For Research On Cancer Working Group On The Evaluation Of Carcinogenic Risks To Humans,. (1994) Helicobacter Pylori. Schistosomes, Liver Flukes, And Helicobacter Pylori. Lyon: International Agency For Research On Cancer. J aenisch, R,. and Bird, A,. (2003): Epigenetic regulation of gene expression: how the genome integrates intrinsic and environmental signals. Nat Genet; 33 (supp l):245254. J uffrie, M,. (2004). Helicobacter pylori. Presentasi pada Konas BKGAI, Bandung Kabir, S,. (2009): Effect of Helicobacter pylori eradication on incidence of gastric cancer in human and animal models: underlying biochemical and molecular events. Helicobacter; 14:159-71 Kim, T.Y,. J ong, H.S,. J ung, Y,. Kim, T.Y,. Kang, J .H,. and Bang, Y.J ,. (2004) DNA hypermethylation in gastric cancer. Aliment Pharmacol Ther; 20 (suppl 1):13142. Kusters, J . G., Van Vliet, A. H,. and Kuipers, E. J ., (2006) Pathogenesis Of Helicobacter Pylori Infection. Clin Microbiol Rev: 19: 449-90. Lee, Y., Lin, J ., Chen, T.H., and Wu, M., (2008) Is eradication of Helicobacter pylori the feasible way to prevent gastric cancer? 15 New evidence and progress, but still a long way to go. J Formos Med Assoc; (8): 107 Leung, W.K., Man, E.P.S., Yu, J ., Go, M.Y.Y., To, K., and Yamaoka, Y., (2006) Effect of Helicobacter pylori eradication on mehtylation status of E-cadherin Gene in noncancerous stomach. Clin Cancer Res; (10): 12 Marshall, B. J ., and Warren, J . R., (1984) Unidentified Curved Bacilli In The Stomach Of Patients With Gastritis And Peptic Ulceration. Lancet ;1: 1311-5. Nardone, G., Compare, D., de Colibus, P., de Nucci, G., and Rocco, A., (2007) Helicobacter pylori and Epigenetic Mechanisms Underlying Gastric Carcinogenesis. Dig Dis;25:2259 Oue, N., Oshimo, Y., Nakayama, H., Ito, R., Yoshida, K., Matsusaki, K., and Yasui, W., (2003) DNA methylation of multiple genes in gastric carcinoma: association with histological type and CpG island methylator phenotype. Cancer Sci; 94: 901905. Suzuki, K., Suzuki, I., Leodolter, A., Alonso, S., Horiuchi, S., Yamashita, K., and Perucho, M., (2006) Global DNA demethylation in gastrointestinal cancer is age dependent and precedes genomic damage. Cancer Cell; 9: 199207. Zardo, G., Fazi, F., Travaglini, L., and Nervi, C., (2005) Dynamic and reversibility of heterochromatic gene silencing in human disease. Cell Res; 15: 67990.