Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MAKALAH KELOMPOK 5

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU KESEHATAN (SVB 1502)

“PEREKAYASAAN VIRUS SEBAGAI PRODUK BIOMEDIS"


(KONTRA)

Disusun Oleh :

Esdinawan Carakantara Satrija B3501231022


Fajar Kawitan B3501231023
Tri Ilmanisa B3501231024
Widyastuti P S B3501231026
Urfa Amira B3501231027

Di Bawah Bimbingan :

Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D, PAVet(K)


Prof. drh. Bambang Purwantara, M.Sc, Ph.D
Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIS HEWAN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2023
PENDAHULUAN

Perekayasaan virus merupakan upaya modifikasi gen dan/atau struktur virus untuk tujuan
tertentu. Tujuan akhir modifikasi virus umumnya adalah untuk memanfaatkan sifat infektif virus
untuk membawa “muatan” tertentu ke sel/jaringan target. Selain itu, sifat-sifat tertentu baik yang
berasal dari virus lain ataupun genom organisme lain dapat juga ditambahkan untuk membantu
virus rekayasa untuk mencapai targetnya. Perekayasaan virus memiliki potensi pemanfaatan
yang luas dan beberapa di antaranya telah mulai diaplikasikan antara lain:
1) studi struktur-fungsi dasar virus,
2) teknik tampilan fag untuk pemilihan peptida dan protein,
3) vaksin baru, termasuk vaksin heterolog yang berbahan dasar partikel virus yang
membawa epitop asing (virus chimera),
4) pengiriman gen terapeutik ke dalam sel tertentu (terapi gen),
5) pemberian obat yang ditargetkan menggunakan partikel virus sebagai pembawa nano atau
wadah nano, sehingga memungkinkan dilakukannya pengobatan kemoterapi tertentu,
6) agen kontras spesifik target untuk pencitraan molekuler,
7) bahan penyusun untuk konstruksi bahan nano dan struktur nano, dan
8) peningkatan stabilitas fisik partikel virus (Schaffer et al. 2008, Mateu 2011).

ARGUMENTASI
POTENSI PERMASALAHAN

1. Potensi timbulnya virus baru yang dapat menyebabkan pandemi


Optimalisasi vektor virus dan propertinya penting untuk meningkatkan efektivitas dan
keamanan terapi gen klinis. Namun, penelitian tersebut dapat menghasilkan potensi penggunaan
ganda yang relevan dengan peningkatan patogen pandemi. Secara khusus, metode penghindaran
terhadap sistem imun yang dapat diandalkan dan dapat digeneralisasikan dapat meningkatkan
kebugaran virus sehingga dapat menyebabkan pandemi baru. Hal ini khususnya terkait virus
yang dimodifikasi sehingga memiliki kemampuan menyebar secara mandiri (unassisted
transmission) dan pengayaan yang dapat diturunkan (heritable enhancement) seperti
Capsid-engineered Adenovirus dan virus Influenza A Chimera (Sandbrink et al. 2023).
Proses rekayasa virus memungkinkan terjadinya perubahan sifat-sifat virus yang dapat
menghambat upaya pengendalian infeksi apabila terjadi kecelakaan atau serangan menggunakan
sediaan virus rekayasa. Perubahan yang dapat terjadi antara lain adalah ketahanan terhadap
sediaan antimikroba, peningkatan patogenitas, perubahan gejala klinis, dan/atau perubahan sifat
antigen. Di antara jenis-jenis perubahan di atas, perubahan sifat atau struktur antigen memiliki
dampak yang paling jauh. Hal ini dikarenakan dengan berubahnya antigen, maka virus rekayasa
tidak akan dapat langsung dikenali oleh sistem kekebalan tubuh inang. Hal ini menjadikan
kekebalan yang sudah ada terhadap varian alam virus ini, baik yang ditimbulkan secara alami
maupun melalui vaksinasi, tidak efektif untuk menghambat infeksi virus rekayasa. Ketiadaan
kekebalan efektif menjadikan inang sebagai inang yang naif yang akan sangat rentan terhadap
dampak infeksi virus. Semua vaksin yang tersedia saat ini, termasuk vaksin yang dapat melawan
potensi agen bioterorisme seperti cacar, anthrax, pes, Q fever, Venezuelan equine encephalitis,
dan botulisme, bergantung pada respons imun adaptif yang memadai untuk melindungi dari
infeksi atau entoksifikasi yang dapat dicegah oleh vaksin. Namun, bakteri atau virus dapat
dimanipulasi untuk menghindari perlindungan imun jika gen-gen yang mengkode atau mengatur
ekspresi target imun diubah secara genetik atau jika immune modulating genes diekspresikan
oleh mikroba rekombinan. Beberapa contoh organisme rekombinan yang diketahui dapat
menghindari respons imun yang diinduksi oleh vaksin telah dilaporkan. Dilaporkan tikus yang
diimunisasi dengan vaksin strain B. anthracis STI-1 tidak melindungi terhadap strain B.
anthracis rekombinan yang membawa gen cereolysin dari Bacillus cereus, tetapi berhasil
melindungi dari strain B. anthracis liar. Selain itu, kegagalan vaksin protein kapsul F1 spesifik Y.
pestis dalam melindungi pes pneumonik (tetapi melindungi pes bubonik) menunjukkan bahwa
varian-genetik alami dari Y. pestis kemungkinan dapat menghindari immune recognition. Dengan
demikian, munculnya infeksi yang dapat dicegah dengan vaksin pada pasien atau populasi yang
sebelumnya diimunisasi menunjukkan kemungkinan modifikasi genetik dari mikroba penyebab
(Gilsdorf dan Zilinskas 2005).
Perubahan antigen juga membuat kit uji molekuler berbasis ikatan antigen-antibodi yang
tersedia saat ini terbatas manfaatnya atau bahkan tidak berfungsi sama sekali dalam
mengidentifikasi virus rekayasa baru. Demikian pula uji berbasis asam nukleat yang terhambat
sementara waktu sebelum dipetakannya primer deteksi yang cocok untuk mengidentifikasi virus
rekayasa secara akurat. Di sisi lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan bioteknologi saat ini,
misalnya sequencing DNA yang lebih murah dan mudah diakses, sintesis DNA yang lebih cepat,
alat penyuntingan gen yang efisien dan akurat seperti CRISPR/Cas9, serta pengembangan
biologi sintetik, memungkinkan akses lebih banyak orang untuk melakukan modifikasi virus
(Sharma dan Langer 2020).

2. Gain of function (GoF) research


Berbicara mengenai risiko rekayasa virus akan sangat berkaitan dengan Gain of Function
(GoF) research. Gain of Function merupakan terminologi yang menggambarkan peningkatan
fungsi baru oleh organisme melalui perubahan genetik, yang dapat terjadi secara alami atau
melalui eksperimen modifikasi genetik. Gain of Function (GoF) research pada virus merupakan
usaha untuk meningkatkan transmisi, replikasi, virulensi, jangkauan inang, respon imun atau
obat, dan resistensi virus terhadap vaksin agar peneliti mendapatkan perspektif mengenai
mekanisme infeksi virus, untuk membuat dan menganalisa hewan model, untuk mempercepat
pengembangan obat dan vaksin, dan mempersiapkan pandemi (Saalbach 2022). Kata kunci dari
GoF research adalah penelitian terhadap perubahan organisme baik secara alami maupun di
induksi secara eksperimental untuk memberikan pemahaman yang lebih baik pada transmisi,
infeksi, dan patogenesis virus.
Penelitian jenis ini berkontribusi untuk kemajuan berbagai aspek dalam bidang medis
seperti dalam penemuan ilmu mikrob dasar dan pengobatan klinik seperti terapi baru untuk
kanker dan sistik fibrosis. Selain itu penelitian ini juga digunakan untuk mengembangkan vaksin
terhadap penyakit infeksi seperti vaksin Johnson & Johnson's COVID-19 dan produksi insulin
untuk diabetes.
Peneliti dan publik sudah memperdebatkan mengenai risiko dan benefit dari GoF
research. Satu pihak, penelitian ini dibutuhkan untuk memahami dengan lebih baik bagaimana
virus berevolusi sehingga peneliti dapat mempersiapkan lebih cara surveilan dan tindakan yang
dapat diambil saat terjadi outbreak patogen tersebut. Di pihak lain, terdapat pendapat bahwa
risiko dari penelitian tersebut lebih besar dibanding potensi benefit yang didapatkan.
Salah satu penelitian menggunakan prinsip GoF research yaitu Menachery et al (2015)
yang menciptakan virus chimera dengan nama SHC014, yang ditemukan pada kelelawar Tapal
Kuda di Cina. Peneliti menciptakan virus chimera dari protein permukaan SHC014 dan tulang
belakang (backbone) virus SARS yang beradaptasi untuk tumbuh pada sel mencit dan human
airway epithelial (HAE) secara in vitro. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa virus chimera
tersebut dapat menginfeksi keduanya dan mempunyai potensi agen transmisi cross species.
Walaupun hampir seluruh virus corona diisolasi dari kelelawar tidak dapat berikatan dengan
reseptor di manusia, penelitian ini menciptakan versi hybrid dari virus corona kelelawar dengan
potensi untuk menginfeksi manusia secara langsung tanpa harus melewati intermediate host
terlebih dahulu.

3. Risiko infeksi tidak disengaja ataupun disengaja


Selain faktor virus itu sendiri, terdapat juga faktor lain terkait interaksi virus dengan
inang yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan rekayasa virus. Seperti halnya virus alam,
interaksi dengan virus rekayasa (termasuk pada saat riset) memiliki risiko infeksi, baik terjadi
secara tidak sengaja maupun disengaja. Namun, mengingat terdapat potensi peningkatan
patogenitas dan virulensi virus akibat proses modifikasi, dampak dari risiko ini berpotensi lebih
besar. Hal ini juga membuka peluang digunakannya virus modifikasi sebagai agen senjata
biologis dan bioterorisme (Gilsdorf dan Zilinskas 2005).
Kegiatan yang dilakukan di laboratorium penyakit infeksi berpotensi dapat menularkan
penyakit infeksi yang sedang diteliti atau dilakukan pemeriksaan. Di Indonesia, adanya 98 rumah
sakit rujukan untuk flu burung H5N1, 44 laboratorium yang dapat memeriksa sampel kasus flu
burung, serta laboratorium penelitian yang memiliki fasilitas BSL-3 untuk penyakit infeksi,
merupakan hal yang harus diwaspadai karena dapat digunakan sebagai tempat memperoleh
bahan biologi berbahaya serta merekayasa agar dapat digunakan sebagai senjata biologis.
Dengan adanya bukti-bukti menggunakan bahan biologi sebagai senjata untuk melawan musuh
atau berperang di berbagai negara dan banyaknya fasilitas kesehatan terutama
laboratorium-laboratorium yang bekerja menggunakan bahan-bahan infeksius, maka resiko
potensi lepasnya atau pengalihan bahan infeksius kepada pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab melalui pencurian, penyalahgunaan, dan sabotage semakin tinggi (Halim
2010).

4. Potensi penggunaan sebagai senjata biologis dan bioterorisme


Permasalahan terkait risiko yang ditimbulkan oleh proses rekayasa virus juga tidak
terlepas dari bagaimana masyarakat dunia memandang ilmu pengetahuan. Secara umum,
masyarakat tidak menginginkan keberadaan senjata pemusnah massal, termasuk senjata biologis.
Namun, dengan terpolarisasinya dunia dalam batas-batas negara, tiap-tiap negara berusaha
memperkuat diri termasuk dengan senjata pemusnah massal. Hal ini semakin terlihat di masa
konflik atau penuh ketegangan (seperti sekarang) sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Fritz
Haber (penerima Nobel kimia 1918) "During peacetime a scientist belongs to the world, but
during war time, he belongs to his country" (“Pada masa damai, seorang ilmuwan adalah milik
dunia, tetapi pada masa perang, ia adalah milik negaranya”).
Senjata biologis merupakan senjata pemusnah massal yang paling awal ditemukan dan
dipergunakan oleh manusia. Catatan Sejarah menunjukkan bahwa senjata biologis pertama kali
digunakan oleh pasukan Mongol dalam pengepungan Caffa (kini Feodosia, Krimea) pada tahun
1346. Senjata biologis yang digunakan dalam serangan ini adalah berupa mayat yang terinfeksi
bubonic plague (pes) yang dilontarkan ke dalam kota menggunakan catapult (Wheelis 2002).
Penggunaan senjata biologis ini memicu wabah pes di kota Caffa yang mendorong penduduknya
pergi dan mengungsi ke Eropa melalui Genoa, Italia. Wabah pes yang terbawa pengungsi
pengepungan inilah yang akhirnya menyebar ke seluruh Eropa dan memicu wabah pes 1349 –
1353 yang membunuh lebih dari 50 juta jiwa (Lawton 2022).
Berbeda dengan senjata pemusnah massal lainnya, yaitu senjata nuklir dan senjata
kimiawi yang dampak dibatasi oleh potensi daya dan waktu paruh bahan baku, senjata biologis
hanya dibatasi oleh keberadaan inang. Dengan demikian, selama inang targetnya masih ada
dalam jarak infeksi, maka dampak dari senjata biologis masih dapat terus berjalan (Greaves dan
Hunt 2010). Selain itu, senjata biologis juga lebih mudah dan ekonomis untuk dibuat
dibandingkan pembuatan senjata pemusnah massal lainnya, terlebih dengan akses terhadap
berbagai perangkat bioteknologi yang tersedia saat ini (Galamas 2008). Sebagai contoh,
pengembangan senjata nuklir pertama Amerika Serikat pada Proyek Manhattan diperkirakan
menghabiskan biaya setara US$ 27 miliar (Dollar 2017) dalam jangka waktu 2,5 tahun (Bulletin
of the Atomic Scientists 2017). Sebaliknya, pengembangan senjata biologis dapat menghasilkan
produk yang letal hanya dengan US$ 100 ribu dalam jangka waktu beberapa minggu (Lyell
1996). Kemudahan relatif proses pembuatan senjata biologis membuka peluang pengembangan
dan penyalahgunaan senjata biologis tidak hanya terbatas oleh suatu negara melainkan juga oleh
organisme-organisme teroris.
Dalam segi dampak penggunaan, senjata biologis tidak kalah mematikan dengan senjata
pemusnah massal lainnya, bahkan dengan senjata nuklir sekalipun. Dalam satu sisi, senjata
nuklir mampu menghancurkan berbagai objek fisik (bangunan, infrastruktur) dalam waktu
singkat dan radius yang cukup besar (bergantung daya ledaknya). Selain itu, senjata nuklir juga
mampu memberikan residu radiasi yang dapat bertahan selama seminggu (saat digunakan
dengan mode ledakan udara/airburst) (Xu dan Dodt 2023). Sebaliknya, senjata biologis tidak
secara langsung merusak objek fisik dan memiliki efek yang berjalan jauh lebih lambat daripada
senjata nuklir. Namun, jika upaya penahanan (containment) penyakit yang disebarkan oleh
senjata ini terlambat atau gagal dilakukan, maka penyakit tersebut dapat terus menyebar selama
terdapat inang yang rentan. Perbandingan dampak senjata nuklir dan senjata biologis dapat
diilustrasikan dalam kajian perbandingan uji senjata nuklir dengan sebaran wabah pandemi.
Senjata nuklir dengan kekuatan terbesar yang pernah diuji coba (RDS-220/”Tsar Bomba”)
memiliki daya ledak setara 50 megaton TNT. Dengan daya ledak ini, jika diledakkan di udara
(radius kerusakan paling besar), radius gelombang panas yang menyebabkan luka bakar tingkat 3
dan menimbulkan korban jiwa mencapai 60 km (Wellerstein 2012). Sebaliknya, coronavirus
yang menyebar dari Wuhan, dapat menjangkau hingga 2000 km lebih dalam jangka waktu 3
minggu dan terus menyebar ke seluruh dunia (Wu et al. 2020).
Mayoritas senjata biologis yang menggunakan patogen sebagai media senjata juga
bersifat fail-deadly, yaitu ketika terjadi kegagalan sebagian sistem senjata tersebut akan memicu
aktivasi dari senjata tersebut. Hal ini berkebalikan dengan mayoritas senjata nuklir yang bersifat
fail-safe (perkecualian beberapa sistem retalitori) yang mana akan mengalami deaktivasi ketika
terjadi kegagalan sebagian sistem senjata tersebut. Di satu sisi, sifat fail-deadly membatasi
penggunaan ofensif senjata biologis pada agen biologis non-tular, penggunaan terhadap lawan
dengan jarak yang jauh (untuk menghindari penularan langsung kepada penyerang), serta serta
pihak yang terdesak. Di sisi lain, sifat ini menjadikan senjata biologis sebagai senjata yang ideal
sebagai senjata pembalasan atau terror dikarenakan senjata golongan ini akan menyebarkan
ketakutan dan teror yang sangat besar. Hal inilah yang membuat senjata biologis dilarang oleh
PBB melalui Convention on the Prohibition of the Development, Production and Stockpiling of
Bacteriological (Biological) and Toxin Weapons and on Their Destruction tahun 1972 dan
diberlakukan tahun 1975. Meskipun demikian, kondisi geopolitik yang terjadi saat ini seharusnya
menggugah kita untuk mempertanyakan penegakan aturan tersebut saat ini.

Tabel 1. Daftar gen yang telah diteliti untuk dimasukkan ke dalam vaksin untuk menciptakan
berbagai strain rekombinan yang dikembangkan di State Research Center for Virology
and Biotechnology (Vector Institute), Rusia (Gilsdorf dan Zilinskas 2005)

Investigasi Gilsdorf dan Zilinskas (2005) pada State Research Center for Virology and
Biotechnology (Vector Institute), Rusia menunjukkan bahwa telah dilaksanakan sejumlah riset
rekombinasi/penyisipan genetik guna penciptaan vaksin atas virus patogen termodifikasi. Sisipan
gen khusus mengindikasikan dikembangkannya senjata biologis berbasis modifikasi gen
virus-virus tersebut, yang mana vaksin baru dan efektif diperlukan untuk melindungi pihak
pengguna saat serangan biologis dilakukan. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian bersama karena
meskipun telah dicapai kesepakatan internasional yang melarang penggunaan senjata biologis,
pengembangan senjata pemusnah massal ini terindikasi masih terjadi meskipun secara
sembunyi-sembunyi (clandestine).

SIMPULAN

Berdasarkan telaah pustaka yang telah dilaksanakan oleh Kelompok 5, kami


berkesimpulan untuk menyatakan kontra terhadap perekayasaan virus, khususnya terkait
pelaksanaan teknik yang berpotensi meningkatkan patogenitas dan virulensi virus. Simpulan ini
ditarik mempertimbangkan sejumlah faktor berikut:
1) Potensi peningkatan patogenitas dan virulensi virus rekayasa yang terkait erat dengan
gain of function research
2) Perubahan sifat virus rekayasa berpotensi membuatnya sulit ditangani
3) Risiko penggunaan sebagai agen senjata biologis dan bioterorisme
4) Sifat senjata biologis yang berpotensi berdampak jauh lebih luas dibandingkan senjata
pemusnah massal lainnya
Kelompok 5 tidak menafikkan banyaknya manfaat dan potensi dari rekayasa virus. Dengan
demikian, rekayasa virus dapat dilakukan jika diperlukan tetapi harus disertai dengan
pengawasan yang lebih ketat dalam tata laksana rekayasa. Namun, faktor kondisi geopolitik
dunia saat ini menuntut kita untuk berpikir kritis mengenai viabilitas langkah pengawasan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Bulletin of the Atomic Scientists. 2017. The Manhattan Project: The race to build the atomic
bomb. Bulletin of the Atomic Scientists Editorial. [diunduh 2023 Okt 27]. Tersedia
pada:
https://thebulletin.org/virtual-tour/the-manhattan-project-the-race-to-build-the-atomic
-bomb/
Galamas F. 2008. Biological weapons, nuclear weapons and deterrence: the biotechnology
revolution. Comparative Strategy. 27(4):315–323.
Gilsdorf JR, Zilinskas RA. 2005. New Considerations in Infectious Disease Outbreaks: The
Threat of Genetically Modified Microbes. Clinical Infectious Diseases.
40(8):1160–1165.doi:10.1086/428843.
Greaves I, Hunt P. 2010. CHAPTER 4 - Biological Agents. Di dalam: Greaves I, Hunt P, editor.
Responding to Terrorism. Edinburgh. Edinburgh: Churchill Livingstone. (Pergamon
Policy Studies on International Politics). hlm. 133–231.
Halim FXS. 2010. Mengapa Biosecurity Menjadi Penting Pada Laboratorium Penyakit Infeksi.
Puslitbang Biomedis dan Farmasi. Jakarta
Lawton G. 2022. Plague never went away – now it could re-emerge in drug-resistant form. New
Scientist. [diunduh 2023 Okt 27]. Tersedia pada:
https://www.newscientist.com/article/mg25433880-400-plague-never-went-away-no
w-it-could-re-emerge-in-drug-resistant-form/
Lyell, Lord. 1996. Chemical And Biological Weapons: The Poor Man’s Bomb. Committee of
North Atlantic Assembly. [diunduh 2023 Okt 27]. Tersedia pada:
https://irp.fas.org/threat/an253stc.htm
Mateu MG. 2011. Virus engineering: functionalization and stabilization. Protein Engineering,
Design and Selection. 24(1–2):53–63.doi:10.1093/protein/gzq069.
Saalbach KP. 2022. Gain-of-function research. Adv Appl Microbiol. 120:79-111. doi:
10.1016/bs.aambs.2022.06.002.
Sandbrink JB, Alley EC, Watson MC, Koblentz GD, Esvelt KM. 2023. Insidious Insights:
Implications of viral vector engineering for pathogen enhancement. Gene Therapy.
30(5):407–410.
Schaffer DV, Koerber JT, Lim K. 2008. Molecular engineering of viral gene delivery vehicles.
Annu. Rev. Biomed. Eng. 10:169–194.
Sharma S, Langer R. 2020. The Blessing and Curse of Biotechnology: A Primer on Biosafety
and Biosecurity. Carnegie Endowment for International Peace. [diunduh 2023 Okt
27]. Tersedia pada:
https://carnegieendowment.org/2020/11/20/blessing-and-curse-of-biotechnology-pri
mer-on-biosafety-and-biosecurity-pub-83252
United Nations. 1972. UNODA Treaties Database. [diunduh 2023 Okt 27]. Tersedia pada:
https://treaties.unoda.org/t/bwc
Wellerstein A. 2012. NUKEMAP by Alex Wellerstein. NUKEMAP. [diunduh 2023 Okt 27].
Tersedia pada: https://nuclearsecrecy.com/nukemap/
Wheelis M. 2002. Biological warfare at the 1346 siege of Caffa. Emerging infectious diseases.
8(9):971.
Wu J, Cai W, Watkins D, Glanz J. 2020. How the Virus Got Out. The New York Times. [diunduh
2023Okt27].Tersediapada:https://www.nytimes.com/interactive/2020/03/22/world/co
ronavirus-spread.html.
Xu S, Dodt A. 2023. Nuclear bomb and public health. Journal of public health policy.:1–12.

Anda mungkin juga menyukai