Disusun oleh :
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan kita sehari-hari, secara langsung maupun tidak langsung, sebagian
dari kita pernah berhubungan dengan hasil penerapan Bioteknologi bidang Kesehatan.
Salah satu contohnya adalah vaksin yang telah digunakan untuk mengobati penyakit
rabies .
Kemajuan dunia kedokteran saat ini tidak terlepas dari peran Bioteknologi. Sebagai
bukti dengan ditemukannya vaksin, antibiotik, interferon, antibodimonoklonal, dan
pengobatan melalui terapi gen dan lain sebagainya. Berikur merupakan beberapa
temuan- temuan bioteknologi di bidang kedokteran.
Penerapan bioteknologi pada umumnya mencakup produksi sel atau biomassa dan
perubahan atau ransformasi kimia yang diinginkan. Transformasi kimia itu lebih lanjut
dapat dibagi menjadi dua sub bagian, yakni:
3
a. Pembentukan suatu produk akhir yang siinginkan, contohnya enzim anti biotik,
asam orgainik dan steroid.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana ruang lingkup kajian bioteknologi di bidang kedokteran?
2. Apa sajakah contoh bioteknologi dalam bidang kedokteran dan mekanisme
kerja bioteknologinya?
C. TUJUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. VAKSIN
A. Sejarah vaksinasi
Orang yang pertama kali mengidap penyakit cacar mencoba mencegah dengan
inokulasi diri dan dengan jenis infeksi lain. Pada tahun 1718 Lady Mary Wortley
Montagu melaporkan bahwa Turki memiliki tradisi sengaja inokulasi diridengan cairan
yang diambil dari kasus-kasus ringan cacar, dan bahwa ia telah menginokulasi anak-
anaknya sendiri. Sebelum 1796 ketika dokter Edward Jenner dari Inggris menguji
adanya kemungkinan menggunakan vaksin cacar sapi sebagai imunisasi untuk cacar
pada manusia untuk pertama kalinya. Sedikitnya enam orang telah melakukan hal
tersebut dan beberapa tahun yang sama sebelumnya yaitu seseorang yang identitasnya
tidak diketahui dari Inggris (sekitar 1771), Ibu Sevel dari Jerman (sekitar1772), Mr
Jensen dari Jerman (sekitar 1770), Benyamin Jesty dari Inggris pada tahun 1774,
Rendall Ibu dari Inggris (sekitar 1782), dan Peter Plett dari Jerman tahun 1791.
Kata Vaksinasi pertama kali digunakan oleh Edward Jenner pada tahun 1796.Louis
Pasteur furthered dengan konsep yang melalui kepeloporannya dalam mikrobiologi.
Vaksinasi (Latin: Vacca-sapi) ini dinamakan demikian
karenavaksin pertama berasal dari virus yang mempengaruhi sapi (cacar sapi) yang re
latif jinak terhadap virus yang menyediakan tingkat kekebalan terhadap cacar, penyakit
menulardan mematikan. Dalam pengucapan umum yaitu vaksinasi dan imunisasi pada
umumnya memiliki makna sehari-hari yang sama. Hal ini membedakannya dari
inokulasi, yang menggunakan patogen hidup unweakened, walaupun dalam pemakaian
umum baik digunakan untuk merujuk kepada sebuah imunisasi. Kata vaksinasi pada
awalnya digunakan khusus untuk menggambarkan suntikan vaksin cacar. Upaya
Vaksinasi dari dulu telah menuai kontroversi pada bidang ilmiah, etika,keamanan
politik, medis, agama, dan alasan lainnya. Dalam kasus yang jarang, vaksinasi dapat
5
melukai orang dan di Amerika Serikat mereka dapat menerima kompensasi bagi
mereka yang cedera di bawah Program Kompensasi Cedera Vaksin Nasional.
B. Pengertian Vaksin
Imunisasi berasal dari kata imun yaitu kebal, resisten. Imunisasi berarti anak
diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap suatu
penyakit tetapi belum kebal terhadap penyakit yang lain. (Soekidjo, 2003)
Imunisasi adalah upaya memberikan bahan untuk merangsang produksi daya tahan
tubuh. Sebagai akibat selanjutnya orang yang diberi vaksin akan memiliki kekebalan
spesifik terhadap penyakit yang disebabkan kuman tersebut. Bahan tersebut pada
dasarnya merupakan ancaman buatan bagi tubuh (Achmadi, 2006)
Imunisasi disebutjuga vaksinasi atau inokulasi. Imunisasimemberikan
perlindungan terhadap sejumlah penyakit berbahaya. Ketika diimunisasi, diberikan
vaksin yang dibuat dari sejumlah kecil bakteri atau virus penyebab penyakit tersebut.
Vaksin ini akan merangsang tubuh membuat antibodi terhadap penyakit yang
dimaksud. (Thompson, 2003)
Vaksin adalah segala persiapan dimaksudkan untuk menghasilkan kekebalan
terhadap penyakit dengan merangsang produksi antibodi. Vaksin misalnya suspensi
mikroorganisme dibunuh atau dilemahkan, atau produk atau turunan dari
mikroorganisme. Metode yang paling umum dari pemberian vaksin adalah melalui
suntikan, namun ada juga yang diberikan melalui mulut atau semprot hidung. Menurut
WHO, vaksinasi merupakan imunisasi aktif adalah suatu tindakan yang dengan sengaja
memberikan paparan antigen dari suatu patogen yang akan menstimulasi sistem imun
dan menimbulkan kekebalan sehingga nantinya anak yang telah mendapatkan
vaksinasi tidak akan sakit jika terpajan oleh antigen serupa. Antigen yang diberikan
dalam vaksinasi yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit,
namun dapat menimbulkan limfosit yang peka, antibodi maupun sel memori.
C. Tujuan Imunisasi atau Vaksinasi
Tujuan imunisasi yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu
padaseseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat
(populasi) atau bahkan menghilangkan suatu penyakit tertentu dari dunia. Program
6
imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi agar dapat mencegah
penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering
berjangkit. Secara umun tujuan imunisasi adalah :
1. Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular.
2. Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular.
3. Imunisasi menurunkan angka mordibitas (angka kesakitan) dan mortalitas
(angka kematian) pada balita.
D. Proses Pembuatan Vaksin
Produksi vaksin antivirus saat ini merupakan sebuah proses rumit bahkan setelah
tugas yang berat untuk membuat vaksin potensial di laboratorium. Perubahan dari
produksi vaksin potensial dengan jumlah kecil menjadi produksi bergalon-galon vaksin
yang aman dalam sebuah situasi produksi sangat dramatis, dan prosedur laboratorium
yang sederhana tidak dapat digunakan untuk meningkatkan skala produksi.
Produksi vaksin dimulai dengan sejumlah kecil virus tertentu (atau disebut
benih). Virus harus bebas dari kotoran, baik berupa virus yang serupa atau variasi
dari jenis virus yang sama. Selain itu, benih harus disimpan dalam kondisi “ideal”,
biasanya beku, yang mencegah virus menjadi lebih kuat atau lebih lemah dari yang
diinginkan. Benih disimpan dalam gelas kecil atau wadah plastik.Jumlah yang
kecil hanya 5 atau 10 cm3, mengandung ribuan hingga jutaan virus, nantinya dapat
dibuat menjadi ratusan liter vaksin. Freezer dipertahankan pada suhu tertentu.
Grafik di luar freezer akan mencatat secara terus menerus suhu freezer. Sensor
terhubung dengan alarm yang dapat didengar atau alarm komputer yang akan
menyala jika suhu freezer berada di luar suhu yang seharusnya.
2. Pertumbuhan Virus
Setelah mencairkan dan memanaskan benih virus dalam kondisi tertentu secara
hati-hati (misalnya, pada suhu kamar atau dalam bak air), sejumlah kecil sel virus
ditempatkan ke dalam “pabrik sel” sebuah mesin kecil yang telah dilengkapi
7
sebuah media pertumbuhan yang tepat sehingga sel memungkinkan virus untuk
berkembang biak.
Setiap jenis virus tumbuh terbaik di media tertentu, namun semua media
umumnya mengandung protein yang berasal dari mamalia, misalnya protein murni
dari darah sapi. Media juga mengandung protein lain dan senyawa organik yang
mendorong reproduksi sel virus. Penyediaan media yang benar, pada suhu yang
tepat, dan dengan jumlah waktu yang telah ditetapkan, virus akan bertambah
banyak.
Selain suhu, faktor-faktor lain harus dipantau adalah pH.pH adalah ukuran
keasaman atau kebasaan, diukur pada skala dari 0 sampai 14, dan virus harus
disimpan pada pH yang tepat dalam pabrik sel. Air tawar yang tidak asam atau
basa (netral) memiliki pH 7. Meskipun wadah di mana sel-sel tumbuh tidak terlalu
besar (mungkin ukuran pot 4-8 liter), terdapat sejumlah katup, tabung, dan sensor
yang terhubung dengannya.Sensor memantau pH dan suhu, dan ada berbagai
koneksi untuk menambahkan media atau bahan kimia seperti oksigen untuk
mempertahankan pH, tempat untuk mengambil sampel untuk analisis
mikroskopik, dan pengaturan steril untuk menambahkan komponen ke pabrik sel
dan mengambil produk setengah jadi ketika siap.
Virus dari pabrik sel ini kemudian dipisahkan dari media, dan ditempatkan
dalam media kedua untuk penumbuhan tambahan. Metode awal yang dipakai 40
atau 50 tahun yang lalu yaitu menggunakan botol untuk menyimpan campuran,
dan pertumbuhan yang dihasilkan berupa satu lapis virus di permukaan media.
Peneliti kemudian menemukan bahwa jika botol itu berubah posisi saat virus
tumbuh, virus bisa tetap dihasilkan karena lapisan virus tumbuh pada semua
permukaan dalam botol.
Sebuah penemuan penting dalam tahun 1940-an adalah bahwa pertumbuhan sel
sangat dirangsang oleh penambahan enzim pada medium, yang paling umum
8
digunakan yaitu tripsin.Enzim adalah protein yang juga berfungsi sebagai katalis
dalam memberi makan dan pertumbuhan sel.
Dalam praktek saat ini, botol tidak digunakan sama sekali. Virus yang sedang
tumbuh disimpan dalam wadah yang lebih besar namun mirip dengan pabrik sel,
dan dicampur dengan “manik-manik,” partikel mikroskopis dimana virus dapat
menempelkan diri.Penggunaan “manik-manik” memberi virus daerah yang lebih
besar untuk menempelkan diri, dan akibatnya, pertumbuhan virus menjadi jauh
lebih besar.Seperti dalam pabrik sel, suhu dan pH dikontrol secara ketat.Waktu
yang dihabiskan virus untuk tumbuh bervariasi sesuai dengan jenis virus yang
diproduksi, dan hal itu sebuah rahasia yang dijaga ketat oleh pabrik.
3. Pemisahan Virus
Ketika sudah tercapai jumlah virus yang cukup banyak, virus dipisahkan dari
manik-manik dalam satu atau beberapa cara. Kaldu ini kemudian dialirkan melalui
sebuah filter dengan bukaan yang cukup besar yang memungkinkan virus untuk
melewatinya, namun cukup kecil untuk mencegah manik-manik dapat lewat.
Campuran ini disentrifugasi beberapa kali untuk memisahkan virus dari manik-
manik dalam wadah sehingga virus kemudian dapat dipisahkan. Alternatif lain
yaitu dengan mengaliri campuran manik-manik dengan media lain sehingga dapat
memisahkan manik-manik dari virus.
Vaksin bisa dibuat baik dari virus yang dilemahkan atau virus yang dimatikan.
Pemilihan satu dari yang lain tergantung pada sejumlah faktor termasuk
kemanjuran vaksin yang dihasilkan dan efek sekunder. Virus yang dibuat hampir
setiap tahun sebagai respon terhadap varian baru biasanya berupa virus yang
dilemahkan.Virulensi virus bisa menentukan pilihan; vaksin rabies, misalnya,
selalu vaksin dari virus yang dimatikan.
9
Jika vaksin dari virus dilemahkan, virus biasanya dilemahkan sebelum dimulai
proses produksi. Strain yang dipilih secara hati-hati dibudidayakan (ditumbuhkan)
berulang kali di berbagai media. Ada jenis virus yang benar-benar menjadi kuat
saat mereka tumbuh. Strain ini jelas tidak dapat digunakan untuk
vaksin ‘attenuated’. Strain lainnya menjadi terlalu lemah karena dibudidayakan
berulang-ulang, dan ini juga tidak dapat diterima untuk penggunaan vaksin.
Beberapa virus yang “tepat” mencapai tingkat atenuasi yang membuat mereka
dapat diterima untuk penggunaan vaksin, dan tidak mengalami perubahan dalam
kekuatannya.Teknologi molekuler terbaru telah memungkinkan atenuasi virus
hidup dengan memanipulasi molekul, tetapi metode ini masih langka.
Virus ini kemudian dipisahkan dari media tempat dimana virus itu
tumbuh.Vaksin yang berasal dari beberapa jenis virus (seperti kebanyakan vaksin)
dikombinasikan sebelum pengemasan. Jumlah aktual dari vaksin yang diberikan
kepada pasien akan relatif kecil dibandingkan dengan jumlah medium yang
dengan apa vaksin tersebut diberikan. Keputusan mengenai apakah akan
menggunakan air, alkohol, atau solusi lain untuk injeksi vaksin, misalnya, dibuat
setelah tes berulang-ulang demi keselamatan, steritilitas, dan stabilitas.
5. Pengontrolan Kualitas
E. Jenis-jenis Vaksinasi
10
1. Live Attenuated Vaccine
Vaksin hidup yang dibuat dari bakteri atau virus yang sudah dilemahkan daya
virulensinya dengan cara kultur dan perlakuan yang berulang-ulang, namun masih
mampu menimbulkan reaksi imunologi yang mirip dengan infeksi alamiah.
Sifat vaksin live attenuated vaccine, yaitu :
a. Vaksin tidak dapat hidup sehingga seluruh dosis antigen dapat dimasukkan
dalam bentuk antigen.
b. Respon imun yang timbul sebagian besar adalah humoral dan hanya sedikit
atau tidak menimbulkan imunitas seluler.
11
c. Titer antibodi dapat menurun setelah beberapa waktu sehingga diperlukan
dosis ulangan, dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif tetapi
hanya memacu dan menyiapkan sistem imun, respon imunprotektif baru-
barumuncul setelah dosis kedua dan ketiga.
d. Tidak dipengaruhi oleh circulating antibod.
e. Vaksin tidak dapat bermutasi menjadi bentuk patogenik.
f. Tidak dapat menimbulkan penyakit yang serupa dengan infeksi alamiah.
Contoh : Vaksin Rabies, Vaksin Influenza, Vaksin Polio (Salk), Vaksin
Pneumonia Pneumokokal, Vaksin Kolera, Vaksin Pertusis, dan Vaksin Demam
Tifoid.
3. Vaksin Toksoid
Vaksin yang dibuat dari beberapa jenis bakteri yang menimbulkan penyakit
dengan memasukkan racun dilemahkan ke dalam aliran darah.Bahan bersifat
imunogenik yang dibuat dari toksin kuman. Hasil pembuatan bahan toksoid yang
jadi disebut sebagai natural fluid plain toxoid yang mampu merangsang
terbentuknya antibodi antitoksin.Imunisasi bakteri toksoid efektif selamasatu
tahun.Contoh :Vaksin Difteri dan Tetanus.
4. Vaksin Acellular dan Subunit
Vaksin yang dibuat dari bagian tertentu dalam virus atau bakteri dengan
melakukan kloning dari gen virus atau bakteri melalui rekombinasi DNA, vaksin
vektor virus dan vaksin antiidiotipe.Contoh:Vaksin Hepatitis B, Vaksin Hemofilus
Influenza tipe b (Hib) dan Vaksin Influenza.
5. Vaksin Idiotipe
Vaksin yang dibuat berdasarkan sifat bahwa Fab (fragment antigen binding)
dari antibodi yang dihasilkan oleh tiap klon sel B mengandung asam amino yang
disebut sebagai idiotipe atau determinan idiotipe yang dapat bertindak sebagai
antigen.Vaksin ini dapat menghambat pertumbuhan virus melalui netralisasai dan
pemblokiran terhadap reseptor pre sel B.
12
6. Vaksin Rekombinan
13
8. Vaksin Hepatitis B
9. Vaksin Pneumokokus
Kini terdapat lebih dari 90 jenis Pneumokokus yang diketahui, namun hanya
lebih kurang 10% yang bisa menyebabkan penyakit yang serius di seluruh dunia.
Jenis 19A adalah bakteri yang muncul di dunia dan dapat menyebabkan
penyakit pneumokokus yang sangat serius dan resisten terhadap antibiotik.
Pneumokokus menyerang beberapa bagian tubuh yang berbeda, diantaranya
adalah:
14
Human Papilloma Virus secara umum menginfeksi lapisan kulit yaitu pada
keratinosit dan membran mukosa. Sebagian besar virus jenis ini (ada lebih dari 200
virus) tidak menimbulkan gejala, tetapi sebagian akan dapat menimbulkan gejala
berupa kutil. Kutil ini dapat muncul dimana saja. Virus ini juga telah terbukti
memiliki hubungan dengan munculnya kanker cervix, vulva, vagina, dan anus
pada wanita dan sebagian lain kanker pada anus dan penis laki-laki.
Cacar air (Varicella) adalah penyakit yang sering dialami pada masa kanak-
kanak. Penyakit ini cukup ringan, tapi bisa berakibat serius, terutama bagi bayi dan
orang dewasa.
a. Cacar air bisa menyebabkan ruam, rasa gatal, demam, dan rasa lelah.
b. Bisa menyebabkan infeksi kulit yang berat, meninggalkan bekas luka,
pneumonia, kerusakan pada otak atau kematian.
c. Virus cacar air bisa tersebar melalui udara, atau melalui kontak dengan
cairan pada lepuhan (pada kulit) yang disebabkan oleh cacar air tersebut.
d. Seseorang yang telah menderita penyakit cacar air bisa mengalami ruam
yang menyebabkan rasa nyeri beberapa tahun setelah terkena cacar air.
Sebelum vaksin cacar air ini ada, sekitar 11.000 orang di Amerika Serikat
dirawat di rumah sakit akibat penyakit ini.
Vaksin cacar air ini dapat mencegah penyakit cacar air. Kebanyakan dari
orang yang telah mendapatkan vaksinasi cacar air, mereka tidak terkena penyakit
ini. Walaupun mereka terkena cacar air, biasanya reaksi yang ditimbulkan cukup
ringan.Mereka hanya memiliki sedikit lepuh atau gelembung cacar air di tubuh,
dan sangat kecil kemungkinannya untuk mengalami demam. Waktu pemulihannya
juga relatif cepat.
15
Rotavirus adalah virus yang sering menyebabkan gastroenteritis akut (infeksi
saluran pencernaan) pada anak, yang ditandai dengan muntah, diare, demam, dan
nyeri perut. Pada bayi dan anak kecil, infeksi rotavirus dapat menyebabkan diare
dan muntah berat sehingga anak menjadi kehilangan banyak cairan
(dehidrasi).Infeksi rotavirus dapat dicegah salah satunya dengan imunisasi
rotavirus. Saat ini tersedia dua jenis vaksin rotavirus yaitu RotaTeq dan Rotarix.
Gejala infeksi rotavirus berupa demam, muntah, diare, dan atau nyeri
perut.Muntah dan diare merupakan gejala utama infeksi rotavirus dan dapat
berlangsung selama 3 – 8 hari. Infeksi rotavirus dapat disertai gejala lain yaitu anak
kehilangan nafsu makan, dan tanda-tanda dehidrasi. Infeksi rotavirus dapat
menyebabkan dehidrasi ringan dan berat, bahkan kematian.
Selain itu anak yang sudah imunisasi rotavirus masih dapat terkena infeksi
rotavirus (gastroenteritis) karena rotavirus terdiri dari banyak strain, tidak semua
strain rotavirus terdapat dalam vaksin, dan vaksin tidak memberikan efek
perlindungan (imunitas yang penuh).
a. Rotarix
Rotarix adalah vaksin yang melindungi bayi anda dari virus (rotavirus)
yang dapat menyebabkan diare dan muntah berat.Rotavirus dapat
menyebabkan diare dan muntah berat sehingga bayi anda dapat kehilangan
banyak cairan sehingga anak harus segera dibawa ke rumah sakit.Vaksin
16
Rotarix berupa cairan yang diberikan melalui mulut (vaksin oral), bukan
suntikan.
Rotarix berupa cairan yang diberikan melalui tetesan pada mulut bayi dan
ditelan oleh bayi. Bayi anda akan mendapatkan dosis pertama pada usia 6
minggu. Dosis kedua diberikan setidaknya 4 minggu setelah dosis pertama,
sebelum usianya 6 bulan.Rotarix dapat diberikan bersama dengan imunisasi
suntik lainnya.Bayi anda dapat langsung menyusui setelah mendapatkan
Rotarix.
b. Rotateq
Vaksin yang sering digunakan dalam program imunaisasi wajib atau yang
dianjurkan dibagi atas 4 golongan vaksin diantaranya yaitu:
17
1. Vaksin Hidup (Live Attenuated).
2. Vaksin yang tidak aktif ((Inactivated).
3. Vaksin Toksoid.
4. Vaksin Rekombinan.
Vaksin Hidup berisi virus atau bakteri yang dilemahkan, dibuat dilaboratorium
dengan memodifikasikan kuman penyebab penyakit. Kuman yang dilemahkan tersebut
masih bisa berkembang (bereplikasi) dan menimbulkan kekebalan tapi tidak membuat
sakit seseorang. Contoh vaksin yang berisi virus hidup adalah Vaksin Polio dan
MMR. Vaksin yang berisi virus hidup contohnya Vaksin BCG, Vaksin Campak,
dan Vaksin Tifoid Oral (vivotif).
Vaksin yang tidak aktif (inactivated): berisikan virus atau bakteri yang dibuat tidak
aktif, dapat terdiri dari seluruh komponen kuman atau sebagian komponen kuman.
Contoh vaksin yang mengandung virus mati adalah
Vaksin Influenza, Vaksin Rabies, Vaksin Hepatitis A, Vaksin Hepatitis B.
Sedangkan vaksin yang mengandung bakteri mati adalah Vaksin Pertusis (batuk
rejan), Vaksin HiB, Vaksin Kolera, dan Vaksin Meningokokus.
Vaksin toksoid adalah vaksin yang dibuat dari racun (toksin) kuman yang
dilemahkan, contohnya adalah Vaksin untuk Tetanus dan Difteri.
Kemajuan iptek kedokteran memungkinkan vaksin dari hasil rekayasa genetika
yang dikenal sebagai vaksin rekombinan seperti :Vaksin Hepatitis B, Vaksin Tifoid
danVaksin Rotavirus. Selain pembagian golongan berdasarkan isi vaksin tadi, vaksin
yang ada juga bisa dibagi atasvaksintunggal dan vaksin kombinasi. Vaksin tunggal
berisi hanya 1 antigen atau kuman yang dilemahkan, misalnya vaksin hepatitis B,
vaksin campak dan sebagainya. Sementara Vaksin kombinasi (combo vaccine) berisi
beberapa antigen atau kuman yang dilemahkan, misalnya DPT yang dapat
mencegah Difteri, Pertusis dan Tetanus. Bahkan belakangan ada kecenderungan untuk
membuat vaksin kombinasi yang lebih banyak sampai 4 atau 5 antigen/kuman sehingga
dengan 1 kali pemberian vaksin dapat mencegah 4 atau 5 penyakit sekaligus. Contoh
vaksin kombinasi seperti ini : vaksin DPT digabung dengan hepatitis B atau HiB. Di
18
Puskesmas sudah dikenalkan vaksin kombo yaitu vaksin DPT yang digabung dengan
hepatitis B.
2. TERAPI GEN
19
pada penderita defisiensi ADA, gen untuk menyandi enzim tersebut tidak ada,
akibatnya tidak dapat memproduksi enzim tersebut tidak ada, akibatnya tidak
dapat memproduksi enzim tersebut. Dengan tidak adanya enzim ini sel T dan
sel B tidak terbentuk dengan sempurna,dan menjadikan tidak berfungsinya
sistem kekebalan. Jika bayi penderita defisiensi ADA ini tidak berada dalam
lingkungan bebas mikroba (steril) maka tidak dapat mempertahankan hidup.
Bayi ini terkenal dengan nama baby balloon karena bayi tersebut harus
dimasukkan dala bola plastik yang steril, baik mainan atau makanan yang akan
disentuhnya harus disterilkan terlebih dahulu. Meskipun begitu bayi tersebut
hanya berumur sampai 4 tahun. Injeksi langsung enzim ADA dalam darah tidak
dapat menolong karena akan rusak dalam beberapa menit. Dengan cara
pemindahan sumsum tulangpun memiliki kelemahan, yaitu perlu pendonor
yang cocok. Telah pula diusahakan dan disepakati penggunaan “PEG-ADA”
(polyethylene glycol-conyugated ADA). Senyawa ini dapat bertahan dalam
darah selama beberapa hari. Namun injeksi yang dilakukan tiap minggu akan
memakan biaya US $ 60,000 pertahunnya. Dengan rekayasa genetik yang
diusulkan oleh Anderson dan Blaese melalui terapi gen, gangguan ini telah
dapat diatasi. Sel T diisolasi dari penderita, kemudian ditumbuhkan di dalam
kultur diatasi. Sel T diisolasi dari penderita, kemudian ditumbuhkan di dalam
kultur medium yang dibuat khusus untuk dapat menstimulasi aktivasi dan
pertumbuhan sel T. Setelah sel T berkembang biak, retrovirus (yang bertindak
sebagai vektor) yang sudah mengandung DNA penyandi ADA ditambahkan
dan kemudian ditumbuhkan beberapa hari sebelum diberikan kepada penderita.
Disini retrovirus yang telah membawa gen ADA akan menginfeksi sel,
kemudian bergabung ke dalam DNA sel T. akhirnya larutan yang mengandung
berjuta-juta sel-T yang telah membawa gen ADA dimasukkan pada vena
penderita. Dengan demikian gen penyandi ADA di dalam sel T akan
diekspresikan, sehingga tubuh penderita akan mampu menghasilkan enzim
tersebut. Sementara enzim tersebut belum diproduksi oleh tubuh, penderita
tetap diberi PEG-ADA. Salinan-salinan gen terklon untuk enzim ADA
20
disisipkan ke dalam retrovirus lemah (sebagai vector). Retrovirus ini
dicampurkan dengan sel T Ashanti, retrovirus kemudian mengjankiti sel T dan
menyisipkan gen ADA ke dalam DNA sel T. setelah dilakukan penyaringan,
sel T rekombinan tersebut diklonkan, sebagan lagi disimpan dalam
penyimpanan gen (sebagai simpanan). Ashanti disuntik berulang kali, dan
ternyata setelah lima tahun didapati sel T Ashanti menunjukkan kehadiran gen
ADA, diprediksikan satu milyar sel telah diberikan pada Ashanti (Arsal, 2007).
21
ketidaknormalan gen maupun over ekspresi protein yang dikode oleh gen
tersebut. Menurut Proses rekayasa genetik pada teknologi terapi gen meliputi
tahapan berikut: isolasi gen target, penyisipan gen target ke vektor transfer,
transfer vektor yang telah disisipi gen target ke organisme yang akan diterapi,
transformasi pada sel organisme target. Gen target yang telah disisipkan pada
organisme yang diterapi tersebut diharapkan mampu menggantikan fungsi gen
abnormal yang mengakibatkan penyakit pada penderita (Widyastuti, 2017).
Prinsip dari terapi gen adalah: 1.) Menambahkan gen-gen normal ke dalam
sel yang mengalami ketidaknormalan, 2.) Melenyapkan gen abnormal dengan
gen normal melalui rekombinasi homolog, 3.) Mereparasi gen abnormal dengan
cara mutasi balik selektif, 4.) Mengendalikan ekspresi gen yang abnormal
(Widianti, et al. 2019).
Prinsip-prinsip terapi gen adalah gen yang akan dipindahkan itu harus
diletakkan ke dalam sel yang akan berfungsi normal dan efektif. Saat ditransfer,
gen tersebut harus berfungsi dalam sel dalam jangka waktu yang lama,
demikian pula sel baru yang disebut transduced cell, harus pula bertahan lama.
Program terapi gen terbagi dalam dua jenis.
Pertama, pemindahan gen dilakukan di dalam tubuh pasien (in vivo
transfer). Kedua, pemindahan gen dilakukan di luar tubuh pasien (ex vivo
transfer). Terapi gen in vivo transfer bersandarkan pada kemampuan sel-sel
untuk menyerap DNA. Peneliti berharap dapat memetakan gen yang berfungsi
normal sehingga memungkinkan sel-sel menerimanya sesegera mungkin,
misalnya melalui penyuntikan. Sedangkan ex vivo transfer, gen yang berfungsi
normal disisipkan ke dalam sel di dalam laboratorium. Kemudian sel yang telah
ditransferkan ke gen baru tadi di letakkan ke dalam tubuh pasien. Sel penderita
dapat digunakan untuk pemindahan gen ini. Tentu kedua cara ini mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan in vivo transfer adalah sangat sedikit
membutuhkan manipulasi laboratorium dan dapat digunakan dalam skala besar.
Sedangkan ex vivo lebih sarat dengan operasi pembedahan, seperti bagaimana
mengangkat dan meletakkan kembali sel, karena meletakkan gen baru ke tubuh
22
pasien tidaklah segampang menelan pil atau semudah menyuntikkannya ke
dalam darah.
1. Vector virus
a. Retrovirus
23
Vektor retroviral menguntungkan di antara berbagai vektor yang
dikembangkan untuk transfer gen. Integrasi retrovirus ke dalam pembagian
Sel memiliki banyak manfaat dalam terapi kanker berbasis gen. Selain itu,
vektor retroviral memiliki efisiensi transduksi yang besar
ex vivo yang dianggap sebagai vektor yang sesuai untuk
integrasi konstan DNA asing ke dalam sel target.
b. Adenovirus
24
pada terapi, dapat memfasilitasi ekspresi gen secara efektif baik pada sel yang
berproliferasi maupun yang tidak, serta memiliki efisiensi yang cukup tinggi
untuk menginfeksi sel target.
b. Adeno-associated virus (AAV)
Terapi gen dengan vektor AAV umumnya digunakan dalam terapi in situ
karena gen terintegrasi yang terdapat pada AAV rekombinan dapat langsung
diinfeksikan pada sel inang. Pada sel inang target, gen rekombinan dari vektor
akan dirilis untuk kemudian diekspresikan menjadi protein fungsional tertentu
yang dapat mensubstitusi gen yang abnormal pada sel tersebut. Dengan adanya
ekspresi gen fungsional yang telah disisipkan dengan vektor AAV penyakit
akibat ketidaknormalan gen dapat diobati.
2. Vector non virus
Vektor virus telah terbukti menjadi alat transfer gen yang efisien.
Namun demikian, kelemahan seperti pembersihan cepat vektor virus dari aliran
darah (bila disuntikkan secara sistemik), imunogeniknya dan potensi
peradangan, telah mendesak pengembangan vektor pengiriman gen sintetis
baru. Faktanya, sistem pengiriman gen non-viral adalah topik yang saat ini
sedang dipelajari secara luas sebagai alternatif untuk sistem pengiriman virus.
Bentuk paling sederhana dari sistem non-viral adalah DNA plasmid telanjang.
Itu keuntungan dari plasmid telanjang adalah ia memiliki bentuk toksisitas
25
terendah atau reaksi yang tidak diinginkan lainnya. Selain itu, mudah
dirumuskan dan murah untuk diproduksi. Namun, kerugiannya adalah rendah
efisiensi transfeksi dibandingkan dengan transfer gen yang dimediasi virus
Akibatnya, meningkatkan transfeksi efisiensi, polimer kationik, atau formulasi
lipid telah dikembangkan untuk memadatkan DNA plasmid
melindungi degradasi DNA dan untuk meningkatkan penyerapan dan transfeksi
plasmid Itu keuntungan dengan formulasi tersebut adalah bahwa polimer atau
lipid dapat dengan mudah dirancang mencapai sifat-sifat tertentu. Misalnya,
vektor non-virus dapat dengan mudah ditargetkan ke jaringan atau sel target
dengan menggabungkan bagian-bagian penargetan spesifik sel atau jaringan
pada pembawa. Selanjutnya dengan menentukan
ukuran partikel mikro atau nanopartistribusi, internalisasi seluler, dan
intraseluler perdagangan mikro atau nanopartikel dapat dipengaruhi.
Sayangnya, keberhasilannya non-viral sistem pengiriman dalam aplikasi klinis
dalam terapi gen telah terbatas. Dibandingkan dengan vektor virus, vektor non-
viral belum melalui proses evolusi waktu yang dimiliki virus, yang mana
biasanya dapat dilihat sebagai efisiensi transduksi rendah in vivo . Keberhasilan
terapi gen non-virus tergantung pada berbagai ekstra dan intraseluler hambatan
yang mempengaruhi kemanjuran semua sistem pengiriman gen, termasuk
serapan seluler, endosomal (Wirth dan Herttuala, 2014).
Beberapa metode non-virus yang dapat digunakan :
26
dalam proses penyakit.
- Menggunakan antisense yang spesifik untuk gen sasasaran,
Mengganggu proses transkripsi gen sasaran yang rusak
- Menggunakan oligonukleotida rantai ganda (double strand
oligonucleotide), Mengikat faktor-faktor transkripsi yang diperlukan
untuk regulasi promoter gen sasaran
3. TERAPI Rnai
Pada tahun 1998 sebuah artikel dalam majalah Nature yang ditulis oleh Andrew Z. Fire
dan Craig C. Mello serta tiga rekan lainnya telah berhasil menyedot perhatian
dunia biologi molekuler. Bagaimana tidak, dalam artikel tersebut Fire dan
Mello mengemukan suatu mekanisme baru dalam regulasi aliran informasi
genetik dengan melibatkan RNA sebagai pengontrol, yang kemudian dikenal
dengan RNA interference (RNAi). Dalam penelitiannya Fire dan Mello
menyelidiki regulasi eksperesi gen pada nematoda cacing Caenorhabditis
elegans. Injeksi molekul mRNA yang mengkode suatu protein otot tidak
mengakibatkan perubahan behaviour dari cacing. Kode genetik dalam mRNA
direpresentasikan oleh urutan ‘sense’, disisi lain injeksi ‘antisense’ RNA, yaitu
urutan yang dapat berpasangan dengan mRNA, juga tidak menimbulkan
pengaruh apapun. Akan tetapi ketika Fire dan Mello menginjeksikan sense dan
27
antisense secara bersamaan, teramati perubahan yang khas pada cacing, berupa
gerakan meregang-regang (lihat gambar). Gerakan tersebut sama teramati
ketika cacing tersebut mengalami kerusakan/kehilangan fungsi gen yang
mengkode protein ototnya.
Gambar efek yang teramati setelah injeksi RNA pada cacing C. elegans. Injeksi RNA
untai ganda (dsRNA) mengakibatkan gerakan meregang (twitching movements) pada
cacing
Hipotesis yang kemudian muncul adalah bahwa ketika sense dan antisense RNA
bertemu, mereka akan berikatan dan membentuk RNA untai ganda atau double-
stranded RNA (dsRNA). Molekul dsRNA ini yang diduga memilki kemampuan untuk
menghilangkan/meredam fungsi suatu gen. Setelah serangkaian eksperimen, Fire dan
Mello akhirnya menyimpulkan bahwa dsRNA dapat meredam gen-gen sehingga
tidakberfungsi, hal inilah yang dikatakan sebagai RNAi. RNAi bersifat spesifik untuk
gen yang memiliki kode yang cocok dengan molekul RNA yang diinjeksikan, serta
dapat menyebar diantara sel dan dapat diturunkan.
28
Salah satu contoh terpi gen dalam bidang kedokteran adalah CRISPR/Cas9
dengan Dual-sgRNAs Bertarget Gen E6 dan E7 Virus HPV 16 sebagai inovasi
terapi gen upaya menurunkan angka kanker serviks global. Kanker serviks
merupakan kanker dengan insidensi terbesar kedua pada wanita di dunia. 80%
dari kasus kanker serviks terjadi pada negara berkembang. Sebanyak 62% dari
kasus kanker serviks disebabkan oleh virus Human Papilloma Virus (HPV)
tipe 16. Hingga saat ini, keterbatasan dan efek samping dari tatalaksana
kemoterapi dan radioterapi terhadap pasien kanker serviks menyebabkan
masih dibutuhkannya inovasi terapi yang lebih efektif dan terjangkau.
CRISPR/Cas9 telah menjadi pendekatan terapi gen yang efektif dan spesifik
serta memakan biaya produksi yang kecil dengan mengintervensi DNA target
terhadap berbagai penyakit termasuk kanker. CRISPR/Cas9 berasal dari
mekanisme natural suatu bakteri untuk melindungi dirinya sendiri dari
serangan virus dengan memotong DNA virus yang diinjeksi (Damara, 2017).
Virus HPV16 merupakan penyebab tertinggi dari kanker serviks. Virus
HPV16 memasukkan materi genetiknya dan bekerja di dalam jaringan serviks
yang menyebabkan terjadinya pembentukan sel kanker. Virus HPV16 memiliki
berbagai jenis lokus gen yang berperan dalam proses kelangsungan hidup virus
maupun dalam proses patogenesis kanker serviks.
Gen E6 merupakan onkogen yang akan menginaktivasi dan
mendegradasi suppresor tumor p53 Protein dari gen E6 akan membentuk
kompleks dengan enzim ubiquitin ligase yang disebut dengan E6 Associated
Protein atau E6AP. Kompleks ini akan berinteraksi dengan berbagai molekul
untuk memicu pertumbuhan dan perkembangan sel tumor. E6AP akan
mendegradasi protein p53 dengan bantuan enzim ligase sehingga menyebabkan
gagalnya proses apoptosis dari sel tumor.
Gen E7 menginduksi pertumbuhan sel tumor dengan menginaktivasi
suppresor tumor protein Retinoblastome (pRB) Pada keadaan normal, pRB
akan berikatan dengan faktor transkripsi E2F yang akan menghambat ekspresi
dari gen penyebab pertumbuhan sel tumor (Teissier dkk. 2007). Namun, gen E7
29
pada HPV16 akan merusak pRB dengan enzim cystein protease kalpain
teraktivasi kalsium (Damara, 2017).
Mekanisme Kerja dari CRISPR/Cs9 sebagai Inovasi terapi Gen untuk Kanker
Serviks
30
CRISPR/Cas9 akan memotong DNA target dengan menggunakan enzim
endonuklease pada protein Agar kompleks sgRNA dan Cas9 berhenti pada
sekuens DNA yang sesuai, maka dibutuhkan sebuah “penanda” yang menjadi
situs pemberhentian mereka untuk melakukan pemotongan yang disebut
dengan Protospacer Adjacent Motif (PAM). Setelah kompleks menempel pada
sekuens DNA yang tepat, maka “gunting” dari enzim endonuklease yang akan
memotong DNA target akan memotong pada 17 hingga 23 pasangan nukleotida
setelah PAM Setelah DNA target berhasil dipotong, gen akan melakukan
reparasi yang disebut dengan Error-prone dengan mekanisme Non-
Homologous End Joining (NHEJ) sehingga hasil reparasi DNA target tidak
akan mengembalikannya menjadi fungsinya seperti semula, dan dalam kasus
ini, fungsi dari gen E6 dan E7 pada sel kanker serviks akan terinaktivasi
CRISPR/Cas9 bersirkulasi dengan bantuan vektor virus Adenovirus (AAV).
Mekanisme administrasi dari CRISPR/Cas9 adalah dengan cara injeksi
intravena dengan dosis yang sesuai dengan kondisi dan komposisi tubuh pasien
kanker setelah pemberian CRISPR/Cas9 bertarget gen E6 dan E7 (Damara,
2017).
BAB III
PENUTUP
31
A. Kesimpulan
B. Saran
Dari pembuatan makalah ini ada beberapa hal yang perlu diperbaiki diantaranya
mahasiswa harus selalu mengikuti perkembangan informasi mengenai bioteknologi
kesehatan, hal ini dikarenakan ilmu bioteknologi kedokteran yang terus berkembang
dan memunculkan teori atau cara baru.
32
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, 2012. Kamus saku kedokteran Dorland, ed. 28 (alih bahasa: Albertus Agung
Mahode). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hidayat, A.Aziz Alimul.2008.Pengantar ilmu Kesehatan anak untuk pendidikan
kebidanan. Jakarta : Salemba Medika
Hadinegoro, Sri Rezeki S. 2000. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. FKUI. Volume 2,
Nomor 1.
Hinchliff, Sue. 1999. Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC
33
Nurwijaya, Hartanti; Andrijono dan Suheini. 2010. Cegah Dan Deteksi Kanker
Serviks. Jakarta: Elex Media Komputindo
Radji, Maksum. 2009. Vaksin Kanker. Jurnal Mikrobiologi dan Bioteknologi, 109-
118.
Ranuh. 2008. Imunisasi Di Indonesia, Edisi 1. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Schwartz, M.William. 2004. Clinical Handbook of Pediatrics. Jakarta : EGC
Suharjo, J.B. 2010. Vaksinasi, cara ampuh cegah penyakit infeksi. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
Supartini, Yupi. 2004. Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta :EGC
Umar, 2006. Imunisasi Mengapa Perlu ?.Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara
34