BIOTEKNOLOGI FARMASI
“ANTIBODI”
Dosen Pengampu :
Winda Kirana S.Farm.,Apt
1
KATA PENGANTAR
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul.............................................................................................. i
Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 3
1.3 Tujuan.................................................................................................... 3
BAB II TINAJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian Antibodi..................................................................... 4
II.2 Peranana Antibodi Monoklonal dalam bidang
Kedokteran dan obat........................................................................... 5
II.3 Antibodi Monoklonal Rekombinan.............................................. 6
II.4 Cara Pembuatan Antibodi............................................................ 7
II.5 Mekanisme Kerja......................................................................... 10
II.6 Target Terapi................................................................................ 13
II.7 Hambatan dalam Terapi............................................................... 16
II.8 Contoh Produk di Pasaran............................................................ 17
BAB III PENUTUP
III.1 Kesimpulan................................................................................. 20
III.2 Saran........................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 22
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1
bakteri dan kapang. Selain itu bioteknologi juga memanfaatkan sel tumbuhan atau
sel hewan yang dibiakkan sebagai bahan dasar sebagai proses industri.
Satu abad yang lalu Paul Ehrlich dengan hipotesisnya menyatakan bahwa magic
bullet dapat dikembangkan sebagai target selektif pada suatu penyakit. Visi ini
menjadi kenyataan setelah ditemukannya pengembangan teknik pembuatan
antibodi monoklonal oleh Kőhler dan Milstein pada tahun 1975, hal ini membuka
wawasan baru di bidang kesehatan. Antibodi monoklonal sebagai targeting
missiles merupakan imunoterapi yang menjanjikan karena memiliki sifat mengikat
secara spesifik terhadap suatu target antigen atau sel abnormal sehingga antibodi
monoklonal sangat efektif untuk dipakai sebagai dasar terapi kanker. Antibodi
monoklonal sebagai terapi kanker diinjeksikan ke dalam tubuh pasien, molekul itu
akan mencari sel kanker (antigen) sebagai target. Antibodi monoklonal secara
potensial merusak atau menghancurkan aktivitas sel kanker atau dengan cara lain
yaitu meningkatkan respons imun jaringan tubuh melawan kanker. (Adams, G.P.,
et al., 2005; VonMehren, M., et al., 2003)
2
Rumusan masalah dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Apa Pengertian Antibodi ?
2. Bagaimana Peranan Antibodi Monoklonal dalam bidang Kedokteran dan
obat ?
3. Bagaimana Cara Pembuatan Antibodi Monoklonal ?
4. Bagaimana Mekanisme Kerja Antibodi Monoklonal ?
BAB 11
TINJAUAN PUSTAKA
3
11.1 Pengertian Antibodi
Antibodi merupakan campuran protein di dalam darah dan disekresi
mukosa menghasilkan sistem imun bertujuan untuk melawan antigen asing yang
masuk ke dalam sirkulasi darah. Antibodi dibentuk oleh sel darah putih yang
disebut limfosit B. Limfosit B akan mengeluarkan antibodi yang kemudian
diletakkan pada permukaannya. Setiap antibodi yang berbeda akan mengenali dan
mengikat hanya satu antigen spesifik. Antigen merupakan suatu protein yang
terdapat pada permukaan bakteri, virus dan sel kanker. Pengikatan antigen akan
memicu multiplikasi sel B dan penglepasan antibodi. Ikatan antigen antibodi
mengaktivasi sistem respons imun yang akan menetralkan dan mengeliminasinya.
Antibodi memiliki ber-bagai macam bentuk dan ukuran walaupun struktur
dasarnya berbentuk `Y`(gambar 4.1). Antibodi tersebut mempunyai 2 fragmen,
fragmen antigen binding (Fab) dan fragmencristallizable (Fc). Fragmen antigen
binding digunakan untuk mengenal dan mengikatantigen spesifik, tempat
melekatnya antigen antibodi yang tepat sesuai regio yang bervariasi disebut
complementary determining region (CDR) dan Fc berfungsi sebagai efektor yang
dapat berinteraksi dengan sel imun atau protein serum. (Albert, B., et al., 2002;
Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000)
4
tersebut sangat berguna untuk penelitian terapi dan diagnostik laboratorium.
(Albert, B., et al., 2002; Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000)
5
Pemanfaatan antibodi monoklonal dalam bidang kesehatan, baik untuk
diagnostik atau mengatasi penyakit kanker tertentu, telah banyak dilakukan.
Beberapa antibodi monoklonal yang dilakukan untuk pengobatan berasal dari sel
mencit atau tikus, sering menimbulkan reaksi alergi pada pasien yang menerima
terapi antibodi monoklonal tersebut. Hal ini disebabkan karena protein mencit
dikenal sebagai antigen asing oleh sel tubuh pasien, sehingga menimbulkan reaksi
respon imun antara lain berupa alergi, inflamasi dan penghancuran atau destruksi
antibodi monoklonal itu sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut maka
dikembangkanlah antibodi monoklonal rekombinan manusia, yaitu suatu
monoklonal antibodi yang sebagian atau seluruhnya terdiri dari protein yang
berasal dari manusia, untukmengurangi efek penolakan oleh sistem imun pasien.
(Radji, M., 2011; Tuscano, J.M., et al; 2005)
Antibodi ini dibuat secara rekayasa genetika dimana bagian protein yang
berasal dari mencit hanya terbatas pada antigen binding site saja, sedangkan
bagian yang lainnya yaitu bagian variable dan bagian konstan berasal dari
6
®
manusia. Antibodi ini memilikiakhiran nama “zumab” (Transtuzumab ).
(Radji, M., 2011; Tuscano, J.M., et al; 2005)
7
dengan antigen khusus ke dalam sumsum tulang akan menghasilkan sel limfosit B
yang memiliki masa waktu hidup terbatas dalam kultur, hal ini dapat diatasi
dengan cara menggabungkan dengan sel limfosit B tumor (myeloma) yang abadi.
Hasil campuran heterogen sel hybridomas dipilih hybridoma yang memiliki 2
kemampuan yaitu dapat menghasilkan antibodi khusus dan dapat tumbuh di dalam
kultur. Hybridoma ini diperbanyak sesuai klon individualnya dan setiap klon
hanya menghasilkan satu jenis antibodi monoklonal yang permanen dan stabil.
Hybridoma yang berasal dari satu limfosit akan menghasilkan antibodi yang akan
mengenali satu jenis antigen. Antibodi inilah yang dikenal sebagai antibodi
monoklonal (gambar 1.3).
antara ekspresi EGFR yang berlebihan, invasi tumor dan rendahnya lama
tahan hidup. (Herbst, R.S., 2003)
2. Penyaringan produksi antibodi tikus Serum antibodi pada darah tikus itu
dinilai setelah beberapa minggu imunisasi. Titer serum antibodi ditentukan
dengan berbagai macam teknik seperti enzyme link immunosorbent assay
8
(ELISA) dan flow cytometry. Fusi sel dapat dilakukan bila titer antibodi
sudah tinggi jika titer masih rendah maka harus dilakukan booster sampai
respons yang adekuat tercapai. Pembuatan sel hybridoma secara in vitro
diambil dari limpa tikus yang dimatikan.
3. Persiapan sel myeloma Sel myeloma yang didapat dari tumor limfosit
abadi tidak dapat tumbuh jika kekurangan hypoxantine guanine
phosphoribosyl transferase (HGPRT) dan sel limpa normal masa hidupnya
terbatas. Antibodi dari sel limpa yang memiliki masa hidup terbatas
menyediakan HGPRT lalu digabungkan dengan sel myeloma yang
hidupnya abadi sehingga dihasilkan suatu hybridoma yang dapat tumbuh
tidak terbatas. Sel myeloma merupakan sel abadi yang dikultur dengan 8-
azaguanine sensitif terhadap medium seleksi hypoxanthine aminopterin
thymidine (HAT). Satu minggu sebelum fusi sel, sel myeloma dikultur
dalam 8-azaguanine. Sel harus mempunyai kemampuan hidup tinggi dan
dapat tumbuh cepat. Fusi sel meng-gunakan medium HAT untuk dapat
bertahan hidup dalam kultur.
4. Fusi sel myeloma dengan sel imun limpa Satu sel limpa digabungkan
dengan sel myeloma yang telah dipersiapkan. Fusi ini diselesaikan melalui
sentrifugasi sel limpadan sel myeloma dalam polyethylene glycol suatu zat
yang dapat menggabung-kan membran sel. Sel yang berhasil mengalami
fusi dapat tumbuh pada medium khusus. Sel itu kemudian didistribusikan
ke dalam tempat yang berisi makanan, didapat dari cairan peritoneal tikus.
Sumber makanan sel itu menyediakan growth factor untuk pertumbuhan
sel hybridoma.
9
11.5 Mekanisme Kerja
Antibodi monoklonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk
meningkatkan efek sitotoksik sel tumor. Mekanisme komponen sistem imun
adalah antibody dependent cellularcytotoxicity (ADCC), complement dependent
cytotoxicity (CDC), mengubah signal transduksisel tumor atau menghilangkan sel
permukaan antigen. Antibodi dapat digunakan sebagai target muatan (radioisotop,
obat atau toksin) untuk membunuh sel tumor atau mengaktivasi prodrug di tumor,
antibody directed enzyme prodrug therapy (ADEPT). Antibodimonoklonal
digunakan secara sinergis melengkapi mekanisme kerja kemoterapi untuk
melawan tumor. (Adams, G.P., et al., 2005)
11.5.1 Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
10
Gambar 1.4. Skema mekanisme kerja Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity
(ADCC)
11
menormalkan laju perkembangan sel dan membuat sel sensitif terhadap
zat sitotoksik dengan menghilangkan signal reseptor ini. Target antibodi
EGFR merupakan inhibitor yang kuat untuk transduksi signal. Terapi
antibodi monoklonal memberikan efek penurunan densitas ekspresi target
antigen contohnya penurunan konsentrasi EGFR permukaan sel tumor
atau membersihkan ligan seperti VEGF. Pengikatan ligand reseptor
growth factor memicu dimerisasi dan aktivasi kaskade signal (gambar 1.6)
sehingga terjadi proliferasi sel dan hambatan terhadap zat sitotoksik
(gambar 1.6). Antibodi monoklonal menghambat signal dengan cara
menghambat dimerisasi atau mengganggu ikatan ligand (gambar 1.6).
(Adams, G.P., et al., 2005)
12
sebagai zat sitotoksik sel-sel tumor. Modifikasiantibodi monoklonal
dilakukan dengan tujuan sebagai zat penghantar radioisotop, toksin
katalik, obat-obatan, sitokin, enzim atau zat konjugasi aktif lainnya. Pola
antibodi bispesifik pada kedua bagian Fab memungkinkan untuk mengikat
target antigen dan sel efektor. (Adams, G.P., et al., 2005)
13
inhibitor farnesyltransferase, inhibitor deacetylase, inhibitor cox-2, teknologi
antisense dan terapigen. Terapi target pada KPKBSK yang digunakan adalah
inhibitor EGFR antibodi monoklonal ″Trastuzumab″ (Herceptin), ″Cetuximab″
(Erbitux), inhibitor EGFR tyrosinekinase ″Gefitinib″ (Irresa), inhibitor
angiogenesismetalloproteinase, inhibitor VEGF antibodimonoklonal
″Bevacizumab″ (Avastin) dan inhibisi tranduksi signal antisense
oligonucleotideprotein kinase C alpha. (Herbst, R.S., 2002; Herbst, R.S., 2003)
14
mengaktivasi kompleks EGFR timbul langkah aktivasi dari Ras, Raf , MAP / Erk
kinase (MEK1) dan extracellular regulated kinase (Erk) protein yang akan
meningkatkan aktiviti faktor transkripsi untuk proliferasi dan aktivasi progresi
siklus sel. (Herbst, R.S., 2003)
15
Gambar 1.8. Skema aktivitas jarus RAS-MAPK pada proliferasi
seluler
11.7 Hambatan Dalam Terapi
Distribusi antigen sel ganas sangat heterogen sehingga beberapa sel dapat
mengenali antigen tumor dan sel lainnya tidak. Densitas antigen bervariasi bila
rendah antibodi monoklonal tidak efektif. Aliran darah tumor tidak selalu optimal
bila antibodi monoklonal dihantarkan melalui darah maka sulit untuk
mengandalkan terapi ini. Tekanan interstisial yang tinggi dalam tumor dapat
mencegah ikatan dengan antibodi monoklonal. Antigen tumor selalu dilepaskan
sehingga antibodi mengikat antigen bebas dan bukan sel tumor.
Antibodimonoklonal diperoleh dari sel tikus kemungkinan masih ada respons
imun antibodinya yang disebut respons human anti mouse antibodies (HAMA).
Respons ini tidak hanya menurunkan kemanjuran terapi antibodi monoklonal tapi
juga menyisihkan kemungkinan terapi ulangan. Reaksi silang antibodi
monoklonal dengan antigen jaringan normal jarang sehingga aplikasi antibodi
monoklonal memberikan hasil yang baik pada keganasan hematologi dan tumor
soliter walaupun terdapat beberapa rintangan. (VonMehren, M., 2003)
a. Transtuzumab
16
(IHC) 20%, fluorescence in situ hybridization (FISH) 6% dan kadar serum
HER2 > 15 ng/ml pada ELISA 6%. Immunohistochemistry (IHC)
didapatkan 66 spesimen memberikan hasil positif dan ELISA didapatkan
13 spesimen positif tetapi tidak satupun spesimen positif pada FISH.
(Segota, E., et al., 2004; Heinmoller, P., et al., 2003)Kombinasi
″trastazumab″ dan kemoterapi memberikan hasil lebih baik
growthinhibitor pada sel yang mengekspresi HER2.Kombinasi
″trastuzumab″ dengan kemoterapiterbukti secara klinis memberikan
keuntungan pasien kanker payudara metastasis HER2 positif. Penelitian uji
klinis randomisasi fase II efek penambahan kombinasi ″trastazumab″
dengan kemoterapi standar (gemcitabine dan cisplatin) pada pasien
KPKBSK HER2 positif memberikan hasil toleransi yang baik secara
klinis. Kombinasi paclitaxel, carboplatin dan ″trastuzumab″ dapat
diberikan pada KPKBSK stage lanjut dengan toksisiti yang tidak lebih
buruk dibandingkan dengan terapi tanpa ″trastuzumab″. Strategi yang
paling menjanjikan dari target HER2 adalah penggunaan kombinasi
inhibitor EGRF TK dengan inhibitorHER2 dimerization. (Bunn, P.A., et
al., 2001; Vogel, C.L., et al., 2002; Lanjer, C.J., et al., 2004)
b. Cetuximab
″Cetuximab″ (Erbitux) merupakan antibodi monoklonal chimeric
yang bekerja mengikat EGFR pada bagian ekstraseluler. ″Cetuximab″
memberikan efek samping ruam acneiform, folikulitis pada wajah dan
dada serta dilaporkan juga reaksi hipersensitif. Response rate (RR) lebih
tinggi bila terjadi ruam pada kulit. Penelitian fase II monoterapi″cetuximab
″ pasien KPKBSK rekuren dan metastasis yang dideteksi EGFRnya dan
yang telah diberikan satu atau lebih regimen kemoterapi sebelumnya,
didapatkan 2 dari 29 (6,9%) parsial respons (PR) dan 5 pasien (17,2%)
penyakitnya stabil. Uji klinis fase II pasien KPKBSK stage IIIB/IV
rekuren atau metastasis didapatkan respons, 3,3% PR (2/60 pasien) dan
25% penyakitnya stabil (15/60 pasien). Hal ini menunjukkan toleransi
17
″cetuximab″sangat baik. (Lynch, T.J., et al., 2004; Theinelt, C.D., et al.,
2005) Efikasi ″cituximab″ ditambah kemoterapi lainnya telah diteliti.
Penelitian fase I pada KPKBSK didapatkan PR 2 dari 19 pasien (10,5%)
dengan dosis multipel ″cetuximab″ dan cisplatin. Uji klinis randomisasi
terkontrol kemoterapi naive pasien KPKBSK stadium lanjut dengan
ekspresi EGFR berlebihan didapatkan RR yang tinggi pada regimen
″cetuximab″, vinorelbine dan cisplatin dibandingkan hanya dengan
″vinorelbine″ dan ″cisplatin″ saja (31,7% vs 20,0%). Penelitian lain
kombinasi ″cetuximab″ dilaporkan bahwa didapatkan RR yang hampir
sama. Kombinasi ″cetuximab″ dengan docetaxel kemoterapi pada
KPKBSK refrakter/resisten didapatkan 28% (13/47) PR dan 17% (8/47)
penyakitnya stabil. ″Cetuximab″ yang ditambahkan regimen paclitaxel +
carboplatin atau regimen gemcitabine + carboplatine pada KPKBSK naïve
didapatkan masing – masing RR 26% (31 pasien) dan 28,6% (35 pasien).
(Lynch, T.J., et al., 2004; Theinelt, C.D., et al., 2005)
c. Bevacizumab
18
4,2 bulan p=0,023). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada TTP pada
grup ″bevacizumab″ dosis rendah dibandingkan paclitaxel + carboplatin
saja. (Johnson, D.S., et al., 2005)
Hasil awal uji klinis fase I/II ″bevacizumab″ dan ″erlotinib″ pada
KPKBSK stage IIB/IV atau rekuren didapatkan PR 8 dari 40 pasien (20%)
dan penyakit stabil 26 dari 40 pasien (65%), median survival time 12,6
bulan dan progression free survival 6,2 bulan. Eastern Cooperative
Oncology Group (ECOG) E4599 trial membandingkan regimenpaclitaxel
+ carboplatin dengan ″bevacizumab″ (PCB) dan tanpa ″bevacizumab″
(PC) pada KPKBSK stage lanjut. Hal ini merupakan uji klinis fase III
pertama yang menunjukkan keuntungan survival terapi linipertama
kombinasi target biologi dengan kemoterapi, dilaporkan RR 27% pada
PCB dibandingkan 10% pada PC, progression free survival (PFS) (6,4 vs
4,5 bulan) dan median survival rates (12,5 vs 10,3 bulan) dengan
″bevacizumab″. ″Bevacizumab″ memberikan toleransi yang baik bila
dikombinasi dengan regimen paclitaxel
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
19
1. Antibodi monoklonal adalah antibodi buatan identifik karena
diproduksi oleh salah satu jenis sel imun saja dan semua klonnya
merupakan sel single parent. Antibodi monoklonal mempunyai sifat
khusus yang unik yaitu dapat mengenal suatu molekul, memberikan
informasi tentang molekul spesifik dan sebagai terapi target tanpa
merusak sel sehat sekitarnya.
2. Pemanfaatan antibodi monoklonal dalam bidang kesehatan, baik untuk
diagnostik atau mengatasi penyakit kanker tertentu, telah banyak
dilakukan. Beberapa antibodi monoklonal yang dilakukan untuk
pengobatan berasal dari sel mencit atau tikus, sering menimbulkan
reaksi alergi pada pasien yang menerima terapi antibodi monoklonal
tersebut. Hal ini disebabkan karena protein mencit dikenal sebagai
antigen asing oleh sel tubuh pasien, sehingga menimbulkan reaksi
respon imun antara lain berupa alergi, inflamasi dan penghancuran atau
destruksi antibodi monoklonal itu sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut
maka dikembangkanlah antibodi monoklonal rekombinan manusia,
yaitu suatu monoklonal antibodi yang sebagian atau seluruhnya terdiri
dari protein yang berasal dari manusia, untuk mengurangi efek
penolakan oleh sistem imun pasien. (Radji, M., 2011; Tuscano, J.M., et
al; 2005)
3. Kőhler dan Milstein menjelaskan bagaimana caranya mengisolasi dan
mengembangkan antibodi monoklonal murni spesifik dalam jumlah
banyak yang didapat dari campuran antibodi hasil respons imun. Tikus
yang telah diimunisasi dengan antigen khusus ke dalam sumsum tulang
akan menghasilkan sel limfosit B yang memiliki masa waktu hidup
terbatas dalam kultur, hal ini dapat diatasi dengan cara menggabungkan
dengan sel limfosit B tumor (myeloma) yang abadi. Hasil campuran
heterogen sel hybridomas dipilih hybridoma yang memiliki 2
kemampuan yaitu dapat menghasilkan antibodi khusus dan dapat
tumbuh di dalam kultur. Hybridoma ini diperbanyak sesuai klon
individualnya dan setiap klon hanya menghasilkan satu jenis antibodi
monoklonal yang permanen dan stabil. Hybridoma yang berasal dari
20
satu limfosit akan menghasilkan antibodi yang akan mengenali satu
jenis antigen.
4. Antibodi monoklonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk
meningkatkan efek sitotoksik sel tumor. Mekanisme komponen sistem
imun adalah antibody dependent cellularcytotoxicity (ADCC),
complement dependent cytotoxicity (CDC), mengubah signal
transduksisel tumor atau menghilangkan sel permukaan antigen.
III.2 Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH. Antibodies and antigens. In: Schmitt WR, Krehling H,
editors. (2005). Cellular and molecular immunology. 5th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders. 43-64.
Adams, G.P., dan Weiner, L.M. (2005). Monoclonal antibody therapy of cancer. Nature
Biotechnology. 23: 1147-57.
Alberts, B., Johnson, A., Lewis, J., Raff, M., Robert, K., Walter, P. (2002).
Manipulatingproteins, DNA, and RNA. In: Anderson MS, Dilernia B, editors.
Molecular biology of the cell. 4th ed.New York: Garland Science. 469-78.
Jusuf, A., Harryanto, A., Syahruddin, E., Endardjo. S., Mudjiantoro, S., Sutandio, N.
(2005). Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. (Jusuf A, Syahruddin E, penyunting). Jakarta: PDPI.
14-5.
Kőhler, G. dan Milstein, C. (1975). Continous cultures of fused cells secreting antibody
of predifined specificity. Nature. 256: 495-7.
Nelson PN, Reynolds GM, Waldron EE, Ward E, Giannopoulos K, Murray PG.
(2000).
Waldmann, T.A. (2003). Immunotherapy: past, present and future. Nature Medicine.
Vogel CL, Cobleigh MA, Tripathy D, Gutheil JC, Harris LN, Fehrenbacher L, et al.
(2002).
VonMehren, M., Adams, G.P., Weiner, L.M. (2003). Monoclonal antibody therapy for
cancer. Annu Rev Med. 54: 343-69.
22