Anda di halaman 1dari 11

Makalah Helicobacter pylori

Untuk memenuhi tugas Bakteriologi Klinis

Disusun oleh :
Nurul Muyasaroh 1172071
Sekha Mutmainah 1172080
Wiki Widyawati 1172088
Yusuf Nur Iskandar 1172090

D III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NASIONAL
SURAKARTA
2019
HELICOBACTER PYLORI

A. Taksonomi
Kindom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Epsilon Proteobacteria
Order : Campylobacteriales
Family : Helicobacteraceae
Genus : Helicobacter
Spesies : Helicobacter pylori

B. Morfologi
Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif yang mikroaeropilik tumbuh baik
dalam suasana lingkungan yang mengandung 02 (oksigen) 5% ; CO2 5 – 10% pada
temperatur 37ºC selama 16 – 19 hari dalam media agar basa dengan kandungan 7% eritrosit
kuda dan dengan pH 6,7 – 8 serta tahan beber apa saat dalam suasana sitotoksin seperti ph
1,5.. Kemampuan bakteri ini untuk dapat hidup dalam suasana asam ini, sebagian disebabkan
oleh aktivitas urease yang luar biasa, dimana urease dapat merubah urea pada cairan lambung
menjadi ammonia alkalin dan karbon dioksida. H.pylori menyebabkan inflamasi ringan yang
kronis pada lambung. Bakteri ini pada awalnya dinamai Campylobacter pyloridis dan
kemudian lagi diubah menjadi C. pylori. Setelah gen rRNA 16S dapat diurutkan dan
beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri ini tidak dapat dimasukkan ke dalam genus
Campylobacter, maka pada tahun 1989 bakteri ini ditempatkan pada genus tersendiri yaitu
Helicobacter. Dan kata pylori diambil dari bahasa Yunani kuno yang berarti penjaga gerbang.
Sitoplasma H.pylori berisi bahan-bahan nukleoid dan ribosome. Genom H. pylori
mempunyai ukuran sekitar 1,6- 1,73 Mb yang berisi Strain dari H.pylori dapat dibagi atas 2
kelompok yaitu strain tipe 1 dan tipe 2.Strain tipe 1 dengan cagA (cytotoxin associated gene
A) dan vacA (vacuolating cytotoxin gene A) yang positif. Sedangkan strain tipe 2 cagA
negatif dan vacA in-aktif.Tipe 1 lebih berperan dalam timbulnya ulkus peptikum,radang dan
kerusakan jaringan dibandingkan tipe 2.
C. Patogenitas dan Virulensi
Pada awalnya, H .pylori hanya dideskripsikan sebagai organisme yang predominan
ekstra seluler, gram negatif, berflagel, dan motil. Dengan berkembangnya teknik biokimia,
informasi baru tentang patogenisitas dan faktor virulensi H. pylori telah muncul,
mengindikasikan bahwa infeksi H. pylori memerlukan interaksi yang kompleks dari faktor
inang dan bakterial (patogen, yaitu H. pylori). Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa
protein bakteri yang dibutuhkan untuk kolonisasi H. pylori pada mukosa lambung. Termasuk
beberapa protein aktif yang dibutuhkan H. pylori untuk masuk ke dalam permukaan mukosa
(contohnya flagellin, yang telah dikodekan menjadi gen flaA dan flaB). Ketika bakteri sudah
berada dalam mukosa lambung, terjadi perangsangan hipoklorhidria dengan mekanisme yang
belum diketahui. Enzim urease yang diproduksi oleh bakteri menciptakan lingkungan mikro
yang baik untuk terjadinya kolonisasi. Terdapat pula peranan enzim cecropins yang
dihasilkan oleh bakteri H. pylori dan menginhibisi pertumbuhan dari organisme kompetitor.
Juga terdapat enzim adenosinetriphosphatase tipe P, yang mencegah terjadinya alkalinisasi
yang berlebihan akibat aktivitas urease.
Begitu menempel pada mukosa lambung, H. pylori menyebabkan cedera jaringan
melalui rangkaian kejadian yang kompleks yang tergantung pada faktor inang dan pathogen.
H.pylori, seperti bakteri gram negatif lainnya memiliki dinding sel lipopolisakarida yang
dapat merusak integritas mukosa. Kemudian, H. pylori melepaskan beberapa protein
pathogen yang dapat menginduksi cedera jaringan. Contohnya, protein CagA, yang
diproduksi oleh cytotoxic-associated gene A (cagA), adalah protein immunogenik yang kuat
yang dapat dihubungkan dengan keadaan klinis yang berat, seperti tukak peptik dan
adenokasinoma lambung (walaupun hal ini masih banyak dipertanyakan). Terdapat bukti-
bukti yang semakin bertambah bahwa CagA dihubungkan dengan adenokarsinoma distal,
dan bukan yang proksimal. Sebagai tambahan, protein yang dihasilkan oleh gen vacuolating
cytotoxin A (vacA) dan gen A yang diinduksi oleh kontak dengan epithelium (iceA), telah
diketahui juga berhubungan dengan cedera mukosa.
Saat kolonisasi pada mukosa berlangsung, protein immunogenik H. pylori
menginduksi reaksi inflamasi yaitu dengan gastritis neutropilik, yang menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis dari infeksi. Proses ini diperantarai oleh faktor inang, termasuk
interleukin 1, 2, 6, 8, dan 12; interferon gamma; TNF-α; limfosit T dan B; dan sel-sel fagosit.
Faktor-faktor ini menyebabkan cedera jaringan dengan melepaskan berbagai oksigen reaktif
dan sitokin-sitokin peradangan.H.pylori juga dapat mempercepat apoptosis dari mukosa
(Clarke AM et al, 2010 ; Hardin FJ dan Wright RA, 2002).

D. Manifestasis Klinis
1. Gastritis
Gastritis mengacu pada keadaan peradangan pada mukosa lambung. Banyak hal
yang dapat menjadi penyebab gastritis; dan dapat digolongkan menjadi gastritis akut dan
kronis. Infeksi kronis dari H.pylori dapat menyebabkan atropi lambung dan metaplasia
intestinal (Kuipers et al., 1995). Gastritis akut merupakan peradangan dari mukosa
lambung yang bersifat sementara. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh iritan lokal
seperti endotoksin bakteri, kafein, alkohol dan aspirin. Tergantung dari keparahan
gangguannya, respon mukosa dapat bervariasi mulai dari edema sedang dan hiperemis
sampai ke erosi hemoragik dari mukosa lambung. Gastritis akut biasanya dapat sembuh
sendiri; regenerasi lengkap dan penyembuhan biasanya terjadi dalam beberapa hari.
2. Karsinoma lambung
Perjalanan penyakit gastritis kronis pada pasien yang terinfeksi H. pylori biasanya
dimulai dengan gastritis kronik superfisial, dan pada akhirnya berkembang menjadi
gastritis atrofik. Perkembangan ini tampaknya menjadi kunci dari kaskade seluler yang
menghasilkan terjadinya karsinoma lambung. Data yang ada menunjukkan bahwa pasien
dengan gastritis atrofik multifokal memiliki kemengkinan 90 kali lipat untuk
mendapatkan karsinoma lambung, dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Mekanisme
dari terbentuknya keganasan ini melibatkan kerusakan DNA yang diinduksi oleh berbagai
sitokin dan radikal bebas yang dilepaskan pada keadaan peradangan kronis pada orang
yang rentan (Clarke AM et al, 2010 ; Hardin FJ dan Wright RA, 2002).
3. Limfoma lambung
Infeksi H. pylori secara jelas juga dihubungkan dengan kejadian limfoma
mucosaassociated lymphoid tissue (MALT) lambung. Limfoma lambung primer meliputi
3-6% dari seluruh keganasan lambung. Lambung, merupakan lokasi yang paling sering
dari limfoma non Hodgkin’s ekstra nodal dan 60% dari seluruh limfoma gastrointestinal
muncul pada tempat ini. Jaringan limfoid tidak ditemukan pada lambung yang sehat,
tetapi kumpulan jaringan limfoid dapat timbul akibat infeksi H. pylori. H. pylori
merangsang infiltrasi limfositik pada struma mukosa; infiltrasi ini dapat bertindak sebagai
fokus dari proliferasi dan gangguan seluler, yang kemudian mengakibatkan transformasi
neoplastik menjadi limfoma. H. pylori juga tampaknya menghasilkan protein-protein
yang menstimulasi pertumbuhan dari limfosit pada fase awal dari neoplasia (Clarke AM
et al, 2010 ; Hardin FJ dan Wright RA, 2002).
4. Tukak Peptik
Tukak peptik meliputi tukak lambung dan tukak duodeni. Sejak awal tahun 1980-
an, terdapat perubahan yang radikal dalam pemikiran menyngakut penyebab tukak
peptik. Tukak peptik tidak lagi merupakan penyakit yang disebabkan oleh predisposisi
genetik, stress, atau diet yang salah. Adanya kecenderungan hubungan familial pada
infeksi H.pylori yang awalnya disangkakan sebagai faktor genetik, kini lebih mengarah
kepada adanya infeksi antara anggota keluarga, dan bukan suatu kerentanan genetik.
Telah dicatat bahwa hampir seluruh penderita tukak duodeni dan 70% dari tukak
lambung telah terinfeksi H. pylori. Dua bentuk tukak lambung yakni, sindrom Zollinger-
Ellison dan stress ulcer memiliki penyebab yang berbeda (Clarke AM et al, 2010).
Hubungan antara H. pylori dan tukak peptik telah banyak diteliti, dan telah
diterima bahwa organism ini merupakan penyebab utama dari tukak peptik ini, tetapi
bukan satu-satunya penyebab dari tukak peptik ini. Eradikasi terhadap H. pylori ini dapat
merubah perjalanan penyakit ini secara dramatis dengan mengurangi angka kekambuhan
pada pasien yang mendapat terapi eradikasi dibandingkan yang tidak mendapat terapi
eradikasi. Perbaikan ini dijumpai pada pasien yang tidak mempunyai riwayat pemakaian
NSAID (Hardin FJ dan Wright RA, 2002)
Mekanisme bagaimana H.pylori ini dapat menginduksi tukak peptik belum dapat
dipahami sepenuhnya tetapi sebagian besar melibatkan kombinasi dari predisposisi
genetik dari inang, faktor virulensi dari organism yaitu H. pylori (protein CagA dan
VacA), kerusakan mekanis dari mukosa, serta gangguan sekresi dari gastrik dan
duodenal.

E. Pemeriksaan Diagnosa
(Endoskopi Test)
1. Kultur
Kultur merupakan pemeriksaan yang sangat spesifik untuk mengidentifikasi infeksi aktif
H. pylori. Secara konsep, kultur sangat menarik karena bukan saja sebagai salah satu cara
untuk mengidentifikasi adanya infeksi, tetapi juga memungkinkan untuk mengetahui
sensitifitas antibiotik. Sayangnya, kultur tidak sesensitif RUT dan histologi. Lagi pula,
kultur untuk H. pylori membutuhkan teknik yang tinggi dan mahal. Akibatnya,
pemeriksaan ini hanya tersedia di beberapa laboratorium klinik yang terbatas jumlahnya.
Cara lain dalam menetukan antibiotik yang sesuai tanpa kultur sedang dikembangkan dan
belum diterima secara luas (Chey WD, Wong BCY, 2007).
2. Histologi
Helicobacter pylori pertama kali dilihat oleh Robin Warren dengan menggunakan
pewarnaan hematosilin & eosin (HE). Penggunaan teknik pewarnaan Giemsa atau
Whartin-Starry ternyata lebih memudahkan para ahli patologi anatomi mendiagnosis
infeksi H. pylori. Pada kasus gastritis kronis aktif, H .pylori kadangkala tidak dapat
dideteksi dengan mikroskopik rutin, tetapi dapat dideteksi dengan pewarnaan Giemsa
atau Whartin-Starry. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dikerjakan secara rutin,
tetapi hanya pada hasil serologi dan urease negatif. Pemeriksaan histologi mungkin
diperlukan untuk menyingkirkan proses keganasan pada kasus ulkus lambung (Lam SK
dan Talley NJ, 1998).
Pemeriksaan histologi umumnya tidak digunakan untuk evaluasi hasil terapi, akan
tetapi bila dilakukan tindakan endoskopi, maka H. pylori harus sekaligus dibuktikan
secara endoskopi. Apabila uji urease dan digunakan sebagai evaluasi hasil eradikasi,
maka sebaiknya dilakukan paling cepat 4 minggu setelah terapi selesai (Heldenberg D,
1995). Pada pasien yang dicurigai menderita ulkus lambung perlu dilakukan endoskopi
untuk membuktikan adanya H. pylori baik secara uji urease atau histologi dan sekaligus
untuk menyingkirkan proses keganasan pada lambung.

3. Chain Reaction (PCR)


PCR adalah teknik amplifikasi DNA yang menggunakan produksi yang sangat
cepat dari kopi multiple dari urutan DNA target untuk mengidentifikasi infeksi H.pylori.
Pemeriksaan ini sangat spesifik dan mungkin lebih sensitive dibandingkan pemeriksaan
lain yang berdasarkan biopsy. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa PCR dapat
mengidentifikasi H .pylori 20% dari biopsy lambung dengan gastritis kronik, dimana
dengan histologi organisme ini tidak dapat diidentifikasi. PCR juga dapat
mengidentifikasi adanya mutasi yang dihubungkan dengan resistensi antibiotik.
Walaupun saat ini, pemeriksaan ini masih terbatas dalam lingkup penelitian, metode ini
suatu hari dapat dipakai sebagai metode rutin yang praktis untuk uji resistensi antibiotik,
penetuan tipe organism, dan uji virulensi organisme (Chey WD, Wong BCY, 2007).
4. Uji C-13 dan C-14 Urea Napas
Uji C-urea napas merupakan salah satu langkah keberhasilan dalam diagnosis dan
tatalaksana infeksi H. pylori. Cara ini merupakan metoda diagnostik noninvasive yang
paling akurat dan sederhana. Uji C-urea napas hanya mendeteksi infeksi yang sedang
terjadi, sehingga dianjurkan selain sebagai penapis infeksi H. pylori, juga sebagai
evaluasi terapi eradikasi (Huang JQ dan Hunt RH, 1997.) Tingkat sensisitivitas dan
spesifisitas uji C-urea napas sebelu dan sesudah eradikasi menunjukkan hasil yang sama.
Keadaan ini yang menjadikan uji C-urea napas tepat bila digunakan untuk menentukan
keadaan H.pylori setelah eradikasi (Lam SK dan Talley NJ, 1998).
C-14 urea napas merupakan uji C-urea napas yang pertama kali dikembangkan.
Pada pemeriksaan ini, pasien diminta untuk minum sejumlah urea berlabel radioaktif.
Urea berlabel radioaktif tersebut akan dihidrolisis oleh urease yang terdapat di dalam H.
pylori menjadi amonia dan bicarbonat berlabel. Bicarbonat ini akan diekskresi melalui
udara napas sebagai CO2 berlabel (Hazell SL, 1999). Terdapat hubungan yang erat antara
uji Curea napas dengan jumlah bakteri di dalam lambung yang juga menggambarkan
derajat gastritis. Meskipun dosis radiasi yang terpapar ke pasien tidak sebesar radiasi
yang diperkenankan, tetapi cara ini tidak etis bila dikerjakan pada ibu hamil, remaja, dan
anak karena radiasi ini mempunyai waktu paruh yang lama. C-13 yang merupakan isotop
non-radioaktif mulai banyak digunakan pada anak. Nilai sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi pada anak banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti (Vandenplas Y, 1992). Sangat
disayangkan, alat untuk menguji C-13 napas ini cukup mahal.
Kedua cara ini mempunyai nilai sensitivitas sebesar 95-98% dan spesifisitas 98-
100% (Lam SK dan Talley NJ, 1998).. Hasil positif palsu dapat ditemukan akibat
metabolisme urea oleh bakteri di luar lambung, sedangkan hasil negatif palsu umumnya
disebabkan oleh proses pengosongan lambung yang cepat atau mendapat obat-obatan
yang menghambat urease, seperti antibiotika, bismut, dan obat supresi H2 (Huang JQ dan
Hunt RH, 1997). Oleh karena itu, direkomendasikan penggunaan uji C-urea napas
sebagai evaluasi terapi eradikasi paling lambat 4 minggu setelah eradikasi selesai. Hasil
negatif yang ditemukan pada 4 minggu pasca terapi dapat disebabkan oleh penekanan
jumlah bakteri dan aktivitas urease. Penggunaan proton pump inhibitor (PPI) harus
dihentikan paling lambat 4 minggu sebelum uji C-urea napas dilaksanakan. Uji C-urea
napas merupakan uji diagnostik yang realibel dan merupakan pilihan pertama (Drumm B
et al, 1999).

(Non Endoskopi Test)


1. Tes Antibodi
Tes antibodi bertumpu pada deteksi antibodi IgG spesifik terhadap H.pylori di
serum atau urine. Antibodi IgG H .pylori dapat muncul rata-rata 21 hari setelah infeksi
dan dapat menetap lama setelah eradikasi. Antibodi terhadap H.pylori dapat secara
kuantitatif dihitung dengan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
dan teknik agglutinasi lateks atau secara kualitatif dinilai dengan menggunakan peralatan
yang lebih sederhana (officebased kits). Keuntungan dari tes ini adalah biaya murah,
tersedia luas, dan hasil yang cepat. Sayangnya, beberapa faktor membatasi kegunaannya
dalam praktik klinis. Sebuah meta analisis yang mengevaluasi beberapa pemeriksaan
kuantitatif yang tersedia secara komersial, menunjukkan bahwa sensitifitasnya 85% dan
spesifisitasnya 79%. Dan tidak terdapat perbedaan dari berbagai alat. Tiga alat yang
berbeda yang memeriksa secara kualitatif antibodi dari darah, dalam suatu penelitian
yang berbeda, menunjukkan sensitifitas yang bervariasi antara 76%-84% dan
spesifisitasnya 79%-90%. Sangat penting untuk diingat bahwa positive predictive value
(PPV) dari pemeriksaan antibodi sangat bergantung pada prevalensi infeksi H.pylori pada
suatu daerah. Pada akhirnya, tes antibodi memiliki peranan yang sedikit terutama jika
terdapat riwayat eradikasi, mengingat hasilnya dapat tetap positif hingga bertahun-tahun
setelah eradikasi yang sukses (Chey WD, Wong BCY, 2007).
2. Urea Breath Test (UBT)
UBT, seperti RUT, mengidentifikasi infeksi aktif H.pylori dari aktifitas urease.
Dengan adanya H.pylori, urea yang ditelan, dapat ditandai dengan isotop non radioaktif
13
C atau isotop radioaktif 14C, akan menghasilkan CO2 yang telah bertanda, yang dapat
dihitung dari udara ekspirasi. Walaupun jumlah radiasi pada 14C UBT lebih sedikit
13
daripada paparan radiasi seharihari, namun C lebih disukai untuk pemeriksaan pada
anak-anak dan wanita hamil. Secara keseluruhan, kedua pemeriksaan di atas mempunyai
cara yang sama dengan sensitifitas dan spesifisitasnya melebihi 95% pada kebanyakan
penelitian. UBT juga dapat sebagai tes yang akurat pada post pengobatan. Urease blood
test, yang memeriksa karbonat yang telah ditandai pada darah, juga dapat diandalkan
untuk mendeteksi H.pylori sebelum dan sesudah terapi. Seperti yang telah dijelaskan di
atas, seperti halnya pemeriksaan RUT, sensitifitas pemeriksaan ini juga menurun pada
pemakaian obat-obatan yang dapat menurunkan aktifitas urease. Masih kontroversial
apakah H2RA mempengaruhi sensitifitas dari pemeriksaan ini, tetapi beberapa
laboratorium menganjurkan untuk menghentikan obat ini 24 - 48 jam sebelum
pemeriksaan. Antasida tampaknya tidak mempengaruhi pemeriksaan ini. Selain kendala-
kendala yang dibahas di atas, terdapat beberapa hal lagi yang membuat UBT tidak terlalu
diterima secara baik pada praktik klinis. Diantaranya, dibutuhkannya infrastruktur
khusus, perlunya kunjungan tambahan pasien sebelum pemeriksaan, dan biaya. Pada saat
sekarang ini, di US, UBT lebih mahal dibandingkan dengan tes antibodi dan tes antigen
fekal. Biaya UBT yang mahal disebabkan oleh biaya peralatan dan biaya urea yang
ditandai (Chey WD, Wong BCY, 2007).
3. Fecal Antigen Test (FAT)
FAT mengidentifikasi antigen H. pylori pada feses dengan cara enzyme
immunoassaydengan menggunakan antibodi anti H. pylori poliklonal. Baru-baru ini,
pemeriksaan antigen H.pylori pada feses dengan menggunakan antibodi monoklonal
sedang dikembangkan. Karena pemeriksaan ini mendeteksi antigen dari bakteri yang
menggambarkan infeksi yang sedang berlangsung, tes ini dapat digunakan untuk skrining
dan menetukan apakah telah terjadi penyembuhan setelah terapi. Betrdasarkan anlisa
pemeriksaa FAT menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang sangat baik pada
poliklonal tes sebelum terapi, tetapi sensitifitas dan PPV nya kurang memuaskan setelah
terapi. Di sisi lain, sensitifitas dan spesifisitas dari FAT monoclonal di atas 90% sebelum
dan sesudah terapi. Penjelasan pasti mengapa terjadi perbedaan di antara kedua es di atas
masih kurang jelas. FAT telah disetujui oleh U.S. Food and Drug Administration dan
didukung oleh Maastricht 2-2000 Consensus Report Eropa sebagai cara alternatif bagi
UBT untuk Monitoring penyembuhan. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa FAT
mungkin efektif dalam mengkonfirmasi eradikasi dalam 14 hari setelah pengobatan

DAFTAR PUSTAKA

Chey WD, Wong BCY. 2007. American College of Gastroenterology Guideline on the
Management of Helicobacter pylori Infection. American Journal of Gastroenterology.
Clarke AM, Ndip LM, Ndip RN, et al. 2010. An overview of pathogenesis and epidemiology
of Helicobacter pylori infection. African journal of Microbiology.
Drumm B, Koletzko S, Oderda G. 1999. Helicobacter pylori infection in children: a
consensus statement. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1999
Hazell SL. 1999. Diagnosis of Helicobacter pylori infection: Historical development.
Region-specific H.pylori management strategy. Dipresentasikan pada 2nd International
workshop on Helicobacter pylori, Hong Kong. 1999.
Heldenberg D, Wahner Y, Heldenberg E, et al. 1995. The role of Helicobacter pylori in
children with recurrent abdominal pain. Am J Gastroenterol.
Huang JQ, Hunt RH. 1997. Helicobacter pylori, Eradication of Helicabacter pylori.
Problems and recommendations.J Gastroenterol Hepatol.
Lam SK, Talley NJ. 1998. Helicobacter pylori consensus. Report of the 1997 Asia Pacific
concensus conference on the management of Helicobacter pylori infection. J.
Gastroenterol Hepatol.
Vandenplas Y, Blecker U, Devreker T. 1992. Contribution of the 13C-urea breath test to
the detection of Helicobacter pylori gastritis in children Pediatrics.
Hardin FJ, Wright RA. 2002. Helicobacter pylori: Review and Update. Hospital Physicians
May.

Anda mungkin juga menyukai