PENDAHULUAN
Sejak penemuan kuman Helicobacter pylori (HP) oleh marshall dan warren pada
tahun 1983, kemudian terbukti bahwa infeksi HP merupakan masalah global, termasuk di
Indonesia,sampai saat ini belum jelas betul proses penularan serta patomekanisme infeksi
kuman ini pada berbagai keadaan patologis saluran cerna bagian atas (SCBA). Pada tukak
peptik infeksi HP merupakan faktor etiologi yang utama, sedangkan untuk kanker lambung
termasuk karsinogen tipe I, yang definitif.
Pada keadaan lain seperti dispepsia non ulkus dengan infeksi HP, para ahli belum
bersepakat tentang perannya sebagai faktor etiologi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Order : Campylobacterales
Family : Helicobacteraceae
Genus : Helicobacter
Species : H. Pylori
Helicobacter adalah nama genus kuman yang berbentuk spiral atau batang bengkok
dan berflagela yang mengalami adaptasi untuk dapat hidup dalam mukus (lendir) lambung
yang menutupi selaput lendir (mukosa) lambung yang bersuasana asam kuat. Kuman ini
dapat bertahan hidup dalam suasana asam kuat dengan cara memproduksi enzim urease.
Enzim urease akan mengubah urea yang ada dalam cairan lambung menjadi amoniak. Tubuh
kuman Helicobacter selalu diliputi oleh awan amoniak ini, dan karenanya dapat bertahan
terhadap asam lambung.
Kuman ini bersifat pleomorfik artinya dapat dijumpai dalam beberapa bentuk. Dalam
keadaan normal kuman ini berbentuk spiral atau batang bengkok, tetapi dalam keadaan
tertentu yang kurang baik akan merubah dirinya menjadi bentuk kokoid yang merupakan
bentuk pertahanan yang resisten.
Kuman ini termasuk kuman mikroaerofilik artinya hanya tumbuh dalam suasana
dimana didapatkan oksigen dalam kadar rendah. Kuman ini mati pada suasana dengan kadar
oksigen normal, dan mati dalam keadaan anaerobik sempurna.
2
2.2 Epidemiologi
Secara umum telah diketahui bahwa infeksi HP merupakan masalah global, tetapi
mekanisme transmisi apakah oral-oral atau fekal oral belum diketahui dengan pasti. Studi di
Indonesia menunjukkan hubungan antara tingkat sanitasi lingkungan dengan prevalensi
infeksi HP, sedangkan data diluar negeri menunjukkan hubungan antara infeksi dengan
penyediaan atau sumber air minum.
Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi tukak peptik pada
pasien dispepsia yang di endoskopi berkisar antara 5,78% di Jakarta sampai 16,91 % di
medan. Data penelitian prevalensi infeksi HP pada pasien tukak peptik dapat dilihat pada
tabel 1.
3
Jayapranata Surabaya Gaster CLO 85,7
Pada kelompok pasien dispepsia non ulkus. Prevalensi infeksi HP yang dilaporkan
berkisar antara 20-40%, dengan metoda diagnostik yang berbeda yaitu seologi, kultur dan
histopatologi. Angka tersebut memberi gambaran bahwa pola infeksi di Indonesia tidak
terjadi pada usia dini tetapi pada usia yang lebih lanjut, tidak sama dengan pola negara
berkembang lain seperti di Afrika. Agaknya yang berperan adalah faktor lingkungan dan juga
faktor perbedaan ras.
Infeksi Helicobacter pylori (Hp) pada saluran cema bagian atas mempunyai variasi
klinis yang luas, mulai dari kelompok asimtomatik sampai tukak peptik, bahkan dihubungkan
dengan keganasan di lambung seperti adenokarsinoma tipe intestinal atau mucosal
associated lymphoid tissue (MAIJI) Limfoma.
Dalam hal ini perlu dipertimbangkan peran faktor pejamu termasuk faklor genetik
maupun faktor lingkungan yang selain mempengaruhi kuman Hp agaknya juga mungkin
dapat mempengaruhi fisiologi maupun imunologi pejamu.
Situasi yang berbeda terjadi di Jepang, suatu negarayang maju, dengan prevalensi
Hp yang relatif rendah tetapi dengan prevalensi kanker lambung yang tinggi. Dari
sisikuman Hp diketahui terdapat beberapa strain yanglebih virulen sehingga selalu
ditemukan pada pasien dengan tukak peptik, gastritis kronik, maupun kanker lambung.
Gen Vac A selalu dapat ditemukan pada kuman Hp, tetapi tidak semuanya menghasilkan
4
sitotoksin. Ternyata struktur gen ini sangat heterogen di mana pada strain penghasil
sitotoksin yang linggi terdapat sekuen signal yang tertentu.
Gen CagA hanya ditemukan pada sebagian strain, dan merupakan salah satu dari
kelompok yang terdiri dari 20 gen lain, membentuk apa yang disebut sebagai pulau
patogenesitas ( pathogenicity island). Asosiasi antara CagA dengan tukak peptik atau
kanker lambung mungkin melalui respons inflamasi yang meningkat terhadap Hp yang
mengandung CagA.
Untuk tukak peptik, CagA merupakan petanda yang paling baik, tetapi di daerah
dengan prevalensi CagA yang tinggi tidak mungkin untuk membuktikan asosiasi tersebut
dengan melakukan suatu panelitian kasus kelola. Berbagai strain Hp menghasilkan
vacuolating cytotoxin, mengandung kluster gen CagA yang dapat menginduksi IL-S.
Protein CagA dan gen CagA mungkin merupakan satu petanda straln yang ulserogenik dan
karsinogenik. Di Jepang. antibodi anti CagA tidak memberi petunjuk yang berguna
terhadap kemungkinan kelainan tersebut. Struktur gen CagA daur strain yang menyebabkan
tukak lambung dan tukak duodenum di Jepang sangat berbeda. Hal tersebut memberi
petunjuk perlunya diketahui profil antibodi anti CagA secara lebih rinci untuk dapat
menjelaskan makna klinis strainHp tersebut.
2.4 Patogenesis
Mukosa gaster terlindungi sangat baik dari infeksi bakteri, namun H. Pylori
memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan ekologi lambung,
dengan serangkaian langkah unik masuk ke dalam mukus, berenang dan orientasi spasial
di dalam mukus, melekat pada sel epitel lambung, menghindar dari respons immun, dan
sebagai akibatnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten.
5
Setelah memasuki saluran cerna, baktei H. Pylori harus menghindari aktivitas
bakterisidal yang terdapat dalam isi lumen lambung, dan masuk ke dalam lapisan mukus.
Produksi urease dan motilitas sangat penting berperan pada langkah awal infeksi ini.
Urease menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan ammonia, sehingga H. Pylori
mampu bertahan hidup dalam lingkungan yang asam. Aktivitas enzim ini diatur oleh suatu
saluran urea yang tergantung pH (PH-gated urea channel), Ure-I, yang terbuka pada pH yang
rendah, dan menutup aliran urea pada keadaan netral. Motilitas bakteri sangat penting pada
kolonisasi, dan flagel H. Pylori sangat baik beradaptasi pada lipatan-lipatan/relung-relung
lambung.
H. Pylori dapat terikat /melekat erat pada sel-sel epitel melalui berbagai komponen
permukaan bakteri. Adhesin yang sangat dikenal baik karakteristiknya adalah BabA, suatu
protein membran luar yang terikat pada group anti- gen darah Lewis B. Beberapa protein
lain famili Hop protein (protein membran luar) juga merupakan mediasi adhesi pada sel
epitel. Bukti-bukti menunjukkan bahwa adhesi, terutama oleh BabA, sangat relevan
6
dengan penyakit- penyakit terkait H. Pylori dan dapat mempengaruhi derajat beratnya
penyakit, meskipun beberapa hasil studi terdapat pula yang bertentangan.Sebagian besar
strain H. Pylori mengeluarkan suatu eksotoksin, Vac A (vacuolating cytotoxin). Toksin
tersebut masuk ke dalam membran sel epitel dan membentuk suatu saluran tergantung
voltase, suatu anion hexamer selektif, yang mana melalui saluran tersebut bikarbonat dan
anion- anion organik dapat dilepaskan, tampaknya juga untuk menyediakan nutrisi bagi
bakteri. VacA juga menyerang membran mitikondria, sehingga menyebabkan lepasnya
sitokrom c dan mengakibatkan apoptosis. Peran patogenik dari dari toksin masih
diperdebatkan. Pada studi-studi hewan, bakteri mutan tanpa VacA juga dapat melakukan
kolonisasi , dan strain dengan gen VacA yang inaktif telah pula diisolasi dari pasien-
pasien, menunjukkan bahwa VacA tidak esensial untuk kolonisasi. Namun demikian,
mutan tanpa VacA kalah kompetisi dari wild-type bakteri pada suatu studi pada tikus,
menunjukkan bahwa VacA meningkatkan vitalitas bakteri. Analisis peran VacA dipersulit
oleh kenyataan variabilitas VacA yang luas. Di negara-negara barat, varian gen-gen VacA
tertentu berhubungan dengan keadaan penyakit yang lebih berat. Namun demikian,
hubungan seperti itu tidak ditemukan di Asia, dan dasar fungsional yang mendasari
hubungan tersebut tidak diketahui.
7
translokasi CagA kedalam sel epitel gaster. Urease H. Pylori dan porin juga dapat berperan
pada terjadinya ekstravasasi dan kemotaksis neutrofil.
Selama respons immun spesifik, subgroup sel T yang berbeda timbul. Sel-sel ini
berpartisipasi dalam proteksi mukosa lambung, dan membantu membedakan antara bakteri
patogen dan komensal. Sel T helper immatur (Th 0) berdiferensiasi menjadi 2 subtipe
fungsional: sel Th-1, mensekresi interleukin 2 dan interferon gamma; dan Th-2, mensekresi
IL4, IL-5, dan IL- 10. Sel Th2 menstimulasi sel B sebagai respons terhadap patogen
ekstrasel, sedangkan Thl terutama timbul sebagai respons terhadap patogen intrasel.
Karena H. Pylori bersifat tidak invasif dan merangsang timbulnya respons humoral yang
kuat, maka yang diharapkan adalah respons sel TM. Namun timbul paradoks, sel-sel
mukosa gaster yang spesifik terhadap H. Pylori umumnya justru menunjukkan fenotip Thl.
Studi- studi menunjukkan bahwa sitokin Thl menyebabkan gastritis, sedangkan sitokin Th2
protektis terhadap peradangan lambung. Orientasi Thl tersebut tampaknya meningkatkan
produksi interleukin-l8 di antrum sebagai respons terhadap infeksi H. Pylori. Bias Thl
tersebut, bersama dengan apoptosis yang dimediasi Fas, menyebabkan infeksi H. pylori
menjadi persisten.
Kerusakan sel epitel lambung juga disebabkan oleh reactive oxygen dan nitrogen
species yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Inflamasi kronik juga meningkatkan
turn over sel epitel dan apotosis. Polimorfisme proinflamasi dari gen interleukin-lB
mengarahkan perkembangan gastritis terutama terjadi di korpus gaster dan berkaitan
8
dengan hipoklorhidria, atrofi gaster, dan adenokarsinoma gaster. Bila polimorfisme
proinflamasi tidak ada, gastritis akibat tL Pylori berkembang terutama di antrum, dan
berkatan dengan kadar sekrepi asam yang normal atau tinggi.
9
Tujuan pemeriksaan diagnostik infeksi Hp adalah untuk menetapkan adanya infeksi
sebelum memberikan pengobatan atau untuk penelitian epidemiologi. Selain itu untuk
mengamati apakah telah tercapai eradikasi sesudah pemberian obat antibiotik.
Ada 2 macam cara diagnosa infeksi H. pylori yaitu diagnosa invasif yang memerlukan
endoskopi dan biopsi mukosa lambung, dan diagnosa noninvasif yang tidak memerlukan
endoskopi dan biopsi.
1. Tes Nafas Urea (Urea Breath Test) untuk mengukur enzim urease yang ada dalam
lambung yang diproduksi oleh kuman H. pylori.
2. Tes Immunoserologic untuk deteksi antibodi terhadap kuman H. pylori dalam darah
penderita.
3. Deteksi antigen fekal untuk mendeteksi fragmen kuman H. pylori yang didapatkan
dalam tinja.
2.7 Serologi
Pada umumnya yang diperiksa adalah antibodi IgG terhadap kuman Helicobacter
pylori. Cara ini sering digunakan untuk penetitian epidemiologi atau untuk evaluasi sebelum
pemberian terapi eradikasi. Teknik yang dipakai adalah dengan menggunakan ELIS A,
Westernblot, fiksasi komplemen, dan imunofluoresen. ELISA paling luas penggunaannya.
10
Studi prevalensi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan metode PHA, Sedangkan
studi klinik umunnya. menggunakan ELISA.
Dewasa ini secara komersial telah cukup banyak tes ELISA yang tersedia dengan
cara penggunaan yang relatif sederhana dan hasil yang akurat. Yang menjadi masalah adalah
sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi secara geografis. Hal ini diduga karena
pengaruh faktor antigen lokal yang berbeda atau akibat titer yang relatif rendah, misalnya
pada kelompok pasien anak atau populasi tertentu. Dengan demikian dianggap perlu untuk
melakukan validasi tes sebelum digunakan secara meluas di suatu wilayah. Sebagai contoh,
studi di Jakarta menggunakan tes Elisa buatan Roche menunjukkan sensitivitas dan
spesifisitas yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan laporan dari negara Barat.
Untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitasnya, dapat dilakukan dengan menetapkan
cut offpoint sebagai batas hasil yang positif dan negatif dalam suatu populasi. Penelitian di
Jakarta menunjukkan, dengan menetapkan cut offpoint 1800 EU/L dapat ditingkatkan
sensitivitas tes ELISA.
Dalam perkembangannya cara ELISA telah dipakai pula untuk tes di ruang praktek
dokter, in ffice Hp test, dengan cara yang sederhana, tanpa sentrifugasi, bersifat kualitatif
dan hasilnya diperoleh dalam waktu 5 - l0 menit.
Selain serum, tes ELISA telah dilakukan pula pada saliva pasien terutama pada
anak. Sensitivitas dan spesifisitasnya lebih rendah dibandingkan dengan serum tetapi
diduga kadar antibodi dalam saliva menurun lebih awal pasca terapi eradikasi sehingga
mungkin dapat digunakan untuk menilai hasil terapi antimikrobial.
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk deteksi infeksi H. pylori secara non
invasif yang pertama kali dikemukakan pada tahun 1987 oleh Graham dan Bell. Cara
kerjanya adalah dengan menyuruh pasien menelan urea yang mengandung isotop Carbon,
baik 13C ataupun l4C. Bila ada aktivitas urease dari kuman H. pylori akan dihasilkan isotop
karbon dioksida yang diserap dan dikeluarkan melalui pernapasan. Hasilnya dinilai dengan
membandingkan kenaikan ekskresi isotop dibandingkan dengan nilai dasar. Bila hasilnya
positif berarti terdapat infeksi kuman H. pylori. l3C merupakan isotop nonradioaktif,
ditemukan pada l,ll % karbon dioksida yang keluar melalui udara pernapasan normal.
11
Dianggap positif bila terjadi kenaikan minimal 0,01 % kadar isotop, sehingga dibutuhkan
alat mass spectrometer yang sangat sensitif tetapi harganya sangat mahal. Mula-mula
diambil sampel udara pernapasan untuk menentukan nilai dasar. Kemudian diberikan tes
mealberupacairan dengan kalori tinggi atau larutan 0,1 N asam sitrat untuk memperlambat
pengosongan lambung sehingga kontak antara isotop dengan mukosa lambung lebih
baik.
Dosis 13C yang diberikan adalah dalam bentuk urea sebanyak 75-100 mg yang
memberikan akurasi lebih dari Terdapat berbagai modifikasi protokol sehingga setiap
perubahan memerlukan validasi untuk mempertahankan akurasi pemeriksaan.
Dalam hal akurasi, kedua cara ini setara, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih
dari 90 %. Hasil positif palsu harus dipertimbangkan bila diduga ada mikroorganisme lain
yang juga menghasilkan urease pada keadaan aklorhidria. Hasil negatifpalsu dapat terjadi
bila pasien mendapat antibiotik. antasid- bismuth. atau anti sekresi asam. Karena itu
dianjurkan unruk menghentikan obat tersebut dua minggu sebelum dilakukan
pemeriksaan. Penggunaan UBT mempunyai kelebihan dibandingkan dengan tes yang
meng-eunakan spesimen biopsi karena mewakili seluruh permukaan mukosa lambung.
12
Aplikasi klinis digunakan untuk deteksi infeksi pada studi epidemiologi dan individu pasien
dan konfirmasi keberhasilan terapi eradikasi yang dilakukan sesudah 4 Minggu kemudian.
Dapat disimpulkan bahwa indikasi tes serologi dan UBT agak tumpang tindih,
sehingga pemanfaatannya harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Pemeriksaan serologi lebih mudah, murah sehingga sangat cocok untuk suatu penelitian
populasi yang luas. Pemeriksaan UBT tidak memerlukan validasi lokal, menetapkan
adanya infeksi yang aktif, dan merupakan pemeriksaan baku emas untuk konfirmasi hasil
terapi eradikasi. Dengan adanya pemeriksaan noninvasif, terbuka kesempatan untuk
melakukan penatalaksanaan pasien dispepsia ditingkat pelayanan primer oleh dokter
umum, dengan memperhatikan latar belakang prevalensi infeksi H. pylori sertapenyakit
yang menyertainya, terutama tukak peptik dan keganasan lambung.
Tersedia berbagai pilihan mulai yang dibuat sendiri dalam bentuk cairan ataupun
padat seperti tes CLO. Dasarnya adalah adanya enzim urease dari kuman H. pylori yang
mengubah urea menjadi amonia yang bersifat basa sehingga terjadi perubahan warna
13
media menjadi merah. Hasilnya dapat dibaca dalam beberapa menit sampai 24 jam, dan
pengambilan lebih dari satu spesimen akan meningkatkan akurasi pemeriksaan ini.
Sensitivitas pemeriksaan ini sekitar 89-98% sedangkan spesifisitasnyamencapai l00%.
2.11 Histopathology
14
2.13 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Terdapat hubungan timbal balik antara infeksi Helicobacter pylori, gastritis dengan
asam lambung. Infeksi Hp yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam
lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan
menstimulasi sekresi gastrin, yang selanjutnya akan merangsang sel parietal untuk
meningkatkan sekresi asam lambung. Infeksi Hp akan meningkatkan kadar Gastrin, yang
terutama berasal dari mukosa antrum. Selain itu peningkatan sekresi gastrin juga terjadi
akibat menurunnya kadar somatostatin dalam mukosa antrum, yang berasal dari sel D.
Dalam hal ini secara fisiologis somatostatin atau sel D berfungsi sebagai acid brake,
menekan fungsi sel G dan sekresi asam lambung oleh sel Parietal. Mekanisme lain adalah
melalui peran sitokin lokal akibat inflamasi antrum yang juga dapat mempengaruhi sekresi
somatostatin maupun gastrin.
15
asam lambung tinggi, akan terjadi gastritis predominan antrum, sedangkan bila rendah
akan terjadi gastritis predominan korpus dengan akibat penyakit yang berbeda.
Seperti telah dikemukakan. manifestasi klinis akan sangat bervariasi mulai dari
tanpa gejala, dispepsia fungsional,tukak peptik sampai kanker lambung. Karena lamanya
hasil pembiakan H. pylori maka untuk mendapatkan hasil yang cepat maka sering digunakan
rapid urease test, yang lebih dikenal dengan CLO test (CLO adalah singkatan dari
Campylobacter Like Organism). Dalam tes ini spesimen biopsi mukosa lambung dimasukkan
dalam medium agar yang dicampur urea dan indikator. Bila dalam bahan biopsi tersebut
mengandung urease maka akan terjadi perubahan warna dari kuning menjadi merah.
Sebagian besar individu yang terkena infeksi H. pylori tidak mengalami keluhan
walaupun pada pemeriksaan biopsi mukosa lambung pada kasus-kasus asimptomatik
sebagian besar didapatkan gambaran gastritis kronik aktif.
Cara penegakkan diagnosa yang banyak dipakai dengan hasil yang baik adalah
dengan diagnosa histologis
Cara lain adalah tes napas urea (urea breath test) dan pemeriksaan serologik. Kedua
cara ini tidak memerlukan endoskopi.
Belakangan ini ditemukan cara diagnosa infeksi H. pylori dengan cara deteksi
antigen kuman H. pylori pada tinja penderita dengan metoda Elisa
16
2.16 Indikasi Terapi Eradikasi Helicobacter Pylori
Pada dasarnya dikenal terapi kombinasi yang didasarkan pada obat bismuth dan
terapi yang didasarkan pada penghambat pompa proton (PPI). Mula-mula digunakan
senyawa bismuth sebagai obat tunggal, dengan hasil yang kurang memuaskan sehingga
dikembangkan terapi kombinasi dual, tripel bahkan terapi kuadrapel. Waktu pemberian
juga terus diusahakan untuk diberikan sesingkat mungkin mulai dari 4, 2, dan dewasa ini
umumnya dianjurkan untuk waktu satu minggu. Perkembangan ini sangat mendukung
kepatuhan pasien, karena selain efektivitas yang cukup tinggi, kemungkinan efek samping
menjadi lebih kecil. Walaupun relatif cukup mahal, terapi kombinasi dinilai cukup cost
effective terutama karena dapat menekan angka kekambuhan dalam jangka panjang,
misalnya dalam pengobatan tukak duodeni dan tukak lambung.
17
Tukak duodenum 100%
Tukak lambung 80-90%
Gastritis Kronik 40%
kombinasi antara penghambat pompa proton dengan dua atau tiga macam
antibiotik. Pertemuan konsensus nasional penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori di
Jakarta pada bulan Januari 2003 menganjurkan regimen terapi sebagai berikut:
Urutan Prioritas
Dosis
Omeprazole 2x20mg
Lansoprazole 2x30mg
Rabeprazole 2x l0mg
Esomeprazole 2x20mg
3. Klaritromisin :2x500mg/hari
4. Metronidazol : 3x500mg/hari
5. Tetrasiklin : 4x250mg/hari
18
Terapi lini kedua / terapi kuadrupel
Terapi lini kedua dilakukanjika terdapat kegagalan pada lini pertama. Kriteria gagal : 4
minggu pasca terapi, kuman H. Pylori tetap positif berdasarkan pemeriksaan I-IBT/ HpSA
atau histopatologi.
Urutan prioritas
Bila terapi lini kedua gagal, sangat dianjurkan pemeriksaan kultur dan resistensi H.
Pylori dengan media transport MIU.
19
makrolid (> 20% resisten terhadap klaritromisin), terapi lini pertama sebaiknya terapi
kuadrupel. Studi metanalisis terapi kuadrupel sebagai terapi lini pertama menunjukkan
tingkat eradikasi lebih dari 85%, bahkan pada area dengan resistensi terhadap metronidazol
yang tinggi, dan 69% lebih efektif dibandingkan PAC pada keadaan terdapat resistensi
terhadap klaritromisin. Analisa cost effective terapi tripel atau terapi kuadripel tampak
serupa, namun terapi kuadrupel tampaknya sedikit lebih cost-effective.
20
Dari segi biaya, regimen terapi dengan eradikasi lebih dari 90 % akan
menyembuhkan tukak peptik, tanpa perlu terapi pemeliharaan sehingga leblh cost effective
dibandingkan dengan terapi konvensional. Terapi tripel pada awalnya jelas lebih mahal,
tetapi dalam jangka panjang akan lebih murah. apalagi bila diperhitungkan peningkatan
kualitas hidup, terbebas dari keluhan dan gangguan penyakit.
Terapi Mono
Terapi Dual
Bismuth/amoksisilin 30-60%
Bismuth/metronidazol 30-60%
Amoksisilin/metronidazol 55-95%
21
IPP/Amoksisilin 55-95%
IPP/klaritromisin 70-90%
Ranitidin bismuth sitrat 70-80%
Terapi Tripel
Bismuth/metro/tetra 80-95%
IPP/metro/amoksilin atau klaritromisin 70-95%
I PP/amoksilin/klaritromisin 70-90%
Terapi Kuadrupel
Bismuthimetro/tetra/l PP >90%
22
BAB III
KESIMPULAN
Helicobacter adalah nama genus kuman yang berbentuk spiral atau batang bengkok
dan berflagela yang mengalami adaptasi untuk dapat hidup dalam mukus (lendir) lambung
yang menutupi selaput lendir (mukosa) lambung yang bersuasana asam kuat. Kuman ini
bersifat pleomorfik artinya dapat dijumpai dalam beberapa bentuk. Dalam keadaan normal
kuman ini berbentuk spiral atau batang bengkok, tetapi dalam keadaan tertentu yang kurang
baik akan merubah dirinya menjadi bentuk kokoid yang merupakan bentuk pertahanan yang
resisten..
Mukosa gaster terlindungi sangat baik dari infeksi bakteri, namun H. Pylori
memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan ekologi lambung,
dengan serangkaian langkah unik masuk ke dalam mukus, berenang dan orientasi spasial
di dalam mukus, melekat pada sel epitel lambung, menghindar dari respons immun, dan
sebagai akibatnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten.
Infeksi Helicobacter pylori (Hp) pada saluran cema bagian atas mempunyai variasi
klinis yang luas, mulai dari kelompok asimtomatik sampai tukak peptik, bahkan dihubungkan
dengan keganasan di lambung seperti adenokarsinoma tipe intestinal atau mucosal
associated lymphoid tissue (MAIJI) Limfoma
Sebagian besar individu yang terkena infeksi H. pylori tidak mengalami keluhan
walaupun pada pemeriksaan biopsi mukosa lambung pada kasus-kasus asimptomatik
sebagian besar didapatkan gambaran gastritis kronik aktif.
23
Cara penegakkan diagnosa yang banyak dipakai dengan hasil yang baik adalah
dengan diagnosa histologis.Cara lain adalah tes napas urea (urea breath test) dan pemeriksaan
serologik. Kedua cara ini tidak memerlukan endoskopi.Belakangan ini ditemukan cara
diagnosa infeksi H. pylori dengan cara deteksi antigen kuman H. pylori pada tinja penderita
dengan metoda Elisa
Urutan Prioritas
Urutan prioritas
24
menggunakan metoda diagnostik yang paling peka dan non invasif, terutama untuk
penelitian epidemiologis.
25
Daftar Pustaka
26