Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Sejak penemuan kuman Helicobacter pylori (HP) oleh marshall dan warren pada
tahun 1983, kemudian terbukti bahwa infeksi HP merupakan masalah global, termasuk di
Indonesia,sampai saat ini belum jelas betul proses penularan serta patomekanisme infeksi
kuman ini pada berbagai keadaan patologis saluran cerna bagian atas (SCBA). Pada tukak
peptik infeksi HP merupakan faktor etiologi yang utama, sedangkan untuk kanker lambung
termasuk karsinogen tipe I, yang definitif.

Pada keadaan lain seperti dispepsia non ulkus dengan infeksi HP, para ahli belum
bersepakat tentang perannya sebagai faktor etiologi.

Selanjutnya masih menjadi pertanyaan seberapa jauh infeksi HP menjadi masalah


kesehatan, termasuk di indonesia. Hal ini perlu kejelasan karena konsekuensinya menyangkut
penatalaksanaan dan pencegahan di masyarakat yang memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Secara khusus perlu data tentang hubungan antara infeksi HP dengan tukak peptik, gastritis
kronik aktif dan selanjutnya dengan kejadian kanker lambung. Bila kemudian hubungan
tersebut dapat dibuktikan dan dapat ditentukan kelompok masyarakat dengan resiko tinggi,
terbuka kemungkinan untuk melakukan vaksinasi, baik untuk pencegahan primer ataupun
vaksinasi terapeutik.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Bakteri

Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Class : Epsilon Proteobacteria

Order : Campylobacterales

Family : Helicobacteraceae

Genus : Helicobacter

Species : H. Pylori

Helicobacter adalah nama genus kuman yang berbentuk spiral atau batang bengkok
dan berflagela yang mengalami adaptasi untuk dapat hidup dalam mukus (lendir) lambung
yang menutupi selaput lendir (mukosa) lambung yang bersuasana asam kuat. Kuman ini
dapat bertahan hidup dalam suasana asam kuat dengan cara memproduksi enzim urease.
Enzim urease akan mengubah urea yang ada dalam cairan lambung menjadi amoniak. Tubuh
kuman Helicobacter selalu diliputi oleh awan amoniak ini, dan karenanya dapat bertahan
terhadap asam lambung.

Kuman ini bersifat pleomorfik artinya dapat dijumpai dalam beberapa bentuk. Dalam
keadaan normal kuman ini berbentuk spiral atau batang bengkok, tetapi dalam keadaan
tertentu yang kurang baik akan merubah dirinya menjadi bentuk kokoid yang merupakan
bentuk pertahanan yang resisten.

Kuman ini termasuk kuman mikroaerofilik artinya hanya tumbuh dalam suasana
dimana didapatkan oksigen dalam kadar rendah. Kuman ini mati pada suasana dengan kadar
oksigen normal, dan mati dalam keadaan anaerobik sempurna.

2
2.2 Epidemiologi

Prevalensi infeksi Helicobacter Pylori di negara berkembang lebih tinggi


dibandingkan negara maju. Prevalensi pada populasi negara maju sekitar 30-40%, sedangkan
di negara berkembang mencapai 80-90%. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 10-20% yang
akan menjadi penyakit gastroduodenal.

Studi seroepidemiologi di Indonesia menunjukkan prevalensi 36-46,1% dengan usia


termuda 5 bulan. Pada kelompok usia muda dibawah 5 tahun 5,3-15,4% telah terinfeksi, dan
diduga infeksi pada usia dini berperan sebagai faktor resiko timbulnya degenerasi maligna
pada usia yang lebih lanjut, karena kenyataannya prevalensi kanker lambung di indonesia
relatif rendah, demikian pula prevalensi tukak peptik. Agaknya selain faktor bakteri, faktor
pejamu dan faktor lingkungan yang berbeda akan menentukan terjadinya kelainan patologis
akibat infeksi.

Secara umum telah diketahui bahwa infeksi HP merupakan masalah global, tetapi
mekanisme transmisi apakah oral-oral atau fekal oral belum diketahui dengan pasti. Studi di
Indonesia menunjukkan hubungan antara tingkat sanitasi lingkungan dengan prevalensi
infeksi HP, sedangkan data diluar negeri menunjukkan hubungan antara infeksi dengan
penyediaan atau sumber air minum.

Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi tukak peptik pada
pasien dispepsia yang di endoskopi berkisar antara 5,78% di Jakarta sampai 16,91 % di
medan. Data penelitian prevalensi infeksi HP pada pasien tukak peptik dapat dilihat pada
tabel 1.

Tabel 1. Prevalensi HP pada pasien tukak peptik di Indonesia

Peneliti Daerah Tukak Metoda Prevalensi (%)


Diagnosis
Manan CH Jakarta Duodeni CLO 100
Jayapranata Surabaya Duodeni CLO 93,9

3
Jayapranata Surabaya Gaster CLO 85,7

Pada kelompok pasien dispepsia non ulkus. Prevalensi infeksi HP yang dilaporkan
berkisar antara 20-40%, dengan metoda diagnostik yang berbeda yaitu seologi, kultur dan
histopatologi. Angka tersebut memberi gambaran bahwa pola infeksi di Indonesia tidak
terjadi pada usia dini tetapi pada usia yang lebih lanjut, tidak sama dengan pola negara
berkembang lain seperti di Afrika. Agaknya yang berperan adalah faktor lingkungan dan juga
faktor perbedaan ras.

Tingginya prevalensi infeksi dalam masyarakat tidak sesuai dengan prevalensi


penyakit SCBA seperti tukak peptik ataupun karsinoma lambung. Diperkirakan hanya sekitar
10-20% saja yang menimbulkan penyakit gastroduodenal.

2.3 Strain Helicobacter Pylori yang Patogen

Infeksi Helicobacter pylori (Hp) pada saluran cema bagian atas mempunyai variasi
klinis yang luas, mulai dari kelompok asimtomatik sampai tukak peptik, bahkan dihubungkan
dengan keganasan di lambung seperti adenokarsinoma tipe intestinal atau mucosal
associated lymphoid tissue (MAIJI) Limfoma.

Data epidemiologis dari berbagai bagian duniamenunjukkan adanya perbedaan


geografis dan juga korelasi yang tidak sesuai antara prevalensi infeksi dengan prevalensi
spektrum klinis seperti tukak peptik ataupun kanker lambung. Di Indonesia prevalensi Hp
berdasarkan studi seroepidemilogi termasuk cukup tinggi, tetapi sebaliknya prevalensi
berbagai keiainan klinis seperti tukak peptik maupun kanker lambung sangat rendah.

Dalam hal ini perlu dipertimbangkan peran faktor pejamu termasuk faklor genetik
maupun faktor lingkungan yang selain mempengaruhi kuman Hp agaknya juga mungkin
dapat mempengaruhi fisiologi maupun imunologi pejamu.

Situasi yang berbeda terjadi di Jepang, suatu negarayang maju, dengan prevalensi
Hp yang relatif rendah tetapi dengan prevalensi kanker lambung yang tinggi. Dari
sisikuman Hp diketahui terdapat beberapa strain yanglebih virulen sehingga selalu
ditemukan pada pasien dengan tukak peptik, gastritis kronik, maupun kanker lambung.
Gen Vac A selalu dapat ditemukan pada kuman Hp, tetapi tidak semuanya menghasilkan

4
sitotoksin. Ternyata struktur gen ini sangat heterogen di mana pada strain penghasil
sitotoksin yang linggi terdapat sekuen signal yang tertentu.

Gen CagA hanya ditemukan pada sebagian strain, dan merupakan salah satu dari
kelompok yang terdiri dari 20 gen lain, membentuk apa yang disebut sebagai pulau
patogenesitas ( pathogenicity island). Asosiasi antara CagA dengan tukak peptik atau
kanker lambung mungkin melalui respons inflamasi yang meningkat terhadap Hp yang
mengandung CagA.

Untuk tukak peptik, CagA merupakan petanda yang paling baik, tetapi di daerah
dengan prevalensi CagA yang tinggi tidak mungkin untuk membuktikan asosiasi tersebut
dengan melakukan suatu panelitian kasus kelola. Berbagai strain Hp menghasilkan
vacuolating cytotoxin, mengandung kluster gen CagA yang dapat menginduksi IL-S.
Protein CagA dan gen CagA mungkin merupakan satu petanda straln yang ulserogenik dan
karsinogenik. Di Jepang. antibodi anti CagA tidak memberi petunjuk yang berguna
terhadap kemungkinan kelainan tersebut. Struktur gen CagA daur strain yang menyebabkan
tukak lambung dan tukak duodenum di Jepang sangat berbeda. Hal tersebut memberi
petunjuk perlunya diketahui profil antibodi anti CagA secara lebih rinci untuk dapat
menjelaskan makna klinis strainHp tersebut.

Penelitian diversitas genetik Hp dan interaksi dengan respons antibodi pejamu


merupakan kunci untuk memahami diversitas penyakit akibat infeksi Hp. Di Indonesia
belum ada data penelitian tentang prevalensi infeksi strain Hp, tetapi di masa depan hal ini
perlu dilakukan agar dapat ditetapkan hubungannya dengan kelainan patologis saluran
cerna bagian atas.

2.4 Patogenesis

Mukosa gaster terlindungi sangat baik dari infeksi bakteri, namun H. Pylori
memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan ekologi lambung,
dengan serangkaian langkah unik masuk ke dalam mukus, berenang dan orientasi spasial
di dalam mukus, melekat pada sel epitel lambung, menghindar dari respons immun, dan
sebagai akibatnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten.

5
Setelah memasuki saluran cerna, baktei H. Pylori harus menghindari aktivitas
bakterisidal yang terdapat dalam isi lumen lambung, dan masuk ke dalam lapisan mukus.
Produksi urease dan motilitas sangat penting berperan pada langkah awal infeksi ini.
Urease menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan ammonia, sehingga H. Pylori
mampu bertahan hidup dalam lingkungan yang asam. Aktivitas enzim ini diatur oleh suatu
saluran urea yang tergantung pH (PH-gated urea channel), Ure-I, yang terbuka pada pH yang
rendah, dan menutup aliran urea pada keadaan netral. Motilitas bakteri sangat penting pada
kolonisasi, dan flagel H. Pylori sangat baik beradaptasi pada lipatan-lipatan/relung-relung
lambung.

H. Pylori dapat terikat /melekat erat pada sel-sel epitel melalui berbagai komponen
permukaan bakteri. Adhesin yang sangat dikenal baik karakteristiknya adalah BabA, suatu
protein membran luar yang terikat pada group anti- gen darah Lewis B. Beberapa protein
lain famili Hop protein (protein membran luar) juga merupakan mediasi adhesi pada sel
epitel. Bukti-bukti menunjukkan bahwa adhesi, terutama oleh BabA, sangat relevan

6
dengan penyakit- penyakit terkait H. Pylori dan dapat mempengaruhi derajat beratnya
penyakit, meskipun beberapa hasil studi terdapat pula yang bertentangan.Sebagian besar
strain H. Pylori mengeluarkan suatu eksotoksin, Vac A (vacuolating cytotoxin). Toksin
tersebut masuk ke dalam membran sel epitel dan membentuk suatu saluran tergantung
voltase, suatu anion hexamer selektif, yang mana melalui saluran tersebut bikarbonat dan
anion- anion organik dapat dilepaskan, tampaknya juga untuk menyediakan nutrisi bagi
bakteri. VacA juga menyerang membran mitikondria, sehingga menyebabkan lepasnya
sitokrom c dan mengakibatkan apoptosis. Peran patogenik dari dari toksin masih
diperdebatkan. Pada studi-studi hewan, bakteri mutan tanpa VacA juga dapat melakukan
kolonisasi , dan strain dengan gen VacA yang inaktif telah pula diisolasi dari pasien-
pasien, menunjukkan bahwa VacA tidak esensial untuk kolonisasi. Namun demikian,
mutan tanpa VacA kalah kompetisi dari wild-type bakteri pada suatu studi pada tikus,
menunjukkan bahwa VacA meningkatkan vitalitas bakteri. Analisis peran VacA dipersulit
oleh kenyataan variabilitas VacA yang luas. Di negara-negara barat, varian gen-gen VacA
tertentu berhubungan dengan keadaan penyakit yang lebih berat. Namun demikian,
hubungan seperti itu tidak ditemukan di Asia, dan dasar fungsional yang mendasari
hubungan tersebut tidak diketahui.

Beberapa strain H. Pylori memllikt cag-PAI (cag pathogenicity island), suatu


fragmen genom yang mengandung 29 gen. Beberapa gen ini menyandi komponen-
komponen sekresi yang men-translokasi CagA kedalam sel pejamu. Setelah memasuki sel
epitel, CagA difosforilasi dan terikat pada SHP-2 tirosin fosfatase, menimbulkan respons
selular growthfactor-like danproduksi sitokil oleh sel pejamu.

2.5 Respons Pejamu Terhadap H.Pylori

H. Pylori menyebabkan peradangan lambung yang terus- menerus. Respon


peradangan ini mula-mula terdiri dari penarikan neutrofil, diikuti limfosit T dan B, sel
plasma, dan makrofag, bersamaan dengan terjadinya kerusakan sel epitel. Karena H. Pylori
sangat jarang menginvasi mukosa gaster, respon pejamu terutama dipicu oleh menempel/
melekatnya bakteri pada sel epitel. Patogen tersebut dapat terikat pada molekul MHC c/ass
11 di permukaan sel epitel gaster dan menginduksi terjadinya apoptosis. Perubahan lebih
lanjut dalam sel epitel tergantung pada protein-protein yang disandi pada cag-PAI dan

7
translokasi CagA kedalam sel epitel gaster. Urease H. Pylori dan porin juga dapat berperan
pada terjadinya ekstravasasi dan kemotaksis neutrofil.

Epitel gaster pasien yang terinfeksi H. Pylori meningkatkan kadar interleukin-1B,


interleukin-2, interleukin-6, interleukin-8, dan tumor nekrosis faktor alfa. Di antara semua
itu, interleukin-S, suatu neutrophil-acti- vating chemokine yang poten yang diekspresikan
oleh sel epitel gaster, tampaknya berperan penting. Shain 11. Pylori yang mengandung
cag-PAl menimbulkan respons interleukin-8 yang jauh lebih kuat dibandingkan strain yang
tidak mengandung cag, dan respons ini tergantung pada aktivasi nuclear factor-rcB (NF-
KB) dan respons segera dari faldor transkripsi activator protein I (AP-l).

Infeksi H. Pylori merangsang timbulnya respons humoral mukosa dan sistemik.


Produksi antibodi yang terjadi tidak dapat menghilangkan/eradikasi infeksi, bahkan
menimbulkan kerusakan jaringan. Pada beberapa pasien yang terinfeksi H. Pylorl timbul
respons autoantibodi terhadap H+/I(+-ATPase sel-sel parietal lambung yang berkaitan
dengan meningkatnya atrofi korpus gaster.

Selama respons immun spesifik, subgroup sel T yang berbeda timbul. Sel-sel ini
berpartisipasi dalam proteksi mukosa lambung, dan membantu membedakan antara bakteri
patogen dan komensal. Sel T helper immatur (Th 0) berdiferensiasi menjadi 2 subtipe
fungsional: sel Th-1, mensekresi interleukin 2 dan interferon gamma; dan Th-2, mensekresi
IL4, IL-5, dan IL- 10. Sel Th2 menstimulasi sel B sebagai respons terhadap patogen
ekstrasel, sedangkan Thl terutama timbul sebagai respons terhadap patogen intrasel.
Karena H. Pylori bersifat tidak invasif dan merangsang timbulnya respons humoral yang
kuat, maka yang diharapkan adalah respons sel TM. Namun timbul paradoks, sel-sel
mukosa gaster yang spesifik terhadap H. Pylori umumnya justru menunjukkan fenotip Thl.
Studi- studi menunjukkan bahwa sitokin Thl menyebabkan gastritis, sedangkan sitokin Th2
protektis terhadap peradangan lambung. Orientasi Thl tersebut tampaknya meningkatkan
produksi interleukin-l8 di antrum sebagai respons terhadap infeksi H. Pylori. Bias Thl
tersebut, bersama dengan apoptosis yang dimediasi Fas, menyebabkan infeksi H. pylori
menjadi persisten.

Kerusakan sel epitel lambung juga disebabkan oleh reactive oxygen dan nitrogen
species yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Inflamasi kronik juga meningkatkan
turn over sel epitel dan apotosis. Polimorfisme proinflamasi dari gen interleukin-lB
mengarahkan perkembangan gastritis terutama terjadi di korpus gaster dan berkaitan

8
dengan hipoklorhidria, atrofi gaster, dan adenokarsinoma gaster. Bila polimorfisme
proinflamasi tidak ada, gastritis akibat tL Pylori berkembang terutama di antrum, dan
berkatan dengan kadar sekrepi asam yang normal atau tinggi.

Gambaran/karakteristik relevansi klinis patofisiologi infeksi H. Pylori adalah:

 Eksotoksin Vac A disekresi oleh sebagian besar/ mayoritas strain 1L Pylori.


Polimorfisme gen Vac A berkaitan dengan keadaan penyakit yang lebih berat.
 Tingginya kadar fosfolipase A (PLA) memungkinkan,F1p memasuki / penetrasi ke
dalam mukus gaster. Kadar PLA yang tinggi disekresi oleh strain Hp yang diisolasi
dari pasien-pasien kanker lambung.
 Hp menyebabkan peradangan pada antrum (antritis) atau korpus (korpusitis)
gaster, atau sering pula pada keduanya (pangastritis). Pada antritis, terjadi
hipergastrilemia, meningkatnya produksi asam, dan suatu risiko tinggi terjadinya
ulkus duodenum. Mengapa hanya sekitar 2 - 20%o dari antritis yang berkembang
menjadi ulkus duodenum masih belum jelas.
 Duodenitis terjadi disebabkan kolonisasi pulau-pulau metaplasia gaster di dalam
bulbus duodenum, yang dicetuskan (triggeredl oleh tingginya produksi asam.
 Korpusitis Hp berkaitan dengan ulkus gaster, atrofi mukosa gaster, menurunnya
sekresi asam sehingga terjadi 2,5 kali peningkatan risiko kanker gaster.

2.6 Diagnosis Infeksi Helicobacter Pylori

Kuman Helicobacter pylori bersifat mikroaerofilik dan hidup di lingkungan yang


unik, dibawah mukus dinding lambung yang bersuasana asam. Kuman ini mempunyai
enzim urease yang dapat memecah ureum menjadi amonia yang bersifat basa, sehingga
tercipta lingkungan mikro yang memungkinkan kuman ini bertahan hidup. Karena itu
prosedur diagnostik cukup sulit karena harus melakukan tindakan yang invasif yaitu dengan
melakukan gastroskopi untuk mendapatkan spesimen yang diperlukan untuk pemeriksaan
langsung, histopatologi ataupun kultur mikrobiologi. Selain itu terdapat pemeriksaan non
invasif seperti tes serologi dan urea breath test (UBT).

9
Tujuan pemeriksaan diagnostik infeksi Hp adalah untuk menetapkan adanya infeksi
sebelum memberikan pengobatan atau untuk penelitian epidemiologi. Selain itu untuk
mengamati apakah telah tercapai eradikasi sesudah pemberian obat antibiotik.

Ada 2 macam cara diagnosa infeksi H. pylori yaitu diagnosa invasif yang memerlukan
endoskopi dan biopsi mukosa lambung, dan diagnosa noninvasif yang tidak memerlukan
endoskopi dan biopsi.

Diagnosa invasif meliputi :

1. Deteksi kuman H. pylori dengan cara pemeriksaan histopatologik


2. Tes urease cepat yang mendeteksi adanya enzim urease dalam spesimen biopsi
lambung.
3. Pembiakan kuman H. pylori dari spesimen biopsi lambung.
4. Pemeriksaan PCR spesimen biopsi lambung

Diagnosa noninvasif meliputi :

1. Tes Nafas Urea (Urea Breath Test) untuk mengukur enzim urease yang ada dalam
lambung yang diproduksi oleh kuman H. pylori.
2. Tes Immunoserologic untuk deteksi antibodi terhadap kuman H. pylori dalam darah
penderita.
3. Deteksi antigen fekal untuk mendeteksi fragmen kuman H. pylori yang didapatkan
dalam tinja.

2.7 Serologi

Pemeriksaan serologi banyak digunakan dalam penelitian epidemiologi karena


relatif murah dan dapat diterima oleh kelompok pasien asimtomatik atau anak-anak yang
tidak mau diperiksa dengan cara yang invasif seperti gastroskopi.

Pada umumnya yang diperiksa adalah antibodi IgG terhadap kuman Helicobacter
pylori. Cara ini sering digunakan untuk penetitian epidemiologi atau untuk evaluasi sebelum
pemberian terapi eradikasi. Teknik yang dipakai adalah dengan menggunakan ELIS A,
Westernblot, fiksasi komplemen, dan imunofluoresen. ELISA paling luas penggunaannya.

10
Studi prevalensi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan metode PHA, Sedangkan
studi klinik umunnya. menggunakan ELISA.

Dewasa ini secara komersial telah cukup banyak tes ELISA yang tersedia dengan
cara penggunaan yang relatif sederhana dan hasil yang akurat. Yang menjadi masalah adalah
sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi secara geografis. Hal ini diduga karena
pengaruh faktor antigen lokal yang berbeda atau akibat titer yang relatif rendah, misalnya
pada kelompok pasien anak atau populasi tertentu. Dengan demikian dianggap perlu untuk
melakukan validasi tes sebelum digunakan secara meluas di suatu wilayah. Sebagai contoh,
studi di Jakarta menggunakan tes Elisa buatan Roche menunjukkan sensitivitas dan
spesifisitas yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan laporan dari negara Barat.
Untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitasnya, dapat dilakukan dengan menetapkan
cut offpoint sebagai batas hasil yang positif dan negatif dalam suatu populasi. Penelitian di
Jakarta menunjukkan, dengan menetapkan cut offpoint 1800 EU/L dapat ditingkatkan
sensitivitas tes ELISA.

Dalam perkembangannya cara ELISA telah dipakai pula untuk tes di ruang praktek
dokter, in ffice Hp test, dengan cara yang sederhana, tanpa sentrifugasi, bersifat kualitatif
dan hasilnya diperoleh dalam waktu 5 - l0 menit.

Selain serum, tes ELISA telah dilakukan pula pada saliva pasien terutama pada
anak. Sensitivitas dan spesifisitasnya lebih rendah dibandingkan dengan serum tetapi
diduga kadar antibodi dalam saliva menurun lebih awal pasca terapi eradikasi sehingga
mungkin dapat digunakan untuk menilai hasil terapi antimikrobial.

2.8 Urea Breath Test(UBT)

Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk deteksi infeksi H. pylori secara non
invasif yang pertama kali dikemukakan pada tahun 1987 oleh Graham dan Bell. Cara
kerjanya adalah dengan menyuruh pasien menelan urea yang mengandung isotop Carbon,
baik 13C ataupun l4C. Bila ada aktivitas urease dari kuman H. pylori akan dihasilkan isotop
karbon dioksida yang diserap dan dikeluarkan melalui pernapasan. Hasilnya dinilai dengan
membandingkan kenaikan ekskresi isotop dibandingkan dengan nilai dasar. Bila hasilnya
positif berarti terdapat infeksi kuman H. pylori. l3C merupakan isotop nonradioaktif,
ditemukan pada l,ll % karbon dioksida yang keluar melalui udara pernapasan normal.

11
Dianggap positif bila terjadi kenaikan minimal 0,01 % kadar isotop, sehingga dibutuhkan
alat mass spectrometer yang sangat sensitif tetapi harganya sangat mahal. Mula-mula
diambil sampel udara pernapasan untuk menentukan nilai dasar. Kemudian diberikan tes
mealberupacairan dengan kalori tinggi atau larutan 0,1 N asam sitrat untuk memperlambat
pengosongan lambung sehingga kontak antara isotop dengan mukosa lambung lebih
baik.

Dosis 13C yang diberikan adalah dalam bentuk urea sebanyak 75-100 mg yang
memberikan akurasi lebih dari Terdapat berbagai modifikasi protokol sehingga setiap
perubahan memerlukan validasi untuk mempertahankan akurasi pemeriksaan.

Isotop 14 C memancarkan radiasi yang dapat dianalisis dengan scintillation counter.


Pengambilan sampel dilakukan sesudah 10 dan 20 menit baik dengan atau tanpa tes meal.
Cara ini relatif murah, tetapi harus diperhatikan standar keamanan yang baik, walaupun
sebenamya dosis radiasi sangat kecil. Cara ini tidak dianjurkan pada perempuan hamil
ataupun anak-anak.

Dalam hal akurasi, kedua cara ini setara, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih
dari 90 %. Hasil positif palsu harus dipertimbangkan bila diduga ada mikroorganisme lain
yang juga menghasilkan urease pada keadaan aklorhidria. Hasil negatifpalsu dapat terjadi
bila pasien mendapat antibiotik. antasid- bismuth. atau anti sekresi asam. Karena itu
dianjurkan unruk menghentikan obat tersebut dua minggu sebelum dilakukan
pemeriksaan. Penggunaan UBT mempunyai kelebihan dibandingkan dengan tes yang
meng-eunakan spesimen biopsi karena mewakili seluruh permukaan mukosa lambung.

12
Aplikasi klinis digunakan untuk deteksi infeksi pada studi epidemiologi dan individu pasien
dan konfirmasi keberhasilan terapi eradikasi yang dilakukan sesudah 4 Minggu kemudian.

Dapat disimpulkan bahwa indikasi tes serologi dan UBT agak tumpang tindih,
sehingga pemanfaatannya harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Pemeriksaan serologi lebih mudah, murah sehingga sangat cocok untuk suatu penelitian
populasi yang luas. Pemeriksaan UBT tidak memerlukan validasi lokal, menetapkan
adanya infeksi yang aktif, dan merupakan pemeriksaan baku emas untuk konfirmasi hasil
terapi eradikasi. Dengan adanya pemeriksaan noninvasif, terbuka kesempatan untuk
melakukan penatalaksanaan pasien dispepsia ditingkat pelayanan primer oleh dokter
umum, dengan memperhatikan latar belakang prevalensi infeksi H. pylori sertapenyakit
yang menyertainya, terutama tukak peptik dan keganasan lambung.

2.9 Pemeriksaan lnvasif

Pemeriksaan invasif untuk diagnosis infeksi H. Pylori dilakukan dengan mengambil


spesimen biopsi mukosa lambung secara endoskopik. Selanjutnya spesimen yang diambil
dengan persyaratan dan cara tertentu akan diperiksa dengan teknik khusus sesuai dengan
tujuan diagnostik yatg akan dicapai. Persyaratan yang dimaksudkan adalah upaya untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya hasil negatif palsu akibat pengaruh obat-obatan yang
dipergunakan sebelum pengambilan sampel biopsi. Biasanya dianjurkan untuk
menghentikan obat antibiotik, anti sekresi asam lambung terutama golongan inhibitor
pompa proton, bismuth selama satu atau dua minggu sebelum pemeriksaan. Biopsi standar
untuk diagnosis infeksi H. pylori diambil dari antrum (2) dankorpus (2), sedangkan untuk
menilai adanya metaplasia intestinal biasanya diambil biopsi pada angulus. Spesimen untuk
kultur mikrobiologi harus diambil pertama kali karena harus dilakukan secara steril.
kemudian untukbiopsy urease test dan histopatologi.

2.10 Biopsy Urease Test (BUT)

Tersedia berbagai pilihan mulai yang dibuat sendiri dalam bentuk cairan ataupun
padat seperti tes CLO. Dasarnya adalah adanya enzim urease dari kuman H. pylori yang
mengubah urea menjadi amonia yang bersifat basa sehingga terjadi perubahan warna

13
media menjadi merah. Hasilnya dapat dibaca dalam beberapa menit sampai 24 jam, dan
pengambilan lebih dari satu spesimen akan meningkatkan akurasi pemeriksaan ini.
Sensitivitas pemeriksaan ini sekitar 89-98% sedangkan spesifisitasnyamencapai l00%.

Penggunaan antibiotik atau penghambat pompa proton akan menghambat


pertumbuhan kuman sehingga harus dihentikan satu minggu sebelumnya. Cara ini tidak
dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan terapi eradikasi.

2.11 Histopathology

Pemeriksaan histopatologi dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi H. pylori


serta menilai derajat inflamasi gastritis.Pemeriksaan standar dengan pewarnaan H & E
untuk deteksi kuman mempunyai sensitivitas 93 % dari spesifisitas 87% dengan akurasi
92o/o.Pewarnaan khusus secara Giemsa, Genta atau Warthin-Starry memberikan gambaran
H. pylori yang lebih jelas, sedangkan dengan pewarnaan Genta gambaran metaplasia
gastrik akan tampak lebih jelas. Densitas kuman akan menurun bila sebelumnya diberikan
obat antibiotik atau inhibitor pompa proton, sehingga akan menurunkan sensitivitas
pemeriksaan.

2.12 Biakan Mikrobiologi

Dalam penatalaksanaan penyakit akibat infeksi H. pylori. kultur tidak dilakukan


secara rutin karena dua alasafi. Cara diagnostik lain baik yang non invasif maupun yang
invasif memberikan hasil yang memuaskan dengan akurasi yang tinggi. Selain itu
pemeriksaan kultur sendiri tidak mudah dilakukan, dengan sensitivitas yang relatif rendah,
berkisar Antara 66-98 %. Teknik yang dianjurkan adalah dengan tes difusi agar atau
dengan E test di mana sekaligus dapat ditentukan konsentrasi inhibisi minimal dari antibiotik
yang diuji. Pemeriksaan kultur akan sangat membantu untuk pengobatan kegagalan terapi
eradikasi, sehingga dapat dipilih antibiotik yang sesuai.

14
2.13 Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction merupakan pilihan yang menarik karena sensitivitas


yang tinggi (94-100%) serta spesifisitas yang tinggi pula (100 % Bahan yang digunakan
adalah spesimen biopsi baik yang sudah diparafin maupun bekas tes urease seperti CLO.
Keuntungannya adalah kemampuannya unfuk mendeteksi infeksi dengan densitas yang
rendah, bahkanjuga ekspresi dari berbagai gen bakteri seperti Cag.A. Selain biopsi mukosa
lambung, PCR dapat pula mendeteksinfeksi H. pylori dengan memeriksa cairan lambung,
yang perlu dijaga jangan sampai terjadi kontaminasi baik dari skop endoskopi maupun dari
rongga mulut atau plak gigi karena dapat memberikan hasil positif palsu. PCR dapat juga
dipergunakan untuk menilai hasil terapi eradikasi . Cara ini termasuk pemeriksaan yang
canggih dengan biaya yang cukup mahal.

2.14 Infeksi Hp, Gastritis dan Sekresi Asam Lambung

Terdapat hubungan timbal balik antara infeksi Helicobacter pylori, gastritis dengan
asam lambung. Infeksi Hp yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam
lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan
menstimulasi sekresi gastrin, yang selanjutnya akan merangsang sel parietal untuk
meningkatkan sekresi asam lambung. Infeksi Hp akan meningkatkan kadar Gastrin, yang
terutama berasal dari mukosa antrum. Selain itu peningkatan sekresi gastrin juga terjadi
akibat menurunnya kadar somatostatin dalam mukosa antrum, yang berasal dari sel D.
Dalam hal ini secara fisiologis somatostatin atau sel D berfungsi sebagai acid brake,
menekan fungsi sel G dan sekresi asam lambung oleh sel Parietal. Mekanisme lain adalah
melalui peran sitokin lokal akibat inflamasi antrum yang juga dapat mempengaruhi sekresi
somatostatin maupun gastrin.

Apabila gastritis akibat infeksi Hp predominan di korpus, sekresi asam lambung


akan menurun, dengan risiko jangka panjang yang lebih besar untuk menjadi kanker
lambung. Inflamasi korpus yangberat atau luas, akan mengganggu atau menekan fungsi sel
parietal yang menimbulkan hipo atau aklorhidria, biasanya disertai pula dengan atrofi
mukosa korpus, yang merupakan lesi premaligna untuk terjadinya keganasan lambung.
Sebaliknya, tingkat sekresi asam lambung yang mungkin dipengaruhi faktor genetik
diduga berperan temadap perbedaan predominasi gastritis akibat infeksi Hp. Bila sekresi

15
asam lambung tinggi, akan terjadi gastritis predominan antrum, sedangkan bila rendah
akan terjadi gastritis predominan korpus dengan akibat penyakit yang berbeda.

2.15 Manifestasi Klinis

Seperti telah dikemukakan. manifestasi klinis akan sangat bervariasi mulai dari
tanpa gejala, dispepsia fungsional,tukak peptik sampai kanker lambung. Karena lamanya
hasil pembiakan H. pylori maka untuk mendapatkan hasil yang cepat maka sering digunakan
rapid urease test, yang lebih dikenal dengan CLO test (CLO adalah singkatan dari
Campylobacter Like Organism). Dalam tes ini spesimen biopsi mukosa lambung dimasukkan
dalam medium agar yang dicampur urea dan indikator. Bila dalam bahan biopsi tersebut
mengandung urease maka akan terjadi perubahan warna dari kuning menjadi merah.

Sebagian besar individu yang terkena infeksi H. pylori tidak mengalami keluhan
walaupun pada pemeriksaan biopsi mukosa lambung pada kasus-kasus asimptomatik
sebagian besar didapatkan gambaran gastritis kronik aktif.

1. Dyspepsia dengan gambaran endoskopik yang bermacam-macam, mulai dari normal


sampai dengan ulkus lambung atau ulkus duodeni, gastritis, duodenitis, gastritis
atrofik, gastritis hypertrofik.
2. MALT (Mucosal Associated Lifoid Tissue) limfoma dan kanker lambung di bagian
destal (tipe intestinal).

Cara penegakkan diagnosa yang banyak dipakai dengan hasil yang baik adalah
dengan diagnosa histologis

Cara lain adalah tes napas urea (urea breath test) dan pemeriksaan serologik. Kedua
cara ini tidak memerlukan endoskopi.

Belakangan ini ditemukan cara diagnosa infeksi H. pylori dengan cara deteksi
antigen kuman H. pylori pada tinja penderita dengan metoda Elisa

16
2.16 Indikasi Terapi Eradikasi Helicobacter Pylori

Sangat Dianjurkan. Ulkus duodeni, ulkus ventrikuli, MALT Lymphoma gaster


derajat keganasan rendah, riwayat kanker lambung di keluarga, gastritis kronik aktif
(gambaran PA), Paska reseksi kanker lambung dini, gastritis atrofik.

Dianjurkan. Keinginan pasien untuk diobati setelah mendapat penjelasan yang


memadai, dispepsia fungsional (tidak ditemukan kelainan perendoskopi, biokimiawi, atau
laboratorium), gastropati obat anti inflamasi non steroid (OAINS), gastroesophageal reflux
disease (GERD) yang memerlukan terapi antisekresi asam jangka panjang.

2.17 Evolusi Terapi Eradikasi Hp

Pada dasarnya dikenal terapi kombinasi yang didasarkan pada obat bismuth dan
terapi yang didasarkan pada penghambat pompa proton (PPI). Mula-mula digunakan
senyawa bismuth sebagai obat tunggal, dengan hasil yang kurang memuaskan sehingga
dikembangkan terapi kombinasi dual, tripel bahkan terapi kuadrapel. Waktu pemberian
juga terus diusahakan untuk diberikan sesingkat mungkin mulai dari 4, 2, dan dewasa ini
umumnya dianjurkan untuk waktu satu minggu. Perkembangan ini sangat mendukung
kepatuhan pasien, karena selain efektivitas yang cukup tinggi, kemungkinan efek samping
menjadi lebih kecil. Walaupun relatif cukup mahal, terapi kombinasi dinilai cukup cost
effective terutama karena dapat menekan angka kekambuhan dalam jangka panjang,
misalnya dalam pengobatan tukak duodeni dan tukak lambung.

2.18 Terapi Eradikasi

Laporan uji klinis terapi infeksi Hp di Indonesia pada mulanya menggunakan


monoterapi menggunakan preparat bismuth dengan tujuan supresi dan bukan eradikasi.
Dewasa ini regimen terapi yang digunakan adalah terapi

Tabel 2. Peran infeksi HP Pada berbagai penyakit gastroduodenal

Faktor Etiologi utama Prevalensi

17
Tukak duodenum 100%
Tukak lambung 80-90%
Gastritis Kronik 40%

kombinasi antara penghambat pompa proton dengan dua atau tiga macam
antibiotik. Pertemuan konsensus nasional penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori di
Jakarta pada bulan Januari 2003 menganjurkan regimen terapi sebagai berikut:

Terapi lini pertama / terapi tripel

 Urutan Prioritas

1. PPI +Amoksisilin + klaritromisin

2. PPI + Metronidazol + klaritromisin

3. PPI + Metronidazol + tetrasiklin

Pengobatan dilakukan selama 1 minggu

 Dosis

l. Proton Pump Inhibitor

Omeprazole 2x20mg

Lansoprazole 2x30mg

Rabeprazole 2x l0mg

Esomeprazole 2x20mg

2. Amoksisilin :2x l000mg/hari

3. Klaritromisin :2x500mg/hari

4. Metronidazol : 3x500mg/hari

5. Tetrasiklin : 4x250mg/hari

18
Terapi lini kedua / terapi kuadrupel

Terapi lini kedua dilakukanjika terdapat kegagalan pada lini pertama. Kriteria gagal : 4
minggu pasca terapi, kuman H. Pylori tetap positif berdasarkan pemeriksaan I-IBT/ HpSA
atau histopatologi.

 Urutan prioritas

- Collodial bismuth subcitrate +PPl+ Amoksisilin +klarihomisin

- Collodial bismuth subcitrate + PPI + Metronidazol+ Klaritromisin

- Collodial bismuth subcitrate +PPI + Metronidazol+ TetrasiklinPengobatan


dilakukan selama I minggu.

 Dosis collodial bismuth subcitrate.' 4 x 120 mg

Bila terapi lini kedua gagal, sangat dianjurkan pemeriksaan kultur dan resistensi H.
Pylori dengan media transport MIU.

 Regimen antibiotika yang baru

Timbulnya resistensi terhadap antibiotika menyebabkan kesulitan dalam pemilihan


regimen terapi lini kedua. Oleh karena itu, seleksi terapi lini pertama harus sudah
mempertimbangkan pula pilihan regimen terapi lini kedua yang mungkin akan
diimplementasikan bila regimen terapi lini pertama gagal. Regimen terapi dengan
efektivitas eradikasi > 80% yang dianjurkan untuk digunakan pada praklek klinis. Pada
pasien-pasien yang gagal dengan regimen terapi dengan basis klaritromisin, regimen
kombinasi terdiri dari lansoprazol 2x30 mg, amoksisilin 2 x I gram, dan levofloksasin 2 x
200 mg Dilaporkan menunjukkan eradikasi 69%. Levofloksasin dapat pula diberikan
dengan dosis I x 500 mg. Kombinasi lain yang dilaporkanefektif adalah PPI bid, rifabutin
300 mg qd (lx sehari), dan amoksisilin 2 x I gram. Dhekomendasikan untuk menggunakan
kombinasi PAC (PPI - Amoxycillin- Clarithromycin) sebagai terapi lini pertama, dan bila
gagal dapat dilanjutkan dengan terapi kuadrupel seperti P-BMT (PPl-Bismuth-Metronida-
zole-Tetracyclln). Namun, pada komunitas dengan prevalensi tinggi resistensi terhadap

19
makrolid (> 20% resisten terhadap klaritromisin), terapi lini pertama sebaiknya terapi
kuadrupel. Studi metanalisis terapi kuadrupel sebagai terapi lini pertama menunjukkan
tingkat eradikasi lebih dari 85%, bahkan pada area dengan resistensi terhadap metronidazol
yang tinggi, dan 69% lebih efektif dibandingkan PAC pada keadaan terdapat resistensi
terhadap klaritromisin. Analisa cost effective terapi tripel atau terapi kuadripel tampak
serupa, namun terapi kuadrupel tampaknya sedikit lebih cost-effective.

Fluoroquinolon atau Rifabutin dalam kombinasi bersama amoksisilin dan PPI


menunjukkan hasil yang menjanjikan. Terapi dengan fufabutin 2 x 150 mg, Amoksisilin 2
x I gram, dan om eprazol2 x20 mg selama 14 hari menunjukkan eradikasi 7 2oh
padapasien-pasien yang gagal dengan kombinasi terapi PAC dan P-BMT. Terapi lini
pertama dengan LAE, yaitu levofloksasin 1 x 500 mg, azitromisin I kali 500 mg, dan
esomeprazol 2x 20 mg selama 7 hari lebih efektif (93,3%) dibandingkan terapi standar tripel
EAC (70%). Terapi lini kedua helicobacter pylori RLA, yaitu rabeprazol2 x20 mg,
levofloksasin I x 500 mg, dan amoksisilin 2 x I gram selama 12 hari sama efektiftya
denganterapi kuadrupel R-BMI namun lebih ditoleransi dengan baik dan menunjukkan
compliance serta tingkat kepatuhan minum obat yang tinggi. Terapi tripel selama 10 hari
dengan levofloksasin, esomeprazol, amoksisilin / azitromisin lebih efektif (86,6% /80%)
dibandingkan regimen klasik E-BMT (71,4%) dan menunjukkan compliance yang lebih
baik.

2.19 Kriteria Keberhasilan Terapi Eradikasi

Empat minggu setelah terapi selesai, dilakukan pemeriksaan UBT/HpSA atau


histopatologi. Jika UBT negatif atau PA negatif terapi dianggap berhasil (sembuh).

Terapi kombinasi tersebut dianjurkan untuk diberikan selama satu minggu.


Mengingat cepatnya terjadi resistensi Hp terhadap antibiotik, kiranya perlu diadakan
penelitian pola resistensi di Indonesia secara berkala agar dapat menjadi dasar pilihan
antibiotik yang tepat. Masalah lain adalah penilaian keberhasilan eradikasi yang harus
menggunakan metoda diagnostik yang paling peka dan non invasif, terutama untuk
penelitian epidemiologis. Selain standar emas kultur mikrobilogi agaknya pemeriksaan tes
Pernapasan urea (urea breath test l3C atau l4C) perlu diadakan dan digunakan secara
meluas.

20
Dari segi biaya, regimen terapi dengan eradikasi lebih dari 90 % akan
menyembuhkan tukak peptik, tanpa perlu terapi pemeliharaan sehingga leblh cost effective
dibandingkan dengan terapi konvensional. Terapi tripel pada awalnya jelas lebih mahal,
tetapi dalam jangka panjang akan lebih murah. apalagi bila diperhitungkan peningkatan
kualitas hidup, terbebas dari keluhan dan gangguan penyakit.

Yang dimaksudkan eradikasi adalah hilangnya kuman pada pemeriksaan 4 minggu


pasca terapi yang dibuktikan dengan metoda yang paling akurat. Dalam perkembangamya
dikenal terapi mono, dual, tripel dan kuadripe (tabel2). Dewasa ini dianjurkan adalah
terapi kombinasi dengan penyembuhan lebih dari 90%.

Kesepakatan yang dirumuskan dalam konsensus nasional merupakan petunjuk yang


dapat digunakan bersama, sekaligus memberikan kemungkinan untuk mendapat data
penelitian yang bersifat nasional tentang infeksi Helicobacter pylori di Indonesia. Pola
terapi ideal yang mencakup efektivitas, keamalan, kepatuhan dan cost effectiveness
mungkin belum ada, tetapi harus diupayakan terapi optimal yang sesuai dengan lingkungan
dan kondisi pasien.

Tabel 3. Terapi Eradikasi Helicobacter Pylori

Jenis Terapi Eradikasi

Terapi Mono

Bismuth subsalisilat 5-10%


Colloidal bismuth subcitrate (BSS) 10-25%
Amoksisilin 15-25%
Klaritromisin 50%
lnhibitor pompa proton (lPP) 0-15%

Terapi Dual
Bismuth/amoksisilin 30-60%
Bismuth/metronidazol 30-60%
Amoksisilin/metronidazol 55-95%

21
IPP/Amoksisilin 55-95%
IPP/klaritromisin 70-90%
Ranitidin bismuth sitrat 70-80%
Terapi Tripel

Bismuth/metro/tetra 80-95%
IPP/metro/amoksilin atau klaritromisin 70-95%
I PP/amoksilin/klaritromisin 70-90%

Ranitidin/bismuth sitraVamoksilin,klaritromisin 80-90%

Terapi Kuadrupel
Bismuthimetro/tetra/l PP >90%

22
BAB III

KESIMPULAN

Helicobacter adalah nama genus kuman yang berbentuk spiral atau batang bengkok
dan berflagela yang mengalami adaptasi untuk dapat hidup dalam mukus (lendir) lambung
yang menutupi selaput lendir (mukosa) lambung yang bersuasana asam kuat. Kuman ini
bersifat pleomorfik artinya dapat dijumpai dalam beberapa bentuk. Dalam keadaan normal
kuman ini berbentuk spiral atau batang bengkok, tetapi dalam keadaan tertentu yang kurang
baik akan merubah dirinya menjadi bentuk kokoid yang merupakan bentuk pertahanan yang
resisten..

Mukosa gaster terlindungi sangat baik dari infeksi bakteri, namun H. Pylori
memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan ekologi lambung,
dengan serangkaian langkah unik masuk ke dalam mukus, berenang dan orientasi spasial
di dalam mukus, melekat pada sel epitel lambung, menghindar dari respons immun, dan
sebagai akibatnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten.

Infeksi Helicobacter pylori (Hp) pada saluran cema bagian atas mempunyai variasi
klinis yang luas, mulai dari kelompok asimtomatik sampai tukak peptik, bahkan dihubungkan
dengan keganasan di lambung seperti adenokarsinoma tipe intestinal atau mucosal
associated lymphoid tissue (MAIJI) Limfoma

Kuman Helicobacter pylori bersifat mikroaerofilik dan hidup di lingkungan yang


unik, dibawah mukus dinding lambung yang bersuasana asam. Kuman ini mempunyai
enzim urease yang dapat memecah ureum menjadi amonia yang bersifat basa, sehingga
tercipta lingkungan mikro yang memungkinkan kuman ini bertahan hidup. Karena itu
prosedur diagnostik cukup sulit karena harus melakukan tindakan yang invasif yaitu dengan
melakukan gastroskopi untuk mendapatkan spesimen yang diperlukan untuk pemeriksaan
langsung, histopatologi ataupun kultur mikrobiologi. Selain itu terdapat pemeriksaan non
invasif seperti tes serologi dan urea breath test (UBT).

Sebagian besar individu yang terkena infeksi H. pylori tidak mengalami keluhan
walaupun pada pemeriksaan biopsi mukosa lambung pada kasus-kasus asimptomatik
sebagian besar didapatkan gambaran gastritis kronik aktif.

23
Cara penegakkan diagnosa yang banyak dipakai dengan hasil yang baik adalah
dengan diagnosa histologis.Cara lain adalah tes napas urea (urea breath test) dan pemeriksaan
serologik. Kedua cara ini tidak memerlukan endoskopi.Belakangan ini ditemukan cara
diagnosa infeksi H. pylori dengan cara deteksi antigen kuman H. pylori pada tinja penderita
dengan metoda Elisa

Laporan uji klinis terapi infeksi Hp di Indonesia pada mulanya menggunakan


monoterapi menggunakan preparat bismuth dengan tujuan supresi dan bukan eradikasi.
Dewasa ini regimen terapi yang digunakan adalah

Terapi lini pertama / terapi tripel

 Urutan Prioritas

1. PPI +Amoksisilin + klaritromisin

2. PPI + Metronidazol + klaritromisin

3. PPI + Metronidazol + tetrasiklin

Terapi lini kedua

 Urutan prioritas

- Collodial bismuth subcitrate +PPl+ Amoksisilin +klarihomisin

- Collodial bismuth subcitrate + PPI + Metronidazol+ Klaritromisin

- Collodial bismuth subcitrate +PPI + Metronidazol+ TetrasiklinPengobatan


dilakukan selama I minggu.

Terapi kombinasi tersebut dianjurkan untuk diberikan selama satu minggu.


Mengingat cepatnya terjadi resistensi Hp terhadap antibiotik, kiranya perlu diadakan
penelitian pola resistensi di Indonesia secara berkala agar dapat menjadi dasar pilihan
antibiotik yang tepat. Masalah lain adalah penilaian keberhasilan eradikasi yang harus

24
menggunakan metoda diagnostik yang paling peka dan non invasif, terutama untuk
penelitian epidemiologis.

Yang dimaksudkan eradikasi adalah hilangnya kuman pada pemeriksaan 4 minggu


pasca terapi yang dibuktikan dengan metoda yang paling akurat. Dalam perkembangamya
dikenal terapi mono, dual, tripel dan kuadripe (tabel2). Dewasa ini dianjurkan adalah
terapi kombinasi dengan penyembuhan lebih dari 90%.

Kesepakatan yang dirumuskan dalam konsensus nasional merupakan petunjuk yang


dapat digunakan bersama, sekaligus memberikan kemungkinan untuk mendapat data
penelitian yang bersifat nasional tentang infeksi Helicobacter pylori di Indonesia. Pola
terapi ideal yang mencakup efektivitas, keamalan, kepatuhan dan cost effectiveness
mungkin belum ada, tetapi harus diupayakan terapi optimal yang sesuai dengan lingkungan
dan kondisi pasien.

25
Daftar Pustaka

1. Konsensus Nasional Penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori 2003.

2. KSHPI, Konsensus Nasional Penanggulangan Infeksi Helicobacter pylori, Jakarta:


1996 : 6.

3. Rani AA: Helicobacter pylori infection related gastroduodenal diseases in


Indonesia. Journal of Helicobacter Research 2000;2: 4,t,2t - 24 ISSN 1342
4. Soeparyatmo JB, Soewignyo S, Muttaqin z. Suwei seroepidemiologik infeksi
Helicobacter pylori di Suraka(a. Dalam Soewignyo S et at (ed) Seminar Nasional
Helicobacter pylori dan Penyakit Gastroduodenal. Denpasar; 1995.93-101.
5. Soeswignyo. Muttaqin Z, Diarti MW, Muliartha K. The succes of oral therapeutic
vaccination to eradicate Helicobacter murid arum infection in mice. Symposium on
Immune Response and Host Defense. Nordwijk, The Netherland, 1996.
6. Solnick JV, Siddiqui J. Helicobacter pylori. In: Current Diagnosis and Treatment in
Infectious Diseases. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill 2001.p. 581 -
86.
7. Suerbaum S, Michetti P Helicobacter pylori infection. N Engl J Med 2002;347 (15):
1175 - 86.
8. Thomson ABR. Helicobacter pylori : from infection to cure. Can Gastroenterol
1996; l0 (3) :167.

26

Anda mungkin juga menyukai