Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH PENYAKIT INFEKSIUS

(Salmonella cholerasuis)

Oleh Kelompok 6 :

Nurlina (C031171310)

Arief Gautama Sirajuddin (C031171312)

Markus Steven Salamena (C031171501)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
BAB 1 : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salmonella sp. merupakan bakteri patogen, Gram negatif, bersifat anaerobik


fakultatif, dan berasal dari famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini tumbuh pada rentang suhu
5ºC hingga 45-47ºC dengan rentang suhu optimal 35-37ºC. Semua jenis bakteri yang
termasuk dalam famili Enterobacteriaceae sangat sensitif terhadap panas, termasuk
Salmonella sp, memiliki beberapa serotipe hingga saat ini telah teridentifikasi sekitar 2659
serotipe Salmonella, semua serotipe tersebut bersifat patogen pada manusia. Badan
Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Nomor 16
Tahun 2016 tentang Kriteria Mikrobiologi dalam Pangan Olahan daging, termasuk daging
dan olahannya yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat harus negatif terhadap
Salmonella sp. per 25 gram.4 Selain itu, Direktorat Standardisasi Produk Pangan pada tahun
2012 juga mengeluarkan pedoman kriteria cemaran pada pangan siap saji dan pangan industri
rumah tangga bahwa bubur ayam yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat harus negatif
terhadap Salmonella sp. per 25 gram.5 (Zelpina et al., 2018).
Keberadaan beberapa spesies Salmonella diterima secara taksonomi. Sejak itu, sebagai
hasil percobaan yang menunjukkan tingkat kesamaan DNA yang tinggi, semua isolat
Salmonella dikelompokkan dalam satu spesies, salmonella choleraesuis. Spesies ini
kemudian diklasifikasikan menjadi tujuh subkelompok berdasarkan kesamaan DNA dan
kisaran inang, ubkelompok I mengandung hampir semua serotipe yang bersifat patogen bagi
manusia pada tahun 1999, Euze´byproposedtodesignate "Salmonella enterica" sebagai
"neotype species" dan menggantikan spesies jenis genus Salmonella dari S. choleraesuis ke
S. enterica, karena nama S. choleraesuis dapat menyebabkan kebingungan karena julukan
tertentu juga nama serotipe (atau serovar). Meskipun sistem nomenklatur baru ini belum
secara resmi diadopsi oleh Komite Internasional Bakteriologi Sistematik, telah diterima untuk
digunakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia dan dalam publikasi American Society for
Microbiology. Dalam ulasan ini, kami menulis "S. enterica serotype Choleraesuis "atau"
serotype Choleraesuis "dari pada" S. cholearesuis” untuk merancang standar layanan untuk
tujuan kesinambungan dengan literatur (Chiu et al., 2010). Resistensi dapat terjadi pada
bakteri Salmonella spp. yang merupakan salah satu bakteri komensal pada pencernaan hewan
dan hampir semua galur bersifat patogen. Infeksi Salmonella merupakan penyebab penting
mortalitas dan morbiditas pada sapi, dan hewan yang terinfeksi secara subklinis sering
ditemukan (Kurniawati et al., 2016).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Salmonellosis ?
2. Bagaimana gejala klinis penyakit Salmonellosis ?
3. Bagaimana patogenesis penyakit Salmonellosis ?
4. Bagaimana diagnosa penyakit Salmonellosis ?
5. Bagaimana pencegahan dan pegobatan penyakit Salmonellosis ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Salmonellosis
2. Untuk mengetahui gejala klinis penyakit Salmonellosis
3. Untuk mengetahui patogenesis penyakit Salmonellosis
4. Untuk mengetahui diagnosa penyakit Salmonellosis
5. Untuk mengetahui pencegahan dan pengobatan Salmonellosis
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit
Menurut Eng et al. (2015), salmonellosis merupakan nama penyakit yang
disebabkan oleh berbagai spesies bakteri dari genus salmonella yang memiliki 2600
serotipe termasuk salmonella choleraesuis. Gastroenteritis merupakan manifestasi
utama dari infeksi salmonella yang terjadi di seluruh dunia, disertai dengan
bacterimia dan enteric fever. Salmonella pertama di temukan dan di isolasi dari usus
babi yang terinfeksi dengan classical swine fever atau yang biasa disebut dengan hog
cholera.
Salmonella enterica serotipe choleraesuis termasuk ke nonthypoid serotype
(NTS) yang memiliki jangkauan hospes sempit dan dapat dicirikan dnegan infeksinya
yang bersifat infasif tinggi (dari tempat yang steril, 50-90% salmonella choleraesuis
mampu di isolasikan) (Su et al., 2014) . Salmonella merupakan bakteri gram negatif
berbentuk basil dan merupakan bakteri fakultatif anaerob yang termasuk ke dalam
family enterobacteriaceace. Salmonellosis berasal dari sumber makanan atau bahan
pangan asal hewan yang mampu mentransmisikan salmonella seperti babi, unggas
dan sapi yang merupakan suber utama dari salmonella itu sendiri (Eng et al., 2015).
B. Gejala Klinis
Serotipe NTS dari salmonella tersebar sangat luas dan biasanya spesifik
terhadap hewan tertentu. Pada manusia, bakteri ini menyebabkan gastroenteritis
dengan gejala demam, diare, muntah dan keram perut (Jajere, 2019). Salmonella
enterica subspesies enterica serotipe choleraesuis didefinisikan sebagai bakteri
mampu beradaptasi dengan hospes apapun tetapi tidak terbatas pada satu hospes
dengan dasar bahwa 99% insiden lapangan yang terjadi berhubungan dengan babi dan
menyebabkan paratifoid pada babi dengan gejala klinis berupa enterocolitis dan
septicemia (Methner et al., 2018).
C. Patogenesa
Hampir seluruh strain dari salmonella bersifat patogen dan memiliki
kemampuan untuk menginvasi, bereplikasi dan bertahan pada sel, sehingga
menyebabkan penyakit yang bersifat fatal.Salmonella sering ditemukan menjadi
patogen yang bersifat food borne diseases yang dominan di temukan pada unggas,
telur dan produk susu. Produk lain yang menjadi sumber dan mampu
mentransmisikan salmonella yakni buah dan sayuran. Ketika bakteri memasuki
saluran pencernaan melalui air atau makanan yang terkontaminasi, bakteri cenderung
menembus sel epitel yang melapisi dinding usus. SPI (Salmonella pathogenic island)
mengkodekan sistem sekresi tipe III, protein multi-channel yang memungkinkan
salmonella untuk menyuntikkan efektornya melintasi membran sel epitel usus ke
dalam sitoplasma. Efektor bakteri kemudian mengaktifkan jalur transduksi sinyal dan
memicu rekonstruksi sitoskeleton aktin sel inang, menghasilkan ekstensi keluar atau
kerutan pada membran sel epitel untuk menelan bakteri. Morfologi ruffle membran
menyerupai proses fagositosis (Eng et al., 2015).
D. Diagnosa
Kebanyakan laboratorium klinik merekomendasikan reaksi simpel aglutinasi
atara antibodi spesifik dengan antigen somatis yang mampu meingentifikasi enam
jenis Salmonella (termsasuk salmonella choleraesuis) (Eng et al., 2015).
E. Pencegahan
Air atau makanan yang terkontaminasi adalah rute penularan utama enteric
fever. Tujuan utama pencegahan yakni untuk menghilangkan kemungkinan rute
transmisi Salmonella. Ukuran penting ini telah berhasil dicapai di negara-negara
industri. Selain air, Salmonella spp. dapat ditemukan dalam berbagai makanan,
terutama pada unggas, telur dan produk susu. Penanganan dan pemasakan makanan
yang benar adalah langkah-langkah yang diusulkan untuk memberantas kontaminasi
bakteri terhadap makanan (Eng et al., 2015).
F. Pengobatan
Perkembangan resistensi multi-obat dalam serotipe salmonella memiliki
dampak yang signifikan pada pengobatan menggunakan antibiotik infeksi salmonella.
Infeksi yang melibatkan serotipe invasif sering kali mengancam jiwa dan
membutuhkan perawatan antibiotik yang efektif. Quinolones dan cephalosporin
generasi ketiga telah menjadi antibiotik pilihan dalam mengobati infeksi dengan MDR
(multi drug resistent) salmonellosis. Namun, munculnya serotipe salmonella yang
kebal terhadap quinolones dan cephalosporin menimbulkan tantangan baru dalam
merawat pasien yang terinfeksi, dan kurangnya terapi antibiotik yang efektif dapat
menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian (Eng et al., 2015).
BAB 3 : KESIMPULAN & SARAN
A. Kesimpulan

Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus


salmonella yang salah satunya merupakan salmonella choleraesuis yang dapat di temukan
pada babi. Penyakit ini dapat menular ke manusia melalui makanan (food borne disease).
Pencegahan penyakit ini dilakukan dengan memutus rantai transmisi contohnya dengan
memasak dan menyajikan makanan sebersih mungkin. Apabila penyakit ini telah menyerang,
salah satu gejala klinisnya yakni diare, muntah dan keram perut. Pada babi penyakit ini
mengakibatkan septicemia. Diagnosa penyakit ini dapat dilakukan dengan uji aglutinasi.
Pengobatan yang dilakukan dapat menggunakan quinolones dan cephalosporin.

B. Saran

Disarankan agar pembaca melakukan research lebih dalam lagi mengenai salmonella
choleraesuis beserta penyakitnya diakarenakan mungkin masih terdapat kekurangan dalam
penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Chiu, C. H., Su, L. H., & Chu, C. (2010). Salmonella enterica serotype Choleraesuis:
epidemiology, pathogenesis, clinical disease, and treatment. Clinical microbiology
reviews, 17(2), 311-322.

Eng, SK., P. Pusparajah, NS. A. Mutalib, HL. Ser, KG. Chan, dan LH. Lee. 2015.
Salmonella: A review on pathogenesis, epidemiology and antibiotic resistance.
Frontiers in Life Science, 8(3) : 284-293.

Jajere, S. Mohammed. 2019. A review of Salmonella enterica with particular focus on the
pathogenicity and virulence factors, host specificity and antimicrobial resistance
including multidrug resistance. Veterinnary World, 12(4) : 504-521.

Kurniawati, A., Lukman, D. W., & Wibawan, I. W. T. (2016). Resistensi Antibiotik pada
Salmonella Isolat Sapi Bakalan Asal Australia yang Diimpor Melalui Pelabuhan
Tanjung Priok Jakarta (ANTIBIOTIC RESISTANCE OF SALMONELLA
ISOLATES FROM AUSTRALIAN IMPORTED FEEDER CATTLES THROUGH
TANJUNG PRIOK PORT JAKARTA). Jurnal Veteriner, 17(3), 449-456.

Methner, U., S. Merbach dan M. Peters. 2018. Salmonella enterica subspecies enterica
serovar Choleraesuis in a German wild boar population: occurrence and
characterisation. Acta Veterinaria Scandinavica, 60(65) : 1-8.

Su, LH., TL. Wu, dan CH Chiu. 2014. Decline of salmonella enterica serotype choleraesusis
infection, Taiwan. Emerging Infectious Diseases, 20(4) : 715-716.

Zelpina, E., Purnawarman, T., & Lukman, D. W. (2018). Keberadaan Salmonella SP. pada
Daging Ayam Suwir Bubur Ayam yang Dijual di Lingkar Kampus Institut Pertanian
Bogor Dramaga Bogor. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian, 15(2), 73-79.

Anda mungkin juga menyukai