Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Helicobacter pylori (Hp) adalah bakteri batang gram negatif yang secara alami telah
berkolonisasi selama lebih dari 50.000 tahun pada manusia dan mungkin sepanjang evolusi
manusia. Helicobacter pylori hidup di mukosa gaster manusia, dengan menempel di mukosa
dan dalam jumlah yang sangat sedikit masuk ke dalam sel atau penetrasi ke dalam mukosa,
namun distribusinya jarang sistemik (Longo et al, 2013). Lebih dari 90% populasi di negara
berkembang dan setengah populasi dunia telah terinfeksi Hp (Khalilpour et al, 2016). Tingkat
prevalensi infeksi Hp selama dekade pertama dan dekade keenam kehidupan di negara-negara
industri (Eropa Barat dan Amerika Utara) sekitar 10% dan 60% (Longo et al, 2016). Syam et
al, pada tahun 2003 melakukan penelitian pada beberapa center di Indonesia pada 550 pasien
dengan dispesia yang menjalani endoskopik dan didapatkan prevalensi infeksi Hp ditemukan
sebesar 10,2% (Simadibrata et al, 2014).
Helicobacter pylori dapat menyebabkan terjadinya gastritis, ulkus peptikum, dan
kanker gaster. Kebanyakan individu dapat mentolerir keberadaan Hp dengan sedikit gejala atau
bahkan tanpa gejala (Tille, 2017). Helicobacter pylori pada beberapa individu dapat
berkembang menjadi berbagai penyakit dengan beragam gejala, bergantung pada strain bakteri
yang berbeda, kerentanan lingkungan host, dan faktor lingkungan (Longo et al, 2013).
Diagnosis Hp dibedakan menjadi dua kelompok: pemeriksaan invasif yang
membutuhkan biopsi jaringan dari endoskopi dan pemeriksana non-invasif (Longo et al, 2013).
Berbagai jenis pemeriksaan sudah tersedia namun masing-masing pemeriksaan memiliki
kekurangan dan kelebihan. Urea Breath Test (UBT) dipercaya sebagai pemeriksaan yang
spesifik namun adanya penelitian bahwa terdapat banyak jenis bakteri lain di gaster yang juga
memproduksi urease sehingga pemeriksaan UBT masih dipertanyakan akurasinya (Patel et al,
2014). Pemeriksaan histologi dan Rapid Urea Test (RUT) yang diambil dari jaringan biopsi
merupakan tindakan invasif, memiliki harga yang cukup tinggi dan membutuhkan personel
yang terlatih untuk menginterpretasi histologi. Kultur Hp dari jaringan biopsi sulit dilakukan,
membutuhkan waktu yang lama dan memiliki sensitivitas yang lemah karena Hp merupakan
bakteri dengan pertumbuhan yang lama (Shady et al, 2015). Pemeriksaan serologi Hp memiliki
beberapa keuntungan dimana pemeriksaan ini tidak invasif dan tidak didapatkan hasil yang
negatif palsu pada pasien dengan terapi PPI ataupun antibiotik (Shady, 2015). Lebih lanjut
dikatakan bahwa penggunaan MP Diagnostics Assure H. pylori Rapid Test sebagai alat
1
pemeriksaan serologi Hp menunjukkan sensitivitas sampai dengan 96% dan spesifisitas sampai
dengan 100% (MPD, 2009) sehingga diharapkan dapat melengkapi atau bahkan menggantikan
pemeriksaan yang invasif untuk diagnosis Hp. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu
meneliti nilai diagnostik dari tes serologi antibodi IgG terhadap Hp dibandingkan dengan kultur
Hp dan pemeriksaan histopatologi dari biopsi jaringan hasil endoskopi pada pasien dengan
dispepsia.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana nilai diagnostik (sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, dan nilai duga
negatif) serologis antibodi IgG terhadap Hp untuk menentukan diagnosis infeksi Hp?

1.3 Tujuan Penelitian


Mengetahui nilai diagnostik (sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, dan nilai duga
negatif) serologis antibodi IgG terhadap Hp untuk menentukan diagnosis infeksi Hp.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat akademis
Mengembangkan wawasan peserta didik pendidikan dokter spesialis Patologi Klinik
untuk mengetahui :
1. infeksi Hp,
2. nilai diagnostik (sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif)
serologis IgG terhadap Hp untuk menentukan diagnosis infeksi Hp.

1.4.2 Manfaat praktis


1. Jika diketahui nilai diagnostik (sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai

duga negatif) serologis IgG dalam infeksi Hp, maka dapat digunakan untuk
menunjang pelayanan di laboratorium melengkapi atau bahkan menggantikan
pemeriksaan yang invasif untuk diagnosis infeksi Hp serta membantu klinisi dalam
penatalaksanaan pasien sindroma dispepsia lebih cepat dan tepat.
2. Penelitian ini bisa memberi keuntungan kepada pasien sindroma dispepsia supaya

mencegah pengobatan yang tidak rasional

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Helicobacter Pylori


Helicobacter pylori (Hp) merupakan bakteri batang gram negatif, berbentuk batang
sampai spiral. Helicobanter pylori membutuhkan oksigen untuk hidup namun dalam jumlah
yang sedikit dibandingkan dengan oksigen di lingkungan (micro-aerophilic) dan
membutuhkan karbondioksida untuk berkembang biak (Greenwood et al, 2013).
Helicobacter pylori memiliki multipel flagela unipolar berselubung. Motilitas
menyebabkan Hp dapat keluar dari keasaman pH lambung dan menggali ke dalam mukosa
membentuk kolonisasi (Gambar 2.1b) (Greenwood et al, 2015). Adhensins pada Hp digunakan
untuk kolonisasi pada permukaan mukosa, mediator inflamasi dan sebagai sitotoksin yang
dapat merusak sel host (Gambar 2.1 a) (Tille, 2017).

Gambar 2.1 Faktor virulensi Hp.


(a) struktur dari Hp (b) motilitas Hp (Struthers and Westran, 2005)

Helicobacter pylori dapat memproduksi urease yang dapat menghidrolisis urea


membentuk ammonia (NH3) yang secara signifikan akan meningkatkan pH di sekeliling Hp
dan membuatnya dapat bertahan dari asam lambung (Gambar 2.1a) (Tille, 2017). Helicobacter
pylori juga dapat memproduksi protein yang disebut CagA dan diinjeksikan ke dalam sel epitel

3
gaster yang kemudian akan mempengaruhi ekspresi gen sel host, mengiduksi sitokin,
mengganggu struktur sel, dan berinteraksi dengan sel tetangga, sehingga Hp akan dapat
menginvasi epitel gaster (Tille, 2017).

2.2 Helicobacter pylori pada Sindroma Dispepsia


Helicobacter pylori dapat ditemukan pada air yang terkontaminasi, menyebar secara
fekal-oral dan transmisi langsung dari manusia ke manusia. Kolonisasi Hp tidak menyebabkan
sekuel klinis yang bermakna, namun pada beberapa individu, dapat menyebabkan penyakit
tergantung pada strain bakteri, kerentanan host, dan faktor lingkungan (Gambar 2.1) (Longo et
al, 2013).

Gambar 2.2 Faktor yang Berkontribusi pada infeksi Hp.

Kolonisasi Hp dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui beberapa mekanisme.


Hp memiliki urease yang dapat menghidrolisis urea dan menghasilkan NH3 yang dapat
menetralisir asam lambung sehingga Hp dapat bertahan hidup dan berkolonisasi. Hp yang
berkoloni pada individu dengan hipokloridia atau akloridia dapat merusak jaringan dengan
menghasilkan sitotoksin dan fosfolipase (Gambar 2.3) (Khalilpour et al, 2016). Kolonisasi Hp
menginduksi pembentukan formasi mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) dan infiltrasi
sel PMN dan menghasilkan gastritis aktif (Greenwood et al, 2012).
Beberapa strain Hp memiliki CagA, protein spesifik yang dapat mempengaruhi
transduksi sinyal dari sel host, menginduksi proliferatif dan inflamasi dan merubah sitoskeletal
sel host yang dapat meningkatkan produksi asam lambung yang dapat merusak jaringan dan

4
apoptosis jaringan. Sel-sel inflamasi kemudian akan melepaskan radikal bebas yang juga dapat
menyebabkan kerusakan jaringan. (Longo et al, 2013 and Kalilpour et al, 2016). Hp juga dapat
menginduksi autoantibodi dan menghancurkan parietal sel (Kalilpour et al, 2016).

2.3 Epidemiologi Helicobacter pylori


Di Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat
pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100% dan untuk
pasien dyspepsia fungsional sebanyak 20-40% dengan berbagai metode diagnostic
(pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi). Prevaensi infeksi Hp pada pasien dyspepsia
yang menjalani pemeriksaan endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia
(2003-2004) ditemukan sebesar 10,2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun
2011 (55%), Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30,6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%),
serta prevalensi terendan di Jakarta (8%) (PGI & KSHPI, 2014).

Gambar 2.3 Skema pathogenesis Hp.

5
a. Mekanisme infeksi Hp (i) Lokasi Hp di gaster manusia (ii) Gambaran mikroskopik lokasi
Hp (iii) Gambaran mikroskopik Hp di mukosa dan permukaan sel epitel (iv) Ulkus gaster
dan duodenum
b. Mekanisme pathogenesis Hp

2.4 Diagnosis Helicobacter pylori


Sejumlah tes dengan akurasi dan sensitivitas yang beragam telah dikembangkan untuk
mendiagnosis infeksi H. pylori. Tes ini dapat dipisahkan menjadi pendekatan invasif dan
noninvasif, tergantung pada apakah diperlukan endoskopi. Pilihan tes tergantung pada faktor-
faktor seperti situasi klinis, ketersediaan, biaya, kemungkinan infeksi sebelum pemeriksaan
dilakukan, prevalensi infeksi pada populasi, penggunaan antibiotik yang dapat mempengaruhi
hasil tes, dan lain-lain. Uji invasif biasanya digunakan untuk anak-anak dan siapa pun yang
memiliki gejala yang mengindikasikan penyebab masalah serius. Pada orang dewasa, kondisi
seperti usia lanjut, anemia, muntah terus-menerus, riwayat gejala yang lama, penurunan berat
badan yang persisten atau kurang nafsu makan, pendarahan gastrointestinal, atau sakit perut
parah yang mengindikasikan adanya ulkus dengan komplikasi mungkin memerlukan
pemeriksaan menyeluruh ini. Jenis tes ini tidak hanya mendiagnosis jumlah kerusakan pada
lambung tetapi juga memungkinkan klinisi untuk secara langsung mangambil sampel jaringan
untuk diperiksakan ada tidaknya organisme H. pylori. Uji noninvasif dapat mengidentifikasi
H. pylori dalam sampel, namun tidak menunjukkan jumlah kerusakan jaringan. (Kalilpour et
al, 2016)
Pewarnaan histopatologi tetap menjadi salah satu metode terbaik untuk mendeteksi
infeksi H. pylori, dan bersamaan dengan pengamatan visual dengan endoskopi, dapat
memberikan informasi penting berdasarkan kondisi patologis lambung. Kelemahan endoskopi
adalah mahal, tidak menyenangkan bagi pasien, dan membutuhkan operator yang khusus untuk
melakukan pemeriksaan. Endoskopi terlalu mahal dalam beberapa kasus untuk digunakan
sebagai tes diagnostik rutin untuk pasien dengan keluhan pada lambung. Selain itu, kesalahan
sampling dapat terjadi dan menyebabkan hasil negatif palsu yang dapat menyebabkan
diagnosis yang tidak akurat. Kultur bakteri merupakan salah satu pilihan untuk mendeteksi
keberadaan H. pylori. Kultur H. pylori yang sukses adalah standar emas untuk diagnosis. Salah
satu kelebihan diagnosis kultur adalah uji kepekaan antibiotik yang dapat dilakukan pada kasus
resistensi antibiotik namun media yang digunakan untuk pembiakan H. pylori mahal, ditambah
dengan kondisi khusus untuk perawatan, dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan hasilnya lambat dibandingkan metode lainnya. Rapid urease test (RUT)
6
digunakan untuk mendeteksi enzim urease H. pylori pada sel lambung. Sampel biopsi kecil
ditempatkan dalam botol uji yang berisi larutan RUT dan diinkubasi semalaman pada suhu 37
° C. Sampel kemudian diamati untuk perubahan warna dari kuning ke merah muda yang
mengindikasikan hasil positif. Ada beberapa versi tes ini yang cukup sensitif dan spesifik untuk
H. pylori, namun jumlahnya bervariasi dalam jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan hasilnya. Metode ini paling efisien dan terjangkau untuk digunakan sebagai
prosedur diagnostik rutin. PCR adalah teknik molekuler yang paling umum digunakan untuk
diagnosis H. pylori, walaupun belum distandarisasi. Belum ada upaya yang dilakukan sejauh
ini untuk membakukan proses preparasi sampel atau amplifikasi PCR itu sendiri. Laboratorium
menggunakan metode in-house yang berbeda yang sering memiliki sensitivitas dan tingkat
kepercayaan yang bervariasi. PCR telah berhasil dilakukan untuk mengidentifikasi DNA H.
pylori pada jaringan lambung dengan mengamplifikasi gen antigenik seperti gen urease, gen
adhesin, dan gen 16S rRNA. Target yang sangat spesifik untuk diagnosis PCR dari H.pylori
adalah gen 16S rRNA. Gen ini adalah target umum yang mengkonfirmasi infeksi H. pylori dan
sebelumnya telah digunakan untuk membantu reklasifikasi organisme. Urease adalah target
spesifik untuk mendeteksi infeksi H. pylori, dan amplifikasi positif DNA spesifik bakteri dapat
dianggap sebagai bukti langsung adanya patogen. Gen ini secara rutin diperoleh dari sampel
klinis seperti darah, jaringan biopsi, feses, air liur, whole blood, dan kultur untuk tujuan
diagnostik, namun spesifisitas dan sensitivitas diagnosis bervariasi, sesuai dengan persiapan
sampel yang berbeda dan berbagai kondisi laboratorium. Metode PCR Monoplex, multiplex,
dan nested berguna untuk mengidentifikasi H. pylori secara spesifik pada sampel biologis.
Teknik PCR real-time kuantitatif (Q) adalah teknik yang lebih maju dibandingkan metode
konvensional lainnya untuk diagnosis klinis H. pylori, namun teknik ini membutuhkan
endoskopi untuk mendapatkan sampel biopsi. Banyak rangkaian primer telah dilaporkan untuk
menargetkan H. pylori, yang sebagian besar ditargetkan pada urutan nukleotida RNA subunit
kecil yang mengandung daerah spesifik spesies. Rangkaian primer lain menargetkan urutan
DNA UreA, UreB, UreC, dan VacA yang sangat repetitif. (Kalilpour et al, 2016)
Tes yang menarik untuk mendeteksi H. pylori adalah urea breath test. Metode ini
adalah pilihan noninvasif untuk diagnosis H. pylori sebelum dan sesudah perawatan. Urea
breath test menggunakan teori bahwa H. pylori menghasilkan urease, enzim yang
memetabolisme urea menjadi amonia dan karbon dioksida (CO2). Untuk tes ini, pasien
menelan tablet yang mengandung sejumlah kecil urea berlabel 13C. 13C adalah bentuk
nonradioaktif dari karbon yang sedikit lebih berat dari pada karbon biasa. 13-CO2 diserap
melalui lapisan perut dan dibawa ke sistem peredaran darah. Setelah 20 menit, sampel napas
7
dianalisis dengan mesin. Pasien tanpa infeksi H. pylori akan menghasilkan sedikit atau tidak
ada 13-CO2, dan urea akan diekskresikan dalam feses dan urine. Urea breath test dikenal
sebagai standar baku untuk deteksi in vivo infeksi H. pylori dan juga merupakan cara yang baik
untuk mengevaluasi apakah terapi H. pylori telah berhasil memberantas organisme tersebut.
Namun, tes ini mungkin kurang dapat diandalkan untuk anak-anak karena rendahnya produksi
CO2 pada anak dibandingkan dengan orang dewasa. Tes antigen feses adalah metode diagnosis
non-invasif antigen H. pylori pada feses pasien yang dicurigai memiliki infeksi H. pylori aktif.
Studi telah membuktikan keakuratan uji antigen feses dengan menggunakan H. pylori stool
antigen (HpSA) test untuk mendeteksi infeksi H. pylori. Tes ini sangat sensitif, presisi, dan
sangat baik untuk mendiagnosis infeksi pada anak-anak yang tidak mampu melakukan UBT.
Namun demikian, beberapa penelitian telah menunjukkan hasil false negative yang meningkat
untuk tes antigen feses selama terapi proton pump inhibotor (PPI). Proton pump inhibitor
seperti omeprazole atau lansoprazole adalah kelompok obat yang bekerja dengan mengurangi
jumlah asam lambung yang dibuat oleh kelenjar di lapisan lambung, penghambat sekresi asam
yang paling baik yang tersedia. (Kalilpour et al, 2016)
Infeksi H. pylori merangsang respon imun yang kuat yang menghasilkan produksi
antibodi. Antibodi spesifik terhadap H. pylori dalam serum, whole blood, air liur, dan feses
dapat dideteksi menggunakan metode serologi seperti enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan western blotting. Tes antibodi yang positif bersamaan dengan gejala dispepsia
cukup meyakinkan klinisi untuk meresepkan terapi antibiotik untuk mengeradikasi infeksi H.
pylori. Kelemahan tes darah adalah adanya antibodi dalam sirkulasi selama beberapa bulan
sampai tahun setelah tidak adanya infeksi dapat menghasilkan misdiagnosis dan terapi yang
tidak tepat akibat hasil pemeriksaan serologi yang positif palsu. (Kalilpour et al, 2016)

2.5 MP Diagnostics (MPD) Assure H. pylori Rapid Test


MP Diagnostics (MPD) Assure H. pylori Rapid Test merupakan alat tes
imunokromatografi yang digunakan untuk deteksi cepat antibodi IgG terhadap H. pylori dalam
serum, plasma, atau whole blood manusia. Alat tersebut dipakai sebagai tes diagnosis klinis
untuk mendiagnosis infeksi H. pylori pada pasien dengan gangguan lambung. Sebagai
tambahan, adanya antibodi terhadap current infection marker (CIM) rekombinan
mengindikasikan infeksi saat ini. MP Diagnostics (MPD) Assure H. pilori Rapid Test
merupakan pemeriksaan imunokromatografi fase padat tidak langsung dimana antibodi dalam
sampel serum, plasma, atau whole blood membentuk kompleks antibodi-antigen dengan
antigen H. pylori immobilized pada membran. Ikatan kompleks antibodi-antigen kemudian
8
dideteksi oleh IgG anti-human yang telah dikonjugasikan dengan colloidal gold. Garis kontrol
mengandung protein A yang berikatan dengan IgG manusia dan IgG anti-human – colloidal
gold conjugate yang mengindikasikan perlakuan sampel yang benar. Pasien dari daerah
geografi yang berbeda telah dites menggunakan MP Diagnostics (MPD) Assure H. pilori Rapid
Test. Hasil yang ada dibandingkan dengan standar baku untuk infeksi aktif (histologi, kultur,
rapid urease test, dan urea breath test) (Tabel 2.1) (MPD, 2009).

Tabel 2.1 Beberapa Hasil Uji Diagnostik IgG terhadap Hp (MPD, 2009)

*populasi pediatri

9
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Karangka Konseptual

Kolonisasi H. pylory Respon imun

Respon jaringan lambung Produksi Respon


(chronic superficial gastritis) antibodi cell-mediated

Infiltrasi mukosa oleh sel


mononuclear dan
polimorfonuklear

Klinis dispepsia

Keterangan
: Variabel yang tidak diteliti

: Variabel yang diteliti

Keterangan kerangka konsep


Kolonisasi H. pylori menginduksi respon jaringan lambung, gastritis superfisial kronis,
termasuk infiltrasi mukosa oleh sel mononuclear dan polimorfonuklear. Kolonisasi tersebut
disertai oleh respon imun persisten yang besar termasuk produksi antibodi lokal dan sitemik
serta respon-respon yang dimediasi oleh sel meskipun banyak adaptasi H. pylori dikatakan
dapat mencegah stimulasi sistem imun yang berlebihan.

3.2 Hipotesis Penelitian


Terdapat nilai diagnostic yang bermakna pada pemeriksaan serologis antibodi IgG terhadap
Hp untuk menentukan diagnosis infeksi Hp

10
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan pengambilan data
cross-sectional. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang
didapat dari hasil rapid test antibodi terhadap H. pylori dan hasil kultur H. pylori dan
pemeriksaan histopatologi pada pasien sindroma dispepsia yang menjalani endoskopi serta
data sekunder yang didapat dari rekam medis untuk menentukan sampel sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi.

4.2 Populasi dan Sampel


4.2.1 Populasi
Subyek penelitian merupakan pasien sindroms dispepsia yang dilakukan endoskopi di
RSUD dr. Soetomo Surabaya.

4.2.2 Sampel
4.2.2.1 Besar Sampel
Rumus yang digunakan untuk menentukan besar sampel pada penelitian ini adalah
menggunakan rumus penentuan besar sampel uji diagnostik (Dahlan, 2010). Rumus tersebut
adalah sebagai berikut.
(Zα)2PQ
N = ---------------------
d2
Keterangan:
 N = jumlah sampel
 P = sensitifitas alat yang diinginkan (0,90)
 Kesalahan tipe I (Zα) = deviasi baku alpha (1,96)
 Q = 1-P
 d adalah presisi penelitian sebesar 10% (0,10)
 Interval kepercayaan 95% (α = 0,05)

11
Sehingga, didapatkan perhitungan :
(1,96)2 x 0.90 x 0,10
N = ----------------------------- = 34,57 = dibulatkan menjadi 35
(0,10)2

4.2.2.2 Kriteria Inklusi


Kriteria inklusi sampel penelitian ini adalah sebagai berikut.
 Pasien usia 17-55 tahun.
 Pasien dengan sindroma dispepsia yang dilakukan endoskopi di RSUD dr. Soetomo
Surabaya.
 Pasien bersedia dimintakan pemeriksaan rapid test antibodi terhadap H. pylori.
Diagnosis sindroma dispepsia ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Diagnosis infeksi H. pylori ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan kultur Hp dan
histopatologi dari jaringan endoskopi.

4.2.2.3 Kriteria Eksklusi


Kriteria eksklusi sampel penelitian ini adalah sebagai berikut.
 Pasien sindroma dispepsia yang telah mendapatkan terapi.
 Pasien yang menderita keganasan.
 Penderita menolak keikutsertaan dalam penelitian

4.2.2.4 Teknik Sampling


Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara consecutive sampling yaitu setiap
pasien sindroma dispepsia yang dilakukan endoskopi di RSUD dr. Soetomo Surabaya pada
saat periode penelitian dan lolos setelah dilihat dari kriteria inklusi dan eksklusi, diambil
sampai sesuai jumlah sampel yang telah ditetapkan.

4.3 Variabel Penelitian


Variabel bebas pada penelitian ini adalah diagnosis pasien sindroma dispepsia dengan
atau tanpa infeksi H. pylori. Variabel terikat pada penelitian ini adalah hasil rapid test antibodi
terhadap H. pylori.

12
4.4 Definisi Operasional Variabel
Nomor Variabel Definisi Alat ukur Satuan Skala
Operasional
1 Sindroma Rasa tidak nyaman Anamnesis dan - Nominal
Dispepsia yang berasal dari pemeriksaan
daerah abdomen fisik
bagian atas
2 Infeksi H. Kolonisasi H. pemeriksaan - Nominal
pylori pylori pada penunjang
lambung laboratorium:
kultur Hp (+)
dan / atau
histopatologi
Hp (+) dari
jaringan
endoskopi
3 Antibodi IgG spesifik anti H. MP - Nominal
terhadap H. pylori yang Diagnostics
pylori nantinya akan (MPD) Assure
bereaksi terhadap H. pylori Rapid
current infection Test (+)
marker (CIM)
rekombinan
sehingga
menunjukkan
infeksi saat ini dan
kemungkinan tidak
bereaksi silang
dengan kuman lain.

13
4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel penelitian ini dilaksanakan di RSUD dr. Soetomo Surabaya dan
pemeriksaannya dilakukan di Laboratorium Sentral RSUD dr. Soetomo Surabaya pada bulan
April - Juni 2018.

4.6 Alat dan Bahan Penelitian


4.6.1 Alat
1. Alat Pengambilan Sampel: spuit 5 mL, tabung serum
2. Alat Pemeriksaan Serologi H. pylori: MP Diagnostics (MPD) Assure H. pilori Rapid
Test

4.6.2 Bahan
Sampel serum darah vena serta rekam medis.

4.7 Prosedur Penelitian

Penentuan Sampel

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Jumlah Sampel

Pengolahan dan Penganalisisan


Data

14
4.8 Rencana Pengolahan dan Analisis Data
Data yang didapat dari hasil penelitian akan dianalisis secara analitik, semua data
variabel ditabulasi secara manual, uji diagnosis akan dilakukan terhadap data hasil rapid test
antibodi terhadap H. pylori dibandingkan dengan hasil kultur H. pylori yang ada untuk
menentukan sensitivitas, spesifisitas, PPV, dan NPV dalam mendiagnosis infeksi H. pylori.

15
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson NSS and Braden B. 2016. Helicobacter pylori Infection: Diagnostic Strategies in
Primary Diagnosis and After Therapy. Dig Dis Sci 61: 19-24

Dahlan. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Edisi ke-3. Jakarta: Salemba
Medika.

Greenwood, D., Barer, M., Slack, R. and Irving, W. 2012. Medical Microbiology. 18th ed.
Nottingham: Elsevier.

Khalilpour, A., Kazemzadeh-Narbat, M., Tamayol, A., Oklu, R. and Khademhosseini, A.,
2016. Biomarkers and diagnostic tools for detection of Helicobacter pylori. Applied
microbiology and biotechnology, 100(11), pp.4723-4734.

Longo, D., Langford, C. and Fauci, A. 2013. Harrison's gastroenterology and hepatology. 2nd
ed. New York: McGraw-Hill Education Medical.

MP Diagnostics (MPD). 2009. Assure H. pilori Rapid Test: Instructions For Use

Patel, S.K., Pratap, C.B., Jain, A.K., Gulati, A.K. and Nath, G., 2014. Diagnosis of
Helicobacter pylori: what should be the gold standard?. World journal of gastroenterology:
WJG, 20(36), p.12847.

Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) dan Kelompok Studi Helicobacter pylori


Indonesia (KSHPI). 2014. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi
Helicobacter pylori.

Shady, M.M.A., Fathy, H.A., Ali, A., Galal, E.M., Fathy, G.A. and Sibaii, H., 2015.
Comparison of serum IgG antibody test with gastric biopsy for the detection of Helicobacter
Pylori infection among Egyptian children. Open access Macedonian journal of medical
sciences, 3(2), p.303.

16
Simadibrata, M., Makmun, D., Abdullah, M., Syam, A.F., Fauzi, A. and Renaldi, K., 2014.
Konsensus nasional: penatalaksanaan dispepsia dan infeksi. Helicobacter pylori, pp.4-6.

Struthers, J. and Westran, R. 2005. Clinical Microbiology. 2nd ed. London: Manson
Publishing.

Tille, P. 2017. Bailey and Scott's Diagnostic microbiology. 14th ed. St. Louis: Elsevier.

17

Anda mungkin juga menyukai