Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN LENGKAP (P)

IMUNOSEROLOGI
PEMERIKSAAN HIV

OLEH
NAMA : DELLAVITA KUNDARO
NIM : 17 3145 453 085
KELAS : 17C
KELOMPOK : I (SATU)

DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2019
A. JUDUL PERCOBAAN
Praktikum ini berjudul pemeriksaan HIV

B. TUJUAN
Untuk mengetahui adanya Human Imuno Defisiensi Virus pada serum
pasien.

C. PRINSIP
Ultra rapid test device (seru/plasma) adalah bersifat kualitatif
selaputnya memiliki kekebalan dengan sistem antigen ganda untuk
mendeteksi antibodi terhadap antibodi HIV dalam serum atau plasma.

D. METODE
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Dipindahkan test device dari kantung pembungkus dan gunakan sesegera
mungkin. Hasil terbaik akan didapatkan jika pengujiannya dikerjakan
dalam satu jam.
3. Ditempatkan test device pada permukaan yang bersih dan bermutu atau
permukaan yang tinggi.
4. Dipegang pipet tetes secara vertikal, teteskan 1 tetes serum/plasma
(sekitar 25 ul), kemudian tambahkan 1 tetes larutan buffer sekitar 40 ul.
5. Ditunggu sampai garis merah terlihat. Hasil akan terbaca dalam 10 menit.

E. LANDASAN TEORI
Sistem kekebalan tubuh yang sehat bersifat toleran terhadap molekul
yang dibentuk oleh tubuhnya sendiri. Infeksi bakteri, virus, dan parasit,
beberapa antigennya dapat memiliki struktur yang homolog, yaitu memiliki
identitas rantai ata u konformasi yang serupa dengan molekul tubuh (mimikri
molekuler). Akibatnya, pada pasien terinfeksi bakteri, virus dan parasit
tersebut, toleransi autoantigen menjadi terganggu dan muncul respons imun
terhadap antigen tubuh yang serupa dengan antigen penyebab infeksi, yang
selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan dan timbulnya penyakit.
(Shoenfeld Y et al., 2006)
Beberapa infeksi diketahui berhubungan dengan meningkatnya
antibodi fosfolipid (antiphospholipidantibody/APA). Infeksi kulit, infeksi
human immunodeficiency virus (HIV), pneumonia, infeksi virus hepatitis C,
infeksi saluran kemih, infeksi mikoplasma, tuberkulosis paru, malaria, infeksi
P. carinii, dan leptospirosis merupakan infeksi yang sering ditemukan
sebagai faktor pemicu peningkatan antibodi antifosfolipid. (Cervera R et al.,
2002)
Peningkatan antibodi antifosfolipid juga berkaitan dengan
meningkatnya kejadian trombosis pembuluh darah arteri dan vena
(Gustafsson et al., 2015).Trombosis yang terjadi pada pasien dengan antibodi
antifosfolipid yang dipicu infeksi dipengaruhi oleh predisposisi genetik dan
polimorfisme ß2 GP1 (alel Val247). Beberapa infeksi seperti sifilis, penyakit
Lyme, infeksi cytomegalovirus (CMV), dan infeksi EbsteinBarr Virus (EBV)
belum diketahui memiliki hubungan dengan kejadian trombosis. Infeksi yang
diketahui berhubungan dengan kejadian trombosis adalah infeksi HIV.
(Cervera R et al., 2002)
Dewasa ini perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam segala
macam bidang teknologi, khususnya imunologi serologi, dikembangkan
untuk menerangkan dan menegakkan diagnosa berbagai macam penyakit.
Salah satunya adalah pemeriksaan HIV untuk mendiaknosa AIDS. AIDS
adalah suatu keadaan akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh
secara bertahap disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai HIV
(Human Immunodeficiency Virus) atau lebih tepat yaitu Human T-Cell
Lymphdenopathy Associated Virus (LAV). (Shahlan, 1997)
Epidemi infeksi HIV (Human Immunode ficiency Virus) dan AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome) di Indonesia disadari sebagai
masalah kesehatan masyarakat yang penting dan memberikan dampak
multifaktorial. Hal ini timbul dari permasalahan sosial ekonomi, lingkungan,
akulturasi budaya dan pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat. Indonesia
merupakan Negara yang rentan terhadap epidemi HIV/AIDS karena beberapa
faktor risiko ada di Indonesia seperti perilaku seksual berisiko tinggi,
kemiskinan, prevalensi infeksi menular seksual yang tinggi serta arus
perpindahan penduduk yang tinggi. (Bertozi, Padian & Wergbeir, 2010)
Infeksi HIV dapat ditularkan melalui 3 cara utama yaitu hubungan
seksual, paparan produk darah yang terinfeksi virus HIV dan penularan
selama masa perinatal termasuk pada saat menyusui. Jenis penularan mana
yang mudah terjadi pada suatu kelompok masyarakat sangat dipengaruhi oleh
faktor sosial, kultural dan lingkungan yang sangat berbeda antar beberapa
negara. Namun hampir disemua negara, penularan melalui hubungan s eks ual
mer upakan pr os es penularan yang paling banyak terjad (Iweala, 2004; Paul,
Cadoff, Martin, 2004; WHO, 2009).
Keberadaan virus HIV dalam tubuh manusia hanya dapat diketahui
melalui pemeriksaan laboratorium pada sampel cairan tubuh seperti darah,
plasma dan lainnya. Individu dengan HIV di dalam tubuhnya tidak
menampakkan gejala kecuali apabila individu tersebut masuk dalam fase
AIDS. Ada tidaknya virus HIV berdampak pada pemberian terapi anti
retroviral (ARV). Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium memegang
peranan yang sangat penting dalam program pengendalian HIV. (Cohen,
Shaw, McMichael, Haynes, 2011).

F. ALAT DAN BAHAN


a. Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu tourniquet, spoit,
tabung fakum, dan rak tabung.
b. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu sampel darah
vena (serum/plasma) dan kapas alkohol.
G. HASIL PENGAMATAN
Tabel Hasil Pengamatan
No Umur Pasien Sampel Hasil
1. 20 tahun Serum/plasma Negatif (-)

H. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini kami melakukan pemeriksaan HIV yang bertujuan
untuk mengetahui adanya Human Imuno Defisiensi Virus pada serum pasien.
Pemeriksaan ini menggunakan rapid test yang akan dicelupkan dalam serum
atau plasma. Serum atau plasma yang digunakan yaitu milik mahasiswa yang
melakukan praktikum itu sendiri.

I. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa sampel urine yang
digunakan dalam pemeriksaan test narkoba didapatkan hasil negatif, yang
ditandai dengan terbentuknya dua garis pada daerah control dan test strip
narkoba.

J. SARAN
Praktikan disarankan sebelum memulai praktikum harus menggunakan
APD yang lengkap serta memahami dan mengikuti sesuai dengan prosedur
kerja yang diterapkan. Dan memperhatikan reagen yang digunakan agar tidak
didapatkan hasil positif/negatif palsu.
DAFTAR PUSTAKA

Bertozi, B., Padian, N. S., Wegbreit. 2010. HIV/AIDS Prevention and Treatment.
Available at: http://files.dcp2.org/pdf/DCP/DCP18.pdf Diakses tanggal
29 November 2012

Cervera R, Piette JC, Font J, Khamashta MA, Shoenfeld Y, Camps MT, et al.
2002. Antiphospholipid syndrome: clinical and immunologic
manifestations and patterns of disease expression in a cohort of 1,000
patients. Arthritis Rheum. 2002;46(4):1019-27.Shoenfeld Y, Blank M,
Cervera R, Font J, Raschi E, Meroni PL. 2006. Infectious origin of the
antiphospholipid syndrome*. Ann Rheum Dis. 2006; 65(1): 2–6.

Cohen, M.S., Shaw,G.M., McMichael, A.J., Haynes, B.F. 2011. Acute HIV-1
Infection. Review Article, NEJM , 364 (20)

Gustafsson JT, Gunnarsson I, Kallberg H, Pettersson S, Zickert A, Vikerfors A, et


al. 2015. Cigarette smoking, antiphospholipid antibodies and vascular
events in Systemic Lupus Erythematosus. Ann Rheum Dis.
2015;74(8):1537-43.

Iweala, O. I., 2004. HIV Diagnostics Test: Overview. Contraception. 70. 141-142.

Paul,M.S., Cadoff, E.M., Martin, E., 2004. Rapid Diagnostic Testing HIV:
Clinical Implication. Clinical Virology & Infectious Disease. Reference
Section.

Shahlan. J. H. 1997. AIDS Dan Penanggulangannya. Pusdiknakes kerjasama


dengan The Ford Foundation dan Studio Driya Media, Jakarta.

WHO, 2009. Guidelines for HIV Diagnosis and Monitoring of Antirtroviral


Therapy. WHO Regional Office of South –East Asia.

Anda mungkin juga menyukai