Anda di halaman 1dari 29

TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH HIV AIDS

ASKEP KLIEN DENGAN PENATALAKSANAAN ARV

DAN KETIDAKPATUHAN ADHERENCE

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 2

1. ANIK MUKTININGSIH G2A220036


2. TAAT TRIYANTO G2A220030
3. NOVA DESTIANINGSIH G2A220012
4. EKA WIJI K G2A220031
5. SETYO PRABOWO G2A220009
6. PURWANTO G2A220010
7. KUNI NURUL H G2A220027
8. FITRI MASRUROH G2A220034
9. RUMIYATI G2A220016

PROGRAM SARJANA ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2020
MAKALAH

ASKEP KLIEN DENGAN PENATALAKSANAAN ARV

DAN KETIDAKPATUHAN ADHERENCE


BAB 1

1. KONSEP DASAR

A. Definisi HIV/AIDS

The Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus menginfeksi sel- sel sistem
kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Infeksi HIV membuat kerusakan
progresif sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan AIDS (WHO, 2015).

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan penyakit yang disebabkan
oleh HIV. HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama darah, cairan sperma, cairan vagina, air
susu ibu. Virus tersebut merusak system kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya
atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi (Depkes, 2006).

HIV adalah retrovirus yang termasuk golongan virus Ribonucleic Acid (RNA), yaitu virus yang
menggunakan RNA sebagai molekul pembawa genetik. Sebagai retrovirus, HIV memiliki sifat
khas karena memiliki enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus merubah
informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk Deoxyribonucleic Acid (DNA)
yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel l limfosit yang diserang. Dengan
demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sellimfosit untuk mengkopi dirinya menjadi virus
baru yang memiliki ciri-ciri HIV (Depkes, 2006).

HIV dapat ditemukan dan diisolasikan dari sel limfosit T, limfosit B, sel makrofag (di otak dan
paru) dan berbagai cairan tubuh. Akan tetapi sampai saat ini hanya darah dan air mani yang jelas
terbukti sebagai sumber penularan serta ASI yang mampu menularkan HIV dari ibu ke bayinya
(Depkes, 2006).

B. Asal mula HIV

Tjokoro (1992), virus leukemia Human T-cell lymphotropic virus (HTLV) mempunyai
hubungan dengan malignansi pada limfosit T dan dapat memproduksi sel T secara berlebihan serta
menyebabkan leukemia. Tiga tipe Retrovirus yang berkerabat, tetapi secara imunologik sangat
berbeda telah berhasil didefinisikan, yaitu HTLV serotype I,II,III. Serotipe yang berhasil
diasingkan terlebih dahulu adalah HTLV-I yaitu penyebab Adult T Cell Leukemenia (ALT).
HLTV-II berhasil diasingkan dari varian sel T yang berasal dari leukemenia yang sangat jarang
(hairy cell leukemenia), tetapi belum ditemukan kaitannya secara jelas dengan suatu penyakit
khusus HTLV-III merupakan suatu penyebab penyakit imunoregulator yang gawat dengan
terganggunya sistem kekebalan didapat yang berat. Hal ini peranan sangat penting pada imunitas
seluler.
Diserang limfosit T menimbulkan perubahan perbandingan sel T-helper & sel T suppressor (Ts,
OKT8-reaktive, CD8) dalam darah perifer secara normal rasio TH/TS. Sehubungan dengan
penyakit AIDS, para peneliti di Perancis melaporkan tentang penemuan suatu virus dari penderita
AIDS, para penderita AIDS yang disebut Lymphadenopathy-Associated Virus (LAV) atau
Immuno Deficiency-Associated Virus (IDAV). Virus yang diasingkan ini ternyata mempunyai
sifat-sifat yang identik dengan HTLV-III AIDS di Amerika Selatan).

Sifat yang identik diantaranya adalah tropisma yang kuat dan spesifik terhadap sel limfosit T-
helper dan menimbulkan kerusakan pada sel tersebut sehingga mengakibatkan penyakit AIDS.
Virus AIDS kemudian disebut Human T- Lymphotropic Virus type II Cheerman dan berre (1985),
kemudian menyebutkan virus AIDS dengan Lhymnodenopathy AIDS Virus (LAV). Akhirnya oleh
komisi taksonomi internasional diberi nama baru yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV).

C. Etiologi

Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yakni sejenis virus NA yang tergolong retrovirus.Virus
ini memiliki materi genetik berupa sepasang asam ribonukleat rantai tunggal yang identik dan
suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Virion HIV mempunyai tiga bagian utama yaitu
envelope yang merupakan lapisan terluar, capsid yang meliputi isi virion dan core yang merupakan
isi virion. Envelope adalah lapisan lemak ganda yang terbentuk dari sel penjamu dan mengandung
protein penjamu. Pada lapisan ini tertanam glikoprotein virus yang disebut glikoprotein41 (gp41).
Pada bagian luar protein ini terikat glikoprotein120 (gp120). Molekul gpl20 ini akan berkaitan
dengan reseptor Cluster of differentiation 4 (CD4) pada saat menginfeksi limfosit T4 atau sel
lainnya yang mempunyai reseptor tersebut. Pada elektroforesis, kompleks antara molekul gp41
dan gp120 akan membentuk pita yang disebut gp160. Capsid berbentuk iko sahedral dan
merupakan lapisan protein yang dikenal sebagi p17. Pada bagian core terdapat sepasang RNA
rantai tunggal, enzim-enzim seperti reverse transcriptase, endonuclease dan protease, serta protein-
protein struktural terutama p24 (Hoffmann, Rockstroh, & Kamps, 2006 dalam Kusuma, 2011).

Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih (Limfosit T helper)
yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 mempunyai pusat dan sel utama yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi kebanyakan fungsi-fungsi
kekebalan, sehingga kelainan-kelainan fungsional pada sel T4 akan menimbulkan tanda-tanda
gangguan respon kekebalan tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh seseorang, HIV dapat diperoleh
dari limfosit terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag, dan cairan otak penderita AIDS.

Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemrograman ulang
materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan
disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. Enzim ini lah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai
antigen. Sehingga keberadaan virus HIV di dalam tubuh tidak dihancurkan oleh T4 helper. Fungsi
dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit, kalau fungsi sel T4 helper terganggu,
mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk
menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius (Price & Wilson, 2006).

CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaansel-sel darah putih manusia,
terutama sel-sel limfosit. CD4 pada orang dengan system kekebalan yang menurun menjadi sangat
penting, karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel
darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500
selper ml darah. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada
orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada
beberapa kasus bisa sampainol)

Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya berfungsi untuk melawan berbagai macam
sumber infeksi. Disekitar kita banyak sekali sumber infeksi yang beredar, baik yang berada di
udara, makanan ataupun minuman. Namun kita tidak setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih
bisa berfungsi dengan baik untuk melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang, mikroorganisme yang
patogen di sekitar kita tadi akan dengan mudah masuk ke tubuh kita dan menimbulkan penyakit
pada tubuh manusia (Nursalam & Kurniawati, 2009).

Sel T4 dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun) adalah sel- sel yang terinfeksi HIV
dan terkonsentrasi di kelenjar limfe, limpa, dan sumsum tulang. HIV menginfeksi sel melalui
pengikatan dengan protein perifer CD4, dengan bagian virus yang bersesuaianya itu antigen
grup120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka HIV menginfeksi sel lain
dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon
imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi (Hoffmann,
Rockstroh, & Kamps, 2006 dalam Kusuma, 2011).
D. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host akibat intervensi
HIV. Manifestasi ini dapat berupa gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan asimtomatik
berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS berat. Perjalanan penyakit HIV dapat dibagi menjadi 4
tahap (Tjokoprawiro, et al, 2015).

Pertama, merupakan tahap infeksi akut, pada tahap ini muncul gejala infeksi virus tetapi tidak
spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat berupa demam, nyeri
kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri telan, rasa letih dan pembesaran kelenjar getah bening. Dapat
juga disertai meningitis aseptic ditandai demam, nyeri kepala, hebat, kejang-kejang dan
kelumpuhan saraf otak.

Kedua, merupakan tahap asimtomatik, pada tahap ini gejala dan keluhan hilang.Tahap ini
berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun setelah infeksi.Disini sedang terjadi
internalisasi HIV ke intra seluler. Pada tahap ini aktivitas masih normal.

Ketiga, merupakan tahap simtomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik dengan
gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%, pada selaput mulut
terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan pada sudut mulut, dapat juga ditemukan infeksi
bakteri pada saluran nafas bagian atas namun penderita dapat melakukan aktivitas terganggu.
Penderita lebih banyak berada di tempat tidur meskipun kurang 12 jam perhari dalam bulan
terakhir.

Keempat, merupakan tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS. Pada tahap ini terjadi
penurunan berat badan lebih 10%, diare yang lebih dari 1 bulan, panas yang tidak diketahui
sebabnya lebih dari satu bulan, kandidiasis oral, oral leukoplakia, tuberculosis paru, dan
pneumonia bakteri. Penderita berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan
terakhir. Penderita diserbu berbagai macam infeksi sekunder, misalnya pneumonia pneumokistik
karinii, toksoplasmosis otak, diare akibat kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo, infeksi
virus herpes, kandidiasis pada esophagus, trakea, bronkus atau paru serta infeksi jamur yang lain
misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis. Dapat juga ditemukan beberapa jenis malignansi,
termasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarcoma Kaposi. Hiperaktivitas komplemen
menginduksi sekresi histamine. Histamin menimbulkan keluhan gatal pada kulit dengan diiringi
mikroorganisme di kulit memicu terjadinya dermatitis HIV.
E. Definisi kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturandalam dan perilaku
yang disarankan. Pengertian dari kepatuhan adalah menuruti suatu perintah atau suatu aturan.
Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan perawatan, pengobatan dan perilaku
yang disarankan oleh perawat, dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Kepatuhan (compliance atau
adherence) mengambarkan sejauh mana pasien berperilaku untuk melaksanakan aturan dalam
pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh tenaga kesehatan (Bart, 2004).

F. Batasan kepatuhan

Kepatuhan terhadap aturan pengobatan sering kali dikenal dengan“Patient Compliance”.


Kepatuhan terhadap pengobatan dikhawatirkanakan menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan,
seperti misalnya bila tidak minum obat sesuai aturan, maka akan semakin memperparahpenyakit
(Bambang, 2006 dalam Rahayu 2011).

G. Pengukuran perilaku kepatuhan

Kepatuhan pasien terhadap aturan pengobatan pada prakteknya sulitdianalisa karena


kepatuhan sulit di identifikasikan, sulit diukur dengan teliti dan tergantung banyak faktor.
Pengkajian yang akurat terhadap individu yang tidak patuh merupakan suatu tugas yang sulit.
Metode yang digunakan untuk mengukur sejauh mana seseorang dalam mematuhi nasehat dari
tenaga kesehatan yang meliputi laporan daridata orang itu sendiri, laporan tenaga kesehatan,
perhitungan jumlah pil dan botol, tes darah dan urine, alat-alat mekanis, observasi langsung dari
hasil pengobatan (Niven, 2002).

H. Upaya peningkatan kepatuhan

Upaya meningkatkan kepatuhan bisa dengan meningkatkan kemampuan menyampaikan


informasi oleh tenaga kesehatan yaitudengan memberikan informasi yang jelas pada pasien
mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya, keterlibatan lingkungan sosial
(keluarga) dan beberapa pendekatan perilaku. Riset telah mempertunjukkan bahwa jika kerjasama
anggota keluargadiperoleh, kepatuhan menjadi lebih tinggi (Bart, 2004).

I. Kepatuhan terhadap kesehatan

Kepatuhan terhadap perawatan merupakan perilaku seseorang untukmentaati aturan dalam hal
pengobatan yang meliputi perlakuan khusus mengenai gaya hidup seperti diet, istirahat dan
olahraga serta konsumsi obat yang harus dikonsumsi, jadwal waktu minum, kapan harus
dihentikan dan kapan harus berkunjung untuk melakukan kontrol tekanan darah (Gunawan, 2001).
J. Pengertian kepatuhan minum obat

Terdapat beberapa terminologi yang menyangkut kepatuhan dalam mengkonsumsi obat,


seperti yang dikemukakan oleh Horne, et al. (2006), yaitu compliance, adherence dan
concordance. National Council on Patient Informations & Educations, perbedaan terminologi
tersebut berkaitan dengan perbedaan cara pandang dalam hal hubungan antara pasien penyedia
jasa kesehatan (dokter), termasuk terjadi kebingungan dalam hal bahasa untuk menggambarkan
perilaku mengkonsumsi obat yang diputuskan oleh pasien.

Lutfey & Wishner (1999) mengemukakan konsep compliance dalam konteks medis,
sebagai tingkatan yang menunjukkan perilaku pasien dalam mentaati atau mengikuti prosedur atau
saran ahli medis. Horne (2006) mengemukakan compliance sebagai ketaatan pasien dalam
mengkonsumsi obat sesuai dengan saran pemberi resep (dokter). Horne, et al. (2005) sebelumnya
mengemukakan bahwa istilah compliance menunjukkan posisi pasien yang cenderunglemah
karena kurangnya keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan mengenai obat yang
dikonsumsi. Dalam pengertian persistence, pasien menunjukkan perilaku yang secara
kontinyu/rutin mengkonsumsi obat, yang dimulai dari resep pertama sampai resep berikutnya dan
seterusnya.

Lutfey & Wishner (1999) menjelaskan bahwa dalam pengertian adherence lebih tinggi
kompleksitasnya dalam medical care, yang dicirikan oleh adanya kebebasan, penggunaan
intelegensi, kemandirian oleh pasien yang bertindak lebih aktif dan perannya lebih bersifat
sukarela dalam menjelaskan dan menentukan sasaran-sasaran dari treatmen pengobatan. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa dalam pengertian adherencepasien menjadi lebih kontinyu dalam proses
pengobatan. Horne (2006) mendefinisikan adherence sebagai perilaku mengkonsumsi obat yang
merupakan kesepakatan antara pasien dengan pemberi resep. Dalam pengertian ini, kelebihannya
adalah adanya kebebasan dari pasien dalam memutuskan apakah akan menyetujui rekomendasi
dari dokter atau tidak, dan jika terjadi kegagalan dalam proses ini, seharusnya bukan alasan untuk
menyalahkan pasien. Pengertian adherence berkembang dari pengertian compliance, hanya saja
dalam adherence lebih menekankan pada kebutuhan akan kesepakatan. National Council on
Patient Informations & Educations(2007) selanjutnya menegaskan bahwa dalam adherence
perilaku mengkonsumsi obat oleh pasien cenderung mengikuti perencanaan pengobatan yang
dikembangkan bersama dan disetujui antara pasien dan profesional.

Selanjutnya Horne, dkk. (2005) dan Horne (2006) menjelaskan pengertian concordance, yaitu
perilaku dalam mematuhi resep dari dokter yang sebelumnya terdapat hubungan yang bersifat
dialogis antara pasien dan dokter, dan merepresentasikan keputusan yang dilakukan bersama, yang
dalam proses ini kepercayaan dan pikiran dari pasien menjadi pertimbangan. Dalam concordance
terjadi proses konsultasi, yang di dalamnya terdapat komunikasi dari dokter dengan pasien untuk
mendukung keputusan dalam pengobatan.

Horne, dkk.(2006), lebih merekomendasikan pengertian kepatuhan dalam mengkonsumsi obat


dengan istilah adherence, dan hal ini banyak didukung oleh peneliti-peneliti lain, karena adanya
keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang pasien inginkan atau
harapkan dan keputusan yang wajar tentang pengobatan yang dibuat oleh dokter. Osterberg &
Blaschke (2005) juga menyarankan penggunaan istilah adherence, karena di dalam pengertian
adherence juga terdapat pengertian compliance, dengan tambahan pengertian bahwa di dalam
adherence peran pasien cenderung aktif dan terdapat kontrak terapiutik yang terjadi setelah melalui
proses komunikasi dan akhirnya terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak.

Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat dalam penelitian ini juga mengacu pada istilah adherence, yang dapat
disimpulkan sebagai perilaku untuk mentaati saran- saran atau prosedur dari dokter tentang
penggunaan obat, yang sebelumnya didahului oleh proses konsultasi antara pasien (dan atau
keluarga pasien sebagai orang kunci dalam kehidupan pasien) dengan dokter sebagai penyedia jasa
medis.

K. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat ARV

Information Motivation and Behavioral Skills (IMB) model diperkenalkan oleh Fisher dan
Fisher tahun 1992, model ini dirancang untuk mengidentifikasi kepatuhan berhubungan dengan
informasi, motivasi dan keterampilan berperilaku sebagai determinan kritis kepatuhan ART
(Amico, et al., 2006).IMB model berpendapat bahwa informasi, motivasi, dan keterampilan
berperilaku merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi perilaku pencegahan seseorang
terhadap penyakit.Melalui informasi, motivasi, dan keterampilan berperilaku untuk mengurangi
risiko penularan, perilaku pencegahan terhadap penyakit juga lebih mudah terwujud.

Informasi berhubungan dengan pengetahuan dasar mengenai penyakit, kondisi kesehatan, maupun
perilaku pencegahan yang dianjurkan. Sementara itu motivasi dipengaruhi oleh motivasi individu
dan motivasi sosial. Motivasi individu didasarkan pada sikap terhadap perilaku pencegahan, norma
subjektif, persepsi mengenai kerentanan terhadap penyakit, keuntungan dan hambatan dari
perilaku pencegahan, 'biaya' yang ditimbulkan dari perilaku berisiko. Motivasi sosial didasarkan
pada norma sosial, persepsi individu mengenai dukungan sosial, serta adanya saran dari orang lain.

Sementara itu keterampilan berperilaku merupakan kemampuan individu untuk melakukan


tindakan pencegahan, memastikan bahwa seseorang mempunyai keterampilan alat dan strategi
untuk berperilaku yang didasarkan pada keyakinannya (self efficacy) dan perasaan bahwa ia dapat
mempengaruhi keadaan/situasi (perceived behavioural control) untuk melakukan perilaku tersebut.
Keterampilan berperilaku merupakan prasyarat yang menentukan apakah informasi dan motivasi
yang bagus mampu mendorong tindakan pencegahan atau perubahan perilaku yang efektif.

Model ini beranggapan bahwa informasi dan motivasi masing-masing dapat memiliki pengaruh
secara langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku seseorang.

L. Informasi

Informasi ini meliputi tentang regimen, penggunaan ARV yang benar, kepatuhan yang
adekuat, tentang efek samping dan reaksi obat-obatan, tentang metode dan teori lengkap mengenai
kepatuhan (Fisher, 2006). Informasi berhubungan dengan pengetahuan dasar mengenai penyakit,
kondisi kesehatan, maupun perilaku pencegahan yang dianjurkan (WHO, 2003 dalam Amico
2006).

Informasi terkait kepatuhan meliputi informasi akurat yang dimiliki seseorang tentang regimen
ART dalam hal bagaimana dan kapan dosis harus diambil, potensi efek samping, dan keputusan
mengenai kepatuhan yang mungkin tidak akurat (misalnya, percaya bahwa obat dapat dilewati jika
sudah merasa baik) atau akurat (misalnya, memahami bahwa tingkat ketidakpatuhan yang rendah
dapat menghambat penekanan virus) (Fisher, 2006).

Pengetahuan ODHA tentang terapi ARV dapat mempengaruhi kepatuhan dalam mengikuti aturan-
aturan yang telah disepakati dalam terapi ARV. Kepatuhan yang tinggi diperlukan untuk
keberhasilan program terapi. Aturan minum obat ARV harus ditaati dengan baik, efek samping
yang mungkin terjadi, serta mencari pertolongan bila terjadi efek samping pada pasien. Hal ini
sangatlah penting untuk menghindari teradinya putus obat ataupun ketidakpatuhan dalam
menjalankan terapi ARV (Amico, et al. 2005).

Pasien HIV yang kurang mengetahui pengobatan sering tidak mengetahui aturan pengobatan yang
diberikan oleh petugas kesehatan dan olehkarena itu tingkat kepatuhan pengobatan lebih rendah.
Keterbatasan pengetahuan pengobatan adalah hambatan terhadap kepatuhan yang berpotensi
untuk diubah (Ubra, 2012).

M. Motivasi

Motivasi individu didasarkan pada sikap terhadap perilaku pencegahan, norma subjektif,
persepsi mengenai kerentanan terhadap penyakit, keuntungan dan hambatan dari perilaku
pencegahan, biaya yang ditimbulkan dari perilaku berisiko. Motivasi sosial didasarkan pada norma
sosial, persepsi individu mengenai dukungan sosial, serta adanya saran dari orang lain (WHO,
2003 dalam Amico 2006).
Motivasi meliputi sikap tentang dampak dari perilaku kepatuhan dan ketidakpatuhan dan evaluasi
hasil perilaku tersebut serta persepsi dukungan dari orang lain untuk patuh dalam minum obat dan
motivasi untuk memenuhi harapan orang lain (Fisher, 2006).

Motivasi sangat diperlukan dalam menjalankan kepatuhan terapi ARV, tanpa adanya motivasi
terapi ARV tidak dapat dilanjutkan (Nursalam dan Ninuk, 2007).Motivasi individu didasarkan
pada sikap terhadap perilaku pencegahan, norma subjektif, persepsi mengenai kerentanan terhadap
penyakit, keuntungan dan hambatan dari perilaku pencegahan. Motivasi sosial didasarkan pada
norma sosial, persepsi individu mengenai dukungan sosial, serta adanya saran dari orang lain.

N. Ketrampilan berperilaku

Keterampilan berperilaku ini meliputi keterampilan untuk memperoleh dan mengelola


sendiri terapi ARV, untuk memasukkan ke dalama regimen ekologi sosial kehidupan sehari-hari,
untuk meminimalkan efek samping, untuk memperbarui kepatuhan dalam terapi ARV sesuai
keperluan, untuk memperoleh dukungan sosial dan instrumental untuk mendukung kepatuhan dan
sebagai penguatan diri untuk patuh dari waktu ke waktu (Fisher, 2006).

Keterampilan berperilaku merupakan kemampuan individu untuk melakukan tindakan


pencegahan, memastikan bahwa seseorang mempunyai keterampilan alat dan strategi untuk
berperilaku yang didasrkan pada keyakinan (self efficacy) dan perasaan bahwa ia dapat
mempengaruhi keadaan/situasi (preceived behavioural control) untuk melakukan perilaku tersebut.
Keterampilan berperilaku merupakan prasyarat yang menentukan apakah informasi dan motivasi
yang bagus mampu mendorong tindakan pencegahan atau perubahan perilaku yang efektif
(Amico, et al, 2005).

Kepatuhan berhubungan dengan informasi dan motivasi keduanya berhubungan dengan tampilan
keterampilan berperilaku dalam kepatuhan minum ARV, secara spesifik ketika seseorang telah
memiliki informasi yang baik mengenai ART dan termotivasi, mereka berperilaku adekuat dan
konsisten untuk mencapai kepatuhan dalam ART. Kepatuhan berhubungan dengan keterampilan
berperilaku terdiri dari kemampuan objektif dan keyakinan (self efficcacy) untuk menampilkan
perilaku yang kritis, seperti menerima dan mengatur sendiripengobatan ART secara konsisten
setiap waktu, mencapai kecocokan antara regimen yang satu dengan ekologi alam dalam
kehidupan sehari-hari, mengambil langkah untuk mengurangi efek, mendapatkan informasi
mengenai ART dan mendukung ketika dibutuhkan, dan membangun strategi untuk menghargai
dan memperkuat perilaku kepatuhan ART (Amico, et al., 2005).
Askep Penatalaksanaan Pasien ARV dan Peran Perawat

dalam Meningkatan Adherence

A. Askep penatalaksaan Pasien ARV

HIV menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga pasien rentan terhadap
serangan infeksi oportunistik. Antiretroviral (ARV) bisa diberikan pada pasien untuk
menghentikana aktivitas virus, memulihkan sitem imun dan mengurangi terjadinya infeksi
oportunistik, memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan
pasien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup
penderita HIV/AIDS. Obat ARV terdiri atas golongan seperti nukleoside reverse transcripetase
inhibitor, non-nucleotide reverse transciptase inhibitor dan protease.

1. Tujuan pemberian ARV


ARV diberikan pada pasien HIV/AIDS dengan tujuan untuk :
a. Menghentikan replikasi HIV.
b. Memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadi infeksi oportunistik.
c. Memperbaiki kualitas hidup.
d. Menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV.
2. Jenis obat-obatan ARV
Obat ARV terdiri atas beberapa golongan antara lain nucleoside reverse transcriptase inhibitor,
non- nucleoside reverse transcriptase inhibitor, protease inhibitor dan fussion inhibitor.
a. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
Obat ini dikenal sebagai analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA
virus menjadi DNA (proses ini dikenal oleh virus HIV agar bisa bereplikasi. Contoh dari
obat ARV yang termasuk dalam golongan ini terdapat pada tabel di bawah ini.

Nama Generik Nama Dagang Nama Lain


Zidovudine Retrovir AZT,ZCV
Didanosine Videx ddi
Zalzitabine Hivid ddC, dideokxycytidine
Stavudine Zerit d4t
Lamivudine Epivir 3TC
Zidovudine/lamivudine Combivir Kombinasi AZT dan 3TC
Abacavir Ziagen ABC
Zidovu dine/lamivudine/abacavir Trizivir Kombinasi AZT, 3TC dan
abacavir
tenofavir viread Bis-poc PMPA
b. Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI), yang termasuk golongan ini adalah
tenofovir (TDF).
c. non- nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Golongan ini juga bekerja
dengan menghambat proses perubahan RNA menajdi DNA dengan cara mengikat reverse
transcriptase sehingga tidak berfungsi.
d. Protease inhibitor (PI, menghalangi kerja enzim protesa yang berfungsi memotong DNA
yang dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar untuk memproduksi virus baru,
contoh obat golongan ini adalah indinavir (APV), dan nelvinavir (NFV), squinavir (SQV),
ritonavir (RTV), amprenavir (APV) dan loponavir/ritonavir (LPV/r).
e. Fusion inhibitor. Yang termasuk golongan ini adalah enfuvirtide (T-20).
3. Efek samping ARV
Pasien yang sedang mendapatkan HAART umumnya menderita efek samping. Sebagai
akibatnya, pengobatan infeksi HIV dan risiko toksisitas yang kompleks antara
menyeimbangkan keuntungan supresi HIV dan risiko toksisitas obat. Sekitar 25% penderita
tidak meminum dosis yang dianjurkan karena takut akan efek samping yang ditimbulkan oleh
ARV (Arminio Monforte, Chesney, Eron, 2000, dan Ammassari, 2001 dalam kapser et al,
2006). Obat-obat ARV mempunyai efek samping tertentu seperti

4. Asuhan keperawatan pada pasien ARV


a. Pengkajian
1) Identitas Pasien
Meliputi nama lengkap, umur, jenis kelamin, agama, suku/bangsa, alamat, no regestrasi
dan diagnosa medis.
2) Status Kesehatan
a) Alasan MRS
b) Keluhan Utama :
Pasien mengeluhkan badan terasa lemas, sakit kepala, susah tidur, diare dll.
c) Riwayat Kesehatan Sekarang
d) Riwayat Kesehatan Dahulu
e) Riwayat Penyakit Keluarga
3) Pemeriksaan fisik
a) Inspeksi
b) Palpasi
c) Perkusi
d) Aukultasi

4) Aktivitas / istirahat
Mengatakan susah tidur (pola tidur terganggu).
5) Gejala: Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, progresi
kelelahan / malaise, Perubahan pola tidur
6) Psikososial
Takut menghadapi kematian karena penyakitnya.
b. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Berikut adalah diagnosa keperawatan yang didapatkan berdasarkan efek samping
dari pemberian ARV sebagai berikut :
1) Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif (diare)
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Kekurangan volume cairan  Keseimbangan  Pantau warna, jumlah dan
Definisi : Kekurangan elektrolit dan asam frekuensi kehilangan
basa; keseimbangan cairan
jumlah cairan yang ada di
elektrolit dan non  Observasi khususnya
dalam tubuh elektrolit dalam terhadap kehilangan cairan
kompartemen intrasel yang tinggi elektrolit
dan ekstrasel tubuh  Pantau perdarahan
Batasan Karakteristik :
 Hidrasi;  Identifikasi factor
Subjektif:  Haus keadekuatan cairan yang pengaruh terhadap
adekuat dalam bertambah buruknya
kompartemen intrasel dehidrasi
Objektif
 Perubahan status mental dan ekstrasel tubuh  Kaji adanya vertigo atau
 Penurunan turgor kulit  Status nutrisi: hipotensi postural
dan lidah asupan makanan dan  Kaji orientasi terhadap
 Penurunan haluaran cairan; jumlah makanan orang, tempat dan waktu
urin dan cairan yang masuk  Pantau status hidrasi
 Penurunan pengisian kedalam tubuh selama  Timbang berat badan
vena
periode 24 jam  setiap hari dan pantau
 Kulit dan membrane
mukosa kering kecenderungannya
 Kematokrit meningkat  Pertaruhkan keakuratan
 Suhu tubuh meningkat catatan asupan dan
 Peningkatan frekuensi haluaran
nadi, penurunan TD,
penurunan volume dan
tekanan nadi
 Konsentrasi urin
meningkat
 Penurunan berat badan
yang tiba-tiba
 Kelemahan

2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual


muntah
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Ketidakseimbangan nutrisi  Selera makan;  Tentukan motivasi
kurang dari kebutuhan tubuh keinginan untuk makan pasien untuk mengubah
ketika dalam keadaan kebiasaan makan
Batasan karakteristik : sakit atau sedang  Pantau nilai
 Berat badan kurang menjalani pengubatan laboratotium, khususnya
dari 20% atau lebih  Perawatan diri: makan; transferin, albumin, dan
dibawah berat badan kemampuan untuk elektrolit
ideal untuk tinggi badan mempersiapkan dan  Manajemen nutrisi:
dan rangka tubuh mengingesti makanan  Ketahui makanan
 Kehilangan berat dan cairan secara kesukaan pasien
baan dengan asupan mandiri dengan atau  Tentukan
makanan yang adekuat tanpa alat bantu kemampuan pasien untuk
 Melaporkan  Berat badan: masa memenuhi kebutuhan
kurangnya makanan tubuh; tingkat nutrisi
 Diare atau steatore kesesuaian berat badan,  Pantau kandungan
otot, dan lemak dengan nutrisi dan kalori pada
tinggi badan, rangka catatan asupan
tubuh, jenis kelamin  Timbang pasien
dan usia. pada interval yang tepat
3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan efek samping obat

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
Gangguan pola tidur NOC NIC
Definisi : Gangguan kualitas  Anxiety reduction Sleep Enhancement
dan kuantitas waktu tidur  Comfort level  Determinasi efek-efek
akibat faktor eksternal medikasi terhadap pola tidur
 Pain level
 Rest : Extent and  Jelaskan pentingnya tidur
Batasan Karakteristik :
Pattern yang adekuat
 Perubahan pola tidur
 Sleep : Extent an  Fasilitas untuk
normal
Pattern mempertahankan aktivitas
 Penurunan
Kriteria Hasil : sebelum tidur (membaca)
kemampuan berfungsi
 Jumlah jam tidur  Ciptakan lingkungan yang
 Ketidakpuasan tidur
dalam batas normal nyaman
 Menyatakan sering
6-8 jam/hari  Kolaborasikan pemberian
terjaga
 Pola tidur, kualitas obat tidur
 Meyatakan tidak
dalam batas normal  Diskusikan dengan pasien
mengalami kesulitan
 Perasaan segar dan keluarga tentang teknik
tidur
sesudah tidur atau tidur pasien
 Menyatakan tidak merasa
istirahat  Instruksikan untuk
cukup istirahat
 Mampu memonitor tidur pasien
Faktor Yang
Berhubungan : mengidentifikasikan  Monitor waktu makan dan
 Kelembaban hal-hal yang minum dengan waktu tidur
lingkungan sekitar meningkatkan tidur  Monitor/catat kebutuhan
 Suhu lingkungan tidur pasien setiap hari dan
sekitar jam
 Tanggung jawab
memberi asuhan
 Perubahan pejanan
terhadap cahaya gelap
 Gangguan(mis.,untu
k tujuan terapeutik,
pemantauan, pemeriksaan
laboratorium)
 Kurang kontrol tidur
 Kurang privasi,
Pencahayaan

4) Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
Ansietas berhubungan  Klien mampu  Gunakan pendekatan yang
dengan ancaman mengindentifikasi dan menenangkan.
kematian mengungkapkan  Beritahu pada pasien
gejala cemas segala sesuatu yang
 Menunjukkan teknik membuat pasien cemas
untuk mengontrol  Jelaskan prosedur kegiatan
cemas semua
 TTV dalm batas  Bantu pasien untuk
normal mengenal situasi yang
 Postur tubuh, mimik menimbulkan cemas.
dan tingkat aktivitas  Ajarkan nafas dalam pada
menunjukkan cemas pasien untuk mengurangi
berkurang. cemas dan membuat lebih
relaksasi

B. Peran perawat dalam meningkatkan adherence


Peran perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang
sesuai dengan kedudukan dalam system, dimana dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari
profesi perawatn maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat konstan.
Adherence atau patuh adalah kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh profesiaonal kesehatan (Niven, N, 2002). Kepatuhan atau
adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan dimana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar
kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena
diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat. Adherence atau kepatuhan
harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV
sering diakibatkan oleh ketidak-patuhan pasien mengkonsumsi ARV.
Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan terapi ARV
yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang
optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul
jika pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien
serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien untuk patuh
minum obat.
Kepatuhan adalah istilah yang digunakan utnuk menggambarkan perilaku pasien dalam
minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya. Supaya patuh, pasien dilibatkan
dalam memutuskan apakah minum obat atau tidak. Kepatuhan ini amat penting dalam
penatalaksaan ART, karena:
a. Bila obat tidak mencapai konsentrasi optimal dalam darah maka akan memungkinkan
berkembangnya resistensi.
b. Minum dosis obat tepat waktu dan meminumnya secara benar.
c. Derajat kepatuhan sangat berkolerasi dengan keberhasilan dalam mempertahankan supresi
virus.

Terdapat kolerasi positif antara kepatuhan dengan keberhasilan, dan HAART sangat efektif
bila diminum sesuai aturan. Hal ini berkaitan dengan.

a. Resistensi obat. Semua obat antiretroviral diberikan dalam bentuk kombinasi, di samping
meningkatkan efektivitas juga penting dalam mencegah resistensi. Kepatuhan terhadap
aturan pemakaian obat juga sangat membantu mencegah terjadinya resitensi. Virus yang
resisten terhadap obat akan berkembang cepat dan berakibat bertambah buruknya
perjalanan penyakit.
b. Menekan virus secara terus menerus. Obat-obatan ARV harus diminum seumur hidup
secara teratur, berkelanjutan, dan tepat waktu. Cara terbaik untuk menekan virus secara
terus menerus adalah dengan meminum obat secara tepat waktu dan mengikuti petunjuk
minum obat dengan benar serta di anjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi.
c. Kiat penting untuk mengingat minum obat.
1) Minumlah obat pada waktu yang sama setiap hari.
2) Harus selalu tersedia obat di mana pun biasanya penderita berada, misalnya
dikantor, di rumah, dan lain-lain.
3) Bawa obat kemanapun pergi.
4) Gunakan alarm untuk mengingatkan waktu minum obat.

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor prediksi kepatuhan:


Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem
pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah penghambat
yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena hal tersebut
menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah.
Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman, jaminan kerahasiaan dan
penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan membantu pasien.
a. Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, ras /
etnis, penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan, dan asal
kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja seks komersial) dan faktor
psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan napza, lingkungan dan dukungan sosial,
pengetahuan dan perilaku terhadap HIV dan terapinya).
b. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk
paduan (FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya
paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan), karakteristik obat dan
efek samping dan mudah tidaknya akses untuk mendapatkan ARV.
c. Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak
terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang berhubungan
dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain menyebabkan
penambahan jumlah obat yang harus diminum.
d. Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien- tenaga
kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan kepercayaan
pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan pasien terhadap
kompetensi tenaga kesehatan, komunikasi yang melibatkan pasien dalam proses
penentuan keputusan, nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat, terbuka,
kooperatif, dll) dan kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan
kebutuhan pasien
Sebelum memulai terapi, pasien harus memahami program terapi ARV
beserta konsekuensinya. Proses pemberian informasi, konseling dan dukungan
kepatuhan harus dilakukan oleh petugas (konselor dan/atau pendukung
sebaya/ODHA). Tiga langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan
antara lain:
Langkah 1: Memberikan informasi
Klien diberi informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi,
kemungkinan timbulnya efek samping dan konsekuensi ketidakpatuhan. Perlu
diberikan informasi yang mengutamakan aspek positif dari pengobatan sehingga
dapat membangkitkan komitmen kepatuhan berobat

Langkah 2: Konseling perorangan


Petugas kesehatan perlu membantu klien untuk mengeksplorasi kesiapan
pengobatannya. Sebagian klien sudah jenuh dengan beban keluarga atau rumah
tangga, pekerjaan dan tidak dapat menjamin kepatuhan berobat.
Sebagian klien tidak siap untuk membuka status nya kepada orang lain. Hal
ini sering mengganggu kepatuhan minum ARV, sehingga sering menjadi hambatan
dalam menjaga kepatuhan. Ketidak siapan pasien bukan merupakan dasar untuk tidak
memberikan ARV, untuk itu klien perlu didukung agar mampu menghadapi
kenyataan dan menentukan siapa yang perlu mengetahui statusnya.
Langkah 3: Mencari penyelesaian masalah praktis dan membuat rencana terapi.
Setelah memahami keadaan dan masalah klien, perlu dilanjutkan dengan
diskusi untuk mencari penyelesaian masalah tersebut secara bersama dan membuat
perencanaan praktis. Hal-hal praktis yang perlu didiskusikan antara lain:
1) Di mana obat ARV akan disimpan?
2) Pada jam berapa akan diminum?
3) Siapa yang akan mengingatkan setiap hari untuk minum obat?
4) Apa yang akan diperbuat bila terjadi penyimpangan kebiasaan sehari-hari?
Harus direncanakan mekanisme untuk mengingatkan klien berkunjung dan
mengambil obat secara teratur sesuai dengan kondisi pasien.
Perlu dibangun hubungan yang saling percaya antara klien dan petugas
kesehatan. Perjanjian berkala dan kunjungan ulang menjadi kunci kesinambungan
perawatan dan pengobatan pasien. Sikap petugas yang mendukung dan peduli, tidak
mengadili dan menyalahkan pasien, akan mendorong klien untuk bersikap jujur
tentang kepatuhan makan obatnya.
2. Kesiapan Pasien Sebelum Memulai Terapi ARV
Menelaah kesiapan pasien untuk terapi ARV. Mempersiapan pasien untuk memulai
terapi ARV dapat dilakukan dengan cara:
a. Mengutamakan manfaat minum obat daripada membuat pasien takut minum
obat dengan semua kemunginan efek samping dan kegagalan pengobatan.
b. Membantu pasien agar mampu memenuhi janji berkunjung ke klinik
c. Mampu minum obat profilaksis IO secara teratur dan tidak terlewatkan
d. Mampu menyelesaikan terapi TB dengan sempurna.
e. Mengingatkan pasien bahwa terapi harus dijalani seumur hidupnya.
f. Jelaskan bahwa waktu makan obat adalah sangat penting, yaitu kalau
dikatakan dua kali sehari berarti harus ditelan setiap 12 jam.
g. Membantu pasien mengenai cara minum obat dengan menyesuaikan kondisi
pasien baik kultur, ekonomi, kebiasaan hidup (contohnya jika perlu disertai dengan
banyak minum wajib menanyakan sumber air, dll).
h. Membantu pasien mengerti efek samping dari setiap obat tanpa membuat pasien
takut terhadap pasien, ingatkan bahwa semua obatmempunyai efek samping
untuk menetralkan ketakutan terhadap ARV.
i. Tekankan bahwa meskipun sudah menjalani terapi ARV harus tetap menggunakan
kondom ketika melakukan aktifitas seksual atau menggunakan alat suntik steril
bagi para penasun.
k. Sampaikan bahwa obat tradisional (herbal) dapat berinteraksi dengan obat ARV
yang diminumnya. Pasien perlu diingatkan untuk komunikasi dengan dokter untuk
diskusi dengan dokter tentang obat- obat yang boleh terus dikonsumsi dan tidak.
l. Menanyakan cara yang terbaik untuk menghubungi pasien agar dapat memenuhi
janji/jadwal berkunjung.
m. Membantu pasien dalam menemukan solusi penyebab ketidak patuhan tanpa
menyalahkan pasien atau memarahi pasien jika lupa minum obat.
n. Mengevaluasi sistem internal rumah sakit dan etika petugas dan aspek lain diluar
pasien sebagai bagian dari prosedur tetap untuk evaluasi ketidak patuhan pasien.

3. Unsur Konseling untuk Kepatuhan Berobat


a. Membina hubungan saling percaya dengan pasien
b. Memberikan informasi yang benar dan mengutamakan manfaat postif dari ARV
c. Mendorong keterlibatan kelompok dukungan sebaya dan membantu menemukan
seseorang sebagai pendukung berobat
d. Mengembangkan rencana terapi secara individual yang sesuai dengan gaya hidup
sehari-hari pasien dan temukan cara yang dapat digunakan sebagai pengingat
minum obat
e. Paduan obat ARV harus disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil yang harus
diminum dan frekuensinya (dosis sekali sehari atau dua kali sehari), dan
meminimalkan efek samping obat.
f. Penyelesaian masalah kepatuhan yang tidak optimum adalah tergantung dari faktor
penyebabnya.
Kepatuhan dapat dinilai dari laporan pasien sendiri, dengan menghitung sisa obat
yang ada dan laporan dari keluarga atau pendamping yang membantu pengobatan.
Konseling kepatuhan dilakukan pada setiap kunjungan dan dilakukan secara terus
menerus dan berulang kali dan perlu dilakukan tanpa membuat pasien merasa
bosan.
4. Monitoring
Selain adanya kesadaran pasien untuk mematuhi peraturan ART, doperlukan juga
adanya monitoring yang dilakukan oleh pihak yang berwenag (perawat, konselor dan
dokter) atau pihak yang berhubungan dnegan ODHA lainnya. Upaya monitoring terdiri
atas :
a. Monitoring berkala. Monitoring ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu :
1) Monitoring kepatuhan (adherence) yang harus didiskusikan pada setiap
kunjungan.
2) Monitoring efek samping ART, yang terdiri atas pertanyaan langsung,
pemeriksaan klinis dan tes laboratorium.
3) Monitoring keberhasilan ART. Monitoring ini berupa indikastor klinis,
misalnya berat badan yang meningkat, jumlah CD4 dan viral load.
b. Monitoring klinis. Monitoring klinis dilakukan agar didapatkan riwayat penyakit
yang jelas dan dilakukan pemeriksaan klinis yang teratur. Berikut ini adalah
kegiatan yang dilakukan setiap kali dilakukannya pemeriksaan klinis.
1) Follow up pertama setelah satu atau dua minggu. Lebih awal jika terjadi efek
samping.
2) Kunjungan bulanan sesudahnya, atau lebih bila doperlukan.
3) Tiap kunjungan tanyakan tentang gejal, kepatuhan, maslah yang berhubungan
dnegan HIV dan non HIV, dan kualitas hidup.
4) Pemeriksaan, berat badan, dan suhu.
c. Pemeriksaan laboratorium dasar
1) Hitung darah dan hitung jenis (Hb, leukosit, dan TLC-total limfosit count tiap
3 bulan dan pada awlah pemakaian ARV).
2) SGOT dan SGPT.
3) Hitung CD4, dilakukan pada awal terapi dan tiap 6 bulan.
d. Monitoring efektivitas
ARV dinilai efektif bila :
1) Menurunnya/menghilangnya gejala.
2) Meningkatkan berat badan.
3) Menurunnya lesi kaposi.
4) Meningkatkan TLC.
5) Meningkatnya hitungan CD4.
6) Supresi VL yang bertahan lama.
Penutup

A. Kesimpulan

Antiretroviral (ARV) adalah obat yang diberikan untuk pasien HIV/AIDS dengan tujuan
menghentikana aktivitas virus, memulihkan sitem imun dan mengurangi terjadinya infeksi
oportunistik, memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan kecacatan. ARV tidak
menyembuhkan pasien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia
harapan hidup penderita HIV/AIDS. Peran perawat dalam menigkatkan kepatuhan minum obat
pasien sangat penting yaitu dengan cara memberikan informasi seputar pengobatan ARV,
konseling perorangan untuk mengeksplorasi kesiapan pengobatan pasien dan membuat rencana
terapi pasien.

B. Saran

Perawat dalam melakukan asuhan keperawatan dan tindakan keperawatan kepada pasien
dengan HIV harus berhati-hati dan sesuai dengan SOP agar keamanan pasien dan keamanan
perawat terjaga. Selain masalah fisiologis pada pasien, perawat juga harus mampu melakukan
asuhan keperawatan terhadap masalah psikologis dan social dari pasien. Oleh sebab itu, perlu
di bangun hubungan saling percaya antara klien dan petugas kesehatan. Kunjungan ulang
menjadi kunci kesinambungan perawatan dan pengobatan pasien.
BAB II

Laporan Hasil Temuan Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kepatuhaan Terapi Antiretroviral
(ARV) pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Abepura Jayapura

ABSTRAK

Latar Belakang: HIV / AIDS merupakan masalah utama di banyak negara. Antiretroviral (ARV)
menjadi solusi pencegahan penyakit pandemi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resiko
faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien HIV / AIDS terhadap terapi antiretroviral
(ARV).

Penelitian berlangsung di RSUD Abepura Jayapura. Metode: Penelitian ini menggunakan desain
observasional analitik dengan case control yaitu didukung oleh data kualitatif. Responden yang
terlibat sebanyak 86 orang, terdiri dari 43 kasus dan 43 kasus mengontrol responden.
Pengumpulan sampel menggunakan Simple Random Sampling. Instrumen yang digunakan untuk
Penelitian ini merupakan kuisioner dan wawancara mendalam. Analisis data meliputi univariat dan
analisis bivariat menggunakan uji chi-square. Selain itu juga dilakukan analisis multivariate
menggunakan uji regresi logistik. Hasil: Penelitian menemukan tiga faktor risiko yang
mempengaruhi kepatuhan pasien HIV / AIDS ARV: pekerjaan (p = 0,005; OR = 4,472; CI 95% =
1,633-12,245), tidak dapat diaksesnya perawatan kesehatan pusat (p = 0,008; OR = 3,675; 95% CI
= 1,476-9,146), kurang dukungan keluarga (p = 0,013; OR = 3,606; 95% CI = 1.398-9.146).
Faktor lain, jenis kelamin, usia, pengetahuan, sikap apatis, efek samping riwayat, masa terapeutik,
latar belakang etnis, tenaga konseling, penyedia layanan kesehatan sikap, pendekatan religius,
asupan obat alternatif, dan penggunaan jamu, tidak ada pengaruh signifikan.

Kesimpulan: Faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi ARV adalah pekerjaan, tidak dapat
diaksesnya pusat perawatan kesehatan, dan kurangnya dukungan keluarga.
BAB III

Pembahasan

Hasil analisis multivariat menun- jukkan bahwa dari ke enam variabel yang dianalisis
secara bersama-sama yakni pekerjaan (status bekerja), pengetahuan (kurang), lama terapi > 2
tahun, sulit akses ke layanan kesehatan memperoleh ARV, sikap tenaga kesehatan yang kurang
baik, tidak ada dukungan keluarga hanya terdapat tiga variabel yang terbukti merupakan
faktor risiko kuat terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV pada p a s i e n HIV/ AIDS yang
mempunyai nilai p < 0,05.
Hasil uji regresi logistik model akhir menunjukan bahwa faktor pekerjaan (status bekerja)
terbukti kuat secara statistik sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan terapi ARV
pada pasien HIV/AIDS (p : 0,008) dengan adjusted OR sebesar 4,318
dengan 95% CI (1,460-12,771). Artinya bahwa Pasien HIV/AIDS yang status pekerjaan
bekerja memiliki 4,318 kali lebih besar untuk tidak patuh menjalani terapi ARV dibandingkan
yang tidak bekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sasmita di
RSUP Kariadi Semarang menunjukan bahwa hambatan dalam pengobatan ARV adalah
sebanyak 3 7 , 2 % responden kesulitan dalam menin gglkan pekerjaan bila harus mengambil
obat ARV. Hambatan lain adalah 30% takut dikeluarkan dari pekerjaan bila sering izin untuk

15
mengambil obat. Di dukung juga dengan penelitian lainnya yaitu kepatuhan di
negara maju dan berkembang menemukan kesamaan kendala individu pada
kepatuhan ; lupa memakai obat karena terlalu sibuk, alasan lain mengganggu aktivitas sehari

16
– hari.

Faktor sulitnya akses ke layanan kesehatan untuk memperoleh ARV juga


berpengaruh terhadap kepatuhan terapi ARV yaitu (nilai p = 0,009) berpengaruh terhadap
kepatuhan terapi dengan (nilai OR 3,790 pada 95% CI : 1,391-10,323). Artinya bahwa
pasien HIV/AIDS yang sulit akses ke layanan kesehatan memperoleh ARV
memiliki risiko 3,79 kali untuk tidak patuh terapi ARV dibandingkan yang mudah
mengakses layanan kesehatan memperoeh ARV.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Martoni yang mengatakan
bahwa ada hubungan akses ke layanan kesehatan untuk memperoleh ARV dengan kepatuhan
terapi ARV nilai p = 0,02. Sama halnya dengan penelitian bersama yang dilakukan oleh
Fithtria bahwa faktor akses atau jarak dari rumah ke rumah sakit berpengaruh terhadap
kepatuhan ARV (p = 0,049). Pasien sulit menjangkau karena transportasi yang susah (p =

17,18
0,019) serta biaya trasportasi yang tidak dapat dijangkau (p = 0,006).
Di Uganda salah satu kendala yang dihadapi pasien HIV adalah tempat tinggal yang
jauh dari layanan kesehatan sehingga mereka diberikan bantuan berupa uang transportasi ke

19
klinik atau menyediakan layanan perawatan berbasis rumah.

Faktor tidak ada dukungan keluarga juga terbukti berpengaruh terhadap kepatuhan terapi
ARV p ada pasien HIV/AIDS yaitu nilai (p : 0,013 dengan nilai OR: 3,798 pada 95%CI: 1,343-
10,774).
Artinya bahwa pasien hiv/aids yang tidak mendapatkan dukungan keluarga memiliki risiko 3 ,
798 kali untuk tidak patuh diban- dibandingkan yang mendapatkan dukungan keluarga.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa ada hubungan
dukungan sosial dengan kepatuhan terapi ARV dimana, dukungan dari anggota keluarga
dan teman terdekat merupakan salah satu dukungan yang sangat diperlukan terhadap
pelaksanaan terapi ARV dan berpengaruh besar bagi ODHA untuk memacu semangat

20
hidupnya.

Peneliti Andreas Goo berpendapat bahwa di daerah Pedalaman Papua, keluarga dekat
adalah tempat yang paling aman untuk menceritakan rahasia tentang status seseorang.
Penelitiannya membuktikan bahwa anggota keluarga akan memberikan empati, memberikan
tempat untuk tidur dan tinggal, berbagi pakaian, piring dan fasilitas mandi, dan bahkan berdoa
bersama-sama. Keluarga dapat juga melindungi ODHA dari stigmatisasi. Ketika keluarga
berempati dan menerima status ODHA, dukungan tersebut kelihatannya merupakan norma

21
yang berlaku.

Keterbatasan pada penelitian ini k a r e n a k a s u s dan k o n t r o l b e r s i f a t


retrospektif, sehingga recall bias tidak dapat dihindari. Upaya untuk meminimalkan recall bias
adalah melakukan komunikasi lebih intens untuk membantu responden mengingat kejadian-
kejadian yang dialami.
Kesalahan pada saat melakukan wawancara. Kesalahan ini terjadi apabila
pewawancara kuran g jelas dalam membe- rikan pertanyaan. Cara untuk m e n g a
tasinya dengan mengulangi pertanyaan atau menjelaskan yang tidak jelas tersebut dengan
menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh responden tanpamerubah
makna/isi pertanyaan tersebut.

Keterbatasan dalam pengumpulan data (Non Response Bias). Ada beberapa


responden yang sudah ditentukan dengan teknik pengambilan sampel secara random
sebagai sampel namun mereka menolak untuk berpartisipasi dalam studi dan tidak bisa
ditemui. Cara mengatasinya kita menggantikan dengan responden lain dengan cara
menunggu pasien di klinik, setelah pasien mendapatkan pelayanan kemudian dengan
bantuan perawat yang sedang bertugas dirujuk ke peneliti dengan memperhatikan
kriteria sampel penelitian.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang


terbukti berpengaruh terhadap kepatuhan terapi ARV pada pasien HIV/AIDS adalah
pekerjaan dengan 4,318 kali tidak patuh menjalani terapi ARV, sulit akses ke layanan
kesehatan memperoleh ARV, dengan risiko 3,79 kali untuk tidak patuh terapi ARV dan
tidak ada dukungan keluarga, dengan risiko 3,798 kali untuk tidak patuh dibandingkan
yang mendapatkan dukungan keluarga.
Daftar pustaka

Arif Mansjoer. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapiuus.


DEPKES RI (2011). Pedoman nasional Tatalaksana klinis infeksi HIV dan teravi antirotroviral.
Kemetrian kesehatan republik indonesia.
DEPKES RI. 2003. Pedoman nasional perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi ODHA.
Buku pedoman untuk petugas kesehatan dan petugas lainnya. Jakarta: Direktorat
Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan lingkungan Depkes RI.
IMAI. 2003. Perawatan kronis HIV dan pengobatan ARV. Surabaya; Integrated Management of
Adolescent and Adult ilness, WHO, Unair, RsU Dr. Soetomo Surabaya.
Nurarif, Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA. Media Action Publishing: Yogyakarta
Nursalam, dkk. 2008. Asuhan keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDSJakarta : Salemba
Medika
Stewart G. 1997, Managing HIV. Sydney: MJA Published.
Nurarif, Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA. Media Action Publishing: Yogyakarta
Lutfey & Wishner. 1999.Beyond "Compliance" Is "Adherence". Improving
The Prospect Of Diabetes Care. Diabetes Care Vol 22 Number 4, page.635
Canadian Setting. PLoS ONE, 9(2), e87872.
<http://doi.org/10.1371/journal.pone.0087872>

National Council on Patient Informatient and Education. 2007. Enhancing


Prescription Medicine Adherence: A National Action Plan. USA
<http://www.talkaboutrx.org/documents/enhancing_prescription_medicine
_adherence.pdf>

Negash & Ehlers. 2013. Personal Factors Influencing Patients’ Adherence


toART in Addis Ababa, Ethiopia.Journal of The Association of Nurses in
AIDS Care <http://dx.doi.org/10.1016/j.jana.2012.11.004>
Niven.2002. Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional
Kesehatan Lain. Alih Bahasa Agung Waluyo; Editor : Monica Ester. Edisi
2.Jakarta : EGC.
Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam & Ninuk Dian Kurniawati. 2007.Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Terinfeksi HIV AIDS.Jakarta: Salemba Medika Hal. 111-120
Nursalam & Ninuk Dian Kurniawati. 2009.Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Terinfeksi HIV AIDS.Jakarta: Salemba Medika

Nursalam.2013. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan Pedoman Skripsi.Tesis.dan Instrumen Penelitian Keperawatan
Edisi ke- 3.Salemba Medika : Jakarta

Osterberg & Blaschke. 2005. Drug Therapy. The New England Journal of
Medicine 353: 3. Massachussetts Medical Society
<http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra050100> Price S.A., Wilson
L.M., 2006. Patofisiologi. Ed 6. Jakarta:EGC
Rahayu, S. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Diet
pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Kota
Semarang.Skripsi
Robbins, S., 2003, Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Indeks Hal 42

Sithole, B. M. 2013. Factors that influence treatment adherence for people


living with HIV and accessing antiretroviral theraphy in rural communities in
Mpumalanga. Retrieved from <http://uir.unisa.ac.za/handle/10500/11897

Anda mungkin juga menyukai