2020
MAKALAH
1. KONSEP DASAR
A. Definisi HIV/AIDS
The Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus menginfeksi sel- sel sistem
kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Infeksi HIV membuat kerusakan
progresif sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan AIDS (WHO, 2015).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan penyakit yang disebabkan
oleh HIV. HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama darah, cairan sperma, cairan vagina, air
susu ibu. Virus tersebut merusak system kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya
atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi (Depkes, 2006).
HIV adalah retrovirus yang termasuk golongan virus Ribonucleic Acid (RNA), yaitu virus yang
menggunakan RNA sebagai molekul pembawa genetik. Sebagai retrovirus, HIV memiliki sifat
khas karena memiliki enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus merubah
informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk Deoxyribonucleic Acid (DNA)
yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel l limfosit yang diserang. Dengan
demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sellimfosit untuk mengkopi dirinya menjadi virus
baru yang memiliki ciri-ciri HIV (Depkes, 2006).
HIV dapat ditemukan dan diisolasikan dari sel limfosit T, limfosit B, sel makrofag (di otak dan
paru) dan berbagai cairan tubuh. Akan tetapi sampai saat ini hanya darah dan air mani yang jelas
terbukti sebagai sumber penularan serta ASI yang mampu menularkan HIV dari ibu ke bayinya
(Depkes, 2006).
Tjokoro (1992), virus leukemia Human T-cell lymphotropic virus (HTLV) mempunyai
hubungan dengan malignansi pada limfosit T dan dapat memproduksi sel T secara berlebihan serta
menyebabkan leukemia. Tiga tipe Retrovirus yang berkerabat, tetapi secara imunologik sangat
berbeda telah berhasil didefinisikan, yaitu HTLV serotype I,II,III. Serotipe yang berhasil
diasingkan terlebih dahulu adalah HTLV-I yaitu penyebab Adult T Cell Leukemenia (ALT).
HLTV-II berhasil diasingkan dari varian sel T yang berasal dari leukemenia yang sangat jarang
(hairy cell leukemenia), tetapi belum ditemukan kaitannya secara jelas dengan suatu penyakit
khusus HTLV-III merupakan suatu penyebab penyakit imunoregulator yang gawat dengan
terganggunya sistem kekebalan didapat yang berat. Hal ini peranan sangat penting pada imunitas
seluler.
Diserang limfosit T menimbulkan perubahan perbandingan sel T-helper & sel T suppressor (Ts,
OKT8-reaktive, CD8) dalam darah perifer secara normal rasio TH/TS. Sehubungan dengan
penyakit AIDS, para peneliti di Perancis melaporkan tentang penemuan suatu virus dari penderita
AIDS, para penderita AIDS yang disebut Lymphadenopathy-Associated Virus (LAV) atau
Immuno Deficiency-Associated Virus (IDAV). Virus yang diasingkan ini ternyata mempunyai
sifat-sifat yang identik dengan HTLV-III AIDS di Amerika Selatan).
Sifat yang identik diantaranya adalah tropisma yang kuat dan spesifik terhadap sel limfosit T-
helper dan menimbulkan kerusakan pada sel tersebut sehingga mengakibatkan penyakit AIDS.
Virus AIDS kemudian disebut Human T- Lymphotropic Virus type II Cheerman dan berre (1985),
kemudian menyebutkan virus AIDS dengan Lhymnodenopathy AIDS Virus (LAV). Akhirnya oleh
komisi taksonomi internasional diberi nama baru yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV).
C. Etiologi
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yakni sejenis virus NA yang tergolong retrovirus.Virus
ini memiliki materi genetik berupa sepasang asam ribonukleat rantai tunggal yang identik dan
suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Virion HIV mempunyai tiga bagian utama yaitu
envelope yang merupakan lapisan terluar, capsid yang meliputi isi virion dan core yang merupakan
isi virion. Envelope adalah lapisan lemak ganda yang terbentuk dari sel penjamu dan mengandung
protein penjamu. Pada lapisan ini tertanam glikoprotein virus yang disebut glikoprotein41 (gp41).
Pada bagian luar protein ini terikat glikoprotein120 (gp120). Molekul gpl20 ini akan berkaitan
dengan reseptor Cluster of differentiation 4 (CD4) pada saat menginfeksi limfosit T4 atau sel
lainnya yang mempunyai reseptor tersebut. Pada elektroforesis, kompleks antara molekul gp41
dan gp120 akan membentuk pita yang disebut gp160. Capsid berbentuk iko sahedral dan
merupakan lapisan protein yang dikenal sebagi p17. Pada bagian core terdapat sepasang RNA
rantai tunggal, enzim-enzim seperti reverse transcriptase, endonuclease dan protease, serta protein-
protein struktural terutama p24 (Hoffmann, Rockstroh, & Kamps, 2006 dalam Kusuma, 2011).
Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih (Limfosit T helper)
yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 mempunyai pusat dan sel utama yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi kebanyakan fungsi-fungsi
kekebalan, sehingga kelainan-kelainan fungsional pada sel T4 akan menimbulkan tanda-tanda
gangguan respon kekebalan tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh seseorang, HIV dapat diperoleh
dari limfosit terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag, dan cairan otak penderita AIDS.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemrograman ulang
materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan
disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. Enzim ini lah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai
antigen. Sehingga keberadaan virus HIV di dalam tubuh tidak dihancurkan oleh T4 helper. Fungsi
dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit, kalau fungsi sel T4 helper terganggu,
mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk
menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius (Price & Wilson, 2006).
CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaansel-sel darah putih manusia,
terutama sel-sel limfosit. CD4 pada orang dengan system kekebalan yang menurun menjadi sangat
penting, karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel
darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500
selper ml darah. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada
orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada
beberapa kasus bisa sampainol)
Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya berfungsi untuk melawan berbagai macam
sumber infeksi. Disekitar kita banyak sekali sumber infeksi yang beredar, baik yang berada di
udara, makanan ataupun minuman. Namun kita tidak setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih
bisa berfungsi dengan baik untuk melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang, mikroorganisme yang
patogen di sekitar kita tadi akan dengan mudah masuk ke tubuh kita dan menimbulkan penyakit
pada tubuh manusia (Nursalam & Kurniawati, 2009).
Sel T4 dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun) adalah sel- sel yang terinfeksi HIV
dan terkonsentrasi di kelenjar limfe, limpa, dan sumsum tulang. HIV menginfeksi sel melalui
pengikatan dengan protein perifer CD4, dengan bagian virus yang bersesuaianya itu antigen
grup120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka HIV menginfeksi sel lain
dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon
imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi (Hoffmann,
Rockstroh, & Kamps, 2006 dalam Kusuma, 2011).
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host akibat intervensi
HIV. Manifestasi ini dapat berupa gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan asimtomatik
berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS berat. Perjalanan penyakit HIV dapat dibagi menjadi 4
tahap (Tjokoprawiro, et al, 2015).
Pertama, merupakan tahap infeksi akut, pada tahap ini muncul gejala infeksi virus tetapi tidak
spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat berupa demam, nyeri
kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri telan, rasa letih dan pembesaran kelenjar getah bening. Dapat
juga disertai meningitis aseptic ditandai demam, nyeri kepala, hebat, kejang-kejang dan
kelumpuhan saraf otak.
Kedua, merupakan tahap asimtomatik, pada tahap ini gejala dan keluhan hilang.Tahap ini
berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun setelah infeksi.Disini sedang terjadi
internalisasi HIV ke intra seluler. Pada tahap ini aktivitas masih normal.
Ketiga, merupakan tahap simtomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik dengan
gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%, pada selaput mulut
terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan pada sudut mulut, dapat juga ditemukan infeksi
bakteri pada saluran nafas bagian atas namun penderita dapat melakukan aktivitas terganggu.
Penderita lebih banyak berada di tempat tidur meskipun kurang 12 jam perhari dalam bulan
terakhir.
Keempat, merupakan tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS. Pada tahap ini terjadi
penurunan berat badan lebih 10%, diare yang lebih dari 1 bulan, panas yang tidak diketahui
sebabnya lebih dari satu bulan, kandidiasis oral, oral leukoplakia, tuberculosis paru, dan
pneumonia bakteri. Penderita berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan
terakhir. Penderita diserbu berbagai macam infeksi sekunder, misalnya pneumonia pneumokistik
karinii, toksoplasmosis otak, diare akibat kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo, infeksi
virus herpes, kandidiasis pada esophagus, trakea, bronkus atau paru serta infeksi jamur yang lain
misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis. Dapat juga ditemukan beberapa jenis malignansi,
termasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarcoma Kaposi. Hiperaktivitas komplemen
menginduksi sekresi histamine. Histamin menimbulkan keluhan gatal pada kulit dengan diiringi
mikroorganisme di kulit memicu terjadinya dermatitis HIV.
E. Definisi kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturandalam dan perilaku
yang disarankan. Pengertian dari kepatuhan adalah menuruti suatu perintah atau suatu aturan.
Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan perawatan, pengobatan dan perilaku
yang disarankan oleh perawat, dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Kepatuhan (compliance atau
adherence) mengambarkan sejauh mana pasien berperilaku untuk melaksanakan aturan dalam
pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh tenaga kesehatan (Bart, 2004).
F. Batasan kepatuhan
Kepatuhan terhadap perawatan merupakan perilaku seseorang untukmentaati aturan dalam hal
pengobatan yang meliputi perlakuan khusus mengenai gaya hidup seperti diet, istirahat dan
olahraga serta konsumsi obat yang harus dikonsumsi, jadwal waktu minum, kapan harus
dihentikan dan kapan harus berkunjung untuk melakukan kontrol tekanan darah (Gunawan, 2001).
J. Pengertian kepatuhan minum obat
Lutfey & Wishner (1999) mengemukakan konsep compliance dalam konteks medis,
sebagai tingkatan yang menunjukkan perilaku pasien dalam mentaati atau mengikuti prosedur atau
saran ahli medis. Horne (2006) mengemukakan compliance sebagai ketaatan pasien dalam
mengkonsumsi obat sesuai dengan saran pemberi resep (dokter). Horne, et al. (2005) sebelumnya
mengemukakan bahwa istilah compliance menunjukkan posisi pasien yang cenderunglemah
karena kurangnya keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan mengenai obat yang
dikonsumsi. Dalam pengertian persistence, pasien menunjukkan perilaku yang secara
kontinyu/rutin mengkonsumsi obat, yang dimulai dari resep pertama sampai resep berikutnya dan
seterusnya.
Lutfey & Wishner (1999) menjelaskan bahwa dalam pengertian adherence lebih tinggi
kompleksitasnya dalam medical care, yang dicirikan oleh adanya kebebasan, penggunaan
intelegensi, kemandirian oleh pasien yang bertindak lebih aktif dan perannya lebih bersifat
sukarela dalam menjelaskan dan menentukan sasaran-sasaran dari treatmen pengobatan. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa dalam pengertian adherencepasien menjadi lebih kontinyu dalam proses
pengobatan. Horne (2006) mendefinisikan adherence sebagai perilaku mengkonsumsi obat yang
merupakan kesepakatan antara pasien dengan pemberi resep. Dalam pengertian ini, kelebihannya
adalah adanya kebebasan dari pasien dalam memutuskan apakah akan menyetujui rekomendasi
dari dokter atau tidak, dan jika terjadi kegagalan dalam proses ini, seharusnya bukan alasan untuk
menyalahkan pasien. Pengertian adherence berkembang dari pengertian compliance, hanya saja
dalam adherence lebih menekankan pada kebutuhan akan kesepakatan. National Council on
Patient Informations & Educations(2007) selanjutnya menegaskan bahwa dalam adherence
perilaku mengkonsumsi obat oleh pasien cenderung mengikuti perencanaan pengobatan yang
dikembangkan bersama dan disetujui antara pasien dan profesional.
Selanjutnya Horne, dkk. (2005) dan Horne (2006) menjelaskan pengertian concordance, yaitu
perilaku dalam mematuhi resep dari dokter yang sebelumnya terdapat hubungan yang bersifat
dialogis antara pasien dan dokter, dan merepresentasikan keputusan yang dilakukan bersama, yang
dalam proses ini kepercayaan dan pikiran dari pasien menjadi pertimbangan. Dalam concordance
terjadi proses konsultasi, yang di dalamnya terdapat komunikasi dari dokter dengan pasien untuk
mendukung keputusan dalam pengobatan.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat dalam penelitian ini juga mengacu pada istilah adherence, yang dapat
disimpulkan sebagai perilaku untuk mentaati saran- saran atau prosedur dari dokter tentang
penggunaan obat, yang sebelumnya didahului oleh proses konsultasi antara pasien (dan atau
keluarga pasien sebagai orang kunci dalam kehidupan pasien) dengan dokter sebagai penyedia jasa
medis.
Information Motivation and Behavioral Skills (IMB) model diperkenalkan oleh Fisher dan
Fisher tahun 1992, model ini dirancang untuk mengidentifikasi kepatuhan berhubungan dengan
informasi, motivasi dan keterampilan berperilaku sebagai determinan kritis kepatuhan ART
(Amico, et al., 2006).IMB model berpendapat bahwa informasi, motivasi, dan keterampilan
berperilaku merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi perilaku pencegahan seseorang
terhadap penyakit.Melalui informasi, motivasi, dan keterampilan berperilaku untuk mengurangi
risiko penularan, perilaku pencegahan terhadap penyakit juga lebih mudah terwujud.
Informasi berhubungan dengan pengetahuan dasar mengenai penyakit, kondisi kesehatan, maupun
perilaku pencegahan yang dianjurkan. Sementara itu motivasi dipengaruhi oleh motivasi individu
dan motivasi sosial. Motivasi individu didasarkan pada sikap terhadap perilaku pencegahan, norma
subjektif, persepsi mengenai kerentanan terhadap penyakit, keuntungan dan hambatan dari
perilaku pencegahan, 'biaya' yang ditimbulkan dari perilaku berisiko. Motivasi sosial didasarkan
pada norma sosial, persepsi individu mengenai dukungan sosial, serta adanya saran dari orang lain.
Model ini beranggapan bahwa informasi dan motivasi masing-masing dapat memiliki pengaruh
secara langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku seseorang.
L. Informasi
Informasi ini meliputi tentang regimen, penggunaan ARV yang benar, kepatuhan yang
adekuat, tentang efek samping dan reaksi obat-obatan, tentang metode dan teori lengkap mengenai
kepatuhan (Fisher, 2006). Informasi berhubungan dengan pengetahuan dasar mengenai penyakit,
kondisi kesehatan, maupun perilaku pencegahan yang dianjurkan (WHO, 2003 dalam Amico
2006).
Informasi terkait kepatuhan meliputi informasi akurat yang dimiliki seseorang tentang regimen
ART dalam hal bagaimana dan kapan dosis harus diambil, potensi efek samping, dan keputusan
mengenai kepatuhan yang mungkin tidak akurat (misalnya, percaya bahwa obat dapat dilewati jika
sudah merasa baik) atau akurat (misalnya, memahami bahwa tingkat ketidakpatuhan yang rendah
dapat menghambat penekanan virus) (Fisher, 2006).
Pengetahuan ODHA tentang terapi ARV dapat mempengaruhi kepatuhan dalam mengikuti aturan-
aturan yang telah disepakati dalam terapi ARV. Kepatuhan yang tinggi diperlukan untuk
keberhasilan program terapi. Aturan minum obat ARV harus ditaati dengan baik, efek samping
yang mungkin terjadi, serta mencari pertolongan bila terjadi efek samping pada pasien. Hal ini
sangatlah penting untuk menghindari teradinya putus obat ataupun ketidakpatuhan dalam
menjalankan terapi ARV (Amico, et al. 2005).
Pasien HIV yang kurang mengetahui pengobatan sering tidak mengetahui aturan pengobatan yang
diberikan oleh petugas kesehatan dan olehkarena itu tingkat kepatuhan pengobatan lebih rendah.
Keterbatasan pengetahuan pengobatan adalah hambatan terhadap kepatuhan yang berpotensi
untuk diubah (Ubra, 2012).
M. Motivasi
Motivasi individu didasarkan pada sikap terhadap perilaku pencegahan, norma subjektif,
persepsi mengenai kerentanan terhadap penyakit, keuntungan dan hambatan dari perilaku
pencegahan, biaya yang ditimbulkan dari perilaku berisiko. Motivasi sosial didasarkan pada norma
sosial, persepsi individu mengenai dukungan sosial, serta adanya saran dari orang lain (WHO,
2003 dalam Amico 2006).
Motivasi meliputi sikap tentang dampak dari perilaku kepatuhan dan ketidakpatuhan dan evaluasi
hasil perilaku tersebut serta persepsi dukungan dari orang lain untuk patuh dalam minum obat dan
motivasi untuk memenuhi harapan orang lain (Fisher, 2006).
Motivasi sangat diperlukan dalam menjalankan kepatuhan terapi ARV, tanpa adanya motivasi
terapi ARV tidak dapat dilanjutkan (Nursalam dan Ninuk, 2007).Motivasi individu didasarkan
pada sikap terhadap perilaku pencegahan, norma subjektif, persepsi mengenai kerentanan terhadap
penyakit, keuntungan dan hambatan dari perilaku pencegahan. Motivasi sosial didasarkan pada
norma sosial, persepsi individu mengenai dukungan sosial, serta adanya saran dari orang lain.
N. Ketrampilan berperilaku
Kepatuhan berhubungan dengan informasi dan motivasi keduanya berhubungan dengan tampilan
keterampilan berperilaku dalam kepatuhan minum ARV, secara spesifik ketika seseorang telah
memiliki informasi yang baik mengenai ART dan termotivasi, mereka berperilaku adekuat dan
konsisten untuk mencapai kepatuhan dalam ART. Kepatuhan berhubungan dengan keterampilan
berperilaku terdiri dari kemampuan objektif dan keyakinan (self efficcacy) untuk menampilkan
perilaku yang kritis, seperti menerima dan mengatur sendiripengobatan ART secara konsisten
setiap waktu, mencapai kecocokan antara regimen yang satu dengan ekologi alam dalam
kehidupan sehari-hari, mengambil langkah untuk mengurangi efek, mendapatkan informasi
mengenai ART dan mendukung ketika dibutuhkan, dan membangun strategi untuk menghargai
dan memperkuat perilaku kepatuhan ART (Amico, et al., 2005).
Askep Penatalaksanaan Pasien ARV dan Peran Perawat
HIV menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga pasien rentan terhadap
serangan infeksi oportunistik. Antiretroviral (ARV) bisa diberikan pada pasien untuk
menghentikana aktivitas virus, memulihkan sitem imun dan mengurangi terjadinya infeksi
oportunistik, memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan
pasien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup
penderita HIV/AIDS. Obat ARV terdiri atas golongan seperti nukleoside reverse transcripetase
inhibitor, non-nucleotide reverse transciptase inhibitor dan protease.
4) Aktivitas / istirahat
Mengatakan susah tidur (pola tidur terganggu).
5) Gejala: Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, progresi
kelelahan / malaise, Perubahan pola tidur
6) Psikososial
Takut menghadapi kematian karena penyakitnya.
b. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Berikut adalah diagnosa keperawatan yang didapatkan berdasarkan efek samping
dari pemberian ARV sebagai berikut :
1) Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif (diare)
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Kekurangan volume cairan Keseimbangan Pantau warna, jumlah dan
Definisi : Kekurangan elektrolit dan asam frekuensi kehilangan
basa; keseimbangan cairan
jumlah cairan yang ada di
elektrolit dan non Observasi khususnya
dalam tubuh elektrolit dalam terhadap kehilangan cairan
kompartemen intrasel yang tinggi elektrolit
dan ekstrasel tubuh Pantau perdarahan
Batasan Karakteristik :
Hidrasi; Identifikasi factor
Subjektif: Haus keadekuatan cairan yang pengaruh terhadap
adekuat dalam bertambah buruknya
kompartemen intrasel dehidrasi
Objektif
Perubahan status mental dan ekstrasel tubuh Kaji adanya vertigo atau
Penurunan turgor kulit Status nutrisi: hipotensi postural
dan lidah asupan makanan dan Kaji orientasi terhadap
Penurunan haluaran cairan; jumlah makanan orang, tempat dan waktu
urin dan cairan yang masuk Pantau status hidrasi
Penurunan pengisian kedalam tubuh selama Timbang berat badan
vena
periode 24 jam setiap hari dan pantau
Kulit dan membrane
mukosa kering kecenderungannya
Kematokrit meningkat Pertaruhkan keakuratan
Suhu tubuh meningkat catatan asupan dan
Peningkatan frekuensi haluaran
nadi, penurunan TD,
penurunan volume dan
tekanan nadi
Konsentrasi urin
meningkat
Penurunan berat badan
yang tiba-tiba
Kelemahan
Terdapat kolerasi positif antara kepatuhan dengan keberhasilan, dan HAART sangat efektif
bila diminum sesuai aturan. Hal ini berkaitan dengan.
a. Resistensi obat. Semua obat antiretroviral diberikan dalam bentuk kombinasi, di samping
meningkatkan efektivitas juga penting dalam mencegah resistensi. Kepatuhan terhadap
aturan pemakaian obat juga sangat membantu mencegah terjadinya resitensi. Virus yang
resisten terhadap obat akan berkembang cepat dan berakibat bertambah buruknya
perjalanan penyakit.
b. Menekan virus secara terus menerus. Obat-obatan ARV harus diminum seumur hidup
secara teratur, berkelanjutan, dan tepat waktu. Cara terbaik untuk menekan virus secara
terus menerus adalah dengan meminum obat secara tepat waktu dan mengikuti petunjuk
minum obat dengan benar serta di anjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi.
c. Kiat penting untuk mengingat minum obat.
1) Minumlah obat pada waktu yang sama setiap hari.
2) Harus selalu tersedia obat di mana pun biasanya penderita berada, misalnya
dikantor, di rumah, dan lain-lain.
3) Bawa obat kemanapun pergi.
4) Gunakan alarm untuk mengingatkan waktu minum obat.
A. Kesimpulan
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang diberikan untuk pasien HIV/AIDS dengan tujuan
menghentikana aktivitas virus, memulihkan sitem imun dan mengurangi terjadinya infeksi
oportunistik, memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan kecacatan. ARV tidak
menyembuhkan pasien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia
harapan hidup penderita HIV/AIDS. Peran perawat dalam menigkatkan kepatuhan minum obat
pasien sangat penting yaitu dengan cara memberikan informasi seputar pengobatan ARV,
konseling perorangan untuk mengeksplorasi kesiapan pengobatan pasien dan membuat rencana
terapi pasien.
B. Saran
Perawat dalam melakukan asuhan keperawatan dan tindakan keperawatan kepada pasien
dengan HIV harus berhati-hati dan sesuai dengan SOP agar keamanan pasien dan keamanan
perawat terjaga. Selain masalah fisiologis pada pasien, perawat juga harus mampu melakukan
asuhan keperawatan terhadap masalah psikologis dan social dari pasien. Oleh sebab itu, perlu
di bangun hubungan saling percaya antara klien dan petugas kesehatan. Kunjungan ulang
menjadi kunci kesinambungan perawatan dan pengobatan pasien.
BAB II
Laporan Hasil Temuan Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kepatuhaan Terapi Antiretroviral
(ARV) pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Abepura Jayapura
ABSTRAK
Latar Belakang: HIV / AIDS merupakan masalah utama di banyak negara. Antiretroviral (ARV)
menjadi solusi pencegahan penyakit pandemi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resiko
faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien HIV / AIDS terhadap terapi antiretroviral
(ARV).
Penelitian berlangsung di RSUD Abepura Jayapura. Metode: Penelitian ini menggunakan desain
observasional analitik dengan case control yaitu didukung oleh data kualitatif. Responden yang
terlibat sebanyak 86 orang, terdiri dari 43 kasus dan 43 kasus mengontrol responden.
Pengumpulan sampel menggunakan Simple Random Sampling. Instrumen yang digunakan untuk
Penelitian ini merupakan kuisioner dan wawancara mendalam. Analisis data meliputi univariat dan
analisis bivariat menggunakan uji chi-square. Selain itu juga dilakukan analisis multivariate
menggunakan uji regresi logistik. Hasil: Penelitian menemukan tiga faktor risiko yang
mempengaruhi kepatuhan pasien HIV / AIDS ARV: pekerjaan (p = 0,005; OR = 4,472; CI 95% =
1,633-12,245), tidak dapat diaksesnya perawatan kesehatan pusat (p = 0,008; OR = 3,675; 95% CI
= 1,476-9,146), kurang dukungan keluarga (p = 0,013; OR = 3,606; 95% CI = 1.398-9.146).
Faktor lain, jenis kelamin, usia, pengetahuan, sikap apatis, efek samping riwayat, masa terapeutik,
latar belakang etnis, tenaga konseling, penyedia layanan kesehatan sikap, pendekatan religius,
asupan obat alternatif, dan penggunaan jamu, tidak ada pengaruh signifikan.
Kesimpulan: Faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi ARV adalah pekerjaan, tidak dapat
diaksesnya pusat perawatan kesehatan, dan kurangnya dukungan keluarga.
BAB III
Pembahasan
Hasil analisis multivariat menun- jukkan bahwa dari ke enam variabel yang dianalisis
secara bersama-sama yakni pekerjaan (status bekerja), pengetahuan (kurang), lama terapi > 2
tahun, sulit akses ke layanan kesehatan memperoleh ARV, sikap tenaga kesehatan yang kurang
baik, tidak ada dukungan keluarga hanya terdapat tiga variabel yang terbukti merupakan
faktor risiko kuat terjadinya ketidakpatuhan terapi ARV pada p a s i e n HIV/ AIDS yang
mempunyai nilai p < 0,05.
Hasil uji regresi logistik model akhir menunjukan bahwa faktor pekerjaan (status bekerja)
terbukti kuat secara statistik sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan terapi ARV
pada pasien HIV/AIDS (p : 0,008) dengan adjusted OR sebesar 4,318
dengan 95% CI (1,460-12,771). Artinya bahwa Pasien HIV/AIDS yang status pekerjaan
bekerja memiliki 4,318 kali lebih besar untuk tidak patuh menjalani terapi ARV dibandingkan
yang tidak bekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sasmita di
RSUP Kariadi Semarang menunjukan bahwa hambatan dalam pengobatan ARV adalah
sebanyak 3 7 , 2 % responden kesulitan dalam menin gglkan pekerjaan bila harus mengambil
obat ARV. Hambatan lain adalah 30% takut dikeluarkan dari pekerjaan bila sering izin untuk
15
mengambil obat. Di dukung juga dengan penelitian lainnya yaitu kepatuhan di
negara maju dan berkembang menemukan kesamaan kendala individu pada
kepatuhan ; lupa memakai obat karena terlalu sibuk, alasan lain mengganggu aktivitas sehari
16
– hari.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Martoni yang mengatakan
bahwa ada hubungan akses ke layanan kesehatan untuk memperoleh ARV dengan kepatuhan
terapi ARV nilai p = 0,02. Sama halnya dengan penelitian bersama yang dilakukan oleh
Fithtria bahwa faktor akses atau jarak dari rumah ke rumah sakit berpengaruh terhadap
kepatuhan ARV (p = 0,049). Pasien sulit menjangkau karena transportasi yang susah (p =
17,18
0,019) serta biaya trasportasi yang tidak dapat dijangkau (p = 0,006).
Di Uganda salah satu kendala yang dihadapi pasien HIV adalah tempat tinggal yang
jauh dari layanan kesehatan sehingga mereka diberikan bantuan berupa uang transportasi ke
19
klinik atau menyediakan layanan perawatan berbasis rumah.
Faktor tidak ada dukungan keluarga juga terbukti berpengaruh terhadap kepatuhan terapi
ARV p ada pasien HIV/AIDS yaitu nilai (p : 0,013 dengan nilai OR: 3,798 pada 95%CI: 1,343-
10,774).
Artinya bahwa pasien hiv/aids yang tidak mendapatkan dukungan keluarga memiliki risiko 3 ,
798 kali untuk tidak patuh diban- dibandingkan yang mendapatkan dukungan keluarga.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa ada hubungan
dukungan sosial dengan kepatuhan terapi ARV dimana, dukungan dari anggota keluarga
dan teman terdekat merupakan salah satu dukungan yang sangat diperlukan terhadap
pelaksanaan terapi ARV dan berpengaruh besar bagi ODHA untuk memacu semangat
20
hidupnya.
Peneliti Andreas Goo berpendapat bahwa di daerah Pedalaman Papua, keluarga dekat
adalah tempat yang paling aman untuk menceritakan rahasia tentang status seseorang.
Penelitiannya membuktikan bahwa anggota keluarga akan memberikan empati, memberikan
tempat untuk tidur dan tinggal, berbagi pakaian, piring dan fasilitas mandi, dan bahkan berdoa
bersama-sama. Keluarga dapat juga melindungi ODHA dari stigmatisasi. Ketika keluarga
berempati dan menerima status ODHA, dukungan tersebut kelihatannya merupakan norma
21
yang berlaku.
Kesimpulan
Osterberg & Blaschke. 2005. Drug Therapy. The New England Journal of
Medicine 353: 3. Massachussetts Medical Society
<http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra050100> Price S.A., Wilson
L.M., 2006. Patofisiologi. Ed 6. Jakarta:EGC
Rahayu, S. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Diet
pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Kota
Semarang.Skripsi
Robbins, S., 2003, Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Indeks Hal 42