4. Manifestasi Klinis
Miasthenia Gravis dapat terjadi secara berangsur atau mendadak. Tanda dan
gejala (Yudistira, 2014):
a. Pengatupan kelopak mata yang lemah, ptosis, dan diplopia akibat
kerusakan transmisi neuromuskuler pada nervus kranialis yang
mempersarafi otot-otot bola mata (mungkin menjadi satu-satunya gejala
yang ada).
b. Kelemahan otot skeletal dan keluhan mudah lelah yang akan bertambah
ketika hari semakin siang, tetapi akan berkurang setelah pasien
beristirahat (pada stadium awal MG dapat terjadi keadaan mudah lelah
pada otot-otot tertentu tanpa ada gejala lain. Kemudian, keadaan ini bisa
menjadi cukup berat dan menyebabkan paralisis).
c. Kelemahan otot yang progresif dan kehilangan fungsi yang menyertai
menurut kelompok otot yang terkena; keadaan ini menjadi semakin
parah pada saat haid dan sesudah mengalami stress emosi, terkena
cahaya matahari dalam waktu lama, serta pada saat menderita demam
atau infeksi.
d. Tampilan wajah yang kosong serta tanpa ekspresi dan nada vocal
hidung, yang semua terjadi sekunder karena kerusakan transmisi pada
nervus kranialis yang mempersarafi otot-otot wajah.
e. Regurgitasi cairan yang sering ke dalam hidung dan kesulitan
mengunyah serta menelan akibat terkenanya nervus kranialis.
f. Kelopak mata yang jatuh akibat kelemahan otot-otot wajah dan
ekstraokuler.
g. Kelemahan otot-otot leher dengan kepala yang miring ke belakang untuk
melihat (otot-otot leher terlalu lemah untuk menyangga kepala tanpa
gerakan menyentak).
h. Kelemahan otot-otot pernapasan, penurunan volume tidal serta kapasitas
vital akibat kerusakan transmisi pada diafragma yang menimbulkan
kesulitan bernapas. Keadaan ini merupakan faktor predisposisi
pneumonia dan infeksi saluran napas lain pada pasien myasthenia gravis.
i. Kelemahan otot pernapasan (krisis miastenik) mungkin cukup berat
sehingga diperlukan penanganan kedaruratan jalan napas dan
pemasangan ventilator mekanis.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosa
miastenia gravis (Abdullah, 2016), antara lain;
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Antibodi reseptor anti-asetilkolin. Hasil dari pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, di mana
terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. Sekitar 80% penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% penderita dengan miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi
yang positif. Titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia
gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.
2) Antibodi anti striated muscle (anti-SM). Merupakan salah satu tes
yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan
hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia
lebih dari 40 tahun, antibodi anti-SM dapat menunjukkan hasil
positif.
3) Antibodi anti-muscle-specific kinase (MuSK). Hampir 50% penderita
miastenia gravis yang menunjukkan hasil antibodi anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif
untuk antibodi anti-MuSK.
4) Antibodi antistriational. Dalam serum beberapa pasien dengan
miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam
pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan pada pasien thymoma
usia muda dengan miastenia gravis. Terdeteksinya titin/RyR antibody
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada
pasien muda dengan miastenia gravis.
b. Elektrodiagnostik
1) Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial
aksi.
2) Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Metode ini menggunakan jarum single-fiber yang memiliki
permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat
mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial di
antara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan
densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada fiber neuromuskular berupa peningkatan jitter dan
densitas fiber yang normal.
6. Pathway
Kerusakan pada transmisusu impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan reseptor normal membrane
postsinase pada sambungan neuromuscular
Penurunan hubungan
Kelemahan otot-otot
Otot-otot ocular Otot wajah, laring, faring Otot Valunteer Otot pernapasan
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau
atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara
yang cukup jelas dan cepat adalah
Awake :A
Respon bicara :V
Respon nyeri : P
Tidak ada respon :U
e. Exposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang
mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka
imobilisasi in line harus dikerjakan
2. Pengkajian Sekunder
a. Pemeriksaan Fisik
1) Review of system:
B1 (breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk
efektif, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut dan
peningkatan frekuensi pernafasan sering didapatkan pada klien yang
disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi dan stridor pada klien menandakan adanya
akumulasi sekret pada jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot
pernapasan.
B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi dan
tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi
tidak membaikya status pernapasan, Hipotensi / hipertensi, takikardi /
bradikardi
B3(brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Kelemahan otot ektraokular
yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia
intermien, bicara klien mungkin disatrik
B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya
volume output urine,ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal. Pemeriksaan lainnya berhubungan
dengan menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi
saat berkemih.
B5 (bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena
ketidakmampuan menelan maknan sekunder dari kelemahan otot-otot
menelan.pemeriksaan lainnya berhubungan dengan kelemahan otot
diafragma dan peristaltic usus turun.
B6 (bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktifitas perawatan diri.Tingkat kesadaran:
Komposmentis
2) Fungsi serebral: Aktivitas motorik mengalami perubahan yaitu kedua
ekstremitas sulit digerakkan.
3) System motorik: Adanya kelemahan pada otot rangka yaitu otot ekstremitas
bawah yang memberikan manifestasi pada hembatan mobilitas (berjalan).
b. Pengkajian Diagnostik
1) Tes serum antibodi reseptor AChR bernilai positif pada 90 % pasien
2) Tes tensilon: injeksi IV dapat memperbaiki respon motorik sementara dan
menurunkan gejala pada krisis miasteni untuk sementara waktu namun
efeknya dapat memperburuk gejala-gejala pada krisis kolinergik.
3) Tes elketrofisiologis yang digunakan untuk menunjukkan penurunan
respon rangsangan saraf berulang
4) CT scan dada dapat menunjukkan hyperplasia timus (timoma) yang
dianggap menyebabkan respon autoimun.
Kolaborasi
4. Sebagai pengencer
- Kolaborasi pemberian
lendir agar tidak
mukolitik, jika perlu
terlalu kental dan
lengket, sehingga
lebih mudah untuk
batuk. Obat ini
digunakan untuk
mengobati
pernapasan dengan
lendir yang
berlebihan dan
menebal
2. Defisit nutrisi Terapeutik 1. Perawatan mulut
berhubungan - Lakukan perawatan mulut dapat meningkatkan
dengan
ketudakmampuan sebelum dan sesudah makan asupan oral
menelan makanan - Baringkan pasien tegak dengan 2. Posisi ini
kepala sedikit fleksi mendekati mengurangi aspirasi
waktu makan 3. Untuk menurunkan
- Istirahat sebelum makan kelemahan otot
- Kurangi gangguan pada saat 4. Untuk
makan mempertahankan
konsentrasi pasien
saat menelan
5. Untuk memudahkan
Berikan makanan yang lunak pasien menelan
dalam bentuk kuah atau bentuk
saus 6. Penghargaan positif
Kolaborasi mengembangkan
Effendi, Christantie, Niluh Gede Yasmin Asih. Keperawatan Medikal Bedak Klien
Dengan Gangguan Sistem Respirasi. 2014. EGC : Jakarta
Mubarak, Iqbal Wahid, Nurul Chayati. 2018. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia.
EGC:Jakarta
Smeltzer, C Suzanne, Brenda G Bare. 2011. Keperawatan Mediakl Medah Brunner dan
Suddarth Ed. . EGC : Jakarta
Syaifuddin. Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat Ed. 2016. EGC : Jakarta
Doengoes, Marilyn. E, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Pasien Edisi 3, EGC, Jakarta, 2017