Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KEGAWATDARURATAN

SISTEM NEUROMUSKULAR; MYYASTENIA GRAVIS

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Krisis miastenia didefinisikan sebagai setiap miastenia gravis yang diidentifikasi
mengalami eksaserbasi. Diagnosis krisis miastenia harus dicurigai pada semua pasien
dengan gagal pernafasan, terutama mereka dengan etiologi tidak jelas. Miastenia
gravis merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh bermacam-macam
tingkat kelemahan dari otot skelet (volunter) tubuh. Kata miastenia gravis berasal
dari bahasa Latin dan Yunani yang secara harafiah berarti kelemahan otot yang berat
atau gawat (grave muscle weakness). Pada masa lampau kematian akibat dari
penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan
tersedianya unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat
penyakit ini bisa dikurangi. (Istiantoro, 2012)
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat di mana terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat
memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Kelemahan otot
yang parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah
komplikasi lain, termasuk kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan
menelan, bicara cadel, kelopak mata turun, dan penglihatan kabur atau ganda.
Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat yang disebut dengan krisis
miastenia. Hal ini kadang kala dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki menjadi
sangat lemah dan pada beberapa orang, otot yang diperlukan untuk pernafasan
melemah. Keadaan ini dapat mengancam nyawa (Abdullah, 2016)
2. Etiologi
Penyebab pasti masih belum diketahui. Akan tetapi, penyakit ini diyakini
karena;
a. Respon autoimun.
b. Pelepasan asetilkolin yang tidak efektif.
c. Respon serabut otot yang tidak adekuat terhadap asetilkolin.
Myasthenia gravis disebabkan oleh gangguan transimisi impuls saraf ke
otot. Hal ini terjadi ketika komunikasi normal antara saraf dan otot terganggu
di persimpangan neuromuskuler dimana sel-sel saraf terhubung dengan otot-
otot yang dikontrol. Biasanya bila impuls menuju saraf, ujung saraf akan
melepaskan zat neurotransmitter yang disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan
dari sambungan neuromuskuler dan mengikat reseptor asetilkolin yang
diaktifkan dan menghasilkan kontraksi otot. Pada myasthenia gravis antibodi
blok mengubah atau menghancurkan reseptor untuk asetilkolin pada
sambungan neuromuskuler yang mencegah terjadinya kontraksi otot. Antibodi
ini diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh. (Yudistira, 2014)
Krisis miastenik biasanya dicetuskan oleh kontrol yang buruk pada
penyakit, pengobatan miastenia bulbar (steroid dan antikolinesterase) yang
tidak adekuat, obat-obatan, infeksi sistemik yang melibatkan saluran
pernafasan, aspirasi, dan pembedahan. Pencetus lain yang diketahui pada
krisis miastenia refraktori adalah stres emosional, lingkungan yang panas,
peningkatan yang mendadak dari suhu tubuh, dan hipertioridism, dengan
penyakit tiroid autoimun sering dikaitkan dengan miastenia gravis. (Setiabudi
2012; Abdullah, 2016)
Pencetus tersering adalah infeksi. Infeksi dilaporkan merupakan pencetus
krisis miastenik pada 38% pasien, di mana penyebab tersering adalah
pneumonia bakterial diikuti oleh infeksi saluran nafas atas oleh bakteri atau
virus.
3. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Obsevasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Antibodi pada reseptor
nikotinik aseltikolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien
dengan miastenia gravis. Autoantobodi terhadap aseltikolin reseptor (anti-
AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita miastenia
gravis generalisata. (Abdullah, 2016)
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat
dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B,”
di mana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor
asetilkolin. Peranan sel T pada pathogenesis miastenia gravis mulai semakin
menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait
dengan sel T. Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Pada 80%
penderita miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari
mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya
terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa
perubahan di jaringan limfoster lainnya.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas
dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada end plate motorik dan bukan
pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi
imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan
postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam
perjalanannya ke arah motor end plate dapat dipecahkan oleh kolinesterase.
Selain itu, jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan
membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor
tersebut, maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Pada pasien
miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang
berbeda, di mana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik
utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
aseltikolin. Ikatan antibodi reseptor aseltikolin pada reseptor aseltikolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara,
antara lain: ikatan silang reseptor aseltikolin terhadap antibodi antireseptor
aseltikolin dan mengurangi jumlah reseptor aseltikolin pada neuromuscular
junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post
sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk
insersi reseptor-reseptor aseltikolin yang baru disintesis.

4. Manifestasi Klinis
Miasthenia Gravis dapat terjadi secara berangsur atau mendadak. Tanda dan
gejala (Yudistira, 2014):
a. Pengatupan kelopak mata yang lemah, ptosis, dan diplopia akibat
kerusakan transmisi neuromuskuler pada nervus kranialis yang
mempersarafi otot-otot bola mata (mungkin menjadi satu-satunya gejala
yang ada).
b. Kelemahan otot skeletal dan keluhan mudah lelah yang akan bertambah
ketika hari semakin siang, tetapi akan berkurang setelah pasien
beristirahat (pada stadium awal MG dapat terjadi keadaan mudah lelah
pada otot-otot tertentu tanpa ada gejala lain. Kemudian, keadaan ini bisa
menjadi cukup berat dan menyebabkan paralisis).
c. Kelemahan otot yang progresif dan kehilangan fungsi yang menyertai
menurut kelompok otot yang terkena; keadaan ini menjadi semakin
parah pada saat haid dan sesudah mengalami stress emosi, terkena
cahaya matahari dalam waktu lama, serta pada saat menderita demam
atau infeksi.
d. Tampilan wajah yang kosong serta tanpa ekspresi dan nada vocal
hidung, yang semua terjadi sekunder karena kerusakan transmisi pada
nervus kranialis yang mempersarafi otot-otot wajah.
e. Regurgitasi cairan yang sering ke dalam hidung dan kesulitan
mengunyah serta menelan akibat terkenanya nervus kranialis.
f. Kelopak mata yang jatuh akibat kelemahan otot-otot wajah dan
ekstraokuler.
g. Kelemahan otot-otot leher dengan kepala yang miring ke belakang untuk
melihat (otot-otot leher terlalu lemah untuk menyangga kepala tanpa
gerakan menyentak).
h. Kelemahan otot-otot pernapasan, penurunan volume tidal serta kapasitas
vital akibat kerusakan transmisi pada diafragma yang menimbulkan
kesulitan bernapas. Keadaan ini merupakan faktor predisposisi
pneumonia dan infeksi saluran napas lain pada pasien myasthenia gravis.
i. Kelemahan otot pernapasan (krisis miastenik) mungkin cukup berat
sehingga diperlukan penanganan kedaruratan jalan napas dan
pemasangan ventilator mekanis.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosa
miastenia gravis (Abdullah, 2016), antara lain;
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Antibodi reseptor anti-asetilkolin. Hasil dari pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, di mana
terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. Sekitar 80% penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% penderita dengan miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi
yang positif. Titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia
gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.
2) Antibodi anti striated muscle (anti-SM). Merupakan salah satu tes
yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan
hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia
lebih dari 40 tahun, antibodi anti-SM dapat menunjukkan hasil
positif.
3) Antibodi anti-muscle-specific kinase (MuSK). Hampir 50% penderita
miastenia gravis yang menunjukkan hasil antibodi anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif
untuk antibodi anti-MuSK.
4) Antibodi antistriational. Dalam serum beberapa pasien dengan
miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam
pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan pada pasien thymoma
usia muda dengan miastenia gravis. Terdeteksinya titin/RyR antibody
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada
pasien muda dengan miastenia gravis.
b. Elektrodiagnostik
1) Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial
aksi.
2) Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Metode ini menggunakan jarum single-fiber yang memiliki
permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat
mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial di
antara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan
densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada fiber neuromuskular berupa peningkatan jitter dan
densitas fiber yang normal.
6. Pathway

Gangguan autoimun yang merusak reseptor asetilkolin

Jumlah reseptor asetilkolin berkurang pada membrane postsinaps

Kerusakan pada transmisusu impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan reseptor normal membrane
postsinase pada sambungan neuromuscular

Penurunan hubungan

Kelemahan otot-otot

Otot-otot ocular Otot wajah, laring, faring Otot Valunteer Otot pernapasan

Gangguan otot levator Regurgitasi makanan ke Kelemahan otot


palpebra Ketidakmampuan batuk
hidung saat menelan, efektif, kelemahan otot-
suara abnormal, otot pernapasan
Ptosis & diplopia ketidakmampuan 1. Mobilitas fisik
menutup rahang. 2. Intoleransi aktivitas
Gangguan citra tubuh 1. Ketidakefektifan pola
Gangguan pemenuhan nafas
nutrisi 2. Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian Primer (Primary Survey)
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
– Chin lift / jaw trust
– Suction / hisap
– Guedel airway
– Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang
sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi, whezing,
sonor, stidor/ ngorok, ekspansi dinding dada.

c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut

d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau
atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara
yang cukup jelas dan cepat adalah
Awake :A
Respon bicara :V
Respon nyeri : P
Tidak ada respon :U

e. Exposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang
mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka
imobilisasi in line harus dikerjakan

2. Pengkajian Sekunder
a. Pemeriksaan Fisik
1) Review of system:
B1 (breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk
efektif, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut dan
peningkatan frekuensi pernafasan sering didapatkan pada klien yang
disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi dan stridor pada klien menandakan adanya
akumulasi sekret pada jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot
pernapasan.
B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi dan
tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi
tidak membaikya status pernapasan, Hipotensi / hipertensi, takikardi /
bradikardi
B3(brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Kelemahan otot ektraokular
yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia
intermien, bicara klien mungkin disatrik
B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya
volume output urine,ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal. Pemeriksaan lainnya berhubungan
dengan menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi
saat berkemih.
B5 (bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena
ketidakmampuan menelan maknan sekunder dari kelemahan otot-otot
menelan.pemeriksaan lainnya berhubungan dengan  kelemahan otot
diafragma dan peristaltic usus turun.
B6 (bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktifitas perawatan diri.Tingkat kesadaran:
Komposmentis
2) Fungsi serebral: Aktivitas motorik mengalami perubahan yaitu kedua
ekstremitas sulit digerakkan.
3) System motorik: Adanya kelemahan pada otot rangka yaitu otot ekstremitas
bawah yang memberikan manifestasi pada hembatan mobilitas (berjalan).
b. Pengkajian Diagnostik
1) Tes serum antibodi reseptor AChR bernilai positif pada 90 % pasien
2) Tes tensilon: injeksi IV dapat memperbaiki respon motorik sementara dan
menurunkan gejala pada krisis miasteni untuk sementara waktu namun
efeknya dapat memperburuk gejala-gejala pada krisis kolinergik.
3) Tes elketrofisiologis yang digunakan untuk menunjukkan penurunan
respon rangsangan saraf berulang
4) CT scan dada dapat menunjukkan hyperplasia timus (timoma) yang
dianggap menyebabkan respon autoimun.

3. Diagnosa Keperawatan (Nurarif & Kusuma, 2015)


a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
(myasthenia gravis)
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
4. Intervensi Keperawatan (Nurarif & Kusuma, 2015)

No Diagnosa Intervensi Rasional


1 Pola nafas tidak Observasi 1. Manifestasi distres
efektif - Monitor pola napas pernafan tergantung
berhubungan - Monitor bunyi napas tambahan pada indikasi derajat
dengan kelemahan keterlibatan paru dan
otot pernafasan status kesehatan
umum.
         
Terapeutik
2. Memaksimalkan
- Posisikan semi fowler atau
bernafas.
fowler
3. Untuk memobilisasi
- Lakukan penghisapan lender
sekresi dan
kurang dari 15 detik
penghisapan untuk
- Lakukan hiperoksigenisasi
mengeluarkan
sebelum penghisapan
secret.
endotrakeal

Kolaborasi
4. Sebagai pengencer
- Kolaborasi pemberian
lendir agar tidak
mukolitik, jika perlu
terlalu kental dan
lengket, sehingga
lebih mudah untuk
batuk. Obat ini
digunakan untuk
mengobati
pernapasan dengan
lendir yang
berlebihan dan
menebal
2. Defisit nutrisi Terapeutik 1. Perawatan mulut
berhubungan - Lakukan perawatan mulut dapat meningkatkan
dengan
ketudakmampuan sebelum dan sesudah makan asupan oral
menelan makanan - Baringkan pasien tegak dengan 2. Posisi ini
kepala sedikit fleksi mendekati mengurangi aspirasi
waktu makan 3. Untuk menurunkan
- Istirahat sebelum makan kelemahan otot
- Kurangi gangguan pada saat 4. Untuk
makan mempertahankan
konsentrasi pasien
saat menelan
5. Untuk memudahkan
Berikan makanan yang lunak pasien menelan
dalam bentuk kuah atau bentuk
saus 6. Penghargaan positif

- Berikan penghargaan kecil meningkatkan

terhadap kemampuan yang keyakinan dalam

telah dicapai pasien menelan

- Tingkatkan asupan makanan 7. Karenan pada pagi

pada pagi hari hari otot otot


menjadi kuat
8. Untuk

Kolaborasi mengembangkan

- Kolaborasi dengan tim gizi rencana makan dan


cairan

3. Gangguan Observasi 1. Untuk menentukan


mobilitas fisik - Kaji faktor faktor tindakan
berhubungan penyebab keperawatan pada
dengan penurunan - Kaji derajata mobilitas 0- pasien
kekuatan otot 4 2. Pasien mampu
Kolaborasi mandiri (nilai 0),
- Kolaborasi dalam memerlukan bantuan
pemberian penggunaan dengan alat (nilai 1),
medikasi 30 menit dengan pengawasan
sebelum makan dan pengajaran (nilai
- Berikan perawatan mata 2), memerlukan
bantuan peralatan
terus menerus (nilai
3), tergantung
sepenunya dengan
asuhan (nilai 4)
3. Memaksimalkan
kekuatan otot
4. Untuk membantu
mengurangi ptosis
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Christantie, Niluh Gede Yasmin Asih. Keperawatan Medikal Bedak Klien
Dengan Gangguan Sistem Respirasi. 2014. EGC : Jakarta
Mubarak, Iqbal Wahid, Nurul Chayati. 2018. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia.
EGC:Jakarta
Smeltzer, C Suzanne, Brenda G Bare. 2011. Keperawatan Mediakl Medah Brunner dan
Suddarth Ed.  . EGC : Jakarta
Syaifuddin. Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat Ed. 2016. EGC : Jakarta
Doengoes, Marilyn. E, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Pasien Edisi 3, EGC, Jakarta, 2017

Anda mungkin juga menyukai