Anda di halaman 1dari 35

HIV (Human Immunodeficiency Virus)

Epidemiologi HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrome) dikenal sejak tahun 1981 pada lima orang pria
homoseksual di Los Angeles, Amerika Serikat (Sepkowitz, 2001). Pada tahun 2000, jumlah orang yang
terinfeksi HIV di dunia diperkirakan 42 juta orang, dimana dua pertiganya tinggal di Afrika. HIV
menginfeksi laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, bahkan bayi, semua warna kulit dan ras,
dan berbagai orientasi seksual. Dari jumlah tersebut, 20 juta orang telah meninggal akibat AIDS pada
Desember 2000, dan 3 juta diantaranya adalah anak-anak. Di Indonesia, menurut data Departemen
Kesehatan (Depkes), diperkirakan terdapat 90.000 sampai 130.000 orang dengan HIV positif.
Penyebab AIDS diketahui pada tahun 1983, yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV),
suatu Retrovirus yang termasuk dalam famili Lentivirus. Dua virus HIV yang berbeda secara genetik
namun berhubungan antigennya adalah HIV subtipe 1 (HIV-1) dan HIV subtipe 2 (HIV-2) yang dapat
bereaksi silang pada uji serologik (Mitchell and Kumar, 2003; Jawetz et al., 1996). AIDS pada dasarnya
adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh, disebabkan oleh
HIV (Sepkowitz, 2001).
Struktur HIV
Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut, dikelilingi oleh selubung lipid
yang berasal dari membran sel hospes. Inti virus mengandung protein kapsid terbesar yaitu p24, protein
nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA genom, dan tiga enzim virus yaitu protease, reverse
transcriptase dan integrase (Gambar 1). Protein p24 adalah antigen virus yang cepat terdeteksi dan
merupakan target antibodi dalam tes screening HIV. Inti virus dikelilingi oleh matriks protein dinamakan
p17, yang merupakan lapisan dibawah selubung lipid. Sedangkan selubung lipid virus mengandung
dua glikoprotein yang sangat penting dalam proses infeksi HIV dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom
virus yang berisi gen gag, pol, dan envyang akan mengkode protein virus. Hasil translasi berupa protein
prekursor yang besar dan harus dipotong oleh protease menjadi protein mature (Mitchell and Kumar,
2003).

Gambar 1. Struktur HIV (Tillman, 2001)


Perkembangbiakan HIV
Meskipun berbagai sel dapat menjadi target dari HIV, ada dua target utama infeksi HIV yaitu
sistem imunitas tubuh dan sistem saraf pusat (Mitchell and Kumar, 2003; Fauci et al., 2001; Cornain
dkk., 2001) tetapi virion HIV cenderung menyerang limfosit T. Jumlah limfosit T penting untuk
menentukan progresivitas penyakit infeksi HIV ke AIDS (McCloskey, 1998; Drew, 2001). Limfosit T
menjadi sasaran utama HIV karena memiliki reseptor CD4+ (sel T CD4+). yang merupakan pasangan
ideal bagi gp120 permukaan (surface glycoprotein 120) pada permukaan luar HIV (enveloped) (Schols,
1996; McCloskey, 1998). Molekul CD4+ merupakan reseptor dengan afinitas tinggi terhadap HIV. Hal
tersebut menjelaskan adanya kecenderungan selektif virus terhadap sel T CD4+ dan sel CD4+ lainnya,
yaitu makrofag dan sel dendritik. Selain berikatan dengan sel CD4+, glikoprotein pada selubung HIV,
yaitu gp120 akan berikatan dengan koreseptor pada permukaan sel untuk memfasilitasi masuknya
virus ke dalam sel tersebut. Dua macam reseptor kemokin pada permukaan sel CD4+, yaitu CCR5 dan
CXCR4 yang dikenal berperan dalam memfasilitasi masuknya HIV. Reseptor CCR5 banyak terdapat
pada makrofag dan reseptor CXCR4 banyak terdapat pada sel T. Selubung HIV gp120 berikatan
dengan gp41 akan menempel pada permukaan molekul CD4+. Pengikatan tersebut akan
mengakibatkan perubahan yang menyebabkan timbulnya daerah pengenalan terhadap gp120 pada
CXCR4 dan CCR5. Glikoprotein 41 akan mengalami perubahan yang mendorong masuknya sekuens
peptida gp41 ke dalam membran target yang memfasilitasi fusi virus (Mitchell and Kumar, 2003;
Fauci et al., 2001; Hogan et al., 2001).
Dengan glikoprotein gp41 transmembran (transmembrane glycoprotein 41), maka akan terjadi
fusi antara permukaan luar dari HIV dengan membran limfosit T CD4+, sedangkan inti (core) HIV
melanjutkan masuk sel sambil membawa enzim reverse transcriptase (Pavlakis, 1997). Bagian inti HIV
yang mengandung RNA (single stranded RNA) akan berusaha membentuk double stranded DNA
dengan bantuan enzim reverse transciptase yang telah dipersiapkan tersebut, kemudian dengan
bantuan DNA polimeraseterbentuklah cDNA atau proviral DNA. Proses berikutnya adalah upaya masuk
ke dalam inti limfosit T dengan bantuan enzim integrase, maka terjadilah rangkaian proses integrasi,
transkripsi yang dilanjutkan dengan translasi protein virus, serta replikasi HIV yang berlipat ganda yang
nantinya akan meninggalkan inti. Setelah mengalami modifikasi, saling kemudian berusaha keluar
menembus membran limfosit (budding) dan virion baru yang terbentuk siap menginfeksi limfosit T CD4+
berikutnya. Sel yang pecah akan mati, demikian proses ini terus berlangsung sehingga jumlah limfosit
T CD4+ cenderung terus menurun dan perjalanan penyakit cenderung progresif (Drew., 2001)
Perjalanan HIV
Perjalanan penyakit HIV merupakan perjalanan interaksi HIV dengan sistem imun tubuh.
Terdapat tiga fase yang menunjukkan terjadinya interaksi virus dan hospes yaitu fase permulaan/akut,
fase pertengahan/kronik dan fase terakhir/krisis (Mitchell and Kumar, 2003). Fase akut menandakan
respon imun tubuh yang masih imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, fase tersebut
ditandai oleh penyakit yang sembuh dengan sendirinya yaitu 3 sampai 6 minggu setelah terinfeksi HIV.
Gejalanya berupa radang tenggorokan, nyeri otot (mialgia), demam, ruam kulit, dan terkadang radang
selaput otak (meningitis asepsis). Produksi virus yang tinggi menyebabkan viremia (beredarnya virus
dalam darah) dan penyebaran virus ke dalam jaringan limfoid, serta penurunan jumlah sel T CD4+.
Beberapa lama kemudian, respon imun spesifik terhadap HIV muncul sehingga terjadi serokonversi.
Respon imun spesifik terhadap HIV diperantarai oleh sel T CD8+ (sel T pembunuh, T sitotoksik cell)
yang menyebabkan penurunan jumlah virus dan peningkatan jumlah CD4+ kembali. Walaupun
demikian, penurunan virus dalam plasma tidak disertai dengan berakhirnya replikasi virus. Replikasi
virus terus berlangsung di dalam makrofag jaringan dan CD4+ (Mitchell and Kumar, 2003;
Saloojee and Violari, 2001).
Fase kronik ditandai dengan adanya replikasi virus terus menerus dalam sel T CD4+ yang
berlangsung bertahun-tahun. Pada fase kronik tidak didapatkan kelainan sistem imun. Setelah
bertahun-tahun, sistem imun tubuh mulai melemah, sementara replikasi virus sudah mencapai
puncaknya sehingga perjalanan penyakit masuk ke fase krisis. Tanpa pengobatan, pasien HIV akan
mengalami sindrom AIDS setelah fase kronik dalam jangka waktu 7 sampai 10 tahun
(Mitchell and Kumar, 2003; Saloojee and Violari, 2001).
Fase krisis ditandai dengan hilangnya kemampuan sistem imun, meningkatnya jumlah virus
dalam darah (viral load) dan gejala klinis yang berarti. Pasien mengalami demam lebih dari 1 bulan,
lemah, penurunan berat badan dan diare kronis. Hitung sel T CD4+ berkurang sampai dibawah 500/L.
(Mitchell and Kumar, 2003; Saloojee and Violari, 2001).
Diagnosis HIV
Gejala infeksi HIV disesuaikan dengan fase perjalanan penyakit. Gejala infeksi HIV pada
awalnya sulit dikenali, karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga
penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam enam minggu pertama setelah penularan, timbul gejala
tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, sakit menelan dan pembengkakan kelenjar getah
bening di bawah telinga, ketiak dan selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan sampai 4-
5 tahun mungkin tidak muncul gejala. Pada tahun ke-5 atau ke-6, mulai timbul diare berulang (kronis),
penurunan berat badan secara mendadak (> 10%), sering sariawan dan pembengkakan kelenjar getah
bening (Mitchell and Kumar, 2003).
Sangat disarankan memeriksa darah untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dengan
cara Elisa Reaktif sebanyak dua kali. Bila hasilnya positif, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan
Imunofluoresensi Western Blot untuk memastikan adanya HIV di dalam tubuh. Screening terutama
dilakukan pada orang yang mempunyai perilaku berisiko tinggi, seperti sering berganti-ganti pasangan
seks, pecandu narkoba suntikan, mendapati gejala penyakit yang khas karena infeksi HIV, menderita
penyakit yang memerlukan transfusi darah terus-menerus seperti hemofilia dan sering berhubungan
dengan cairan tubuh manusia (Mitchell and Kumar, 2003; Saloojee and Violari, 2001).
Pengobatan HIV
Belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS. Ada obat yang dapat memperlambat
perkembangan HIV, dan memperlambat kerusakan pada sistem kekebalan tubuh tetapi belum ada cara
untuk memberantas HIV dari tubuh penderita. (Mitchell and Kumar, 2003; Saloojee and Violari, 2001).
Pengobatan AIDS bertujuan untuk mempertahankan keadaan sehat tanpa efek samping yang
berarti dalam waktu yang lama. Caranya adalah dengan menekan viral load sehingga menekan
produksi virus dan mengembalikan fungsi sistem imunitas tubuh. Pengobatan AIDS dengan ARV harus
bersifat kombinasi karena adanya resistensi virus terhadap ARV. Tiga golongan ARV yang dikenal
adalah nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRI), dan protease inhibitor(PI). Kombinasi ARV bisa berupa 3NRTI, 2NRTI+NNRTI, dan
2NRTI+PI. Pasien AIDS harus menggunakan ARV terus menerus dan apabila pengobatan ARV
berhenti, maka akan terjadi resistensi dan kegagalan pengobatan (Sepkowitz, 2001; Fauci and Lane,
2001; Thaker and Snow, 2003).
GB Virus C (GBV-C)
1. Sejarah Penemuan
Pada tahun 1967, dari seorang ahli bedah dengan inisial G.B. yang menderita hepatitis akut,
(Masuko et al., 1996). Kemudian dapat diisolasi dua virus baru yang merupakan virus RNA
positif stranddan termasuk famili Flaviviridae, yaitu Virus GB tipe A (GBV-A) dan Virus GB tipe B (GBV-
B) (Simons et al., 19951). Ternyata GBV-A dan GBV-B hanya didapati pada kera tamarin (Alter et al,
1996). Tahun 1996, ditemukan virus lain yaitu GBV-C pada penderita hepatitis akut, kronis maupun
orang sehat yang tinggal di Amerika Serikat, Kanada dan Afrika (Leary et al., 1996). GBV-C (Alter et al,
1996). Seperti juga Virus Hepatitis C (VHC), VHG dan GBV-C memiliki persamaan asam amino dan
nukleotida lebih dari 95% dan 85%, sehingga disimpulkan kedua virus tersebut berasal
dari spesies virus yang sama dengan isolat yang berbeda (Retno et al., 2000).
2. Struktur GBV-C
GBV-C termasuk famili flaviviridae yang terdiri dari molekul RNA single stranded dan memiliki
kurang lebih 9.500 nukleotida (Sherlock, 1999). Dua puluh lima persen GBV-C memiliki persamaan
asam amino dengan VHC, dan sifat kronisitasnya cukup menonjol pada infeksi manusia. Pola genom
secara keseluruhan mirip dengan VHC dan flavivirus lain (Di Bisceglie, 1996). Virus ini cukup unik
diantara flafiviridae karena tidak menyandi suatu protein yang menyerupai inti (core like protein) yaitu
protein yang letaknya dekat ujung amino dari poliprotein virus. Asam amino VHG dan GBV-C memiliki
homologi sebanyak 29% dengan VHC, yang menunjukkan bahwa virus tersebut berbeda dan bukan
serotipe dari VHC. VHG dan GBV-C memiliki homologi asam amino sebanyak 48% dengan GBV-A dan
28% dengan GBV-B. Dalam pembicaraan selanjutnya VHG dan GBV-C akan disebut sebagai GBV-C.
GBV-C memiliki dua macam protein yaitu 2 protein struktural (protein E1 dan E2) dan 5 protein
nonstruktural (protein NS2, NS3, NS4, NS5A dan NS5B) (Tillmann et al., 2001) (gambar 4). Protein E2
merupakan protein utama yang dapat merangsang terbentuknya antigen dalam tubuh.

Gambar 2. Struktur Genom GBV-C (Tillmann et al., 2001)


1. Prevalensi dan Jalur Penularan GBV-C
GBV-C dapat ditularkan melalui darah dan produk darah hubungan seksual dan vertikal dari
ibu ke janinnya. GBV-C juga dapat ditularkan melalui serum yang terinfeksi pada binatang primata,
termasuk tamarin, simpanse dan kera macaca. GBV-C banyak dideteksi pada pengguna obat-obatan
intravena. Prevalensi GBV-C berbeda pada berbagai populasi. Centers for Disease Control and
Prevention telah menemukan diantara pasien di Amerika Serikat yang didiagnosis hepatitis non-A, non-
B kira-kira 18% positif terdapat RNA GBV-C yang mana sebagian besar pasien (80%) juga terinfeksi
dengan VHC (DiBisceglie, 1996; CDCP, 1996),
Infeksi GBV-C dapat terjadi pada donor darah sehat (Linnen et al., 19962). Prevalensi infeksi
GBV-C pada donor darah di Surabaya, Indonesia sebesar 2,7%. Sedangkan prevalensi infeksi GBV-C
dan koinfeksi dengan VHC yang terjadi pada penderita penyakit hati kronis di Surabaya sebesar 8,4%
(Retno et al., 2000).
Kelompok resiko tinggi pada penularan GBV-C adalah pekerja seks komersial (PSK) dan pria
homoseksual. Di Taipei, Taiwan, 21% wanita PSK tanpa riwayat penggunaan obat-obatan intra vena
didapatkan RNA GBV-C yang positif. Seroprevalensi RNA GBV-C pada pria homoseksual yang positif
terinfeksi HIV di Frankfurt, Jerman, adalah 8,5%. Peneliti yang sama menganalisis antibodi terhadap
glikoprotein envelope E2 (E2Ab) dari GBV-C dan menemukan jumlah prevalensi keseluruhan sebesar
31,9%. Di Spanyol, prevalensi RNA GBV-C telah dilaporkan sebesar 13,4% dan 19%. Sebesar 51%
dari pria homoseksual yang terinfeksi HIV di Skotlandia menunjukkan positif RNA GBV-C dan 4 dari 17
sampel negatif, dengan PCR menjadi positif (Wacthler et al., 2000).
2. Diagnosis GBV-C
Diagnosis spesifik sesuai jenis virus penyebab hanya bisa ditentukan melalui pemeriksaaan
laboratorium (Hardie, 2005). Diagnosis infeksi GBV-C dilakukan dengan pemeriksaan Polymerase
Chain Reaction (PCR) yaitu untuk mendeteksi adanya RNA virus dalam serum, jaringan atau cairan
yang terinfeksi lainnya. PCR masih merupakan metode unggulan yang tersedia saat ini untuk diagnosis
adanya infeksi GBV-C. Kemungkinan ketidaksesuaian hasil pemeriksaan PCR dengan prevalensi
infeksi GBV-C dapat terjadi pada orang yang telah sembuh dari infeksi atau pada saat tidak
mengandung GBV-C lagi (Di Bisceglie, 1996).

ketika virus HIV masuk kedalam tubuh kita maka dia akan menyerang sel2 yang mempunyai CD4+
seperti makrofag, sel T , sel dendritik dll. dengan cara penggabungan antara cd4+ dan gp120 seperti
halnya kunci dan gembok ha ini dipermudah dengn adanya gp41 pada virus dan ccr5(magrofag) dan
cxcr4(selt) untuk lisis kedalam sitoplasma sel. setelah terjadi lisis, maka yang masuk kedalam
sitoplasma adalah kapsul serta rantai RNA virus. didalam sitoplasma virus berubah menjadi DNA
dengan menggunakan enzim revers trasnkriptasi yg dimilikinya. setelah itu baru virus ini menembus
nukleus dan bergabung dengan DNA manusia dengan bantuan enzim integrase sehingga terbentuklah
DNA provirus. lalu DNA provirus mengadakan transkripsi dengan bantuan enzim
polymerase sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan translasi dengan
protein protein structural sampai terbentuk protein mRNA(disi yang kerja enzim
protease). Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus, yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada
permukaan membrane sel, virion akan dikeluarkan dari sel host dalam keadaan
matang.
Pertanyaan yang muncul adalah kemana sistem imun kita?
Jadi, ketika HIV dalam tubuh kita, didapatkan gambaran seperti ini nah, bisa di bayangkan betapa
menyeramkannya dan betapa banyaknya benda hijau seperti ingus itu, itulah HIV ketika sedang
menyerang CD4+, hal inilah yang menyebabkan sisitem imun kita tertekan dan dengan segala usaha
gagal menangani super gayus ups maksud saya super HIV. Memang pada awal infeksi atau pada fase
akut sistem imun kita masih bisa mengontrol dengan bantuan CD8+ maupun antibody spesifik sehingga
dapat menambah jumlah CD4+ dan dapat dikatan menang.
Kemudian terbentuklah fase tak bergejala atau disebut juga fase laten yaitu dimana fase tubuh
mengangagap dapat mengalahkan gayus eh maksud saya HIV (maaf agak bias antara gayus dan HIV
habis mirip). Sama dengan kasus gayus yang plesiran ini dimana pemerintah melihat bahwa gayus
telah aman di dlm LP padahal dia sedang plesiran, tubuh kita menganggap HIV ini sudah dapat
ditangani tanpa tau bahwa sebenarnya dia berreplikasi secara konstan didalam sel dan menyuap
reseptor serta coreseptor kita agar DNA dalam nucleus bisa di gunakan. Karena ingatlah wahai
pembaca sekalian bahwa HIV ini dapat menginfeksi CD4+ walaupun dalam keadaan tidak aktif
(umumnya menyerang CD4+ dalam keadaan aktif).
Nah~~~ ini merupakan fase terakhir, dimana HIV telah beranak pinak berkembang biak
melebihi hasil korupsi gayus, dan merusak segala hal sistem imun kita baik CD4+, CD8+, maupun
antibody spesifik (dalam hal ini dapat dikatakan kegagalan fungsi karena rusak oleh HIV) sehingga HIV
benar-benar banyak, sisitem imun juga rusak sehingga virus,bakteri yang dari luar maupun yang sudah
ada dalam tubuh (flora normal dan virus yg sebelumnya ada di dalam tubuh misalnya hsv atau
sejenisnya) lebih cepat menginfeksi dan lebih hidup. Disinilah dikatakan fase krisis atau lebih kerennya
fase AIDS yaitu segala macam penyakit berkumpul. Jika sudah seperti ini, sebaiknya penderita sholat
tobat karena kemungkinan besar akan di jemput oleh malaikat maut dan segera mencium tanah
(lahaulawalakuwataillabillah, semoga kita semua meninggal dalam keadaan
khusnulkhotimahamin~~~)
Gejala klinis
Gejala mayor :
a. Demam berlangsung >3 bulan
b. Penurunan berat badan >10%
c. Limfadenopati berangsung >3bulan
d. Diare tak kunjung sembuh
e. Kelelahan dan keringat malam
Gejala minor
a. T4<400/ml
b. Ratio T4/T8 < 1,0
c. Leukotrombositopenia dan anemia
d. Peningkatan serim immunoglobulin
e. Penurunan blastogenesis sel limfosit
f. Tes kulit alergi
CARA KERJA MASING-MASING GOLONGAN OBAT ANTIRETROVIRAL
1. Obat Golongan NRTI
Penghambat enzim reverse-transcriptase adalah golongan obat pertama yang digunakan untuk
pengobatan HIV-1. Golongan obat NRTI adalah penghambat kuat enzimreversetranscriptase dari RNA
menjadi DNA yang terjadi sebelum penggabungan DNA virus dengan kromosom sel inang. Obat ini
membutuhkan enzim kinase sel untuk membentuk zat aktifnya
melalui proses fosforilasi intraseluler. Aksi obat yang sudah difosforilasi adalah menghambat secara
kompetitif enzim reverse-transcriptase virus dan mengakhiri proses elongasi DNA virus selanjutnya.
Oleh karena obat-obat ini beraksi pada tahap sebelum integrasi dalam siklus hidup virus, obat ini hanya
sedikit berefek pada sel yang sudah terinfeksi secara kronis di mana DNA virus sudah tergabung dalam
kromosom sel.
2. Obat golongan NNRTI
Golongan non-nucleoside reverse-transcriptase inhibitor (NNRTI) secara spesifik
menghambat aktivitas enzim reverse-transcriptase dengan mengikat secara langsung tempat yang
aktif pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya.
3. Obat golongan Protease Inhibitor (PI)
Golongan protease inhibitor (PI) menghambat enzim protease HIV yang dibutuhkan untuk memecah
prekursor poliprotein virus dan membangkitkan fungsi protein virus. Enzimprotease penting pada tahap
replikasi virus yang terjadi setelah transkripsi DNA virus ke RNA dan translasi ke dalam protein virus.
Karena golongan PI beraksi pada langkah setelah integrasi dalam siklus virus, maka golongan obat ini
efektif dalam menghambat replikasi baik pada sel-sel yang baru terinfeksi maupun yang sudah kronis.
4. Obat golongan fusion inhibitor
Golongan obat ini menghambat masuknya virus HIV tipe 1 (HIV-1) ke dalam sel target pada orang yang
terinfeksi. Obat ini secara spesifik mencegah fusi glikoprotein transmembran gp41 HIV-1 dengan
reseptor CD4 pada sel inang

HIV merupakan suatu virus RNA bentuk spheris dengan diameter 1000 angstrom yang termasuk
retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya terdiri dari:
a. gp120 (glikoprotein 120) dan gp41 (glikoprotein 41) : befungsi untuk menempel pada CD4+ dan CCR5
ataupun CXCR4. Angka mengacu pada massa protein dalam Dalton.
b. RNA
c. Enzim reverse transcriptase : untuk berubah menjadi DNA ketika telah berada dalam sitoplasma.
d. Enzim integrase : untuk bergabung dengan DNA sel hostpes setelah berada dalam sitoplasma.
e. Enzim integrase : untuk memotong rantai-rantai protein virus setelah berada di sitoplasma.
f. Lipid bilayer : selubung luar (kapsul) viral.
g. Protein 17,18 : protein yang mengelilingi segmen dalam virus.
h. Protein 24,25 : protein kapsid.
HIV yang terdiri dari 2 yaitu :
a. HIV-1 : progresitas menjadi AIDS lebih cepat, mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai vpx,
dan lebih sering ditemukan.
b. HIV-2 : mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu, tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat
di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.
Struktur virus HIV

Virus HIV termasuk virus ss RNA positif yang berkapsul, dari famili Retroviridae. Diameternya sekitar 100 nm

dan mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh protein nukleokapsid. Pada permukaan kapsul virus

terdapat glikoprotein transmembran gp41 dan glikoprotein permukaan gp120. Di antara nukleokapsid dan

kapsul virus terdapat matriks protein. Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik untuk virus HIV, yaitu

enzim reversetranskriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN). Enzim RT merupakan DNA polimerase yang

khas untuk retrovirus, yang mampu mengubah genom RNA menjadi salinan rantai ganda DNA yang selanjutnya

diintegrasikan pada DNA sel pejamu. Retrovirus juga memiliki sejumlah gen spesifik sesuai dengan spesies

virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis DNA), serta env (untuk fusi

kapsul virus dengan membran plasma sel pejamu).

Replikasi retrovirus berbeda dengan virus RNA lainnya. Segera setelah inti virus memasuki sitoplasma sel yang

terinfeksi, RNA disalin ke DNA rantai ganda dengan RT. Penyalinan dimungkinkan oleh aktivitas RNAse H dari

RT, sehingga rantai RNA dapat dipecah menjadi campuran DNA (-) dan RNA (+). Baru kemudian campuran ini

berubah menjadi molekul DNA rantai ganda. DNA hasil salinan akan memasuki inti sel yang terinfeksi dan

menyatu dengan kromosom sel pejamu. Provirus (gen virus spesifik) juga ikut mengalami penyatuan dengan

kromosom sel yang terinfeksi. Integrasi ini dimungkinkan dengan adanya sisipan rantai pengulangan yang

disebut long terminal repeats (LTR) pada ujung-ujung salinan genom RNA. Rantai LTR ini memuat informasi

sinyal yang diperlukan untuk transkripsi provirus oleh RNA polimerase dari pejamu. Selain itu juga protein

integrase berperan dalam proses ini. Setelah DNA pejamu terintegrasi dengan materi genetik virus, akan terjadi

proses transkripsi yang menghasilkan satu rantai genom RNA yang utuh dan satu atau beberapa mRNA. mRNA
yang dihasilkan ini mengkode protein regulator virus.
Terapi anti-HIV

Dalam siklus hidup virus HIV, ada empat tahap yang dapat diintervensi dengan obat antiretroviral; yaitu:

1. Transkripsi balik (reverse transcription), yang dihambat dengan reverse transcriptaseinhibitor (RTI).
RTI terbagi atas analog nukleosida (nucleoside reverse transcriptase inhibitors, NRTI) dan analog
nonnukleosida (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors, NNRTI).
2. Protease, yang dihambat protease inhibitors (PI)
3. Fusi membran, yang dihambat oleh fusion inhibitors (FI).
4. Integrasi materi genetik (DNA), yang dihambat oleh integrase inhibitors (II).

Mekanisme kerja obat antiretroviral dapat dilihat pada skema berikut ini.

RTI bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase selama proses transkripsi RNA virus pada DNA

pejamu. Analog NRTI akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif

mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi. Obat yang termasuk

NRTI antara lain zidovudin, zalcitabine, abacavir, didanosine, stavudine, lamivudine, dan tenofovir. Sedangkan
analog NNRTI akan berikatan langsung dengan enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang

termasuk NNRTI antara lain efavirenz, nevirapine, delavirdine, dan etravirine.

PI bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV, protease HIV

akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan

perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang

termasuk golongan PI antara lain saquinavir, amprenavir, ritonavir, indinavir, lopinavir, dan atazanavir.

FI bekerja dengan menghambat masuknya virus ke dalam sel pejamu, dengan cara berikatan dengan subunit
gp41. Obat yang termasuk FI antara lain enfuvirtide dan maraviroc. Namun secara spesifik, maraviroc
digolongkan dalam CCR5 antagonis (CC chemokine receptor 5). Maraviroc bekerja dengan mengikat reseptor

CCR5 di permukaan sel CD4+ dan mencegah perlekatan virus HIV dengan sel pejamu.

II bekerja dengan menghambat penggabungan (integrasi) DNA virus dengan pejamu. Obat yang termasuk

golongan II adalah raltegravir.

Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (highly active antiretroviral therapy), yang

menggunakan kombinasi minimal tiga obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi

virus (viral load) sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi.


Pembahasan

Target utama infeksi HIV adalah sel yang mempunyai reseptor CD4, yaitu limfosit
CD4+ dan makrofag/monosit. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV,
namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel
limfosit CD 4 sehingga menyebabkan terganggunya homeostasis dan fungsi sel-sel lainnya
dalam sistem imun tersebut. Namun marker CD4 saja tidak cukup karena beberapa sel lain
seperti megakariosit, mukosa rektal, sel serviks, mikroglia limfosit CD8 dan epitel ginjal juga
dapat terinfeksi HIV. Selain itu reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) ternyata ikut berperan
dalam mempengaruhi masuknya HIV ke dalam sel. HIV dapat menimbulkan patologi penyakit
melalui beberapa mekanisme, antara lain terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan
infeksi oportunistik (IO), terjadinya autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan kecenderungan
terjadinya malignansi atau keganasan pada stadium lanjut.
Pada respon antibodi, HIV justru meningkatkan pembentukan IgA dan IgG dan
mempengaruhi fungsi neutrofil. Tetapi respon antibodi terhadap HIV sangat lemah, hanya
sebagian kecil antibodi yang dapat menetralisasi HIV karena itu HIV dapat melewati respon
antibodi sehingga dapat tetap hidup dan menginfeksi sel lain. HIV juga dapat tetap bertahan
dalam tubuh karena mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam limfosit CD4 dan
bereplikasi. Dengan pemberian obat antiretroviral dapat menekan replikasi HIV sehingga
jumlah limfosit CD4 stabil bahkan meningkat sehingga bisa mengurangi infeksi oportunistik.
Namun demikian gejala IO dapat kembali terjadi karena sebagai akibat gejala inflamasi.
Meskipun begitu, beberapa terapi bisa diberikan kepada pasien HIV untuk menekan reaksi HIV
yaitu dengan memanfaatkan langkah-langkah utama dalam proses infeksi HIV pada sel,yaitu
(1) bertemunya gp120 virus dan limfosit CD4, (2) pengikatan gp120 dengan reseptor kemokin
CXCR4 dan CCR5, dan (3) fusi membran virus dan membran sel target.
Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus
yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut
diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41
yang disandi virus ditemukan dalam envelop. Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan
HIV-1 yang mengikat reseptor CD4 pada sel T dan makrofag. Protein gp120 virus terdiri dari
domain dalam dan luar yang terhubung oleh sebuah jembatan. Virus menginfeksi sel dengan
menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 (120kD glikoprotein) yang terutama
mengikat CD4 dan dari sel manusia.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membran sel virus bersatu dengan
membran sel pejamu dan virus masuk sitoplasma. Setelah HIV masuk kedalam sel dan
terbentuk dsDNA, integrasi DNA viral kedalam genom sel pejamu dan membentuk provirus.
Provirus tetap laten sampai kejadian dalam sel terinfeksi mencetuskan aktifasinya, yang
mengakibatkan terbentuk dan penglepasan partikel virus. Walau CD4 berikatan dengan
envelop glikoprotein HIV-1, diperlukan reseptor kedua supaya dapat masuk dan terjadi infeksi.
Galur tropik sel T-HIV-1 menggunakan koreseptor CXCR4, sedangkan galur tropik makrofag
menggunakan CCR5. Kedua reseptor ini merupakan reseptor kemokin dan ligan normalnya
dapat menghambat infeksi HIV ke dalam sel.

Inhibitor HIV : Mekanisme Dan Resistensinya


Inhibitor ikatan CD4-gp 120 dan mekanismenya
Terdapat banyak molekul yang mampu menghambat ikatan CD4-gp 120. Molekul-molekul
tersebut memiliki struktur dan mekanisme yang berbeda. Diantaranya :
PRO-542 (CD4-IgG2) adalah suatu rekombinan antibodi berbentuk tetravalen dan larut
dalam plasma. Molekul ini dapat menggabungkan empat salinan dari ikatan domain CD4 dan
meniru reseptor CD4. Merupakan salah satu dari inhibitor ikatan CD4-gp120. Selain itu studi
lain menemukan bahwa gabungan PRO-542 dengan enfuvirtide menunjukkan hasil yang
positif dalam menghambat replikasi HIV.
TNX-355 adalah antibodi monoklonal non-imunosupresif yang diarahkan langsung kepada
reseptor CD4. Molekul ini bersaing dengan gp120 pada HIV untuk mengikat CD4. Awalnya
diketahui bahwa sisi pengikatan antibodi pada reseptor CD4 berbeda debgan sisi yang terlibat
dengan HIV gp120. Dengan demikian, TNX-355 dapat mencegah perubahan konformasi
sebelum HIV berhasil masuk ke sel. Percobaan awal pada pasien yang terinfeksi HIV
menunjukkan bahwa dosis TNX-355 yang sedikit mengurangi RNA HIV-1 dalam plasma dan
meningkatan jumlah CD4 + sel T.
CADA adalah inhibitor spesifik dari ikatan CD4-gp120 yang tidak berinteraksi langsung
dengan reseptor CD4 atau dengan gp120. Aktivitas antivirus CADA diasumsikan untuk
mengatur ekspresi reseptor CD4 setelah translasi.
BMS-806 memiliki afinitas yang tinggi untuk mengikat HIV gp120, sehingga menghalangi
perubahan konformasi pada gp120 setelah CD4 terikat. Pengikatan BMS-806 pada HIV gp120
termasuk spesifik, reversibel dan koreseptor independen. Namun molekul ini tidak aktif
terhadap HIV-2 dan simian immunodeficiency virus (SIV).
Molekul-molekul diatas tidak menunjukkan sitotoksisitas yang signifikan, bahkan tidak
memiliki toksisitas pada hewan. Namun memiliki bioavailabilitas yang baik.

Interaksi gp120 dengan koreseptor kemokin


Selain mengikat ke reseptor sel CD4, HIV perlu mengikat koreseptor kemokin untuk
masuk ke dalam sel. Koreseptor utama yang terlibat dalam masuknya HIV kedalam sel adalah
CCR5 dan CXCR4. Pembentukkan kompleks CD4-gp120 memunculkan perubahan
konformasi pada envelop virus sehingga dapat berinteraksi dengan CCR5 atau CXCR4.
CCR5 dan CXCR4 memiliki tujuh famili reseptor pasangan protein G transmembran.
CCR5 dan CXCR4 memiliki struktur heliks yang terdiri dari empat domain transmembran, tiga
loop ekstraseluler, dan satu domain N-terminal. Kompleks CD4-gp120 mengikat koreseptor
melalui daerah V3 meskipun daerah V1/V2 dan C4 mungkin bisa juga terlibat dalam interaksi.
Sekuens asam amino V3 menentukkan terhadap pengikatan dengan CCR5 dan/atau CXCR4.
Dengan demikian, isolasi virus dapat diklasifikasikan menjadi jenis R5, X4, dan R5/X4,
tergantung pada ikatan mereka dengan koreseptornya.

Antagonis CCR5 dan mekanismenya


Antagonis CCR5 dan CXCR4 dibagi menjadi tiga kelompok tergantung pada
ukurannya yakni molekul besar (PRO-140), medium (Met-RANTES dan AOP-RANTES )
yang dimodifikasi menjadi ligan natural yang membuat CCR5 tidak dapat dimasuki. Dan yang
terakhir beberapa molekul inhibitor kecil untuk CCR5 (TAK-779, SCH-C, SCH-D, UK-
427857 and GW-873140) atau untuk CXCR4 (AMD3100 and KRH-
1636) telah dikembangkan. Kebanyakan antagonis CCR5 adalah molekul kecil yang
menghambat interaksi CCR5-gp120.
TAK-779 adalah molekul non-peptida pertama yang memblok replikasi R5 secara in vitro
dengan mengganggu interaksi dengan koreseptor CCR5. TAK-779 memiliki bioavaibilitas
yang kecil dan pengembangan klinis nya dihentikan karena reaksi lokal saat pemberian yang
membuat sulit dalam manajemen. Penelitian lebih lanjut berdasarkan TAK-779 menyebabkan
identifikasi TAK-220. Senyawa ini sangat efektif terhadap blok replikasi R5 dan tahap ujiklinis
fase II saat ini sedang berlangsung.
TAK-652 merupakan antagonis baru dari Takeda Chemical Industries. TAK-652 menunjukkan
bioavailabilitas yang baik dan memiliki potensi yang tinggi terhadap HIV.
PRO-140 adalah antibodi monoklonal yang menghambat pengikatan gp120 HIV.
Maravirok merupakan antagonis CCR5 yang dikembangkan oleh Pfizer. Hasil awal uji coba
fase II sangat menjanjikan. Hampir semua pasien mengalami penurunan plasma viremia dan
tetap ditekan selama setidaknya 10 hari pasca pengobatan.
Dan yang terakhir, Aplaviroc menunjukkan hasil yang signifikan baik secara in vitro maupun in
vivo aktivitas antivirus. Namun telah diumumkan tentang penghentian pengembangan klinis
karena menimbulkan hepatotoksisitas yang serius.

Antagonis CXCR4 dan mekanismenya


AMD3100 antivirus yang berpotensi menunjukkan penghambatannya terhadap X4 telah
dikonfirmasi dalam berbagai studi baik secara in vitro maupun in vivo.
KRH-1636 merupakan salah satu antagonisCXCR4 lagi yang serupa dengan AMD3100. Studi
yang telah dilakukan terhadap tikus menunjukkan bahwa obat ini dapat diserap dengan baik
dengan demikian diharapkan dapat memiliki bioavalaibilitas yang baik.
KRH-2731 adalah antagonis CXCR4 baru yang mengikat ke loop ekstraseluler kedua dan ketiga
(ECL2 dan ECL3). Penelitian yang secara invitro telah menegaskan bahwa KRH-2731
memiliki aktivitas antivirus yang berpotensi terhadap penghambatan X4 dan R5X4, yang bisa
10 kali lipat lebih tinggi dari AMD070 yang merupakan salah satu senyawa AMD3100.

Resistensi terhadap antagonis CCR5 dan CXCR4


Secara teoritis ada 2 jalur utama resistensi terhadap antagonis CCR5 dan CXCR4, yaitu
pergeseran dalam penggunaan koreseptor dan perubahan daerah genom-envelop pada HIV
yang memungkinkan interaksi antara gp120 dan koreseptor meskipun ada inhibitor. Sejauh ini,
kebanyakan resisten antagonis CCR5 menggunakan koreseptor CCR5 daripada beralih ke
CXCR4. Selain itu terjadi bermacam-macam mutasi pada daerah yang berbeda pada HIV
gp120 (V3, C2, V2, C4). Kebanyakan mutasi resisten ini khusus untuk setiap senyawa yang
berbeda yang diharapkan dapat mencegah resistensi silang. Dalam kasus apapun, resistensi
CCR5 antagonis tidak menunjukkan resistansi silang dengan ARV, RT dan inhibitor protease.
Atau resisten silang terhadap molekul penghambat lain, seperti ikatan inhibitor CD4-gp120
dan enfuvirtide.
Resistensi terhadap CXCR4 antagonis kurang dijelakan dibandingkan resistensi
terhadap CCR5 antagonis. Mutasi pada domain V3 HIV gp120 tampaknya menjelaskan
hilangnya kerentanan terhadap banyak dari senyawa ini. Namun, mutasi pada gp120 HIV
wilayah lainnya (V1, V2 dan V4) juga telah dikaitkan dengan resistensi terhadap CXCR4
antagonis, termasuk delesi lima asam amino dalam domain V4[kodon 364-368 (FNSTW)].
Meskipun hasil awal belum mengidentifikasi pergeseran dalam penggunaan
koreseptor sebagai jalur utama untuk menghindari resistensi CCR5 antagonis, hal ini penting
sebagai pengontrol terutama pada pasien dengan campuran R5 dan X4 virus. Pergeseran
penggunaan koreseptor CCR5 dari arah CXCR4 menggunakan CCR5 antagonis bisa memiliki
konsekuensi yang bahaya dalam perkembangan penyakit HIV, karena virus X4 yang diisolasi
cenderung lebih ganas dari virus R5. Di sisi lain, sebaliknya bisa juga dengan penggunaan
CXCR4 antagonis, dalam hal pergeseran terhadap virus R5.
Peleburan inhibitor dan mekanismenya
Setelah interaksi antara kompleks gp120-CD4 dan reseptor kemokin CCR5 atau
CXCR4, perubahan konformasi tambahan berlangsung di envelop virus yang menyebabkan
pergeseran dari non-fusogenik ke keadaan fusogenik dari HIV gp41, yang akhirnya mendorong
proses fusi . N-terminal domain gp41 dimasukkan melalui peptida fusi (FP) ke dalam membran
sel. Kemudian, gp41 mengalami reorganisasi struktural yang memprovokasi interaksi antara
daerah heptad HR1 dan HR2, membentuk termostabil, struktur bundel enam helix, yang sangat
penting bagi virus dan fusi membran sel. Perubahan energi bebas berhubungan dengan
pembentukan bundel enam helix memberikan tenaga yang diperlukan untuk pembentukan pori
fusi, dan kapsid virus memasuki sel target melalui proses ini.
Enfuvirtide adalah peptida sintetik dari 36 asam amino yang meniru sebuah fragmen
HR2 dari gp41. Yang mengikat HR1 pada wilayah pembentukan struktur bundel enam helix,
yang sangat penting untuk proses fusi. Pada uji klinis, keamanan enfuvirtide ditunjukkan
dari manfaat virologi dan imunologi pada penambahan enfuvirtide bersama dengan ARV pada
pasien TB. Enfuvirtide disetujui untuk pengobatan infeksi HIV pada tahun 2003.

Resistensi terhadap fusi inhibitor


Hasil selanjutnya diperoleh dalam studi klinis menunjukkan bahwa resistensi pada
pasien yang menerima enfuvirtide juga karena perubahan luas dari kodon 36-45 dalam HR1.
Enfuvirtide harus dipertimbangkan sebagai obat dengan hambatan genetik rendah untuk
perlawanan.
Berbagai kerentanan terhadap enfuvirtide pada virus yang terisolasi telah terbukti
pada pasien enfuvirtide-naif, serta individu menjalani terapi enfuvirtide. Faktor penentu
heterogenitas ini tidak jelas, tetapi polimorfisme di wilayah HR2 dari gp41 serta perubahan
HR2 dipilih selama pengobatan enfuvirtide bisa menjelaskan fenomena ini. Beberapa
perubahan HR2 telah diakui pada pasien di bawah terapi enfuvirtide. Oleh karena itu, sulit
untuk menyimpulkan bahwa perubahan HR2 dapat mempengaruhi kepekaan enfuvirtide.
Namun, ada juga yang mengidentifikasi perubahan spesifik dalam HR2 selama terapi
enfuvirtide (yaitu mutasi S138A), yang merupakan kompensasi mutation.
Selain faktor virus, penentu host (yaitu tingkat ekspresi koreseptor pada sel target)
juga dapat mempengaruhi kerentanan terhadap enfuvirtide. Dengan cara ini, tingginya tingkat
CCR5 pada permukaan sel mungkin mengakibatkan fusi HIV lebih cepat, mengurangi waktu
di mana HIV gp41 dapat ditargetkan oleh enfuvirtide. Oleh karena itu, individu yang membawa
32-CCR5, yang mengungkapkan rendahnya tingkat CCR5, tampaknya merespon lebih baik
terhadap enfuvirtide.

Penutup

Salah satu penyebab penyakit imunodefisiensi pada manusia adalah karena infeksi HIV
(Human Imunodeficiency Virus). HIV bekerja pada sel target yang mempunyai marker CD4,
seperti limfosit T dan makrofag. Namun CD4 saja tidak cukup karena HIV tetap dapat
menginfeksi sel-sel lain, bahkan sel yang mengandung CD4 negatif. Koreseptor kemokin
CCR5 dan CXCR4 juga memegang peranan penting dalam infeksi HIV pada sel target. Respon
defisiensi imun yang terjadi tidak hanya bersifat selular tetapi juga bersifat humoral, karena sel
T helper ikut mengaktivasi limfosit B. Dapat menimbulkan infeksi oportunistik (IO),
terjadinya autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan kecenderungan terjadinya malignansi atau
keganasan pada stadium lanjut.
HIV merupakan virus yang unik dan sangat berbahaya karena menular, dapat bertahan
hidup dalam limfosit CD4, memiliki respon terhadap antibodi yang lemah. Hanya sebagian
kecil antibodi yang dapat menetralisasi HIV karena itu HIV dapat melewati respon antibodi
sehingga dapat tetap hidup dan menginfeksi sel lain serta mengakibatkan kematian. Vaksinnya
sendiri belum ditemukan. Salah satu terapi HIV yang dapat dibuat adalah dengan
menghinhibisi reaksi penyatuan virus dan sel target.
Memasukkan inhibitor merupakan pilihan terapi yang menjanjikan untuk pasien yang
terinfeksi HIV. Enfuvirtide adalah inhibitor fusi pertama yang disetujui dalam penggunaan
klinis, tetapi banyak senyawa lain yang saat ini masih dalam tahap pengembangan.
Pengetahuan mengenai mekanisme dari masing-masing molekul ini sangat penting untuk
memahami dan memprediksi jalur resistensi yang sesuai. Banyak perubahan yang terjadi pada
domain gp120 telah dikaitkan dengan resistensi inhibitor. Selain itu, masih harus di
konformasi apakah pergeseran penggunakan koreseptor mungkin jalur alternatif bagi HIV
untuk menghindari tekanan obat pada pasien yang telah terekspos antagonis CCR5 atau
CXCR4.

Daftar Pustaka
IPD UI, jilid 1
Imunologi Dasar UI, edisi 8
Abass, Immunology,
J. Antimicrob. Chemother.-2006-Briz-619-27.pdf
STRUKTUR HIV
Partikel HIV adalah virus RNA yang ber-envelop, berbentuk bulat sferis
dengan diameter 80-120 nm. Partikel yang infeksius terdiri dari dua untai
single stranded RNA positif yang berada di dalam inti protein virus
(ribonukleoprotein) dan dikelilingi oleh lapisan envelope fosfolipid yang
ditancapi oleh 72 buah tonjolan (spikes) glikoprotein (Gambar 1). Envelope
polipeptida terdiri dari dua subunit yaitu glikoprotein luar (gp120) yang
merupakan tempat ikatan reseptor (receptor binding) CD4+ dan
glikoprotein transmembran (gp41) yang akan bergabung dengan envelope
lipid virus. Protein-protein pada membran luar ini terutama berfungsi untuk
mediasi terjadinya ikatan dengan sel CD4+ dan reseptor kemokin.

Pada permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks
(p17), yang kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas
struktural virion. Envelope lipid terbungkus dalam protein kapsid yang
berbentuk ikosahedral (p24) dan matriks p17. Protein kapsid mengelilingi
inti dalam virion sehingga membentuk cangkang di sekeliling material
genetik. Protein nukleokapsid terdapat dalam cangkang tersebut dan
berikatan langsung dengan molekul-molekul RNA.
PATOGENESIS HIV
Partikel-partikel virus HIV yang akan memulaI proses infeksi biasanya
terdapat di dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat
menyebar melalui sejumlah cara. Cara yang paling umum adalah transmisi
seksual melalui mukosa genital. Keberhasilan transmisi virus itu sendiri
sangat bergantung pada viral load individu yang terinfeksi. Viral load ialah
perkiraan jumlah copy RNA per mililiter serum atau plasma penderita.
Apabila virus ditularkan pada inang yang belum terinfeksi, maka akan
terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi, virus menyebar luas
dalam tubuh inang. Sementara sel yang akan terinfeksi untuk pertama
kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu dikenai oleh
virus, bisa CD4+sel T dan manosit di dalam darah atau CD4+ sel T dan
makrofag pada jaringan mukosa.7,9,10
Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada
limfosit-T CD4+ atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus
ditransmisikan secara seksual melewati mukosa genital, ditemukan bahwa
target selular pertama virus adalah sel dendrit jaringan (dikenal juga
sebagai sel Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal, dan
selanjutnya akan bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening
setempat. Sel dendritik ini kemudian berfusi dengan limfosit CD4+ yang
akan bermigrasi kedalam nodus limfatikus melalui jaringan limfatik
sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini mencapai
nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar secara hematogen
dan tinggal pada berbagai kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus
maupun ekuivalennya (seperti plak Peyeri pada usus) pada akhirnya akan
mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung mencapai aliran darah
dan tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus ini bereproduksi
dalam nodus limfatikus dan kemudian virus baru akan dilepaskan.
Sebagian virus baru ini dapat berikatan dengan l imfosit CD4+ yang
berdekatan dan menginfeksinya, sedangkan sebagian lainnya dapat
berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus limfatikus. 7,9,10
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat
awal infeksi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu
minggu hingga tiga bulan setelah infeksi, terjadi respons imun selular
spesifik HIV. Respons ini dihubungkan dengan penurunan kadar viremia
plasma yang signifikan dan juga berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV
akut. Selama tahap awal, replikasi virus sebagian dihambat oleh respons
imun spesifik HIV ini, namun tidak pernah terhenti sepenuhnya dan tetap
terdeteksi dalam berbagai kompartemen jaringan, terutama jaringan
limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap HIV dan mikroba
lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi AIDS.7,9,10
Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang
berikatan dengan lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope
HIV. Sel dendrit juga berperan dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid.
Pada jaringan limfoid sel dendrit akan melepaskan HIV ke CD4+ sel T
melalui kontak langsung sel ke sel. Dalam beberapa hari setelah terinfeksi
HIV, virus melakukan banyak sekali replikasi sehingga dapat dideteksi
pada nodul limfatik. Replikasi tersebut akan mengakibatkan viremia
sehingga dapat ditemui sejumlah besar partikel virus HIV dalam darah
penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom HIV akut dengan
berbagai macam gejala klinis baik asimtomatis maupun simtomatis.
Viremia akan menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan
menyebabkan infeksi sel T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan
limfoid perifer.9

Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang


disebabkan oleh efek sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang
hilang selama perjalanan dari mulai infeksi hingga AIDS jauh lebih besar
dibanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga akibat sel T yang
diinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan apoptosis. Sel
dendritik yang terinfeksi juga akan mati.7
Penderita yang telah terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode
asimtomatik yang dikenal sebagai periode laten. Selama periode laten
tersebut virus yang dihasilkan sedikit dan umumnya sel T darah perifer
tidak mengandung virus, tetapi kerusakan CD4+ sel T di dalam jaringan
limfoid terus berlangsung selama periode laten dan jumlah CD4+ sel T
tersebut terus menurun di dalam sirkulasi darah. Pada awal perjalanan
penyakit, tubuh dapat cepat menghasilkan CD4+ sel T baru untuk
menggantikan CD4+ sel T yang rusak. Tetapi pada tahap ini, lebih dari
10% CD4+ sel T di organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan lamanya
perjalanan penyakit, siklus infeksi virus terus berlanjut yang menyebabkan
kematian sel T dan penurunan jumlah CD4+ sel T di jaringan limfoid dan
sirkulasi.9,11
Selama fase lanjutan (kronik) infeksi HIV ini penderita akan rentan
terhadap infeksi lain dan respons imun terhadap infeksi ini akan
merangsang produksi virus HIV dan kerusakan jaringan l imfoid semak in
menyebar. Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang
mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah
mengenai seluruh jaringan limfoid dan jumlah CD4+ sel T dalam darah
turun di bawah 200 sel/mm3 (normal 1.500 sel/mm3). Penderita AIDS
dapat mengalami berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan,
cachexia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (HIV nefropati), dan
degenerasi susunan saraf pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena CD4+
sel T sangat penting dalam respons imun selular dan humoral pada
berbagai macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan
alasan utama mengapa penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai
macam jenis infeksi.9
HIV/AIDS
January 3, 2012 by fathelvi

I. DEFINISI

HIV (Human Immunodeficiency Virus) pertama kali ditemukan pada tahun 1981 yang dipelajari

melalui studi cohort pada pelaku homoseksual yang mengalami penurunan imunitas. Virus HIV

merupakan penyebab utama terjadinya AIDS (acquired immune deficiency syndrome). Virus HIV

terdiri dari 2 species yaitu HIV-1 dan HIV-2, genus Lentivirus dan Familia Retroviridae. HIV-1

terdiri dari 3 kelompok yaitu : M (Major), O (Outlier) dan N (New). (Dipiro, 2007).

Virus ini pada mulanya dikenal dengan nama Human T limfotropik virus tipe III(HTLV- III), virus

yang berkaitan berkaitan dengan dengan limfadenopati limfadenopati (LAV) dan virus yang

berkaitan dengan penyakit AIDS (ARV). Saat ini dikenal dengan nama HIV (human

Immunodeficiency Virus). Virus HIV menginfeksi berbagai jenis sel system imun termasuk sel T

CD4, magrofag, dan sel dendritik.

II. ETIOLOGI

HIV adalah salah satu lentivirinae yang berarti slow. Dari beberapa bukti menunjukkan HIV pada

manusia merupakan hasil dari transmisi silang antar species (zoonosis) dari primata yang dengan

simian immunodeficiency virus (SIV). Transmisi HIV adalah melalui sexual (vaginal dan anal

intercourse, homosexual, berhubungan dengan banyak pasangan), parenteral (melalui jarum

suntik yang terkontaminasi HIV, transfuse darah dari penderita HIV, ataupun tranplantasi organ

dari penderita HIV). Transmisi secara vertical dapat terjadi pada perinatal dari seorang ibu

penderita HIV kepada janinnya (Dipiro, 2007).

Genom HIV

Partikel HIV infeksius terdiri atas 2 untaian RNA yang identik, masing-masing panjangnya 9,2 kb,

terbungkus dalam protein virus, dikelilingi oleh envelop fosfolipid dua lapis yang berasal dari

membrane sel penjamu dan protein membrane yang disandi oleh virus. Susunan dasar gen HIV

terdiri atas sekuen yang karakteristik untuk semua retrovirus yang dikenal. Long terminal

repeats (LTR) pada setiap ujung gen berfungsi mengatur integrasi virus ke dalam gen penjamu,

ekspresi gen virus dan replikasi virus. Sekuen yang disebut gag menyandi protein structural inti

virus. Sekuen env menyandi glikoprotein envelop gp120 dan gp41 yang diperlukan untuk

menginfeksi sel, sedangkan sekuen pol menyandi reverse transcriptase, intergrase, dan

enzim protease yang diperlukan untuk replikasi virus. Di samping itu, HIV-1 juga menginduksi gen
regulator lain yaitu tat, rev, vif, nef, vpr, dan vpu yang produknya diperlukan untuk mengatur

reproduksi virus melalui berbagai cara.

Siklus HIV

Infeksi HIV dimulai bila glikoprotein envelop HIV (env) berikatan dengan CD4 dan reseptor yang

merupakan anggota keluarga reseptor khemokin (chemokine receptor) pada sel sasaran.

Kompleks env diekpresikan sebagai timer yang terdiri atas 3 pasang gp120/gp41. Komplek ini

memperantarai proses fusi antara envelop virion dengan membrane sel sasaran. Langkah pertama

dari proses tersebut adalah pengikatan gp120 dengan molekul CD4; langkah ini menginduksi

perubahan konformasi yang mempermudah pengikatan gp120 pada reseptor chemokin yan terjadi

kemudian. Pengikatan ko-reseptor menginduksi perubahan konformasi pada gp41 yang

menyebabkan pemaparan bagian hidrofobik (fusion peptide) yang menancap pada membrane dan

meningkatkan fusi virus dengan membrane.

Partikel-partikel HIV bebas yang dilepaskan dari sel terinfeksi dapat berikatan dengan sel lain yang

tidak terinfeksi. Sebagai alternative lain, gp120 dan gp41 yang diekspresikan pada membrane sel

yang terinfeksi sebelum virus dilepaskan dapat memperantarai fusi sel T terinfeksi dengan sel CD4

yang belum terinfeksi sehingga gen HIV kemudian dapat ditansmisikan secara langsung kepada

sel yang belum terinfeksi. Segera setelah virion HIV masuk ke dalam sel, enzim dalam komplek

nucleoprotein menjadi aktif dan dimulailah siklus reproduksi. Nucleoprotein intivirus pecah, gen

RNA HIV ditranskripsikan menjadi dsDNA oleh reverse transcriptase lalu DNA virus masuk ke

dalam nucleus dan mengkatalisasi intergrasi DNA virus dengan gen penjamu. DNA virus HIV yang

terintegrasi disebut provirus. Transkripsi gen DNA provirus terintegrasi diatur oleh LTR (Long

terminal repeats), sedangkan sitokin atau rangsangan fisiologik lain pada sel T atau makrofag

sepeti IL-2, TNF, IL-3, IFN- dan GM-SCF akan mempermudah transkripsi gen virus.

Sintesis partikel virus yang matang dimulai setelah setelah transkrip gen RNA virus yang lengkap

diproduksi dan berbagai gen virus diekspresikan sebagai protein. Produksi partikel virus yang

matang dihubungkan dengan lisis sel yang merupakan mekanisme dampak sitopatik HIV yang

penting. Setelah transkripsi berbagai gen, protein virus disintetis dalam sitoplasma, lalu disusunlah

partikel virus dengan membungkus gen provirus dalam komplek nucleoprotein termasuk protein

gag dan enzim pol yang diperlukan untuk siklus integrasi berikutnya. Nucleoprotein ini kemudian

dibungkus dalam envelop membrane dan dilepaskan oleh sel dengan proses budding melalui

membrane sel.

III. PATOGENESIS
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang hanya dikendalikan sebagai respon imun spesifik

dan berlanjut menjadi infeksi kronik progresif pada jaringan limfoid perifer. Perjalanan penyakit

dapat dipantau dengan mengukur jumlah virus dalam serum pasien dan menghitung jumlah sel T

CD4 dalam darah tepi. Bergantung pada lokasi mana masuknya virus ke dalam tubuh, sel T CD4

dan monosit dalam darah atau sel T CD4 dan magrofag dalam jaringan mukosa merupakan sel-sel

pertama yang terinfeksi. Besar kemungkinan bahwa sel dendritik berperan dalam penyebaran awal

HIV dalam jaringan limfoid, karena fungsi normal sel dendritik adalah menangkap antigen dalam

epitel lalu masuk ke dalam kelenjer getah bening.

Setelah berada dalam kelenjer getah bening, sel dendritik meneruskan virus kepada sel T melalui

kontak antar sel. Dalam beberapa hari saja jumlah virus dalam kelenjer berlipat ganda dan

mengakibatkan viremia. Pada saat itu, jumlah partikel HIV dalam darah banyak sekali disertai

sindrom HIV akut. Viremia menyebabkan virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T,

monosit maupun magrofag dalam jaringan limfoid perifer. System imun spesifik kemudian akan

berupaya mengendalikan infeksi yang tampak dengan menurunnya kadar viremia walaupun masih

dapat terdeteksi.

Setelah infeksi akut, berlangsunglah fase kedua di mana kelenjar getah benaing dan limfa

merupakan tempat bereplikasi virus dan destruksi jaringan secara terus-menerus. Selama periode

ini,system imun spesifik kemudian akan berupaya mengendalikan sebagian besar infeksi,

karena itu fase ini disebut fase laten. Hanya sedikit virus yang diproduksi selama fase latin dan

sebagian besar sel T tidak mengandung virus. Walaupun demikian, destruksi sel T dalam jaringan

limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel T makin lama makin menurun. Jumlah sel T dalam

jaringan limfoid adalah 90% dari jumlah sel T di seluruh tubuh. Pada awalnya sel T dalam darah

perifer yang rusak oleh virus HIV dengan cepat diganti oleh sel baru tetapi didestruksi sel oleh

virus HIV yang terus bereplikasi dan menginfeksi sel baru selama masa laten akan menurunkan

jumlah sel T dalam darah tepi.

Selama masa kronik progresif, respon imun terhadap infeksi lain akan merangsang produk HIV

dan mempercepat destruksi sel T. selanjutnya penyakit menjadi progresif dan mencapai fase lethal

yang disebut AIDS, pada saat destruksi sel T dalam jaringan limfoid, perifer lengkap dan jumlah

sel T dalam darah tepi menurun sehingga di bawah 200/mm3 . viremia meningkat dengan drastic

karena replikasi virus di bagian lain dalam tubuh meningkat. Pasien menderita infeksi oportunistik,

cachexia, keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat. Kehilangan limfosit T menyebabkan

pasien peka terhadap berbagai jenis infeksi dan menunjukkan respon imun yang inefektif terhadap

virus onkogenik.
IV. MANIFESTASI KLINIS

Seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan

gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya

tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang

terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya

menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu cara untuk

mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika seseorang merasa

telah melakukan aktivitas yang berisiko terkena virus HIV.

Infeksi Primer (sindrom retroviral akut)

Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar limfe regional. Hal tersebut

mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah virus secara cepat di dalam plasma, biasanya lebih

dari 1 juta copy/l. Tahap ini disertai dengan penyebaran HIV ke organ limfoid, saluran cerna dan

saluran genital. Setelah mencapai puncak viremia, jumlah virus atau viral load menurun

bersamaan dengan berkembangnya respon imunitas seluler.

Puncak viral load dan perkembangan respon imunitas seluler berhubungan dengan kondisi

penyakit yang simptomatik pada 60 hingga 90% pasien. Penyakit ini muncul dalam kurun waktu 3

bulan setelah infeksi. Penyakit ini menyerupai glandular fever like illness dengan ruam, demam,

nyeri kepala, malaise dan limfadenopati luas. Sementara itu tingginya puncak viral load selama

infeksi primer tidak menggambarkan perkembangan penyakit tapi terkait dengan beratnya

keluhan yang menandakan prognosis yang jelek. Fase ini mereda secara spontan dalam 14 hari.

Infeksi HIV Asimptomatis/ dini

Dengan menurunnya penyakit primer, pada kebanyakan pasien diikuti dengan masa asimtomatis

yang lama, namun selama masa tersebut replikasi HIV terus berlanjut, dan terjadi kerusakan

sistem imun. Beberapa pasien mengalami limfadenopati generalisata persisten sejak terjadinya

serokonversi (perubahan tes antibodi HIV yang semula negatif menjadi positif) perubahan akut

(dikenal dengan limfadenopati pada dua lokasi non contiguous dengan sering melibatkan

rangkaian kelenjar ketiak, servikal, dan inguinal). Komplikasi kelainan kulit dapat terjadi seperti
dermatitis seboroik terutama pada garis rambut atau lipatan nasolabial, dan munculnya atau

memburuknya psoriasis. Kondisi yang berhubungan dengan aktivasi imunitas, seperti purpura

trombositopeni idiopatik, polimiositis, sindrom Guillain-Barre dan Bells palsy dapat juga muncul

pada stadium ini.

Infeksi Simptomatik/ antara

Komplikasi kelainan kulit, selaput lendir mulut dan gejala konstitusional lebih sering terjadi pada

tahap ini. Meskipun dalam perjalanannya jarang berat atau serius, komplikasi ini dapat

menyulitkan pasien. Penyakit kulit seperti herpes zoster, folikulitis bakterial, folikulitis eosinofilik,

moluskum kontagiosum, dermatitis seboroik, psoriasis dan ruam yang tidak diketahui sebabnya,

sering dan mungkin resisten terhadap pengobatan standar. Kutil sering muncul baik pada kulit

maupun pada daerah anogenital dan mungkin resisten terhadap terapi. Sariawan sering juga

muncul pada stadium ini. Seperti juga halnya kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, dan eritema

ginggivalis (gusi) linier. Gingivitis ulesartif nekrotik akut, merupakan komplikasi oral yang sulit

diobati.

Gejala konstitusional yang mungkin berkembang seperti demam, berkurangnya berat badan,

kelelahan, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri kepala. Diare berulang dapat terjadi dan dapat menjadi

masalah. Sinusitis bacterial merupakan manifestasi yang sering terjadi. Nefropati (kelainan ginjal)

HIV dapat juga terjadi pada stadium ini.

Stadium Lanjut

Penyakit stadium lanjut ditandai oleh suatu penyakit yang berhubungan dengan penurunan

imunitas yang serius. Keadaan tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik.

Kecepatan Perkembangan Infeksi HIV

Kecepatan perkembangan penyakit bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga lebih

20 tahun. Waktu yang diperlukan untuk berkembang menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun, bila

tanpa terapi antiretroviral. Dalam 5 tahun, sekitar 30% ODHA dewasa akan berkembang menjadi

AIDS kecuali bila diobati dengan ARV.

Petanda perkembangan HIV

Jumlah CD4
Kecepatan penurunan CD4 (baik jumlah absolut maupun persentase CD4) telah terbukti dapat

dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap

selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100

sel/tahun. Jumlah CD4 lebih menggambarkan progresifitas AIDS dibandingkan dengan tingkat viral

load, meskipun nilai prediktif dari viral load akan meningkat seiring dengan lama infeksi.

Viral Load Plasma

Kecepatan peningkatan Viral load (bukan jumlah absolut virus) dapat dipakai untuk

memperkirakan perkembangan infeksi HIV. Viral load meningkat secara bertahap dari waktu ke

waktu. Pada 3 tahun pertama setelah terjadi serokonversi, viral load berubah seolah hanya pada

pasien yang berkembang ke arah AIDS pada masa tersebut. Setelah masa tersebut, perubahan

viral load dapat dideteksi, baik akselerasinya maupun jumlah absolutnya, baru keduanya dapat

dipakai sebagai petanda progresivitas penyakit.

STADIUM KLINIS HIV/AIDS

WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak yang sedang

direvisi. Untuk dewasa maupun anak, stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4

stadium.

Stadium Klinis HIV/AIDS Untuk Dewasa dan Remaja adalah sebagai berikut :

1.Infeksi primer HIV

a) Asimptomatik

b) Sindroma retroviral akut

2.Stadium Klinis 1

a) Asimptomatik

b) Limfadenopati meluas persisten

3.Stadium Klinis 2
a) Berat badan menurun yang sebabnya tidak dapat dijelaskan

b) Infeksi saluran napas berulang (sinusitis, tonsilitis, bronkitis, otitis media,faringitis)

c) Herpes zoster

d) Cheilits angularis

e) Ulkus mulut berulang

f) Pruritic papular eruption (PPE)

g) Dermatitis seboroika

h) Infeksi jamur kuku

4.Stadium Klinis 3

a) Berat badan menurun yang tidak dapat dijelaskan sebabnya ( > 10%)

b) Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan sebabnya lebih dari 1 bulan

c) Demam yang tidak diketahui sebabnya (intermiten maupun tetap selama

lebih dari 1 bulan)

d) Kandidiasis oral persisten

e) Oral hairy leukoplakia

f) Tuberkulosis (TB) paru

g) Infeksi bakteri yang berat (empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi,

meningitis, bakteriemi selain pneumonia)

h) Stomatitis, gingivitis atau periodontitis ulseratif nekrotikans yang akut

i) Anemia (Hb < 8 g/dL), netropeni (< 500/mm3), dan/atau trombositopeni kronis

(< 50.000/mm3) yang tak dapat diterangkan sebabnya

5.Stadium Klinis 4

a) HIV wasting syndrome (berat badan berkurang >10% dari BB semula, disertai

salah satu dari diare kronik tanpa penyebab yang jelas (>1 bulan) atau

kelemahan kronik dan demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas).


b) Pneumonia pneumocystis

c) Pneumonia bakteri berat yang berulang

d) Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, anorektal atau genital lebih dari

sebulan atau viseral dimanapun)

e) Kandidiasis esofagus (atau di trakea, bronkus atau paru)

f) Tuberkulosis ekstra paru

g) Sarkoma Kaposi

h) Infeksi Cytomegalovirus (retinistis atau infeksi organ lain)

i) Toksoplasmosis susunan saraf pusat

j) Ensefalopati HIV

k) Kriptokokus ekstra paru termasuk meningitis

l) Infeksi mikobakterium non-tuberkulosis yang luas (diseminata)

m) Progressive multifocal leucoencephalopathy

n) Kriptosporidiosis kronis

o) Isosporiosis kronis

p) Mikosis diseminata (histoplasmosis, koksidioidomikosis, penisiliosis ekstra paru)

q) Septikemi berulang (termasuk salmonella non-tifoid)

r) Limfoma (otak atau non-Hodgkin sel B)

s) Karsinoma serviks invasif

t) Leishmaniasis diseminata atipikal

Stadium Klinis HIV/AIDS Untuk Bayi Dan Anak

Stadium Klinis HIV/AIDS untuk bayi dan anak adalah sebagai berikut :

1.Infeksi primer HIV

a) Asimptomatik (intra, peri atau post partum)


b) Sindroma retroviral akut

2.Stadium Klinis 1

a) Asimptomatik

b) Limfadenopati meluas persisten

3.Stadium Klinis 2

a) Hepatomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

b) Pruritic papular eruption (PPE)

c) Infeksi virus (wart) yang ekstensif

d) Moluscum contagiosum yang ekstensif

e) Ulkus mulut berulang

f) Pembesaran parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

g) Eritema gingiva lineal

h) Herpes zoster

i) Infeksi saluran napas atas kronis atau berulang (otitis media, otorrhoe,

sinusitis, tonsilitis)

j) Infeksi jamur kuku

4.Stadium Klinis 3

a) Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan tidak respons

terhadap terapi standar

b) Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan sebabnya lebih dari 14 hari

c) Demam persisten yang tidak diketahui sebabnya (> 37,5oC intermiten maupun

tetap selama lebih dari 1 bulan)

d) Kandidiasis oral persisten (setelah umur 6 8 minggu)

e) Oral hairy leukoplakia

f) Gingivitis atau periodontitis ulseratif nekrotikans yang akut


g) TB kelenjar

h) Tuberkulosis (TB) paru

i) Pneumonia bakteri berulang yang berat

j) Pneumonitis interstitial limfoid simptomatik

k) Penyakit paru kronis yang terkait HIV, termasuk bronkiektasis

l) Anemi (Hb < 8 g/dL), netropeni (< 500/mm3), dan/atau trombositopeni kronis

(< 50.000/mm3) yang tak dapat diterangkan sebabnya

m) Kardiomiopati atau nefropati terkait HIV

5.Stadium Klinis 4

a) Gangguan tumbuh kembang yang berat yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

atau wasting yang tidak respons terhadap terapi standar.

b) Pneumonia pneumocystis

c) Infeksi bakteri berat yang berulang (empiema, piomiositis, infeksi tulang atau

sendi, meningitis selain pneumonia)

d) Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, anorektal atau genital lebih dari 1 bulan

atau viseral dimanapun)

e) Tuberkulosis ekstra paru

f) Sarkoma Kaposi

g) Kandidiasis esofagus (atau di trakea, bronkus atau paru)

h) Toksoplasmosis susunan saraf pusat (setelah usia 1 bulan)

i) Ensefalopati HIV

j) Infeksi Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain) (setelah usia 1 bulan)

k) Kriptokokus ekstra paru termasuk meningitis

l) Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, koksidioidomikosis, penisiliosis

ekstra paru)
m) Kriptosporidiosis kronis

n) Isosporiosis kronis

o) Infeksi mikobakterium non-tuberkulosis yang luas (diseminata)

p) Fistula rektum yang terkait HIV

q) Tumor terkait HIV termasuk limfoma otak atau non-Hodgkin sel B

r) Progressive multifocal leucoencephalopathy

V. DIAGNOSIS

Diagnosis HIV menurut Depertemen Kesehatan RI hendaknya menggunakan Strategi III di mana

harus dilakukan pengujian sebanyak 3 langkah. Karena, dengan dideteksinya HIV pada seorang

pasien, akan memiliki dampak yang cukup signifikan baik di segi kesehatan, psikologis, maupun

lingkungan social pasien tersebut. Sehingga, diagnosis laboratorium terhadap pasien ini haruslah

benar-benar pasti dan tidak boleh ada sedikitpun kerancuan.

Strategi III merupakan strategi di mana perlu dilakukan pengujian serologis sebanyak 3 tahapan

dengan reagensia yang berbeda.

Syarat Reagensia strategi III :

1. Reagen pertama harus punya sensitifitas > 99 %


2. Reagen kedua harus punya spesifisitas > 98 %
3. Reagensia ketiga harus punya sensitifitas > 95 %

Pengujian pertama dan kedua menggunakan tes immunologi dan kemudian dikonfirmasi dengan

confirmatory assay yaitu dengan menggunakan Western Blot. Selain western blot, juga dapat

digunakan pengujian IFA (immunoflouresence assay).

Pengujian laboratorium untuk skrining HIV :


1. ELISA

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia yang terutama

digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu

sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis, patologi tumbuhan,

dan juga berbagai bidang industri. Dalam pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak

dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada permukaan

tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim,

dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal
yang dapat dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan panjang gelombang tertentu

disinarkan pada suatu sampel, kompleks antigen/antibodi akan berfluoresensi sehingga jumlah

antigen pada sampel dapat disimpulkan berdasarkan besarnya fluoresensi.

Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan spesifitas untuk antigen tertentu.

Sampel dengan jumlah antigen yang tidak diketahui diimobilisasi pada suatu permukaan solid

(biasanya berupa lempeng mikrotiter polistirene), baik yang non-spesifik (melalui penyerapan

pada permukaan) atau spesifik (melalui penangkapan oleh antibodi lain yang spesifik untuk

antigen yang sama, disebut sandwich ELISA). Setelah antigen diimobilisasi, antibodi pendeteksi

ditambahkan, membentuk kompleks dengan antigen. Antibodi pendeteksi dapat berikatan juga

dengan enzim, atau dapat dideteksi secara langsung oleh antibodi sekunder yang berikatan

dengan enzim melalui biokonjugasi. Di antara tiap tahap, plate harus dicuci dengan larutan

deterjen lembut untuk membuang kelebihan protein atau antibodi yang tidak terikat. Setelah

tahap pencucian terakhir, dalam plate ditambahkan substrat enzimatik untuk memproduksi sinyal

yang visibel, yang menunjukkan kuantitas antigen dalam sampel. Teknik ELISA yang lama

menggunakan substrat kromogenik, meskipun metode-metode terbaru mengembangkan substrat

fluorogenik yang jauh lebih sensitif.


1. Rapid Test

Rapid test pada prinsipnya juga mengunakan reaksi anti body-antigen, akan tetapi dikemas

dengan pengujian yang lebih simple pada suatu test-pack tertentu.

Confirmatory Test

Perlu dilakukan test untuk mengkonfirmasi kepastian hasil diagnosis HIV karena ELISA maupun

Rapid Test sering kali memberikan hasil postif palsu atau negative palsu. Confirmatory Test dapat

dilakukan dengan menggunakan Western Blot.

Westen blot umumnya digunakan untuk menentukan kadar reatif protein dalam suatu campuran

berbagai jenis protein atau molekul lain. Metode western blot menggabungkan seletifitas

elektroforesis gel dengan spesifisitas immunoassay sehingga setiap jenis protein dapat dideteksi

dan dianalisis dengan menggunaka probe antibody yang sesuai. Protein-protein dalam campuran

itu sebelumnya dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan cara gel eletroforesis.

Gelnya adalah SDS-PAGE atau dodecyl sulfate polycrylamide gel electrophoresis.

Posisi akhir setiap jenis protein dalam gel poliakrilamide setelah elektroforesis dihentikan sesuai

berat molekul masing-masing. Protein-protein yang telah dipisahkan satu dengan yang lainnya itu

kemudian dipindahkan dari gel ke suatu membrane pendukung melalui suatu kapiler (blotting)

dengan sedemikian rupa sehingga membrane tersebut mendapatkan replica dari susunan

makromolekul seperti yang terdapat pada gel. Posisi antigen yang dicari dapat diidentifikasi pada
membrane dengan mereaksikannya dengan antibody yang spesifik yang bertanda atau dilabel

dengan radioisotope maupun enzim.

Bila label yang digunakan pada assay adalah radioisotope maka komplek antigen-antibodi

diidentifikasi dengan autoradiografi sedangkan jika dilabel dengan enzim yang menghasilkan

celuminesen, maka bercak celuminesen yang terdapat pada film dan menunjukan komplek

antigen-antibodi yang dimaksudkan.

Konfirmatory juga dapat dilakukan dengan menggunakan IFA (immunoflouresence assay), jika

tidak tersedia western blot.

Deteksi Nucleat Acid (RNA) HIV

Deteksi RNA virus HIV dapat dilakukan dengan menggunakan RT-PCR di mana selain menunjukan

adanya HIV, RT PCR juga dapat menentukan secara kuantitatif jumlah virus yang ada dalam

darah.

Pengujian Laboratorium untuk Menentukan Prognostic/Treatment

Pengujian laboratorium untuk menentukan prognostic atau treatment dapat dilakukan dengan :

1. 1. Penghitungan CD4

CD4 dapat dihitung dengan menggunakan flowcytometry

Prinsip kerjanya adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifikasi karakteristik

permukaan setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspense

menurut karakteristik masing-masing secara automatis melalui suatu celah yang ditembus oleh

sinar laser. Setiap sel yang dilewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat

oleh instrument sebagai karakteristik sel bersangkutan.

Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel maupun yang terdapat dalam sel dapat

diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Setiap sel dilewati sinar

laser akan menyebabkan sinar laser terpencar (scattered) ke dua arah yaitu forward scattered

(FS) yang parallel dengan arah sinar dan side scaterred (SS) nyang arahnya tegak lurus arah sinar

laser. Besarnya FS menggambarkan ukuran sel sedangkan SS ditentukan oleh morfologi dan emisi

sinar flouresen yang dipancarkan oleh florokrom yang digunakan untuk mewarnai sel. Sinyal-sinyal

tersebut dikonversikan menjadi angka digital dan diperlihatkan pada suatu histogram yang dapat

dianalisis.
1. 2. Penghitungan Viral Load

Penghitungan Viral Load dapat dilakukan dengan menggunakan PCR. Viral load dapat

dimanfaatkan untuk :

Diagnose sindrom retroviral acute sebelum seroconversion

Untuk meng-akses prognosis dan progressif dari infeksi HIV

Menjadi guide untuk terapi ARV

Memberikan batasan akhir kadar untuk terapi yang terukur

Untuk memonitor respon terapi

VI. PENATALAKSANAAN

Antiretroviral

Goal terapi ART adalah untuk mencapai supresi maksimum replikasi HIV sehingga kadar viral load

plasma tetap dipertahankan pada batas paling rendah (undetectable).

Tujuan pemberian Antiretroviral adalah :

Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat


Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/ peningkatan sel

CD4)

Menurunkan komplikasi akibat HIV


Memperbaiki kualitas hidup ODHA
Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus
Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV

Beberapa hal khusus yang harus diperhatikan dalam penggunaan antiretroviral adalah sebagai

berikut:

Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal infeksi, sedikitnya terbentuk
sepuluh milyar virus setiap hari,namun karena waktu paruh (half life) virus bebas (virion)
sangat singkat, maka sebagian besar virus akan mati. Walau ada replikasi yang cepat,
sebagian pasien merasa tetap sehat tanpa ART selama kekebalan tubuhnya masih berfungsi
dengan baik.
Replikasi yang terus menerus mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan tubuh semakin
berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO), kanker, penyakit saraf,
kehilangan berat badan secara nyata (wasting) dan berakhir dengan kematian.
Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV sehingga penurunan CD4 menunjukkan
kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Nilai viral load
menggambarkan progresivitas penyakit dan risiko kematian.
Pemeriksaan secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika memungkinkan) dapat
menentukan progresivitas penyakit dan mengetahui syarat yang tepat untuk memulai atau
mengubah rejimen ART.
Tingkat progresivitas penyakit pada ODHA dapat berbeda-beda. Keputusan pengobatan harus
berdasarkan pertimbangan individual dengan memperhatikan gejala klinik, hitung limfosit
total dan bila memumgkinkan jumlah CD4.
Terapi kombinasi ART dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah tingkat yang tidak dapat
dideteksi oleh pemeriksaan yang peka (PCR). Penekanan virus secara efektif ini mencegah
timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan memperlambat progresivitas penyakit. Jadi
tujuan terapi adalah menekan perkembangan virus secara maksimal.
Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus menerus adalah memulai
pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai
pada saat yang bersamaan pada pasien yang baru. Pada pasien yang tidak pernah diterapi,
tidak boleh menggunakan obat yang memiliki resistensi silang dengan obat yang pernah
dipakai.
Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadual yang tepat. Prinsip pemberian
ART diperlakukan sama pada anak maupun dewasa, walaupun pengobatan pada anak perlu
perhatian khusus.
Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat ART harus tetap dianggap
menular. Mereka harus dikonseling agar menghindari seks yang tidak aman, atau
penggunaan NAPZA suntik yang dapat menularkan HIV atau patogen menular lain.
Untuk menghindari timbulnya resistensi, ART harus dipakai terus menerus dengan kepatuhan
(adherence) yang sangat tinggi, walaupun sering dijumpai efek samping ringan.
Pemberian ART harus dipersiapkan secara baik dan matang dan harus digunakan seumur
hidup.
Disamping ART, maka infeksi oportunistik harus pula mendapat perhatian dan harus diobati

Menurut WHO, ada beberapa persyaratan untuk dimulainya terapi Antiretroviral.

Yaitu :

Keterangan :

1. CD4 dianjurkan untuk digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi

Contoh : TB paru dapat muncul kapan saja pada CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai

penyakit yang bukan bukan disebabkan oleh HIV

1. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana ART harus dimulai belum dapat
ditentukan
2. Jumlah limfosit total > 1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan
CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium
II dan III). Hal ini tidak dapat diterapkan pada ODHA asimptomatik. Maka bila tidak ada
pemeriksaan CD4, ODHA asimptomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada
saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya
terbatas.

Jenis Obat-obat Antiretroviral


Treatmentnya Antiretrovilar menggunakan 3 kombinasi obat dengan regiment :

2 NRTI dan 1 NNRTI atau PI

Untuk treatment bagi pasien yang pertama kali menerima terapi ART adalah :

2 NRTI + 1 NNRTI

Di Indonesia sendiri : untuk lini 1 AZT + 3TC + EPF/NVP

Alternatif : d4T + 3TC + EPV atau NV

AZT atau d4T + 3TC + 1 PI (LVP/r)

NRTI

Abacavir (ABC) 300 mg 2x/hari

Didanosin (ddI) 200 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari

Emtricitabine (FTC) 200 mg 1x/hari

Lamivudine (3TC) 120 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari

Stavudine (d4T) 40 mg 2x/hari

Tenovir (TDF atau PMPA) 300 mg 1x/hari

Zalcitabine (ddC) 0.75 mg 3x/hari

Zidovudine (AZT atau ZDV) 200 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari

NNRTI

Delavirdine 400 mg 3x/hari

Efavirenz 600 mg 1x/hari

Nevirapine 200 mg 2x/hari

PI (Protease Inhibitor)

Amprenavir 1200 mg 2x/hari


Atazanavir 400 mg 1x/hari

Indinavir 800 mg 3x/hari

Lopinavir 400 mg 2 x/hari

Nelfinavir 750 mg 3 x/hari atau 1250 2 x/hari

Ritonavir 600 mg 2 x/hari

Saquinavir 1200 mg 3 x/hari

Regimen Dosis :

2 NRTI + 1 NNRTI

Lini 1 :

Efavirenz + Lamivudine + Zidovudin (atau Tenovir atau Stavudine) kecuali pada wanita hamil

Alternatif :

Efavirenz + (Emtricitabine + Zidovudin) (atau Tenovir atau Stavudine) kecuali pada wanita hamil

Efavirenz + (Lamifudine atau Emtricitabine) + didanosine kecuali pada wanita hamil

Nevirapine + Lamifudine atau Emtricitabine + Zidovudin (atau Stavudine atau didanosine)

2 NRTI + 1 PI

Lini 1 :

Lopinavir/Ritonavir + Lamivudine + Zidovudine (atau Stavudine)

Alternatif :

Amprenavir/Ritonavir + Lamivudine + (atau emtricitabine) +zidovudine (atau stavudine)

Atazanavir + Lamivudine (atau emtricitabine) + Sidovudine (atau Stavudine)

Indinavir-Ritonavir + Lamivudine (atau emtricitabine) + Zidovudine (atau stavudine)

Lopinavir-Ritonavir + Emtricitabine + Zidovudine (atau stavudine)

Nelfinavir + Lamivudine (atau emtricitabine) + zidovudine (atau stavudine)

https://fathelvi.wordpress.com/2012/01/03/hivaids/

Anda mungkin juga menyukai