Epidemiologi HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrome) dikenal sejak tahun 1981 pada lima orang pria
homoseksual di Los Angeles, Amerika Serikat (Sepkowitz, 2001). Pada tahun 2000, jumlah orang yang
terinfeksi HIV di dunia diperkirakan 42 juta orang, dimana dua pertiganya tinggal di Afrika. HIV
menginfeksi laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, bahkan bayi, semua warna kulit dan ras,
dan berbagai orientasi seksual. Dari jumlah tersebut, 20 juta orang telah meninggal akibat AIDS pada
Desember 2000, dan 3 juta diantaranya adalah anak-anak. Di Indonesia, menurut data Departemen
Kesehatan (Depkes), diperkirakan terdapat 90.000 sampai 130.000 orang dengan HIV positif.
Penyebab AIDS diketahui pada tahun 1983, yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV),
suatu Retrovirus yang termasuk dalam famili Lentivirus. Dua virus HIV yang berbeda secara genetik
namun berhubungan antigennya adalah HIV subtipe 1 (HIV-1) dan HIV subtipe 2 (HIV-2) yang dapat
bereaksi silang pada uji serologik (Mitchell and Kumar, 2003; Jawetz et al., 1996). AIDS pada dasarnya
adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh, disebabkan oleh
HIV (Sepkowitz, 2001).
Struktur HIV
Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut, dikelilingi oleh selubung lipid
yang berasal dari membran sel hospes. Inti virus mengandung protein kapsid terbesar yaitu p24, protein
nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA genom, dan tiga enzim virus yaitu protease, reverse
transcriptase dan integrase (Gambar 1). Protein p24 adalah antigen virus yang cepat terdeteksi dan
merupakan target antibodi dalam tes screening HIV. Inti virus dikelilingi oleh matriks protein dinamakan
p17, yang merupakan lapisan dibawah selubung lipid. Sedangkan selubung lipid virus mengandung
dua glikoprotein yang sangat penting dalam proses infeksi HIV dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom
virus yang berisi gen gag, pol, dan envyang akan mengkode protein virus. Hasil translasi berupa protein
prekursor yang besar dan harus dipotong oleh protease menjadi protein mature (Mitchell and Kumar,
2003).
ketika virus HIV masuk kedalam tubuh kita maka dia akan menyerang sel2 yang mempunyai CD4+
seperti makrofag, sel T , sel dendritik dll. dengan cara penggabungan antara cd4+ dan gp120 seperti
halnya kunci dan gembok ha ini dipermudah dengn adanya gp41 pada virus dan ccr5(magrofag) dan
cxcr4(selt) untuk lisis kedalam sitoplasma sel. setelah terjadi lisis, maka yang masuk kedalam
sitoplasma adalah kapsul serta rantai RNA virus. didalam sitoplasma virus berubah menjadi DNA
dengan menggunakan enzim revers trasnkriptasi yg dimilikinya. setelah itu baru virus ini menembus
nukleus dan bergabung dengan DNA manusia dengan bantuan enzim integrase sehingga terbentuklah
DNA provirus. lalu DNA provirus mengadakan transkripsi dengan bantuan enzim
polymerase sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan translasi dengan
protein protein structural sampai terbentuk protein mRNA(disi yang kerja enzim
protease). Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus, yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada
permukaan membrane sel, virion akan dikeluarkan dari sel host dalam keadaan
matang.
Pertanyaan yang muncul adalah kemana sistem imun kita?
Jadi, ketika HIV dalam tubuh kita, didapatkan gambaran seperti ini nah, bisa di bayangkan betapa
menyeramkannya dan betapa banyaknya benda hijau seperti ingus itu, itulah HIV ketika sedang
menyerang CD4+, hal inilah yang menyebabkan sisitem imun kita tertekan dan dengan segala usaha
gagal menangani super gayus ups maksud saya super HIV. Memang pada awal infeksi atau pada fase
akut sistem imun kita masih bisa mengontrol dengan bantuan CD8+ maupun antibody spesifik sehingga
dapat menambah jumlah CD4+ dan dapat dikatan menang.
Kemudian terbentuklah fase tak bergejala atau disebut juga fase laten yaitu dimana fase tubuh
mengangagap dapat mengalahkan gayus eh maksud saya HIV (maaf agak bias antara gayus dan HIV
habis mirip). Sama dengan kasus gayus yang plesiran ini dimana pemerintah melihat bahwa gayus
telah aman di dlm LP padahal dia sedang plesiran, tubuh kita menganggap HIV ini sudah dapat
ditangani tanpa tau bahwa sebenarnya dia berreplikasi secara konstan didalam sel dan menyuap
reseptor serta coreseptor kita agar DNA dalam nucleus bisa di gunakan. Karena ingatlah wahai
pembaca sekalian bahwa HIV ini dapat menginfeksi CD4+ walaupun dalam keadaan tidak aktif
(umumnya menyerang CD4+ dalam keadaan aktif).
Nah~~~ ini merupakan fase terakhir, dimana HIV telah beranak pinak berkembang biak
melebihi hasil korupsi gayus, dan merusak segala hal sistem imun kita baik CD4+, CD8+, maupun
antibody spesifik (dalam hal ini dapat dikatakan kegagalan fungsi karena rusak oleh HIV) sehingga HIV
benar-benar banyak, sisitem imun juga rusak sehingga virus,bakteri yang dari luar maupun yang sudah
ada dalam tubuh (flora normal dan virus yg sebelumnya ada di dalam tubuh misalnya hsv atau
sejenisnya) lebih cepat menginfeksi dan lebih hidup. Disinilah dikatakan fase krisis atau lebih kerennya
fase AIDS yaitu segala macam penyakit berkumpul. Jika sudah seperti ini, sebaiknya penderita sholat
tobat karena kemungkinan besar akan di jemput oleh malaikat maut dan segera mencium tanah
(lahaulawalakuwataillabillah, semoga kita semua meninggal dalam keadaan
khusnulkhotimahamin~~~)
Gejala klinis
Gejala mayor :
a. Demam berlangsung >3 bulan
b. Penurunan berat badan >10%
c. Limfadenopati berangsung >3bulan
d. Diare tak kunjung sembuh
e. Kelelahan dan keringat malam
Gejala minor
a. T4<400/ml
b. Ratio T4/T8 < 1,0
c. Leukotrombositopenia dan anemia
d. Peningkatan serim immunoglobulin
e. Penurunan blastogenesis sel limfosit
f. Tes kulit alergi
CARA KERJA MASING-MASING GOLONGAN OBAT ANTIRETROVIRAL
1. Obat Golongan NRTI
Penghambat enzim reverse-transcriptase adalah golongan obat pertama yang digunakan untuk
pengobatan HIV-1. Golongan obat NRTI adalah penghambat kuat enzimreversetranscriptase dari RNA
menjadi DNA yang terjadi sebelum penggabungan DNA virus dengan kromosom sel inang. Obat ini
membutuhkan enzim kinase sel untuk membentuk zat aktifnya
melalui proses fosforilasi intraseluler. Aksi obat yang sudah difosforilasi adalah menghambat secara
kompetitif enzim reverse-transcriptase virus dan mengakhiri proses elongasi DNA virus selanjutnya.
Oleh karena obat-obat ini beraksi pada tahap sebelum integrasi dalam siklus hidup virus, obat ini hanya
sedikit berefek pada sel yang sudah terinfeksi secara kronis di mana DNA virus sudah tergabung dalam
kromosom sel.
2. Obat golongan NNRTI
Golongan non-nucleoside reverse-transcriptase inhibitor (NNRTI) secara spesifik
menghambat aktivitas enzim reverse-transcriptase dengan mengikat secara langsung tempat yang
aktif pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya.
3. Obat golongan Protease Inhibitor (PI)
Golongan protease inhibitor (PI) menghambat enzim protease HIV yang dibutuhkan untuk memecah
prekursor poliprotein virus dan membangkitkan fungsi protein virus. Enzimprotease penting pada tahap
replikasi virus yang terjadi setelah transkripsi DNA virus ke RNA dan translasi ke dalam protein virus.
Karena golongan PI beraksi pada langkah setelah integrasi dalam siklus virus, maka golongan obat ini
efektif dalam menghambat replikasi baik pada sel-sel yang baru terinfeksi maupun yang sudah kronis.
4. Obat golongan fusion inhibitor
Golongan obat ini menghambat masuknya virus HIV tipe 1 (HIV-1) ke dalam sel target pada orang yang
terinfeksi. Obat ini secara spesifik mencegah fusi glikoprotein transmembran gp41 HIV-1 dengan
reseptor CD4 pada sel inang
HIV merupakan suatu virus RNA bentuk spheris dengan diameter 1000 angstrom yang termasuk
retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya terdiri dari:
a. gp120 (glikoprotein 120) dan gp41 (glikoprotein 41) : befungsi untuk menempel pada CD4+ dan CCR5
ataupun CXCR4. Angka mengacu pada massa protein dalam Dalton.
b. RNA
c. Enzim reverse transcriptase : untuk berubah menjadi DNA ketika telah berada dalam sitoplasma.
d. Enzim integrase : untuk bergabung dengan DNA sel hostpes setelah berada dalam sitoplasma.
e. Enzim integrase : untuk memotong rantai-rantai protein virus setelah berada di sitoplasma.
f. Lipid bilayer : selubung luar (kapsul) viral.
g. Protein 17,18 : protein yang mengelilingi segmen dalam virus.
h. Protein 24,25 : protein kapsid.
HIV yang terdiri dari 2 yaitu :
a. HIV-1 : progresitas menjadi AIDS lebih cepat, mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai vpx,
dan lebih sering ditemukan.
b. HIV-2 : mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu, tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat
di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.
Struktur virus HIV
Virus HIV termasuk virus ss RNA positif yang berkapsul, dari famili Retroviridae. Diameternya sekitar 100 nm
dan mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh protein nukleokapsid. Pada permukaan kapsul virus
terdapat glikoprotein transmembran gp41 dan glikoprotein permukaan gp120. Di antara nukleokapsid dan
kapsul virus terdapat matriks protein. Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik untuk virus HIV, yaitu
enzim reversetranskriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN). Enzim RT merupakan DNA polimerase yang
khas untuk retrovirus, yang mampu mengubah genom RNA menjadi salinan rantai ganda DNA yang selanjutnya
diintegrasikan pada DNA sel pejamu. Retrovirus juga memiliki sejumlah gen spesifik sesuai dengan spesies
virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis DNA), serta env (untuk fusi
Replikasi retrovirus berbeda dengan virus RNA lainnya. Segera setelah inti virus memasuki sitoplasma sel yang
terinfeksi, RNA disalin ke DNA rantai ganda dengan RT. Penyalinan dimungkinkan oleh aktivitas RNAse H dari
RT, sehingga rantai RNA dapat dipecah menjadi campuran DNA (-) dan RNA (+). Baru kemudian campuran ini
berubah menjadi molekul DNA rantai ganda. DNA hasil salinan akan memasuki inti sel yang terinfeksi dan
menyatu dengan kromosom sel pejamu. Provirus (gen virus spesifik) juga ikut mengalami penyatuan dengan
kromosom sel yang terinfeksi. Integrasi ini dimungkinkan dengan adanya sisipan rantai pengulangan yang
disebut long terminal repeats (LTR) pada ujung-ujung salinan genom RNA. Rantai LTR ini memuat informasi
sinyal yang diperlukan untuk transkripsi provirus oleh RNA polimerase dari pejamu. Selain itu juga protein
integrase berperan dalam proses ini. Setelah DNA pejamu terintegrasi dengan materi genetik virus, akan terjadi
proses transkripsi yang menghasilkan satu rantai genom RNA yang utuh dan satu atau beberapa mRNA. mRNA
yang dihasilkan ini mengkode protein regulator virus.
Terapi anti-HIV
Dalam siklus hidup virus HIV, ada empat tahap yang dapat diintervensi dengan obat antiretroviral; yaitu:
1. Transkripsi balik (reverse transcription), yang dihambat dengan reverse transcriptaseinhibitor (RTI).
RTI terbagi atas analog nukleosida (nucleoside reverse transcriptase inhibitors, NRTI) dan analog
nonnukleosida (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors, NNRTI).
2. Protease, yang dihambat protease inhibitors (PI)
3. Fusi membran, yang dihambat oleh fusion inhibitors (FI).
4. Integrasi materi genetik (DNA), yang dihambat oleh integrase inhibitors (II).
Mekanisme kerja obat antiretroviral dapat dilihat pada skema berikut ini.
RTI bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase selama proses transkripsi RNA virus pada DNA
pejamu. Analog NRTI akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif
mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi. Obat yang termasuk
NRTI antara lain zidovudin, zalcitabine, abacavir, didanosine, stavudine, lamivudine, dan tenofovir. Sedangkan
analog NNRTI akan berikatan langsung dengan enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang
PI bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV, protease HIV
akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan
perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang
termasuk golongan PI antara lain saquinavir, amprenavir, ritonavir, indinavir, lopinavir, dan atazanavir.
FI bekerja dengan menghambat masuknya virus ke dalam sel pejamu, dengan cara berikatan dengan subunit
gp41. Obat yang termasuk FI antara lain enfuvirtide dan maraviroc. Namun secara spesifik, maraviroc
digolongkan dalam CCR5 antagonis (CC chemokine receptor 5). Maraviroc bekerja dengan mengikat reseptor
CCR5 di permukaan sel CD4+ dan mencegah perlekatan virus HIV dengan sel pejamu.
II bekerja dengan menghambat penggabungan (integrasi) DNA virus dengan pejamu. Obat yang termasuk
Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (highly active antiretroviral therapy), yang
menggunakan kombinasi minimal tiga obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi
Target utama infeksi HIV adalah sel yang mempunyai reseptor CD4, yaitu limfosit
CD4+ dan makrofag/monosit. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV,
namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel
limfosit CD 4 sehingga menyebabkan terganggunya homeostasis dan fungsi sel-sel lainnya
dalam sistem imun tersebut. Namun marker CD4 saja tidak cukup karena beberapa sel lain
seperti megakariosit, mukosa rektal, sel serviks, mikroglia limfosit CD8 dan epitel ginjal juga
dapat terinfeksi HIV. Selain itu reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) ternyata ikut berperan
dalam mempengaruhi masuknya HIV ke dalam sel. HIV dapat menimbulkan patologi penyakit
melalui beberapa mekanisme, antara lain terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan
infeksi oportunistik (IO), terjadinya autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan kecenderungan
terjadinya malignansi atau keganasan pada stadium lanjut.
Pada respon antibodi, HIV justru meningkatkan pembentukan IgA dan IgG dan
mempengaruhi fungsi neutrofil. Tetapi respon antibodi terhadap HIV sangat lemah, hanya
sebagian kecil antibodi yang dapat menetralisasi HIV karena itu HIV dapat melewati respon
antibodi sehingga dapat tetap hidup dan menginfeksi sel lain. HIV juga dapat tetap bertahan
dalam tubuh karena mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam limfosit CD4 dan
bereplikasi. Dengan pemberian obat antiretroviral dapat menekan replikasi HIV sehingga
jumlah limfosit CD4 stabil bahkan meningkat sehingga bisa mengurangi infeksi oportunistik.
Namun demikian gejala IO dapat kembali terjadi karena sebagai akibat gejala inflamasi.
Meskipun begitu, beberapa terapi bisa diberikan kepada pasien HIV untuk menekan reaksi HIV
yaitu dengan memanfaatkan langkah-langkah utama dalam proses infeksi HIV pada sel,yaitu
(1) bertemunya gp120 virus dan limfosit CD4, (2) pengikatan gp120 dengan reseptor kemokin
CXCR4 dan CCR5, dan (3) fusi membran virus dan membran sel target.
Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus
yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut
diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41
yang disandi virus ditemukan dalam envelop. Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan
HIV-1 yang mengikat reseptor CD4 pada sel T dan makrofag. Protein gp120 virus terdiri dari
domain dalam dan luar yang terhubung oleh sebuah jembatan. Virus menginfeksi sel dengan
menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 (120kD glikoprotein) yang terutama
mengikat CD4 dan dari sel manusia.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membran sel virus bersatu dengan
membran sel pejamu dan virus masuk sitoplasma. Setelah HIV masuk kedalam sel dan
terbentuk dsDNA, integrasi DNA viral kedalam genom sel pejamu dan membentuk provirus.
Provirus tetap laten sampai kejadian dalam sel terinfeksi mencetuskan aktifasinya, yang
mengakibatkan terbentuk dan penglepasan partikel virus. Walau CD4 berikatan dengan
envelop glikoprotein HIV-1, diperlukan reseptor kedua supaya dapat masuk dan terjadi infeksi.
Galur tropik sel T-HIV-1 menggunakan koreseptor CXCR4, sedangkan galur tropik makrofag
menggunakan CCR5. Kedua reseptor ini merupakan reseptor kemokin dan ligan normalnya
dapat menghambat infeksi HIV ke dalam sel.
Penutup
Salah satu penyebab penyakit imunodefisiensi pada manusia adalah karena infeksi HIV
(Human Imunodeficiency Virus). HIV bekerja pada sel target yang mempunyai marker CD4,
seperti limfosit T dan makrofag. Namun CD4 saja tidak cukup karena HIV tetap dapat
menginfeksi sel-sel lain, bahkan sel yang mengandung CD4 negatif. Koreseptor kemokin
CCR5 dan CXCR4 juga memegang peranan penting dalam infeksi HIV pada sel target. Respon
defisiensi imun yang terjadi tidak hanya bersifat selular tetapi juga bersifat humoral, karena sel
T helper ikut mengaktivasi limfosit B. Dapat menimbulkan infeksi oportunistik (IO),
terjadinya autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan kecenderungan terjadinya malignansi atau
keganasan pada stadium lanjut.
HIV merupakan virus yang unik dan sangat berbahaya karena menular, dapat bertahan
hidup dalam limfosit CD4, memiliki respon terhadap antibodi yang lemah. Hanya sebagian
kecil antibodi yang dapat menetralisasi HIV karena itu HIV dapat melewati respon antibodi
sehingga dapat tetap hidup dan menginfeksi sel lain serta mengakibatkan kematian. Vaksinnya
sendiri belum ditemukan. Salah satu terapi HIV yang dapat dibuat adalah dengan
menghinhibisi reaksi penyatuan virus dan sel target.
Memasukkan inhibitor merupakan pilihan terapi yang menjanjikan untuk pasien yang
terinfeksi HIV. Enfuvirtide adalah inhibitor fusi pertama yang disetujui dalam penggunaan
klinis, tetapi banyak senyawa lain yang saat ini masih dalam tahap pengembangan.
Pengetahuan mengenai mekanisme dari masing-masing molekul ini sangat penting untuk
memahami dan memprediksi jalur resistensi yang sesuai. Banyak perubahan yang terjadi pada
domain gp120 telah dikaitkan dengan resistensi inhibitor. Selain itu, masih harus di
konformasi apakah pergeseran penggunakan koreseptor mungkin jalur alternatif bagi HIV
untuk menghindari tekanan obat pada pasien yang telah terekspos antagonis CCR5 atau
CXCR4.
Daftar Pustaka
IPD UI, jilid 1
Imunologi Dasar UI, edisi 8
Abass, Immunology,
J. Antimicrob. Chemother.-2006-Briz-619-27.pdf
STRUKTUR HIV
Partikel HIV adalah virus RNA yang ber-envelop, berbentuk bulat sferis
dengan diameter 80-120 nm. Partikel yang infeksius terdiri dari dua untai
single stranded RNA positif yang berada di dalam inti protein virus
(ribonukleoprotein) dan dikelilingi oleh lapisan envelope fosfolipid yang
ditancapi oleh 72 buah tonjolan (spikes) glikoprotein (Gambar 1). Envelope
polipeptida terdiri dari dua subunit yaitu glikoprotein luar (gp120) yang
merupakan tempat ikatan reseptor (receptor binding) CD4+ dan
glikoprotein transmembran (gp41) yang akan bergabung dengan envelope
lipid virus. Protein-protein pada membran luar ini terutama berfungsi untuk
mediasi terjadinya ikatan dengan sel CD4+ dan reseptor kemokin.
Pada permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks
(p17), yang kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas
struktural virion. Envelope lipid terbungkus dalam protein kapsid yang
berbentuk ikosahedral (p24) dan matriks p17. Protein kapsid mengelilingi
inti dalam virion sehingga membentuk cangkang di sekeliling material
genetik. Protein nukleokapsid terdapat dalam cangkang tersebut dan
berikatan langsung dengan molekul-molekul RNA.
PATOGENESIS HIV
Partikel-partikel virus HIV yang akan memulaI proses infeksi biasanya
terdapat di dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat
menyebar melalui sejumlah cara. Cara yang paling umum adalah transmisi
seksual melalui mukosa genital. Keberhasilan transmisi virus itu sendiri
sangat bergantung pada viral load individu yang terinfeksi. Viral load ialah
perkiraan jumlah copy RNA per mililiter serum atau plasma penderita.
Apabila virus ditularkan pada inang yang belum terinfeksi, maka akan
terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi, virus menyebar luas
dalam tubuh inang. Sementara sel yang akan terinfeksi untuk pertama
kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu dikenai oleh
virus, bisa CD4+sel T dan manosit di dalam darah atau CD4+ sel T dan
makrofag pada jaringan mukosa.7,9,10
Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada
limfosit-T CD4+ atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus
ditransmisikan secara seksual melewati mukosa genital, ditemukan bahwa
target selular pertama virus adalah sel dendrit jaringan (dikenal juga
sebagai sel Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal, dan
selanjutnya akan bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening
setempat. Sel dendritik ini kemudian berfusi dengan limfosit CD4+ yang
akan bermigrasi kedalam nodus limfatikus melalui jaringan limfatik
sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini mencapai
nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar secara hematogen
dan tinggal pada berbagai kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus
maupun ekuivalennya (seperti plak Peyeri pada usus) pada akhirnya akan
mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung mencapai aliran darah
dan tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus ini bereproduksi
dalam nodus limfatikus dan kemudian virus baru akan dilepaskan.
Sebagian virus baru ini dapat berikatan dengan l imfosit CD4+ yang
berdekatan dan menginfeksinya, sedangkan sebagian lainnya dapat
berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus limfatikus. 7,9,10
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat
awal infeksi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu
minggu hingga tiga bulan setelah infeksi, terjadi respons imun selular
spesifik HIV. Respons ini dihubungkan dengan penurunan kadar viremia
plasma yang signifikan dan juga berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV
akut. Selama tahap awal, replikasi virus sebagian dihambat oleh respons
imun spesifik HIV ini, namun tidak pernah terhenti sepenuhnya dan tetap
terdeteksi dalam berbagai kompartemen jaringan, terutama jaringan
limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap HIV dan mikroba
lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi AIDS.7,9,10
Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang
berikatan dengan lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope
HIV. Sel dendrit juga berperan dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid.
Pada jaringan limfoid sel dendrit akan melepaskan HIV ke CD4+ sel T
melalui kontak langsung sel ke sel. Dalam beberapa hari setelah terinfeksi
HIV, virus melakukan banyak sekali replikasi sehingga dapat dideteksi
pada nodul limfatik. Replikasi tersebut akan mengakibatkan viremia
sehingga dapat ditemui sejumlah besar partikel virus HIV dalam darah
penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom HIV akut dengan
berbagai macam gejala klinis baik asimtomatis maupun simtomatis.
Viremia akan menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan
menyebabkan infeksi sel T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan
limfoid perifer.9
I. DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) pertama kali ditemukan pada tahun 1981 yang dipelajari
melalui studi cohort pada pelaku homoseksual yang mengalami penurunan imunitas. Virus HIV
merupakan penyebab utama terjadinya AIDS (acquired immune deficiency syndrome). Virus HIV
terdiri dari 2 species yaitu HIV-1 dan HIV-2, genus Lentivirus dan Familia Retroviridae. HIV-1
terdiri dari 3 kelompok yaitu : M (Major), O (Outlier) dan N (New). (Dipiro, 2007).
Virus ini pada mulanya dikenal dengan nama Human T limfotropik virus tipe III(HTLV- III), virus
yang berkaitan berkaitan dengan dengan limfadenopati limfadenopati (LAV) dan virus yang
berkaitan dengan penyakit AIDS (ARV). Saat ini dikenal dengan nama HIV (human
Immunodeficiency Virus). Virus HIV menginfeksi berbagai jenis sel system imun termasuk sel T
II. ETIOLOGI
HIV adalah salah satu lentivirinae yang berarti slow. Dari beberapa bukti menunjukkan HIV pada
manusia merupakan hasil dari transmisi silang antar species (zoonosis) dari primata yang dengan
simian immunodeficiency virus (SIV). Transmisi HIV adalah melalui sexual (vaginal dan anal
suntik yang terkontaminasi HIV, transfuse darah dari penderita HIV, ataupun tranplantasi organ
dari penderita HIV). Transmisi secara vertical dapat terjadi pada perinatal dari seorang ibu
Genom HIV
Partikel HIV infeksius terdiri atas 2 untaian RNA yang identik, masing-masing panjangnya 9,2 kb,
terbungkus dalam protein virus, dikelilingi oleh envelop fosfolipid dua lapis yang berasal dari
membrane sel penjamu dan protein membrane yang disandi oleh virus. Susunan dasar gen HIV
terdiri atas sekuen yang karakteristik untuk semua retrovirus yang dikenal. Long terminal
repeats (LTR) pada setiap ujung gen berfungsi mengatur integrasi virus ke dalam gen penjamu,
ekspresi gen virus dan replikasi virus. Sekuen yang disebut gag menyandi protein structural inti
virus. Sekuen env menyandi glikoprotein envelop gp120 dan gp41 yang diperlukan untuk
menginfeksi sel, sedangkan sekuen pol menyandi reverse transcriptase, intergrase, dan
enzim protease yang diperlukan untuk replikasi virus. Di samping itu, HIV-1 juga menginduksi gen
regulator lain yaitu tat, rev, vif, nef, vpr, dan vpu yang produknya diperlukan untuk mengatur
Siklus HIV
Infeksi HIV dimulai bila glikoprotein envelop HIV (env) berikatan dengan CD4 dan reseptor yang
merupakan anggota keluarga reseptor khemokin (chemokine receptor) pada sel sasaran.
Kompleks env diekpresikan sebagai timer yang terdiri atas 3 pasang gp120/gp41. Komplek ini
memperantarai proses fusi antara envelop virion dengan membrane sel sasaran. Langkah pertama
dari proses tersebut adalah pengikatan gp120 dengan molekul CD4; langkah ini menginduksi
perubahan konformasi yang mempermudah pengikatan gp120 pada reseptor chemokin yan terjadi
menyebabkan pemaparan bagian hidrofobik (fusion peptide) yang menancap pada membrane dan
Partikel-partikel HIV bebas yang dilepaskan dari sel terinfeksi dapat berikatan dengan sel lain yang
tidak terinfeksi. Sebagai alternative lain, gp120 dan gp41 yang diekspresikan pada membrane sel
yang terinfeksi sebelum virus dilepaskan dapat memperantarai fusi sel T terinfeksi dengan sel CD4
yang belum terinfeksi sehingga gen HIV kemudian dapat ditansmisikan secara langsung kepada
sel yang belum terinfeksi. Segera setelah virion HIV masuk ke dalam sel, enzim dalam komplek
nucleoprotein menjadi aktif dan dimulailah siklus reproduksi. Nucleoprotein intivirus pecah, gen
RNA HIV ditranskripsikan menjadi dsDNA oleh reverse transcriptase lalu DNA virus masuk ke
dalam nucleus dan mengkatalisasi intergrasi DNA virus dengan gen penjamu. DNA virus HIV yang
terintegrasi disebut provirus. Transkripsi gen DNA provirus terintegrasi diatur oleh LTR (Long
terminal repeats), sedangkan sitokin atau rangsangan fisiologik lain pada sel T atau makrofag
sepeti IL-2, TNF, IL-3, IFN- dan GM-SCF akan mempermudah transkripsi gen virus.
Sintesis partikel virus yang matang dimulai setelah setelah transkrip gen RNA virus yang lengkap
diproduksi dan berbagai gen virus diekspresikan sebagai protein. Produksi partikel virus yang
matang dihubungkan dengan lisis sel yang merupakan mekanisme dampak sitopatik HIV yang
penting. Setelah transkripsi berbagai gen, protein virus disintetis dalam sitoplasma, lalu disusunlah
partikel virus dengan membungkus gen provirus dalam komplek nucleoprotein termasuk protein
gag dan enzim pol yang diperlukan untuk siklus integrasi berikutnya. Nucleoprotein ini kemudian
dibungkus dalam envelop membrane dan dilepaskan oleh sel dengan proses budding melalui
membrane sel.
III. PATOGENESIS
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang hanya dikendalikan sebagai respon imun spesifik
dan berlanjut menjadi infeksi kronik progresif pada jaringan limfoid perifer. Perjalanan penyakit
dapat dipantau dengan mengukur jumlah virus dalam serum pasien dan menghitung jumlah sel T
CD4 dalam darah tepi. Bergantung pada lokasi mana masuknya virus ke dalam tubuh, sel T CD4
dan monosit dalam darah atau sel T CD4 dan magrofag dalam jaringan mukosa merupakan sel-sel
pertama yang terinfeksi. Besar kemungkinan bahwa sel dendritik berperan dalam penyebaran awal
HIV dalam jaringan limfoid, karena fungsi normal sel dendritik adalah menangkap antigen dalam
Setelah berada dalam kelenjer getah bening, sel dendritik meneruskan virus kepada sel T melalui
kontak antar sel. Dalam beberapa hari saja jumlah virus dalam kelenjer berlipat ganda dan
mengakibatkan viremia. Pada saat itu, jumlah partikel HIV dalam darah banyak sekali disertai
sindrom HIV akut. Viremia menyebabkan virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T,
monosit maupun magrofag dalam jaringan limfoid perifer. System imun spesifik kemudian akan
berupaya mengendalikan infeksi yang tampak dengan menurunnya kadar viremia walaupun masih
dapat terdeteksi.
Setelah infeksi akut, berlangsunglah fase kedua di mana kelenjar getah benaing dan limfa
merupakan tempat bereplikasi virus dan destruksi jaringan secara terus-menerus. Selama periode
ini,system imun spesifik kemudian akan berupaya mengendalikan sebagian besar infeksi,
karena itu fase ini disebut fase laten. Hanya sedikit virus yang diproduksi selama fase latin dan
sebagian besar sel T tidak mengandung virus. Walaupun demikian, destruksi sel T dalam jaringan
limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel T makin lama makin menurun. Jumlah sel T dalam
jaringan limfoid adalah 90% dari jumlah sel T di seluruh tubuh. Pada awalnya sel T dalam darah
perifer yang rusak oleh virus HIV dengan cepat diganti oleh sel baru tetapi didestruksi sel oleh
virus HIV yang terus bereplikasi dan menginfeksi sel baru selama masa laten akan menurunkan
Selama masa kronik progresif, respon imun terhadap infeksi lain akan merangsang produk HIV
dan mempercepat destruksi sel T. selanjutnya penyakit menjadi progresif dan mencapai fase lethal
yang disebut AIDS, pada saat destruksi sel T dalam jaringan limfoid, perifer lengkap dan jumlah
sel T dalam darah tepi menurun sehingga di bawah 200/mm3 . viremia meningkat dengan drastic
karena replikasi virus di bagian lain dalam tubuh meningkat. Pasien menderita infeksi oportunistik,
cachexia, keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat. Kehilangan limfosit T menyebabkan
pasien peka terhadap berbagai jenis infeksi dan menunjukkan respon imun yang inefektif terhadap
virus onkogenik.
IV. MANIFESTASI KLINIS
Seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan
gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya
tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang
terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya
menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu cara untuk
mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika seseorang merasa
Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar limfe regional. Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah virus secara cepat di dalam plasma, biasanya lebih
dari 1 juta copy/l. Tahap ini disertai dengan penyebaran HIV ke organ limfoid, saluran cerna dan
saluran genital. Setelah mencapai puncak viremia, jumlah virus atau viral load menurun
Puncak viral load dan perkembangan respon imunitas seluler berhubungan dengan kondisi
penyakit yang simptomatik pada 60 hingga 90% pasien. Penyakit ini muncul dalam kurun waktu 3
bulan setelah infeksi. Penyakit ini menyerupai glandular fever like illness dengan ruam, demam,
nyeri kepala, malaise dan limfadenopati luas. Sementara itu tingginya puncak viral load selama
infeksi primer tidak menggambarkan perkembangan penyakit tapi terkait dengan beratnya
keluhan yang menandakan prognosis yang jelek. Fase ini mereda secara spontan dalam 14 hari.
Dengan menurunnya penyakit primer, pada kebanyakan pasien diikuti dengan masa asimtomatis
yang lama, namun selama masa tersebut replikasi HIV terus berlanjut, dan terjadi kerusakan
sistem imun. Beberapa pasien mengalami limfadenopati generalisata persisten sejak terjadinya
serokonversi (perubahan tes antibodi HIV yang semula negatif menjadi positif) perubahan akut
(dikenal dengan limfadenopati pada dua lokasi non contiguous dengan sering melibatkan
rangkaian kelenjar ketiak, servikal, dan inguinal). Komplikasi kelainan kulit dapat terjadi seperti
dermatitis seboroik terutama pada garis rambut atau lipatan nasolabial, dan munculnya atau
memburuknya psoriasis. Kondisi yang berhubungan dengan aktivasi imunitas, seperti purpura
trombositopeni idiopatik, polimiositis, sindrom Guillain-Barre dan Bells palsy dapat juga muncul
Komplikasi kelainan kulit, selaput lendir mulut dan gejala konstitusional lebih sering terjadi pada
tahap ini. Meskipun dalam perjalanannya jarang berat atau serius, komplikasi ini dapat
menyulitkan pasien. Penyakit kulit seperti herpes zoster, folikulitis bakterial, folikulitis eosinofilik,
moluskum kontagiosum, dermatitis seboroik, psoriasis dan ruam yang tidak diketahui sebabnya,
sering dan mungkin resisten terhadap pengobatan standar. Kutil sering muncul baik pada kulit
maupun pada daerah anogenital dan mungkin resisten terhadap terapi. Sariawan sering juga
muncul pada stadium ini. Seperti juga halnya kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, dan eritema
ginggivalis (gusi) linier. Gingivitis ulesartif nekrotik akut, merupakan komplikasi oral yang sulit
diobati.
Gejala konstitusional yang mungkin berkembang seperti demam, berkurangnya berat badan,
kelelahan, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri kepala. Diare berulang dapat terjadi dan dapat menjadi
masalah. Sinusitis bacterial merupakan manifestasi yang sering terjadi. Nefropati (kelainan ginjal)
Stadium Lanjut
Penyakit stadium lanjut ditandai oleh suatu penyakit yang berhubungan dengan penurunan
Kecepatan perkembangan penyakit bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga lebih
20 tahun. Waktu yang diperlukan untuk berkembang menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun, bila
tanpa terapi antiretroviral. Dalam 5 tahun, sekitar 30% ODHA dewasa akan berkembang menjadi
Jumlah CD4
Kecepatan penurunan CD4 (baik jumlah absolut maupun persentase CD4) telah terbukti dapat
dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap
selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100
sel/tahun. Jumlah CD4 lebih menggambarkan progresifitas AIDS dibandingkan dengan tingkat viral
load, meskipun nilai prediktif dari viral load akan meningkat seiring dengan lama infeksi.
Kecepatan peningkatan Viral load (bukan jumlah absolut virus) dapat dipakai untuk
memperkirakan perkembangan infeksi HIV. Viral load meningkat secara bertahap dari waktu ke
waktu. Pada 3 tahun pertama setelah terjadi serokonversi, viral load berubah seolah hanya pada
pasien yang berkembang ke arah AIDS pada masa tersebut. Setelah masa tersebut, perubahan
viral load dapat dideteksi, baik akselerasinya maupun jumlah absolutnya, baru keduanya dapat
WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak yang sedang
direvisi. Untuk dewasa maupun anak, stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4
stadium.
Stadium Klinis HIV/AIDS Untuk Dewasa dan Remaja adalah sebagai berikut :
a) Asimptomatik
2.Stadium Klinis 1
a) Asimptomatik
3.Stadium Klinis 2
a) Berat badan menurun yang sebabnya tidak dapat dijelaskan
c) Herpes zoster
d) Cheilits angularis
g) Dermatitis seboroika
4.Stadium Klinis 3
a) Berat badan menurun yang tidak dapat dijelaskan sebabnya ( > 10%)
b) Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan sebabnya lebih dari 1 bulan
g) Infeksi bakteri yang berat (empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi,
i) Anemia (Hb < 8 g/dL), netropeni (< 500/mm3), dan/atau trombositopeni kronis
5.Stadium Klinis 4
a) HIV wasting syndrome (berat badan berkurang >10% dari BB semula, disertai
salah satu dari diare kronik tanpa penyebab yang jelas (>1 bulan) atau
d) Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, anorektal atau genital lebih dari
g) Sarkoma Kaposi
j) Ensefalopati HIV
n) Kriptosporidiosis kronis
o) Isosporiosis kronis
Stadium Klinis HIV/AIDS untuk bayi dan anak adalah sebagai berikut :
2.Stadium Klinis 1
a) Asimptomatik
3.Stadium Klinis 2
h) Herpes zoster
i) Infeksi saluran napas atas kronis atau berulang (otitis media, otorrhoe,
sinusitis, tonsilitis)
4.Stadium Klinis 3
a) Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan tidak respons
b) Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan sebabnya lebih dari 14 hari
c) Demam persisten yang tidak diketahui sebabnya (> 37,5oC intermiten maupun
l) Anemi (Hb < 8 g/dL), netropeni (< 500/mm3), dan/atau trombositopeni kronis
5.Stadium Klinis 4
a) Gangguan tumbuh kembang yang berat yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
b) Pneumonia pneumocystis
c) Infeksi bakteri berat yang berulang (empiema, piomiositis, infeksi tulang atau
d) Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial, anorektal atau genital lebih dari 1 bulan
f) Sarkoma Kaposi
i) Ensefalopati HIV
j) Infeksi Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain) (setelah usia 1 bulan)
ekstra paru)
m) Kriptosporidiosis kronis
n) Isosporiosis kronis
V. DIAGNOSIS
Diagnosis HIV menurut Depertemen Kesehatan RI hendaknya menggunakan Strategi III di mana
harus dilakukan pengujian sebanyak 3 langkah. Karena, dengan dideteksinya HIV pada seorang
pasien, akan memiliki dampak yang cukup signifikan baik di segi kesehatan, psikologis, maupun
lingkungan social pasien tersebut. Sehingga, diagnosis laboratorium terhadap pasien ini haruslah
Strategi III merupakan strategi di mana perlu dilakukan pengujian serologis sebanyak 3 tahapan
Pengujian pertama dan kedua menggunakan tes immunologi dan kemudian dikonfirmasi dengan
confirmatory assay yaitu dengan menggunakan Western Blot. Selain western blot, juga dapat
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia yang terutama
digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu
sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis, patologi tumbuhan,
dan juga berbagai bidang industri. Dalam pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak
dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada permukaan
tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim,
dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal
yang dapat dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan panjang gelombang tertentu
disinarkan pada suatu sampel, kompleks antigen/antibodi akan berfluoresensi sehingga jumlah
Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan spesifitas untuk antigen tertentu.
Sampel dengan jumlah antigen yang tidak diketahui diimobilisasi pada suatu permukaan solid
(biasanya berupa lempeng mikrotiter polistirene), baik yang non-spesifik (melalui penyerapan
pada permukaan) atau spesifik (melalui penangkapan oleh antibodi lain yang spesifik untuk
antigen yang sama, disebut sandwich ELISA). Setelah antigen diimobilisasi, antibodi pendeteksi
ditambahkan, membentuk kompleks dengan antigen. Antibodi pendeteksi dapat berikatan juga
dengan enzim, atau dapat dideteksi secara langsung oleh antibodi sekunder yang berikatan
dengan enzim melalui biokonjugasi. Di antara tiap tahap, plate harus dicuci dengan larutan
deterjen lembut untuk membuang kelebihan protein atau antibodi yang tidak terikat. Setelah
tahap pencucian terakhir, dalam plate ditambahkan substrat enzimatik untuk memproduksi sinyal
yang visibel, yang menunjukkan kuantitas antigen dalam sampel. Teknik ELISA yang lama
Rapid test pada prinsipnya juga mengunakan reaksi anti body-antigen, akan tetapi dikemas
Confirmatory Test
Perlu dilakukan test untuk mengkonfirmasi kepastian hasil diagnosis HIV karena ELISA maupun
Rapid Test sering kali memberikan hasil postif palsu atau negative palsu. Confirmatory Test dapat
Westen blot umumnya digunakan untuk menentukan kadar reatif protein dalam suatu campuran
berbagai jenis protein atau molekul lain. Metode western blot menggabungkan seletifitas
elektroforesis gel dengan spesifisitas immunoassay sehingga setiap jenis protein dapat dideteksi
dan dianalisis dengan menggunaka probe antibody yang sesuai. Protein-protein dalam campuran
itu sebelumnya dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan cara gel eletroforesis.
Posisi akhir setiap jenis protein dalam gel poliakrilamide setelah elektroforesis dihentikan sesuai
berat molekul masing-masing. Protein-protein yang telah dipisahkan satu dengan yang lainnya itu
kemudian dipindahkan dari gel ke suatu membrane pendukung melalui suatu kapiler (blotting)
dengan sedemikian rupa sehingga membrane tersebut mendapatkan replica dari susunan
makromolekul seperti yang terdapat pada gel. Posisi antigen yang dicari dapat diidentifikasi pada
membrane dengan mereaksikannya dengan antibody yang spesifik yang bertanda atau dilabel
Bila label yang digunakan pada assay adalah radioisotope maka komplek antigen-antibodi
diidentifikasi dengan autoradiografi sedangkan jika dilabel dengan enzim yang menghasilkan
celuminesen, maka bercak celuminesen yang terdapat pada film dan menunjukan komplek
Konfirmatory juga dapat dilakukan dengan menggunakan IFA (immunoflouresence assay), jika
Deteksi RNA virus HIV dapat dilakukan dengan menggunakan RT-PCR di mana selain menunjukan
adanya HIV, RT PCR juga dapat menentukan secara kuantitatif jumlah virus yang ada dalam
darah.
Pengujian laboratorium untuk menentukan prognostic atau treatment dapat dilakukan dengan :
1. 1. Penghitungan CD4
permukaan setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspense
menurut karakteristik masing-masing secara automatis melalui suatu celah yang ditembus oleh
sinar laser. Setiap sel yang dilewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat
Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel maupun yang terdapat dalam sel dapat
diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Setiap sel dilewati sinar
laser akan menyebabkan sinar laser terpencar (scattered) ke dua arah yaitu forward scattered
(FS) yang parallel dengan arah sinar dan side scaterred (SS) nyang arahnya tegak lurus arah sinar
laser. Besarnya FS menggambarkan ukuran sel sedangkan SS ditentukan oleh morfologi dan emisi
sinar flouresen yang dipancarkan oleh florokrom yang digunakan untuk mewarnai sel. Sinyal-sinyal
tersebut dikonversikan menjadi angka digital dan diperlihatkan pada suatu histogram yang dapat
dianalisis.
1. 2. Penghitungan Viral Load
Penghitungan Viral Load dapat dilakukan dengan menggunakan PCR. Viral load dapat
dimanfaatkan untuk :
VI. PENATALAKSANAAN
Antiretroviral
Goal terapi ART adalah untuk mencapai supresi maksimum replikasi HIV sehingga kadar viral load
CD4)
Beberapa hal khusus yang harus diperhatikan dalam penggunaan antiretroviral adalah sebagai
berikut:
Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal infeksi, sedikitnya terbentuk
sepuluh milyar virus setiap hari,namun karena waktu paruh (half life) virus bebas (virion)
sangat singkat, maka sebagian besar virus akan mati. Walau ada replikasi yang cepat,
sebagian pasien merasa tetap sehat tanpa ART selama kekebalan tubuhnya masih berfungsi
dengan baik.
Replikasi yang terus menerus mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan tubuh semakin
berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO), kanker, penyakit saraf,
kehilangan berat badan secara nyata (wasting) dan berakhir dengan kematian.
Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV sehingga penurunan CD4 menunjukkan
kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Nilai viral load
menggambarkan progresivitas penyakit dan risiko kematian.
Pemeriksaan secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika memungkinkan) dapat
menentukan progresivitas penyakit dan mengetahui syarat yang tepat untuk memulai atau
mengubah rejimen ART.
Tingkat progresivitas penyakit pada ODHA dapat berbeda-beda. Keputusan pengobatan harus
berdasarkan pertimbangan individual dengan memperhatikan gejala klinik, hitung limfosit
total dan bila memumgkinkan jumlah CD4.
Terapi kombinasi ART dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah tingkat yang tidak dapat
dideteksi oleh pemeriksaan yang peka (PCR). Penekanan virus secara efektif ini mencegah
timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan memperlambat progresivitas penyakit. Jadi
tujuan terapi adalah menekan perkembangan virus secara maksimal.
Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus menerus adalah memulai
pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai
pada saat yang bersamaan pada pasien yang baru. Pada pasien yang tidak pernah diterapi,
tidak boleh menggunakan obat yang memiliki resistensi silang dengan obat yang pernah
dipakai.
Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadual yang tepat. Prinsip pemberian
ART diperlakukan sama pada anak maupun dewasa, walaupun pengobatan pada anak perlu
perhatian khusus.
Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat ART harus tetap dianggap
menular. Mereka harus dikonseling agar menghindari seks yang tidak aman, atau
penggunaan NAPZA suntik yang dapat menularkan HIV atau patogen menular lain.
Untuk menghindari timbulnya resistensi, ART harus dipakai terus menerus dengan kepatuhan
(adherence) yang sangat tinggi, walaupun sering dijumpai efek samping ringan.
Pemberian ART harus dipersiapkan secara baik dan matang dan harus digunakan seumur
hidup.
Disamping ART, maka infeksi oportunistik harus pula mendapat perhatian dan harus diobati
Yaitu :
Keterangan :
Contoh : TB paru dapat muncul kapan saja pada CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai
1. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana ART harus dimulai belum dapat
ditentukan
2. Jumlah limfosit total > 1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan
CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium
II dan III). Hal ini tidak dapat diterapkan pada ODHA asimptomatik. Maka bila tidak ada
pemeriksaan CD4, ODHA asimptomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada
saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya
terbatas.
Untuk treatment bagi pasien yang pertama kali menerima terapi ART adalah :
2 NRTI + 1 NNRTI
NRTI
NNRTI
PI (Protease Inhibitor)
Regimen Dosis :
2 NRTI + 1 NNRTI
Lini 1 :
Efavirenz + Lamivudine + Zidovudin (atau Tenovir atau Stavudine) kecuali pada wanita hamil
Alternatif :
Efavirenz + (Emtricitabine + Zidovudin) (atau Tenovir atau Stavudine) kecuali pada wanita hamil
2 NRTI + 1 PI
Lini 1 :
Alternatif :
https://fathelvi.wordpress.com/2012/01/03/hivaids/