Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

“Stop AIDS..Keep the Promise” merupakan theme years pada peringatan


hari AIDS sedunia yang ke-17 pada tanggal 1 Desember 2005. AIDS (Acquired
Imuno Deficiency Syndrome) yang disebabkan infeksi HIV pertama kali diketahui
pada tahun 1981. Saat ini telah menjadi masalah dunia karena prevalensinya
dengan cepat meningkat diseluruh dunia. Pada tahun 2003 diseluruh dunia
diperkirakan terdapat 40 juta orang yang terinfeksi HIV-AIDS, 5 juta orang
merupakan kasus HIV baru dan 3 juta orang meninggal berhubungan dengan
infeksi HIV (Clinton 2003, Gayle 2003, Steinbrook, 2004) (1,2). Sedangkan WHO
memperkirakan sekitar 2,8 - 3,5 juta orang meninggal akibat AIDS di seluruh
dunia pada tahun 2004(3). Di AS pada tahun 2001 menurut CDC (Centers for
Disease Control and Prevention) memperkirakan sekitar 1,3-1,4 juta orang
terinfeksi HIV dan hampir setengahnya meninggal. Infeksi HIV menjadi penyebab
nomor 5 kematian pada usia 25-44 tahun (Kochanek and Smith, 2004). Sepertiga
kasus baru berasal dari transmisi heteroseksual dan 2/3 nya pada wanita (CDC,
2004)(2).
Laporan terbaru data epidemiologi HIV-AIDS selama tahun 2005 adalah
sbb(1);
1. 40,3 juta orang hidup dengan HIV/AIDS
 38 juta orang deawsa
 2,3 juta pada anak-anak < 5 tahun
2. 4,9 juta orang terinfeksi pada tahun 2005 ( 13.400 orang/hari)
 4,2 juta orang dewasa
 700.000 pada anak-anak < 5 tahun
3. 3,1 juta orang meninggal selama tahun 2005
 2,6 juta orang dewasa
 570.000 anak-anak < 5 tahun
Di Afrika, sekitar 9500 orang terinfeksi dan 6500 meninggal setiap hari dan
dilaporkan 19 % anak yang terlahir terinfeksi HIV selama tahun 2004(1).

1
Sedangkan di USA dilaporkan CDC pada tanggal 31 Desember 2004, terdapat :

944.306 kasus AIDS dilaporkan

529113 orang meninggal dari kasus yang dilaporkan

40.000 orang terinfeksi HIV setiap tahun

1 juta orang hidup dengan HIV dan ¼-nya tidak menyadarinya(1)
Prevalensi HIV pada ibu hamil dilaporkan juga meningkat seiirng dengan
peningkatan infeksi HIV pada wanita. Lebih 80 % kasus AIDS pada wanita terjadi
pada usia reproduksi. Penularan HIV pada neonatus dapat terjadi selama
kehamilan (transplacental-vertikel transmission), saat persalinan ( kontak darah)
dan saat menyusui. Dilaporkan terjadi peningkatan proporsi transmisi infeksi
HIV-1 dari ibu ke janin secara intra uterine dibandingkan cara penularan lainnya
yaitu dari 27% pada tahun 1990-1992 menjadi 80% pada tahun 1999-2000 (4).
Walaupun transmisi perinatal HIV-1 menurun dari 18,1% pada tahun 1990-1992
menjadi 1,6% pada tahun 1999-2000(4). Sampai saat ini belum dapat diketahui
adanya pengaruh yang nyata infeksi HIV terhadap kehamilan, tetapi jika sudah
terjadi AIDS didapatkan pengaruh yang besar dengan terjadinya prematuritas dan
kematian janin dalam kandungan(1,4). Angka kejadian penularan perinatal di Eropa
dan New York dilaporkan sebesar 25-33 % ( Ellerbock TV & Rogers MF,1990).
Sedangkan di Thailand dilaporkan sebesar 19 % ( Kotsawang, 1995). Di Indonesia
belum ada penelitian mengenai hal ini meskipun telah pernah dilaporkan beberapa
persalinan dengan HIV positif (Jakarta, Yogyakarta, Bali)(2).
Prevalensi HIV yang terus meningkat diseluruh dunia termasuk
juga pada wanita hamil sehingga menimbulkan pandemi global yang dapat
menyerang negara manapun termasuk Indonesia. Untuk itu perlu pemahaman dan
penelitian lebih lanjut mengenai HIV dan pengaruhnya terhadap kehamilan
sehingga dapat diambil tindakan yang preventif untuk mengurangi penyebaran
dan peningkatan prevalensi HIV dalam kehamilan(4).

2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Sejarah
Tanggal 18 Juni 1981 tercatat dalam sejarah pertama kalinya muncul
epidemi AIDS ketika CDC ( Centre for Disease Control and Prevention )
melaporkan sekelompok penderita Pneumocystis Carinii Pneumonia pada 5 orang
gay di Los Angeles USA pada awal 1980-an. Tahun 1982 CDC memperkenalkan
istilah AIDS untuk mendeskripsikan kumpulan gejala penyakit ini. Tiga infeksi
HIV yang paling awal diketahui adalah pada :
1. Sampel plasma yang diambil tahun 1959 dari orang dewasa laki-laki di
Kongo.
2. Sampel jaringan dari tenaga kerja USA yang meninggal di St.Louis tahun
1969
3. Sampel jaringan dari pelaut Norwegia yang meninggal tahun 1976(4).

B. Infeksi HIV
Anatomi HIV-1 seperti gambar dibawah ini (5 ) :

Gbr.1 Anatomi HIV


Terdapat 3 genus retrovirus yaitu oncovirus ( 5 genus), lentivirus ( HIV-1
dan HIV-2) dan Spumavirus (human foamy virus).
Struktural HIV-1 terdiri dari :
1. Kapsul
 lipid membrane yang berasl dari membrane luar sel host
 dibungkus oleh gliokoprotein GP120 dan GP41

3
2. Inti
 P24 dan P18 merupakan protein utama pembentuk struktur inti
 gen RNA
 enzim reverse transcriptase
HIV (Human Imuno Deficiency Virus) merupakan virus penyebab AIDS.
AIDS sendiri merupakan manifestasi klinis paling berat akibat infeksi HIV yang
menurunkan sistem imunitas tubuh(3).
HIV merupakan RNA-retrovirus dengan 2 tipe yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Penyebab paling sering kasus AIDS diseluruh dunia adalah HIV-1 karena lebih
infeksius daripada HIV-2(2.,3). HIV secara primer menginfeksi komponen vital dari
sistem imunitas tubuh seperti Sel T CD4+ , makrophage, dan sel dendritik. Sel T
CD4+ yang berasal dari Tymus merupakan derivate limposit yang berperan
sebagai reseptor HIV. Seperti diketahui Sel T CD4+ sangat dibutuhkan untuk
pelaksanaan fungsi imunitas tubuh, dan ketika jumlah Sel T CD4+ sangat menurun
akan menyebabkan munculnya manifestasi klinis atau AIDS(3). Akibat efek
imunosuppresi oleh HIV akan menyebabkan munculnya bermacam-macam
infeksi oppurtunistik dan keganasan(2). Adanya co-reseptor yaitu reseptor
chemokine (CCR5 dan CXCR4) telah diidentifkasi berperan dalam terjadinya
infeksi (Kahn dan Walker,1988, Sheffeld,dkk, 2005). Sesudah inisial infeksi, level
viremia biasanya menurun mencapai satu titik yang disebut set point, dan pasien
dengan kadar virus sangat tinggi pada periode ini dapat berkembang lebih cepat
menjadi AIDS dan menyebabkan kematian (Kahn dan Walker,1998). Dengan
berlalunya waktu jumlah Sel T CD4+ akan menurun secara tersembunyi dan
progressif sehingga menyebabkan penurunan sistem imunitas tubuh atau
imunosuppresi. Walaupun diketahui bahwa kehamilan mempunyai efek yang
minimal terhadap jumlah Sel T CD 4+ dan level HIV-RNA, belakangan sering
lebih tinggi pada 6 bulan postpartum daripada selama kehamilan (US Public
Health Service,2003). Selain infeksi pada monosit-makrophage, infeksi pada sel
mikroglial otak dapat menyebabkan kelainan neuropsikiatri. Infeksi HIV juga
meningkatkan insidens keganasan seperti Sarcoma Kaposi, Lymphoma Non-
Hodgkins, dan beberapa karsinoma lainnya.(2,3,4)

4
Dibawah ini gambaran infeksi HIV-1 pada Limposit(3)

Gbr.2. Skanning mikroskop electron HIV-1 dari limposit yangdikultur.

Perjalanan Alamiah Infeksi HIV(6)


Secara alami perjalanan infeksi HIV dalam tubuh seseorang adalah sbb ;
 Antibodi (anti-HIV) terbentuk dalam 2-3 mg setelah seropositif
 Individu yang terinfeksi akan tetap asimptomatik (carier) selama 2-10
tahun atau lebih
 gejala awal yang muncul hanya berupa demam, rash, general
lymphadenopaty, yang kemudian dapat berkembang menjadi diare,
penurunan berat badan, oral thrush dan herpes zooster multidermatomal
 Infeksi oppurtunistik yang sering menyertai adalah : pneumocystis carinii
pneumonia, sarkoma kaposi, lymphoma sel B, ensephalitis sub akut,
wasting sindroma, limphoma otak primer, dsb.
 Sekitar 10 % akan menjadi AIDS dalam 4 tahun dan 35 % dalam 7 tahun

Patogenesis AIDS( 6 )
Mekanisme respon imun tubuh terhadap infeksi HIV adalah :
 Limposit B akan memproduksi antibodi yang akan mengikat HIV dan
menetralisirnya.
 Sekelompok sel T akan diaktivasi dan menyerang HIV secara langsung.
 Pengenalan dan penyerangan HIV ini diatur dan dikontrol oleh sel T
helper. Sementara HIV sendiri akan membunuh sel T helper ini sehingga
sistem imun tubuh tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.
HIV akan membunuh sel T helper melalui cara sbb :
 secara langsung melalui cytophatic effect-nya dan induksi syncytia
 efek sitotoksik terhadap respon sel T
 sitotoksik terrhadap antibodi
 apoptosis ?

5
Pengaruh genetik HIV yang bervariasi disebabkan :
 kemampuan HIV bereplikasi pada berbagai tipe sel
 sifat antigeniknya yang bervariasi karena poses reverse transkripsi yang
tidak bisa kendalikan sehingga lolos dari kontrol sel imun. Hal inilah yang
menyebabkan sulit membuat vaksin HIV.
 efek virulensi strain genetik yang bervariasi
 adanya resistensi terhadap pengobatan(6)

C. Siklus Hidup HIV


Siklus hidup HIV dalam tubuh manusia dapat dibagi 5 tahap yaitu(7) :
1. Tahap I : Binding
Virus HIV terdiri dari kapsul luar berupa protein, lemak dan karbohidrat
yang membungkus gen. Informasi genetik dibawa oleh RNA yang digantikan oleh
DNA dan enzim khusus. HIV yang mempunyai protein pada kapsulnya secara
kuat menyerang reseptor CD4+ pada permukaan luar sel T. Ketika HIV berikatan
dengan reseptor CD4+ sel T, ikatan ini akan mengaktivasi protein lain pada
permukaan sel T sehingga mengakibatkan kapsul HIV dapat mengadakan fusi
dengan permukaan luar sel T. Masuknya kapsul HIV ini dapat diblok dengan
entry inhibitor.

Gbr.3 Proses Binding HIV dengan CD4+ sel T

2. Tahap II : Reverse Transcription


Gen HIV dibawa oleh dua untai RNA, sedangkan material genetik sel
manusia ditemukan dalam DNA. Ketika HIV menginfeksi sel T, terjadilah suatu
proses yang disebut reverse transcription yaitu dibentuknya kopi DNA dari RNA
virus. Setelah proses binding (ikatan), kapsul virus (bagian dalam virus yang
mengandung RNA dan enzim yang penting) dilepaskan kedalam sel host. Enzim

6
virus yang disebut reverse transcriptase membuat kopi DNA dari RNA virus.
DNA baru ini disebut proviral DNA. Proses reverse transcription ini dapat diblok
dengan Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTIs) dan Non Nucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTIs)

Gbr.4 Proses Reverse Trancription HIV

3. Tahap III : Integration


Kemudian DNA HIV dibawa kedalam inti sel tempat DNA sel host
berada. Oleh enzim yang lain yang disebut intregrase akan mengintegrasikan atau
menyembunyikan proviral DNA kedalam DNA sel host. Ketika sel host berusaha
membuat protein baru, hal ini akan mengakibatkan pembentukan HIV baru secara
mendadak. Proses integrasi ini dapat diblok dengan preparat Integrase Inhibitor
yang merupakan klas baru obat-obatan yang sedang diteliti.

Gbr.5 Proses Integration HIV kedalam Inti Sel

4. Tahap IV : Transcription
Setelah material genetik HIV masuk kedalam inti sel maka akan
berlangsung proses pembentukan HIV baru. Untaian DNA virus didalam inti sel
akan terpisah dan enzim khusus akan menterjemahkan pesan genetik DNA virus
dengan membuat untaian komplemen material genetik yang disebut messenger
RNA atau mRNA yang membawa pesan genetik berupa instruksi pembuatan HIV

7
baru. Proses transkripsi ini dapat diblok dengan antisense antiviral atau
transcription inhibitors (TIs) yang merupakan obat klas baru yang sedang diteliti.

Gbr.6 Proses Transcription HIV

5. Tahap V : Translation
mRNA membawa pesan genetik berupa instruksi pada inti sel untuk
membuat protein virus yang baru. Setiap untaian mRNA akan diproses dan
diterjemahkan untuk membuat protein. Proses ini berlanjut sampai untaian mRNA
telah ditransformasi atau diterjemahkan kedalam protein virus yang baru yang
dibutuhkan untuk pembuatan HIV baru.

Gbr.7 Proses Translation HIV


6. Tahap VI : Viral Assembly
Merupakan proses akhir terbentuknya virus baru. Benang panjang dari
protein dipotong oleh enzim virus yang disebut protease kedalam bentuk protein-
protein yang lebih kecil. Protein-protein ini mempunyai bermacam-macam fungsi,
beberapanya menjadi unsur struktural pembentuk HIV baru. Yang lainnya
menjadi enzim seperti reverse transcriptase. Sekali protein virus baru terbentuk,
akan merusak sel host dan memacu pembuatan virus baru. Virus ini kemudian
akan menginfeksi sel-sel yang baru lainnya. Masing-masing sel yang terinfeksi
dapat menghasilkan sejumlah besar virus baru. Viral Assembly dapat diblok
dengan protease inhibitors (PIs).

8
Gbr.8 Proses Viral Assemby HIV

Secara ringkas siklus hidup HIV didalam sel Host dapat digambarkan sbb(8) :
Keterangan:
1. Attachment
 CD4-gp120
Interaction
 Gp120-Chemokine
receptor Interaction
2. Viral Fusion/Uncoating
3. Reverse Transcription
4. RNaseH Degradation
5. Second Strand Synthesis
6. Migration to Nucleus
7. Integration
8. Latency
9. Early Transcription
10. Late Transcription
11. RNA Processing
12. Protein Synthesis
13. Protein Glycosylation
14. Assembly of Virion
15. Viral Budding
16. Virion Maturation
17. Other

Gb.9 Siklus Hidup HIV dalam Sel Host

(Modified from M. Nasr, J. Cradock and M. Johnston, Drug News and


Perspectives Vol. 6 pg 338; Courtesy of J.R. Prous S.A. Barcelona, Spain)

9
Gbr10. Siklus Hidup HIV dalam Sel Host(9)

10
Gbr.11 Siklus Hidup HIV(9)

11
D. Penularan dan Gejala Klinis
Transmisi HIV mirip dengan penularan virus hepatitis B, dimana sexual
intercourse ( kontak seksual ) merupakan cara penularan yang paling sering. (2)
Secara umum penularan HIV pada seseorang bisa melalui (8) :
1. Kontak Seksual ( Homo atau Heteroseksual )
2. Transplasental dan ASI ( Penularan Vertikel dan atau Perinatal )
3. Terpapar dengan darah atau cairan jaringan yang terinfeksi HIV
( Penularan Parenteral ) seperti; transfusi darah, tertusuk jarum suntik, dsb.
Kemungkinan seorang wanita tertular dari seorang laki-laki pengidap HIV
adalah 20 kali lebih besar daripada kemungkinan seorang laki-laki tertular dari
seorang wanita pengidap HIV, oleh karena kemungkinan pada cairan sperma
terdapat titer HIV yang cukup tinggi.(1) Penularan HIV pada petugas kesehatan di
USA sekitar 0,3 %. Sedangakan penularan pada kulit hanya terjadi pada kontak
yang intensif dan lama ( Fauci AS & LaneHel, 1994 )(1).

Transmisi Infeksi Maternal dan Fetal-Neonatal


Transmisi vertikel pada neonatus terjadi sekitar 30 % ( 20-50 %) pada ibu
dengan seropositif HIV. Laporan CDC pada tanggal 27 Februari 2004 berdasarkan
hasil penelitian selama 4 tahun menyebutkan rata-rata transmisi vertikal terjadi
sekitar 3-10 %. Menurut Dr.Maryglen Fowler rata-rata transmisi berkisar 25 %
sebelum dikenalkannya obat antiretroviral. Di beberapa negara maju transmisi
vertikal telah menurun bahkan mencapai < 5 %, sebaliknya dinegara berkembang
sangat sulit mengendalikannya. Janin dapat dipengaruhi secara in utero melalui
transfer virus (Transplasental), pada saat persalinan melalui kontaminasi sekret
dan darah ibu pada jalan lahir (Transmisi Perinatal) dan setelah janin lahir melalui
pemberian ASI (Post Partum). Penularan secara intra uterine menyebabkan bayi
mempunyai antibodi terhadap HIV yang didapat secara pasif dari ibu dan tetap
ada sampai bayi berumur 15-18 bulan. Antibodi terhadap HIV yang diperoleh
janin in utero melalui jalur transplasental akan habis pada usia bayi sekitar 18
bulan. Sehingga pada tes antibodi pada bayi didapatkan hasil dengan nilai yang
rendah.(1,8,5,10)
Mekanisme pasti transmisi vertikal masih belum jelas. HIV dapat
menginfeksi pada usia kehamilan 8 mg sehingga terjadi abortus spontan.

12
Sedangkan trasnmisi yang terjadi pada kehamilan lanjut lebih responsif terhadap
pengobatan dengan antiretroviral yang dapat melewati barier plasenta.
Adanya penularan transplasental dibuktikan berdasarkan adanya virus HIV
yang dapat diidentifikasi pada spesimen dari abortus elektif (Lewis,dkk, 1990).
Menurut Blair, dkk (2004) rata-rata angka kehamilan diantara wanita yang
terinfeksi HIV meningkat secara signifikan pada era adanya terapi anti retroviral
dibandingkan pada era sebelum tahun 1996. Menurut Kourtis,dkk (2001) telah
mengusulkan suatu model untuk memperkirakan distribusi temporal dari trasmnisi
vertikel. Mereka memperkirakan sekitar 20 % transmisi terjadi sebelum kehamilan
3 bulan, 50 % beberapa hari sebelum persalinan, dan 30 % dalam proses
persalinan ( intra partum). Sedangkan angka transmisi HIV melalui ASI cukup
tinggi yaitu sekitar 30-40 %(2). Merupakan suatu kesulitan dalam menentukan
faktor resiko transmisi apakah melalui trasplasental dan atau didapat dalam proses
persalinan (intrapartum). Salah satu pendekatan untuk membedakan ini dengan
melakukan pemeriksaan kultur HIV-1 atau DNA Polymerase Chain Reaction
Assay (PCR - Assay) dalam 48 jam pertama kehidupan bayi. Tetapi tes virologik
dalam 48 jam pertama kehidupan bayi ini tidak selalu tersedia.(10,11,12)

Penularan intra uterin


HIV dapat melewati barier plasenta dan masuk kedalam tubuh bayi,
walaupun tidak selalu terjadi tapi dapat terjadi Penularan ini diketahui
karena didapatkan HIV pada jaringan Tymus, Lien, Paru dan Otak janin
usia 20 miggu yang digugurkan dari ibu pengidap HIV.

Penularan intra partum


Terjadinya penularan ini karena adanya kontak darah dan sekret ibu
dengan bayi pada saat persalinan.

Penularan post partum


Penularan ini terjadi melalui pemberian ASI pada bayi baru lahir. Adanya
penularan ini dibuktikan dengan terdapatnya HIV yang diisolasi dari ASI.
Meskipun masih ada perbedaan pendapat mengenai hal ini karena adanya
perbedaan hasil penelitian, tetapi karena belum adanya vaksin untuk HIV
dan kemungkinan penularan ini tetap ada maka disepakati pemberian ASI
pada bayi tetap masih dilarang.(2)

13
Secara umum faktor yang mempengaruhi penularan perinatal HIV adalah sbb(2,13)
1. Faktor Virus
Semakin tinggi titer virus dalam tubuh ibu maka semakin tinggi tingkat
penularannya atau makin infeksius. Kadar RNA-HIV merupakan
prediktor yang lebih baik daripada jumlah sel T.
 Kadar RNA-HIV 1000 kopi/ml → rerata transmisi vertikal 2 %
 Kadar RNA-HIV 10000 kopi/ml → rerata transmisi vertikal 11 %
 Kadar RNA-HIV 100000 kopi/ml → rerata transmisi vertikal 40 %
2. Faktor Host ( ibu hamil )
Berhubungan dengan daya tahan ibu hamil atau sistem kekebalan
tubuh ( jumlah sel T CD4 ), nutrisi dan ada tidaknya anemia dalam
kehamilan.
3. Faktor Obstetrik
Dipengaruhi oleh cara dan lamanya persalinan berlangsung, prosedur
dan peraltan yang digunakan selam kehamilan dan persalianan, internal
fetal dan labor monitoring selama persalinan, episiotomi, pemasangan
kateter urine, forseps dan vakum ekstraksi hanya dilakukan untuk
menyelamatkan ibu dan janin, ruptur membran artificial, resiko
meningkat jika ketuban pecah > 4 jam sebelum persalinan.
4. Faktor Bayi
Tergantung pada kondisi bayi yaitu aterm atau premature dan ada
tidaknya lecet pada bayi akibat proses persalinan.
Transmisi vertikel HIV lebih sering pada persalian preterm terutama
dihubungkan dengan Prolong Rupture Membrane. Landesman,dkk (1996)
melaporkan bahwa transmisi HIV-1 saat lahir meningkat 15-25 % pada ibu hamil
yang ketubannya pecah lebih dari 4 jam.(2)
Transmisi perinatal HIV dapat dengan sangat akurat dihubumgkan dengan
pengukuran kadar (titer) HIV-RNA plasma ibu(3). Dibawah ini ada grafik yang
menghubungkan rata-rata persentase infeksi neonatal dengan kadar plasma HIV-
RNA.

14
35
30
25
20
15
10
5
0
<400 400-3Rb 3Rb-40Rb 40Rb-100Rb >100Rb

Grafik 1. Insiden Infeksi Perinatal (%) berdasarkan kadar HIV-RNA


(copy/ml)

Menurut US. Public Health Service Guidelines (2003), morbiditas dan


mortalitas maternal tidak meningkat dengan kehamilan pada wanita yang
asimptomatik seropositif. Sebaliknya efek pada fetal outcome (luaran) dapat
meningkat. Pada review terhadap 634 wanita yang melahirkan sesudah kehamilan
24 minggu, Stratton,dkk (1999) melaporkan efek fetal out come dihubungkan
dengan kadar atau proporsi CD4+ yang kecil dari 15 % sedangkan pada wanita
yang asimptomatik rata-rata persalinan preterm 20 % dan IUGR sebesar 24 %.(2)

Gejala Klinis
Gejal klinis AIDS secara primer tidak terjadi pada individu dengan
imunitas tubuh yang sehat.(3) Masa inkubasi dari terpapar virus sampai munculnya
gejala klinis bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Gejala akut
mirip dengan gejala infeksi virus lainnya yang berlangsung kurang dari 10 hari.
Gejala klinis paling sering meliputi demam, keringat malam, lemah, letih, lesu,
kemerahan pada kulit (rash), sakit kepala, limphadenopati, penurunan berat badan,
paringitis, mialgia, artralgia, mual, muntah, dan diare. Setelah gejala akut reda,
masuk pada tahap viremia kronik (set poin) yang asimptomatik. Faktor pencetus
yang menyebabkan gejala berkembang secara progressif dari asimptomatik
viremia menjadi AIDS masih belum jelas, tapi butuh waktu lebih kurang 10 tahun
(Fauci, 2003).(2)
Pada keadaan HIV positif dan ditemukan gejala klinis sehingga diagnosa
AIDS ditegakkan, general lymphadenopaty, oral hairy leukoplakia, aphtous ulcer,
dan trombositopenia sering terjadi. Jika sistem imunitas tubuh jelek, infeksi
oppurtunistik sering terjadi yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, parasit dan

15
organisme lainnya. Setiap sistem organ dapat dipengaruhi. Infeksi oppurtunistik
yang sering terjadi adalah esophageal atau pulmonary candidiasis, herpes simplek
persisten, lesi herpes zoster, condyloma akuminata, TBC, pneumonia
cytomegalovirus, retinitis, gangguan gastrointestinal, molluscum contagiosum,
pneumocystis pneumonia, toxoplasmosis, dan sebagainya. Gangguan neurologi
juga sering, sekitar setengah dari penderita mempunyai gejala gangguan SSP.
Kadar CD4+ kurang dari 200/mm3 dipertimbangakn secara definitif untuk
menegakkan diagnosa AIDS.(2,3)
Terdapat gejala ginekologik yang unik pada wanita penderita HIV seperti
gangguan menstruasi, neoplasma genital, PMS yang lainnya, dan kontrasepsi yang
overlap dengan kehamilan (Ceftin, 2003, Stuart dan Castano,2003). Kehamilan
yang berulang tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap klinis ataupun
status imunologis terhadap infeksi virus (Minkoff,dkk 2003)(2). Penderita HIV-
AIDS juga mempunyai resiko yang meningkat untuk berkembanganya keganasan
seperti Sarcoma Kaposi, Ca.cervix, dan Lymphoma.(3)
WHO Disease Staging System untuk Infeksi HIV-AIDS(3)
Sistem Stadium WHO ini berdasarkan data klinis dan laboratorium. Pada
tahun 1990 WHO mengelompokkan infeksi ini beserta segala kondisinya dengan
memperkenalkan staging system untuk penderita HIV-1. Stadium ini
dikembangkan pada bulan September 2005. Sebagian besar kondisi ini terjadi
akibat infeksi oppurtunistik yang secara mudah dapat diobati pada orang yang
sehat Adapun Stadium WHO tersebut adalah :
a) Stadium I : Infeksi HIV asimptomatik dan tidak dikategorikan AIDS
b) Stadium II : Termasuk gejal klinis mukokutaneus minor dan ISPA yang
berulang.
c) Stadium III : Termasuk diare kronik yang tidak bisa diterangkan untuk
jangka waktu lebih dari 1 bulan, infeksi bakteri berat dan TB
paru.
d) Stadium IV : Termasuk Toxoplasmosis otak, kandidiasi esophagus, trakea,
bronkus atau paru dan sarcoma Kaposi. Penyakit-penyakit ini
digunakan sebagai indikator AIDS.

16
Sistem Klasifikasi Infeksi HIV Menurut CDC(3)
Di Amerika Serikat pada tahun 1993, CDC mengembangkan definisi untuk
AIDS termasuk penderita sehat HIV positif dengan jumlah CD4+ sel T kurang
dari 200 per µl darah. Sebagian besar penderita AIDS baru di USA dilaporkan
berdasarkan kadar CD4+ Sel T yang rendah dan adanya infeksi HIV.

E. Tes Serologik
Enzim Immuno Assay (EIA) digunakan sebagai tes penyaring terhadap
antibodi HIV dan menjadi protokol tes standar. (2) Dibawah ini keadaan yang
memerlukan tes antibodi HIV yaitu(5) :
1. Wanita yang menggunakan obat-obatan intravena.
2. Wanita yang melakukan praktek prostitusi
3. Wanita dengan pasangan HIV positif atau beresiko terinfeksi
4. Wanita dengan penyakit menular seksual
5. Wanita yang tinggal dalam komunitas atau lahir dalam Negara dengan
prevalensi HIV pada wanita yang tinggi.
6. Wanita yang dalam evaluasi dan pengobatan medik terhadap gejala dan
tanda-tanda infeksi HIV.
7. Wanita yang menerima transfusi darah pada periode waktu 1978-1985.
8. Wanita yang menurut mereka sendiri beresiko terinfeksai HIV.
Diagnosa infeksi HIV ditegakkan melalui tes antibodi HIV-1. Tes rutin
untuk HIV-2 tidak direkomendasikan kecuali pada pasien dengan resiko infeksi
HIV-2 atau mempunyai gejala klinis dengan tes antibodi HIV-1 yang negatif.
Sebagian besar penderita yang terpapar HIV dapat dideteksi antibodinya terhadap
HIV dalam 12 minggu setelah terpapar. Adanya antibodi menunjukkan adanya
infeksi walaupun penderita asimptomatik selama bertahun-tahun. Sensitifitas dan
spesifisitas dari tes ELISA (Enzym Linked Immuno Assay Adsorbed) adalah 99
% ketika hasil reaktifnya berulang. Hasil tes antibodi HIV negatif jika hasilnya
non reaktif dan ini menandakan derajat infeksi HIV yang sangat rendah sehingga
terlalu awal untuk mendeteksi produksi antibodi. Tes lain yang bisa digunakan
adalah Western Blot atau Immunofluoresscent Asssay (IFA) yang kurang
sensitive dibandingkan EIA. Menurut CDC (2001) antibodi dapat terdeteksi pada
sebagian besar pasien dalm 1 bulan setelah terinfeksi. Untuk infeksi primer HIV

17
yang akut, identifikasi viral p24 core antigen atau Viral-RNA atau DNA mungkin
dapat dilakukan.(2,5)
Pada tahun 1991 secara umum tapi sukarela, screening prenatal
direkomendasikan oleh Institute of Medicine the CDC, American Academy
Pediatrics, dan American College Obstetric and Gynaecologic atau ACOG (1999,
2002, 2004). Sansom,dkk (2003) menganjurkan untuk mengulang tes HIV pada
trimester III kehamilan pada daerah dengan prevalensi 1 tiap 1000 orang pertahun
atau lebih tinggi terinfeksi HIV. Beberapa negara merekomendasikan tes HIV
kedua saat persalinan.(2)
F. Penatalaksanaan
Konseling wajib diperlukan pada wanita hamil dengan HIV positif. Lebih
baik dilakukan pada awal kehamilan dan jika wanita tersebut memutuskan untuk
melanjutkan kehamilannya, konseling tetap dilakukan untuk memberikan
dukungan psikologis. Ketersediaan sejumlah agent antiretroviral yang meningkat
dan evolusi informasi yang berkembang cepat telah memperkenalkan terapi HIV
yang lebih kompleks. Tujuan terapeutiknya adalah semaksimal mungkin
mensupressi perkembangan virus HIV dan menjaga serta mempertahankan fungsi
imunitas tubuh. Untuk penderita yang tidak hamil terapi antiretroviral diberikan
jika kadar CD4+ sel T-nya < 350/mm3 atau level RNA-HIV plasma melampaui
55.000 copies/ml. Strategi terapi yang lebih agressif diterapkan pada infeksi HIV
dalam kehamilan karena dengan penurunan level RNA-HIV plasma akan
menurunkan resiko transmisi perinatal. Terapi antiretroviral seharusnya diberikan
pada semua wanita hamil yang terinfeksi HIV dengan tujuan untuk memulai terapi
dan menurunkan resiko transmisi perinatal yang sangat tergantung pada kadar
HIV-RNA dan CD4+ sel T.(2)
Sampai saat ini belum ada vaksin atau obat yang menyembuhkan HIV-
AIDS. Di Negara Barat kebanyakan pasien dapat bertahan hidup beberapa tahun
setelah diagnosa ditegakkan disebabkan ketersediaan Highly Active AntiRetroviral
Therapy (HAART). Pada keadaan tidak adanya HAART, progressifitas HIV
menjadi AIDS terjadi antara 9-10 tahun dan dapat bertahan hidup selama 9,2
bulan setelah menjadi AIDS (Morgan,dkk 2002). Pemberian HAART yang
optimal berupa kombinasi (cooktails) yang terdiri paling sedikit 3 obat dari paling
sedikit 2 tipe atau 2 klass obat antiretroviral. Regimen yang diberikan terdiri dari 2
Nucleoside analog Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs) ditambah Protease

18
Inhibitors atau Non Nucleoside analog Reverse Transcriptase Inhibitors
(NNRTIs). Pemberian antiretroviral diantara obat-obat lainnya ditujukan untuk
mencegah menjadi AIDS, mencegah infeksi oppurtunistik yang berhubungan
dengan AIDS, mengurangi komplikasi, mengurangi gejala infeksi HIV, dan
memperpanjang harapan hidup penderita. Bagaimanapun juga pedoman terapi
selalu berubah. Pedoman terbaru terapi antiretroviral dari WHO (2003)
merekomendasikan pemberian antiretroviral terapy pada anak-anak dan dewasa
jika ditemukan salah satu dari keadaan berikut ini(3) :
1. Gejala klinis infeksi HIV yang bertambah berat
2. Stadium IV WHO dan pengukuran CD4+ sel T yang tidak respon.
3. Stadium III WHO dengan pertimbangan titer CD4+ sel T < 350/µl darah.
4. Stadium I WHO dengan titer CD4+ sel T < 200/µl darah.
Departemen Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan AS yang bertanggung
jawab terhadap infeksi HIV-AIDS di negaranya, pada tanggal 7 April 2005
mengusulkan
bahwa (3):
1. Semua pasien dengan riwayat AIDS atau dengan gejala berat infeksi HIV
yang dikaitkan dengan kadar CD4+ sel T harus menerima terapi
antiretroviral.
2. Terapi antiretroviral juga direkomendasikan untuk pasien asimptomatik
dengan kadar CD4+ sel T < 200/µl darah.
3. Pasien asimptomatik dengan kadar CD4+ sel T 201-350 sel/µl darah
seharusnya diberikan terapi antiretroviral.
4. Pasien asimptomatik dengan kadar CD4+ sel T > 350 sel/µl darah dan titer
plasma HIV-RNA > 100.000 copies/ml, kebanyakan para ahli yang
berpengalaman menunda terapi tapi beberapa ahli mempertimbangkan
untuk memulai terapi.
5. Terapi harus ditunda pada pasien dengan kadar CD4+ sel T > 350 sel/µl
darah dan titer plasma HIV-RNA < 100.00 copies/ml.

19
Obat Anti-HIV dalam Kehamilan(13,14 )
Informasi mengenai keamanan pemberian anti HIV dalam kehamilan
masih terbatas. Efek jangka panjang pada bayi yang terpapar anti-HIV intrauterine
masih belum diketahui. Beberapa golongan anti-retroviral yang sering digunakan
adalah sbb:
1. Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs)
yaitu Nevirapine (NVP). Penggunaan jangka panjangnya dapat
menyebabkan kelemahan (exhaustion), nausea, penurunan nafsu makan,
ikterik pada mata dan kulit karena efek hepatotoksiknya, dsb. NVP hanya
digunakan pada wanita yang belum pernah mendapat anti-HIV
sebelumnya dengan jumlah sel CD4 > 250 sel/mm 3. Delavirdine dan
Efavirenz tidak boleh digunakan selama hamil karena efek teratogeniknya.
2. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs)
dapat menimbulkan efek mitochondrial toxicity yang dapat meningkatkan
asam laktat dalam darah dan menimbulkan asidosis laktat. Toksisitas ini
dapat terjadi pada ibu hamil dan bayi yang terpapar NRTIs intrauterine.
3. Protease Inhibitors (PIs)
dapat menyebabkan peningkatan gula darah sehingga dapat menimbulkan
atau memperberat DM sampai terjadi diabetic ketoasidosis. Hubungan
dengan terjadinya diabetes gestasional masih belum diketahui.
4. Fusion Inhibitors
yaitu Enfuvirtide, masih sangat sedikit penggunannya dalam kehamilan.
Dibawah ini gambar tempat bekerjanya obat anti retroviral pada siklus hidup
HIV didalam tubuh sesorang yaitu;

Gbr.12.Tempat bekerjanya antiretroviral pd siklus hidup HIV

20
Regimen antiretroviral inisial yang lebih disukai dan sering digunakan adalah :
Efavireaz + Lamivudine atau emtricitabine + Zidovudine atau Tenofovir
atau
Bosster Lopinavir dengan Ritonavir + Zidovudine + Lamivudine atau
emtricitabine
Obat-obat anti retroviral ini mempunyai efek samping dan jika diberikan dengan
dosis yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi. (Sartoh,dkk 2005)(3)
Diabawah ini terdapat protokol pemberian ACTG 076(14,15)

Tabel.2. Protokol Pemberian ACTG 076

Waktu Pemberian Dosis Obat dan Cara Pemberian


Sebelum Persalian 100 mg AZT diberikan 5 x sehari oral, dimulai usia
(antepartum) kehamilan 14-34 mg dan dilanjuitkan selama
kehamilan.
Selama Persalinan Diberikan AZT dosis inisial 2 mg/kgBB IV dalam 1
(intrapartum) jam, dilanjutkan melalui infuse 1 mg/kgBB perjam
sampai lahir.
Bayi Baru Lahir Syrup AZT 2 mg/kgBB 4 x sehari oral sampai 6
(postpartum) minggu pertama kehidupannya.
Ket : AZT = Zidovudine

Dibawah ini terdapat allogaritma penatalaksanaan ibu hamil dengan HIV positif

Allogaritma Penatalaksanaan Ibu Hamil Dengan HIV Positif(16)


Semua pasien seharusnya secara sadar melakukan tes serologik HIV
dengan ELISA untuk screening. Pada kasus seropositif, penyelidikan lebih lanjut

21
harus dilakukan berupa tes untuk PMS lainnya seperti Hepatitis B, Gonorrhea,
Syphilis, Chlamidia, Herpes, Sitomegalovirus,Toxoplasmosis,dsb. Suami
penderitapun harus diperiksa. Tes Tuberkulin perlu dilakukan dan jika hasilnya
positif, dilakukan rontgen thorax dan jika hasilnya negative diberikan INH
profilaksis 300 mg oral 1 x sehari. Pada pasien seharusnya diperiksa kadar
Limposit T pada tiap-tiap trimester kehamilan. Jika kadar < 200 sel/µl darah,
harus diterapi dengan zidovudine 100 mg oral 5 x sehari dan profilaksis untuk
infeksi Pneumocystis Carinii dengan Trimetoprim (160 mg) dan Sulfametoksazol
(800 mg) secara oral 3 x seminggu. Progressifitas penyakit dinilai dari kadar
CD4+ sel T secara gradual, adanya P24 core antigen, penurunan p24 antibodi, dan
menigkatnya level ß 2 mikroglobulin.(8)

Managemen Pasien Hamil dengan HIV(2,8)


I. Penanganan AntePartum ( Prenatal Care)
I.1. Konseling
Pada konseling, ibu hamil diajak berkomunikasi secara dua arah, dengan
memberikan informasi mengenai HIV dan hubungannya dengan kehamilan, tanpa
mengarahkan sehingga ibu hamil ini dapat mengambil keputusannya sendiri
mengenai kehamilan dan persalinannya. Pada trimester pertama, konseling perlu
dilakukan dengan intensif untuk memutuskan apakah kehamilannya akan
diteruskan atau tidak. Informasi yang perlu diberikan antara lain ;
 Apa arti anti HIV positif, Wester Blot positif
 Apa itu HIV, AIDS, dan bagaimana prognosannya
 Pengaruh HIV pada kehamilan dan sebaliknya
 Resiko terjadinya penularan perinatal HIV terhadap bayi baru lahir
 Pemberian obat anti virus (AZT)
I.2. Pemeriksaan Antenatal
Dilakukan pemeriksaan antenatal seperti biasa, tetapi perlu dilakukan
eksplorasi mengenai partner hubungan seksual, apakah pernah menderita
penyakit hubungan seksual (STD) atau pernah mendapatkan tranfusi
darah, dan apakah sering mendapatkan pengobatan dengan suntikan.

22
I.3. Pemeriksaan Penunjang
Selain pemeriksaan yang umum dilakukan pada ibu hamil, perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mengetahui adanya infeksi oppurtunistik dan
pemeriksaan imunologik untuk mengetahui progressifitas infeksi HIV.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan antara lain ;
 Foto Thorax untuk mengetahui adanya pneumonia
 Pemeriksaan imunologik ; Th, Tc, IgA
 Pemeriksaan ; TORCH, Lues, GO, Candida, Chlamydia, VHB
I.4. Pemberian Obat Anti Virus
Pemberian obat anti virus pada ibu hamil dengan HIV akan menurunkan
jumlah virus sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya penularan
perinatal. Ada beberapa macam obat anti virus yang banyak dipakai antara
lain; Zidovudine, Azido Dideoxy Thymidine (AZT). Dosis yang
dianjurkan adalah 100 mg 4 kali sehari mulai dari kehamilan 14-34
minggu. Pada persalinan diberikan secara bolus 2 mg/kgBB, diteruskan
dengan infus 1 mg/kgBB/hari samapi terjadinya persalinan. Bayi yang
baru lahir diberikan syrup AZT 2 mg/kgBB 12 jam post partum, setiap 6
jam sampai umur 6 minggu. Denagn cara ini penularan perinatal dapat
diturunkan dari 25,5 % menjadi 8,3 5 (Anderson J.R,1995).

II. Penanganan Intra Partum


Kewaspadaan menyeluruh atau Universal Precaution harus diperhatikan
untuk memperkecil kemungkinan terjadinya penularan dari ibu ke bayi, penolong
maupun petugas kesehatan lainnya. Hindari memecahkan ketuban pada awal
persalinan, terjadinya partus lama, dan laserasi pada ibu maupun bayi. Oleh
karena itu pada keadaan kemacetan persalinan, maka tindakan SC adalah lebih
baik daripada memaksakan persalinan pervaginam.
Petugas kesehatan harus memakai sarung tangan Vynil, bukan saja pada
pertolongan persalinan tetapi juga pada waktu membersihkan darah, bekas air
ketuban, dan bahan lain dari pasien yang melahirkan dengan HIV. Penolong
persalinan harus memakai kaca mata pelindung, masker, baju operasi yang tidak
tembus air, dan harus sering kali membersihkan dan mencuci tangan.
Membersihkan lender atau air ketuban dari mulut bayi hatus memakai mesin isap,
tidak dengan kateter yang diisap dengan mulut (Crombleholme W.R, 1990). Bayi

23
yang baru lahir segera dimandikan dengan air yang mengandung desinfektan yang
tidak menganggu bayi (Roongpisuthipong A, 1995).
Dapat disimpulkan beberapa point yang penting antara lain;(8)
 SC tidak melindungi bayi dari transmisi vertikel dan hanya dilakukan jika
ada indikasi obstetrik
 Menghindari prosedur yang dapat merusak kulit atau membran mukosa
bayi. Amniotomi, pemasangan elektroda SCALP harus dihindari.
 Petugas kesehatan harus dilindungi kontak dengan cairan yang potensial
terinfeksi HIV.
 Memakai tutup kepala, masker, baju operasi, dan sarung tangan berlapis.
 Jarum harus sekali pakai dan dibuang pada tempatnya.
 Alat suction harus dipakai untuk mengeluarkan secret dari jalan pernafasan
neonatal.
 Tutup jarum harus dipakai untuk menghindari luka akibat jarum.
 mencuci tangan segera setelah kontak dengan darah.
 Memeriksa palsenta dan tali pusat harus dengan sarung tangan.

III. Penanganan Pasca Persalinan


Pada pasca persalinan dilakukan pencegahan terjadinya penularan melalui
ASI, disamping penularan parenteral melalui suntikan dan luka lecet pada bayi.
Pencegahan penulran dengan ASI dilkukan dengan mencegah pemberian ASI,
tetapi pada Negara yang sedang berkembang hal ini masih menjadi perdebatan
karena dikwatirkan bayi tidak mendapat pengganti ASI. Neonatus diberikan
Zidovudin syrup 2 mg/kgBB 4 kali sehari selama 6 minggu pertama
kehidupannya. Ibu pengidap HIV harus dinasehatkan untuk mencegah kehamilan
berikutnya dengan alat kontrasepsi. Metode kontrasepsi barier efektif mencegah
transmisi virus. Penggunaan secar simultan non oxynol-9 spermaticidal agent
dapat meningkatkan efektifitas disamping pendidikan kesehatan dengan praktek
seksual yang aman.

24
G. Pencegahan(3)
Pencegahan transmisi HIV yang meliputi periode antepartum, peripartum,
dan pediatrik hampir sama dengan Hepatitis B. Ada 2 prinsip dalam pencegahan
Maternal-Neonatal transmission dengan infeksi HIV yaitu pemberian terapi
antivirus dan Seksio Sesaria. Transmisi paling rendah didapatkan pada
penggunaan terapi kombinasi selama periode antepartum yaitu 1-2 % (Cooper &
Dorenbawn,2002).
Adapun panduan yang dikeluarkan ole U.S Public Health Service Perinatal
tahun 20003 adalah sbb :
1. Jika HIV-RNA ibu > 1000 kopi/ml, terapi antiretroviral diindikasikan.
2. Jika HIV-RNA ibu < 1000 kopi/ml, kombinasi antiretroviral atau
Zidovudin monoterapi dapat diberikan.
3. Ibu yang tidak mendapatkan terapi sebelum persalinan, dapat diberikan
profilaksis intrapartum dengan Zidovudin, Zidovudin dengan Lamivudin,
Zidovudin dengan Nevirapine, atau Nevirapine saja.
4. Jika persalinan terjadi sebelum mendapatkan terapi, bayi baru lahir dapat
diberikan profilaksis selama 6 bulan dengan Zidovudin atau pada beberapa
kasus dengan antiretroviral kombinasi.
Program surveilans banyak Negara menemukan pada tahun 1996, 80 % wanita
yang terinfeksi HIV sebelum persalinan yang sebagian besar mendapatkan
profilaksis ante dan intra partum mengalami penurunan transmisi perintal
(Worhey,dkk,2001).

Pilihan Persalinan (Seksio Sesaria atau Persalinan Pervaginam)(16)


Peranan cara persalinan dalam menurunkan transmisi vertikal masih belum
jelas. Transmisi perinatal menurun sekitar 50 % ketika dilakukan SC
dibandingkan persalinan pervaginam. Pemberian antiretroviral pada periode
prenatal, intrapartum, dan pada neonatal dengan tindakan persalinan SC dapat
menurunkan transmisi perinatal sampai 87 % dibandingkan metode persalinan lain
yang tanpa pemberian antiretroviral. Pada pemberian AZT 3 dosis yaitu sebelum
melahirkan secara oral, selama persalinan secara intravena, dan pada neonatus
secara oral, telah terbukti dapat menurunkan rat-rata trasmisi vertikal sampai 2/3-
nya yaitu dari 25 % menjadi 8 % ( Jill Chadman,1998).(16)

25
SC elektif dapat direkomendasikan pada keadaan sbb;
1. Viral load (titer RNA-HIV) tidak diketahui atau > 1000 kopi/ml yang
diperiksa pada usia kehamilan 36 minggu
2. Tidak mendapat satupun obat anti-HIV atau hanya mendapat AZT saja
selama kehamilan. Pada SC elektif, AZT diberikan 3 jam sebelum
operasi dan dilanjutkan sampai lahir.
3. Tidak melakukan prenatal care sampai usia klehamilan 36 mg atau
lebih.
SC elektif paling efektif dalam menurunkan transmisi vertikal pada usia
kehamilan 38 minggu, sehingga dilakukan pada saat ini.
Persalinan Pervaginam dapat direkomendasikan pada keadaan sbb;
1. Prenatal care yang teratur selama kehamilan
2. Viral load < 1000 kopi/ml yang diperiksa pada usia kehamilan 36 mg.
3. Mendapat AZT dengan atau tanpa obat anti-HIV lainnya.
Persalinan pervaginam juga direkomendasikan jika selaput ketuban pecah dan
proses persalinan berlangsung dengan cepat.

Keuntungan dan Kerugian SC vs Persalinan Pervaginam(16,17)


 SC elektif dapat menurunkan transmisi vertikal daripada persalinan
pervaginam
 SC dapat meningkatkan resiko demam, infeksi seperti UTI, komplikasi
anestesi, resiko respiratory dystress pada janin, dan resiko lain yang
berhubungan dengan pembedahan pada ibu yang imunosuppressi.

American College Obstetric and Gynaecologic (ACOG) pada tahun 2000


menyimpulkan bahwa Seksio Sesaria elektif dapat direkomendasikan pada wanita
terinfeksi HIV dengan kadar HIV-1 RNA lebih dari 1000 kopi/ml darah. SC
elektif direkomendasikan pada usia kehamilan awal 38 minggu untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya Premature Rupture of Membrane. Data yang ada tidak
cukup untuk memperkirakan keuntungan SC pada wanita dengan kadar HIV-RNA
< 1000 kopi/ml sehingga ACOG tidak merekomendasikan SC elektif pada
keadaan ini. Pendapat yang berbeda malah menunjukkan peningkatan morbiditas
yang signifikan pada wanita yang terinfeksi HIV yang melakukan SC untuk
persalinannya (Read and Co-workers,2001).(3)

26
Pemberian terapi AZT dapat menurunkan transmisi vertikal sampai 67 %.
Tindakan SC elektif sebelum selaput ketuban pecah dapat mencegah janin
terpapar darah dan sekret ibu pada waktu melewati jalan lahir. Sebuah presentasi
di Geneva menyampaikan bahwa terdapat penurunan transmisi vertikal pada
wanita yang mendapat terapi antiretroviral dan melakukan SC sebelum selaput
ketuban pecah. 3 buah studi di Eropa yang meneliti tentang transmisi vertikal ini
yaitu :
1. Pada 902 orang wanita yang diterapi dengan AZT dan dilakukan SC
elektif mempunyai transmisi vertikal hanya 0,8 %. Sebagai perbandingan
pada SC emergency rata-rata transmisi vertikal 11.4 % dan pada persalinan
pervaginam sebesar 6,6 % ( Laurent Mandelbot)
2. Diantara 45 orang wanita yang mendapat regimen lengkap dan melakukan
SC elektif, tidak ditemukan adanya transmisi vertikal.(Christian Kind,MD)
3. Penelitian dilakukan sejak tahun 1994, SC elektif 80 orang wanita HIV
positif yang mendapat terapi AZT, mempunyai rata-rata transmisi vertikal
yang menurun yaitu 2,5 %. Wanita yang melakukan SC elektif tanpa terapi
AZT mempunyai rata-rata transmisi 10,8 %. Sedangkan wanita yang
mendapat terapi AZT dengan persalinan pervaginam mempunyai rata-rata
transmisi 7 %.(Renate Lutz-Frederich, MD)(17)
Penelitian Augusto Semprini, MD di Itali selam 5 tahun menghasilkan
kesimpulan bahwa wanita hamil yang mendapat terapi antiretroviral dan
melakukan SC pada usia kehamilan 38 mg, mempunyai reta-rata transmisi vertikal
sebesar 3 % dibandingkan persalinan pervaginam sebesar 10,3 %.(16)
Suervey terbesar yang dilakukan NIH menghasilkan kesimpulan bahwa SC
elektif dengan terapi antiretroviral mempunyai transmisi vertikal 2 %
dibandingkan cara persalinan lain sebesar 7,3 %. Sedangkan wanita yang tidak
mendapat terapi antiretroviral dengan persalinan SC mempunyai rata-rata
transmisi 10,4 % dan 19 % pada cara persalinan lain. (17 )
Menurut Lynne Mofenson, MD dari NIH bahwa keuntungan SC elektif
menjadi minimal jika dibandingkan dengan resiko pembedahan pada wanita hamil
yang mendapat terapi antiretroviral dengan kadar HIV yang rendah dan jumlah sel
CD4 500 atau lebih. Sehingga perlu ditekankan sangat sulit membuat rekomendasi
secara universal tentang cara persalinan karena masing-masing kasus memerlukan
penilaian tersendiri. (17 )

27
Dilema Pemberian Air Susu Ibu ( ASI )(15,16,17)
 Resiko terbesar neonatus terinfeksi dari ibu yang HIV positif melalui ASI
terjadi pada beberapa bulan pertama kehidupannya.
 Pada negara maju tidak direkomendasikan pemberian ASI pada ibu HIV
positif karena HIV dapat melewati kelenjer payudara. Sebaliknya pada
negara berkembang diperlukan pemberian ASI untuk mencegah dan
memberikan proteksi terhadap bayi terhadap diare, penyakit pernafasan
dan malnutrisi. Sayangnya menurut CDC, jumlah bayi yang terinfeksi
melalui ASI diseluruh dunia mencapai 273.000 bayi setiap tahunnya.
 Transmisi vertikel meningkat dengan pemberian ASI, sehingga secara
umum tidak direkomendasikan oleh WHO pada wanita dengan HIV
positif. Probabilitas transmisi HIV per liter ASI diperkirakan sama dengan
trasmisi heteroseksual dewasa yang melakukan praktek seks tidak aman
(Richardson,dkk,2000)
 Resiko penularan dikaitkan dengan kadar HIV-RNA, status HIV,
kesehatan payudara, dan durasi pemberian ASI (De Corck,dkk,2000 dan
John Stewart,dkk,2000)
 Sebagian besar transmisi terjadi dalam 6 bulan pertama dan kebanyakan
2/3 infeksi pada anak yang menyusui terjadi melalui ASI.
 WHO (2001) telah merekomendasikan melanjutkan pemberian ASI dalam
6 bulan pertama pada wanita yang tinggal di Negara berkembang dengan
penyakit infeksi dan malnutrisi merupakan penyebab utama kematian bayi.
DR. Coutsoudis membuat beberapa rekomendasi praktis tentang pemberian ASI
pada negara berkembang yaitu;(17)
 Stop pemberian ASI setelah 6 bulan karena keuntungan ASI setelah 6
bulan lebih rendah dibandingkan resiko transmisi HIV melalui ASI
 Gunakan kondom selama ASI eklusif 6 bulan dengan tujuan memproteksi
ibu terhadap re-infeksi HIV atau STD lainnya.
 Stop ASI jika ada masalh sperti puting yang retak atau berdarah.
 Segera berikan terapi jika terdapat oral trush (infeksi jamur) pada mulut
bayi.
 terapi panas (pausteurisasi) pada ASI jika memungkinkan
 Berikan anti retroviral pada bayi selama menyusui jika memungkinkan.

28
Post Partum
Pada wanita dengan kadar CD4+ sel T normal dan level HIV-RNA yang
rendah boleh tidak melanjutkan terapi setelah persalinan dengan monitoring yang
ketat. Dukungan psikologis sangat penting pada saat ini. Kontrasepsi dapat
diberikan berupa kondom, hormonal, oral dan injeksi. IUD dapat diterima
sebagian peneliti pada beberapa wanita dengan imunokompeten normal dan resiko
yang rendah terhadap Penyakit Menular Seksual (STD).

Vaksin HIV (16,17)


Vaksin merupakan substansi yang menstimulasi respon imun tubuh dengan
tujuan untuk mencegah infeksi atau mengendalikan infeksi. Terdapat beberapa
tipe vaksin yang masih sedang dipelajari untuk mencegah HIV-AIDS yaitu sub
unit vaccines, recombinant vector vaccines dan DNA vaccines. Vaksin-vaksin ini
hanya mengandung beberapa substansi dari banyak substansi yang dibutuhkan
HIV untuk bereplikasi. Vaksin-vaksin ini sendiri tidak menyebabkan HIV atau
AIDS. Pemberiannya dapat secara tunggal atau kombinasi. Suatu metode
pendekatan pada pemberian vaksin ini yang disebut prime-boost strategy yang
mengkombinasikan 2 tipe vaksin yang berbeda. Pertama sekali diberikan salah
satu tipe vakisin seperti recombinant vector vaccines yang kemudian diikuti
pemberian vaksin tipe kedua seperti sub unit vaccines. Tujuan pendekatan seperti
ini untuk menstimulasi berbagai macam respon imun yang berbeda dan memberi
kesempatan tubuh untuk memberikan respon imun secara menyeluruh

Subunit Vaccines.
 disebut juga component vaccines
 mengandung protein atau peptide dari HIV yang dibuat dilaboratorium
menggunakan teknik rekayasa genetik terhadap protein kapsul yang
membungkus permukaan luar virus.
 protein kapsul ini akan menstimulasi tubuh memproduksi anti-HIV

Recombinant Vector Vaccines


 dibuat berdasarkan virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga
tidak menimbulkan penyakit dan dijadikan sebagai vektor atau carier yang
menghasilkan HIV yang kurang berbahaya.

29
 Tujuannya agar tubuh membentuk protein terhadap gen HIV, dan protein-
protein ini akan menstimulasi pembentukan anti HIV sehingga bisa
mengurangi keganasan gen HIV dalam memasuki sel host.
 beberapa vektor virus yang sedang diteliti adalah; ALVAC ( Canarypox
virus), MVA ( a.cowpox variant ) dan ADV5 ( Adenovirus 5)

DNA Vaccines
 Vaksin DNA memperkenalkan potongan DNA HIV yang memasuki sel
host. DNA HIV diinjeksikan secara langsung kedalam tubuh. Sel akam
mengambil DNA ini dan menggunakan untuk memproduksi protein HIV.

30
BAB III
KESIMPULAN

1. Semua wanita hamil yang beresiko tinggi direkomendasikan melakukan


tes skreening HIV antenatal.
2. Semua wanita hamil dengan HIV positif harus mendapatkan obat anti
retroviral sejak kehamilan 14 minggu sampai melahirkan untuk
menurunkan level HIV-RNA sampai pada level yang tidak terdeteksi
sehingga dapat menurunkan resiko transmisi vertikal.
3. Neonatus yang lahir dari ibu HIV positif harus mendapatkan anti retroviral
seperti zidovudin sampai 6 minggu pertama kehidupannya
4. Pilihan cara persalinan tergantung pada viral load, jumlah sel CD4, pernah
tidaknya mendapat Anti Retroviral Terapy (ARV), terkontrol atau
tidaknya, dengan tetap mempertimbangkan keuntungan dan kerugian SC
elektif dibandingkan cara persalinan lainnya.
5. Neonatus yang lahir dari ibu HIV positif tidak boleh disusui kecuali pada
negara berkembang dimana kejadian penyakit infeksi dan malnutrisi masih
menjadi penyebab utama kematian bayi, dapat disusui secara eklusif
selama 6 bulan sambil diberikan antiretroviral untuk menurunkan transmisi
6. Obat pilihan yang sering digunakan adalah HAART ( Highly Active Anti
Retroviral Terapy ) yang mengandung kombinasi 3 macam obat yang
berasal dari 2 klas yang berbeda
7. Seksio Sesaria pada kehamilan 38 mg atau sebelum ruptur membran
direokemendasikan sebagai pilihan persalinan jika kadar HIV-RNA >
1000 kopi/ml yang diperiksa pada usia kehamilan 36 mg .

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Minnesota Departement of Health. World AIDS Day 2005. diakses dari


http://www.worldaids campaign.info/.
2. Putu Surya IG. Human Immuno Deficiency Virus Pada Kehamilan. Ilmu
Kedokteran Fetomaternal. ed. perdana. editor Hariadi R. Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI. Surabaya. 2004
3. Cunningham FG, Leveno KJ, et al. Human Immuno Deficiency Virus
Infection. Williams ´Obstetric. 22st ed. Mc.Graw Hill Publishing Division
New York, 2005
4. AIDS. from Wikipedia, the free encyclopedia. Last modified 24 Nov 2005.
diakses dari http//www.en.wikipedia.org/wiki/AIDS.
5. AIDS and Anti HIV drugs. AIDS info. diakses dari
http://www.ovc.voguelph.ca/Bio med/HIV/AIDS
6. Rauscher M. Perinatal HIV Transmission Now Most Likely to Occur In
Utero. last update 02-02-2005. from Journal Acquir Immune Def Syndr
2005;38:87-95.
7. HIV, AIDS and Pregnancy, 2004. diakses dari http://www.aidsinfo.nih.gov
8. DeCherney AH, Pernoll ML. Human Immuno Deficiency Virus Infection.
Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis and Treatment,1994.
9. HIV Life Cycle. Understanding HIV-AIDS. 2005. diakses dari
htt://www.engerderhealth org/images.
10. Nurs J, Cradock and Johson M. HIV Life Cycle, BCM,2003. diakses dari
http://www.engenderhealth.org/
11. HIV/AIDS : Frequently Asked Question, 1999. diakses dari http//www.
cdcnpin.org/.
12. Grassman H. The HIV Life Cycle, 2005. diakses dari htpp://www.AIDS
meds.com
13. Duta DC. Acquired Immuno Deficiency Syndrome in Pregnancy. Text Book
of Obstetric. fourth edition. New Central Book Agency LTD, India.1998.
14. Magder LS, Mofenson L,et al. Risk Factor for In Utero and Intrapartum
Transmission of HIV. Abstract. October 18,2005; from Journal Acquir
Immune Def Syndr 2005;38(1):87-95.

32
15. Kanabus A. HIV AIDS and Preganancy. last update Septembert 9, 2005.
diakses dari htpp//www.avert.org/.
16. hiv IN Pregnant Women. last update 11/2/2004. diakses dari
http://www.apregistry.com/
17. HIV-AIDS and Vaccines. AIDS info. may 2005. diakses dari
http://www.aidsinfo.nih.gov/

33
World AIDS Day 2005
THEMES : STOP
AIDS, KEEP THE PROMISE

34

Anda mungkin juga menyukai